Anda di halaman 1dari 10

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Farmasi Klinik mulai muncul pada tahun 1960-an di Amerika, dengan penekanan pada fungsi
farmasis yang bekerja langsung bersentuhan dengan pasien. Saat itu Farmasi Klinik merupakan
suatu disiplin ilmu dan profesi yang relatif baru, di mana munculnya disiplin ini berawal dari
ketidakpuasan atas norma praktek pelayanan kesehatan saat itu dan adanya kebutuhan yang
meningkat terhadap tenaga kesehatan profesional yang memiliki pengetahuan komprehensif
mengenai pengobatan. Gerakan munculnya Farmasi Klinik di mulai dari University of Michigan
dan University of Kentucky pada tahun 1960-an (Miller, 1981). Menurut Europe Science Clinical
Pharmacy (ESCP), Farmasi Klinik merupakan pelayanan yang diberikan oleh Apoteker di Rumah
Sakit, apotek, perawatan di rumah, klinik dan di manapun, dimana terjadi peresepan dan
penggunaan obat. Adapun tujuan secara menyeluruh aktivitas Farmasi Klinik adalah
meningkatkan penggunaan obat yang tepat dan rasional dan hal ini berarti:
1. Memaksimalkan efek pengobatan yaitu penggunaan obat yang paling efektif untuk setiap
kondisi tertentu pasien.
2. Meminimalkan resiko terjadinya adverse effect yaitu dengan cara memantau terapi dan
kepatuhan pasien terhadap terapi.
3. Meminimalkan biaya pengobatan yang harus di keluarkan oleh pasien atau pemerintah.
Praktek pelayanan Farmasi Klinik di Indonesia relatif baru berkembang pada tahun 2000-an,
dengan dimulainya Apoteker yang belajar farmasi klinik di berbagai institusi di luar negeri.
Belum sepenuhnya penerimaan konsep farmasi klinik oleh tenaga kesehatan di Rumah Sakit
merupakan salah satu faktor lambatnya perkembangan pelayanan farmasi klinik di Indonesia.
Merupakan keganjilan jika apoteker yang semula berfungsi menyiapkan obat di Instalasi Farmasi
Rumah Sakit, kemudian ikut masuk ke bangsal perawatan dan memantau perkembangan
pengobatan pasien, apalagi jika turut memberikan rekomendasi pengobatan, seperti yang lazim
terjadi di negara maju. Farmasis selama ini terkesan kurang meyakinkan untuk bisa memainkan
peran dalam pengobatan. Hal ini kemungkinan besar disebabkan oleh sejarah pendidikan farmasi
yang bersifat monovalen dengan muatan sains yang masih cukup besar (sebelum tahun 2001),
sementara pendidikan ke arah klinik masih sangat terbatas, sehingga menyebabkan farmasis
merasa gamang berbicara tentang penyakit dan pengobatan (Permenkes, 2014). Dalam hadist
juga disebutkan bahwa: “Dan jika kamu menghitung-hitung nikmat Allah, niscaya kamu tak
dapat menentukan jumlahnya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang. [An Nahl:18]”. Menurut Permenkes No.58 tahun 2014 tentang Standar Pelayanan
Kefarmasian di Rumah Sakit merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari sistem pelayanan
kesehatan Rumah Sakit yang berorientasi kepada pelayanan 3 pasien, penyediaan Sediaan
Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis habis pakai yang bermutu dan terjangkau bagi semua
lapisan masyarakat termasuk pelayanan farmasi klinik. Pelayanan Kefarmasian merupakan
kegiatan yang bertujuan untuk mengidentifikasi, mencegah, dan menyelesaikan masalah terkait
obat. Tuntutan pasien dan masyarakat akan peningkatan mutu Pelayanan Kefarmasian,
mengharuskan adanya perluasan dari paradigma lama yang berorientasi kepada produk (drug
oriented) menjadi paradigma baru yang berorientasi pada pasien (patient oriented) dengan filosofi
Pelayanan Kefarmasian (pharmaceutical care) (Permenkes, 2014). Dalam Peraturan Pemerintah
Nomor 51 Tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian juga dinyatakan bahwa dalam
menjalankan praktek Kefarmasian pada fasilitas Pelayanan Kefarmasian, Apoteker harus
menerapkan Standar Pelayanan Kefarmasian yang diamanahkan untuk diatur dengan Peraturan
Menteri Kesehatan. Berdasarkan latar belakang maka perlu untuk melihat perkembangan konsep
Pelayanan Kefarmasian apakah konsep tersebut sudah di terapkan di Rumah Sakit Umum Daerah
milik pemerintah, karena rumah sakit umum daerah yang terbuka pada penelitian dalam upaya
peningkatan pelayanan kesehatan.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian di atas rumusan masalah yang dapat di ambil yaitu apakah Rumah Sakit Umum
Daerah Lombok sudah menerapkan Standar Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit sesuai
Permenkes No.58 tahun 2014 dalam memberikan pelayanan?

c.Keaslian Penelitian

Penelitian ini telah di lakukan sebelumnya oleh Moch Yusuf Zain (2001) tentang “Profil Penerapan
Farmasi Klinik di Rumah Sakit Umum Kotamadya Yogyakarta”. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa: 1. Berdasarkan standar Tim Komisi Akreditasi Rumah Sakit, keberadaan pelayanan farmasi
klinik di Rumah Sakit Umum Kotamadya Yogyakarta rata-rata 22,22%.
2. Farmasis dalam rumah sakit umum di Kotamadya Yogyakarta secara umum memberikan
pelayanan farmasi klinik sebatas informasi obat dan konseling yaitu 66,67% dari keseluruhan Rumah
Sakit Umum Kotamadya Yogyakarta. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya adalah
waktu penelitian, tempat penelitian dan variabel yang digunakan.

D. Tujuan Penelitian

Untuk mengetahui apakah Rumah Sakit milik Pemerintah daerah Lombok sudah menerapkan Standar
Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit sesuai Permenkes No.58 tahun 2014 dalam memberikan
pelayanan. E. Manfaat Penelitian Manfaat penelitian yang diharapkan dari hasil penelitian ini adalah:
1. Bagi Peneliti, untuk menambah pengetahuan dan pengalaman dalam menjalankan profesi sebagai
Apoteker di masa depan. 5 2. Bagi Rumah Sakit, penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai
salah satu masukan dalam memberikan Standar Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit Umum
Daerah Lombok. 3. Bagi Masyarakat, agar masyarakat dapat memperoleh wawasan atau pengetahuan
tentang farmasi klinik. 4. Bagi Pemerintah, sebagai masukan untuk mengevaluasi Standar Pelayanan
Kefarmasian di Rumah Sakit.
BAB II
PEMBAHASAN

Dewasa ini di Indonesia terdapat beberapa masalah kesehatan penduduk yang masih perlu mendapat
perhatian secara sungguh-sungguh dari semua pihak karena dampaknya akan mempengaruhi kualitas
bahan baku sumber daya manusia Indonesia di masa yang akan datang. Di negara kita mereka yang
mempunyai penyakit diperkirakan 15% sedangkan yang merasa sehat atau tidak sakit adalah
selebihnya atau 85%. Selama ini nampak bahwa perhatian yang lebih besar ditujukan kepada mereka
yang sakit. Sedangkan mereka yang berada di antara sehat dan sakit tidak banyak mendapat upaya
promosi. Untuk itu, dalam penyusunan prioritas anggaran, peletakan perhatian dan biaya sebesar 85 %
seharusnya diberikan kepada 85% masyarakat sehat yang perlu mendapatkan upaya promosi
kesehatan.

Kesehatan masyarakat merupakan salah satu modal pokok dalam rangka pertumbuhan dan kehidupan
bangsa. Dalam arti lain, kesehatan masyarakat adalahkombinasi antara teori (ilmu) dan praktik (seni)
yang bertujuan untuk mencegah penyakit, memperpanjang usia hidup, dan meningkatkan kesehatan
penduduk (masyarakat). Untuk mewujudkan hal ini secara optimal diselenggarakan upaya kesehatan.
Upaya kesehatan adalah setiap kegiatan untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan dan tempat
yang digunakan untuk menyelenggarakannya disebut sarana kesehatan. Sarana kesehatan berfungsi
untuk melakukan upaya kesehatan dasar atau upaya kesehatan rujukan dan atau upaya kesehatan
penunjang. Selain itu, sarana kesehatan dapat juga dipergunakan untuk kepentingan pendidikan dan
pelatihan serta penelitian, pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang kesehatan.

Pelayanan farmasi merupakan salah satu kegiatan yang menunjang pelayanan kesehatan yang
bermutu. Seorang farmasi masuk dalam kegiatan upaya kesehatan, yang terdiri atas anamnesa
kefarmasian, diagnosa kefarmasian, tindakan kefarmasian dan evaluasi kefarmasian, selain itu sarana
produksi sediaan farmasi (bahan baku obat, fitofarmaka, obat tradisional, kosmetika, nutrisi
tambahan, alat keshatan rumah tangga) sangat berguna bagi masyarakat. 

Farmasi Dalam Kesehatan Masyarakat


Profesi farmasi hingga kini masih belum sangat dikenal luas oleh masyarakat. Padahal sebenarnya,
farmasi juga memiliki peran yang sangat penting dalam kesehatan masyarakat. Hal ini karena yang
paling kompeten tentang obat-obatan adalah orang-orang farmasi. Keterkaitan farmasis dalam fungsi
kesehatan masyarakat terutam dalam menyusun kebijakan (menyangkut) kesehatan, baik organisasi,
lokal, regional,nasional,maupun internasional.

Parameter umum tentang hubungan farmasis dengan kesehatan masyarakat adalah pengguna anobat
(rasional) yang terkait kebijakan publik. Jika farmasis tidak terlibat dalam penentuan kebijakan
tersebut pelayanan kesehatan masyarakat tidak terlayani secara optimum.

Beberapa hal yang melibatkan farmasis dalam kesehatan masyarakat;


1. Identifikasi health-related public/comm problems: secara luas berprinsip pada epidemiologi,
termasuk pengumpulan data yg diperlukan untuk penentuan penyebab penyakit, efek (obat),
penyembuhan penyakit. masalah yang muncul di antaranya: prevalensidaninsidensipenyakit,
jumlahdanpenderitaan ADRs, tingka tkepatuhan minum obat, biaya, karakteristik peresepan,
kesalahan dispensing, dan pengobatan sendiri.
2. Penentuan prioritas kesehatan: lewat proses legislative/regulasi yaitupenentuanalokasi dana
untukpelaksanaanpelayanankesehatan.
3. Health planning: setelah prioritas ditentukan, program pelaksanaan disusun secara sistematik
sesuai tujuan yang telah ditetapkan.
4. Evaluasi program: data harus dikumpulkan untuk digunakan sebagai umpan balik bagi proses
perencanaan tugas berikutnya, sehingga sistem menjadi dinamik.
5. Reimbur sement/e conomics: alokasi biaya dan pengelolaan nya secara efektif-efisien
merupakan faktor esensial. Kelancaran pembiayaan untuk pelayanan seluruh populasi,
termasuk untuk obat, harus diupayakan secara optimal. 
6. Program legislative/regulasi: penentuan parameter baku mutu pelayanan yang berlaku secara
nasional.
7. Increasing access to health services: farmasis merupakan profesional kesehatan  optimalisasi
fungsi.

Aktivitas farmasis dalam pelayanan kesehatan masyarakat;


1. Imunisasi: dalam pemberian tidak berperan, namun suplai logistik merupakan hal yang
esensial. Hal yang lebih penting adalah peran penyuluh kesehatan pada masyarakat, sehingga
dapat meningkat kan partisipasi.
2. Penyalahgunaan dan penggunaan-salah: obat, alkohol, merokok, zataddiktif yang lain, dosis.
Pendidikan merupakan prioritas penentu.
3. Penyuluhan penularan penyakit seksual: AIDS pendidikan perilaku sehat.
4. Keluarga berencana: penyuluhan dan penyebaran informasi kesehatan: informasidiit, latihan
fisik, konsep health believe.
5. Model, adopsi-inovasi, penggunaan obat secara benar.
6. Fluoridation: keseimbangan elektrolit air bersih, kesehatan gigi.
7. Promosi kesehatan.
8. Pencegahan keracunan: tindakan awal, pertolongan pertama kesehatan, pemberian antidotum.
9. Quackery: obesity, penyakit degeneratif, kronik, menular.
10. Persiapan penanggulangan bahaya dan keadaan darurat: perencanaan penanggulangan bahaya
banjir, gempa, epidemi, pandemi, kecelakaan berat panduan informasi pencegahan,
penanggulangan penyakit, pppk korban, persiapan obat pertama,
11. Pelaksanaannya dalam kelompok terpadu dikelola dengan baik.
12. Perlindungan (monitoring) terhadap lingkungan: dampak semua bentuk polusi terhadap
kesehatan harus diinformasikan kepada masyaraka tperan farmasis sebagai pendidik
kesehatan masyarakat/individual.
13. Keamanan tempat kerja: penjaminan keselamatan tempat kerja, pengobatan sendiri sebagai
pppk, metode pelaporan dan penanggulangan, sehingga dapat segera mendapat
penatalaksanaan yang benar, serta mencegah terulang kembali kejadian yg mirip.
2.1.Perubahan Paradigma Kefarmasian

Pergeseran paradigma kefarmasian dari “Drug Oriented” menjadi “Patient Oriented” merupakan
sebuah hal yang mesti direspon positif oleh semua kalangan, baik itu pemerintah, farmasis maupun
masyarakat. Perubahan paradigma ini melahirkan sebuah produk yang dinamakan dengan
“Pharmaceutical Care”.

Paradigma baru yang dimunculkan oleh ISFI adalah TATAP atau Tiada Apoteker Tiada Pelayanan.
Tapi hal ini memunculkan ketidaksamaan pandangan dan memunculkan beberapa pendapat. Pendapat
pertama adalah 100% setuju dari beberapa apoteker, tanpa menentang paradigma tersebut. Jika tidak
ada tenaga kerja apoteker dalam suatu apotek, maka apotek tersebut dilarang untuk menjalankan
bisnis penyaluran, penjualan atau melakukan distribusi obat ke masyarakat. Pendapat kedua adalah
mereka yang beraliran moderat, dalam arti setuju tapi dengan beberapa pengecualian. Pengecualian
tersebut adalah apotek boleh menjalankan usahanya, akan tetapi dilarang untuk melakukan kegiatan
kefarmasian, seperti menulis kopi resep dari seorang dokter. Pendapat ketiga adalah mereka 100%
tidak setuju terhadap paradigma baru yang dimunculkan ISFI ini. Kesimpulannya, pendapat ini masih
belum disepakati sepenuhnya oleh para apoteker di Indonesia. Untuk menerapkan TATAP kepada
apoteker, para apoteker harus mengubah pola pikir yang telah digunakan sampai saat ini. Apoteker
datang ke apotek bukan untuk bekerja, tetapi menjalankan profesi.

2.2. Farmasi Klinik

Clinical Resources and Audit Group (1996) mendefinisikan farmasi klinik sebagai “ A discipline
concerned with the application of pharmaceutical expertise to help maximise drug efficacy and
minimize drug toxicity in individual patients”. Menurut Siregar (2004) farmasi klinik didefinisikan
sebagai suatu keahlian khas ilmu kesehatan yang bertanggung jawab  untuk memastikan penggunaan
obat yang aman dan sesuai dengan kebutuhan pasien, melalui penerapan pengetahuan dan berbagai
fungsi terspesialisasi dalam perawatan pasien yang memerlukan pendidikan khusus dan atau pelatihan
yang terstruktur. Berdasarkan definisi tersebut, dapat dirumuskan tujuan farmasi klinik yaitu
memaksimalkan efek terapeutik, meminimalkan resiko/toksisitas obat, meminimalkan biaya dan
menghormati pilihan pasien.

Kegiatan farmasi klinik tidak hanya memberikan saran professional pada saat peresepan saja namun
kegiatan farmasi klinik mencakup kegiatan sebelum persepan, saat persepan dan setelah peresepan.
Kegiatan farmasi klinik sebelum peresepan meliputi setiap kegiatan yang mempengaruhi kebijakan 
peresepan, seperti penyusunan formularium rumah sakit, mendukung informasi dalam menetapkan
kebijakan peresepan rumah sakit, evaluasi obat. Kegiatan farmasi klinik selama peresapan contohnya
adalah memberikan saran profesional kepada dokter atau tenaga kesehatan lainnya terkait dengan
terapi pada saat peresepan sedang dilakukan. Sedangkan kegiatan farmasi klinik sesudah peresepan
yaitu setiap kegiatan yang berfokus kepada pengoreksian dan penyempurnaan peresepan, seperti 
monitoring DRPs, monitoring efek obat, outcome research dan Drug Use Evaluation (DUE).

Farmasis klinik berperan dalam mengidentifikasi adanya  Drug Related Problems (DRPs).  Drug
Related Problems (DRPs) adalah suatu kejadian atau situasi yang menyangkut terapi obat, yang
mempengaruhi secara potensial atau aktual hasil akhir pasien. Menurut Koda-Kimble (2005), DRPs
diklasifikasikan, sebagai berikut :
Kebutuhan akan obat (drug needed)

Obat diindikasikan tetapi tidak diresepkan

Problem medis sudah jelas tetapi tidak diterapi

Obat yang diresepkan benar, tetapi tidak digunakan (non compliance)

Tidak ada problem medis yang jelas untuk penggunaan suatu obat

Obat tidak sesuai dengan problem medis yang ada

Problem medis dapat sembuh sendiri tanpa diberi obat duplikasi terapi

Obat mahal, tetapi ada alternatif yang lebih murah

Obat tidak ada diformularium

Pemberian tidak memperhitungkan kondisi pasien

Dosis terlalu tinggi

Penggunaan yang berlebihan oleh pasien (over compliance)

Dosis terlalu rendah

Penggunaan yang kurang oleh pasien (under compliance)

Ketidaktepatan interval dosis

Ketidaktepatan obat (wrong/inappropriate drug)

Ketidaktepatan dosis (wrong / inappropriate dose)

Efek buruk obat (adverse drug reaction)

Efek samping

Alergi

Obat memicu kerusakan tubuh

Obat memicu perubahan nilai pemeriksaan laboratorium

Interaksi antara obat dengan obat/herbal

Interaksi obat dengan makanan

Interaksi obat dengan pengujian laboratorium

Interaksi obat (drug interaction)

Secara garis besar kegiatan farmasi klinik meliputi pemantauan dan evaluasi penggunaan obat,
pelayanan farmasi di bangsal, pelayanan informasi obat, penelitian dan pengembangan. Kegiatan
farmasi klinik memiliki karakteristik, antara lain : berorientsi kepada pasien; terlibat langsung dalam
perawatan pasien; bersifat pasif, dengan melakukan intervensi setelah pengobatan dimulai atau
memberikan informasi jika diperlukan; bersifat aktif, dengan memberikan masukan kepada dokter
atau tenaga kesehatan lainnya terkait dengan pengobatan pasien; bertanggung jawab terhadap setiap
saran yang diberikan; menjadi mitra sejajar dengan profesi kesehatan lainnya (dokter, perawat dan
tenga kesehatan lainnya). Keterampilan dalam melakukan praktek farmasi klinik memerlukan
pemahaman keilmuan, seperti :

Konsep-konsep penyakit (anatomi dan fisiologi manusia, patofisiologi, patogenesis)

Penatalaksanaan Penyakit (farmakologi, farmakoterapi dan product knowledge)

Teknik komunikasi dan konseling

Pemahaman Evidence Based Medicine (EBM)  dan kemampuan melakukan penelusurannya

Keilmuan farmasi praktis lainnya.

2.3 Pharmaceutical care

Secara sederhananya, pharmaceutical care merupakan sebuah bentuk optimalisasi peran apoteker


dalam melakukan terapi obat pada pasien guna meningkatkan derajat kesehatan pasien itu sendiri. Hal
ini berarti mengubah bentuk pekerjaan apoteker yang semula hanya berada di belakang layar menjadi
sebuah profesi yang langsung bersentuhan dengan pasien.

Perubahan ini juga berarti bahwa pekerjaan apoteker tidak lagi hanya meracik dan menyerahkan obat
saja kepada pasien, tetapi bertanggung jawab juga terhadap terapi yang diberikan kepada pasien. Hal
ini berarti pekerjaan kefarmasian di era patient oriented ini jika terlaksana dalam sebuah sistem
kesehatan nasional maka dipastikan akan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat Indonesia.
Karena kompetensi apoteker menjamin keselamatan pasien dalam hal penggunaan obat.

2.4 Fakta yang terjadi di Masyarakat

Perubahan paradigma ini bukan berarti tidak menimbulkan permasalahan. Ada  hal-hal yang menjadi
penyebab sulitnya menerapkan konsep pharmaceutical care dalam dunia kefarmasian Indonesia, di
antaranya adalah ketidaksiapan kompetensi apoteker untuk langsung bersentuhan dengan masyarakat.

Hal ini disebabkan oleh kurikulum perguruan tinggi farmasi yang belum mendukung ke arah ini.
Selama ini, kurikulum pendidikan tinggi farmasi kebanyakan mengarah kepada kurikulum industri
ataupun pengembangan bahan alam. Namun di era pharmaceutical care saat ini, kurikulum perguruan
tinggi farmasi yang ingin mengabdi di ranah pelayanan dituntut berubah ke arah klinis. Perubahan ini
sudah dimulai secara perlahan, namun memang masih jauh dari kesempurnaan. Tetapi setidaknya titik
terang menuju kejayaan kefarmasian sudah terlihat dari hari ini.

Karena untuk menciptakan sebuah derajat kesehatan masyarakat Indonesia, dibutuhkan sebuah sistem
kesehatan nasional yang melibatkan peran peran multi disiplin ilmu: dokter, apoteker, perawat, asisten
apoteker, ahli gizi dan sebagainya. Kesemua disiplin ini bekerja secara interpersonal, artinya saling
ada koordinasi yang mesti terjalin dalam sebuah pelayanan. Contohnya, komunikasi antara apoteker
dengan dokter, apoteker dengan perawat, dokter dengan ahli gizi dan sebagainya.
UNDANG UNDANG YANG MENAUNGI FARMASI

Kode Etik Farmasi dan Peran Kode Etik Farmasi Berdasarkan keputusan Kongres Nasional
XVIII/2009 Ikatan Sarjana Farmasi Indonesia, Nomor 006/Kongers XVIII/ISFI/2009, Mukadimah :
Bahwasanya seorang Apoteker di dalam menjalankan tugas kewajibannya serta dalam mengamalkan
keahliannya harus senantiasa mengharapkan bimbingan dan keridhaan Tuhan Yang Maha Esa.
Apoteker di dalam pengabdiannya kepada nusa dan bangsa serta di dalam mengamalkan keahliannya
selalu berpegang teguh kepada sumpah/janji Apoteker. Menyadari akan hal tersebut Apoteker di
dalam pengabdian profesinya berpedoman pada satu ikatan moral yaitu Kode Etik Apoteker Indonesia
Dalam Pelaksanaan Pekerjaan Kefarmasian Setiap apoteker dalam melakukan pengabdian dan
pengamalan ilmunya harus didasari oleh sebuah niat luhur untuk kepentingan makhluk lain sesuai
dengan tuntunan Tuhan Yang Maha Esa. Sumpah dan janji Apoteker adalah komitmen seorang
apoteker yang harus dijadikan landasan moral dalam pengabdian profesinya. Kode etik sebagai
kumpulan nilai-nilai atau prinsip harus diikuti oleh apoteker sebagai pedoman dan petunkuk serta
standar perilaku dalam bertindak dan mengambil keputusan.

Kewajiban Seorang Apoteker Terhadap Pekerjaan, Rekan Sejawat Dan Profesi Kesehatan Lain.
Pasal 1 Sumpah/Janji Seorang Apoteker harus menjunjung tinggi, menghayati dan mengamalkan
Sumpah / janji Apoteker. Sumpah / janji apoteker yang diucapkan seorang apoteker untuk dapat
diamalkan dalam pengabdiannya, harus dihayati dengan baik dan dijadikan landasan moral dalam
setiap tindakan dan perilaku. Dalam sumpah apoteker ada beberapa poin yang harus diperhatikan,
yaitu :
1. Melaksanakan asuhan kefarmasian
2. Merahasiakan kondisi pasien, resep dan medication record untuk pasien
3. Melaksanakan praktik profesi sesuai landasan praktik profesi yaitu ilmu, hukum dan etik.

Pasal 2 Seorang Apoteker harus berusaha dengan sungguh-sungguh menghayati dan mengamalkan
Kode Etik Apoteker Indonesia. Kesungguhan dalam menghayati dan mengamalkan kode etik apoteker
Indonesia dinilai dari : ada tidaknya laporan masyarakat, ada tidaknya laporan dari sejawat apoteker
atau sejawat tenaga kesehatan lain, serta tidak ada laporan dari sejawat apoteker atau sejawat tenaga
kesehatan lain, serta tidak ada laporan dari dinas kesehatan. Pengaturan pemberian sanksi ditetapkan
dalam peraturan organisasi (PO).
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Dari pembahasan di atas dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:


Pergeseran paradigma kefarmasian yang terjadi adalah perubahan paradigm dari “Drug Oriented”
menjadi “Patient Oriented” yang merupakan sebuah hal yang mesti direspon positif oleh semua
kalangan

 Farmasi klinik adalah suatu keahlian khas ilmu kesehatan yang bertanggung jawab  untuk
memastikan penggunaan obat yang aman dan sesuai dengan kebutuhan pasien, melalui penerapan
pengetahuan dan berbagai fungsi terspesialisasi dalam perawatan pasien yang memerlukan pendidikan
khusus dan atau pelatihan yang terstruktur

Pharmaceutical care adalah sebuah bentuk optimalisasi peran apoteker dalam melakukan terapi obat
pada pasien guna meningkatkan derajat kesehatan pasien itu sendiri.

Kenyataan di masyarakat saat ini tentang perubahan paradigma tersebut adalah sulitnya menerapkan
konsep pharmaceutical care dalam dunia kefarmasian Indonesia, di antaranya adalah ketidaksiapan
kompetensi apoteker untuk langsung bersentuhan dengan masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2013. Era Baru Dunia Kefarmasian Indonesia. (Online). Tersedia:

http://majalahkesehatan.com/era-baru-dunia-kefarmasian-indonesia/html. (05/02/2021. 15:03 pm).

Anonim.2012. Paradigma Baru Pola Fikir Baru. (online). Tersedia:

http://www.ikatanapotekerindonesia.net/pharmacy-news/32-pharmaceutical  information/379

paradigma-baru-pola-pikir-baru.html.(05/02/2021.15.20 pm).

Anda mungkin juga menyukai