Anda di halaman 1dari 53

kizofrenia adalah gangguan kejiwaan dan kondisi medis yang mempengaruhi fungsi otak

manusia, mempengaruhi fungsi normal kognitif, emosional dan tingkah laku.[1] Ia adalah
gangguan jiwa psikotik paling lazim dengan ciri hilangnya perasaan afektif atau respons
emosional dan menarik diri dari hubungan antarpribadi normal. Sering kali diikuti dengan delusi
(keyakinan yang salah) dan halusinasi (persepsi tanpa ada rangsang pancaindra).

Daftar isi
 1 Jenis Skizofrenia
o 1.1 Paranoid Skizofrenia
o 1.2 Skizofrenia Tidak Teratur
o 1.3 Katatonia Skizofrenia
o 1.4 Dibedakan Skizofrenia
o 1.5 Sisa Skizofrenia
 2 Penyebab
 3 Gejala
 4 Organisasi Pendukung
 5 Rumah Sakit
 6 Rujukan
 7 Referensi
 8 Pranala luar

Jenis Skizofrenia
Paranoid Skizofrenia

Jenis skizofrenia dimana penderitanya mengalami bayangan dan khayalan tentang penganiayaan
dan kontrol dari orang lain dan juga kesombongan yang berdasarkan kepercayaan bahwa
penderitanya itu lebih mampu dan lebih hebat dari orang lain.[2]

Skizofrenia Tidak Teratur

Jenis skizofrenia yang sifatnya ditandai terutama oleh gangguan dan kelainan di pikiran.
Seseorang yang menderita skizofrenia sering menunjukkan tanda tanda emosi dan eksspressi
yang tidak esuai untuk keadaan nya. Halusinasi dan khayalan adalah gejala gejala yang sering
dialami untuk orang yang mederita skizofrenia jenis ini. [3]

Katatonia Skizofrenia

Jenis skizofrenia yang ditandai dengan berbagai gangguan motorik, termasuk kegembiraan
ekstrim dan pingsan. orang yang menderita bentuk skizofrenia ini akan menampilkan gejala
negatif: postur katatonik dan fleksibilitas seperti lilin yang bisa di pertahankan dalam turun
waktu yang panjang. [4]
Dibedakan Skizofrenia

Jenis skizofrenia dimana penderita penyakitnya memiliki delusi, halusinasi dan perilaku tidak
teratur tetapi tidak memenuhi kriteria untuk skizofrenia paranoid, tidak teratur, atau katatonik. [5]

Sisa Skizofrenia

Skizofrenia sisa akan di diagnosis ketika setidaknya epsiode dari salah satu dari empat jenis
skizofrenia yang lainnya telah terjadi. Tetapi skizofrenia ini tidak mempunyai satu gejala positif
yang menonjol.[6]

Penyebab
Pengaruh Neurobiologis Ada beberapa teori tentang pengaruh neurogiologis yang menyebabkan
Skizorenia. Salah satunya adalah ketidakseimbangan pada dopamin, yaitu salah satu sel kimia
dalam otak.

Pada pasien penderita, ditemukan penurunan kadar transtiretin atau pre-albumin yang merupakan
pengusung hormon tiroksin, yang menyebabkan permasalahan pada zalir serebrospinal.[7]

Skizofrenia bisa mengenai siapa saja. Data American Psychiatric Association (APA) tahun 1995
menyebutkan 1% populasi penduduk dunia menderita skizofrenia.

75% penderita skizofrenia mulai mengidapnya pada usia 16-25 tahun.[8] Usia remaja dan dewasa
muda memang berisiko tinggi karena tahap kehidupan ini penuh stresor. Kondisi penderita sering
terlambat disadari keluarga dan lingkungannya karena dianggap sebagai bagian dari tahap
penyesuaian diri.

Pengenalan dan intervensi dini berupa obat dan psikososial sangat penting karena semakin lama
ia tidak diobati, kemungkinan kambuh semakin sering dan resistensi terhadap upaya terapi
semakin kuat. Seseorang yang mengalami gejala skizofrenia sebaiknya segera dibawa ke
psikiater dan psikolog.

Gejala
Indikator premorbid (pra-sakit) pre-skizofrenia antara lain

1. ketidakmampuan seseorang mengekspresikan emosi: wajah dingin, jarang tersenyum,


acuh tak acuh.
2. Penyimpangan komunikasi: pasien sulit melakukan pembicaraan terarah, kadang
menyimpang (tanjential) atau berputar-putar (sirkumstantial).
3. Gangguan atensi: penderita tidak mampu memfokuskan, mempertahankan, atau
memindahkan atensi.
4. Gangguan perilaku: menjadi pemalu, tertutup, menarik diri secara sosial, tidak bisa
menikmati rasa senang, menantang tanpa alasan jelas, mengganggu dan tak disiplin.
Gejala-gejala skizofrenia pada umumnya bisa dibagi menjadi dua kelas:

1. Gejala-gejala Positif
Termasuk halusinasi, delusi, gangguan pemikiran (kognitif). Gejala-gejala ini disebut
positif karena merupakan manifestasi jelas yang dapat diamati oleh orang lain.
2. Gejala-gejala Negatif
Gejala-gejala yang dimaksud disebut negatif karena merupakan kehilangan dari ciri khas
atau fungsi normal seseorang. Termasuk kurang atau tidak mampu
menampakkan/mengekspresikan emosi pada wajah dan perilaku, kurangnya dorongan
untuk beraktivitas, tidak dapat menikmati kegiatan-kegiatan yang disenangi dan
kurangnya kemampuan bicara (alogia).

Meski bayi dan anak-anak kecil dapat menderita skizofrenia atau penyakit psikotik yang lainnya,
keberadaan skizofrenia pada grup ini sangat sulit dibedakan dengan gangguan kejiwaan seperti
autisme, sindrom Asperger atau ADHD atau gangguan perilaku dan gangguan Post Traumatic
Stress Disorder. Oleh sebab itu diagnosa penyakit psikotik atau skizofrenia pada anak-anak kecil
harus dilakukan dengan sangat berhati-hati oleh psikiater atau psikolog yang bersangkutan.

Pada remaja perlu diperhatikan kepribadian pra-sakit yang merupakan faktor predisposisi
skizofrenia, yaitu gangguan kepribadian paranoid atau kecurigaan berlebihan, menganggap
semua orang sebagai musuh. Gangguan kepribadian skizoid yaitu emosi dingin, kurang mampu
bersikap hangat dan ramah pada orang lain serta selalu menyendiri. Pada gangguan skizotipal
orang memiliki perilaku atau tampilan diri aneh dan ganjil, afek sempit, percaya hal-hal aneh,
pikiran magis yang berpengaruh pada perilakunya, persepsi pancaindra yang tidak biasa, pikiran
obsesif tak terkendali, pikiran yang samar-samar, penuh kiasan, sangat rinci dan ruwet atau
stereotipik yang termanifestasi dalam pembicaraan yang aneh dan inkoheren.

Tidak semua orang yang memiliki indikator premorbid pasti berkembang menjadi skizofrenia.
Banyak faktor lain yang berperan untuk munculnya gejala skizofrenia, misalnya stresor
lingkungan dan faktor genetik. Sebaliknya, mereka yang normal bisa saja menderita skizofrenia
jika stresor psikososial terlalu berat sehingga tak mampu mengatasi. Beberapa jenis obat-obatan
terlarang seperti ganja, halusinogen atau amfetamin (ekstasi) juga dapat menimbulkan gejala-
gejala psikosis.

Penderita skizofrenia memerlukan perhatian dan empati, namun keluarga perlu menghindari
reaksi yang berlebihan seperti sikap terlalu mengkritik, terlalu memanjakan dan terlalu
mengontrol yang justru bisa menyulitkan penyembuhan. Perawatan terpenting dalam
menyembuhkan penderita skizofrenia adalah perawatan obat-obatan antipsikotik yang
dikombinasikan dengan perawatan terapi psikologis.

Kesabaran dan perhatian yang tepat sangat diperlukan oleh penderita skizofrenia. Keluarga perlu
mendukung serta memotivasi penderita untuk sembuh. Kisah John Nash, doktor ilmu
matematika dan pemenang hadiah Nobel 1994 yang mengilhami film A Beautiful Mind,
membuktikan bahwa penderita skizofrenia bisa sembuh dan tetap berprestasi.

Organisasi Pendukung
Komunitas Peduli Skizofrenia Indonesia(KPSI) adalah sebuah komunitas pendukung Orang
Dengan Skizofrenia (ODS) dan keluarganya yang memfokuskan diri pada kegiatan
mempromosikan kesehatan mental bagi masyarakat Indonesia pada umumnya. Keberhasilan
ODS dalam pemulihan sangat tergantung kepada pemahaman keluarga tentang skizofrenia.

Komunitas ini juga bertujuan memberikan informasi tentang skizofrenia yang tepat kepada
masyarakat guna memerangi stigma negatif terhadap ODS. Orang Dengan Skizofrenia sama
sekali tidak membahayakan, bahkan mereka sangat membutuhkan dukungan semua orang.
Dengan adaptasi yang tepat, mereka juga dapat bekerja dengan baik seperti orang normal.

Kegiatan penting yang dilakukan komunitas ini adalah menterjemahkan swadaya atas artikel-
artikel penting tentang skizofrenia dan panduan-panduan keluarga. Kegiatan edukasi berupa kopi
darat juga dilakukan untuk saling berbagi pengalaman antar keluarga maupun narasumber.
Rencananya KPSI juga akan menerbitkan buku kisah sejati tentang dukungan keluarga.

Rumah Sakit

BAB I

PENDAHULUAN

Dalam sejarah perkembangan skizofrenia sebagai gangguan klinis, banyak tokoh psikiatri
dan neurologi yang berperan. Mula-mula Emil Kreaplin (18-1926) menyebutkan
gangguan dengan istilah dementia prekok yaitu suatu istilah yang menekankan proses
kognitif yang berbeda dan onset pada masa awal. Istilah skizofrenia itu sendiri
diperkenalkan oleh Eugen Bleuler (1857-1939), untuk menggambarkan munculnya
perpecahan antara pikiran, emmosi dan perilaku pada pasien yang mengalami gangguan
ini. Bleuler mengindentifikasi symptom dasar dari skizofrenia yang dikenal dengan 4A
antara lain : Asosiasi, Afek, Autisme dan Ambivalensi.

Skizofrenia merupakan gangguan psikotik yang paling sering, hampir 1% penduduk


dunia menderita psikotik selama hidup mereka di Amerika. Skizofrenia lebih sering
terjadi pada Negara industri terdapat lebih banyak populasi urban dan pada kelompok
sosial ekonomi rendah.
Walaupun insidennya hanya 1 per 1000 orang di Amerika Serikat, skizofrenia seringkali
ditemukan di gawat darurat karena beratnya gejala, ketidakmampuan untuk merawat diri,
hilangnya tilikan dan pemburukan sosial yang bertahap. Kedatangan diruang gawat
darurat atau tempat praktek disebabkan oleh halusinasi yamg menimbulkan ketegangan
yang mungkin dapat mengancam jiwa baik dirinya maupun orang lain, perilaku kacau,
inkoherensi, agitasi dan penelantaran.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II.1 DEFINISI

Skizofrenia berasal dari bahasa Yunani, “schizein”yang berarti “terpisah”atau


“pecah”, dan “phren” yang artinya “jiwa”. Pada skizofrenia terjadi pecahnya atau
ketidakserasian antara afeksi, kognitif dan perilaku. Secara umum, simptom skizofrenia
dapat dibagi menjadi tiga golongan: yaitu simptom positif, simptom negative, dan
gangguan dalam hubungan interpersonal.

Skizofrenia merupakan suatu deskripsi dengan variasi penyebab (banyak belum


diketahui) dan perjalanan penyakit (tak selalu bersifat kronis atau “deteriorating”) yang
luas, serta sejumlah akibat yang tergantung pada perimbangan pengaruh genetik, fisik,
dan sosial budaya.

Pada umumnya ditandai oleh penyimpangan yang fundamental dan karakteristik


dari pikiran dan persepsi , serta oleh afek yang tidak wajar (inappropriate) atau tumpul
(blunted). Kesadaran yang jernih (clear consciousness) dan kemampuan intelektual
biasanya tetap terpelihara, walaupun kemunduran kognitif tertentu dapat berkembang
kemudian.

II.2 EPIDEMIOLOGI

Sekitar satu persen penduduk dunia akan mengidap skizofrenia pada suatu waktu
dalam hidupnya. Di Indonesia diperkirakan satu sampai dua persen penduduk atau sekitar
dua sampai empat juta jiwa akan terkena penyakit ini. Bahkan sekitar sepertiga dari
sekitar satu sampai dua juta yang terjangkit penyakit skizofrenia ini atau sekitar 700 ribu
hingga 1,4 juta jiwa kini sedang mengidap skizofrenia. Perkiraan angka ini disampaikan
Dr LS Chandra, SpKJ dari Sanatorium Dharmawangsa Jakarta Selatan.

Tiga per empat dari jumlah pasien skizofrenia umumnya dimulai pada usia 16
sampai 25 tahun pada laki-laki. Pada kaum perempuan, skizofrenia biasanya mulai diidap
pada usia 25 hingga 30 tahun. Penyakit yang satu ini cenderung menyebar di antara
anggota keluarga sedarah.

II.3 ETIOLOGI

1. Model Diatesis-stres

Merupakan integrasi faktor biologis, faktor psikososial, faktor lingkungan.


Model ini mendalilkan bahwa seseorang mungkin memiliki suatu kerentanan spesifik
(diatessis) yang jika dikenai oleh suatu pengaruh lingkungan yang menimbulkan
stress, memungkinkan perkembangan skizofrenia.

Komponen lingkungan mungkin biologikal (seperti infeksi) atau psikologis


(missal kematian orang terdekat). Sedangkan dasar biologikal dari diatesis
selanjutnya dapat terbentuk oleh pengaruh epigenetik seperti penyalahgunaan obat,
stress psikososial , dan trauma.

Kerentanan yang dimaksud disini haruslah jelas, sehingga dapat menerangkan


mengapa orang tersebut dapat menjadi skizofren. Semakin besar kerentanan
seseorang maka stressor kecilpun dapat menyebabkan menjadi skizofren. Semakin
kecil kerentanan maka butuh stressor yang besar untuk membuatnya menjadi
penderita skizofren. Sehingga secara teoritis seseorang tanpa diathese tidak akan
berkembang menjadi skizofren, walau sebesar apapun stressornya.

2. Faktor Neurobiologi
Penelitian menunjukkan bahwa pada pasien skizofrenia ditemukan adanya
kerusakan pada bagian otak tertentu. Namun sampai kini belum diketahui bagaimana
hubungan antara kerusakan pada bagian otak tertentu ddengan munculnya simptom
skizofrenia.

Terdapat beberapa area tertentu dalam otak yang berperan dalam membuat
seseorang menjadi patologis, yaitu sitem limbik, korteks frontal, cerebellum dan
ganglia basalis. Keempat area tersebut saling berhubungan, sehingga disfungsi pada
satu area mungkin melibatkan proses patologis primer pada area yang lain. Dua hal
yang menjadi sasaran penelitian adalah waktu dimana kerusakan neuropatologis
muncul pada otak, dan interaksi antara kerusakan tersebut dengan stressor lingkungan
dan sosial.

Hipotesa Dopamin

Menurut hipotesa ini, skizofrenia terjadi akibat dari peningkatan aktivitas


neurotransmitter dopaminergik. Peningkatan ini mungkin merupakan akibat dari
meningkatnya pelepasan dopamine, terlalu banyaknya reseptor dopamine, turunnya
nilai ambang, atau hipersentivitas reseptor dopamine, atau kombinasi dari faktor-
faktor tersebut. Munculnya hipotesa ini berdasarkan observasi bahwa :

a. Ada korelasi antara efektivitas dan potensi suatu obat antipsikotik dengan
kemampuannya bertindak sebagai antagonis reseptor dopamine D2.

b. Obat yang meningkatkan aktivitas dopaminergik- seperti amphetamine-dapat


menimbulkan gejala psikotik pada siapapun.

3. Faktor Genetika

Penelitian tentang genetik telah membuktikan faktor genetik/keturunan


merupakan salah satu penyumbang bagi jatuhnya seseorang menjadi skizofren.
Resiko seseorang menderita skizofren akan menjadi lebih tinggi jika terdapat anggota
keluarga lainnya yang juga menderita skizofren, apalagi jika hubungan keluarga
dekat. Penelitian terhadap anak kembar menunjukkan keberadaan pengaruh genetik
melebihi pengaruh lingkungan pada munculnya skizofrenia, dan kembar satu telur
memiliki kemungkinan lebih besar untuk mengalami skizofrenia.

Tabel 1.
Prevalensi skizofrenia pada populasi tertentu dalam Saddock&Saddock
(2003)

Populasi
Prevalensi

Populasi umum 1%

Saudara kandung pasien skizofren 8%

Anak dengan salah satu orangtua skizofren 12%

Kembar dua telur dari pasien skizofren 12%

Anak dengan kedua orangtua skizofren 40%

Kembar satu telur dari pasien skizofren 47 %

4. Faktor Psikososial

4.1 Teori Tentang Individu Pasien

a. Teori Psikoanalitik

Freud beranggapan bahwa skizofrenia adalah hasil dari fiksasi


perkembangan, yang muncul lebih awal daripada gangguan neurosis. Jika
neurosis merupakan konflik antara id dan ego, maka psikosis merupakan
konflik antara ego dan dunia luar. Menurut Freud, kerusakan ego (ego defect)
memberikan kontribusi terhadap munculnya simptom skizofrenia. Disintegrasi
ego yang terjadi pada pasien skizofrenia merepresentasikan waktu dimana ego
belum atau masih baru terbentuk.

Konflik intrapsikis yang berasal dari fiksasi pada masa awal serta
kerusakan ego-yang mungkin merupakan hasil dari relasi obyek yang buruk-
turut memperparah symptom skizofrenia. Hal utama dari teori Freud tentang
skizofrenia adalah dekateksis obyek dan regresi sebagai respon terhadap
frustasi dan konflik dengan orang lain.

Harry Stack Sullivan mengatakan bahwa gangguan skizofrenia


disebabkan oleh kesulitan interpersonal yangyang etrjadi sebelumnya,
terutama yang berhubungan dengan apa yang disebutnya pengasuhan ibu yang
salah, yaitu cemas berlebihan.

Secara umum, dalam pandangan psikoanalitik tentang skizofrenia,


kerusakan ego mempengaruhi interprestasi terhadap realitas dan kontrol
terhadap dorongan dari dalam, seperti seks dan agresi. Gangguan tersebut
terjadi akibat distorsi dalam hubungan timbal balik ibu dan anak.

Berbagai simptom dalam skizofrenia memiliki makna simbolis bagi


masing-masing pasien. Misalnya fantasi tentang hari kiamat mungkin
mengindikasikan persepsi individu bahwa dunia dalamnya telah hancur.
Halusinasi mungkin merupakan substitusi dari ketidakmampuan pasien untuk
menghadapi realitas yang obyektif dan mungkin juga merepresentasikan
ketakutan atau harapan terdalam yang dimilikinya.

b. Teori Psikodinamik

Berbeda dengan model yang kompleks dari Freud, pandangan


psikodinamik setelahnya lebih mementingkan hipersensitivitas terhadap
berbagai stimulus. Hambatan dalam membatasi stimulus menyebabkan
kesulitan dalam setiap fase perkembangan selama masa kanak-kanak dan
mengakibatkan stress dalam hubungan interpersonal.
Menurut pendekatan psikodinamik, simptom positif diasosiasikan
dengan onset akut sebagai respon terhadap faktor pemicu/pencetus, dan erat
kaitannya dengan adanya konflik. Simptom negatif berkaitan erat dengan
faktor biologis, dan karakteristiknya adalah absennya perilaku/fungsi tertentu.
Sedangkan gangguan dalam hubungan interpersonal mungkin timbul akibat
konflik intrapsikis, namun mungkin juga berhubungan dengan kerusakan ego
yang mendasar.

Tanpa memandang model teoritisnya, semua pendekatan psikodinamik


dibangun berdasarkan pemikiran bahwa symptom-simptom psikotik memiliki
makna dalam skizofrenia. Misalnya waham kebesaran pada pasien mungkin
timbul setelah harga dirinya terluka. Selain itu, menurut pendekatan ini,
hubungan dengan manusia dianggap merupakan hal yang menakutkan bagi
pengidap skizofrenia.

c. Teori Belajar

Menurut teori ini, orang menjadi skizofrenia karena pada masa kanak-
kanak ia belajar pada model yang buruk. Ia mempelajari reaksi dan cara pikir
yang tidak rasional dengan meniru dari orangtuanya, yang sebenarnya juga
memiliki masalah emosional.

4.2 Teori Tentang Keluarga

Beberapa pasien skizofrenia-sebagaimana orang yang mengalami


nonpsikiatrik-berasal dari keluarga dengan disfungsi, yaitu perilaku keluarga yang
patologis, yang secara signifikan meningkatkan stress emosional yang harus
dihadapi oleh pasien skizofrenia. Antara lain:

Double Bind

Konsep yang dikembangkan oleh Gregory Bateson untuk menjelaskan


keadaan keluarga dimana anak menerima pesan yang bertolak belakang dari
orangtua berkaitn dengan perilaku, sikap maupun perasaannya. Akibatnya anak
menjadi bingung menentukan mana pesan yang benar, sehingga kemudian ia
menarik diri kedalam keadaan psikotik untuk melarikan diri dari rasa konfliknya
itu.

Schims and Skewed Families

Menurut Theodore Lidz, pada pola pertama, dimana terdapat perpecahan


yang jelas antara orangtua, salah satu orang tua akan menjadi sangat dekat dengan
anak yang berbeda jenis kelaminnya. Sedangkan pada pola keluarga skewed,
terjadi hubungan yang tidak seimbang antara anak dengan salah satu orangtua
yang melibatkan perebutan kekuasaan antara kedua orangtua, dan menghasilkan
dominasi dari salah satu orang tua.

Pseudomutual and Pseudohostile Families

Dijelaskan oleh Lyman Wynne, beberapa keluarga men-suppress ekspresi


emosi dengan menggunakan komunikasi verbal yang pseudomutual atau
pseudohostile secara konsisten. Pada keluarga tersebut terdapat pola komunikasi
yang unik, yang mungkin tidak sesuai dan menimbulkan masalah jika anak
berhubungan dengan orang lain di luar rumah.

Ekspresi Emosi

Orang tua atau pengasuh mungkin memperlihatkan sikap kritis, kejam dan
sangat ingin ikut campur urusan pasien skizofrenia. Banyak penelitian
menunjukkan keluarga dengan ekspresi emosi yang tinggi (dalam hal apa yang
dikatakan maupun maksud perkataan) meningkatkan tingkat relapse pada pasien
skizofrenia.

4.3 Teori Sosial

Beberapa teori menyebutkan bahwa industrialisasi dan urbanisasi banyak


berpengaruh dalam menyebabkan skizofrenia. Meskipun ada data pendukung, namun
penekanan saat ini adalah dalam mengetahui pengaruhnya terhadap waktu timbulnya
onset dan keparahan penyakit.

II.4 GEJALA KLINIS

Gejala-gejala skizofrenia dapat dibagi menjadi dua kelompok menurut Bleuler, yaitu
primer dan sekunder.

Gejala-gejala primer :

1. Gangguan proses pikiran (bentuk, langkah, isi pikiran).

Pada skizofrenia inti gangguan memang terdapat pada proses pikiran. Yang
terganggu terutama ialah asosiasi. Kadang-kadang satu ide belum selesai diutarakan,
sudah timbul ide lain. Atau terdapat pemindahan maksud, umpamanya maksudnya
“tani” tetapi dikatakan “sawah”.

Tidak jarang juga digunakan arti simbolik, seperti dikatakan “merah” bila
dimaksudkan “berani”. Atau terdapat “clang association” oleh karena pikiran sering
tidak mempunyai tujuan tertentu, umpamanya piring-miring, atau “…dulu waktu hari,
jah memang matahari, lalu saya lari…”. Semua ini menyebabkan jalan pikiran pada
skizofrenia sukar atau tidak dapat diikuti dan dimengerti. Hal ini dinamakan
inkoherensi. Jalan pikiran mudah dibelokkan dan hal ini menambah inkoherensinya.

Seorang dengan skizofrenia juga kecenderungan untuk menyamakan hal-hal,


umpamanya seorang perawat dimarahi dan dipukuli, kemudian seorang lain yang ada
disampingnya juga dimarahi dan dipukuli.

Kadang-kadang pikiran seakan berhenti, tidak timbul ide lagi. Keadaan ini
dinamakan “blocking”, biasanya berlangsung beberapa detik saja, tetapi kadang-
kadang sampai beberapa hari.

Ada penderita yang mengatakan bahwa seperti ada sesuatu yang lain didalamnya
yang berpikir, timbul ide-ide yang tidak dikehendaki: tekanan pikiran atau “pressure
of thoughts”. Bila suatu ide berulang-ulang timbul dan diutarakan olehnya dinamakan
preseverasi atau stereotipi pikiran.

Pikiran melayang (flight of ideas) lebih sering inkoherensi. Pada inkoherensi


sering tidak ada hubungan antara emosi dan pikiran, pada pikiran melayang selalu ada
efori. Pada inkoherensi biasanya jalan pikiran tidak dapat diikuti sama sekali, pada
pikiran melayang ide timbul sangat cepat, tetapi masih dapat diikuti, masih bertujuan.

2. Gangguan afek dan emosi

Gangguan ini pada skizofrenia mungkin berupa :

Kedangkalan afek dan emosi (“emotional blunting”), misalnya penderita menjadi


acuh tak acuh terhadap hal-hal penting untuk dirinya sendiri seperti keadaan
keluarganya dan masa depannya. Perasaan halus sudah hilang.

Parathimi : apa yang seharusnya menimbulkan rasa senang dan gembira, pada
penderita timbul rasa sedih atau marah.

Paramimi : penderita merasa senang dan gembira, akan tetapi ia menangis.


Parathimi dan paramimi bersama-sama dalam bahasa Inggris dinamakan
“incongruity of affect” dalam bahasa Belanda hal ini dinamakan “inadequat”.

Kadang-kadang emosi dan afek serta ekspresinya tidak mempunyai kesatuan,


umpamanya sesudah membunuh anaknya penderita menangis berhari-hari, tetapi
mulutnya tertawa. Semua ini merupakan gangguan afek dan emosi yang khas
untuk skizofrenia. Gangguan afek dan emosi lain adalah :

Emosi yang berlebihan, sehingga kelihatan seperti dibuat-buat, seperti


penderita yang sedang bermain sandiwara.

Yang penting juga pada skizofrenia adalah hilangnya kemampuan untuk


melakukan hubungan emosi yang baik (“emotional rapport”). Karena itu
sering kita tidak dapat merasakan perasaan penderita.
Karena terpecah belahnya kepribadian, maka dua hal yang berlawanan
mungkin terdapat bersama-sama, umpamanya mencintai dan membenci satu
orang yang sama ; atau menangis dan tertawa tentang satu hal yang sama. Ini
dinamakan ambivalensi pada afek.

3. Gangguan kemauan

Banyak penderita dengan skizofrenia mempunyai kelemahan kemauan. Mereka


tidak dapat mengambil keputusan., tidak dapat bertindak dalam suatu keadaan.
Mereka selalu memberikan alasan, meskipun alasan itu tidak jelas atau tepat,
umpamanya bila ditanyai mengapa tidak maju dengan pekerjaan atau mengapa
tiduran terus. Atau mereka menganggap hal itu biasa saja dan tidak perlu diterangkan.

Kadang-kadang penderita melamun berhari-hari lamanya bahkan berbulan-bulan.


Perilaku demikian erat hubungannya dengan otisme dan stupor katatonik.

Negativisme : sikap atau perbuatan yang negative atau berlawanan terhadap suatu
permintaan.

Ambivalensi kemauan : menghendaki dua hal yang berlawanan pada waktu yang
sama, umpamanya mau makan dan tidak mau makan; atau tangan diulurkan untuk
berjabat tangan, tetapi belum sampai tangannya sudah ditarik kembali; hendak masuk
kedalam ruangan, tetapi sewaktu melewati pintu ia mundur, maju mundur. Jadi
sebelum suatu perbuatan selesai sudah timbul dorongan yang berlawanan.

Otomatisme : penderita merasa kemauannya dipengaruhi oleh orang lain atau tenaga
dari luar, sehingga ia melakukan sesuatu secara otomatis.

4. Gejala psikomotor

Juga dinamakan gejala-gejala katatonik atau gangguan perbuatan. Kelompok


gejala ini oleh Bleuler dimasukkan dalam kelompok gejala skizofrenia yang sekunder
sebab didapati juga pada penyakit lain.
Sebetulnya gejala katatonik sering mencerminkan gangguan kemauan. Bila
gangguan hanya ringan saja, maka dapat dilihat gerakan-gerakan yang kurang luwes
atau yang agak kaku. Penderita dalma keadaan stupor tidak menunjukkan pergerakan
sama sekali. Stupor ini dapat berlangsung berhari-hari, berbulan-bulan dan kadang-
kadang bertahun-tahun lamanya pada skizofrenia yang menahun. Mungkin penderita
mutistik. Mutisme dapat disebabkan oleh waham, ada sesuatu yang melarang ia
bicara. Mungkin juga oleh karena sikapnya yang negativistik atau karena hubungan
penderita dengan dunia luar sudah hilang sama sekali hingga ia tidak ingin
mengatakan apa-apa lagi.

Sebaliknya tidak jarang penderita dalam keadaan katatonik menunjukkan


hiperkinesa, ia terus bergerak saja, maka keadaan ini dinamakan logorea. Kadang-
kadang penderita menggunakan atau membuat kata-kata yang baru: neologisme.

Berulang-ulang melakukan suatu gerakan atau sikap disebut stereotipi;


umpamanya menarik-narik rambutnya, atau tiap kali mau menyuap nasi mengetok
piring dulu beberapa kali. Keadaan ini dapat berlangsung beberapa hari sampai
beberapa tahun. Stereotipi pembicaraan dinamakan verbigerasi, kata atau kalimat
diulang-ulangi. Mannerisme adalah stereotipi yang tertentu pada skizofrenia, yang
dapat dilihat dalam bentuk grimas pada mukanya atau keanehan berjalan dan gaya.

Gejala katalepsi ialah bila suatu posisi badan dipertahankan untuk waktu yang
lama. Fleksibilitas cerea: bila anggota badan dibengkokkan terasa suatu tahanan
seperti pada lilin.

Negativisme : menentang atau justru melakukan yang berlawanan dengan apa


yang disuruh. Otomatisme komando (“command automatism”) sebetulnya merupakan
lawan dari negativisme : semua perintah dituruti secara otomatis, bagaimana
ganjilpun.Termasuk dalam gangguan ini adalah echolalia (penderita meniru kata-kata
yang diucapkan orang lain) dan ekophraksia (penderita meniru perbuatan atau
pergerakan orang lain).

Gejala-gejala sekunder :
1. Waham

Pada skizofrenia, waham sering tidak logis sama sekali dan sangat bizarre. Tetapi
penderita tidak menginsafi hal ini dan untuk dia wahamnya adalah fakta dan tidak
dapat diubah oleh siapapun. Sebaliknya ia tidak mengubah sikapnya yang
bertentangan, umpamanya penderita berwaham bahwa ia raja, tetapi ia bermain-main
dengan air ludahnya dan mau disuruh melakukan pekerjaan kasar. Mayer gross
membagi waham dalam dua kelompok yaitu waham primer dan waham sekunder,
waham sistematis atau tafsiran yang bersifat waham (delutional interpretations).

Waham primer timbul secara tidak logis sama sekali, tanpa penyebab apa-apa
dari luar. Menurur Mayer-Gross hal ini hampir patognomonis buat skizofrenia.
Umpamanya istrinya sedang berbuat serong sebab ia melihat seekor cicak berjalan
dan berhenti dua kali, atau seorang penderita berkata “dunia akan kiamat sebab ia
melihgat seekor anjing mengangkat kaki terhadap sebatang pohin untuk kencing.

Waham sekunder biasanya logis kedengarannya dapat diikuti dan merupakan


cara bagi penderita untuk menerangkan gejala-gejala skizofrenia lain. Waham
dinamakan menurut isinya :waham kebesaran atau ekspansif, waham nihilistik,
waham kejaran, waham sindiran, waham dosa, dan sebagainya.

2. Halusinasi

Pada skizofrenia, halusinasi timbul tanpa penurunan kesadaran dan hal ini merupakan
gejala yang hampir tidak dijumpai dalam keadaan lain. Paling sering pada keadaan
sskizofrenia ialah halusinasi (oditif atau akustik) dalam bentuk suara manusia, bunyi
barang-barang atau siulan. Kadang-kadang terdapat halusinasi penciuman
(olfaktorik), halusinasi citrarasa (gustatorik) atau halusinasi singgungan (taktil).
Umpamanya penderita mencium kembang kemanapun ia pergi, atau ada orang yang
menyinarinya dengan alat rahasia atau ia merqasa ada racun dalammakanannya
Halusinasi penglihatan agak jarang pada skizofrenia lebih sering pada psikosa akut
yang berhubungan dengan sindroma otak organik bila terdapat maka biasanya pada
stadium permulaan misalnya penderita melihat cahaya yang berwarna atau muka
orang yang menakutkan.

Diatas telah dibicarakan gejala-gejala. Sekali lagi, kesadaran dan intelegensi tidak
menurun pada skizofrenia. Penderita sering dapat menceritakan dengan jelas
pengalamannya dan perasaannya. Kadang-kadang didapati depersonalisasi atau “double
personality”, misalnya penderita mengidentifikasikan dirinya dengan sebuah meja dan
menganggap dirinya sudah tidak adalagi. Atau pada double personality seakan-akan
terdapat kekuatan lain yang bertindak sendiri didalamnya atau yang menguasai dan
menyuruh penderita melakukan sesuatu.

Pada skizofrenia sering dilihat otisme : penderita kehilangan hubungan dengan dunia luar
ia seakan-akan hidup dengan dunianya sendiri tidak menghiraukan apa yang terjadi di
sekitarnya.

Oleh Bleuler depersonalisasi, double personality dan otisme digolongkan sebagai gejala
primer. Tetapi ada yang mengatakan bahwa otisme terjadi karena sangat terganggunya
afek dan kemauan.

Tiga hal yang perlu diperhatikan dalam menilai simptom dan gejala klinis
skizofrenia adalah:

(1). Tidak ada symptom atau gejala klinis yang patognomonik untu skizofrenia. Artinya
tidak ada simptom yang khas atau hanya terdapat pada skizofrenia. Tiap simptom
skizofrenia mungkin ditemukan pada gangguan psikiatrik atau gangguan syaraf
lainnya. Karena itu diagnosis skizofrenia tidak dapat ditegakkan dari pemeriksaan
status mental saat ini. Riwayat penyakit pasien merupakan hal yang esensial untuk
menegakkan diagnosis skizofrenia.

(2). Simptom dan gejala klinis pasien skizofrenia dapat berubah dari waktu ke waktu.
Oleh karena itu pasien skizofrenia dapat berubah diagnosis subtipenya dari
perawatan sebelumnya (yang lalu). Bahkan dalam satu kali perawatanpun diagnosis
subtipe mungkin berubah.
(3). Harus diperhatikan taraf pendidikan, kemampuan intelektual dan latar belakang
sosial budaya pasien. Sebab perilaku atau pola pikir masyarakat dari sosial budaya
tertentu mungkin dipandang sebagai suatu hal yang aneh bagi budaya lain.
Contohnya memakai koteka di Papua merupakan hal yang biasa namun akan
dipandang aneh jika dilakukan di Jakarta. Selain itu hal yang tampaknya merupakan
gangguan realitas mungkin akibat keterbatasan intelektual dan pendidikan pasien.

II.5 DIAGNOSIS

Harus ada sedikitnya satu gejala berikut ini yang amat jelas dan biasanya dua gejala
atau lebih bila gejala-gejala itu kurang jelas :

(a) - “Thought echo” : isi pikiran dirinya sendiri yang berulang atau bergema dalam
kepalanya (tidak keras), dan isi pikiran ulangan, walaupun isinya sama,
namun kulitasnya berbeda; atau

- “Thought insertion or withdrawal”: isi pikiran yang asingdari luar masuk kedalam
pikirannya (insertion)atau isi pikirannya diambil keluar oleh sesuatu dari
luar (withdrawal); dan

- “Thought broadcasting”: isi pikirannya tersiar keluar sehingga orang lain atau
umum mengetahuinya;

(b) - “delusion of control” : waham tentang dirinya dikendalikan oleh suatu kekuatan
tertentu dati luar; atau

- “delusion of influence”: waham tentang dirinya dipengaruhi oleh suatu kekuatan


tertentu dari luar; atau

- “delusion of passivity”: waham tentang dirinya tidak berdaya dan pasrah terhadap
suatu kekuatan dari luar;

(tentang ‘dirinya”: secara jelas merujuk ke pergerakan tubuh/anggota gerak atau ke


pikiran, tindakan atau penginderaan khusus);
- “delusional perception”: pengalaman inderawi yang tak wajar, yang bermakna
sangat khas bagi dirinya, biasanya bersifat mistik atau mukjizat;

(c) Halusinasi auditorik :

- Suara halusinasi yang berkomentar secara terus menerus terhadap perilaku pasien,
atau

- Mendiskusikan perihal pasien diantara mereka sendiri (diantara berbagai suara yang
berbicara), atau

- Jenis suara halusinasi lain yang berasal dari salah satu bagian tubuh.

(d) Waham-waham menetap jenis lainnya, yang menurut budaya setempat dianggap
tidak wajar dan sesuatu yang mustahil, misalnya perihal keyakinan agama
atau politik tertentu, atau kekuatan dan kemampuan diatas manusia biasa
(misalnya mampu mengendalikan cuaca, atau berkomunikasi dengan
makhluk asing dari dunia lain).

Atau paling sedikit dua gejala dibawah ini yang harus selalu ada secara jelas :

(e) Halusinasi yang menetap dari panca indera apa saja, apabila disertai baik oleh
waham yang mengambang mauupun yang setengah berbentuk tanpa kandungan
afektif yang jelas, ataupun disertai ole hide-ide berlebihan (over-valued ideas)
yang menetap, atau apabila terjadi setiap hari selama berminggu-minggu atau
berbulan-bulan terus menerus;

(f) Arus pikiran yang terputus (break) atau yang mengalami sisispan (interpolation),
yang berakibat inkoherensi atau pembicaraan yang tidak relevan, atau
neologisme;

(g) Perilaku katatonik, seperti keadaan gaduh-gelisah (excitement), posisis tubuh


tertentu (posturing), atau fleksibilitas cerea, negativisme, mutisme, dan stupor;
(h) Gejala-gejala “negative” seperti sikap sangat apatis, bicara yang jarang, dan
respons emosional yang menumpul atau tidak wajar, biasanya yang
mengakibatkan penarikan diri dari pergaulan social dan menurunnya kinerja
social; tetapi harus jelas bahwa semua hal tersebut tidak disebabkan oleh depresi
atau medikasi neuroleptika;

Adanya gejala-gejala khas tersebut diatas telah berlangsung selama kurun waktu satu
bulan atau lebih (tidak berlaku untuk setiap fase nonpsikotik prodromal).

Harus ada suatu perubahan yang konsisten dan bermakna dalam mutu keseluruhan
(overall quality) dari beberapa aspek perilaku pribadai (personal behaviour),
bermanifestasi sebagai hilangnya minat, hidup tak bertujuan, tidak berbuat sesuatu,
sikap larut dalam diri sendiri (self absorbed attitude), dan penarikan diri secara sosial.

II.6 KLASIFIKASI

Gejala klinis skizofrenia secara umum dan menyeluruh telah diuraikan di muka,
dalam PPDGJ III skizofrenia dibagi lagi dalam 9 tipe atau kelompok yang mempunyai
spesifikasi masing-masing, yang kriterianya di dominasi dengan hal-hal sebagai berikut :

1. Skizofrenia Paranoid

Memenuhi kriteria diagnostik skizofrenia

Sebagai tambahan :

Halusinasi dan atau waham harus menonjol :

(a) Suara-suara halusinasi yang mengancam pasien atau memberi perintah, atau
halusinasi auditorik tanpa bentuk verbal berupa bunyi pluit, mendengung, atau
bunyi tawa.

(b) Halusinasi pembauan atau pengecapan rasa, atau bersifat seksual, atau lain-
lain perasaan tubuh halusinasi visual mungkin ada tetapi jarang menonjol.
(c) Waham dapat berupa hampir setiap jenis, tetapi waham dikendalikan (delusion
of control), dipengaruhi (delusion of influence), atau “Passivity” (delusion of
passivity), dan keyakinan dikejar-kejar yang beraneka ragam, adalah yang
paling khas.

Gangguan afektif, dorongan kehendak dan pembicaraan, serta gejala katatonik


secara relatif tidak nyata / menonjol.

Pasien skizofrenik paranoid biasanya berumur lebih tua daripada pasien


skizofrenik terdisorganisasi atau katatonik jika mereka mengalami episode pertama
penyakitnya. Pasien yang sehat sampai akhir usia 20 atau 30 tahunan biasanya mencapai
kehidupan social yang dapat membantu mereka melewati penyakitnya. Juga, kekuatan
ego paranoid cenderung lebih besar dari pasien katatonik dan terdisorganisasi. Pasien
skizofrenik paranoid menunjukkan regresi yang lambat dari kemampuanmentalnya,
respon emosional, dan perilakunya dibandingkan tipe lain pasien skizofrenik.

Pasien skizofrenik paranoid tipikal adalah tegang, pencuriga, berhati-hati, dan tak
ramah. Mereka juga dapat bersifat bermusuhan atau agresif. Pasien skizofrenik paranoid
kadang-kadang dapat menempatkan diri mereka secara adekuat didalam situasi social.
Kecerdasan mereka tidak terpengaruhi oleh kecenderungan psikosis mereka dan tetap
intak.

2. Skizofrenia Hebefrenik

Memenuhi kriteria umum diagnosis skizofrenia

Diagnosis hebefrenia untuk pertama kali hanya ditegakkan pada usia remaja atau
dewasa muda (onset biasanya mulai 15-25 tahun).

Kepribadian premorbid menunjukkan ciri khas : pemalu dan senang menyendiri


(solitary), namun tidak harus demikian untuk menentukan diagnosis.
Untuk diagnosis hebefrenia yang menyakinkan umumnya diperlukan pengamatan
kontinu selama 2 atau 3 bulan lamanya, untuk memastikan bahwa gambaran yang
khas berikut ini memang benar bertahan :

- Perilaku yang tidak bertanggung jawab dan tak dapat diramalkan, serta mannerisme;
ada kecenderungan untuk selalu menyendiri (solitary), dan perilaku menunjukkan
hampa tujuan dan hampa perasaan;

- Afek pasien dangkal (shallow) dan tidak wajar (inappropriate), sering disertai oleh
cekikikan (giggling) atau perasaan puas diri (self-satisfied), senyum sendirir (self-
absorbed smiling), atau oleh sikap, tinggi hati (lofty manner), tertawa
menyeringai (grimaces), mannerisme, mengibuli secara bersenda gurau (pranks),
keluhan hipokondrial, dan ungkapan kata yang diulang-ulang (reiterated phrases);

- Proses pikir mengalami disorganisasi dan pembicaraan tak menentu (rambling) serta
inkoheren.

Gangguan afektif dan dorongan kehendak, serta gangguan proses pikir umumnya
menonjol. Halusinasi dan waham mungkin ada tetapi biasanya tidak menonjol
(fleeting and fragmentary delusions and hallucinations). Dorongan kehendak (drive)
dan yang bertujuan (determination) hilang serta sasaran ditinggalkan, sehingga
perilaku penderita memperlihatkan ciri khas, yaitu perilaku tanpa tujuan (aimless) dan
tanpa maksud (empty of purpose). Adanya suatu preokupasi yang dangkal dan
bersifat dibuat-buat terhadap agama, filsafat dan tema abstrak lainnya, makin
mempersukar orang memahami jalan pikiran pasien.

Menurut DSM-IV skizofrenia disebut sebagai skizofrenia tipe terdisorganisasi.

3. Skizofrenia Katatonik

Memenuhi kriteria umum untuk diagnosis skizofrenia.

Satu atau lebih dari perilaku berikut ini harus mendominasi gambaran klinisnya :
(a) stupor (amat berkurangnya dalam reaktivitas terhadap lingkungan dan dalam
gerakan serta aktivitas spontan) atau mutisme (tidak berbicara):

(b) Gaduh gelisah (tampak jelas aktivitas motorik yang tak bertujuan, yang tidak
dipengaruhi oleh stimuli eksternal)

(c) Menampilkan posisi tubuh tertentu (secara sukarela mengambil dan


mempertahankan posisi tubuh tertentu yang tidak wajar atau aneh);

(d) Negativisme (tampak jelas perlawanan yang tidak bermotif terhadap semua
perintah atau upaya untuk menggerakkan, atau pergerakkan kearah yang
berlawanan);

(e) Rigiditas (mempertahankan posisi tubuh yang kaku untuk melawan upaya
menggerakkan dirinya);

(f) Fleksibilitas cerea / ”waxy flexibility” (mempertahankan anggota gerak dan tubuh
dalam posisi yang dapat dibentuk dari luar); dan

(g) Gejala-gejala lain seperti “command automatism” (kepatuhan secara otomatis


terhadap perintah), dan pengulangan kata-kata serta kalimat-kalimat.

Pada pasien yang tidak komunikatif dengan manifestasi perilaku dari gangguan
katatonik, diagnosis skizofrenia mungkin harus ditunda sampai diperoleh bukti yang
memadai tentang adanya gejala-gejala lain.

Penting untuk diperhatikan bahwa gejala-gejala katatonik bukan petunjuk diagnostik


untuk skizofrenia. Gejala katatonik dapat dicetuskan oleh penyakit otak, gangguan
metabolik, atau alkohol dan obat-obatan, serta dapat juga terjadi pada gangguan
afektif.

Selama stupor atau kegembiraan katatonik, pasien skizofrenik memerlukan pengawasan


yang ketat untuk menghindari pasien melukai dirinya sendiri atau orang lain. Perawatan
medis mungkin ddiperlukan karena adanya malnutrisi, kelelahan, hiperpireksia, atau
cedera yang disebabkan oleh dirinya sendiri.

4. Skizofrenia tak terinci (Undifferentiated).

Seringkali. Pasien yang jelas skizofrenik tidak dapat dengan mudah dimasukkan
kedalam salah satu tipe. PPDGJ mengklasifikasikan pasien tersebut sebagai tipe tidak
terinci. Kriteria diagnostic menurut PPDGJ III yaitu:

Memenuhi kriteria umum diagnosis skizofrenia

Tidak memenuhi kriteria untuk diagnosis skizofrenia paranoid, hebefrenik, atau


katatonik.

Tidak memenuhi kriteria untuk skizofrenia residual atau depresi pasca skizofrenia.

5. Depresi Pasca-Skizofrenia

Diagnosis harus ditegakkan hanya kalau :

(a) Pasien telah menderita skizofrenia (yang memenuhi kriteria diagnosis umum
skizzofrenia) selama 12 bulan terakhir ini;

(b) Beberapa gejala skizofrenia masih tetap ada (tetapi tidak lagi mendominasi
gambaran klinisnya); dan

(c) Gejala-gejala depresif menonjol dan menganggu, memenuhi paling sedikit kriteria
untuk episode depresif, dan telah ada dalam kurun waktu paling sedikit 2 minggu.

Apabila pasien tidak lagi menunjukkan gejala skizofrenia diagnosis menjadi episode
depresif. Bila gejala skizofrenia diagnosis masih jelas dan menonjol, diagnosis harus
tetap salah satu dari subtipe skizofrenia yang sesuai.

6. Skizofrenia Residual
Untuk suatu diagnosis yang meyakinkan, persyaratan berikut ini harus dipenuhi semua :

(a) Gejala “negative” dari skizofrenia yang menonjol misalnya perlambatan


psikomotorik, aktivitas menurun, afek yang menumpul, sikap pasif dan ketiadaan
inisiatif, kemiskinan dalam kuantitas atau isi pembicaraan, komunikasi non-verbal
yang buruk seperti dalam ekspresi muka, kontak mata, modulasi suara, dan posisi
tubuh, perawatan diri dan kinerja sosial yang buruk;

(b) Sedikitnya ada riwayat satu episode psikotik yang jelas di masa lampau yang
memenuhi kriteria untuk diagnosis skizofenia;

(c) Sedikitnya sudah melampaui kurun waktu satu tahun dimana intensitas dan
frekuensi gejala yang nyata seperti waham dan halusinasi telah sangat berkurang
(minimal) dan telah timbul sindrom “negative” dari skizofrenia;

(d) Tidak terdapat dementia atau penyakit / gangguan otak organik lain, depresi
kronis atau institusionalisasi yang dapat menjelaskan disabilitas negative tersebut.

Menurut DSM IV, tipe residual ditandai oleh bukti-bukti yang terus menerus
adanya gangguan skizofrenik, tanpa adanya kumpulan lengkap gejala aktif atau gejala
yang cukup untuk memenuhi tipe lain skizofrenia. Penumpulan emosional, penarikan
social, perilaku eksentrik, pikiran yang tidak logis, dan pengenduran asosiasi ringan
adalah sering ditemukan pada tipe residual. Jika waham atau halusinasi ditemukan maka
hal tersebut tidak menonjol dan tidak disertai afek yang kuat.

7. Skizofrenia Simpleks

Diagnosis skizofrenia simpleks sulit dibuat secara meyakinkan karena tergantung pada
pemantapan perkembangan yang berjalan perlahan dan progresif dari :

- gejala “negative” yang khas dari skizofrenia residual tanpa didahului riwayat
halusinasi, waham, atau manifestasi lain dari episode psikotik, dan
- disertai dengan perubahan-perubahan perilaku pribadi yang bermakna,
bermanifestasi sebagai kehilangan minat yang mencolok, tidak berbuat sesuatu,
tanpa tujuan hidup, dan penarikan diri secara sosial.

Gangguan ini kurang jelas gejala psikotiknya dibandingkan subtipe skizofrenia lainnya.

Skizofrenia simpleks sering timbul pertama kali pada masa pubertas. Gejala utama pada
jenis simpleks adalah kedangkalan emosi dan kemunduran kemauan. Gangguan proses
berpikir biasanya sukar ditemukan. Waham dan halusinasi jarang sekali terdapat. Jenis ini
timbulnya perlahan-lahan sekali. Pada permulaan mungkin penderita mulai kurang
memperhatikan keluarganya atau mulai menarik diri dari pergaulan. Makin lama ia makin
mundur dalam pekerjaan atau pelajaran dan akhirnya menjadi pengangguran, dan bila
tidak ada orang yang menolongnya ia mungkin akan menjadi pengemis, pelacur, atau
penjahat.

8. Skizofrenia lainnya

9. Skizofrenia YTT

Selain beberapa subtipe di atas, terdapat penggolongan skizofrenia lainnya (yang tidak
berdasarkan DSM IV TR), antara lain :

Bouffe delirante (psikosis delusional akut).

Konsep diagnostik Perancis dibedakan dari skizofrenia terutama atas dasar lama
gejala yang kurang dari tiga bulan. Diagnosis adalah mirip dengan diagnosis gangguan
skizofreniform didalam DSM-IV. Klinisi Perancis melaporkan bahwa kira-kira empat
puluh persen diagnosis delirante berkembang dalam penyakitnya dan akhirnya
diklasifikasikan sebagai media skizofrenia.

Skizofrenia laten.

Konsep skizofrenia laten dikembangkan selama suatu waktu saat terdapat


konseptualisasi diagnostic skizofrenia yang luas. Sekarang, pasien harus sangat sakit
mental untuk mendapatkan diagnosis skizofrenia; tetapi pada konseptualisasi diagnostik
skizofrenia yang luas, pasien yang sekarang ini tidak terlihat sakit berat dapat
mendapatkan diagnosis skizofrenia. Sebagai contohnya, skizofrenia laten sering
merupakan diagnosis yang digunakan gangguan kepribadian schizoid dan skizotipal.
Pasien tersebut mungkin kadang-kadang menunjukkan perilaku aneh atau gangguan
pikiran tetapi tidak terus menerus memanifestasikan gejala psikotik. Sindroma juga
dinamakan skizofrenia ambang (borderline schizophrenia) di masa lalu.

Oneiroid.

Keadaan oneiroid adalah suatu keadaan mirip mimpi dimana pasien mungkin
pasien sangat kebingungan dan tidak sepenuhnya terorientasi terhadap waktu dan tempat.
Istilah “skizofrenik oneiroid” telah digunakan bagipasien skizofrenik yang khususnya
terlibat didalam pengalaman halusinasinya untuk mengeluarkan keterlibatan didalam
dunia nyata. Jika terdapat keadaan oneiroid, klinisi harus berhati-hati dalam memeriksa
pasien untuk adanya suatu penyebab medis atau neurologist dari gejala tersebut.

Parafrenia.

Istilah ini seringkali digunakan sebagai sinonim untuk “skizofrenia paranoid”.


Dalam pemakaian lain istilah digunakan untuk perjalanan penyakit yang memburuk
secara progresif atau adanya system waham yang tersusun baik. Arti ganda dari istilah ini
menyebabkannya tidak sangat berguna dalam mengkomunikasikan informasi.

Pseudoneurotik.

Kadang-kadang, pasien yang awalnya menunjukkan gejala tertentu seperti


kecemasan, fobia, obsesi, dan kompulsi selanjutnya menunjukkan gejala gangguan
pikiran dan psikosis. Pasien tersebut ditandai oleh gejala panansietas, panfobia,
panambivalensi dan kadang-kadang seksualitas yang kacau. Tidak seperti pasien yang
menderita gangguan kecemasan, mereka mengalami kecemasan yang mengalir bebas
(free-floating) dan yang sering sulit menghilang. Didalam penjelasan klinis pasien,
mereka jarang menjadi psikotik secara jelas dan parah.
Skizofrenia Tipe I.

Skizofrenia dengan sebagian besar simptom yang muncul adalah simptom positif
yaitu asosiasi longgar, halusinasi, perilaku aneh, dan bertambah banyaknya pembicaraan.
Disertai dengan struktur otak yang normal pada CT dan respon yang relatif baik terhadap
pengobatan.

Skizofrenia tipe II.

Skizofrenia dengan sebagian besar simptom yang muncul adalah simptom


negative yaitu pendataran atau penumpulan afek, kemiskinan pembicaraan atau isi
pembicaraan, penghambatan (blocking), dandanan yang buruk, tidak adanya motivasi,
anhedonia, penarikan sosial, defek kognitif, dan defisit perhatian. Disertai dengan
kelainan otak struktural pada pemeriksaan CT dan respon buruk terhadap pengobatan.

II.7 DIAGNOSIS BANDING

Gangguan Psikotik Sekunder dan Akibat Obat

Gejala psikosis dan katatonia dapat disebabkan oleh berbagai macam keadaan
medis psikiatrik dan dapat diakibatkan oleh berbagai macam zat. Jika psikosis atau
katatonia disebabkan oleh kondisi medis nonpsikiatrik atau diakibatkan oleh suatu zat,
diagnosis yang paling sesuai adalah gangguan psikotik akibat kondisi medis umum, atau
gangguan katatonia akibat zat. Manifestasi psikiatrik dari banyak kondisi medis
nonpsikiatrik dapat terjadi awal dalam perjalanan penyakit, seringkali sebelum
perkembangan gejala lain. Dengan demikian klinisi harus mempertimbangkan berbagai
macam kondisi medis nonpsikiatrik dii dalam diagnosis banding psikosis, bahkan tanpa
adanya gejala fisik yang jelas. Pada umumnya, pasien dengan gangguan neurologist
mempunyai lebih banyak tilikan pada penyakitnya dan lebih menderita akibat gejala
psikiatriknya daripada pasien skizofrenik, suatu kenyataan yang dapat membantu klinisi
untuk membedakan kedua kelompok tersebut.
Saat memeriksa seorang pasien psikotik, klinisi harus mengikuti tiga pedoman
umum tentang pemeriksaan keadaan nonpsikiatrik. Pertama, klinisi harus cukup agresif
dalam mengejar kondisi medis nonpsikiatrik jika pasien menunjukkan adanya gejala yang
tidak lazim atau jarang atau adanya variasi dalam tingkat kesadara. Kedua, klinisi harus
berusaha untuk mendapatkan riwayat keluarga yang lemgkap, termasuk riwayat
gangguan medis, neurologist, dan psikiatrik. Ketiga, klinisi harus mempertimbangkan
kemungkinan suatu kondisi medis nonpsikiatrik, bahkan pada pasien dengan diagnosis
skizofrenia sebelumnya. Seorang pasien skizofrenia mempunyai kemungkinan yang sama
untuk menderita tumor otak yang menyebabkan gejala psikotik dibandingkan dengan
seorang pasien skizofrenik.

Berpura-pura dan Gangguan buatan

Baik berpura-pura atau gangguan buatan mungkin merupakan suatu diagnosis


yang sesuai pada pasien yang meniru gejala skizofrenia tetapi sebenarnya tidak menderita
skizofrenia. Orang telah menipu menderita skizofrenia dan dirawat dan diobati di rumah
sakit psikiatrik. Orang yang secara lengkap mengendalikan produksi gejalanya mungkin
memenuhi diagnosis berpura-pura (malingering); pasien tersebut biasanya memilki alasan
financial dan hokum yang jelas untuk dianggap gila. Pasien yang kurang mengendalikan
pemalsuan gejala psikotiknya mungkin memenuhi diagnosis suatu gangguan buatan
(factitious disorder). Tetapi, beberapa pasien dengan skizofrenia seringkali secara palsu
mengeluh suatu eksaserbasi gejala psikotik untuk mendapatkan bantuan lebih banyak
atau untuk dapat dirawat di rumah sakit.

Gangguan Psikotik Lain

Gejala psikotik yang terlihat pada skizofrenik mungkin identik dengan yang
terlihat pada gangguan skizofreniform, gangguan psikotik singkat, dan gangguan
skizoafektif. Gangguan skizofreniform berbeda dari skizofrenia karena memiliki lama
(durasi) gejala yang sekurangnya satu bulan tetapi kurang daripada enam bulan.
Gangguan psikotik berlangsung singkat adalah diagnosis yang tepat jika gejala
berlangsung sekurangnya satu hari tetapi kurang dari satu bulan dan jika pasien tidak
kembali ke tingkat fungsi pramorbidnya. Gangguan skizoafektif adalah diagnosis yang
tepat jika sindroma manik atau depresif berkembang bersama-sama dengan gejala utama
skizofrenia.

Suatu diagnosis gangguan delusional diperlukan jika waham yang tidak aneh
(nonbizzare) telah ada selama sekurangnya satu bulan tanpa adanya gejala skizofrenia
lainnya atau suatu gangguan mood.

Gangguan Mood

Diagnosis banding skizofrenia dan gangguan mood dapat sulit, tetapi penting
karena tersedianya pengobatan yang spesifik dan efektif untuk mania dan depresi. Gejala
afektif atau mood pada skizofrenia harus relative singkat terhadap lama gejala primer.
Tanpa adanya informasi selain dari pemeriksaan status mental, klinisi harus menunda
diagnosis akhir atau harus menganggap adanya gangguan mood, bukannya membuat
diagnosis skizofrenia secara prematur.

Gangguan Kepribadian

Berbagai gangguan kepribadian dapat ditemukan dengan suatu cirri skizofrenia;


gangguan kepribadian skizotipal, schizoid, dan ambang adalah gangguan kepribadian
dengan gejala yang paling mirip. Gangguan kepribadian, tidak seperti skizofrenia,
mempunyai gejala yang ringan, suatu riwayat ditemukannya gangguan selama hidup
pasien, dan tidak adanya onset tanggal yang dapat diidentifikasi.

II.8 PERJALANAN PENYAKIT

Tanda awal dari skizofrenia adalah simtom-simtom pada masa premorbid. Biasanya
simtom ini muncul pada masa remaja dan kemudian diikuti dengan berkembangnya
simtom prodormal dalam kurun waktu beberapa hari sampai beberapa bulan. Adanya
perubahan social / lingkungan dapat memicu munculnya simtom gangguan. Masa
prodormal ini bisa langsung sampai bertahun-tahun sebelum akhirnya muncul simtom
psikotik yang terlihat.
Perjalanan penyakit skizofrenia yang umum adalah memburuk dan remisi. Setelah sakit
yang pertama kali, pasien mungkin dapat berfungsi normal untuk waktu lama (remisi),
keadaan ini diusahakan dapat terus dipertahankan. Namun yang terjadi biasanya adalah
pasien mengalami kekambuhan. Tiap kekambuhan yang terjadi membuat pasien
mengalami deteriorasi sehingga ia tidak dapat kembali ke fungsi sebelum ia kambuh.
Kadang, setelah episode psikotik lewat, pasien menjadi depresi, dan ini bisa berlangsung
seumur hidup.

Seiring dengan berjalannya waktu, simtom positif hilang, berkurang, atau tetap ada,
sedangkan simtom negative relative sulit hilang bahkan bertambah parah.

Faktor-faktor resiko tinggi untuk berkembangnya skizofrenia adalah Mempunyai


anggota keluarga yang menderita skizofrenia, terutama jika salah satu orang
tuanya/saudara kembar monozygotnya menderita skizofrenia, kesulitan pada waktu
persalinan yang mungkin menyebabkan trauma pada otak, terdapat penyimpangan dalam
perkembangan kepribadian, yang terlihat sebagai anak yang sangat pemalu, menarik diri,
tidak mempunyai teman, amat tidak patuh, atau sangat penurut, proses berpikir
idiosinkratik, sensitive dengan perpisahan, mempunyai orang tua denga sikap paranoid
dan gangguan berpikir normal, memiliki gerakan bola mata yang abnormal,
menyalahgunakan zat tertentu seperti amfetamin, kanabis, kokain, Mempunyai riwayat
epilepsi, memilki ketidakstabilan vasomotor, gangguan pola tidur, control suhu tubuh
yang jelek dan tonus otot yang jelek.

II.9 PROGNOSIS

Beberapa penelitian telah membuktikan bahwa lebih dari periode 5 sampai 10


tahun setelah perawatan psikiatrik pertama kali di rumah sakit karena skiofrenia, hanya
kira-kira 10-20 % pasien dapat digambarkan memliki hasil yang baik.Lebih dari 50%
pasien dapat digambarkan memiliki hasil yang buruk, dengan perawatan di rumah sakit
yang berulang, eksaserbasi gejala, episode gangguan mood berat, dan usaha bunuh diri.
Walaupun angka-angka yang kurang bagus tersebut, skizofrenia memang tidak selalu
memiliki perjalanan penyakit yang buruk, dan sejumlah faktor telah dihubungkan dengan
prognosis yang baik.

Rentang angka pemulihan yang dilaporkan didialam literatur adalah dari 10-60%
dan perkiraan yang beralasan adalah bahwa 20-30% dari semua pasien skizofrenia
mampu untuk menjalani kehidupan yang agak normal. Kira-kira 20-30% dari pasien terus
mengalami gejala yang sedang,dan 40-60% dari pasien terus terganggu scara bermakna
oleh gangguannya selama seluruh hidupnya.

Secara umum prognosis skizofrenia tergantung pada:

1. Usia pertama kali timbul ( onset): makin muda makin buruk.

2. Mula timbulnya akut atau kronik: bila akut lebih baik.

3. Tipe skizofrenia: episode skizofrenia akut dan katatonik lebih baik.

4. Cepat, tepat serta teraturnya pengobatan yang didapat.

5. Ada atau tidaknya faktor pencetusnya: jika ada lebih baik.

6. Ada atau tidaknya faktor keturunan: jika ada lebih jelek.

7. Kepribadian prepsikotik: jika skizoid, skizotim atau introvred lebih jelek.

8. Keadaan sosial ekonomi: bila rendah lebih jelek.


Prognosis Baik Prognosis Buruk
Onset lambat Onset muda

Faktor pencetus yang Tidak ada factor pencetus


jelas
II.10 Onset tidak jelas
Onset akut
Riwayat social dan pekerjaan
Riwayat sosial, seksual premorbid yang buruk
dan pekerjaan
premorbid yang baik Prilaku menarik diri atau autistic

Gejala gangguan mood Tidak menikah, bercerai atau janda/


(terutama gangguan duda
depresif)
Sistem pendukung yang buruk
Menikah
Gejala negatif
Riwayat keluarga
gangguan mood Tanda dan gejala neurologist

Sistem pendukung yang Riwayat trauma perinatal


baik
Tidak ada remisi dalam 3 tahun
Gejala positif
Banyak relaps

Riwayat penyerangan
PENATALAKSANAAN

Tiga pengamatan dasar tentang skizofrenia yang memerlukan perhatian saat


mempertimbangkan pengobatan gangguan, yaitu :

1. Terlepas dari penyebabnya, skizofrenia terjadi pada seseorang yang mempunyai sifat
individual, keluarga, dan sosial psikologis yang unik.

2. Kenyataan bahwa angka kesesuaian untuk skizofrenia pada kembar monozigotik


adalah 50 persen telah diperhitungkan oleh banyak peneliti untuk menyarankan
bahwa factor lingkungan dan psikologis yang tidak diketahui tetapi kemungkinan
spesifik telah berperan dalam perkembangan gangguan.

3. Skizofrenia adalah suatu gangguan yang kompleks, dan tiap pendekatan terapetik
tunggal jarang mencukupi untuk menjawab secara memuaskan gangguan yang
memiliki berbagai segi.
Walaupun medikasi antipsikotik adalah inti dari pengobatan skizofrenia,
penelitian telah menemukan bahwa intervensi psikososial dapat memperkuat perbaikkan
klinis.

Perawatan di Rumah Sakit

Indikasi utama perawatan di rumah sakit adalah :

1. Untuk tujuan diagnostik.

2. Menstabilkan medikasi.

3. Keamanan pasien karena gagasan bunuh diri atau membunuh.

4. Perilaku yang sangat kacau atau tidak sesuai.

5. Ketidakmampuan memenuhi kebutuhan dasar.

Tujuan utama perawatan di rumah sakit adalah ikatan efektif antara pasien dan
system pendukung masyarakat.

Sejak diperkenalkan diawal tahun 1950-an medikasi antipsikotik telah


menyebabkan revolusi dalam pengobatan skizofrenia. Tetapi, antipsikotik mengobati
gejala gangguan dan bukan suatu penyembuhan skizofrenia.

Perawatan di rumah sakit menurunkan stres pada pasien dan membantu mereka
menyusun aktivitas harian mereka. Lamanya perawatan di rumah sakit tergantung pada
keparahan penyakit pasien dan tersedianya fasilitas pengobatan rawat jalan.

Rencana pengobatan di rumah sakit harus memiliki orientasi praktis ke arah


masalah kehidupan, perawatan diri sendiri, kualitas hidup, pekerjaan dan hubungan
sosial. Perawatan di rumah sakit harus di arahkan untukk mengikat pasien dengan
fasilitas pasca rawat termasuk keluarganya, keluarga angkat, board and care homes, dan
half way house. Pusat perawatan di siang hari ( day care center ) dan kunjungan rumah
kadang-kadang dapat membantu pasien tetap di luar rumah sakit untuk periode waktu
yang lama dan dapat memperbaiki kualitas kahidupan sehari-hari pasien.

Terapi Somatik

Antipsikotik

Antipsikotik termasuk tiga kelas obat yang utama, yaitu:

1. Antagonis reseptor dopamine

2. Risperidone ( ris perdal )

3. Clozapine ( clozaril )

Pemilihan Obat

1. Antagonis Reseptor Dopamin

Adalah obat antipsikotik yang klasik dan efektif dalam pengobatan skizofrenia. Obat
ini memiliki dua kekurangan utama, yaitu:

1.
a. Hanya sejumlah kecil pasien, cukup tertolong untuk mendapatkan kembali jumlah
fungsi mental yang cukup normal.
b. Disertai dengan efek merugikan yang mengganggu dan serius. Efek mengganggu
yang paling utama adalah akatisia dan gejala mirip parkinsonisme berupa rigiditas
dan tremor. Efek serius yang potensial adalah tardive dyskinesia dan sindroma
neuroleptik malignan.

“ Remoxipride “ adalah antagonis reseptor dopamin dari kelas yang berbeda dari pada
antagonis reseptor dopamin yang sekarang ini tersedia. Awalnya obat ini disertai efek
samping neurologist yang bermakna, tetapi akhirnya remoxipride disertai dengan
anemia aplastik, jadi membatasi nilai klinisnya.

2. Risperidone
Adalah suatu obat antispikotik dengan aktivitas antagonis yang bermakna
pada reseptor serotonin tipe 2 ( 5-HT2 ) dan pada reseptor dopamine tipe 2 ( d2 ).
Risperidone menjadi obat lini pertama dalam pengobatan skizofrenia karena
kemungkinan obat ini adalah lebih efektif dan lebih aman daripada antagonis reseptor
dopaminergik yang tipikal.

3. Clozapine

Adalah suatu obat antipsikotik yang efektif. Mekanisme kerjanya belum


diketahui secara pasti. Clozapine adalah suatu antagonis lemah terhadap reseptor D2
tetapi merupakan antagonis yang kuat terhadap reseptor D 4 dan mempunyai aktivitas
antagonistic pada reseptor serotogenik. Agranulositosis merupakan suatu efek
samping yang mengharuskan monitoring setiap minggu pada indeks-indeks darah.
Obat ini merupakan lini kedua, diindikasikan pada pasien dengan tardive dyskinesia
karena data yang tersedia menyatakan bahwa clozapine tidak disertai dengan
perkembangan atau eksaserbasi gangguan tersebut.

Prinsip-Prinsip Terapetik

1. Klinis harus secara cermat menentukan gejala sasaran yang akan diobati

2. Suatu antipsikotik yang telah bekerja dengan baik di masa lalu pada pasien harus
digunakan lagi.

3. Lama minimal percobaan antipsikotik adalah empat sampai enam minggu pada dosis
yang adekuat.

4. Penggunaan pada lebih dari satu medikasi antipsikotik pada satu waktu adalah jarang
diindikasikan.

5. Pasien harus dipertahankan pada dosis efektif yang serendah mungkin yang diperlukan
untuk mencapai pengendalian gejala selama periode psikotik.

Pemeriksaan Awal
Obat antipsikotik cukup aman jika diberikan selama periode waktu yang cukup
singkat. Dalam situasi gawat, obat ini dapat diberikan kecuali clozapine, tanpa melakukan
pemeriksaan fisik atau laboratorium pada diri pasien. Pada pemeriksaan biasa harus
didapatkan hitung darah lengkap dengan indekss sel darah putih, tes fungsi hati dan ECG
khususnya pada wanita yang berusia lebih dari 40 tahun dan laki-laki yang berusia lebih
dari 30 tahun.

Kontraindikasi Utama Antipsikotik:

1. Riwayat respon alergi yang serius

2. Kemungkinan bahwa pasien telah mengingesti zat yang akan berinteraksi dengan
antipsikotik sehingga menyebabkan depresi sistem saraf pusat.

3. Resiko tinggi untuk kejang dari penyebab organic atau audiopatik.

4. Adanya glukoma sudut sempit jika digunakan suatu antupsikotik dengan aktivitas
antikolinergik yang bermakna.

Kegagalan Pengobatan

1. Ketidakpatuhan dengan antipsikotik merupakan alas an utama untuk terjadinya relaps


dan kegagalan percobaan obat.

2. Waktu percobaan yang tidak mencukupi.

Setelah menghilangkan alasan lain yang mungkin bagi kagagalan terapi antipsikotik,
dapat dicoba antipsikotik kedua dengan struktur kimiawi yang berbeda dari obat yang
pertama. Strategi tambahan adalah suplementasi antipsikotik dengan lithium (eskalith),
suatu antikonvulsan seperti carbamazepine atau valproate (depakene), atau suatu
benzodiazepine. Pemakaian terapi antipsikotik dosis-mega jarang diindikasikan, karena
hamper tidak ada data yang mendukung praktek tersebut.

Obat Lain
Lithium

Efektif dalam menurunkan gejala psikotik lebih lanjut pada sampai 50 persen pasien
dengan skizofrenia dan merupakan obat yang beralasan untuk dicoba pada pasien
yang tidak mampu menggunakan medikasi antipsikotik.

Antikonvulsan

Carbamazepine dan valproat dapat digunakan sendiri-sendiri atau dalam kombinasi


dengan lithium atau suatu antipsikotik. Walaupun tidak terbukti efektif dalam
menurunkan gejala psikotik pada skizofrenia, namun jika digunakan sendiri-sendiri
mungkin efektif dalam menurunkan episode kekerasan pada beberapa pasien
skizofrenia.

Benzodiazepin

Pemakaian bersama-sama alprazolam ( xanax ) dan antipsikotik bagi pasien yang tidak
berespo terhadap pemberian antipsikotik saja, dan pasien skizofrenia yang berespon
terhadap dosis tinggi diazepam ( valium ) saja. Tetapi keparahan psikosis dapat di
eksaserbasi seteloah putus dari benzodiazepine.

Terapi Somatik Lainnya

Elektrokonvulsif ( ECT ) dapat diindikasikan pada pasien katatonik dan bagi


pasien yang karena suatu alasan tidak dapat menggunakan antipsikotik ( kurang efektif ).
Pasien yang telah sakit selama kurang dari satu tahun adalah yang paling mungkin
berespon.

Dimasa lalu skizofrenia diobati dengan koma yang di timbulkan insulin (insulin-
induced coma) dan koma yang ditimbulkan barbiturat (barbiturate-induced coma).

Terapi Psikososial

Terapi Perilaku
Tehnik perilaku menggunakan hadiah ekonomi dan latihan keterampilan social untuk
meningkatkan kemampuan social, kemampuan memenuhi diri sendiri, latihan praktis,
dan komunikasi interpersonal.

Perilaku adaptif adalah didorong dengan pujian atau hadiah yang dapat ditebus untuk
hal-hal yang diharapkan. Dengan demikian frekuensi perilaku mal adaptif atau
menyimpang dapat diturunkan.

Latihan Keterampilan Perilaku ( Behavioral Skills Trainning )

Sering dinamakan terapi keterampilan sosial ( social skills therapy ). Terapi ini dapat
secara langsung membantu dan berguna bagi pasien dan merupakan tambahan alami
bagi terapi farmakologis. Latihan keterampilan ini melibatkan penggunaan kaset
videon orang lain dan pasien permainan simulasi ( role playing ) dalam terapi, dan
pekerjaan rumah tentang keterampilan yang telah dilakukan.

Terapi Berorientasi Keluarga

Pusat dari terapi harus pada situasi segera dan harus termasuk mengidentifikasik dan
menghindari situasi yang kemungkinan menimbulkan kesulitan. Jika masalah
memang timbul pada pasien di dalam keluarga, pusat terapi harus pada pemecahan
masalah secara cepat.

Setelah periode pemulangan segera, topik penting yang dibahas dalam terapi keluarga
adalah proses pemulihan khususnya lama dan kecepatannya.

Di dalam session keluarga dengan pasien skizofrenia, ahli terapi harus mengendalikan
intensitas emosional dari session.

BAB III

KESIMPULAN

1. Skizofrenia adalah suatu deskripsi dengan variasi penyebab (banyak belum diketahui)
dan perjalanan penyakit (tak selalu bersifat kronis atau “deteriorating”) yang luas, serta
sejumlah akibat yang tergantung pada perimbangan pengaruh genetik, fisik, dan sosial
budaya.

1. Psikopatologi skizofrenia:

- Faktor Ditesis-stress

- Neurobiologi

- Genetika

- Faktor Psikososial

1. Klasifikasi skizofrenia:

- Skizofrenia paranoid

- Skizofrenia hebefrenik

- Skizofrenia katatonik

- Skizofrenia tak terinci (undifferentiated)

- Depresi pasca skizofrenia

- Skizofrenia residual

- Skizofrenia simpleks

- Skizofrenia lainnya

- Skizofrenia YTT

1. Diagnosis Skizofrenia:

- Gejala karakteristik : dua (atau lebih) berikut, masing-masing ditemukan untuk bagian
waktu yang bermakna selama periode 1 bulan (atau kurang jika diobati dengan
berhasil) waham, halusinasi, bicara terdisorganisasi, perilaku terdisorganisasi atau
katatonik yang jelas, gejala negative

- Sosial / Pekerjaan : untuk bagian waktu yang bermakna sejak onset gangguan , satu atau
lebih fungsi utama seperti pekerjaan, disfungsi hubungan interpersonal, atau perawatan
diri, adalah jelas dibawah tingkat yang dicapai sebelum onset.

- Durasi :tanda gangguan terus menerus menetap selama sekurangnya 6 bulan, termaksud
sekurangnya satu bulan gejala.

- Penyingkiran gangguan skizoafektif dan gangguan mood.

- Penyingkiran zat/ kondisi medis umum : gangguan tidak disebabkan oleh efek fisiologis
langsung dari suatu zat (mis: obat yang disalahgunakan).

- Hubungan dengan gangguan perkembangan pervasive jika terdapat riwayat adanya


gangguan autistic atau gangguan perkembangn pervasive lainnya, diagnosis tambahan
skizofrenia dibuat hanya jika waham atau halusinasi yang menonjol juga ditemukan
untuk sekurangnya satu bulan (atau kurang jika berhasil diobati).

5. Gejala klinik skizofrenia:

Gejala-gejala khas yang meliputi berrbagai hal psikologis yaitu :

Isi pikiran: gangguan utama isi pikiran adalah waham yang majemuk, terpecah atau
aneh, misalny berupa waham kejar dan waham yang menyangkut dirinya (delusion of
reference).

Bentuk pikiran : adanya gangguan pikiran formal, berbentuk sebagai asosiasi longgar,
inkoherensi, kemiskinana pembicaraan, dll.

Persepsi : Gangguan utama adalah berbagai jenis halusinasi, tetapi yang paling sering
adalah halusinasi dengar.

Afek : Sering kali berupa afek datar atau tidak serasi.


Rasa kesadaran diri : Sering bermanifestasi sebagai rasa perpleksitas yang parah tentang
identitas dirinya dan makna eksistensinya.

Dorongan kehendak(“volition “) : Gangguan dapat berupa minat atau dorongan yang


tidak adekuat.

Hubungan dengan dunia luar : sering terjadi kecenderungan untuk menarik diri dari
dunia luar, berpreokupasi pad aide dan egosentrik dan apabila keadaanya parah maka
jatuh kedalam autisme.

Tingkah laku psikomotor : Ganggaun tingkah laku psikomotor bisa beraneka ragam,
dapat berupa berkurangnya gerakan dan aktivitas spontan atau dapat pula berupa gerakan
motorik yang berlebihan.

Gambaran penyerta : Hampir semua gejala dapat timbul sebagai gambaran penyerta,
misalnya : individu tampak kehilangan akal (perplexed), berpakaian atau berdandan
eksentrik, aktivitas motorik yang tidak wajar, afek yang tidak menyenangkan,
depersonalisasi, derealisasi dan gagasan yang mirip waham yang menyangkut dirinya.

1. Diagnosis banding skizofrenia:

- Gangguan mood

- Gangguan kepribadian

- Gangguan psikotik lainnya

- Gangguan psikotik sekunder dan akibat obat

1. Penatalaksanaan skizofrenia:

- Perawatan rumah sakit

- Terapi somatik

- Terapi psikososial
- Terapi blitzkrieg

1. Prognosis : tergantung dari berbagai factor, antara lain : onset, factor pencetus, riwayat
keluarga, system pendukung, gejala, riwayat sosial, seksual,dll

<!– /* Style Definitions */ p.MsoNormal, li.MsoNormal, div.MsoNormal {mso-style-parent:”";


margin:0cm; margin-bottom:.0001pt; mso-pagination:widow-orphan; font-size:12.0pt; font-
family:”Times New Roman”; mso-fareast-font-family:”Times New Roman”;} a:link,
span.MsoHyperlink {color:blue; text-decoration:underline; text-underline:single;} a:visited,
span.MsoHyperlinkFollowed {color:#808040; text-decoration:underline; text-underline:single;}
@page Section1 {size:595.45pt 841.7pt; margin:72.0pt 90.0pt 72.0pt 90.0pt; mso-header-
margin:36.0pt; mso-footer-margin:36.0pt; mso-page-numbers:roman-lower 1; mso-paper-
source:0;} div.Section1 {page:Section1;} /* List Definitions */ @list l0 {mso-list-id:478573019;
mso-list-type:hybrid; mso-list-template-ids:1144947082 67698703 67698713 67698715
67698703 67698713 67698715 67698703 67698713 67698715;} @list l0:level1 {mso-level-tab-
stop:36.0pt; mso-level-number-position:left; text-indent:-18.0pt;} @list l0:level4 {mso-level-tab-
stop:144.0pt; mso-level-number-position:left; text-indent:-18.0pt;} ol {margin-bottom:0cm;} ul
{margin-bottom:0cm;} –>
/* Style Definitions */
table.MsoNormalTable
{mso-style-name:”Table Normal”;
mso-tstyle-rowband-size:0;
mso-tstyle-colband-size:0;
mso-style-noshow:yes;
mso-style-parent:”";
mso-padding-alt:0cm 5.4pt 0cm 5.4pt;
mso-para-margin:0cm;
mso-para-margin-bottom:.0001pt;
mso-pagination:widow-orphan;
font-size:10.0pt;
font-family:”Times New Roman”;
mso-ansi-language:#0400;
mso-fareast-language:#0400;
mso-bidi-language:#0400;}

DAFTAR PUSTAKA
Jenis-jenis
Skizofrenia
Dunia Manusia
Friday, 19 August 2011 05:27

Skizofrenia Simpleks
Skizofrenia simpleks, sering timbul pertama kali pada masa pubertas. Gejala utama ialah
kedangkalan emosi dan kemunduran kemauan. Gangguan proses berfikir biasanya sukar
ditemukan. Waham dan halusinasi jarang sekali terjadi.
Jenis ini timbul secara perlahan. Pada permulaan mungkin penderita kurang memperhatikan
keluarganya atau menarik diri dari pergaulan. Makin lama ia semakin mundur dalam kerjaan atau
pelajaran dan pada akhirnya menjadi pengangguran, dan bila tidak ada orang yang menolongnya
ia akan mungkin akan menjadi “pengemis”, “pelacur” atau “penjahat” (Maramis, 2004).

Skizofrenia Hebefrenik
Skizofrenia hebefrenik atau disebut juga hebefrenia, menurut Maramis (2004) permulaannya
perlahan-lahan dan sering timbul pada masa remaja atau antara 15–25 tahun. Gejala yang
menyolok adalah gangguan proses berfikir, gangguan kemauan dan adanya depersonalisasi.
Gangguan psikomotor seperti perilaku kekanak-kanakan sering terdapat pada jenis ini. Waham
dan halusinasi banyak sekali.

Skizofrenia Katatonik
Menurut Maramis (2004), skizofrenia katatonik atau disebut juga katatonia, timbulnya pertama
kali antara umur 15-30 tahun dan biasanya akut serta sering didahului oleh stres emosional.
Mungkin terjadi gaduh gelisah katatonik atau stupor katatonik.

Stupor Katatonik
Pada stupor katatonik, penderita tidak menunjukan perhatian sama sekali terhadap lingkungannya
dan emosinya sangat dangkal. Secara tiba-tiba atau perlahan-lahan penderita keluar dari keadaan
stupor ini dan mulai berbicara dan bergerak.

Gaduh Gelisah Katatonik


Pada gaduh gelisah katatonik, terdapat hiperaktivitas motorik, tapi tidak disertai dengan emosi
yang semestinya dan tidak dipengaruhi oleh rangsangan dari luar.

Skizofrenia Paranoid
Jenis ini berbeda dari jenis-jenis lainnya dalam perjalanan penyakit. Hebefrenia dan katatonia
sering lama-kelamaan menunjukkan gejala-gejala skizofrenia simplek atau gejala campuran
hebefrenia dan katatonia. Tidak demikian halnya dengan skizofrenia paranoid yang jalannya agak
konstan, (Maramis, 2004).

Episode Skizofrenia Akut


Gejala skizofrenia ini timbul mendadak sekali dan pasien seperti keadaan mimpi. Kesadarannya
mungkin berkabut. Dalam keadaan ini timbul perasaan seakan-akan dunia luar dan dirinya sendiri
berubah. Semuanya seakan-akan mempunyai arti yang khusus baginya.
Prognosisnya baik dalam waktu beberapa minggu atau biasanya kurang dari enam bulan
penderita sudah baik. Kadang-kadang bila kesadaran yang berkabut tadi hilang, maka timbul
gejala-gejala salah satu jenis skizofrenia yang lainnya, (Maramis, 2004).

Skizofrenia Residual
Skizofrenia residual, merupakan keadaan skizofrenia dengan gejala-gejala primernya Bleuler,
tetapi tidak jelas adanya gejala-gejala sekunder. Keadaan ini timbul sesudah beberapa kali
serangan skizofrenia, (Maramis, 2004).

Skizofrenia Skizoafektif
Pada skizofrenia skizoafektif, di samping gejala-gejala skizofrenia terdapat menonjol secara
bersamaan, juga gejala-gejala depresi atau gejala-gejala mania. Jenis ini cenderung untuk menjadi
sembuh tanpa efek, tetapi mungkin juga timbul lagi serangan (Maramis, 2004).

Jenis Skizofrenia

1. Skizofrenia paranoid
• Ciri-ciri utamanya adalah wahamyang sistematis atau halusinasi pendengaran.
• Individu ini dapat penuh curiga, argumentatif, kasar, dan agresif.
• Perilaku kurang regresif, kerusakan social lebih sedikit, dan prognosisnya lebih baik dibanding
jenis-jenis lain
2. Skizofrenia hebefrenik
• Ciri-ciri utamanya adalah percakapan dan perilaku yang kacau, serta afek yang datar atau tidak
tepat, gangguan asosiasi juga banyak terjadi.
• Individu tersebut juga mempunyai sikap yang aneh, menunjukkan perilaku menaik dirisecara
social yang ekstrim, mengabaikan hygiene dan penampilan diri.
• Awitan biasanya terjadi sebelum 25 tahun dan dapat bersifat kronis.
• Perilaku regresif, dengan interaksi social dan kontak dengan realitas yang buruk
3. Skizofrenia katatonik
• Ciri-ciri utamanya adalah ditandai dengan gangguan psikomotor, yang melibatkan imobilitas
atau justru aktivitas yang berlebihan.
• Stupor katatonik. Individu dapat menunjukan ketidakaktifan, negativisme, dan kelenturan tubuh
yang berlebihan (postur abnormal).
• Catatonic excitement melibatkan agitasi yang ekstrim dan dapat disertai dengan ekolalia dan
ekopraksia
4. Skizofrenia yang tidak digolongkan
• Ciri-ciri utamanya adalah waham, halusinasi, percakapan yang tidak koheren dan perilaku yang
kacau.
• Klasifikasi ini digunakan bila kriteria untuk jenis lain tidak terpenuhi
5. Skizofrenia residu
• Ciri-ciri utamanya adalah tidak adanya gejala-gejala akut saat ini, melainkan terjadi di masa
lalu.
• Dapat terjadi gejala-gejala negative, seperti isolai social yang nyata, menarik diri dan gangguan
fungsi peran
Halusinasi' adalah terjadinya salah persepsi dalam kondisi sadar tanpa adanya rangsang nyata
terhadap indera. Kualitas dari persepsi itu dirasakan oleh penderita sangat jelas, substansial dan
berasal dari luar ruang nyatanya. Definisi ini dapat membedakan halusinasi dengan mimpi,
berkhayal, ilusi dan pseudohalusinasi (tidak sama dengan persepsi sesungguhnya, namun tidak
dalam kondisi terkendali). Contoh dari fenomena ini adalah dimana seseorang mengalami
gangguan penglihatan, dimana ia merasa melihat suatu objek, namun indera penglihatan orang
lain tidak dapat menangkap objek yang sama.

Halusinasi juga harus dibedakan dengan delusi pada persepsi, dimana indera menangkap
rangsang nyata, namun persepsi nyata yang diterimanya itu diberikan makna yang dan berbeda
(bizzare). Sehingga orang yang mengalami delusi lebih percaya kepada hal-hal yang atau tidak
masuk logika.

Halusinasi dapat dibagi berdasarkan indera yang bereaksi saat persepsi ini terbentuk, yaitu

1. Halusinasi visual
2. Halusinasi auditori
3. Halusinasi olfaktori
4. Halusinasi gustatori
5. Halusinasi taktil

Penyebab terjadinya halusinasi

1. Sakit dengan panas tinggi sehingga mengganggu keseimbangan tubuh.


2. Gangguan jiwa Skizofrenia
3. Pengkonsumsian narkoba atau obat tertentu seperti: ganja, Morphin, kokain, dan ltd
4. Mengkonsumsi alkohol berkadar diatas 35%: seperti vodka, gin diatas batas kewajaran
5. Trauma yang berlebihan.

Ada beberapa perawatan untuk berbagai jenis halusinasi. Namun, bagi mereka yang
berhalusinasi yang disebabkan oleh penyakit mental, seorang psikolog atau psikiater harus
waspada, dan pengobatan akan didasarkan pada pengamatan dokter. Antipsikotik dan obat
antipsikotik atipikal juga dapat digunakan untuk mengobati penyakit ini jika gejala yang parah
dan menyebabkan penderitaan yang signifikan. Untuk penyebab lain dari halusinasi tidak ada
bukti faktual untuk mendukung salah satu pengobatan secara ilmiah teruji dan terbukti. Namun,
berpantang dari obat halusinogen, mengelola tingkat stres, hidup sehat, dan mendapatkan banyak
tidur dapat membantu mengurangi prevalensi halusinasi. Dalam semua kasus halusinasi
membutuhkan perhatian medis dan harus dicari dan informasi mengenai gejala khusus mengapa
seseorang mengidap halusinasi.

Sumber: http://id.shvoong.com/medicine-and-health/epidemiology-public-health/2282994-
pengertian-halusinasi/#ixzz2FV1quoUO
Halusinasi adalah persepsi yang kuat atas suatu peristiwa atau objek yang sebenarnya tidak ada.
Halusinasi dapat terjadi pada setiap panca indra (yaitu penglihatan, pendengaran, perasa,
penciuman, atau perabaan). Meskipun halusinasi adalah bagian dari banyak penyakit, ada juga
saat-saat di mana ia dianggap normal atau umum, misalnya ketika tertidur atau selama
pengalaman religius.

Halusinasi dapat terjadi dalam berbagai bentuk yang paralel dengan indra manusia. Halusinasi
visual melibatkan indra penglihatan, atau “melihat sesuatu.” Halusinasi pendengaran umumnya
melibatkan “pendengaran suara”, jenis paling umum dari halusinasi. Kadang-kadang, halusinasi
dapat mencakup pengalaman suara dan visual; profesional kesehatan mental menggambarkannya
sebagai “halusinasi auditori-visual.” Mencium adanya bau atau merasakan ada sesuatu di kulit
seseorang yang sebenarnya tidak ada adalah bentuk-bentuk halusinasi somatik (berasal dari
soma, kata Yunani untuk tubuh). Perbedaan halusinasi dengan delusi adalah bahwa delusi
merupakan kesalahpahaman atas hal-hal yang secara objektif hadir.

Waham adalah suatu keyakinan kokoh yang salah dan tidak sesuai dengan fakta dan keyakinan tersebut
mungkin “aneh” (misal, mata saya adalah komputer yang dapat mengontrol dunia) atau bisa pula “tidak
aneh” hanya sangat tidak mungkin, misal, “FBI mengikuti saya”) dan tetap dipertahankan meskipun
telah diperlihatkan bukti-bukti yang jelas untuk mengoreksinya. waham sering ditemui pada gangguan
jiwa berat dan beberapa bentuk waham yang spesifik sering ditemukan pada skizofrenia. semakin akut
psikosis semakin sering ditemui waham disorganisasi dan waham tidak sistematis. Adapun macam –
macam waham yaitu :

Waham bingung yang aneh


waham kejar, terutama bentuk tidak sistematis
Waham kebesaran
Waham mempengaruhi, pasien yakin bahwa mereka dapat mengontrol suatu presitiwa melalui
telepati.
 Waham rujukan, pasien meyakini ada arti di balik peristiwa – peristiwa dan meyakini perbuatan orang
lain seolah – seolah secara khusus diarahkan pada mereka.
Waham penyiaran pikiran, keyakinan bahwa orang lain dapat mendengar pikiran mereka
Waham penyisipan pikiran, keyakinan bahwa pikiran orang lain dimasukkan dalam benak pasien.

GANGGUAN WAHAM
Pasien ini tidak memperlihatkan gangguan pikiran dan mood yang perfasif seperti yang ditemukan pada
kondisi psikotik lain. tidak ada afek datar atau afek tidak serasi, halusinasi yang menonjol, atau waham
aneh yang nyata. pasien memiliki satu atau beberapa waham, sering berupa waham kejar, dan
ketidaksetiaan dan dapat juga berbentuk waham kebesaran, somatik, atau eretomania yang :
• Biasanya spesial (misal, melibatkan orang, kelompok, tempat, atauwaktu tertentu, atau aktivitas
tertentu)
• Biasanya terorganisasi dengan baik (misal, “orang jahat ini” mengumpulkan alasan – alasan tentang
sesuatu yang sedang dikerjakannya yang dapat dijelaskannya secara rinci).
• Biasanya waham kebesaran (misal, sekelompok yang berkuasa tertarik hanya kepadanya)
• Wahamnya tidak cukup aneh untuk mengesankan skizofrenia.
Pasien – pasien ini (cenderung berusia 40 -an) mungkin tidak dapat dikenali sampai sistem waham
mereka disadari oleh keluarga atau teman – temannya
Diagnosis mungkin sulit karena pasien sangat tidak percaya pada pemeriksa dan tidak mencari
pengobatan secara sukarela. mereka sering sangat sensitif, argumentatif. meskipun ia dapat melakukan
pekerjaan dengan baik dan dalam hal – hal di luar waham mereka, ia cenderung mengalami isolasi sosial
baik karena keinginan mereka sendiria tau akibat ketidakramahan mereka (misal, pasangannya sering
mengabaikan mereka). Apabila terdapat disfungsi pekerjaan dan sosial, biasanya hal ini merupakan
respon langsung terhadap waham mereka.
Kondisi ini sering tampak membentuk kesinambungan klinis dengan kondisi seperti kepribadian
paranoid, skizofrenia paranoid, penggambaran mengenai batas – batas setiap sindrom menunggu
penelitian lebih lanjut. Singkirkan gangguan afektif,
ide – ide paranoid dan cemburu sering terdapat pada depresi. paranoid sering terdapat pada orang tua
dan pada orang yang menyalahgunakan zat stimulan. reaksi paranoid akut sering ditemui pada pasien
dengan delirium ringan dan pasien yang harus berada ditempat tidur karena sakit (dan sensorisnya
terganggu).
Etiologi tidak diketahui. tidak ada faktor genetik atau biologik yang telah diidentifikasi. insidennya lebih
tinggi pada kelompok pengungsi, kelompok minoritas, dan orang dengan gangguan pendengaran. ada
kecenderungan hubunhan di dalam keluarganya yang ditandai dengan kekacauan, tidak berperasaan,
dingin. Saat ini, kebermaknaan keadaan keluarga seperti ini sebagai etiologi belum pasti. mekanisme
pertahanan spesifik yang digunakan oleh pasien biasanya penyangkalan, proyeksi, dan regresi.

PERILAKU WAHAM
Waham agama: percaya bahwa seseorang menjadi kesayangan supranatural atau alat supranatural
 Waham somatik: percaya adanya gangguan pada bagian tubuh
 Waham kebesaran: percaya memiliki kehebatan atau kekuatan luar biasa
 Waham curiga: kecurigaan yang berlebihan atau irasional dan tidak percaya dg orang lain
Siar pikir: percaya bahwa pikirannya disiarkan ke dunia luar
 Sisip pikir: percaya ada pikiran orang lain yang masuk dalam pikirannya

Kontrol pikir: merasa perilakunya dikendalikan oleh pikiran orang lain

Waham adalah suatu keyakinan kokoh yang salah dan tidak sesuai dengan fakta dan keyakinan tersebut
mungkin “aneh” (misal, mata saya adalah komputer yang dapat mengontrol dunia) atau bisa pula “tidak
aneh” hanya sangat tidak mungkin, misal, “FBI mengikuti saya”) dan tetap dipertahankan meskipun
telah diperlihatkan bukti-bukti yang jelas untuk mengoreksinya. waham sering ditemui pada gangguan
jiwa berat dan beberapa bentuk waham yang spesifik sering ditemukan pada skizofrenia. semakin akut
psikosis semakin sering ditemui waham disorganisasi dan waham tidak sistematis. Adapun macam –
macam waham yaitu :
§ Waham bingung yang aneh
§ waham kejar, terutama bentuk tidak sistematis
§ Waham kebesaran
§ Waham mempengaruhi, pasien yakin bahwa mereka dapat mengontrol suatu presitiwa melalui
telepati.
§ Waham rujukan, pasien meyakini ada arti di balik peristiwa – peristiwa dan meyakini perbuatan orang
lain seolah – seolah secara khusus diarahkan pada mereka.
§ Waham penyiaran pikiran, keyakinan bahwa orang lain dapat mendengar pikiran mereka
§ Waham penyisipan pikiran, keyakinan bahwa pikiran orang lain dimasukkan dalam benak pasien.

TERAPI SKIZOFRENIA

TERAPI SKIZOFRENIA

I.1. TERAPI BIOLOGIS


I.1.1 Penggunaan Obat Antipsikosis
Obat-obatan antipsikosis yang dapat meredakan gejala-gejala schizophrenia adalah
chlorpromazine (thorazine) dan fluphenazine decanoate (prolixin). Kedua obat tersebut termasuk
kelompok obat phenothiazines, reserpine (serpasil), dan haloperidol (haldol). Obat ini disebut
obet penenang utama. Obat tersebut dapat menimbulkan rasa kantuk dan kelesuan, tetapi tidak
mengakibatkan tidur yang lelap, sekalipun dalam dosis yang sangat tinggi (orang tersebut dapat
dengan mudah terbangun). Obat ini tampaknya mengakibatkan sikap acuh pada stimulus. luar.
Obat ini cukup tepat bagi penderita schizophrenia yang tampaknya tidak dapat menyaring
stimulus yang tidak relevan).
Bukti menunjukkan bahwa obat antipsikotik ini bekerja pada bagian batang otak, yaitu sistem
retikulernya, yang selalu mengendalikan masukan berita dari alat indera pada cortex cerebral.
Obat-obatan ini tampaknya mengurangi masukan sensorik pada sistem retikuler, sehingga
informasi tidak mencapai cortex cerebral. Obat antipsikotik telah terbukti efektif untuk
meredakan gejala schizophrenia, memperpendek jangka waktu pasien di rumah sakit, dan
mencegah kambuhnya penyakit. Namun, obat-obatan tersebut bukan untuk penyembuhan
menyeluruh. Kebanyakan pasien harus melanjutkannya dengan perbaikan dosis pengobatan agar
dapat berfungsi di luar rumah sakit.
Di samping itu, efek penggunaan obat-obatan antipsikotik tersebut memiliki dampak sampingan
yang kurang menyenangkan, yaitu mulut kering, pandangan mengabur, sulit berkonsentrasi,
sehingga banyak orang menghentikan pengobatan mereka. Selain itu juga terdapat dampak
sampingan yang lebih serius dalam beberapa hal, misalnya tekanan darah rendah dan gangguan
otot yang menyebabkan gerakan mulut dan dagu yang tidak disengaja (Atkinson, et al., 1991).
Selain itu, dalam 2-3 tahun terakhir ini, obat-obat psikotropik anti schizophrenic bermunculan
dan mulai digunakan di Indonesia. Obat-obat ini seperti clozapine, risperidone, olanzepine,
iloperidol, diyakini mampu memberikan kualitas kesembuhan yang lebih baik, terutama bagi
yang sudah resisten dengan obat-obat lama. Obat-obat generasi kedua ini bisa menetralisir
gejala-gejala akut schizophrenia seperti tingkah laku kacau, gaduh gelisah, waham, halusinasi
pendengaran, inkoherensi, maupun menghilangkan gejala-gejala negatif (kronik) seperti autistik
(pikiran penuh fantasi dan tak terarah), perasaan tumpul, dan gangguan dorongan kehendak.
Namun, obat-obat anti schizophrenia ini memiliki harga yang cukup mahal. Sementara, penderita
schizophrenia di Indonesia kebanyakan berasal dari golongan sosial ekonomi rendah dan
biasanya menggunakan obat-obatan klasik (generik) (Wicaksana, 2000).

I.1.2 Terapi Elektrokonvulsif


Terapi Elektrokonvulsif disingkat ECT juga dikenal sebagai terapi elektroshock. ECT telah
menjadi pokok perdebatan dan keprihatinan masyarakat karena beberapa alasan. Di masa lalu
ECT ini digunakan di berbagai rumah sakit jiwa pada berbagai gangguan jiwa, termasuk
schizophrenia. Namun terapi ini tidak membuahkan hasil yang bermanfaat. Sebelum prosedur
ECT yang lebih manusiawi dikembangkan, ECT merupakan pengalaman yang sangat
menakutkan pasien. Pasien seringkali tidak bangun lagi setelah aliran listrik dialirkan ke
tubuhnya dan mengakibatkan ketidaksadaran sementara, serta seringkali menderita kerancuan
pikiran dan hilangnya ingatan setelah itu. Adakalanya, intensitas kekejangan otot yang menyertai
serangan otak mengakibatkan berbagai cacat fisik.
Namun, sekarang ECT sudah tidak begitu menyakitkan. Pasien diberi obat bius ringan dan
kemudian disuntik dengan penenang otot. Aliran listrik yang sangat lemah dialirkan ke otak
melalui kedua pelipis atau pada pelipis yang mengandung belahan otak yang tidak dominan.
Hanya aliran ringan yang dibutuhkan untuk menghasilkan serangan otak yang diberikan, karena
serangan itu sendiri yang bersifat terapis, bukan aliran listriknya. Penenang otot mencegah
terjadinya kekejangan otot tubuh dan kemungkinan luka. Pasien bangun beberapa menit dan
tidak ingat apa-apa tentang pengobatan yang dilakukan. Kerancuan pikiran dan hilang ingatan
tidak terjadi, terutama bila aliran listrik hanya diberikan kepada belahan otak yang tidak
dominant (nondominan hemisphere). Empat sampai enam kali pengobatan semacam ini biasanya
dilakukan dalam jangka waktu 2 minggu.
Akan tetapi, ECT ini tidak cukup berhasil untuk penyembuhan schizophrenia, namun lebih
efektif untuk penyembuhan penderita depresi tertentu (Atkinson, et al.,1991).

I.1.3 Pembedahan bagian otak


Pada tahun 1935, Moniz (Davison, et al., 1994) memperkenalkan prefrontal lobotomy, yaitu
preoses pembedahan pada lobus frontalis penderita schizophrenia. Menurut Moniz, cara ini
cukup berhasil dalam proses penyembuhan yang dilakukannya, khususnya pada penderita yang
berperilaku kasar. Akan tetapi, pada tahun 1950 -an cara ini ditinggalkan karena menyebabkan
penderita kehilangan kemampuan kognitifnya, otak tumpul, tidak bergairah, bahkan meninggal.

I.2 PSIKOTERAPI
Gejala-gejala gangguan schizophrenia yang kronik telah membuat situasi pengobatan di dalam
maupun di luar Rumah Sakit Jiwa (RSJ) menjadi monoton dan menjemukan. Para psikiater dan
petugas kesehatan terkondisi untuk menangani schizophrenia dengan obat saja selain terapi
kejang listrik (ECT). Psikoterapi suportif, terapi kelompok, maupun terapi perilaku hampir tidak
pernah dilakukan, karena dianggap tidak akan banyak manfaatnya. Wawancara tatap muka yang
rutin dengan pasien jarang dilakukan (Wicaksana, 2000).
Psikoterapi adalah perawatan dan penyembuhan gangguan jiwa dengan cara psikologis. beberapa
pakar psikoterapi beranggapan bahwa perubahan perilaku tergantung pada pemahaman individu
atas motif dan konflik yang tidak disadari.
I.2.1 Terapi Psikoanalisa.
Terapi Psikoanalisa adalah metode terapi berdasarkan konsep Freud. Tujuan psikoanalisis adalah
menyadarkan individu akan konflik yang tidak disadarinya dan mekanisme pertahanan yang
digunakannya untuk mengendalikan kecemasannya . Hal yang paling penting pada terapi ini
adalah untuk mengatasi hal-hal yang direpress oleh penderita. Metode terapi ini dilakukan pada
saat penderita schizophrenia sedang tidak "kambuh". Macam terapi psikoanalisa yang dapat
dilakukan, adalah Asosiasi Bebas. Pada teknik terapi ini, penderita didorong untuk membebaskan
pikiran dan perasaan dan mengucapkan apa saja yang ada dalam pikirannya tanpa penyuntingan
atau penyensoran (Akinson, 1991).
Pada teknik ini, penderita disupport untuk bisa berada dalam kondisi relaks baik fisik maupun
mental dengan cara tidur di sofa. Ketika penderita dinyatakan sudah berada dalam keadaan
relaks, maka pasien harus mengungkapkan hal yang dipikirkan pada saat itu secara verbal. Pada
saat penderita tidur di sofa dan disuruh menyebutkan segala macam pikiran dan perasaan yang
ada di benaknya dan penderita mengalami blocking, maka hal itu merupakan manifestasi dari
keadaan over-repressi. Hal yang direpress biasanya berupa dorongan vital seperti sexual dan
agresi. Repressi terhadap dorongan agresi menyangkut figur otorotas yang selalu diwakili oleh
father dan mother figure. Repressi anger dan hostile merupakan salah satu bentuk intrapsikis
yang biasa menyebabkan blocking pada individu. Akibat dari blocking tersebut, maka integrasi
kepribadian menjadi tidak baik, karena ada tekanan ego yang sangat besar.
Menurut Freud, apabila terjadi blocking dalam proses asosiasi bebas, maka penderita akan
melakukan analisa. Hasil dari analisanya dapat menimbulkan insight pada penderita. Analisa
pada waktu terjadi blocking bertujuan agar penderita mampu menempatkan konfliknya lebih
proporsional, sehingga penderita mengalami suatu proses penurunan ketegangan dan penderita
lebih toleran terhadap konflik yang dialaminya. Seperti yang telah diungkapkan terdahulu bahwa
penderita diberi kesempatan untuk dapat mengungkapkan segala traumatic events dan keinginan-
keinginan yang direpressnya. Waktu ini disebut dengan moment chatarsis. Disini penderita diberi
kesempatan untuk mengeluarkan uneg-uneg yang ia rasakan , sehingga terjadi redusir terhadap
pelibatan emosi dalam menyelesaikan masalah yang dialaminya. Dalam teknik asosiasi bebas ini,
juga terdapat proses transference, yaitu suatu keadaan dimana pasien menempatkan therapist
sebagai figur substitusi dari figur yang sebenarnya menimbulkan masalah bagi penderita.
Terdapat 2 macam transference, yaitu:
(1) transference positif, yaitu apabila therapist menggantikan figur yang disukai oleh penderita,
(2) transference negatif, yaitu therapist menggantikan figur yang dibenci oleh penderita (Fakultas
Psikologi UNPAD, 1992).

I.2.2 Terapi Perilaku (Behavioristik)


Pada dasarnya, terapi perilaku menekankan prinsip pengkondisian klasik dan operan, karena
terapi ini berkaitan dengan perilaku nyata. Para terpist mencoba menentukan stimulus yang
mengawali respon malasuai dan kondisi lingkungan yang menguatkan atau mempertahankan
perilaku itu (Ullaman dan Krasner, 1969; Lazarus, 1971 dalam Atkinson, 1991).
Akhir-akhir ini, pakar terapi perilaku melihat adanya pengaruh variabel kognitif pada perilaku
(misalnya, pemikiran individu tentang situasi menimbulkan kecemasan tentang akibat dari
tindakan tertentu) dan telah mencakupkan upaya untuk mengubah variabel semacam itu dengan
prosedur yang khusus ditujukan pada perilaku tersebut (Bandura, 1982; Meinchenbaum dan
Jaremko, 1982 dalam Atkinson, 1991). Pada kongres psikiatri di Malaysia pada tahun 2000,
cognitif - behavior therapy untuk pasien schizophrenia ditampilkan pakar psikiatri dari Amerika
maupun dari Malaysia sendiri. Ternyata, terdapat hasil yang cukup baik, terutama untuk kasus-
kasus baru, dengan menggunakan cognitif - behavior therapy tersebut. Rupanya ada gelombang
besar optimisme akan kesembuhan schizophrenia di dunia dengan terapi yang lebih
komprehensif ini. Selain itu, secara umum terapi ini juga bermaksud secara langsung membentuk
dan mengembangkan perilaku penderita schizophrenia yang lebih sesuai, sebagai persiapan
penderita untuk kembali berperan dalam masyarakat. Paul dan Lentz (Rathus,et al., 1991;
Davison, et al., 1994) menggunakan dua bentuk program psikososial untuk meningkatkan fungsi
kemandirian.
a. Social Learning Program.
Social learning program menolong penderita schizophrenia untuk mempelajari perilaku-perilaku
yang sesuai. Program ini menggunakan token economy, yakni suatu cara untuk menguatkan
perilaku dengan memberikan tanda tertentu (token) bila penderita berhasil melakukan suatu
perilaku tertentu. Tanda tersebut dapat ditukar dengan hadiah (reward), seperti makanan atau
hak-hak tertentu. Program lainnya adalah millieu program atau therapeutic community. Dalam
program ini, penderita dibagi dalam kelompok-kelompok kecil yang mempunyai tanggung jawab
untuk tugas-tugas tertentu. Mereka dianjurkan meluangkan waktu untuk bersama-sama dan
saling membantu dalam penyesuaian perilaku serta membicarakan masalah-masalah bersama
dengan pendamping. Terapi ini berusaha memasukkan penderita schizophrenia dalam proses
perkembangan untuk mempersiapkan mereka dalam peran sosial yang bertanggung jawab
dengan melibatkan seluruh penderitan dan staf pembimbing. Dalam penelitian, social learning
program mempunyai hasil yang lebih baik dibandingkan dengan perawatan dalam rumah sakit
jiwa dan millieu program. Persoalan yang muncul dalam terapi ini adalah identifikasi tentang
unsur-unsur mana yang efektif. Tidak jelas apakah penguatan dengan tanda (token) ataukan
faktor-faktor lain yang menyebabkan perubahan perilaku; dan apakah program penguatan dengan
tanda tersebut membantu perubahan perilaku hanya selama tanda diberikan atau hanya dalam
lingkungan perawatan.

b. Social Skills Training.


Terapi ini melatih penderita mengenai ketrampilan atau keahlian sosial, seperti kemampuan
percakapan, yang dapat membantu dalam beradaptasi dengan masyarakat (Rathus, et al., 1991;
Davisoan, et al., 1994; Sue, et al., 1986). Social Skills Training menggunakan latihan bermain sandiwara.
Para penderita diberi tugas untuk bermain peran dalam situasi-situasi tertentu agar mereka dapat
menerapkannya dalam situasi yang sebenarnya. Bentuk terapi seperti ini sering digunakan dalam panti-
panti rehabilitasi psikososial untuk membantu penderita agar bisa kembali berperan dalam masyarakat.
Mereka dibantu dan didukung untuk melaksanakan tugas-tugas harian seperti memasak, berbelanja,
ataupun untuk berkomunikasi, bersahabat, dan sebagainya. Meskipun terapi ini cukup berhasil, namun
tetap ada persoalan bagaimana mempertahankan perilaku bila suatu program telah selesai, dan
bagaimana dengan situasi-situasi yang tidak diajarkan secara langsung.

I.2.3 Terapi Humanistik


a. Terapi Kelompok.
Banyak masalah emosional menyangkut kesulitan seseorang dalam berhubungan dengan orang lain,
yang dapat menyebabkan seseorang berusaha menghindari relasinya dengan orang lain, mengisolasi
diri, sehingga menyebabkan pola penyelesaian masalah yang dilakukannya tidak tepat dan tidak sesuai
dengan dunia empiris. Dalam menangani kasus tersebut, terapi kelompok akan sangat bermanfaat bagi
proses penyembuhan klien, khususnya klien schizophrenia.
Terapi kelompok ini termasuk salah satu jenis terapi humanistik. Pada terapi ini, beberapa klien
berkumpul dan saling berkomunikasi dan terapist berperan sebagai fasilitator dan sebagai pemberi arah
di dalamnya. Di antara peserta terapi tersebut saling memberikan feedback tentang pikiran dan
perasaan yang dialami oleh mereka. Klien dihadapkan pada setting sosial yang mengajaknya untuk
berkomunikasi, sehingga terapi ini dapat memperkaya pengalaman mereka dalam kemampuan
berkomunikasi. Di rumah sakit jiwa, terapi ini sering dilakukan. Melalui terapi kelompok ini iklim
interpersonal relationship yang konkrit akan tercipta, sehingga klien selalu diajak untuk berpikir secara
realistis dan menilai pikiran dan perasaannya yang tidak realistis.
b. Terapi Keluarga.
Terapi keluarga ini merupakan suatu bentuk khusus dari terapi kelompok. Kelompoknya terdiri atas
suami istri atau orang tua serta anaknya yang bertemu dengan satu atau dua terapist. Terapi ini
digunakan untuk penderita yang telah keluar dari rumah sakit jiwa dan tinggal bersama keluarganya.
Ungkapan-ungkapan emosi dalam keluarga yang bisa mengakibatkan penyakit penderita kambuh
kembali diusahakan kembali. Keluarga diberi informasi tentang cara-cara untuk mengekspresikan
perasaan-perasaan, baik
yang positif maupun yang negatif secara konstruktif dan jelas, dan untuk memecahkan setiap persoalan
secara bersama-sama. Keluarga diberi pengetahuan tentang keadaan penderita dan cara-cara untuk
menghadapinya. Keluarga juga diberi penjelasan tentang cara untuk mendampingi, mengajari, dan
melatih penderita dengan sikap penuh penghargaan. Perlakuan-perlakuan dan pengungkapan emosi
anggota keluarga diatur dan disusun sedemikian rupa serta dievaluasi. Dari beberapa penelitian, seperti
yang dilakukan oleh Fallon (Davison, et al., 1994; Rathus, et al., 1991) ternyata campur tangan keluarga
sangat membantu dalam proses penyembuhan, atau sekurang-kurangnya mencegah kambuhnya
penyakit penderita, dibandingkan dengan terapi

Anda mungkin juga menyukai