Anda di halaman 1dari 2

Belajar Daring, Strategi Pembodohan Siswa Pelosok Negeri

Penulis: Siska Ramayani Damanik


Belajar daring tentu sudah menjadi hal yang awam bagi kita. Sejak Indonesia dijangkit
pandemi Covid-19, tepat di awal Maret 2020 Mendikbud Nadiem Makarim telah
meresmikan kebijakan belajar daring untuk seluruh lapisan pendidikan. Sejak itu, semua
lapisan pendidikan dari SD – Perguruan Tinggi mulai putar haluan sistem belajar menjadi
virtual dengan menggunakan berbagai teknologi pendukung baik itu video conference
maupun media sosial, Sabtu (12/12).
Pada dasarnya pelaksanaan belajar daring ini terlihat lancar. Kurang lebih sudah sembilan
bulan sistem belajar jarak jauh tersebut terlaksana. Masyarakat juga sudah mampu
membiasakan diri dengan sistem belajar tersebut. Namun, kenyataan yang terjadi sistem
belajar daring justru menyebabkan masalah baru. Kelancaran sistem belajar daring tidak
dirasakan seluruh sekolah di Indonesia.
SDN 098162 yang terletak di Kabupaten Simalungun nyatanya menjadi salah satu sekolah
yang belum sukses melaksanakan sistem belajar jarak jauh. Selama sistem belajar
diberlakukan secara daring sekolah tersebut malah hampir vakum, tidak melangsungkan
pembelajaran apapun. Hanya melangsungkan UTS dan UAS. “Semester semalam masih
pernah ke sekolah sesekali ngambil soal baru dikerjakan di rumah. tapi semester ini gak
pernah,” ujar salah satu siswa kelas IV di sekolah tersebut.
SBB, salah satu orang tua murid kelas I juga menuturkan kekesalannya terhadap sistem
belajar daring. “Cemanalah, anak awak masih kelas 1 udah gak pernah belajar. Ke sekolah
satu semester ini cuman dua kali itupun ngambil soal UTS sam UAS tok. Gak pernah
belajar tiba-tiba ujian. Kan heran awak,” tuturnya panjang lebar.
“Kek gini lagi, senin orang itu udah bagi raport. Apalah isi raportnya nanti belajarpun tak
pernah. Cuman nilai UTS sama UAS? Enak kali memang jadi guru pas corona gini. Soal
ujian anak sekolah pun yang ngerjain pasti mamaknya. Yaudalah makin bodoh anak-anak
sekolahan ini,” sambungnya lagi sambil membenarkan posisi tidur bayinya dalam ayunan.
Saat ditanya mengenai perkembangan anaknya yang masih duduk di kelas I tersebut, ibu
dari tiga anak tersebut mengaku tidak melihat perkembangan apapun. “Gak ada
berkembangnya. Malah anak saya makin males orangnya. Tiap hari kerjaannya main game
online. Tengoklah ini semua kertas ujiannya ya saya yang ngerjain. Gak dikerjain malah
merengek dia terus-terusan. Ujungnya ya saya yang sekolah bukan dia,” terangnya lagi
sembari menunjukkan soal UAS anaknya.
“Kalau ditengok bisanya sekolah sini belajar tatap muka. Kita kan tinggal di pedalaman. Pun
sampek sekarang amannya kita dari corona. Bisa kiannya belajar langsung. Daripada kayak
gini, anak awak sekolah bukan tambah pintar malah tambah bodoh gak pernah megang
buku. Yang dipegang game terus,” tambahnya lagi.
Selain itu, salah satu ibu rumah tangga sekaligus warga sekitar sekolah tersebut menuturkan
argumennya. Ibu dari tiga anak itu mengaku miris melihat sistem belajar daring yang tidak
terlaksana dengan baik di kampungnya itu. Menurutnya bisa saja di kampung tersebut
berlangsung belajar tatap muka agar anak-anak sekolah tetap aktif belajar.
“Awak gak begitu paham memang soal boleh enggaknya belajar tatap muka di daerah
terpencil kek kita ini. Tapi nengok anak-anak sekolah yang kesehariannya main-main terus
awak kasian juga. Sejauh ini kita amannya segala aktivitas, kenapa gak belajar tatap muka
aja. Daring ini gak betol. Macam cari kesempatan gurunya buat libur panjang. Kasian juga
muridnya jadi nambah bodoh tiap hari. Belajar sama mamaknya di rumah pun gak betol.
Disuruh buka buku malah ngelawan. Rusaklah generasi,” ujar HG saat dimintai pendapat
tentang pelaksanaan belajar daring di kampung itu.
Lebih lanjut HG mengatakan iri melihat kelancaran proses belajar daring di tempat lain. Ia
melihat sangat jauh perbedaan sistem belajar daring di sana dengan di kampungnya sendiri.
di Kota misalnya, pembelajaran daring sangat diperhatikan dan dimaksimalkan. Pihak
sekolah dan orang tua murid sama-sama mengupayakan yang terbaik untuk anak didik. Ada
yang memang melakukan belajar daring dengan teknologi yang mendukung, adapula yang
melakukan belajar langsung dengan segala kebijakan baru seperti jam pelajaran yang
dikurangi.
Intinya mereka berusaha melakukan yang terbaik agar pendidikan tetap terjaga
kelancarannya meski dalam situasi pandemi. Berbanding terbalik dengan di kampungnya.
Pihak sekolah maupun orang tua sepertinya sama-sama kurang edukasi mengenai
pentingnya pendidikan. Sehingga berdampak pada ketidaklancaran proses belajar selama
pandemi.
Ade Nando, salah satu siswa kelas IV mengaku malas belajar selama ini dikarenakan tidak
paham dengan soal yang diberikan gurunya. Hal tersebut mengakibatkan dia tidak pernah
mengerjakan tugas apapun jika diberikan guru secara daring. Saat ditanya apakah pernah
diberi PR oleh gurunya Nando mengaku pernah tapi tidak dikerjakan. Saat ditanya apa
alasannya Nando menjawab dia tidak paham. Guru hanya memberi soal terus sedangkan
tidak memberi penjelasan apapun sebelum memberi soal, hal itu membuatnya bosan dan
berujung malas. Saat mencoba bertanya ke orang tua, orang tua juga tidak memberi bantuan
sebab, sudah lupa dengan pelajaran SD. Terakhir dia memilih tidak mengerjakan tugasnya.
Alasan lain diungkapkan Wita selaku siswa kelas II. Wita beralasan belajar dari rumah itu
tidak enak. Sebagai siswa kita hanya bisa menunggu kapan guru menyuruh kita datang ke
rumahnya. Saat sudah datang ke rumahnya kadang tidak jadi belajar. Kadang juga tidak
untuk belajar tapi hanya untuk mengambil soal yang harus dikerjakan sehari, kemudian
esoknya diantar lagi ke rumah gurunya.
“Yang ngerjakan soalnya mamak, aku tinggal mindahkan ke buku tulis. Kalo soalnya payah
mamak minjem hp ayah pas ayah pulang kerja baru dikerjain lagi tugasnya,” jawab Wita
polos saat ditanya siapa yang selalu mengerjakan tugasnya.
Belum lama, Mendikbud Nadiem Makarim telah mengumumkan akan memberlakukan
belajar tatap muka di bulan Januari 2021. Hal ini tentu menjadi kabar yang ditunggu-tunggu
oleh seluruh masyarakat baik yang sedang menjalani proses pendidikan maupun orang tua.
Sumiati Panjaitan selaku masyarakat Kabupaten Simalungun mengaku turut senang dengan
kebijakan terbaru Mendikbud itu.
“Belajar tatap muka memang satu-satunya proses belajar yang baik. Saya sendiri menilai
demikian karena telah merasakan susahnya menjadi guru yang mengajar secara daring.
Komunikasi kepada anak-anak otomatis berkurang dan itu membuat kita susah melihat
langsung bagaimana perkembangan anak dalam pendidikan. Jika belajar dilakukan secara
langsung ini akan membantu guru dalam meningkatkan pengetahuan anak, selain itu juga
dapat mengevaluasi langsung karakter anak,” tutur Wanita yang berstatus guru PAUD
tersebut.
Lebih lanjut wanita berusia 25 tahun tersebut berharap agar Covid-19 segera usai dari
Indonesia. “Semoga saja virus corona ini segera hilang dan selesai dari negeri kita agar
setiap aspek yang sudah berbulan-bulan tersendat bisa diperbaiki lagi. Terutama dalam hal
pendidikan, semoga belajar tatap muka ini bisa terlaksana karena jutaan generasi yang harus
diperjuangkan terpenuhi pendidikannya,” tutupnya.

Anda mungkin juga menyukai