Anda di halaman 1dari 9

Nama Anggota Kelompok 6:

1. Della Aprilia Imbar Sari (12101183010)


2. Dicky Dermawan (12101183097)
3. Renita Agustiningtyas (12101183117)

Prodi/Fakultas : HES 4A / FASIH


Mata Kuliah : Hukum Perlindungan Konsumen
Dosen Pengampu : Reni Dwi Puspitasari, M.H.
Alamat Email : dellaprillia2121@gmail.com

A. Dasar Hukum Perlindungan Konsumen


Hukum perlindungan konsumen yang berlaku di Indonesia memiliki dasar hukum
yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Dengan adanya dasar hukum yang pasti,
perlindungan terhadap hak-hak konsumen bisa dilakukan dengan penuh optimisme.
Hukum Perlindungan Konsumen merupakan cabang dari Hukum Ekonomi. Alasannya,
permasalahan yang diatur dalam hukum konsumen berkaitan erat dengan pemenuhan
kebutuhan barang / jasa. Pada tanggal 30 Maret 1999, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)
telah menyepakati Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang perlindungan konsumen
untuk disahkan oleh pemerintah setelah selama 20 tahun diperjuangkan. RUU ini sendiri
baru disahkan oleh pemerintah pada tanggal 20 april 1999. Di Indonesia, dasar hukum
yang menjadikan seorang konsumen dapat mengajukan perlindungan adalah:
1. Undang Undang Dasar 1945 Pasal 5 ayat (1), pasal 21 ayat (1), Pasal 21 ayat (1),
Pasal 27, dan Pasal 33.
2. Undang Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen (Lembaran
Negara Republik Indonesia tahun 1999 No. 42 Tambahan lembaran Negara
Republik Indonesia No. 3821
3. Undang Undang No. 5 tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan
Persaingan Usaha Usaha Tidak Sehat.
4. Undang Undang No. 30 Tahun 1999 Tentang Arbritase dan Alternatif Penyelesian
Sengketa
5. Peraturan Pemerintah No. 58 Tahun 2001 tentang Pembinaan Pengawasan dan
Penyelenggaraan Perlindungan Konsumen
6. Surat Edaran Dirjen Perdagangan Dalam Negeri No. 235/DJPDN/VII/2001 Tentang
Penangan pengaduan konsumen yang ditujukan kepada Seluruh dinas Indag
Prop/Kab/Kota
7. Surat Edaran Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri No. 795
/DJPDN/SE/12/2005 tentang Pedoman Pelayanan Pengaduan Konsumen
Dengan diundang-undangkannya masalah perlindungan konsumen, dimungkinkan
dilakukannya pembuktian terbalik jika terjadi sengketa antara konsumen dan pelaku
usaha. Konsumen yang merasa haknya dilanggar bisa mengadukan dan memproses
perkaranya secara hukum di badan penyelesaian sengketa konsumen (BPSK). Dasar
hukum tersebut bisa menjadi landasan hukum yang sah dalam soal pengaturan
perlindungan konsumen. Di samping UU Perlindungan Konsumen, masih terdapat
sejumlah perangkat hukum lain yang juga bisa dijadikan sebagai sumber atau dasar
hukum sebagai berikut :
1. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 57 Tahun 2001 Tanggal 21 Juli
2001 tentang Badan Perlindungan Konsumen Nasional.
2. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 58 Tahun 2001 Tanggal 21 Juli
2001 tentang Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Perlindungan
Konsumen.
3. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 59 Tahun 2001 Tanggal 21 Juli
2001 tentang Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat.
4. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 90 Tahun 2001 Tanggal 21 Juli
2001 tentang Pembentukan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Pemerintah
Kota
5. Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia Nomor
302/MPP/KEP/10/2001 tentang Pendaftaran Lembaga Perlindungan Konsumen
Swadaya Masyarakat.
6. Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia Nomor
605/MPP/KEP/8/2002 tentang Pengangkatan Anggota Badan Penyelesaian Sengketa
Konsumen Pada Pemerintah Kota

B. Perlindungan Konsumen
Berdasarkan UU No.8 Pasal 1 Butir 1 Tahun 1999, tentang Perlindungan Konsumen
disebutkan bahwa “Perlindungan Konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya
kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen”. Kepastian hukum
untuk melindungi hak-hak konsumen, yang diperkuat melalui undang-undang khusus,
memberikan harapan agar pelaku usaha tidak lagi sewenang-wenang yang selalu
merugikan hak konsumen. Dengan adanya UU Perlindungan Konsumen beserta
perangkat hukum lainnya, konsumen memiliki hak dan posisi yang berimbang, dan
mereka pun bisa menggugat atau menuntut jika ternyata hak-haknya telah dirugikan atau
dilanggar oleh pelaku usaha.

Perlindungan konsumen yang dijamin oleh undang-undang ini adalah adanya


kepastian hukum terhadap segala perolehan kebutuhan konsumen, yang bermula dari
”benih hidup dalam rahim ibu sampai dengan tempat pemakaman dan segala kebutuhan
diantara keduanya”. Kepastian hukum itu meliputi segala upaya berdasarkab atas hukum
untuk memberdayakan konsumen memperoleh atau menentukan pilihannya atas barang
dan/atau jasa kebutuhannya serta mempertahankan atau membela hak-haknya apabila
dirugikan oleh perilaku pelaku usaha penyedia kebutuhan konsumen.

Di bidang perindustrian dan perdagangan nasional telah menghasilkan berbagai


variasi barang dan/atau jasa yang dapat dikonsumsi.Di samping itu, globalisasi dan
perdagangan bebas yang didukung oleh kemajuan teknologi telekomunikasi dan
informatika telah memperluas ruang gerak arus transaksi barang dan/atau jasa melintasi
batas-batas wilayah suatu negara, sehingga barang dan/atau jasa yang ditawarkan
bervariasi baik produksi luar negeri maupun produksi dalam negeri. Kondisi yang
demikian pada satu pihak mempunyai manfaat bagi konsumen karena kebutuhan
konsumen akan barang dan/atau jasa yang diinginkan dapat terpenuhi serta semakin
terbuka lebar kebebasan untuk memilih aneka jenis dan kualitas barang dan/atau jasa
sesuai dengan keinginan dan kemampuan konsumen. Di sisi lain, kondisi dan fenomena
tersebut dapat mengakibatkan kedudukan pelaku usaha dan konsumen menjadi tidak
seimbang dan konsumen berada pada posisi yang lemah. Konsumen menjadi objek
aktivitas bisnis untuk meraup keuntungan yang sebesar-besarnya oleh pelaku usaha
melalui cara promosi, cara penjualan, serta penerapan perjanjian standar yang merugikan
konsumen.

Faktor utama yang menjadi kelemahan konsumen adalah tingkat kesadaran konsumen
akan haknya masih rendah. Hal ini terutama disebabkan oleh rendahnya pendidikan
konsumen. Oleh karena itu, Undang-undang Perlindungan Konsumen dimaksudkan
menjadi landasan hukum yang kuat bagi pemerintah dan lembaga perlindungan
konsumen swadaya masyarakat untuk melakukan upaya pemberdayaan konsumen
melalui pembinaan dan pendidikan konsumen.

Upaya pemberdayaan ini penting karena tidak mudah mengharapkan kesadaran


pelaku usaha yang pada dasarnya prinsip ekonomi pelaku usaha adalah mendapat
kentungan yang semaksimal mungkin dengan modal seminimal mungkin. Prinsip ini
sangat potensial merugikan kepentingan konsumen, baik secara langsung maupun tidak
langsung. Atas dasar kondisi sebagaimana dipaparkan diatas, perlu upaya pemberdayaan
konsumen melalui pembentukan undang-undang yang dapat melindungi kepentingan
konsumen secara integrative dan komprehensif serta dapat diterapkan secara efektif di
masyarakat.

Perangkat hukum yang melindungi konsumen tidak dimaksudkan untuk mematikan


usaha para pelaku usaha, tetapi justru sebaliknya perlindungan konsumen dapat
mendorong iklim berusaha yang sehat yang mendorong lahirnya perusahaan yang
tangguh dalam menghadapi persaingan melalui penyediaan barang dan/atau jasa yang
berkualitas. Di samping itu, Undang-undang tentang Perlindungan Konsumen ini dalam
pelaksanaannya tetap memberikan perhatian khusus kepada pelaku usaha kecil dan
menengah. Hal ini dilakukan melalui upaya pembinaan dan penerapan sanksi atas
pelanggarannya.

Undang-undang tentang Perlindungan Konsumen ini dirumuskan dengan mengacu


pada filosofi pembangunan nasional bahwa pembangunan nasional termasuk
pembangunan hukum yang memberikan perlindungan terhadap konsumen dalam rangka
membangun manusia Indonesia seutuhnya yang berlandaskan pada falsafah kenegaraan
Republik Indonesia yaitu dasar negara Pancasila dan konstitusi negara Undang-Undang
Dasar 1945.

C. Lembaga Konsumen Dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen


Dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen (UUPK)
disebutkan tiga jenis lembaga konsumen yakni:
1. Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN)
Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) adalah badan yang dibentuk
untuk membantu upaya pengembangan perlindungan konsumen. Terminologi ini
sesungguhnya sangat luas dan menunjukan kesungguhan untuk memberdayakan
konsumen dari kedudukan yang sebelumnya berada pada pihak yang lemah
manakala berhadapan dengan para pelaku usaha yang memiliki bargaining position
yang sangat kuat dalam aspek sosial, ekonomi dan bahkan psikologis.

Dari sini kita mengetahui bahwa tujuan diadakannya lembaga ini ialah untuk
mengembangkan uapaya perlindungan konsumen, hal ini ditegaskan kembali dalam
UUPK Pasal 31. Istilah “mengembangkan” di sini menunjukkan BPKN sebagai
upaya unutk mengembangkan perlindungan konsumen yang sudah diatur dalam
pasal yang lain, khusunya mengnai hak dan kewajiban konsumen dan pelaku usaha,
larangan-larangan bagi pelaku usaha dalam menjalankan bisnis, tanggung jawab
pelaku usaha dan mengenai pengaturan penyelesaian sengketa perlindungan
konsumen.

BPKN berkedudukan di Ibukota dan bertanggung jawab langsung kepada


Presiden. Bila diperlukan, BPKN dapat membentuk perwakilan di ibukota
provinsi.Fungsi dari BPKN disebutkan dalam pasal 33 UUPK untuk memeberikan
saran dan pertimbangan kepada pemerintah dalam upaya mengembangkan
perlindungan konsumen di Indonesia. Berdasarkan fungsi tersebut, pasal 34
menjabarkan tugas-tugas dari BPKN, yaitu:
a. Memberikan saran dan rekomendasi kepada pemerintah dalam rangka
penyusunan kebijaksanaan di bidang perlindungan konsumen;
b. Melakukan penelitian dan pengkajian terhadap peraturan perundang-undangan
yang berlaku di bidang perlindungan konsumen;
c. Melakukan penelitian terhadap barang dan/atau jasa yang menyangkut
keselamatan konsumen;
d. Mendorong berkembangnya lembaga perlindungan konsumen swadaya
masyarakat;
e. Menyebarluaskan informasi melalui media mengenai perlindungan konsumen
dan memasyarakatkan sikap keberpihakan kepada konsumen;
f. Menerima pengaduan tentang perlindungan konsumen dari masyarakat, lembaga
perlindungan konsumen swadaya masyarakat, atau pelaku usaha;
g. Melakukan survei yang menyangkut kebutuhan konsumen.

Dalam melaksanakan tugas-tuganya tersebut, BPKN dapat bekerja sama


dengan instansi atau organisasi konsumen internasional. Sedangkan mengenai
struktur organisasi dan keanggotaan diatur dalam UUPK Pasal 35 sampai dengan
Pasal 38. Mengenai keanggotaan ada pada Pasal 35:
a. Badan Perlindungan Konsumen Nasional terdiri atas seorang ketua merangkap
anggota, seorang wakil ketua merangkap anggota, serta sekurang-kurangnya 15
(lima belas) orang dan sebanyak-banyaknya 25 (dua puluh lima) orang anggota
yang mewakili semua unsur.
b. Anggota Badan Perlindungan Konsumen Nasional diangkat dan diberhentikan
oleh Presiden atas usul Menteri, setelah dikonsultasikan kepada Dewan
Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.
c. Masa jabatan ketua, wakil ketua, dan anggota Badan Perlindungan Konsumen
Nasional selama 3 (tiga) tahun dan dapat diangkat kembali untuk 1 (satu) kali
masa jabatan berikutnya.
d. Ketua dan wakil ketua Badan Perlindungan Konsumen Nasional dipilih oleh
anggota.

Unsur dari keanggotaan tersebut ialah pemerintah, pelaku usaha, lembaga


perlindungan konsumen swadaya masyarakat, akademisi dan tenaga ahli (UUPK
Pasal 36). Sedang syarat keanggotaannya disebutkan pada Pasal 37, yaitu:

a. Warga Negara Republik Indonesia;


b. Berbadan sehat;
c. Berkelakuan baik;
d. Tidak pernah dihukum karena kejahatan;
e. Memiliki pengetahuan dan pengalaman di bidang perlindungan konsumen; dan
f. Berusia sekurang-kurangnya 30 (tiga puluh) tahun.

Dan mengenai berhentinya keanggotaan dalam BPKN dijelaskan pada pasal


selanjunya Pasal 38, yakni berhenti karena meninggal dunia, mengundurkan diri atas
permintaan sendiri, bertempat tinggal di luar wilayah negara Republik Indonesia,
sakit secara terus menerus, berakhir masa jabatan sebagai anggota atau
diberhentikan.

2. Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM)


Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM) ialah
lembaga non pemerintah yang mempunyai kegiatan menangani perlindungan
konsumen. Pengertian ini sesungguhnya mengaburkan makna istilah “swadaya
masyarakat” yang selama ini dikenal independen menjadi berkesan sebagai LSM
produk pemerintah dengan adanya syarat terdaftar dan diakui pemerintah. Hal ini
berimplikasi pada tumpulnya perjuangan LPKSM untuk memberdayakan konsumen
dikarenakan adanya bayang-bayang eksistensi yang setiap saat dapat hilang.

Tujuan LPKSM ini ialah untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dalam


upaya perlindungan konsumen serta menunukan bahwa perlindungan konsumen
tanggung jawab bersama antara pemerintah dan masyarakat. Sedangkan tugas dan
wewenang dari LPKSM diatur dalam pasal 44:
a. Pemerintah mengakui lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat
yang memenuhi syarat
b. Lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat memiliki kesempatan
untuk berperan aktif dalam mewujudkan perlindungan konsumen
c. Tugas lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat meliputi kegiatan:
1) Menyebarkan informasi dalam rangka meningkatkan kesadaran atas hak
dan kewajiban dan kehati hatian konsumen dalaamm mengkonsumsi
barang dan/atau jasa;
2) Memberikan nasihat konsumen yang memerlukannya;
3) Bekerja sama dengan instasi terkait dalam uapaya mewujudkan
perlindungan konsumen;
4) Membantu konsumen dalam memperjuangkan haknya, termasuk menerima
keluhan atau pengaduan konsumen;
5) Melakukan pengawasan bersama pemerintah dan masyarakat terhadap
pelaksanaan perlindungan konsumen
d. Ketentuan lebih lanjut mengenai tugas lembaga perlindungan konsumen
swadaya masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dalam
peraturan pemerintah.

Untuk menjamin adanya suatu kepastian hukum, keterbukaan dan ketertiban


dalam penyelenggaraan perlindungaan konsumen di Indonesia, setiap LPKSM wajib
melakukan pendaftaran pada pemerintah kabupaten atau kota, untuk memperoleh
tanda Daftar LPKSM (TDLPK) sebagai bukti bahwa LPKSM yang bersangkutan
benar-benar bergerak di bidang perlindungan Konsumen, sesuai dengan bunyi
Anggaran Dasar dan Rumah Tangga dari Akta Pendirian LPKSM tersebut.

Tanda daftar LPKSM dapat dipergunakan oleh LPKSM yang bersangkutan


untuk melakukan kegiatan penyelenggaraan Perlindungan Konsumen di seluruh
Indonesia, dan pendaftaran tersebut dimaksudkan sebagai pencatatan dan bukan
merupakan suatu perizinan. LPKSM yang telah didirikan dan melakukan kegiatan
dibidang Perlindungan Konsumen, jika belum mendaftarkan dan memperoleh Tanda
Daftar LPKSM dari Pemerintah Kabupaten/Kota setempat, maka LPKSM yang
bersangkutan menurut Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen belum memenuhi syarat atau belum diakui untuk bergerak
diperlindungan konsumen.

Setelah LPKSM yang bersangkutan memperoleh Tanda Daftar LPKSM, maka


Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen menjadi
landasan hukum bagi LPKSM, untuk menyelenggarakan perlindungan konsumen di
Indonesia,, baik melalui kegiatan upaya pemberdayaan konsumen dengan cara
pembinaan, pendidikan konsumen maupun mampu melalui pelaksanakan tugas
LPKSM sesuai UU No. 8 Tahun 1999. Setelah LPKSM mendapat izin serta sudah
mulai menjalankan kegiatannya, tidak berhenti sampai di sana. Ketentuan ini masih
harus diuji dalam pelaksanaannya, mengingat Pasal 10 Peraturan Pemerintah No. 59
Tahun 2001 Tentang Swadaya Masyarakat (PP LPKSM).

LPKSM posisinya amat stategis dalam ikut mewujudkan perlindungan


konsumen. Selain menyuarakan kepentingan konsumen, lembaga ini juga memiliki
hak gugat (legal standing) dalam konteks ligitas kepentingan konsumen di
Indonesia. Hak gugat tersebut dapat dilakukan oleh lembaga konsumen (LPKSM)
yang telah memenuhi syarat, yaitu bahwa LPKSM yang dimaksud telah berbetuk
Badan Hukum atau Yayasan yang dalam anggaran dasarnya memuat tujuan
perlindungan konsumen. Gugatan oleh lembaga konsumen hnya dapat diajukan ke
Badan Peradilan Umum (Pasal 46 Undang-undang Perlindungan Konsumen).

3. Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK)


Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) adalah badan yang bertugas
menangani dan menyelesaikan sengketa antara pelaku usaha dan konsumen.[13]
Sedangkan tujuan diadakannya BPSK ini tertera dalam UUPK Pasal 49 Ayat 1 dan
penjelasannya Pasal 1 Angka 11:

“Pemerintah membentuk badan penyelesaian sengketa konsumen di Daerah Tingkat


II untuk penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan”(UUPK Pasal 49 Ayat
1).

“Badan ini dibentuk untuk menangani penyelesaian sengketa konsumen yang


efisien, cepat, murah dan profesional“(Penjelasan UUPK Pasal 1 Angka 11).

Tugas dan wewenang dari BPSK ini diatur dalam UUPK Pasal 52, yaitu:

a. Melaksanakan penanganan dan penyelesaian sengketa konsumen, dengan cara


melalui mediasi atau arbitrase atau konsiliasi;
b. Memberikan konsultasi perlindungan konsumen;
c. Melakukan pengawasan terhadap pencantuman klausula baku;
d. Melaporkan kepada penyidik umum apabila terjadi pelanggaran ketentuan
dalam Undang-undang ini;
e. Menerima pengaduan baik tertulis maupun tidak tertulis, dari konsumen tentang
terjadinya pelanggaran terhadap perlindungan konsumen;
f. Melakukan penelitian dan pemeriksaan sengketa perlindungan konsumen;
g. Memanggil pelaku usaha yang diduga telah melakukan pelanggaran terhadap
perlindungan konsumen;
h. Memanggil dan menghadirkan saksi, saksi ahli dan/atau setiap orang yang
dianggap mengetahui pelanggaran terhadap Undang-undang ini;
i. Meminta bantuan penyidik untuk menghadirkan pelaku usaha, saksi, saksi ahli,
atau setiap orang sebagaimana dimaksud pada huruf g dan huruf h, yang tidak
bersedia memenuhi panggilan badan penyelesaian sengketa konsumen;
j. Mendapatkan, meneliti dan/atau menilai surat, dokumen, atau alat bukti lain
guna penyelidikan dan/atau pemeriksaan;
k. Memutuskan dan menetapkan ada atau tidak adanya kerugian di pihak
konsumen;
l. Memberitahukan putusan kepada pelaku usaha yang melakukan pelanggaran
terhadap perlindungan konsumen;
m. Menjatuhkan sanksi administratif kepada pelaku usaha yang melanggar
ketentuan Undang-undang ini.

Anda mungkin juga menyukai