Anda di halaman 1dari 1

Suatu distribusi frekuensi individu yang mem- berikan respons (dalam %) pada rentang dosis ter- tentu (dalam

log dosis), akan tergambar dalam ben- tuk kurva distribusi normal (Gambar 1-7). Bila distribusi lrekuensi
tersebut dibuat kumulatif maka akan diperoleh kurva berbentuk sigmoid yang di- sebut kurva log dosis-
persen responder (/og dose-percent curve = log DPC). Bentuk kurvanya sama dengan log DEC, tetapi
ordinatnya berbeda.

100

'6 c

o 6o

co

l50 p
.: !

.;

Pada log DEC ordinatnya ialah intensitas efek, sedangkan pada log DPC ordinatnya adalah per- sentasi
individu yang responsif. Selain itu, pada log DEC efek yang diukur ada gradasinya sehingga kurva ini
merupakan suatu graded DEC. Sementara itu, pada log DPC respons penderita bersifat kuantal (all or none),
artinya ada atau tidak sama sekali, maka kurva sigmoid ini disebut juga kurva log do- sis-efek kuantal
(quantal log dose-effect curve = log DEC kuantal).

Jadi log DPC juga menunjukkan variasi in- dividual dari dosis yang diperlukan untuk menim-

bulkan suatu efek tertentu. Misalnya log DPC untuk suatu sedatif-hipnotik dapat dilihat pada Gambar 1-8. Di
sini tampak log DPC atau log DEC kuantal untuk efek hipnosis di sebelah kiri dan untuk elek kematian di sebelah
kanan.

Dosis yang menimbulkan efek terapi pada 50% individu disebut dosis terapi median atau dosis efektif
median (= ED50). Dosis letal median (= LD50) ialah dosis yang menimbulkan kematian pada 50%
individu, sedangkan TD50 ialah dosis toksik 50%.

Dalam studi farmakodinamik di laboralorium, indeks terapi suatu obat dinyatakan dalam rasio berikut:

active site) sehingga terjadi antagonisme anlara agonis dengan antagonisnya. Misalnya efek his- tamin yang
dilepaskan dalam reaksi alergi dapat dicegah dengan pemberian antihistamin yang men- duduki reseptor yang
sama.

Antagonisme pada reseptor dapat diukur ber- dasarkan interaksi obat-reseptor. Agonis ialah obat yang bila
menduduki reseptor menimbulkan e{ek {armakologi secara intrinsik, sedangkan antagonis ialah obat yang
menduduki reseptor yang sama tetapi secara intrinsik tidak mampu menimbulkan efek farmakologi. Jadi
antagonis menghalangi ikat- an reseptor dengan agonisnya sehingga kerja ago- nis terhambat. Antagonis
demikian juga disebut re- ceptor blocker atau bloker saja. Jadi bloker tidak berefek intrinsik karena elek yang
terlihat bukan efek langsung melainkan penghambatan elek agonis.

Pada antagonisme kompetitif, antagonis berikatan dengan receptor sile secara reversibel sehingga dapat
digeser oleh agonis kadar tinggi. Dengan demikian penghambatan efek agonis da- pat diatasi dengan
meningkatkan kada

Anda mungkin juga menyukai