NIM :19220123
Ringkasan Materi
Pendidikan dan Pelatihan Pembentukan Jaksa (PPPJ) dimaksudkan untuk menyiapkan jaksa-
jaksa yang siap bertugas dalam rangka menjalankan tugas dan fungsi Kejaksaan RI, baik di
bidang pidana, perdata dan TUN, dan tugas-tugas lainnya.
Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 5 Tahun 2015 tentang Pedoman Beracara
Untuk Memperoleh Putusan Atas Penerimaan Permohonan Guna Mendapatkan Keputusan
dan/atau Tindakan Badan atau Pejabat Pemerintahan. Selain itu juga akan dibahas
kewenangan baru dari Pengadilan Tata Usaha Negara untuk memutus ada atau tidaknya unsur
penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan
sebagaimana diatur dalam PERMA Nomor 4 Tahun 2015 tentang Pedoman Beracara Dalam
PenilaianunsurPenyalahgunaan Wewenang.
Pasal 4 UU Peradilan TUN mengatur bahwa Peradilan Tata Usaha Negara adalah salah satu
pelaku kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan terhadap sengketa tata usaha
negara.Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 6 UU Peradilan TUN, pada pokoknya
mengatur bahwa kekuasaan kehakiman di lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara
dilaksanakan oleh Pengadilan Tata Usaha Negara dan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara
dan berpuncak pada Mahkamah Agung sebangai Pengadilan Negara Tertinggi.Pengadilan
Tata Usaha Negara berkedudukan di ibu kota Kabupaten/Kota, dan daerah hukumnya
meliputi wilayah kabupaten/kota.Sedangkan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara
berkedudukan di Ibu kota Provinsi, dan daerah hukumnya meliputi wilayah Provinsi. Namun
demikan sampai dengan saat Pengadilan TUN belum terbentuk di tiap ibu kota
Kabupaten/Kota, danPengadilan Tinggi TUN jugabelum terbentuk di tiap Ibu Kota Propinsi.
Bahwa Pengadilan TUN tingkat pertama maupun tingkat banding mengadili Sengketa TUN.
Menurut Pasal 1 angka 10 UU Peradilan TUN, Sengketa TUN adalah sengketa yang timbul
dalam bidang TUN antara orang atau badan hukum perdata dengan badan atau pejabat TUN
baik di tingkat pusat maupun di daerah, sebagai akibat dikeluarkannya keputusan TUN
termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dengan demikian pengertian hukum acara peradilan TUN adalah hukum yang mengatur
tentang cara menyelesaikan Sengketa TUN antara orang atau badan hukum perdata dengan
badan atau pejabat TUN akibat dikeluarkannya keputusan TUN termasuk sengketa
kepegawaian berdasarkan peraturan perundang -undangan yang berlaku. Hukum Acara
Peradilan TUN termuat dalam UU Peradilan TUN, karena UU Peradilan TUN selain memuat
aturan hukum tentang lembaga Peradilan TUN juga memuat tentang hukum acara yang
berlaku dalam Peradilan TUN.
2. Dasar hukum Peradilan Tata Usaha Negara diatur dalam tiga instrumen hukum, yaitu
Undang-undang No. 5 Tahun 1986, Undang-undang No. 9 Tahun 2004 dan Undang-
undang No. 51 Tahun 2009 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.
3. Objek PTUN
Berdasarkan ketentuan Paal 53 ayat (1) jo Pasal 1 angka 4 jo Pasal 3 UU No. 5 Tahun 1986,
Objek PTUN berupa sengketa tata usaha negara, antara lain:
A. Pasal 1 angka 3: Keputusan Tata Usaha Negara adalah suatu penetapan tertulis yang
dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang berisi tindakan hukum
Tata Usaha Negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku,
yang bersifat konkret, individual, dan final,yang menimbulkan akibat hukum bagi
seseorang atau badan hukum perdata;
B. Pasal 3 UU No.5/1986, antara lain:
a. Apabila Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tidak mengeluarkan keputusan, sedangkan
hal itu menjadi kewajibannya,maka hal tersebut disamakan dengan Keputusan Tata Usaha
Negara.
b. Jika suatu Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tidak mengeluarkan keputusan yang
dimohon, sedangkan jangka waktu sebagaimana ditentukan data peraturan perundang-
undangan dimaksud telah lewat,maka Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tersebut
dianggap telah menolak mengeluarkan keputusan yang dimaksud.
Subjek PTUN
Bila memperhatikan objek Sengketa PTUN di atas, subjek PTUN terdiri dari para pihak yang
berperkara, pihak yang berperkara adalah orang atau badan hukum perdata yang merasa
dirugikan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara, baik di pusat maupun di daerah,
sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara.
Pasal 47 UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara menyebutkan bahwa
pengadilan bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa tata
usaha negara . Pembahasan mengenai kewenangan yang dimiliki berkaitan erat dengan obyek
sengketa yang harus diperiksa, diputus dan diselesaikan .
Obyek sengketa yang diperiksa adalah, penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan atau
Pejabat Tata Usaha Negara yang berisi tindakan hukum tata usaha negara yang bersifat
konkrit , individual, final dan menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum
perdata.
Kedua hal tersebut merupakan perluasan terhadap kewenangan PTUN, yaitu tidak
hanyamemeriksa , memutusdan menyelesaikan sengketa tata usaha negara saja, tetapi
cakupan kewenangan yang lebih luas. Bertambah luasnya kewenangan PTUN ini
menimbulkan pertanyaan, mengapa untuk menilai ada atau tidaknya penyalahgunaan
wewenang oleh Pejabat Pemerintahan, memerlukan keputusan dari lembaga
Peradilan dan juga dapat diajukan banding ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara.
Penugasan
1. Analisa
Permasalahan:
1. Sempitnya pengertian objek sengketa administrasi negara yang dapat diselesaikan di
PTUN. Dengan kata lain, arti ketentuan Pasal 1 angka 3 UU No.5 Tahun 1986 Jo UU No. 9
Tahun 2004 menyimpang dari pengertian sengketa administrasi negara secara luas yang
secara teoritis mencakup seluruh perbuatan hukum publik.
2. Hukum administrasi negara formil (hukum acara PTUN) sudah terwujud akan tetapi
hukum administrasi negara materiil belum terbentuk.
3. Pelaksanaan eksekusi pengadilan administrasi negara (PTUN) sebagaimana diatur dalam
Pasal 116 UU No.5 Tahun 1986 Jo UU No.9 Tahun 2004 belum ditindak lanjuti oleh
peraturan pelaksana sehingga tidak ada kejelasan mengenai prosedur dan penerapan hukuman
administrasi negaranya.
4. Banyaknya dibentuk lembaga-lembaga peradilan khusus akan tetapi wewenang
didalamnya ada yang meliputi penyelesaian sengketa administrasi sehingga menjadi overlap
dengan wewenang pengadilan administrasi negara (PTUN), seperti: penyelesaian sengketa
perburuhan yang berkaitan dengan keputusan depnakertrans, sengketa HAKI yang bersifat
administratif, sengketa pajak, dll.
Permasalahan-permasalahan ini muncul, menurut penulis disebabkan karena tidak adanya
harmonisasi dan singkronisasi peraturan perundang-undangan yang ada. Seharusnya sebelum
membuat undangundang para pembentuk undang-undang (DPR dan Pemerintah) membahas
dengan cermat dan seksama serta mengikut sertakan para pakar hukum (terutama pakar
hukum administrasi negara), apabila perlu disosialisasikan kepada publik
(masyarkat/akademisi/LSM) sebelum disahkan untuk menghindari tumpang tindihnya materi
muatan antara undangundang satu dengan lainnya.
Abdulkadir Muhammad (2001 : 115). Menurutnya, penegakan hukum dapat dirumuskan
sebagai usaha melaksanakan hukum sebagaimana mestinya, mengawasi pelaksanaannya agar
tidak terjadi pelanggaran, dan jika terjadi pelanggaran maka untuk memulihkannya kembali
dengan penegakan hukum. Dengan demikian penegakan hukum dilakukan dengan
penindakan hukum, yang menurut penulis dapat diklasifikasikan sebagai berikut : a. Teguran
peringatan supaya menghentikan pelanggaran dan jangan berbuat lagi. b. Pembebanan
kewajiban tertentu (ganti kerugian dan atau denda). c. Pencabutan hak-hak tertentu (sanksi
administrasi ringan, sedang, dan berat seperti : berupa pencopotan jabatan atau
pemberhentian dengan tidak hormat). d. Publikasi kepada masyarakat umum (media cetak
dan atau elektronik). e. Rekomendasi black list secara politis (kepada lembaga eksekutif,
legislatif, dan yudikatif terutama apabila yang bersangkutan akan menjalani fit and proper
test). f. Pengenaan sanksi badan (pidana penjara).
Penyelesaian:
prinsip-prinsip dalam good governance pada dasarnya menjadi pedoman bagi pejabat
administrasi negara dalam melaksanakan urusan pemerintahan yaitu mencegah terjadinya
KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme), menciptakan birokrasi yang semakin baik,
transparan, dan effisien, serta membangun prinsip-prinsip yang lebih demokratis, objektif dan
profesional dalam rangka menjalankan roda pemerintahan menuju terciptanya keadilan dan
kepastian hukum dalam masyarkat