Anda di halaman 1dari 23

ANMAL NAFRAH 

a. Apa saja kemungkinan penyakit berdasarkan keluhan tremor pada kasus? 5, 10


Resting tremor  Parkinson’s disease
 Idiopathic Parkinson Disease dan Parkinson's plus syndromes : degenerasi
neuron-neuron dopaminergik; penyebab yang multifaktorial, yakni genetik
maupun lingkungan.
 Drug-induced parkinsonism : dopamine blockers dan agen-agen lainnya.
 Penyakit cerebrovaskuler, racun. Trauma, kelainan endokrin, infeksi/post
infeksi, hidrosefalus bertekanan normal, dan penyakit heredodegeneratif.
 Nonparkinsonian rest tremor : disebabkan oleh obat-obat tremorogenik,
penyakit heredodegeneratif.
 Tremor essensial yang berat dapat muncul saat istirahat.
 Tremor palatal dan myoritmia : tremor istirahat yang pelan, efek sekunder
dari patologi brainstem, infeksi (Whipple's disease) atau idiopatik (tremor
palatal essensial)

b. Mengapa tremor pada kasus diawali dengan gangguan yang asimetris (hanya
pada lengan kiri saja) ? 7, 8, 5
c.
d. Bagaimana penyebab dan mekanisme dari mengalami kesulitan saat buang air
besar pada kasus? 10, 5, 8
selain saraf motorik, saraf otonom jg kena dalam pengiriman impuls,
akibatnya terjadi penurunan gerak peristaltik di usus
ditemukan juga kerusakan sel neuron di tempat lain seperti noradrenergik di
locus cureleus, dopaminergik di ventral tegmentum,
thalamus, hipothalamus, SEROTONERGIK di raphe nukleus. Kerusakan sel
neuron ini
akan mengakibatkan gejala yang sesuai dengan kekurangan neurotransmiter
yang
seharusnya diproduksi. Pada penyakit Parkinson selain kekurangan
neurotransmiter
dopamin ditemukan pula penurunan neurotansmiter noradrenalin dan
SEROTONIN. 31,32

Konstipasi dapat terjadi pada Parkinson, karena penyakit tersebut dapat melemahkan
gerakan otonom dari sistem digestif. Kurangnya proses menelan, serta mual dan
muntah yang juga merupakan efek pengobatan Parkinson tersering.

Serotonin
Terdapat di saluran cerna,di ssp yaitu di medula spinalis dan
hipotalamus,fungsinya menghambat impuls nyeri dan mengatur perasaan
seseorang.
Patofisiologi depresi pada penyakit Parkinson sampai saat ini belum
diketahui pasti. Namun teoritis diduga hal ini berhubungan dengan defisiensi
serotonin, dopamin dan noradrenalin.

a. Apa makna tidak memiliki riwayat kencing manis, stroke ataupun trauma pada
kasus? 5, 10, 3
Pd normalnya degenerasi pd substansia nigra tjd pada usia 50th
Pada penderita PP terdapat suatu tanda reaksi mikroglial pada neuron yang
rusak dan tanda ini tidak terdapat pada proses menua yang normal, sehingga
disimpulkan bahwa proses menua merupakan faktor resiko yang
mempermudah proses terjadinya proses degenerasi di SNc tetapi memerlukan
penyebab lain (biasanya multifaktorial).
(IPD jilid 3 FK UI)

Stroke dan trauma kepala bukan factor risiko kasus ini.


b. Bagaimana hubungan genetik dengan penyakit yang diderita Tn. Muhaimin?
7, 8, 5
Ditemukan 3 gen yang menjadi penyebab gangguan degradasi protein dan
mengakibatkan protein beracun tak dapat didegradasi di ubiquitin proteasomal
pathway. Kegagalan degradasi ini menyebabkan peningkatan apoptosis di sel-sel SNc
sehingga meningkatkan kematian sel neuron di SNc.

Ditemukan 3 gen yang menjadi penyebab gangguan degradasi protein dan


mengakibatkan protein beracun tak dapat didegradasi di ubiquitin-proteasomal
pathway. Kegagalan degradasi ini menyebabkan peningkatan apoptosis di sel-
sel SNc sehingga meningkatkan kematian sel neuron di SNc. lnilah yang
mendasari terjadinya PP sporadik yang bersifat familial. Pada penelitian
didapatkan kadar sub unit alfa dari proteasome 20S menurun secara signifikan
pada sel neuron SNc penderita PP dibandingkan dengan orang normal.
Didapatkanjuga penurunan sekitar 40% dari 3 komponen (chymotriptic, trytic
dan postacidic) proteasome 26S pada sel neuron SNc penderita PP. Peranan
faktor genetik juga ditemukan dari hasil penelitian terhadap kembar
monozigot (MZ) dan dizigot (DZ), di mana angka intrapair concordance pada
MZ jauh lebih tinggi dibandingkan DZ.

a. Bagaimana mekanisme abnormalitas dari pemeriksaan fisik pada kasus? 10, 5,


8
NORMAL SEMUA.

a. Bagaimana interpretasi dari Skala Hoen dan Yahr pada kasus? 5, 10, 3
Abnormal, disabilitasnya jelas, berjalan terbatas tanpa bantuan, lebih
cenderung jatuh

Bagaimana prosedur pemeriksaan Skala Hoen dan Yahr? 7, 8, 5


1. Bagaimana algoritma penegakkan diagnosis pada kasus? 1, 5
Diagnosis PP dibuat terutama berdasarkan gambaran klinis, di samping adanya pemeriksaan
penunjang seperti CT-scan, MRI dan PET atas indikasi untuk menyingkirkan diagnosis
sindrom parkinson selain PP.
Diagnosis Menurut MDS

Anamnesis
Gejala awal Penyakit Parkinson sangat ringan dan perjalanan penyakitnya berlangsung
perlahan-lahan, sehingga sering terlepas dari perhatian. Biasanya hanya mengeluhkan
perasaan kurang sehat atau sedikit murung atau hanya sedikit gemetar. Seiring waktu gejala
menjadi lebih nyata sehingga pasien berobat ke dokter dalam kondisi yang sedikit lebih
parah.
Anamnesis yang mengarahkan pada Penyakit Parkinson antara lain :
 Awitan keluhan atau gejala tidak diketahui dengan pasti
 Perjalanan gejala semakin memberat
 Gejala dimulai pada satu sisi anggota gerak, tetapi seiring waktu akan mengenai
kedua sisi atau batang tubuh.
 Jenis gejala yang mungkin timbul :
1. Merasakan tubuh kaku dan berat
2. Gerakan lebih kaku dan lambat
3. Tulisan tangan mengalami mengecil dan tidak terbaca
4. Ayunan lengan berkurang saat berjalan
5. Kaki diseret saat berjalan
6. Suara bicara pelan dan sulit dimengerti
7. Tangan atau kaki gemetar
8. Merasa goyah saat berdiri
9. Merasakan kurang bergairah
10. Berkurang fungsi penghidu / penciuman
11. Keluar air liur berlebihan
 Faktor yang memperingan gejala : istirahat, tidur, suasana tenang
 Faktor yag memperberat gejala : kecemasan, kurang istirahat
 Riwayat penggunaan obat antiparkinson dan respon terhadap pengobatan.

Anamnesis yang mengarahkan pada penyebab lain :


 Riwayat stroke
 Riwayat trauma kepala
 Riwayat infeksi otak
 Riwayat ada tumor otak
Pemeriksaan fisik berdasarkan MDS UPDRS Part III
Untuk menentukan berat ringannya penyakit, digunakan penetapan stadium klinis penyakit
parkinson berdasarkan Hoehn and Yahr.
1. Bagaimana epidemiologi penyakit pada kasus? 5, 9
Prevalensi 160/100.000 populasi dan insiden 20/100.000 populasi, perbandingan pria
dan wanita 3:2, onset umur 40-70 tahun dan meningkat seiring bertambahnya umur.

2. Bagaimana komplikasi dari penyakit pada kasus? 1, 5


Komplikasi PP terjadi akibat progresivitas dan lamanya menderita PP atau bisa
muncul akibat terapi medis. Pada PP berat sudah terjadi kerusakan motorik yang
progresif meskipun telah mendapat terapi levodopa. Kualitas hidup semakin menu run
dan sangat sukar bagi penderita untuk melakukan aktivitas sehari-hari tanpa bantuan
orang lain. Ketika penyakit berlanjut, terjadi degenerasi progresif neuron
dopaminergik dan nondopaminergik di area otak yang luas. Hal ini menyebabkan
manifestasi klinis berupa komplikasi motorik dan nonmotorik.

Komplikasi Motorik
Komplikasi motorik mungkin muncul akibat dari progresi PP dengan menghilangnya
neuron dopaminergik dan perubahan reseptor dopaminergik pascasinaps ke arah
respons levodopa yang tidak stabil.
a. Fluktuasi Motorik
lstilah ini menunjukkan bahwa pasien memiliki berbagai variasi respons terhadap
levodopa dan menunjukkan keadaan penurunan mobilitas. Terdapat variasi pada
beratnya gejala motorik mulai dari yang ringan berupa kekakuan, menyeret kaki,
tremor, sampai imobilitas dan tremor berat. Faktor risiko utama timbulnya komplikasi
motorik adalah derajat keparahan penyakit dan lamanya pemberian levodopa, dosis
levodopa harian, dan onset terjadi PP.
Pola klinis fluktuasi motorik sebagai berikut:
1. Efek wearing off: efek antiparkinson levodopa akan menghilang menjelang akhir
dosis. Penderita masuk dalam kondisi off (diam/tidak bisa memulai gerak)
2. Delayed on: keterlambatan dalam memulai efek levodopa. Setelah pemberian
levodopa seharusnya penderita masuk dalam kondisi on (mampu bergerak leluasa)
tapi tertunda sehingga penderita masih dalam kondisi off (diam/tidak bisa memulai
gerak)
3. No-on: dosis levodopa tidak memberikan efek. Gejala dan tanda PP menetap seolah-
olah seperti tidak diobati.
4. On-off: respons pada levodopa bervariasi dalam cara yang tidak bisa diramalkan yang
tidak ada hubungannya dengan waktu pemberian dosis. Terjadi tiba-tiba seperti
tombol lampu yang dihidup matikan. Pada kondisi on penderita bisa bergerak leluasa,
sedangkan kondisi off penderita diam/tidak bisa memulai gerak. Hal ini terjadi secara
bergantian antara on dan off (gerak-diam-gerak-diam dan seterusnya)
5. Yo-yoing: fluktuasi dari imobilitas berat ke diskinesia secara tiba-tiba. Penderita
berespon dengan levodopa secara cepat ditandai dengan kondisi on tapi pada dosis
maksimal terjadi diskinesia dalam bentuk chorea (tremor) dan distonia (kontraksi otot
terus menerus/ kaku).
b. Diskinesia
Diskinesia timbul sebagai konsekuensi progresivitas PP atau sebagai komplikasi
motorik dari terapi dopaminergik dan bermanifestasi sebagai distonia atau gerakan
khorea. Diskinesia kadang lebih berat dibanding PP itu sendiri. Diskinesia
berhubungan dengan konsentrasi levodopa dalam darah. Pada beberapa kasus,
pengurangan bertahap dosis levodopa, penambahan agonis dopamin pada terapi
levodopa, mengganti preparat levodopa yang CR (controlled release) menjadi cepat
lepas (immediate release) akan mengurangi gejala dyskinesia.
Diskinesia terjadi ketika efek dan konsentrasi maksimal dari levodopa telah dicapai.
Hal ini diduga sebagai akibat dari abnormalitas respons neuron terhadap stimulasi
pulsatil reseptor dopaminergik. Pada kasus diskinesia yang berat dipertimbangkan
terapi pembedahan.

Komplikasi Non Motorik


a. Gangguan Kognitif dan Demensia
Gangguan kognitif dan demensia umum terjadi pada PP yang sudah berlangsung lama
akibat progresivitas PP itu sendiri dan memenuhi kriteria DSM IV. PP mempunyai
risiko 6 kali lipat berkembang menjadi demensia (Parkinson Disease Demensia/PDD).
PDD sering terjadi pada usia lanjut. Prevalensi PDD pada populasi berusia >65 tahun
sekitar 30% per tahun dengan gejala gangguan visuospatial, memori, atensi,
pemikiran yang lambat, disorientasi, kebingungan, depresi dan motivasi yang
menghilang. PDD akan memperberat disabilitas dan gangguan fungsi sosial.
Pemberian obat antikolinergik untuk gangguan motorik pada PP sebaiknya dihentikan
sebab dapat mencetuskan dan memperberat gangguan kognitif terutama pada usia
lanjut. Pengobatan PDD masih belum berhasil dengan baik. Beberapa penelitian
terhadap rivastigmin dan donepezil menunjukkan perbaikan walaupun tidak banyak
dan memiliki efek tambahan mengurangi halusinasi yang diinduksi obat PP (agonis
dopamin, antikolinergik dan amantadine).
b. Psikosis
Psikosis pada perjalanan PP kadang didahului demensia atau diinduksi oleh
pemakaian obat PP. Psikosis ditandai dengan halusinasi dan delusi. Kadang disertai
ansietas dan panik. Adanya psikosis menunjukkan prognosis yang buruk dan
mempersulit perawatan di rumah. Pengobatan standar psikosis pada PP meliputi
menurunkan/menghentikan obat PP yang menginduksi psikosis (levodopa,
amantadine, agonis dopamin, antikolinergik) dan bila psikosis masih berlanjut atau
muncul kontrol motorik yang tidak adekuat maka obat antipsikosis harus diberikan.
Quetiapine dan clozapine cukup efektif untuk memperbaiki psikosis pada PP.
c. Depresi
Depresi mengenai hampir sekitar 40% penderita PP dan mempengaruhi fungsi
motorik dan kualitas hidup secara bermakna. Penampilan klinis PP berupa bradi-
kinesia, bradifrenia dan mask face kadang sulit dibedakan dengan depresi dan gejala
PP. Etiologi depresi pada PP belum jelas diduga berhubungan dengan perubahan
neurokemikal dopamin, norepinefrin, dan serotonin. Dalam hal ini diperlukan
dukungan kelurga dan psikoterapi. Pemberian tricyclic antidepressant/ TCA
(amitriptilin, trazadone, nortriptilin) dan selective serotonin reuptake inhibitor/SSRI
(fluoxetin, setralin, citalopram) direkomendasikan untuk depresi pada PP. Penggunaan
SSRI dengan obat PP selegiline sebaiknya dihindari karena menginduksi timbulnya
sindrom serotonin. Pada pasien dengan depresi berat atau psikotik depresi,
pengobatan dengan electroconvulsive therapy (ECT) merupakan tindakan live saving
dan bermanfaat menghilangkan gejala tersebut.
d. Gangguan Otonom
Gangguan otonom sering terjadi pada PP berat akibat degenerasi ganglia otonom dan
harus dibedakan dengan penyebab lain, misalnya pada Multiple System Atrophy
(MSA) dan Shy-Drager Syndrome. Patofisiologi terjadinya gangguan otonom belum
diketahui pasti, studi neurohistokimia menemukan inklusi badan Lewy pada batang
otak, hipotalamus, serebelum, sistem simpatik dan parasimpatik.
Gangguan otonom meliputi:
 Konstipasi
Prevalens konstipasi sekitar 30-60% penderita PP, diakibatkan PP itu sendiri atau
akibat obat PP (dopaminergik, antikolinergik). Penghentian obat dapat memperbaiki
konstipasi. Kesulitan defekasi pada PP ini akibat gangguan persarafan simpatik pada
usus, kontraksi spingter ani eksternal dan interna, hipertoni otot perianal, dan
gangguan kontrol otot dasar pelvis dan rektum. Konstipasi berat dapat menimbulkan
impaksi dan megakolon. Penderita dianjurkan untuk mengkonsumsi makanan tinggi
serat dari buah dan sayur, hidrasi yang cukup, dan meningkatkan aktivitas fisik untuk
mengatasi problem konstipasi.
 Disfagia
Hampir 60% penderita PP mengeluhkan disfagia. Gangguan menelan ini merupakan
efek PP pada otot skeletal orofaring akibat perubahan pada pleksus mienterik yang
mengganggu gerakan peristaltik makanan. Disfagia sering disertai drooling. Keadaan
air liur yang menetes (drooling) terjadi karena gangguan fungsi menelan sehingga
saliva tidak tertelan ke faring tapi terkumpul pada rongga mulut. Terapi disfagia
ditujukan untuk menghindari aspirasi dan teredak. Penderita PP dengan disfagia
sebaiknya diberikan makanan yang lunak dan bila sangat berat diper-timbangkan
untuk nutrisi enteral (gastrostomi), Disfagia berisiko menyebabkan penurunan berat
badan dan gangguan nutrisi. Pemberian vitamin/ suplemen diperlukan untuk
mencegah hilangnya massa otot akibat gizi yang tidak seimbang. Terapi wicara
berguna untuk mengidentifikasi disfagia moderat dan berat, serta mengajarkan
manuver menelan.
 Hipotensi ortostatik
Terjadi pada 20-40% penderita PP. Biasanya karena efek samping obat PP, yaitu
levodopa dan agonis dopamin. Hipotensi ortostatik diduga karena efek dopa min di
perifer (dekarboksilasi) yang menyebabkan penurunan volum intravaskular. Hipotensi
ortostatik merupakan salah satu penyebab jatuh pada penderita PP. Obat-obat lain
yang digunakan bersama pada PP yang menyebabkan hipotensi ortostatik, seperti
antihipertensi dan diuretik sebaiknya dihentikan dan dipertimbangkan pengurangan
bertahap dosis levodopa dan agonis dopamin. Penderita dianjurkan untuk tidur dengan
posisi kepala lebih tinggi (30°), penambahan garam, frekuensi makan sedikit tapi
sering, bila perlu pemakaian stoking pada paha dan betis. Terapi farmakologi
diperlukan bila terapi non farmakologi tidak berespons baik. Obat yang diberikan
adalah fludrokortison dan midodrine dengan mempertimbangkan efek samping kedua
obat ini berupa gangguan kardiovaskular dan retensi urin.
 Hiperhidrosis
Gangguan berkeringat dapat timbul pada PP yang melibatkan gangguan pada
hipotalamus. Hiperhidrosis biasanya timbul pada saat fluktuasi motorik, Agonis
dopamine membantu merungankan gejala ini.
 Inkontinensia Urin
Gangguan ini bisa timbul pada penderita PP baik lakilaki maupun perempuan. Hal ini
akibat hiperaktivitas dari otot detrusor yang menyebabkan sering kencing (frequency),
kencing yang tak tertahan (urgency), dan nokturia.
e. Gangguan Tidur
Gangguan tidur pada PP diakibatkan PP itu sendiri atau akibat obat-obatan PP (agonis
dopamine). Spektrum gangguan tidur berupa sulit memulai tidur, mimpi buruk,
mudah terbangun, tidur yang terpotongpotong, atau mengantuk tak tertahan di siang
hari. Diperlukan suasana tidur yang nyaman, mengubah pola pemberian obat (sore
atau menjelang tidur) dan hindari berkendara untuk mencegah kecelakaan.
f. Gangguan Sensoris
Sekitar 67% penderita PP mengeluh nyeri. Nyeri timbul akibat progresivitas PP
(primer) dari sebab lain (sekunder). Nyeri primer berupa nyeri yang disertai mati rasa,
kram, perasaan panas atau dingin. Nyeri kadang muncul berfluktuasi dan
merefleksikan fenomena off. Nyeri timbul pada tungkai yang mengalami bradikinesia
dan rigiditas, nyeri juga timbul pada bahu dan jari-jari tangan dan kaki dihubungkan
dengan sikap distonik saat off. Gangguan sensoris lainnya berupa nyeri radikulopati,
akathisia, kesemutan dan rasa terbakar. Patofisiologi nyeri primer belum diketahui
pasti, diduga akibat keterlibatan ganglia basal dalam jaringan pengolahan
sensorimotorik dan akumulasi lokal substansi P pada otot. Analgetik opioid dan agen
dopaminergik dapat mengurangi nyeri.

Komplikasi Lain
Berupa pneumonia, urosepsis, malnutrisi, jatuh dengan segala akibatnya. Penderita PP
berisiko 3-4 kali Ii pat untuk jatuh dan 9 kali Ii pat untukjatuh berulang. Risiko
kematian akibat jatuh 2 kali Ii pat. Penyebab jatuh pada PP bersifat multifaktorial
dihubungkan dengan instabilitas postural, gangguan keseimbangan, kelemahan otot,
gangguan jalan (freezing, festination), hipotensi ortostatik, lantai yang licin, susunan
lantai yang bertangga, penerangan yang kurang, dan gangguan visual. Adanya
komorbiditas osteoporosis akan memudahkan untuk fraktur walaupun dengan trauma
ringan. Jatuh pada usia lanjut menjadi pangkal utama disabilitas yang menyebabkan
imobilitas dan berlanjut dengan berbagai komplikasi akibat imobilitas yang hampir
mengenai semua sistem organ. Hal ini jelas akan semakin menurunkan kualitas hid up
penderita yang sebelumnya memang sudah menurun akibat progresivitas PP. Faktor
risiko untuk jatuh pada PP adalah riwayat jatuh sebelumnya, gangguan kognitif
(demensia), dan lamanya menderita PP. PP derajat berat, instabilitas postural dan
gangguan jalan (gait disturbance). Penggunaan walker beroda lebih bermanfaat
dibanding tongkat atau walker biasa tanpa roda, karena pada penderita PP kesulitan
untuk memulai gerak. Diperlukan evaluasi dan identifikasi faktor-faktor yang
menyebabkan jatuh untuk mencegah jatuh berulang. Terapi dopaminergik
memperbaiki gejala instabilitas postural, tetapi biasanya respons terapi akan
berkurang pada PP berat.

Anda mungkin juga menyukai