Anda di halaman 1dari 12

2

Ada Sejumlah Poin Rekomendasi Pansus


Angket yang Tak Disetujui KPK
Jakarta - Ketua DPR mengirim surat undangan agar KPK hadir dalam rapat paripurna sekaligus
mendengarkan rekomendasi Pansus Hak Angket untuk KPK. Merespons undangan itu, KPK mengirim
surat ke DPR.

"Setelah menerima surat dari Ketua DPR tanggal 9 Februari 2018 lalu, kami membahas secara internal
dan memutuskan untuk mengirimkan surat balasan tertanggal 13 Februari 2018 serta melampirkan 13
halaman uraian tentang pelaksanaan tugas dan kewenangan KPK dalam pemberantasan korupsi,"
ungkap Kabiro Humas KPK Febri Diansyah kepada wartawan, Rabu (14/2/2018).

Total ada 2 lembar surat dan 13 lampiran yang disampaikan KPK. Lembaga antirasuah ini menegaskan
surat itu berisi beberapa poin penting, antara lain soal sikap KPK yang menghormati fungsi pengawasan
oleh DPR, termasuk putusan MK atas judicial review terhadap UU MD3 yang mengesahkan Pansus Hak
Angket KPK. Selain itu, ada tanggapan soal rekomendasi pansus.

"Meskipun KPK berbeda pendapat dan tidak setuju dengan sejumlah temuan dan rekomendasi pansus,
namun dalam konteks hubungan kelembagaan kami hargai sejumlah poin di laporan tersebut," ucap
Febri.

KPK kemudian menjelaskan beberapa informasi sebagai pertanggungjawaban ke publik, sesuai dengan
Pasal 20 UU KPK. Oleh sebab itu, KPK menyertakan lampiran uraian soal 4 hal: aspek kelembagaan,
kewenangan KPK, pengelolaan SDM, dan keuangan.

"Informasi ini perlu disampaikan ke publik agar masyarakat menerima informasi secara berimbang dan
proporsional," kata Febri lagi.

Selain itu, KPK mengingatkan soal pemberantasan korupsi, dalam hal ini termasuk indeks persepsi
korupsi (IPK) yang sempat dibahas oleh DPR, karena merupakan tanggung jawab bersama. Febri
menegaskan pemberantasan korupsi adalah kerja sama antara pemerintah, DPR, dan pemangku
kepentingan lainnya.

Isi surat itu juga meliputi ajakan kepada DPR untuk melakukan hal yang lebih substansial, bermanfaat
bagi masyarakat, dan mencegah pelemahan terhadap KPK. Misalnya, kata Febri, tugas pembentukan
dan revisi UU Tipikor, perampasan aset, pengawasan administrasi pemerintahan, dan pembatasan
transaksi tunai.

"KPK juga menegaskan sangat terbuka dengan evaluasi dan pengawasan. Hal yang sama juga kami harap
menjadi perhatian DPR, mengingat dari 3 aktor terbanyak yang diproses KPK adalah dari pelaku korupsi
dari swasta (184), eselon I-III (175), dan anggota DPR/DPRD (144)," ungkap dia.

Tak lupa, KPK juga mengajak untuk memperhatikan survei penilaian masyarakat terhadap sejumlah
sektor yang dipersepsikan korupsi.
"Tiga belas halaman lampiran surat yang disampaikan ke DPR tersebut menguraikan lebih lanjut data-
data yang objektif agar DPR dan publik mendapatkan informasi berimbang dan lebih lengkap. Sebagai
bentuk pertanggungjawaban publik, kami akan menyampaikannya," tutur Febri.
(nif/dhn)
3
Guru Besar Minta Ketua MK Mundur, Kaitan dengan Putusan
Angket?
Kanavino Ahmad Rizqo – detikNews

Ketua MK Arief Hidayat (Lamhot Aritonang/detikcom)


Jakarta -
Sebanyak 54 guru besar universitas di Indonesia meminta Arief Hidayat mundur dari jabatannya sebagai
Ketua MK. Apakah desakan ini muncul karena MK memutuskan DPR berwenang melakukan hak angket
terhadap KPK?
Pengajar di STHI Bivitri Susanti Jentera, yang juga sebagai fasilitator gerakan tersebut, mengatakan tak
ada hubungan langsung antara putusan MK soal hak angket dan desakan mundur terhadap Arief
Hidayat. Menurutnya, 54 guru besar tersebut sejak jauh hari telah meminta Arief mundur sebagai Ketua
MK.
"Intinya, kalau ada hubungannya tidak langsung karena proses mengumpulkan pernyataan kepada 54
guru besar tidak akan memasukkan nama. Jadi pakai bicara dulu. Begini kasusnya. Jadi ngomong dengan
54 nggak sebentar. Nggak akan tercapai (kalau sehari). Kami sudah mulai sejak 2 minggu," kata Bivitri di
Puri Imperium, Jalan Kuningan Madya, Jakarta Selatan, Jumat (9/2/2018).
Sementara itu, guru besar antropologi hukum UI, Prof Sulistyowati Irianto, menyebut gerakan tersebut
murni imbauan moral. Sulis menegaskan para guru besar itu tak mempunyai kepentingan politik apa
pun.
"Kami nggak punya otoritas apa pun yang kami minta adalah imbauan moral. Tapi kan nggak bisa lihat
peristiwa ini berdiri sendiri sejak dua minggu. Kami tidak berpolitik, nggak ada berpolitik-politik, kami
nggak ada kepentingan apa pun," ujarnya.
Senada dengan pernyataan di atas, dosen Fakultas Hukum Unair, Herlambang Wiratwaman,
menuturkan imbauan moral 54 guru besar itu tak berkaitan langsung dengan putusan MK soal hak
angket. Namun, secara pribadi, dia menduga putusan MK terkait hak angket seakan-akan mengonfirmasi
putusan Dewan Etik terhadap Arief Hidayat soal pertemuan dengan DPR.
"Saya kira awalnya kami hanya meyakini, di putusan dewan etik kalau kita baca memang di putusan yang
terakhir itu ada perbedaan rekomendasi pemberian sanksi, dan di dalam catatan pemberian, catatan
putusan dewan etik yang tak terpisah. Tapi sekali lagi, tanpa mengurangi rasa hormat, terkait putusan
yang kemarin (hak angket). Seakan-akan bahwa putusan kemarin mengonfirmasi apa yang kami baca di
dalam putusan dewan etik," imbuhnya.
Sementara itu, 54 guru besar ini juga akan menyampaikan sikapnya secara langsung melalui surat
kepada Arief. Surat juga ditembuskan kepada 8 hakim konstitusi, Sekretaris Jenderal (Sekjen) MK, dan
Ketua DPR RI sebagai lembaga yang mengusulkan Arief Hidayat sebagai hakim MK.
Sebelumnya, Mahkamah Konstitusi menolak gugatan terkait hak angket DPR terhadap KPK. Gugatan
yang ditolak adalah Nomor 36/PUU-XV/2017 yang diajukan Achmad Saifudin Firdaus dan kawan-kawan.
Mereka merupakan pegawai KPK.
Adapun yang diajukan penggugat untuk diuji oleh MK adalah Pasal 79 ayat 3 Undang-Undang Nomor
17/2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD. Pasal itu mengatur penggunaan hak angket oleh DPR.
Dalam pertimbangannya, MK menilai KPK masuk ranah eksekutif. Karena itu, DPR dinilai berhak
menggunakan hak angket terhadap KPK.
4
Desmond Sambut Baik Putusan MK yang Tempatkan KPK di
Ranah Eksekutif

Jakarta - Mahkamah Konstitusi (MK) menyebut KPK masuk dalam ranah eksekutif sehingga bisa menjadi
objek angket DPR. Wakil Ketua Komisi III DPR Desmond J Mahesa menyebut putusan tersebut sudah
tepat.

"Ya, MK ini kan bicara tentang persoalan UUD. Ini putusan ini tidak ada yang salah kalau KPK itu bagian
dari eksekutif," ujar Desmond saat dihubungi, Kamis (8/2/2018).

Menurut Desmond, sudah selayaknya KPK digolongkan eksekutif. KPK disebutnya tak bisa berdiri sendiri.

"Di negara mana pun, yang namanya KPK pasti di bawah eksekutif, satu kesatuan dengan eksekutif ya,
bukan berdiri sendiri karena ini bicara tentang trias politica: eksekutif, legislatif dan yudikatif," ucap dia.

"Kalau memang KPK tidak mengakui yang lain, ya kita ubah dulu undang-undangnya, UUD-nya, kan UUD
yang jadi acuan MK. Kalau sampai ini, apa... KPK udah namanya ya kayak abuse of power gitu. Saya
melihat kan begitu," imbuh politikus Gerindra itu.

Jika KPK menganggap posisi mereka independen, maka Desmond menyoal posisi lembaga antikorupsi itu
di sistem ketatanegaraan Indonesia. Dia menganggap KPK memang masuk ke ranah eksekutif.

"Kalau KPK merasa lex specialis (khusus) dari semuanya ini, nanti dalam konteks ketatanegaraan, KPK
posisinya di mana kalau bukan di bawah eksekutif? Tidak mungkin di bawah legislatif, tidak mungkin di
bawah yudikatif, ya nggak mungkin, kecuali kita tambah lagi kewenangan KPK: dia menyidik, dia
menuntut, dia menghakimi, gitu kan. (Kalau begitu) Masuk ke dalam wilayah yudikatif itu," urainya
panjang lebar.

MK memutuskan menolak permohonan gugatan pasal 79 UU 17/2014 yang berisi soal hak angket.
Dalam putusan itu, MK menilai hak angket DPR bisa ditujukan kepada KPK karena KPK masuk dalam
ranah eksekutif.

Gugatan atas Hak Angket tersebut diajukan Achmad Saifudin Firdaus dan kawan-kawan. Adapun yang
diajukan penggugat untuk diuji oleh MK adalah Pasal 79 ayat (3) UU Nomor 17/2014 tentang MPR, DPR,
DPD, dan DPRD. Pasal itu mengatur soal penggunaan hak angket oleh DPR.

"Dalam pokok permohonan, menolak permohonan para pemohon," kata Ketua MK Arief Hidayat
membacakan putusan di Mahkamah Konstitusi.
5
MK Tegaskan Angket Bisa untuk KPK, Pansus DPR: Keputusan Tepat
Tsarina Maharani

Foto: Taufiqulhadi. (Tsarina Maharani/detikcom).


Jakarta - Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan DPR dapat menjadikan KPK sebagai obyek angket di
DPR. Pansus angket KPK pun menganggap itu keputusan yang tepat.

Melalui putusan ini, DPR sebagai lembaga legislatif dapat meminta pertanggungjawaban dari KPK selaku
badan penegak hukum melalui angket. Wakil Ketua Pansus Hak Angket KPK Taufiqulhadi mengapresiasi
putusan MK itu.

"Jadi dengan putusan MK ini, maka kami menganggap itulah putusan yang sangat tepat. Dengan
demikian itu mendudukkan yang sempat kemudian bias karena sikap sejumlah elemen bangsa, jadi itu
sangat tepat," kata Taufiqulhadi kepada wartawan, Kamis (8/2/2018).

Ia juga menganggap putusan MK hari ini terjadi dalam momen yang tepat, yakni setelah Pansus
mengakhiri masa kerjanya. Dengan demikian, kata Taufiqulhadi, tidak ada anggapan bahwa putusan
tersebut dicampuri oleh kepentingan DPR.

"Putusan itu momennya juga tepat. Karena misalkan kalau momennya kemarin-kemarin mungkin tidak
bagus, karena seakan-akan putusan tersebut dipengaruhi oleh Hak Angket," ujar anggota Komisi III itu.

Pansus pun tidak akan kembali memperpanjang angket terhadap KPK. Saat ini menurut Taufiqulhadi,
seluruh pekerjaan Pansus soal temuan-temuan dan rekomendasi pada KPK telah selesai.

"Tidak (perpanjang). Dalam konteks Pansus Angket sekarang sudah selesai. Jadi kami tidak lagi dalam
konteks untuk memanggil kembali," jelas politikus NasDem itu.

"Kami telah mengambil keputusan di Pansus itu segera akan melaporkan ke paripurna. Maka sebetulnya
putusan ini adalah putusan yang diambil setelah semuanya selesai di angket. Semua persoalan sudah
selesai di angket, baru muncul putusan ini. Tapi kami tidak kecewa," sambung Taufiqulhadi.

Dengan adanya putusan MK itu, ia pun menegaskan DPR tidak akan kembali membuat Pansus Hak
Angket terhadap KPK. Namun hal itu bisa saja dilakukan apabila diperlukan.

"Kita kerja bukan atas dasar dendam, atau personal. Bekerja itu adalah bukan atas dasar personal dan
kemudian parsial. Bukan bekerja berdasarkan sikap parsial dan kemudian dendam. Jadi tidak ada. Kami
tidak pernah berpikir seperti itu," urainya.

"Jadi perlakukan semua mitra adalah sama. Kalau kami anggap tidak tepat, kami akan mendudukkan
secara tepat. Kalau memang kelihatannya membandel ya bisa saja suatu ketika," sambung Taufiqulhadi.
Diberitakan sebelumnya, Mahkamah Konstitusi (MK) menolak gugatan terkait hak angket DPR terhadap
KPK. Gugatan yang ditolak adalah nomor 36/PUU-XV/2017 yang diajukan Achmad Saifudin Firdaus dan
kawan-kawan. Mereka merupakan pegawai KPK.

Adapun yang diajukan penggugat untuk diuji oleh MK adalah Pasal 79 ayat (3) Undang-undang nomor
17/2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD. Pasal itu mengatur soal penggunaan hak angket oleh DPR.

Dalam pertimbangannya, MK menilai KPK masuk ke dalam ranah eksekutif. Oleh sebab itu, DPR dinilai
berhak menggunakan hak angket terhadap KPK.

Hakim juga menilai DPR berhak meminta pertanggungjawaban dari KPK sebagai pelaksanaan tugas
kewenangannya. Meskipun, KPK disebut sebagai lembaga independen.

"Menimbang walaupun dikatakan KPK independen dalam arti bebas dari pengaruh kekuasaan lain,
namun DPR sebagai wakil rakyat berhak meminta pertanggungjawaban pelaksanaan tugas dan
kewenangan KPK," ujar Manahan.

Namun meskipun menolak permohonan pemohon soal hak angket DPR terhadap KPK, suara para hakim
MK tidak bulat. Terdapat dissenting opinion atau perbedaan pendapat dari 4 hakim MK, yaitu Saldi Isra, I
Dewa Gede Palguna, Suhartoyo, dan Maria Farida.
(tsa/elz)
6
KPK Masuk Objek Angket, Bamsoet: Tak Pengaruhi Rekomendasi Pansus
Tsarina Maharani - detikNews

Bambang Soesatyo (Tsarina Maharani/detikcom)


Jakarta - Mahkamah Konstitusi (MK) menetapkan KPK dapat menjadi objek angket DPR. Meski begitu,
Pansus Hak Angket KPK tidak akan memperpanjang kembali masa kerjanya.

Ketua DPR Bambang Soesatyo menegaskan putusan MK itu tidak akan mengubah rencana Pansus
mengesahkan hasil rekomendasi terhadap KPK melalui rapat paripurna pekan depan.

"Hal itu tidak mempengaruhi rencana penyampaian hasil kerja Pansus Hak Angket KPK pada tanggal 14
Februari mendatang," ujar Bamsoet dalam keterangan tertulis, Jumat (9/2/2018).

Terkait hasil rekomendasi atau kesimpulan yang telah dihasilkan Pansus, kata Bamsoet, tidak akan ada
perubahan. Seluruh temuan Pansus terhadap KPK telah ditetapkan dalam rapat pleno pada Rabu (7/2).

"Serta tidak mengubah kesimpulan dan rekomendasi yang telah diputuskan dalam rapat pleno Pansus
Rabu (7/2) lalu sesuai mekanisme dan peraturan yang berlaku di DPR," kata dia.

Sebelumnya, anggota Pansus KPK Masinton Pasaribu menyatakan putusan MK menjadikan rekomendasi
yang telah dihasilkan Pansus wajib dilaksanakan oleh KPK. Dengan putusan MK itu, rekomendasi Pansus
KPK dikatakannya mengikat.

"Putusan MK itu kan memutuskan sah-tidaknya dibentuk Pansus Angket. Dan dengan ditolaknya
gugatan judicial review dari penggugat, Pansus Angket itu sah dan seluruh rekomendasinya mengikat
kepada KPK dan wajib dilaksanakan," terang Masinton, Jumat (9/2).

Hal ini berkaitan dengan telah berakhirnya masa kerja Pansus KPK. Rekomendasi hasil temuan DPR
terkait hak angket KPK disebutkan akan segera diserahkan kepada lembaga antirasuah itu untuk
kemudian disahkan dalam rapat paripurna.

Sementara itu, KPK menyatakan tidak pernah menganggap adanya Pansus KPK. Mereka pun selalu
menolak hadir ketika dimintai penjelasan oleh DPR.

Melalui putusan MK ini, Pansus telah mendapatkan legal standing untuk melakukan angket terhadap
KPK. Hal itu dapat dilihat sebagai bentuk legitimasi MK terhadap kewenangan DPR selaku Badan
Legislasi.
Baca juga: MK Lihat KPK: Dulu Bagian Yudikatif, Kini Eksekutif dan Bisa Diangket

Seperti diketahui, Mahkamah Konstitusi menolak gugatan terkait hak angket DPR terhadap KPK.
Gugatan yang ditolak adalah Nomor 36/PUU-XV/2017 yang diajukan Achmad Saifudin Firdaus dan
kawan-kawan. Mereka merupakan pegawai KPK.
Adapun yang diajukan penggugat untuk diuji oleh MK adalah Pasal 79 ayat 3 Undang-Undang Nomor
17/2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD. Pasal itu mengatur soal penggunaan hak angket oleh DPR.

Dalam pertimbangannya, MK menilai KPK masuk ranah eksekutif. Karena itu, DPR dinilai berhak
menggunakan hak angket terhadap KPK.
7
Tak Hadir Rapat dengan Pansus Angket, KPK Kirim Surat ke DPR
Nur Indah Fatmawati - detikNews

Share 0 Tweet Share 0 1 komentar

Foto: Rachman Haryanto/detikcom

Jakarta - Pansus Hak Angket KPK mengundang KPK untuk hadir dalam rapat dengar pendapat (RDP).
Namun KPK kembali tidak hadir dengan mengirimkan surat ke pimpinan DPR.

"Hari ini, 17 Oktober 2017 KPK telah mengirimkan surat pada Wakil Ketua DPR RI tentang permintaan
keterangan pimpinan KPK untuk klarifikasi temuan Pansus Angket KPK. Pada prinsipnya kami sampaikan
KPK tidak dapat menghadiri undangan siang ini untuk klarifikasi temuan pansus angket KPK," ujar Kabiro
Humas KPK Febri Diansyah kepada wartawan dalam keterangan tertulis, Selasa (17/10/2017).

KPK tak hadir karena masih menunggu hasil uji materi soal keabsahan Pansus Hak Angket untuk KPK di
Mahkamah Konstitusi (MK). Namun Febri menegaskan KPK tetap menghormati kewenangan yang
dimiliki DPR.

"Namun karena hal tersebut sedang diuji konstitusionalitasnya di MK dan KPK menjadi pihak terkait
dalam perkara judicial review tersebut, maka untuk menghormati proses hukum di MK tersebut, KPK
tidak bisa menghadiri undangan yang disampaikan Wakil Ketua DPR RI tersebut," kata Febri.

Ketua KPK Agus Rahardjo sebelumnya mengatakan pihaknya mengirimkan surat ketidakhadiran. Agus
berharap putusan MK terkait uji materi pasal hak angket di Undang-Undang tentang MPR, DPR, DPD,
dan DPRD (UU MD3) bisa segera keluar.

Sementara itu, Wakil Ketua Pansus Hak Angket untuk KPK Eddy Kusuma Wijaya menyebut Pansus
mengundang KPK untuk mengonfirmasi sejumlah temuan.

Jika KPK tiga kali tak hadir, Eddy menyebut Pansus kemungkinan menjalankan perintah sesuai aturan
yang ada. Pansus kemungkinan menerapkan aturan panggil paksa dengan meminta bantuan Polri.
(nif/fdn)
8
Busyro dkk Cabut Gugatan Pansus Angket, Ketua MK:
Tak Masalah Gibran Maulana Ibrahim
Ketua MK Arief Hidayat (Lamhot Aritonang/detikcom)

Jakarta - Mantan pimpinan KPK Busyro Muqoddas dan rekan-rekan mencabut gugatan Pasal 79 ayat 3
UU MD3 tentang hak angket dari Mahkamah Konstitusi (MK) lantaran 'lobi' yang dilakukan Ketua MK
Arief Hidayat. Apa tanggapan Arief?

"Itu tidak masalah bagi saya," ujar Arief di gedung DPR, Senayan, Jakarta, Kamis (7/12/2017).
Baca juga: Cabut Gugatan Pansus KPK, Busyro Dkk Kecewa Ketua MK Lobi-lobi DPR

Arief hanya akan fokus bekerja sesuai dengan tugasnya. Arief ingin menjaga konstitusi Indonesia.

"Yang penting saya bekerja sebaik-baiknya, khususnya menjaga konstitusi untuk kepentingan negara dan
bangsa yang juga saya pertanggungjawabkan kepada Allah SWT sebagai penganut agama Islam," ucap
Arief.
Baca juga: Penjelasan Ketua MK soal Lobi di Hotel dengan Komisi III DPR

Sebelumnya, menurut Busyro, dengan adanya pertemuan tersebut, dia yakin hasil putusan terhadap
gugatannya tidak akan sesuai dengan rasa keadilan. Dia mengatakan pertemuan Arief dengan Komisi III
DPR bisa mempengaruhi putusan, apalagi putusan itu dikaitkan dengan fit and proper test.
Baca juga: Ketua MK Lobi DPR di Hotel, Mahfud: Kalau Itu Benar, Bahaya!

"Bahwa Pak Ketua, dalam hal ini saya sebut Pak Arief, bertemu dengan anggota DPR tetap tak bisa
dilepaskan dari jabatan hakim," kata Busyro di gedung MK, Jl Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat,
Kamis (7/12).
(gbr/dkp)

Anda mungkin juga menyukai