Anda di halaman 1dari 3

Tulisnya, Bahagia

Ulfa Zakiyah

Sinar terik membuat keringat mereka bercucuran. Anak dan bapak itu mendorong
gerobak es caon dengan pelan, berharap ada pembeli meskipun hanya segelas.
Harapan hanyalah harapan. Setelah berjam-jam melangkahkan kaki, hasilnya nihil.

Berat hati mereka menerima keadaan, namun ini adalah cara mereka untuk hidup.
Setiap sore, mereka mencari daun caon di belakang rumah untuk diolah. Kemudian,
paginya mengkukus dan membuat santan atau bahan lain untuk dagangan. Sedangkan
untuk es batu, mereka menitipkan bungkusan air matang dan dititipkan ke
tetangganya.

Kadangkala, ketika uang habis untuk membeli bahan es caon, mereka tidak bisa
membeli beras dan lauk. Berhari-hari tanpa memakan nasi sudah biasa. Sebagai
pengganti, mereka akan mengkonsumsi sisa dagangan untuk mengisi perut.

Melihat ke depan yang terdapat pohon rindang, mereka memutuskan untuk istirahat.
Mengambil topi, kemudian mengipaskan ke area wajah. Kulitnya memerah, suhu
tubuh tinggi disertai keringat yang membasahi baju. Melihat orang menaiki kendaraan
sudah cukup untuk memendam keinginan untuk berjualan tanpa mendorong gerobak.

“Nak, kamu lihat motor itu?” tanya sang bapak sambil menunjuk ke arah parkiran
toko besar.

Dia melihat ke arah motor yang dimaksud oleh ayahnya itu. “Iya, Pak. Aku lihat.”

“Menurutmu, motor itu memiliki warna hijau atau biru?”

“Biru.”

Bapaknya tetap menatap ke motor dengan pandangan kosong. Dia menoleh ke bapak,
kemudian mengikuti arah pandang yang dituju. Dia bertanya-tanya. Apakah bapaknya
menginginkan motor itu? Terbesit keinginan membelikan motor, namun dia sadar,
makan nasi saja jarang. Mustahil untuk merealisasikan harapan itu.

Dia masih kecil—umurnya saja masih sebelas tahun. Mana mungkin dia dapat bekerja
dengan gaji yang banyak? Hatinya bergejolak, ingin sekali menangis dan merangkul
bapaknya. Gengsi adalah masalah besar, prinsip hidupnya telah mendarah daging—
“cowok harus terlihat tegar”.

Dia mulai mengingat hari-hari yang lalu. Dia marah kepada bapaknya karena tidak
membelikan kentaki ayam yang telah dijanjikan ketika berulang tahun. Kejadian itu
ternyata memberikan luka batin pada dirinya. Tiga hari dia tidak membantu bapaknya
untuk menyiapkan bahan, menemani ke pasar, bahkan berjualan.
Menghabiskan waktu untuk tidur dan bermain dengan teman sebaya membuat dia
lupa. Lupa memberi maaf kepada bapak, padahal telah meminta maaf berkali-kali dan
menjelaskan mengapa tidak membelikan kentaki ayam yang diinginkan itu. Dia juga
lupa, seharusnya dia berbakti kepada bapak. Dia lupa segalanya karena luka yang
diberikan bapaknya—semua bertempat di hati.

Setelah lama tidak mengobrol, akhirnya ayahnya bertanya, “Iyan, kamu lihat motor
itu?”

“Motor yang mana, Pak?” tanyanya sambil menoleh ke arah sang bapak. Tatapannya
tetap kosong, dia tidak mengerti, apa yang sedang dipikirkan oleh lelaki berumur 65
tahun itu.

“Iya, Pak. Aku lihat. Motor yang tadi, „kan?”

Bapaknya menangguk, kemudian bertanya lagi. “Menurutmu, motor itu memiliki


warna hijau atau biru?”

“Biru,”

Bapak hanya mengangguk. Belum ada percakapan yang menghiasi waktu istirahat
mereka. Selang beberapa menit, bapaknya bertanya lagi dengan pertanyaan yang
sama. “ Iyan, anakku. Kamu lihat motor itu?”

“Iya, Pak. Iyan lihat,” jawabnya kembali.

“Menurutmu, motor itu memiliki warna hijau atau biru?”

“Biru, Bapaak.” Dia mulai kesal. Kenapa bapaknya mendadak pikun.

Kejadian pun terulang kembali. Setelah beberapa menit tidak ada percakapan, sang
bapak kembali bertanya sampai tujuh kali. Lalu dia menjawab dengan nada jengkel,
padahal bapaknya sudah bertanya berkali-kali. “Aku sudah bilang, „kan, Pak. Motor
itu … warnanya biru …”

“Iyan, dulu ketika kamu kecil juga seperti bapak. Bertanya sampai 15 kali tentang
warna motor yang terparkir di halaman masjid. Bapak bahagia sekali, kamu jadi anak
yang aktif meskipun fisikmu kurang sempurna.”

Dia hanya terdiam. Memandang sebelah tangannya yang memiliki jari enam. Dia
teringat dulu ketika ibu dan kakaknya pergi. Mereka meninggalkan dia dengan
bapaknya hanya karena dia memiliki fisik yang cacat dan hidup miskin.

Waktu itu, bapaknya hanya merangkul dan menenangkan ketika dia menangis melihat
mereka pergi. Kenangan masa kecil yang suram sebenarnya. Akan tetapi, bapak
sangat menyayangi dia. Baginya bapak adalah sosok bapak sekaligus ibu yang dia
miliki.
Ke mana surganya pergi? Bahkan bapaknya juga tidak tahu. Dia sudah menaruh benci
pada surganya itu. Akan tetapi, bapak selalu berkata bahwa ibumu tetap ibumu. Dia
juga menjadi surgamu. Tetaplah berdoa untuk kedua orang tuamu, karena kamu anak
yang soleh.

Tiba-tiba, bapak merangkulnya. Dia tidak sadar telah meneteskan air mata. Mengelus
punggung Iyan agar tenang, adalah cara bapaknya agar anak yang dia sayangi
berhenti menangis. Dia juga sadar, hidupnya terus maju.

Dia menghapus air mata yang mengalir. Melakukan tos dengan bapaknya, kemudian
tertawa bersama. Mereka harus kembali berjualan agar bisa memakan nasi. Kalau
tidak, pasti mereka tidak makan nasi lagi selama seminggu.

Dari kejauhan, ada seseorang yang sedang memfoto mereka. Mengedit agar terlihat
lebih bagus, kemudian menunggahnya. Dalam foto itu tertulis, “bahagia tak perlu
dengan harta.”

Kalaupun aku melihat unggahanya itu, bolehkah aku berkomentar, “sopan kh


begitu?”

Anda mungkin juga menyukai