OLEH:
1. GABRIELA ANGELINA PALABI 193223115
i
BAB I
PENDAHULUAN
1
hormonal, etnis, dan faktor lingkungan seperti merokok, infeksi, faktor diet,
polutan, dan urbanisasi (Tobon et al,2009).
Telah diketahui bahwa RA adalah penyakit kronik dan fluktuatif sehingga
apabila tidak dilakukan penanganan yang tepat dan cepat akan menyebabkan
kerusakan sendi yang progresif, deformitas, disabilitas, dan kematian. Menurut
Fuch dan Edward, hanya 15% pasien RA yang memperoleh pengobatan secara
medis yang mengalami remisi atau berfungsi normal setelah 10 tahun sejak awal
onset dan hanya 17% dengan tanpa disabilitas. Prognosis RA sendiri dievaluasi
dari berbagai parameter seperti level remisi, status fungsional, dan derajat
kerusakan sendi (Sumariyono,2010).
Masyarakat usia dewasa yang berusia diantara 25 hingga 60 tahun masih
merupakan masa-masa produktif di kehidupannya. Tanggung jawab secara fisik,
biologis, ekonomi dan sosial sangat dibutuhkan dan berkaitan erat dengan status
kesehatannya saat ini. Banyak penyakit degeneratif yang onsetnya dimulai sejak
usia pertengahan menyebabkan produktifitas masyarakat menurun dan masa
lansia di kemudian hari menjadi kurang berkualitas. Salah satu penyakit tersebut
adalah RA dimana proses patologi imunologinya terjadi beberapa tahun sebelum
muncul gejala klinis. Walaupun angka kejadian RA banyak terjadi pada lansia
namun tidak menutup kemungkinan proses patologi telah terjadi seiring
peningkatan usia dan adanya berbagai faktor risiko yang salingberkaitan.
Banyak upaya yang dapat dilakukan guna mencegah terjadinya RA dan
memberikan pengobatan secara cepat dan tepat bagi yang telah terdiagnosis salah
satunya dengan melakukan deteksi dini pada masyarakat usia dewasa. Ada banyak
alat ukur dan kriteria yang dapat digunakan dalam mendiagnosis RA. Diantaranya
adalah berdasarkan kriteria ARA (American Rheumatism Association) yang
direvisi tahun 1987 dan kriteria ACR (American College of Rheumatology) yang
direvisi tahun 2010.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
3
Cipto Mangunkusumo Jakarta, pada tahun 2000 kasus baru RA merupakan 4,1%
dari seluruh kasus baru. Di poliklinik reumatologi RS Hasan Sadikin didapatkan
9% dari seluruh kasus reumatik baru pada tahun 2000-2002 (Aletaha et al,2010).
Data epidemiologi di Indonesia tentang penyakit RA masih terbatas. Data
terakhir dari Poliklinik Reumatologi RSCM Jakarta menunjukkan bahwa jumlah
kunjungan penderita RA selama periode Januari sampai Juni 2007 sebanyak 203
dari jumlah seluruh kunjungan sebanyak 1.346 pasien. Nainggolan (2009)
memaparkan bahwa provinsi Bali memiliki prevalensi penyakit rematik di atas
angka nasional yaitu 32,6%, namun tidak diperinci jenis rematik secara detail.
Sedangkan pada penelitian Suyasa et al (2013) memaparkan bahwa RA adalah
peringkat tiga teratas diagnosa medis utama para lansia yang berkunjung ke
tempat pemeriksaan kesehatan dan pengobatan gratis di salah satu wilayah
pedesaan diBali.
4
timbulnya RA, faktor ketuaan adalah yang terkuat. Prevalensi dan
beratnya RA semakin meningkat dengan bertambahnya usia. RA
hampir tak pernah pada anak-anak, jarang pada usia dibawah 40 tahun
dan sering pada usia diatas 60 tahun.
3. Jenis kelamin
RA jauh lebih sering pada perempuan dibanding laki-laki dengan rasio
3:1. Meskipun mekanisme yang terkait jenis kelamin masih belum
jelas. Perbedaan pada hormon seks kemungkinan memiliki pengaruh.
2.3.2 DapatDimodifikasi
1. Gayahidup
a. Status sosialekonomi
Penelitian di Inggris dan Norwegia menyatakan tidak terdapat
kaitan antara faktor sosial ekonomi dengan RA, berbeda dengan
penelitian di Swedia yang menyatakan terdapat kaitan antara
tingkat pendidikan dan perbedaan paparan saat bekerja dengan
risiko RA.
b. Merokok
Sejumlah studi cohort dan case-control menunjukkan bahwa rokok
tembakau berhubungan dengan peningkatan risiko RA. Merokok
berhubungan dengan produksi dari rheumatoid factor(RF) yang
akan berkembang setelah 10 hingga 20 tahun. Merokok juga
berhubungan dengan gen ACPA-positif RA dimana perokok
menjadi 10 hingga 40 kali lebih tinggi dibandingkan bukan
perokok. Penelitian pada perokok pasif masih belum terjawab
namun kemungkinan peningkatan risiko tetap ada.
c. Diet
Banyaknya isu terkait faktor risiko RA salah satunya adalah
makanan yang mempengaruhi perjalanan RA. Dalam penelitian
Pattison dkk, isu mengenai faktor diet ini masih banyak
ketidakpastian dan jangkauan yang terlalu lebar mengenai jenis
makanannya. Penelitian tersebut menyebutkan daging merah dapat
5
meningkatkan risiko RA sedangkan buah-buahan dan minyak ikan
memproteksi kejadian RA. Selain itu penelitian lain menyebutkan
konsumsi kopi juga sebagai faktor risiko namun masih belum jelas
bagaimana hubungannya.
d. Infeksi
Banyaknya penelitian mengaitkan adanya infeksi Epstein Barr
virus (EBV) karena virus tersebut sering ditemukandalam jaringan
synovial pada pasien RA. Selain itu jugaadanya parvovirus B19,
Mycoplasma pneumoniae, Proteus, Bartonella, dan Chlamydia
juga memingkatkan risikoRA.
e. Pekerjaan
Jenis pekerjaan yang meningkatkan risiko RA adalah petani,
pertambangan, dan yang terpapar dengan banyak zat kimia namun
risiko pekerjaan tertinggi terdapat pada orang yang bekerja dengan
paparan silica.
2. Faktorhormonal
Hanya faktor reproduksi yang meningkatkan risiko RA yaitu pada
perempuan dengan sindrom polikistik ovari, siklus menstruasi
ireguler, dan menarche usia sangatmuda.
3. Bentuktubuh
Risiko RA meningkat pada obesitas atau yang memiliki Indeks Massa
Tubuh (IMT) lebih dari 30.
6
mungkin infeksi virus. Terjadi pembentukan faktor rematoid, suatu antibodi
terhadap antibodi abnormal, sehingga terjadi reaksi imun komplek (autoimun).
Proses autoimun dalam patogenesis RA masih belum tuntas diketahui, dan
teorinya masih berkembang terus. Dikatakan terjadi berbagai peran yang saling
terkait, antara lain peran genetik, infeksi, autoantibodi serta peran imunitas
selular, humoral, peran sitokin, dan berbagai mediator keradangan. Semua peran
ini, satu sam lainnya saling terkait dan pada akhirmya menyebabkan keradangan
pada sinovium dan kerusakan sendi disekitarnya atau mungkin organ lainnya.
Sitokin merupakan local protein mediator yang dapat menyebabkan pertumbuhan,
diferensiasi dan aktivitas sel, dalam proses keradangan. Berbagai sitokin berperan
dalam proses keradangan yaitu TNF α, IL-1, yang terutama dihasilkan oleh
monosit atau makrofag menyebabkan stimulasi dari sel mesenzim seperti sel
fibroblast sinovium, osteoklas, kondrosit serta merangsang pengeluaran enzim
penghancur jaringan, enzim matrix metalloproteases (MMPs) (Putradkk,2013).
7
Gambar 1. Peranan Imun Adaptif dan Innate dalam Patogenesis RA
Proses keradangan karena proses autoimun pada RA, ditunjukkan dari
pemeriksaan laboratorium dengan adanya RF (Rheumatoid Factor) dan anti-CCP
dalam darah. RF adalah antibodi terhadap komponen Fc dari IgG. Jadi terdapat
pembentukan antibodi terhadap antibodi dirinya sendiri, akibat paparan antigen
luar, kemungkinan virus atau bakteri. RF didapatkan pada 75 sampai 80%
penderita RA, yang dikatakan sebagai seropositive. Anti-CCP didapatkan pada
hampir 2/3 kasus dengan spesifisitasnya yang tinggi (95%) dan terutama terdapat
pada stadium awal penyakit. Pada saat ini RF dan anti-CCP merupakan sarana
diagnostik penting RA dan mencerminkan progresifitas penyakit (Putra
dkk,2013).
Sel B, sel T, dan sitokin pro inflamasi berperan penting dalam patofisiologi
RA. Hal ini terjadi karena hasil diferensiasi dari sel T merangsang pembentukan
IL-17, yaitu sitokin yang merangsang terjadinya sinovitis. Sinovitis adalah
peradangan pada membran sinovial, jaringan yang melapisi dan melindungi sendi.
Sedangkan sel B berperan melalui pembentukan antibodi, mengikat patogen,
kemudian menghancurkannya. Kerusakan sendi diawali dengan reaksi inflamasi
dan pembentukan pembuluh darah baru pada membran sinovial. Kejadian tersebut
menyebabkan terbentuknya pannus, yaitu jaringan granulasi yang terdiri dari sel
fibroblas yang berproliferasi, mikrovaskular dan berbagai jenis sel radang. Pannus
tersebut dapat mendestruksi tulang, melalui enzim yang dibentuk oleh sinoviosit
dan kondrosit yang menyerang kartilago. Di samping proses lokal tersebut, dapat
juga terjadi proses sistemik. Salah satu reaksi sistemik yang terjadi ialah
pembentukan protein fase akut (CRP), anemia akibat penyakit kronis, penyakit
jantung, osteoporosis serta mampu mempengaruhi hypothalamic-pituitary-
adrenalaxis, sehingga menyebabkan kelelahan dan depresi (Choy, 2012).
8
Gambar 2. Patofisiologi Rheumatoid Arthritis
Pada keadaan awal terjadi kerusakan mikrovaskular, edema pada jaringan di
bawah sinovium, poliferasi ringan dari sinovial, infiltrasi PMN, dan penyumbatan
pembuluh darah oleh sel radang dan trombus. Pada RA yang secara klinis sudah
jelas, secara makros akan terlihat sinovium sangat edema dan menonjol ke ruang
sendi dengan pembentukan vili. Secara mikros terlihat hiperplasia dan hipertropi
sel sinovia dan terlihat kumpulan residual bodies. Terlihat perubahan pembuluh
darah fokal atau segmental berupa distensi vena, penyumbatan kapiler, daerah
trombosis dan pendarahan perivaskuler. Pada RA kronis terjadi kerusakan
menyeluruh dari tulang rawan, ligamen, tendon dan tulang. Kerusakan ini akibat
dua efek yaitu kehancuran oleh cairan sendi yang mengandung zat penghancur
dan akibat jaringan granulasi serta dipercepat karena adanya Pannus (Putra
dkk,2013).
9
2.5 Manifestasi Klinis, Pemeriksaan Penunjang dan Diagnosis Rheumatoid
Arthritis
2.5.1 ManifestasiKlinis
Keluhan biasanya mulai secara perlahan dalam beberapa minggu atau
bulan. Sering pada keadan awal tidak menunjukkan tanda yang jelas.
Keluhan tersebut dapat berupa keluhan umum, keluhan pada sendi dan
keluhan diluar sendi (Putra dkk,2013).
1. Keluhanumum atau gejala sistemik
Keluhan umum dapat berupa perasaan badan lemah, nafsu makan
menurun, peningkatan panas badan yang ringan atau penurunan
berat badan serta manifestasi ekstraartikular dengan mnemonik
FACEBOOKS, yaitu:
Felty`s syndrome
Atlanto-axial subluxation
Olecranon bursitis
11
glomerulonefritis dengan insiden tersering prolifertif
mesangial.
g. Kelenjar limfe: sindrom felty`s adalah RA dengan
splenomegali, limfadenopati, anemia, trombositopeni dan
neutropenia
2.5.2 PemeriksaanPenunjang
1. Laboratorium
a. Penanda inflamasi : Laju Endap Darah (LED) dan C-Reactive
Protein (CRP) atau viskositas darahmeningkat
b. Rheumatoid Factor (RF) : 80% pasien memiliki RF positif
namun RF negatif tidak menyingkirkandiagnosis
c. Anti Cyclic Citrullinated Peptide (anti CCP) : Biasanya
digunakan dalam diagnosis dini dan penanganan RA dengan
spesifisitas 95-98% dan sensitivitas 70% namun hubungan
antara anti CCP terhadap beratnya penyakit tidakkonsisten.
d. Anemia normokromik normositik , trombositosis reaktif, dan
peningkatatan ringan alkali phospatase dan gamma-GT umum
ditemukan pada keadaan akut.
e. Lakukan pemeriksaan fungsi ginjal dan elektrolit untuk
menjadi nilai dasar sebelum inisiasi terapi serta pemeriksaan
asam urat/ cairan sinovial unuk menyingkirkan kemungkinan
gout polyarticular.
f. Pemeriksaan mikroskopis urin dapat menunjukkan adanya
penyakit konektif
2. Radiologis
a. X-ray : osteopenia dan atau erosi periartikular, pembengkakan jaringan
lunak, penyempitan ruang sendi, demineralisasi “juxta articular”, dan osteoporosis.
Lakukan foto polos dada untuk menyingkirkan keterlibatan paru.
b. USG dan MRI memiliki sensitivitas tinggi dalam mendeteksi
sinovitis, erosi serta tanda inflamasi yang mungkin tidak terdeteksi
dengan X-ray
12
2.5.3 Diagnosis
Terdapat beberapa kesulitan dalam mendeteksi dini penyakit RA. Hal ini
disebabkan oleh onset yang tidak bisa diketahui secara pasti dan hasil
pemeriksaan fisik juga dapat berbeda-beda tergantung pada pemeriksa.
Meskipun demikian, penelitian sebelumnya telah menunjukkan bahwa alat
ukur diagnosis RA dengan ARA (American Rheumatism Association) yang
direvisi tahun 1987 memiliki sensitivitas 91%. Hasil laboratorium yang
digunakan dalam mendiagnosis RA ditemukan kurang sensitif dan spesifik.
Sebagai contoh, IGM Rheumatoid Factor memiliki spesifisitas 90% dan
sensitivitas hanya 54%. (Bresnihan, 2002)
Berikut adalah kriteria ARA (American Rheumatism Association) yang
direvisi tahun 1987 yang masih dapat digunakan dalam mendiagnosis RA:
1. Kaku pagi hari pada sendi dan sekitarnya, sekurang-kurangnya selama
1 jam sebelum perbaikanmaksimal.
13
memenuhi kriteria RA secara prospektif (gejala kumulatif) maupun
retrospektif (data dari keempat domain didapatkan dari riwayat penyakit)
(Putra dkk,2013).
14
Distribusi Sendi (0-5) Skor
1 sendi besar 0
2-10 sendi besar 1
1-3 sendi kecil (sendi besar tidak diperhitungkan) 2
4-10 sendi kecil (sendi besar tidak diperhitungkan) 3
>10 sendi kecil 5
Serologi (0-3)
RF negatif DAN ACPA negatif 0
Positif rendah RF ATAU positif rendah ACPA 2
Positif tinggi RF ATAU positif tinggi ACPA 3
2.6 Tatalaksana
2.6.1 Pencegahan
Etiologi untuk penyakit RA ini belum diketahui secara pasti, namun
berdasarkan penelitian-penelitian sebelumnya, ada beberapa hal yang dapat
dilakukan untuk menekan faktor risiko:
1. Membiasakan berjemur di bawah sinar matahari pagi untuk mengurangi
risiko peradangan oleh RA. Oleh penelitian Nurses Health Study AS yang
menggunakan 1.314 wanita penderita RA didapatkan mengalami
perbaikan klinis setelah rutin berjemur di bawah sinarUV-B.
2. Melakukan peregangan setiap pagi untuk memperkuat otot sendi. Gerakan-
gerakan yang dapat dilakukan antara lain, jongkok-bangun, menarik kaki
ke belakang pantat, ataupun gerakan untuk melatih otot lainnya. Bila
mungkin, aerobik juga dapat dilakukan atau senamtaichi.
15
3. Menjaga berat badan. Jika orang semakin gemuk, lutut akan bekerja lebih
berat untuk menyangga tubuh. Mengontrol berat badan dengan diet
makanan dan olahraga dapat mengurang risiko terjadinya radang pada
sendi.
4. Mengonsumsi makanan kaya kalsium seperti almond, kacang polong,
jeruk, bayam, buncis, sarden, yoghurt, dan susu skim. Selain itu vitamin
A,C, D, E juga sebagai antioksidan yang mampu mencegah inflamasi
akibat radikalbebas.
2.6.2 Penanganan
Penatalaksanaan pada RA mencakup terapi farmakologi, rehabilitasi dan
pembedahan bila diperlukan, serta edukasi kepada pasien dan keluarga.
Tujuan pengobatan adalah menghilangkan inflamasi, mencegah deformitas,
mengembalikan fungsi sendi, dan mencegah destruksi jaringan lebih lanjut
(Kapita Selekta,2014).
1. NSAID (Nonsteroidal Anti-InflammatoryDrug)
Diberikan sejak awal untuk menangani nyeri sendi akibat inflamasi.
NSAID yang dapat diberikan atara lain: aspirin, ibuprofen, naproksen,
piroksikam, dikofenak, dan sebagainya. Namun NSAID tidak melindungi
kerusakan tulang rawan sendi dan tulang dari proses destruksi.
2. DMARD (Disease-Modifying AntirheumaticDrug)
Digunakan untuk melindungi sendi (tulang dan kartilago) dari proses
destruksi oleh Rheumatoid Arthritis. Contoh obat DMARD yaitu:
16
hidroksiklorokuin, metotreksat, sulfasalazine, garam emas, penisilamin,
dan azathioprine. DMARD dapat diberikan tunggal maupun kombinasi
(Putra dkk,2013).
3. Kortikosteroid
Diberikan kortikosteroid dosis rendah setara prednison 5-7,5mg/hari
sebagai “bridge” terapi untuk mengurangi keluhan pasien sambil
menunggu efek DMARDs yang baru muncul setelah 4-16 minggu.
4. Rehabilitasi
Terapi ini dimaksudkan untuk meningkatkan kualitas hidup pasien.
Caranya dapat dengan mengistirahatkan sendi yang terlibat
melaluipemakaian tongkat, pemasangan bidai, latihan, dan sebagainya.
Setelah nyeri berkurang, dapat mulai dilakukan fisioterapi.
5. Pembedahan
Pertimbangkan terapi pembedahan jika:
Nyeri menetap akibat kerusakan sendi atau penyakit jaringan lunak lainnya.
Perburukan fungsi sendi
Deformitas progresif terutama jika ditemukan ruptur tendon, kompresi saraf
dan stress fraktur
Sinovial lokal yang menetap.
17
Tabel 1. DMARD untuk terapi RA
OBAT ONSET DOSIS Keterangan
Sulfasalazin 1-2 bulan 1x500mg/hari/io Digunakan sebagai lini
ditingkatkan setiap pertama
minggu hingga
4x500mg/hari
Metotreksat 1-2 bulan Dosis awal 7,5-10 Diberikan pada kasus
mg/ minggu/IV lanjut dan berat. Efek
atau peroral 12,5- samping: rentan infeksi,
17,5mg/minggu intoleransi GIT,
dalam 8-12minggu gangguan fungsi hatidan
hematologik
Hidroksiklorokuin 2-4 bulan 400 mg/hari Efek samping: penurunan
tajam penglihatan, mual,
diare, anemia hemolitik
Asatioprin 2-3 bulan 50-150 mg/hari Efek samping: gangguan
hati, gejala GIT,
peningkatanTFH
D-penisilamin 3-6 bulan 250-750mg/hari Efek samping: stomatitis,
proteinuria, rash
18
puluh lima persen penderita ditemukan mengalami remisi dalam dua tahun.
Selebihnya dengan prognosis yang lebih buruk. Kejadian mortalitas juga
meningkat 10-15 tahun lebih awal dibandingkan mereka yang tidak mengalami
RA. Khususnya pada penderita RA dengan manifestasi yang berat, kematian dapat
disebabkan oleh infeksi, penyakit jantung, gagal nafas, gagal ginjal, dan gangguan
saluran cerna. Sekitar 40% pasien RA mengalami hendaya dalam 10 tahun ke
depanya. Penggunaan DMARD kurang dari 12 minggu setelah gejala awal
menunjukkan hasil remisi yang lebih baik (Kapita Selekta, 2014). Indikator
prognostik buruk berupa banyak sendi yang terserang, LED dan CRP tinggi, RF
(+) tinggi dan anti CCP (+), erosi sendi pada awal penyakit dan sosial ekonomi
ren
19
BAB V
SIMPULAN
20
DAFTAR PUSTAKA
Aletaha D, Neogi T, Silman AJ, Funovits, Felson T, Bingham III CO et al. (2010).
Rematoid Arthritis Classification Criteria An American College of
Rheumatology/European League Against Rheumatism Collaborative
Initiative. Arthritis Rheum, vol.62, pp.2569 –81
Bresnihan B. (2002). Rheumatoid Arthritis: Principles of Early Treatment. The
Journal of Rheumatology, vol.29, no.66,pp.9-12
Candra K. (2013). Teknik Pemeriksaan Genu Pada Kasus Osteoarthritis Dengan
Pasien Non Koperatif. Academia Edu
Choy E. (2012). Understanding The Dynamics: Pathway Involved In The
Pathogenesis Of Rheumatoid Arthritis. Oxford University Press on behalf of
the British Society for Rheumatology, vol. 51, pp.3-11
Febriana (2015). Penatalaksanaan Fisioterapi Pada Kasus Rheumatoid Arthritis
Ankle Billateral Di RSUD Saras Husada Purworejo. Fakultas Ilmu
Kesehatan Universitas Muhammadiyah Surakarta
Kapita Selekta Kedokteran/editor. Chris Tanto, et al. Ed.4.(2014). Jakarta: Media
Aesculapius, pp 835-839
McInnes, I.B., Schett, G. (2011). The Pathogenesis of Rheumatoid Arthritis. N
Engl J Med, vol. 365, pp. 2205-19
Nainggolan,Olwin. (2009). Prevalensi dan Determinan Penyakit Rematik di
Indonesia. Maj Kedokt Indon, vol.59, no.12,pp.588-594
Pradana,S.Y. (2012). Sensitifitas Dan Spesifisitas Kriteria ACR 1987 dan
ACR/EULAR 2010 pada Penderita Artritis Reumatoid di RSUP Dr. Kariadi
Semarang. Fakultas Kedokteran UniversitasDiponegoro
Putra,T.R., Suega,K., Artana,I.G.N.B. (2013). Pedoman Diagnosis dan Terapi
Ilmu Penyakit Dalam. Bagian/SMF Ilmu Penyakit Dalam Fakultas
Kedokteran Universitas Udayana/RSUPSanglah
Rekomendasi Perhimpunan Reumatologi Indonesia. (2014). Diagnosis dan
Pengelolaan Artritis Reumatoid. Perhimpunan Reumatologi Indonesia.
ISBN
Rudan, I., et al. (2015). Prevalence Of Rheumatoid Arthritis In Low– And
Middle–Income Countries: A Systematic Review And Analysis. Journal of
Global Health, vol.5, no.1, pp.1-10
Suarjana, I.N. (2009). Artritis Reumatoid. dalam Sudoyo, A.W., Setiyohadi, B.,
Alwi, I., Simadibrata, M., Setiati, S. (editor). Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam. Edisi V, FKUI, Jakarta, pp.2495-508
Sumariyono, H.I. (2010). Predictor Of Joint Damage In Rheumatoid Arthritis.
Indonesian Journal of Rheumatology, vol.03, no.02, pp. 15-20
21
Suyasa, I.G.P.D., Krisnandari, A.A.I.W., Onajiati NWU. (2013). Keluhan-
Keluhan Lanjut Usia Yang Datang Ke Pengobatan Gratis Di Salah Satu
Wilayah Pedesaan di Bali. Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Bali, pp.42-48
Tobon, G.J., Youinou, P., Saraux, A. (2009). The Environment, Geo-
Epidemiology, and Autoimmune Disease: Rheumatoid Arthritis, Elsevier,
doi:10.1016/j.autrev.2009.11.019
22
LAMPIRAN
23