Anda di halaman 1dari 14

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
  Jamur yang bisa menyebabkan penyakit pada manusia antara lain adalah
dermatofita (dermatophyte, bahasa yunani, yang berarti tumbuhan kulit) dan  jamur serupa ragi
candida albican, yang menyebabkan terjadinya infeksi jamur superficial pada kulit, rambut,
kuku, dan selaput lendir. Jamur lainnya dapat menembus jaringan hidup dan menyebabkan
infeksi dibagian dalam. Jamur yang  berhasil masuk bisa tetap berada di tempat (misetoma) atau
menyebabkan  penyakit sistemik (misalnya, histoplasmosis) (Sunartatie, 2010).
Insidensi mikosis superfisial sangat tinggi di Indonesia karena menyerang masyarakat
luas, oleh karena itu akan dibicarakan secara luas. Sebaliknya mikosis  profunda jarang terdapat.
Yang termasuk ke dalam mikosis superfisial terbagi 2: kelompok dermatofitosis dan non-
dermatofitosis. Istilah dermatofitosis harus dibedakan di sini dengan dermatomikosis.
Dermatofitosis ialah penyakit pada  jaringan yang mengandung zat tanduk, misalnya stratum
korneum pada epidermis, rambut, dan kuku yang disebabkan golongan jamur dermatofita.
Penyebabnya adalah dermatofita yang mana golongan jamur ini mempunyai sifat mencerna
keratin. Dermatofita termasuk kelas fungi imperfecti yang terbagi dalam genus, yaitu
microsporum, trichophyton, dan epidermophyton. Selain sifat keratolitik masih banyak sifat yang
sama di antara dermatofita, misalnya sifat faali, taksonomis, antigenik, kebutuhan zat makanan
untuk pertumbuhannya, dan  penyebab penyakit (Sunartatie, 2010).
Hingga kini dikenal sekitar 40 spesies dermatofita, masing-masing 2 spesies
epidermophyton, 17 species microsporum, dan 21 species trichophyton. Pada tahun-tahun
terakhir ditemukan bentuk sempurna (perfect stage), yang terbentuk oleh dua koloni yang
berlainan “jenis kelaminnya”. Adanya bentuk sempurna ini menyebabkan dermatofita dapat
masuk kedalam family gymnoascaceae. Dikenal genus Nannizzia dan arthroderma yang masing-
masing dihubungkan dengan genus microsporum dan tricophyton (Kurniati, 2008).
Penyakit infeksi jamur di kulit mempunyai prevalensi tinggi di Indonesia, oleh karena
negara kita beriklim tropis dan kelembabannya tinggi. Dermatofitosis adalah infeksi jamur
superfisial yang disebabkan genus dermatofita, yang dapat mengenai kulit, rambut dan kuku.
Manifestasi klinis bervariasi dapat menyerupai  penyakit kulit lain sehingga selalu menimbulkan
diagnosis yang keliru dan kegagalan dalam penatalaksanaannya. Diagnosis dapat ditegakkan
secara klinis dan identifikasi laboratorik. Pengobatan dapat dilakukan secara topikal dan
sistemik. Pada masa kini banyak pilihan obat untuk mengatasi dermatofitosis, baik dari golongan
antifungal konvensional atau antifungal terbaru. Pengobatan yang efektif ada kaitannya dengan
daya tahan seseorang, faktor lingkungan dan agen  penyebab. Prevalensi di Indonesia, dermatosis
akibat kerja belum mendapat  perhatian khusus dari pemerintah atau pemimpin perusahaan
walaupun jenis dan tingkat prevalensinya cukup tinggi (Kurniati, 2008).
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa definisi dari dermatofitosis?
2. Bagaimana kausa penyakit dari dermatofitosis?
3. Bagaimana patofisiologi dan patologi organ yang terinfeksi dermatofitosis?
4. Bagaimana diagnosa penyakit dan diagnosa banding dari dermatofitosis?
5. Bagaimana pengobatan dari dermatofitosis?
1.3 Tujuan
Tujuan pada pembuatan makalah ini adalah untuk mengetahui apa definisi dari
dermatofitosis, untuk mengetahui bagaimana etiologi dari dermatofitosis, untuk mengetahui
apa kausa penyakit dari dermatofitosis, untuk mengetahui bagaimana patofisiologi dan
patologi organ dari penyakit dermatofitosis, untuk memahami diagnosa penyakit dan
diagnosa banding penyakit dermatofitosis, dan untuk mengetahui bagaimana pengobatan dari
dermatofitosis pada kambing.
1.4 Manfaat
Manfaat yang dapat diambil dalam pembuatan makalah ini ialah dapat memberikan
informasi yang lebih banyak lagi untuk penyakit dermatofitosis yang disebabkan oleh
beberapa agent pembawanya, dan memberikan pengetahuan yang baik untuk mencegah
terjadinya penyakit dermatofitosis pada kambing
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Kausa Penyakit


Dermatofitosis adalah penyakit yang disebabkan oleh kolonisasi jamur dermatofit yang
menyerang jaringan yang mengandung keratin seperti stratum korneum kulit, rambut dan kuku
pada manusia dan hewan. Dermatofit adalah sekelompok jamur yang memiliki kemampuan
membentuk molekul yang berikatan dengan keratin dan menggunakannya sebagai sumber nutrisi
untuk membentuk kolonisasi (Sunartatie, 2010).
Terdapat tiga genus penyebab dermatofitosis, yaitu Trichophyton, Microsporum, dan
Epidermophyton, yang dikelompokkan dalam kelas Deuteromycetes. Dari ketiga genus tersebut
telah ditemukan 41 spesies, terdiri dari 17 spesies Microsporum, 22 spesies Trichophyton, 2
spesies Epidermophyton. Dari 41 spesies yang telah dikenal, 17 spesies diisolasi dari infeksi
jamur pada manusia, 5 spesies Microsporum menginfeksi kulit dan rambut, 11 spesies
Trichophyton meninfeksi kulit, rambut dan kuku, 1 spesies Epidermophyton menginfeksi hanya
pada kulit dan jarang pada kuku. Spesies terbanyak yang menjadi penyebab dermatofitosis di
Indonesia adalah: Trichophyton rubrum (T. rubrum). Ditemukan spesies terbanyak yang berhasil
dikultur adalah M. audiouinii (14,6%), T. rubrum (12,2%), T. mentagrophytes (7,3%) (Kurniati,
2008).
Penyebab Dermatofitosis pada kambing dan domba umumnya dari genus Trichophyton.
Kejadian dermatofitosis pada domba akibat dari infeksi agent T. mentagrophytes. Infeksi di duga
terjadi akibat kontak dengan artrospora atau konidia dari T. mentagrophytes yang bersumber dari
rodensia, mengingat T. mentagrophytes bersifat zoofilik dan rodensia merupakan reservoir serta
berpontesi sebagai sumber penularan. Selain itu, infeksi mungkin terjadi akibat kontak dengan
spora/konidia T. mentagrophytes yang terdapat di tanah.Penularan dari kambing satu ke kambing
lainnya dalam satu kandang akibat kontak antar hewan, mengingat posisi kambing dalam satu
kandang sangat berdekatan dan memungkinkan terjadinya kontak. Penyakit dperparah dengan
terjadinya iritasi akibat tanduk yang melengkung ke arah daun telinga (Sunartatie, 2010).
2.2 Patofisiologi
Terjadinya penularan dermatofitosis adalah melalui 3 cara yaitu: Antropofilik, transmisi
dari manusia ke manusia. Ditularkan baik secara langsung maupun tidak langsung melalui lantai
kolam renang dan udara sekitar rumah sakit/klinik, dengan atau tanpa reaksi keradangan (silent
“carrier”). Zoofilik, transmisi dari hewan ke manusia. Ditularkan melalui kontak langsung
maupun tidak langsung melalui bulu binatang yang terinfeksi dan melekat di pakaian, atau
sebagai kontaminan pada rumah / tempat tidur hewan, tempat makanan dan minuman hewan.
Sumber penularan utama adalah anjing, kucing, sapi, kuda dan mencit. Geofilik, transmisi dari
tanah ke manusia. Secara sporadis menginfeksi manusia dan menimbulkan reaksi radang. Untuk
dapat menimbulkan suatu penyakit, jamur harus dapat mengatasi pertahanan tubuh non spesifik
dan spesifik. Jamur harus mempunyai kemampuan melekat pada kulit dan mukosa pejamu, serta
kemampuan untuk menembus jaringan pejamu, dan mampu bertahan dalam lingkungan pejamu,
menyesuaikan diri dengan suhu dan keadaan biokimia pejamu untuk dapat berkembang biak dan
menimbulkan reaksi jaringan atau radang. (Gambar 1) Terjadinya infeksi dermatofit melalui tiga
langkah utama, yaitu: perlekatan pada keratinosit, penetrasi melewati dan di antara sel, serta
pembentukan respon pejamu (Kurniati, 2008).
Perlekatan artrokonidia pada jaringan keratin tercapai maksimal setelah 6 jam, dimediasi
oleh serabut dinding terluar dermatofit yang memproduksi keratinase (keratolitik) yang dapat
menghidrolisis keratin dan memfasilitasi pertumbuhan jamur ini di stratum korneum. Dermatofit
juga melakukan aktivitas proteolitik dan lipolitik dengan mengeluarkan serine proteinase
(urokinase dan aktivator plasminogen jaringan) yang menyebabkan katabolisme protein ekstrasel
dalam menginvasi pejamu. Proses ini dipengaruhi oleh kedekatan dinding dari kedua sel, dan
pengaruh sebum antara artrospor dan korneosit yang dipermudah oleh adanya proses trauma atau
adanya lesi pada kulit. Tidak semua dermatofit melekat pada korneosit karena tergantung pada
jenis strainnya (Kurniati, 2008).

Gambar 1. Epidermomikosis dan trikhomikosis. Epidermomikosis (A), dermatofit (titik dan garis merah) memasuki
stratum korneum dengan merusak lapisan tanduk dan juga menyebabkan respons radang (titik hitam sebagai sel-sel
radang) yang berbentuk eritema, papula, dan vasikulasi. Sedangkan pada trikhomikosis pada batang rambut (B),
ditunjukkan titik merah, menyebabkan rambut rusak dan patah, jika infeksi berlanjut sampai ke folikel rambut, akan
memberikan respons radang yang lebih dalam, ditunjukkan titik hitam, yang mengakibatkan reaksi radang berupa
nodul, pustulasi folikel,dan pembentukan abses.

2.3 Patologi Anatomi


Pembagian dermatofitosis berdasarkan lokasi infeksi atau ciri tertentu, sebagai berikut:
(Tabel 1) (Kurniati, 2008).
2.5 Diagnosa Penyakit

Penegakan diagnosis dermatofitosis pada umumnya dilakukan secara klinis, dapat


diperkuat dengan pemeriksaan mikroskopis, kultur, dan pemeriksaan dengan lampu wood pada
spesies tertentu. Tabel 2 menunjukkan karakteristik dermatofit penyebab tinea kapitis. Pada
pemeriksaan dengan emeriksaan KOH 10–20%, tampak dermatofit yang memiliki septa dan
percabangan hifa. Pemeriksaan kultur dilakukan untuk menentukan spesies jamur penyebab
dermatofitosis (Tabel 3) (Kurniati, 2008).
Sampel berupa kerokan kulit hewan kambing yang di duga menderita dermatofitosis.
Karena memiliki gejala klinis berupa: kebotakan pada daerah telinga, mula-mula berbentuk
lingkaran kemudian menyebar hinga hamper seluruh daun telinga. Sampel diambil pada batas
kulit yang sehat dan mengalami perubahan. Pengambilan sampel dilakukan secara aseptis
menggunakan skalpe steril, kemudian sampel dimasukan kedalam plastik flip untuk dibawa ke
laboratorium (Sunartatie, 2010).

Media dan bahan kimia yang digunakan adalah KOH 10%, Lactophenol cotton Blue
(Merck), Aquadest steril, kertas saring, selophan tape, dermasel agar base (Oxoid) dan dermasel
selective supplement (Oxoid), sedangkan peralatanyang digunakan berup: scalpel, pastik ber-flip,
mikroskop, gelas objek, gelas penutup, cawan petri dan pipa U (Sunartatie, 2010).
Metode pemeriksaan dilakukan langsung secara mikroskopis dan dilakukan isolasi serta
identifikasi. Pemeriksaan langsung secar mikroskopis dilakukan dengan cara: sampel kerokan
kulit dibuat preparat natif menggunakan KOH 10%, Adanya hifa dan bentuk makrokonidia dari
kapang dermatofita diamati menggunakan mikroskop dengan perbesaran objektif 10x dan 40x
(Sunartatie, 2010).

Isolasi dan identifikasi dilakukan dengan sampel kerokan kulit dibiakkan pada media
agar dermasel yang mengandung suplemen: 400mg/l cycloheximide dan 50mg/l
chloramphenicol, kemudian diinkubasi pada suhu kamar selama 14 hari. Adanya pertumbuhan
kapang diamati secara makroskopis (untuk mengamati morfologi koloni). Pengamatan morfologi
mikroskopis dilakukan secara natif (Sunartatie, 2010).

Hasil isolasi sampel pada media agar Dermasel menunjukkan adanya pertumbukan koloni
kapang setelah 5 hari , tetapi koloni matang ditunjukkan setelah 14 hari. Gambaran koloni
kapang yang tumbuh mula-mula menunjukkan seperti bulu-bulu halus, flat dan berwarna kuning
kemudian berubah menjadi fluffy powdery dan berwarna krem kecoklatan, serta menunjukkan
adanya pertumbuhan yang bersifat concentric rings(Sunartatie, 2010).

Gambaran mikroskopis kapang hasil isolasi menunjukkan hifabersepta dan bercabang ,


beberapa ujung hifa terlihat berbentuk spiral. Mitokonidia terlihat berbentuk cerutu,terdiri dari 3
sampai 6 sel. Berdinding tipis dan halus. Makrokonidia menempel pada hifa dengan tangkai
pendek. Mikrokonidia berbentuk seperti tetesan airmata, tersusun sepanjang hifa. Selain itu
ditemukan juga klamidiospora dan nodular bodies. Gambaran hifa berbentuk spiral dan bentuk
makronidia diperlihatkan pada gambar 2. Berdasarkan gambaran maksroskopis dan
minkroskopis, kapang hasil isolasi tersebut diidentifikasi sebagai trichophyton
mentagrophytes(Sunartatie, 2010).

Penyebab dermatofitosis pada kambing dan domba umumnya dari genus Trichophyton.
Kejadian dermathophytosis pada domba akibat T. Mentagrophytes telah dilaporkan di kolkata,
India. Kejadian dermatofitosis lainnya pada berbagai hewan di teheran, Iran. Hasil penelitian
menyebutkan , bahwa dari 6 ekor kambing yang secara klinis didiagnosa menderita
dermatofitosis, 100% berhasil diisolasi T. Mentagrophytes(Sunartatie, 2010).
Infeksi diduga terjadi akibat kontak dengan artrospora atau konidia dari T.
Mentagrophytes yang bersumber dari rodensia, mengingat T. Mentagrophytes bersifat zoofilik
dan rodensia merupakan reservoir serta berpotensi sebagai sumber penularan. Selain itu, infeksi
mungkin terjadi akibat kontak dengan spora/ konidia T mentagrophytes yang terdapat di tanah .
telah dilaporkan T mentagrophytes dapat ditemukan di tanah dari beberapa negara misalnya
india. Penularan dari kambing satu ke kambing lainnya dalam satu kandang akibat kontak antar
hewan, mengingat posisi kambing dalam satu kandang sangat berdekatan dan memungkinkan
terjadinya kontak . Penyakit diperparah dengan terjadinya iritasi akibat tanduk yang melengkung
ke arah daun telinga(Sunartatie, 2010).

2.4 Diagnosa Banding

Ada beberapa diagnosis banding dermatofitosis pada kambing dan domba akibat T.
mentagraphytes antara lain tinea korporis, eritema anulare sentrifugum, eksema numular,
granuloma anulare, psoriasis, dermatitis seboroik, pitiriasis rosea, liken planus dan dermatitis
kontak (Verma dan Heffernan,2008).

2.5 Pengobatan

Diagnosa ditegakkan berdasarkan gejala klinis dan pemeriksaan laboratorium yaitu


mikroskopis langsung dan kultur (Verma dan Heffernan,2008). Pengobatan infeksi jamur
dibedakan menjadi pengobatan non medication dan pengobatan medication .
Non Medication
Menurut Badan POM RI (2011), dikatakan bahwa penatalaksanaan non medikamentosa
adalah sebagai berikut: a. Gunakan handuk tersendiri untuk mengeringkan bagian yang terkena
infeksi atau bagian yang terinfeksi dikeringkan terakhir untuk mencegah penyebaran infeksi ke
bagian tubuh lainnya. b. Jangan mengunakan handuk, baju, atau benda lainnya secara bergantian
dengan orang yang terinfeksi. c. Cuci handuk dan baju yang terkontaminasi jamur dengan air
panas untuk mencegah penyebaran jamur tersebut. d. Bersihkan kulit setiap hari menggunakan
sabun dan air untuk menghilangkan sisa-sisa kotoran agar jamur tidak mudah tumbuh. e. Jika
memungkinkan hindari penggunaan baju dan sepatu yang dapat menyebabkan kulit selalu basah
seperti bahan wool dan bahan sintetis yang dapat menghambat sirkulasi udara. f. Sebelum
menggunakan sepatu, sebaiknya dilap terlebih dahulu dan bersihkan debu-debu yang menempel
pada sepatu. g. Hindari kontak langsung dengan orang yang mengalami infeksi jamur. Gunakan
sandal yang terbuat dari bahan kayu dan karet (Verma dan Heffernan,2008).

Medication
Pengobatan tinea korporis terdiri dari pengobatan lokal dan pengobatan sistemik. Pada
tinea korporis dengan lesi terbatas,cukup diberikan obat topikal. Lama pengobatan bervariasi
antara 1-4 minggu bergantung jenis obat. Obat oral atau kombinasi obat oral dan topikal
diperlukan pada lesi yang luas atau kronik rekurens. Anti jamur topikal yang dapat diberikan
yaitu derivate imidazole, toksiklat, haloprogin dan tolnaftat. Pengobatan lokal infeksi jamur pada
lesi yang meradang disertai vesikel dan eksudat terlebih dahulu dilakukan dengan kompres basah
secara terbuka (Vermam dan Heffernan,2008).
Pada keadaan inflamasi menonjol dan rasa gatal berat, kombinasi antijamur dengan
kortikosteroid jangka pendek akan mempercepat perbaikan klinis dan mengurangi keluhan
pasien (Verma dan Heffernan,2008).
1. Pengobatan Topical
Pengobatan topikal merupakan pilihan utama. Efektivitas obat topikal dipengaruhi oleh
mekanisme kerja,viskositas, hidrofobisitas dan asiditas formulasi obat tersebut. Selain obat-obat
klasik, obat-obat derivate imidazole dan alilamin dapat digunakan untuk mengatasi masalah tinea
korporis ini. Efektivitas obat yang termasuk golongan imidaol kurang lebih sama. Pemberian
obat dianjurkan selama 3-4 minggu atau sampai hasil kultur negative. Selanjutnya dianjurkan
juga untuk meneruskan pengobatan selama 7-10 hari setelah penyembuhan klinis dan mikologis
dengan maksud mengurangi kekambuhan (Verma dan Heffernan,2008).
2. Pengobatan Sistemik
Menurut Verma dan Heffernan (2008), pengobatan sistemik yang dapat diberikan pada
tinea korporis adalah:
• Griseofulvin
Griseofulvin merupakan obat sistemik pilihan pertama. Dosis untuk anak-anak 15-20
mg/kgBB/hari, sedangkan dewasa 500-1000 mg/hari
Ketokonazol
Ketokonazol digunakan untuk mengobati tinea korporis yang resisten terhadap griseofulvin atau
terapi topikal. Dosisnya adalah 200 mg/hari selama 3 minggu.
• Obat-obat yang relative baru seperti itrakonazol serta terbinafin dikatakan cukuo memuaskan
untuk pengobatan tinea korporis.
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Dermatofitosis adalah penyakit pada jaringan yang mengandung zat tanduk yang
disebabkan oleh jamur dari genus Microsporum, Trichophyton dan Epidermophyton. Satu jenis
dermatofita dapat menghasilkan bentuk klinis yang berbeda dan tergantung letak lokasi
anatominya. Dermatofitosis meliputi tinea kapitis, tinea favosa, tinea korporis, tinea imbrikata,
tinea kruris, tinea manus, tinea pedis dan tinea unguium. Pengobatan topikal harus disesuaikan
kondisi penyakit kulitnya yang meliputi akut, subakut dan kronik karena setiap obat topikal
terdiri dari bahan dasar (vehikulum) dan bahan aktif yang berbeda-beda indikasinya. Bahan aktif
pada obat topikal antijamur memiliki manfaat fungisid dan fungistatis berdasarkan besarnya
konsentrasi, selain itu juga ada yang memiliki sifat keratolitik dan antibakteri.
Bahan aktif yang terdapat pada pengobatan jamur dermatofita meliputi bahan kimia
antiseptik (seperti Cestallani paint atau solusio carbol fuchsin), bahan keratolitik (seperti asam
salisilat yang terkandung dalam salep Whitefield), golongan allilamin (seperti naftitin dan
terbinafin), golongan benzilamin (butenafin), golongan imidazol (seperti mikonazol, klotrimazol,
ketokonazol, ekonazol, oksikonazol, sulkonazol, sertakonazol dan bifonazol) dan golongan
lainnya (seperti siklopiroks, tolnaftat dan haloprogin)
DAFTAR PUSTAKA

Verma,S., Heffernan, M.P., 2008. Superfisial Fungal Infection: Dermatophytosis,


Onychomycosis, Tinea Nigra, Piedra. Dalam: Wolff, K. (eds). Fitzpatrick’s Dermatology in
General Medicine. Vol.II. Ed.7. United States: Mcgraw- Hill, 1807-1821

Kurniati., Rosita, C., 2008. Etiopatogenesis Dermatofitosis. Surabaya ; Fakultas


KedokteranUNAIR.

Sunartatie, Titiek (2010) Trichophyton mentagrophytes sebagai Agen Penyebab Dermatofitosis


pada Kambing. jurnal sains veteriner, 28 (1).

Anda mungkin juga menyukai