Anda di halaman 1dari 7

Nama : Meylinda Rosyidah

Npm : 21801012070

Prodi : Hukum Keluarga Islam 7 B

Dosen : Drs. H. Anwar Sa'dullah, M.PdI

Ujian Akhir Semester Keaswajaan

1. Resume Implementasi Nilai-nilai ASWAJA dalam Memperkokoh Karakter Bangsa


ASWAJA, atau Ahlu al-Sunnah wal Jama’ah, semakin populer, terutama pada abad ke-3
H (Hijriyah) / ke-9 M (Masehi), yaitu pada masa pemerintahan khalifah Al-Mutawakkil
dari dinasti Abasiyyah, 233-247 H/847-861 M, yang berkuasa di Baghdad, Irak, setelah
Al-Wasiq. Pada waktu itu, aliran Mu’tazilah berada dalam tahap kemunduran, setelah
sebelumnya mengalami masa kejayaan pada masa khalifah Al-Ma’mun, 198-218 H/813-
833 M, hingga masa khalifah Al Wasiq bin AlMu’tashim, 227-232 H/842-847 M (Hasan,
2005; dan Nasir, 2010). Popularitas ini tidak lepas dari peranan Imam Ahmad (wafat 241
H/855 M), ulama yang dengan tegas mempertahankan pendiriannya, berbeda dengan
faham Mu’tazilah sebagai madzhab resmi negara; disamping andil Imam Abu al-Hasan
Asy’ari, yang wafat pada 324 H/936 M; dan Imam Abu Manshur al-Maturidi, yang wafat
pada 333 H/944 M (Lapidus, 2003; dan Muchtar, 2016:15). Konsep ASWAJA juga sudah
beratusratus tahun tersebar di wilayah Indonesia. Hal ini, misalnya, bisa disimak dari
pemikiran seorang ulama besar dari Aceh, yaitu Syeikh Nuruddin Muhammad Jailani ibn
Ali ibn Hasanji ibn Muhammad Hamid al-Raniri, yang wafat pada 1068 H/1658 M.
Ulama yang dikenal dengan nama Syeikh Nuruddin al-Raniri ini adalah seorang ulama
terkemuka di kerajaan Aceh Darussalam. Syeikh Nuruddin al-Raniri pernah menjadi
mufti kerajaan dan Syeikh al-Islam yang terkenal di zamannya. Karyakaryanya
berpengaruh besar dalam tradisi pemikiran Melayu-Nusantara (Hartono & Lutfauziah,
2012; dan Majid, 2015).

ASWAJA adalah orang-orang yang selalu berpedoman pada Sunnah Nabi Muhammad
SAW (Salallahu Alaihi Wassalam), jalan para sahabat Nabi dalam masalah aqidah
keagamaan, amal-amal lahiriyah, serta akhlak hati. Golongan ASWAJA adalah golongan
yang selamat. Istilah Sunnah dalam ASWAJA merujuk kepada petunjuk Rasulullah SAW
dan sahabat-sahabatnya, baik ilmu, aqidah, perkataan, maupun amalan, yaitu Sunnah
yang dipedomani. Maka, istilah ASWAJA adalah mereka yang berpegang teguh kepada
Sunnah Rasulullah SAW; dan mereka yang sepakat dalam hal itu. Mereka adalah para
sahabat dan tabi’in, para imam yang diberi hidayah, dan yang mengikuti mereka; atau
siapa yang berjalan mengikuti jejak mereka dalam aqidah, perkataan, dan perbuatan
sampai hari Kiamat.

Nilai-nilai ASWAJA sebagai Pembentuk Karakter Bangsa dalam Kehidupan


Bernegara.
Beberapa nilai-nilai ASWAJA (Ahlu alSunnah wal-Jama’ah), yaitu: tawassuth(moderat),
tawazun (seimbang), tasamuh(toleran), dan i’tidal (adil), yang dijadikan pedoman dalam
bertindak di segala aspek kehidupan, Keempat nilai tersebut harus direvitalisasikan dan
diimplementasikan dalam kehidupan,sebagai berikut:

Pertama, Nilai Tawassuth.

Tawassuth yaitu jalan tengah, tidak ekstrim kanan atau ekstrim kiri. Dalam faham
ASWAJA, baik di bidang hukum (syari’ah), bidang akidah, maupun bidang akhlak,
selalu dikedepankan prinsip jalan tengah yang moderat. Juga di bidang kemasyarakatan
selalu menempatkan diri pada prinsip hidup menjunjung tinggi keharusan berlaku adil,
lurus di tengah-tengah kehidupan bersama, sehingga ia menjadi panutan dan menghindari
segala bentuk pendekatan ekstrim.
Kedua, Nilai Tawazun.

Tawazun yaitu menjaga keseimbangan dan keselarasan, sehingga terpelihara secara


seimbang antara kepentingan dunia dan akhirat, antara kepentingan pribadi dan
masyarakat, dan antara kepentingan masa kini dan masa datang. Keseimbangan di sini
adalah bentuk hubungan yang tidak berat sebelah, atau menguntungkan pihak tertentu
dan merugikan pihak yang lain. Tetapi, masingmasing pihak mampu menempatkan diri
sesuai dengan fungsinya, tanpa mengganggu fungsi dari pihak yang lain. Hasil yang
diharapkan adalah terciptanya kedinamisan dalam hidup. Keseimbangan menjadikan
manusia bersikap luwes, tidak terburu-buru menyimpulkan sesuatu, akan tetapi melalui
kajian yang matang dan seimbang. Dengan demikian, yang diharapkan adalah tindakan
yang paling tepat, sesuai dengan kebutuhan dan kepentingannya.

Ketiga, Nilai Tasamuh. Tasamuh yaitu bersikap toleran terhadap perbedaan pandangan,
terutama dalam hal-hal yang bersifat furu’iyah, sehingga tidak terjadi perasaan saling
terganggu dan saling memusuhi; justru sebaliknya, akan tercipta persaudaraan yang
Islami (ukhuwwah Islamiyyah) dengan mentoleransi perbedaan yang ada, bahkan pada
keyakinan sekalipun. Dalam konteks ini, tidak dibenarkan kita memaksakan keyakinan,
apalagi hanya sekedar pendapat kita.

Keempat, Nilai I’tidal. I’tidal yaitu adil, tegak lurus, atau menempatkan sesuatu pada
tempatnya. Menempatkan sesuatu pada tempatnya adalah salah satu tujuan dari syari’at
Islam. Dalam bidang hukum.

Tujuan dan Implementasi Nilai-nilai ASWAJA dalam Pendidikan Karakter Bangsa


dan Ikut Mewujudkan Entitas NKRI.

Tujuan ASWAJA, sebenarnya, adalah mengarahkan kepada pembentukan generasi baru,


yakni generasi yang beriman dan berpegang teguh kepada ajaran-ajaran Islam yang
benar, mengikuti Sunnah Nabi Muhammad SAW (Salallahu Alaihi Wassalam), di mana
generasi baru itu bekerja untuk memformat umat dengan nilai-nilai Islam dalam semua
aspek kehidupan. Oleh karena itu, sarana yang digunakan untuk mewujudkan tujuan
tersebut terbatas pada perubahan tradisi pada umumnya dan pembinaan para pendukung
dakwah agar komitmen dengan ajaran-ajaran Islam, sehingga mereka menjadi teladan
bagi orang lain dalam berpegang teguh kepada tali Allah SWT, serta memelihara dan
tunduk kepada hukum-hukum dan pertunjuk-Nya .
2. Resume Pemahaman Aswaja Dan Korelasinya Dengan Sikap Toleransi

Pemahaman aswaja merupakan suatu sikap seseorang yang benarbenar mengerti akan
agama dan selalu berjalan sesuai dengan sunnah Nabi SAW. Aswaja an-nahdliyyah
sekurang-kurangnya mempunyai tiga ciri-ciri yaitu, tawasuth, tasamuh dan tawazun.
Salah satu materi pendidikan yang dapat mencegah sikap intoleransi yaitu pemahaman
Agama. Doktrin agama yang secara khusus mengajarkan masalah toleransi adalah
aswaja. Pelajaran aswaja merupakan salah satu pelajaran wajib yang diajarkan di sekolah
yang berada di bawah naungan lembaga Pendidikan Ma`arif Nahdatul Ulama (LP Ma`arif
NU). Pelajaran Aswaja juga dapat diajarkan sebagai sarana membangun pemahaman
Islam yang toleran, inklusif, dan moderat. Selain itu, Aswaja yang tertanam sebagai
pengetahuan, pemahaman dan sikap, dapat menjadi modal penting dalam menghadapi
dinamika sosial yang kompleks seperti saat ini,

Hasil penelitian dilembaga pendidikan Ma'arif Nahdatul Ulama(LP Ma'arif NU)Nilai


hasil belajar yang di ambil adalah nilai semester 1 dan 2 kelas VII B. Dan hasil
belajarnya nilai pehamaman aswaja siswa lebih rendah.

penelitian ini menyatakan bahwa antara pemahaman aswaja terhadap sikap toleransi
siswa Mts An-Nahdliyyah mempunyai korelasi yang kuat dan signifikan. hal ini di tandai
dengan data statistik yang menunjukkan angka 0,707 > 0,05. Sehingga, berlaku ketentuan
bahwa semakin tinggi pemahaman siswa terhadap aswaja, maka semakin tinggi pula
sikap toleransinya. Oleh karena itu, jika pelajaran aswaja mampu menjadikan seseorang
mempunyai jiwa toleransi yang tinggi, maka seharusnya setiap satuan pendidikan
mengajarkan mata pelajaran aswaja.

Tertanamnya sikap toleransi dalam diri siswa di antaranya dapat dipengaruhi oleh tingkat
pemahaman mereka terhadap Agama. Salah satu doktrin agama yang menekankan sikap
toleran dalam kehidupan yang majemuk adalah doktrin aswaja (Ahlusunnah wal jamaah).
Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk membuktikan keterkaitan
pemahaman aswaja dengan sikap toleransi. Hasil penelitian menujukkan bahwa terdapat
korelasi yang tinggi antara pemahaman aswaja terhadap sikap toleransi siswa. Dengan
demikian, dapat dinyatakan bahwa pelajaran aswaja mampu menjadikan seseorang
mempunyai jiwa toleransi, maka sudah sepatutnya setiap satuan pendidikan mengajarkan
mata pelajaran aswaja.
3. Resume Transformasi Sosial Nu Berbasis Aswaja

Pemaknaan NU dan Aswaja

Bertolak dari telaah klasik Nahdlatul Ulama (NU), secara etimologis, al-Nahdlah berarti
kemampuan, kekuatan, loncatan, terobosan dalam upaya memajukan masyarakat atau
yang lain. Sementara secara epistemologis berarti menerima segala budaya lama dari sisi
kebudayaan yang lebih baru, dengan melakukan rekonstruksi dan reformasi;3 atau secara
lugas berarti kebangkitan atau gerakan yang dipelopori para ulama. Secara teknis berarti
organisasi sosial keagamaan (Jam’iyah Diniyah) yang didirikan oleh para ulama
tradisional dan usahawan Jawa Timur yang berfaham Ahlussunnah Waljama’ah pada
tanggal 12 Rajab 1344/ 31 Januari 1926 M

Ahl al-sunnah wa al-jamâ‘ah (Aswaja) terdiri dari tiga suku kalimat alahl, al-sunnah, dan
al-jamâ‘ah. Ahl dapat berarti ‘famili, kerabat, keluarga, penduduk’, sebagaimana dalam
ungkapan ahl qaryah; dan dapat juga berarti ‘pemeluk atau pengikut’, sebagaimana dalam
ungkapan ahl madzhab. Al-sunnah searti dengan al-tharîqah yang berarti ‘metode, jalan
yang ditempuh, kebiasaan, perjanjian hidup atau perilaku baik atau tercela’. Dalam hadits
Nabi, riwayat Muslim, ‘baik’ disebut dengan ungkapan sunnatan hasanatan dan ‘tercela’
disebut sunnatan sayyiatan.
Menurut ahli ushul fiqih, sunnah (dalam pengertian Hadits) adalah segala sesuatu yang
dinukil (diambil) dari Nabi Muhammad Saw secara khusus. Sunnah merupakan dalil di
luar al-Quran, tetapi dinyatakan oleh Nabi, sekaligus merupakan penjelasan awal atas al-
Quran dan dapat dijadikan landasan serta dalil hukum syara. Sementara itu, menurut
fuqaha, sunnah adalah perbuatan terpuji, bukan wajib, dan terkadang digunakan sebagai
lawan dari kata karahiyyah (yang dibenci).
Jamâ’ah artinya sekumpulan. Semua orang Islam merupakan kesatuan (jamâ‘ah), tanpa
memandang latar belakang; asal mereka orang Islam, harus dianggap jama’ah. Jama‘ah
juga berarti mayoritas penganut dan pembela Sunnah Nabi. Di kalangan NU, ahl al-
sunnah wa al-jamâ‘ah juga dipahami sebagai pembeda dengan kelompok modernis yang
menyatakan bahwa dalam beragama (Islam) orang hanya wajib berpegang teguh pada Al-
Quran dan Hadits. Masyarakat NU di samping berpegang teguh pada Al-Quran dan
Hadits juga berpegang pada sunnah para sahabat dan ijma’ para ulama.

Hakikat Aswaja

Aswaja adalah golongan pengikut setia pada ahl al-sunnah wa al-jamâ‘ah, yaitu ajaran
Islam yang diajarkan dan diamalkan oleh Rasulullah Saw bersama para sahabat pada
zamannya. Aswaja bukanlah sesuatu yang baru timbul sebagai reaksi dari timbulnya
beberapa aliran yang menyimpang dari ajaran yang murni seperti Syi’ah, Khawarij,
Mu’tazilah, dan sebagainya. Aswaja sudah ada sebelum semuanya itu timbul. Aliran-
aliran itulah yang merupakan gangguan terhadap kemurnian Aswaja. Setelah gangguan
itu membadai dan berkecamuk, dirasakan perlunya predikat Aswaja dipopulerkan oleh
kaum Muslim yang tetap setia menegakkan al-sunnah wa al-jamâ‘ah
mempertahankannya dari segala macam gangguan yang ditimbulkan oleh aliran-aliran
yang mengganggu itu, mengajak seluruh pemeluk Islam untuk kembali kepada Aswaja.

Aswaja Kontekstual

Nahdlatul Ulama berpendirian bahwa faham ahl al-sunnah wa al-jamâ‘ah harus


diterapkan dalam tata kehidupan nyata di masyarakat dengan serangkaian sikap yang
bertumpu pada karakter tawâsuth, tasâmuh, tawâzun,‘adâlah, dan amr ma’ruf nahî
munkar. Penjabaran dari nilai-nilai tersebut adalah sebagai berikut.

Pertama, tawâsuth (moderat); sikap tengah yang berintikan kepada prinsip hidup yang
menjunjung tinggi keharusan berlaku adil dan lurus di tengah kehidupan bersama.
Nahdlatul Ulama dengan sikap dasar ini akan selalu menjadi kelompok panutan yang
bersikap dan bertindak lurus dan selalu bersifat membangun serta menghindari segala
bentuk pendekatan yang bersifat tatharruf (ekstrim).

Kedua, tasâmuh (toleran); sikap toleran terhadap perbedaan, baik dalam masalah
keagamaan, terutama hal-hal yang bersifat furu’ atau menjadi masalah khilâfiyah, serta
dalam masalah kemasyarakatan dan kebudayaan.
Ketiga, tawâzun (seimbang); sikap seimbang dalam berkhidmah, menyerasikan kepada
Allah Swt juga khidmah kepada sesama manusia serta kepada lingkungan hidupnya,
menyelaraskan kepentingan masa lalu, masa kini, dan masa mendatang.

Keempat, al-i’tidâl (tegak lurus) atau ‘adâlah (adil); tidak condong ke kanan dan tidak
condong ke kiri, diambil dari kata al-‘adl (keadilan) atau i’dilû (bersikap adillah) pada
ayat:“Hai orang-orang yang beriman! Hendaklah kamu sekalian menjadi orang yang
tegak (membela kebenaran) karena Allah Swt menjadi saksi (pengukur kebenaran) yang
adil (bi al-qisth). Dan janganlah sekali-kali kebencianmu kepada kaum, mendorong kamu
untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah! Keadilan itu lebih dekat kepada taqwa. Dan
bertaqwalah kepada Allah dan Allah itu Maha Melihat terhadap apa yang kamu
kerjakan.”
Kelima, amar ma’ruf nahî munkar; selalu memiliki kepekaan untuk mendorong perbuatan
baik, berguna dan bermanfaat bagi kehidupan bersama, serta menolak dan mencegah
semua hal yang dapat menjerumuskan dan merendahkan nilai-nilai kehidupan.Sikap
tawâsuth ini sangat penting bagi Nahdlatul Ulama. Sikap ini bersumber dari ajaran Islam
dan sesuai dengan karakter bangsa Indonesia pada umumnya.

Transformasi Sosial Keagamaan Berbasis Aswaja

landasan filosofis transformasi sosial keagamaan dan kemasyarakatan NU adalah Aswaja.


Aswaja bisa dimaknai secara klasik dan kontemporer. Dalam pengertian klasik, Aswaja
berarti mengikuti jejak Imam Asy’ari dan Maturidi dalam bidang teologi; Imam Hanafi,
Maliki, Syafi’i, Hanbali dalam bidang fiqh; Imam Junaid dan Al-Ghazali dalam bidang
tasawuf. Sementara itu, secara kontemporer, Aswaja difahami sebagai manhaj al-fikr
(metode berfikir) yang penjabarannya bersifat fleksibel sesuai dengan tuntutan zaman
dengan prinsip tawâzun, tawâsuth, tasâmuh, ‘adâlah, dan amr ma’ruf nahî munkar. Dalam
penerapannya, Aswaja bersifat fleksibel dan bisa mewarnai segala domain kehidupan
yang positif. Aswaja bisa mewarnai bidang akidah, syariah, akhlak, tasawuf, dakwah,
pendidikan, pergaulan kemasyarakatan, kehidupan bernegara, ekonomi dan
pembangunan, dan masih banyak lagi. Dengan demikian, maka eksistensi Aswaja NU
selalu update (aktual) dan tidak pernah basi.

Anda mungkin juga menyukai