Anda di halaman 1dari 15

Nama Anggota Kelompok 11 :

1. RIZKI NUR AZIZAH (12101183004)


2. KURNIA FAUZIL ANAM (12101183040)
3. KHUSNATUL LUTFIANA (12101183066)

Fakultas / Prodi : FASIH / HES 4A

Mata Kuliah : Hukum Perlindungan Konsumen

Dosen Pengampu : Reni Dwi Puspitasari, M. Sy.

Email Pengirim : khusnalutfi9@gmail.com

KONSUMEN DAN HUKUM PERBANKAN

A. Perlindungan Konsumen Pada Sektor Perbankan


Perbankan merupakan salah satu pilar penting dalam sistem keuangan di Indonesia
karena sekitar 75% pangsa sektor keuangan dikuasai oleh perbankan. Perbankan adalah
segala sesuatu yang menyangkut tentang bank, mencakup kelembagaan, kegiatan usaha,
serta cara dan proses dalam melaksanakan kegiatan usahanya. Sedangkan yang dimaksud
dengan bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk
simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk-
bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak. Dalam hukum
perbankan dikenal 2 (dua) jenis bank yakni:
1) Bank Umum adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional
dan atau berdasarkan Prinsip Syariah yang dalam kegiatannya memberikan jasa
dalam lalu lintas pembayaran; dan
2) Bank Perkreditan Rakyat adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara
konvensional atau berdasarkan Prinsip Syariah yang dalam kegiatannya tidak
memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran.1
Sebelum masuk kepada perlindungan konsumen pada sektor perbankan di Indonesia,
terlebih dahulu akan diuraikan secara sekilas perkembangan permasalahan perlindungan
konsumen sebelum dan sesudah berdirinya OJK. Dalam konteks hukum perbankan di

1
Undang-Undang Nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-
Undang Nomor 10 tahun 1998, pasal 1 angka 1-4.
Indonesia perihal perlunya perlindungan konsumen di sektor perbankan telah secara
singkat disinggung dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 (selanjutnya
disebut UU Perbankan) yaitu sebagai berikut:
1. Pasal 29 ayat (3) mengatur: “dalam memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan
Prinsip Syariah dan melakukan kegiatan usaha lainnya, bank wajib menempuh cara-
cara yang tidak merugikan bank dan kepentingan nasabah yang mempercayakan
dananya kepada bank.”
2. Pasal 29 ayat (4) menyebutkan dengan tegas “untuk kepentingan nasabah, bank
wajib menyediakan informasi mengenai kemungkinan timbulnya risiko kerugian
sehubungan dengan transaksi nasabah yang dilakukan melalui bank.”
Perubahan undang-undang perbankan tersebut merupakan salah satu upaya mengatasi
krisis perbankan yang terjadi sejak pertengahan 1997 sehingga sejak undang-undang
tersebut berlaku pada November 1998. Otoritas perbankan masih terfokus kepada
penanganan restrukturisasi perbankan hingga awal tahun 2002.
Dibentuknya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
(selanjutnya disebut UUPK) pada tanggal 20 April 1999 dan baru berlaku efektif pada
tanggal 20 April 2000 belum mendapat respon dari otoritas perbankan pada waktu itu.
Baru pada awal tahun 2002 Bank Indonesia mulai menyusun cetak biru (blue print-
banking landscape) sistem perbankan nasional yang di dalamnya mengatur pula
mengenai perlindungan konsumen. Pengaturan perlindungan konsumen sektor perbankan
tersebut baru dapat direalisasikan oleh Bank Indonesia pada tanggal 9 Januari 2004
dengan peluncuran Arsitektur Perbankan Indonesia (API) yang menetapkan upaya
perlindungan nasabah sebagai salah satu pilar penting dari 6 Pilar dalam API tersebut.
API merupakan suatu cetak biru (blue print-banking landscape) sistem perbankan
nasional yang terdiri dari 6 (enam) pilar untuk mewujudkan visi sistem perbankan yang
sehat, kuat, dan efisien guna menciptakan kestabilan sistem keuangan dalam rangka
membantu mendorong pertumbuhan ekonomi nasional. Enam pilar dalam API adalah
1. Struktur perbankan yang sehat;
2. Sistem pengaturan yang efektif;
3. Sistem pengawasan yang independen dan efektif;
4. Industri perbankan yang kuat;
5. Infrastruktur yang mencukupi; dan
6. Perlindungan nasabah.
Upaya untuk melindungi dan memberdayakan nasabah kemudian dituangkan menjadi
4 (empat) aspek, yaitu mekanisme pengaduan nasabah, pembentukan lembaga mediasi
independen, transparansi informasi produk, dan edukasi nasabah. Keempat aspek
tersebut dimasukkan ke dalam empat program API, yaitu:
1. Penyusunan standar mekanisme pengaduan nasabah;
2. Pembentukan lembaga mediasi perbankan independen;
3. Penyusunan standar transparansi informasi produk; dan
4. Peningkatan edukasi untuk nasabah.
Keterkaitan satu sama lain dari keempat program di atas secara bersama-sama akan
dapat meningkatkan perlindungan dan pemberdayaan hak-hak nasabah. Seharusnya
implementasi program-program tersebut dimulai dengan memberikan edukasi kepada
masyarakat mengenai kegiatan usaha dan produk-produk keuangan dan perbankan.
Edukasi ini, selain untuk memperluas wawasan masyarakat mengenai industri
perbankan, juga ditujukan untuk mendorong peningkatan taraf hidup masyarakat melalui
pengenalan perencanaan keuangan. Setelah edukasi, dilaksanakan transparansi produk-
produk keuangan dan perbankan agar masyarakat yang berkeinginan untuk menjadi
nasabah bank mendapatkan informasi yang cukup memadai mengenai manfaat, risiko,
dan biaya-biaya yang terkait dengan suatu produk tertentu. Dengan demikian keputusan
untuk memanfaatkan produk tersebut sudah melalui pertimbangan yang matang dan
sesuai dengan kebutuhan calon nasabah.2
Segala kebutuhan keuangan Nasabah diharapkan dapat dipenuhi oleh perbankan
sebagai lembaga intermediasi dan penyedia jasa perbankan bagi nasabah. Oleh karena itu
bank dituntut untuk dapat menyediakan semua jasa keuangan dalam satu atap, sehingga
nasabah tidak hanya mendapatkan produk-produk bank saja melainkan juga produk-
produk yang disediakan oleh lembaga keuangan lain seperti asuransi dan perusahaan
sekuritas, seperti deposito, tabungan, kredit dan lain sebagainya, melainkan juga
menawarkan produk-produk baru seperti bancassurance (produk asuransi), derivatif
(asset backed securities, credit linked notes) dan investasi (seperti reksadana, danequity
linked deposit).
Selain hal di atas, perkembangan kemajuan teknologi informasi (ICT-Information
Communication & Technology) berjalan sangat pesat menyebabkan distribution channels
untuk memasarkan produk dan jasa bank menjadi semakin cepat dan mudah serta bersifat

2
Muliaman D. Hadad, Perlindungan dan Pemberdayaan Nasabah Bank dalam Arsitektur Perbankan
Indonesia, disampaikan pada diskusi Badan Perlindungan Konsumen Nasional, (Jakarta : 16 Juni 2006).
borderless. Bank-bank semakin banyak menawarkan dan mendistribusikan produk dan
jasanya dengan memanfaatkan electronic based channels seperti pemakaian ATM,
internet banking, phone banking dan electronic fund transfer at point of sales (EFTPOS).
Penggunaan teknologi informasi dalam distribusi pelayanan jasa bank tersebut
menyebabkan risiko yang dihadapi oleh industri perbankan juga semakin meningkat baik
dari sisi kuantitas maupun kualitasnya. Meningkatnya exposures risiko tersebut harus
mampu diantisipasi dengan menerapkan prudential banking activities.3
Semakin meningkatnya exposures risiko tersebut, berpotensi terjadinya friksi antara
bank dengan nasabah. Apabila tidak segera diselesaikan dapat berubah menjadi sengketa
antara nasabah dengan bank. Timbulnya sengketa tersebut terutama disebabkan oleh
empat hal yaitu:
1. Informasi yang kurang memadai mengenai karakteristik produk atau jasa yang
ditawarkan bank;
2. Pemahaman nasabah terhadap aktivitas dan produk atau jasa perbankan yang masih
kurang;
3. Ketimpangan hubungan antara nasabah dengan bank; dan
4. Tidak adanya saluran yang memadai untuk memfasilitasi penyelesaian awal friksi
dan atau sengketa yang terjadi antara nasabah dengan bank.
Dalam pengimplementasian peraturan, diperlukan suatu upaya yang berkelanjutan
untuk lebih mengefektifkan program-program perlindungan nasabah di atas. Program-
program dimaksud meliputi pelaksanaan edukasi masyarakat mengenai hak-hak nasabah
dalam berhubungan dengan bank, pengenalan produk keuangan dan perbankan. Edukasi
untuk memberdayakan masyarakat melalui peningkatan pengetahuan keuangan
(financial literacy) untuk mendukung terwujudnya masyarakat yang kritis dan mampu
merencanakan keuangannya secara bijaksana. Dalam hal ini, edukasi keuangan
diharapkan tidak hanya memberikan peningkatan pemahaman mengenai produk
keuangan dan perbankan namun juga diharapkan dapat memberikan kontribusi kepada
peningkatan taraf hidup masyarakat melalui perencanaan keuangan yang tepat. Edukasi
Nasabah menjadi penting karena setidaknya berguna untuk menjelaskan produk dan jasa
bank, memberikan bantuan hukum struktural serta bantuan hukum teknikal.
Pengawasan dan pengaturan di sektor jasa keuangan sebelumnya berada di bawah
otoritas Bank Indonesia yang mengatur dan mengawasi sektor perbankan, sedangkan

3
Agus Sudiarto, Arsitektur Perbankan Indonesia : Suatu Kebutuhan Dan Tantangan Perbankan KeDepan
: Kompas 5 Juni 2003.
Lembaga Keuangan Bukan Bank/LKBB atau sekarang dikenal dengan IKNB (Industri
Keuangan Non Bank) berada dalam pengawasan Departemen Keuangan cq. BAPEPAM-
LK (Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan). Dibentuknya OJK
menjadikan pengaturan dan pengawasan sektor keuangan dilakukan secara terintegrasi.
Untuk perlindungan konsumen dan masyarakat, Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan pada Pasal 28 dan Pasal 29
menyebutkan bahwa OJK berwenang melakukan tindakan pencegahan kerugian konsumen
dan masyarakat. Kewenangan OJK tersebut meliputi: (1) memberikan informasi dan edukasi
kepada masyarakat atas karakteristik sektor jasa keuangan, layanan, dan produknya; (2)
meminta Lembaga Jasa Keuangan untuk menghentikan kegiatannya apabila kegiatan
tersebut berpotensi merugikan masyarakat; dan (3) tindakan lain yang dianggap perlu sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan.
Pasal 29 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 mengatur pelayanan pengaduan
Konsumen oleh OJK. Pelayanan tersebut meliputi: menyiapkan perangkat yang memadai
untuk pelayanan pengaduan Konsumen yang dirugikan oleh pelaku di Lembaga Jasa
Keuangan; membuat mekanisme pengaduan Konsumen yang dirugikan oleh pelaku di
Lembaga Jasa Keuangan; dan memfasilitasi penyelesaian pengaduan Konsumen yang
dirugikan oleh pelaku di Lembaga Jasa Keuangan sesuai dengan peraturan perundang-
undangan di sektor jasa keuangan.
Pasal 30 mengatur perlindungan Konsumen oleh OJK dalam melakukan pembelaan
hukum. Kewenangan OJK tersebut meliputi: mengajukan gugatan untuk memperoleh ganti
kerugian dari pihak yang menyebabkan kerugian pada Konsumen dan/atau Lembaga Jasa
Keuangan sebagai akibat dari pelanggaran atas peraturan perundang-undangan di sektor jasa
keuangan.
Sejak berfungsinya OJK, telah dikeluarkan sejumlah Peraturan dan Surat Edaran OJK
yang terkait dengan perlindungan konsumen di sektor jasa keuangan, antara lain:
1) Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 1/POJK.07/2013 Tentang Perlindungan
Konsumen Sektor Jasa Keuangan. Lembaran Negara Tahun 2013 Nomor 118,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5431;
2) Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 1/POJK.07/2014 Tentang Lembaga Alternatif
Penyelesaian Sengketa Di Sektor Jasa Keuangan. Lembaran Negara Tahun 2014 Nomor
12, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5499;
3) Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan Nomor 1/SEOJK.07/2014 Tentang Pelaksanaan
Edukasi Dalam Rangka Meningkatkan Literasi Keuangan KepadaKonsumen Dan/Atau
Masyarakat;
4) Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan Nomor 2/SEOJK.07/2014 Tentang Pelayanan Dan
Pengaduan Konsumen Pada Pelaku Jasa Keuangan;
5) Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan Nomor 12/SEOJK.07/2014 Tentang Penyampaian
Informasi Dalam Rangka Pemasaran Produk dan/atau Layanan Jasa Keuangan;
6) Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan Nomor 13/SEOJK.07/2014 Tentang Perjanjian
Baku; dan
7) Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan Nomor 7/SEOJK.07/2015 Tentang Pedoman
Penilaian Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa di Sektor Jasa Keuangan.
Selain ketentuan OJK tersebut di atas, khusus untuk para nasabah penyimpan dana
berlaku pula perlindungan dana simpanan nasabah pada perbankan di Indonesia.
Perlindungan tersebut yang dilaksanakan oleh Lembaga Penjamin Simpanan (LPS)
berdasarkan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 berikut peraturan pelaksanaannya yang
dikeluarkan oleh LPS. Demikian pula dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang
Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, ada terdapat juga ketentuan
yang melindungi nasabah di sektor jasa keuangan terutama pasal yang mengatur mengenai
Prinsip Mengenali Pengguna Jasa (Know Your Customer Pinciples) dan penundaan transaksi
(dalam hal pengguna jasa melakukan transaksi yang patut diduga menggunakan harta
kekayaan yang berasal dari hasil tindak pidana, memiliki rekening untuk menampung harta
kekayaan yang berasal dari hasil tindak pidana atau diketahui dan/atau patut diduga
menggunakan dokumen palsu).4
Pengaturan perlindungan konsumen oleh OJK tampaknya telah memperhatikan standar
dan ketentuan yang berlaku secara internasional yang merupakan best practices on consumer
protection, antara lain ketentuan yang diterbitkan oleh Bank Dunia terkait dengan
perlindungan konsumen.
Pada tahun 2012 World Bank telah menerbitkan pedoman perlindungan konsumen
disektor jasa keuangan.5 Pedoman ini bertujuan untuk memastikan bahwa konsumen
mendapatkan informasi yang cukup dalam pengambilan keputusan, tidak menjadi subyek
dari praktik-praktik penipuan dan ketidak wajaran serta memiliki akses untuk mekanisme
penyelesaian perselisihan. Pedoman ini ditujukan antara lain untuk sektor Perbankan,
Asuransi dan Lembaga Pembiayaan yang isinya meliputi:
a) Institusi perlindungan konsumen;
b) Praktik keterbukaan dan penjualan;

4
Undang- UndangNomor 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan PemberantasanTindak Pidana
Pencucian Uang, Pasal 18-21 dan Pasal 26.
5
Pedoman ini berjudul : The World Bank, Good Practices for Financial Consumer Protection.
Washington DC, June 2012.
c) Pemeliharaan dan penanganan rekening nasabah;
d) Perlindungan Data dan Privacy;
e) Mekanisme Penyelesaian Sengketa;
f) Financial Literacy dan penguatan konsumen;
g) Perlindungan konsumen dan persaingan usaha.
Hukum perlindungan konsumen, pengaturan dan struktur pengawasannya adalah elemen
yang sangat esensial dari sistem keuangan modern. Kecukupan pemenuhan perlindungan
konsumen, perilaku bertanggung jawab para pelaku usaha dan kemampuan
pengguna/konsumen untuk melindungi kepentingannya di sektor jasa keuangan berkontribusi
penting bagi penguatan ekonomi masyarakat dan stabilitas di sektor keuangan. Agresivitas
target inklusi keuangan baik pada level nasional maupun internasional dan kebijakan untuk
mendukung sebaran inklusi keuangan perlu didukung oleh implementasi perlindungan
konsumen yang efektif dan peningkatan kapabilitas konsumen. 6
Menurut ketentuan UU Perbankan dan juga Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008
Tentang Perbankan Syariah (selanjutnya disebut UUPS), ada terdapat beberapa jenis
nasabah atau pihak yang menggunakan jasa bank dalam sistem perbankan yang meliputi:
1. Nasabah Penyimpan Dana, yaitu nasabah yang menempatkan dananya di bank
dalam bentuk simpanan berdasarkan perjanjian bank dengan nasabah yang
bersangkutan;
2. Nasabah Debitur adalah nasabah yang memperoleh fasilitas kredit atau pembiayaan
berdasarkan Prinsip Syariah atau yang dipersamakan dengan itu berdasarkan
perjanjian bank dengan nasabah yang bersangkutan;
3. Nasabah Investor adalah Nasabah yang menempatkan dananya di Bank Syariah
dan/atau UUS dalam bentuk Investasi berdasarkan Akad antara Bank Syariah atau
UUS dan Nasabah yang bersangkutan;
4. Walk-In Customer adalah nasabah pengguna jasa bank yang tidak memiliki rekening
pada bank tersebut, tidak termasuk pihak yang mendapatkan perintah atau
penugasan dari nasabah untuk melakukan transaksi atas kepentingan nasabah
tersebut.7
Sedangkan hubungan hukum yang terjadi antara bank dengan nasabahnya dapat
digambarkan dari kegiatan usaha yang dapat dilakukan oleh lembaga perbankan

6
The World Bank, Global Survey on Consumer Protection and Financial Literacy Oversight
Frameworks and Practices in 114 Economies. Washington DC, 2014.
7
Pasal 1 angka 6 Peraturan Bank Indonesia Nomor 14/27/PBI/2012 tentang Penerapan Program Anti
Pencucian Uang Dan Pencegahan Pendanaan Terorisme Bagi Bank Umum
berdasarkan pada Pasal 6 dan Pasal 7 UU Perbankan dan Pasal 19 dan Pasal 20 UUPS.
Secara garis besar kegiatan usaha bank dalam pasal tersebut jika disarikan menjadi sebagai
berikut: (1) bank menghimpun dana dari masyarakat; (2) menyalurkan dana dalam bentuk
kredit atau pembiayaan, (3) melakukan jual-beli dan/atau menjamin surat-surat berharga, (4)
melakukan penyertaan pada perusahaan lain di sektor keuangan; dan (5) memberikan jasa-
jasa perbankan. Atas kegiatan usaha yang dijalankan oleh lembaga perbankan maka bentuk-
bentuk hubungan hukum antara bank dengan nasabahnya selaku konsumen antara lain dapat
berupa: hubungan hukum kreditur dan debitur, penjual dan pembeli, penyewa dan yang
menyewakan, pemberian kuasa, penjaminan, pendiri dana pensiun dan pemegang saham
pada perusahaan yang didirikan oleh bank yang bersangkutan dan bentuk hubungan hukum
lainnya.
Secara umum perlindungan Nasabah perbankan terdiri dari dua bentuk, yang bersifat
langsung dan tidak langsung. Perlindungan langsung atau Direct/Explicit Protection Scheme
diatur melalui Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan Pasal
28 - 31; Pasal 29 dan Pasal 37 b UU Perbankan, Pasal 36, 38-39 UUPS, UU LPS, POJK
mengenai Perlindungan Konsumen. Sedangkan yang bersifat tidak langsung atau
Indirect/Implicit (impliedly) Protection Scheme dilakukan melalui Pembinaan & Pengawasan
OJK dan BI (Pasal29-37 UUP), PBI Transparansi Produk Bank dan Penggunaan Data
Pribadi Nasabah (PBI 7/6/2005), PBI Laporan Pengaduan Nasabah, PBI Laporan Mediasi
Perbankan, UU Perlindungan Konsumen (UU No. 8 Tahun 1999), KUHPerdata Pasal
1365,1367 dan Wanprestasi serta ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010
tentang Pencegahan dan Pemberantasan TPPU Pasal 19 jo 22, Pasal 26, 41 jo 66-67.

B. Peraturan-Peraturan di Sektor Perbankan Terkait UUPK


Pada sektor perbankan peraturan- peraturan yang terkait dengan UUPK antara lain
adalah:
1. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan
Sebagaimana Telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998.
Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3790.
2. Undang-undang No. 24 Tahun 2004 Tentang Lembaga Penjamin Simpanan.
3. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan
Syariah, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 94, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 486.
4. Undang-undang No. 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan.
5. Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 76/POJK.07/2016 Tentang Peningkatan
Literasi Dan Inklusi Keuangan Di Sektor Jasa Keuangan Bagi Konsumen dan/atau
Masyarakat, Lembaran Negara Tahun 2016 Nomor 315, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 6003.
6. Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 1/POJK.07/2014 Tentang Lembaga
Alternatif Penyelesaian Sengketa Di Sektor Jasa Keuangan. Lembaran Negara Tahun
2014 Nomor 12, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5499.
7. Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 1/POJK.07/2013 Tentang Perlindungan
Konsumen Sektor Jasa Keuangan. Lembaran Negara Tahun 2013 Nomor 118,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5431.
8. Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/6/PBI/2005 Tentang Transparansi Informasi
Produk Bank dan Penggunaan Data Pribadi Nasabah. Lembaran Negara Tahun 2005
Nomor 16 DPNP/DPBS/DPBPR, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4475.
9. Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/7/PBI/2005 Tentang Penyelesaian Pengaduan
Nasabah. Lembaran Negara Tahun 2005 Nomor 17 DPNP/DPBS/DPBPR, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4476.
10. Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/5/PBI/2006 Tentang Mediasi Perbankan.
Lembaran Negara Tahun 2006 Nomor DPNP/DPBS/DPBPR, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia.
11. Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan Nomor 1/SEOJK.07/2014 Tentang Pelaksanaan
Edukasi Dalam Rangka Meningkatkan Literasi Keuangan Kepada Konsumen
Dan/Atau Masyarakat.
12. Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan Nomor 2/SEOJK.07/2014 Tentang Pelayanan
Dan Pengaduan Konsumen Pada Pelaku Jasa Keuangan.
13. Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan Nomor 12/SEOJK.07/2014 Tentang
Penyampaian Informasi Dalam Rangka Pemasaran Produk Dan/Atau Layanan Jasa
Keuangan.
14. Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan Nomor 13/SEOJK.07/2014 Tentang Perjanjian
Baku.
15. Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan Nomor 7/SEOJK.07/2015 Tentang Pedoman
Penilaian Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa di Sektor Jasa Keuangan.
C. Kesesuaian dengan Ketentuan Tentang Hak dan Kewajiban Konsumen dan Pelaku
Usaha
Hak dan Kewajiban merupakan hal penting bagi para pihak yang memiliki hubungan
hukum. Para pihak akan dapat memahami hal-hal apa saja yang bisa atau tidak bisa
dilakukan. Konsumen dan Pelaku usaha dalam hal ini adalah pengguna dan
penyelenggara jasa keuangan perbankan. Dalam UU Perbankan, UUPS, Undang-Undang
OJK, POJK dan SEOJK hak dan
kewajiban konsumen diatur sebagai berikut. UU Perbankan, Pasal 29 ayat (3) mengatur:
dalam memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah dan melakukan
kegiatan usaha lainnya, bank wajib menempuh cara-cara yang tidak merugikan bank dan
kepentingan nasabah yang mempercayakan dananya kepada bank. Pasal 29 ayat (4)
menyebutkan dengan tegas untuk kepentingan nasabah, bank wajib menyediakan
informasi mengenai kemungkinan timbulnya risiko kerugian sehubungan dengan
transaksi nasabah yang dilakukan melalui bank.
Fungsi bank sebagai financial intermediary terutama bekerja dengan dana dari
masyarakat yang disimpan pada bank atas dasar kepercayaan, setiap bank perlu terus
menjaga kesehatannya dan memelihara kepercayaan masyarakat padanya. Sedangkan
setiap bank harus memiliki pedoman dalampemberian informasi kepada nasabahnya,
terutama mengenai kemungkinan
timbulnya risiko kerugian nasabah dan juga agar akses untuk memperoleh informasi
perihal kegiatan usaha dan kondisi bank menjadi lebih terbuka yang sekaligus menjamin
adanya transparansi dalam dunia Perbankan.
UUPS, Pasal 36 mengatur dalam menyalurkan Pembiayaan dan melakukan kegiatan
usaha lainnya, Bank Syariah dan UUS wajib menempuh cara-cara yang tidak merugikan
Bank Syariah dan/atau UUS dan kepentingan Nasabah yang mempercayakan dananya.
UUPS, Pasal 38 mengatur Bank Syariah dan UUS wajib menerapkan manajemen risiko,
prinsip mengenal nasabah, dan perlindungan nasabah.
UUPS, Pasal 39 mengatur Bank Syariah dan UUS wajib menjelaskan kepada Nasabah
mengenai kemungkinan timbulnya risiko kerugian sehubungan dengan transaksi Nasabah
yang dilakukan melalui Bank Syariah dan/atau UUS. Selanjutnya dalam POJK Nomor:
1/POJK.07/2013 Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan (selanjutnya disebut
POJK PK) merupakan aturan di bawah undang-undang OJK yang memerinci aspek
perlindungan konsumen di sektor jasa keuangan yang berisi Pasal 1 menjalskan definisi,
Pasal 2 menjelaskan tentang prinsip perlindungan konsumen.
Dalam Pasal 3 menyebutkan pelaku usaha jasa keuangan berhak untuk memastikan
adanya itikad baik konsumen dan mendapatkan informasi dan/atau dokumen mengenai
konsumen yang akurat, jujur, jelas, dan tidak menyesatkan. Dalam Pasal 4 ayat (1) POJK
PK disebutkan pelaku usaha jasa keuangan wajib menyediakan dan/atau menyampaikan
informasi mengenai produk dan/atau layanan yang akurat, jujur, jelas, dan tidak
menyesatkan. Pasal-pasal tersebut di atas menyatakan bahwa pelaku usaha jasa
perbankan wajib menempuh cara-cara yang tidak merugikan bank dan kepentingan
nasabah serta menyediakan informasi mengenai kemungkinan timbulnya risiko kerugian
sehubungan dengan transaksi nasabah yang dilakukan melalui bank. Apabila
penyelenggara jasa perbankan menempuh cara-cara yang tidak merugikan nasabah dan
menyediakan informasi mengenai resiko yang dapat terjadi maka hak konsumen atas
kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam menggunakan jasa akan terpenuhi. Hal
ini sesuai dengan ketentuan Pasal 4 huruf a dan c UUPK. Pengguna jasa memiliki hak
atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau
jasa sebagaimana diatur dalam Pasal 29 ayat (4) UUP dan Pasal 39 UUPS serta POJK
PK tersebut di atas.
Pasal 4 sampai dengan Pasal 13 mengatur mengenai hal-hal yang berkaitan dengan
kewajiban pelaku usaha dalam menginformasikan produknya. pelaku usaha jasa
keuangan wajib menyediakan dan/atau menyampaikan informasi mengenai produk
dan/atau layanan yang akurat, jujur, jelas, dan tidak menyesatkan. Pasal 14 mengatur
mengenai edukasi konsumen, pelaku usaha jasa keuangan wajib menyelenggarakan
edukasi dalam rangka meningkatkan literasi keuangan kepada konsumen dan/atau
masyarakat. Selain itu, Pasal 15 POJK PK mengatur bahwa pelaku usaha jasa keuangan
wajib memberikan akses yang setara kepada setiap konsumen sesuai klasifikasi
konsumen atas produk dan/atau layanan pelaku usaha jasa keuangan. Pasal tersebut
menunjukkan bahwa POJK PK melindungi hak konsumen untuk mendapatkan informasi
mengenai produk lembaga jasa keuangan, edukasi dan dilayani secara tidak
diskriminatif, dalam kondisi apapun semua pelanggan diperlakukan sama.
Selanjutnya, hal yang terpenting juga diatur dalam POJK PK Pasal 29 pelaku usaha
jasa keuangan wajib bertanggung jawab atas kerugian konsumen yang timbul akibat
kesalahan dan/atau kelalaian, pengurus, pegawai pelaku usaha jasa keuangan dan/atau
pihak ketiga yang bekerja untuk kepentingan pelaku usaha jasa keuangan. Hal ini sesuai
dengan hak konsumen untuk mendapatkan kompensasi atau ganti rugi sebagaimana
diatur dalam UUPK. Dengan demikian, POJK PK mengatur hak-hak pengguna yang
sesuai dengan apa yang tercantum dalam UUPK.
Hak yang dimiliki pengguna jasa berkaitan erat dengan kewajiban yang harus
dilakukan oleh penyelenggara jasa keuangan. Pelaku usaha jasa keuangan memiliki
kewajiban untuk menjaga keamanan simpanan, dana, atau aset konsumen yang berada
dalam tanggung jawab pelaku usaha jasa keuangan; memberikan tanda bukti kepemilikan
produk dan/atau pemanfaatan layanan kepada konsumen tepat pada waktunya sesuai
dengan perjanjian dengan konsumen; memberikan laporan kepada konsumen tentang
posisi saldo dan mutasi simpanan, dana, aset, atau kewajiban konsumen secara akurat,
tepat waktu, dan dengan cara atau sarana sesuai dengan perjanjian dengan konsumen.
Hal-hal tersebut diatur dalam Pasal 25-26 POJK PK. Dengan demikian, hak konsumen
atas keamanan simpanan, dana atau aset konsumen sudah dilindungi dan sesuai dengan
UUPK.
Ada pula kewajiban pelaku usaha untuk menangani pengaduan nasabah sebagaimana
di atur dalam Pasal 32–37 POJK PK. pelaku usaha jasa keuangan wajib memiliki dan
melaksanakan mekanisme pelayanan dan penyelesaian pengaduan bagi konsumen.
mekanisme pelayanan dan penyelesaian pengaduan tersebut wajib diberitahukan kepada
konsumen. Sedangkan Pasal 49 mengatur mengenai kewajiban pelaku usaha jasa
keuangan memiliki dan menerapkan kebijakan dan prosedur tertulis perlindungan
konsumen. Kebijakan tersebut wajib dituangkan dalam standar prosedur operasional
yang kemudian dijadikan panduan dalam seluruh kegiatan operasional pelaku usaha jasa
keuangan. disamping hal diatas sebagaimana diatur dalam Pasal 50 pelaku usaha jasa
keuangan wajib memiliki sistem pengendalian internal terkait dengan perlindungan
konsumen yang sekurang-kurangnya mencakup kepatuhan pelaku usaha jasa keuangan
terhadap pelaksanaan prinsip-prinsip perlindungan konsumen dan sistem pelaporan dan
monitoring terhadap tindak lanjut pengaduan konsumen.
Penjabaran ketentuan di atas pada intinya memberikan perlindungan bagi konsumen
untuk mendapatkan kualitas pelayanan yang baik sehingga haruslah sesuai dengan
standar pelayanan, juga hak atas informasi yang benar dan akurat, memperoleh ganti
kerugian, selain itu juga mendapatkan pelayanan pengaduan konsumen dalam
penyelengaraan jasa keuangan. Apabila kita memperhatikan apa sudah yang diatur di
dalam peraturan terkait perlindungan konsumen di sektor jasa keuangan dan UUPK, hak
dan kewajiban yang ada di peraturan tersebut nampak sudah cukup lengkap dan sesuai
dengan yang ada pada UUPK.
D. Kesesuaian dengan Ketentuan Tentang Perbuatan yang Dilarang
Dalam ketentuan Undang-Undang dibidang Perbankan termasuk juga UU OJK tidak
secara spesifik diatur mengenai perbuatan yang dilarang sepanjang terkait dengan
perlindungan konsumen. Namun demikian norma perlindungan konsumen yang terdapat
dalam ketentuan Undang-Undang di bidang perbankan dan UU OJK kemudian diatur
dalam Peraturan Bank Indonesia dan Peraturan OJK yang secara tegas mengatur hal yang
dilarang dilakukan oleh penyelenggara jasa keuangan. Selain mengatur kewajiban pelaku
usaha sektor jasa keuangan, terdapat juga larangan-larangan yang berlaku bagi pelaku
usaha/penyelenggara jasa sektor keuangan, sebagaimana diatur dalam Pasal 17, 19, 22
ayat (3), Pasal 31 dan Pasal 33 POJK PK sebagai berikut:
1. Pasal 17: Pelaku Usaha Jasa Keuangan dilarang menggunakan strategi pemasaran
produk dan/atau layanan yang merugikan Konsumen dengan memanfaatkan kondisi
Konsumen yang tidak memiliki pilihan lain dalam mengambil keputusan.
2. Pasal 19: Pelaku Usaha Jasa Keuangan dilarang melakukan penawaran produk
dan/atau layanan kepada Konsumen dan/atau masyarakat melalui sarana
komunikasi pribadi tanpa persetujuan Konsumen.
3. Pasal 22 ayat (3) Perjanjian baku sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang
digunakan oleh Pelaku Usaha Jasa Keuangan dilarang:
a) menyatakan pengalihan tanggung jawab atau kewajiban Pelaku Usaha Jasa
Keuangan kepada Konsumen;
b) menyatakan bahwa Pelaku Usaha Jasa Keuangan berhak menolak
pengembalian uang yang telah dibayar oleh Konsumen atas produk dan/atau
layanan yang dibeli;
c) menyatakan pemberian kuasa dari Konsumen kepada Pelaku Usaha Jasa
Keuangan, baik secara langsung maupun tidak langsung, untuk melakukan
segala tindakan sepihak atas barang yang diagunkan oleh Konsumen, kecuali
tindakan sepihak tersebut dilakukan berdasarkan peraturan perundang-
undangan;
d) mengatur tentang kewajiban pembuktian oleh Konsumen, jika Pelaku Usaha
Jasa Keuangan menyatakan bahwa hilangnya kegunaan produk dan/atau
layanan yang dibeli oleh konsumen, bukan merupakan tanggung jawab Pelaku
Usaha Jasa Keuangan;
e) memberi hak kepada Pelaku Usaha Jasa Keuangan untuk mengurangi
kegunaan produk dan/atau layanan atau mengurangi harta kekayaan
Konsumen yang menjadi obyek perjanjian produk dan layanan;
f) menyatakan bahwa Konsumen tunduk pada peraturan baru, tambahan,
lanjutan dan/atau perubahan yang dibuat secara sepihak oleh Pelaku Usaha
Jasa Keuangan dalam masa Konsumen memanfaatkan produk dan/atau
layanan yang dibelinya; dan/atau
g) menyatakan bahwa Konsumen memberi kuasa kepada Pelaku Usaha Jasa
Keuangan untuk pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan
atas produk dan/atau layanan yang dibeli oleh Konsumen secara angsuran.
4. Pasal 31: Pelaku Usaha Jasa Keuangan dilarang dengan cara apapun, memberikan
data dan/atau informasi mengenai Konsumennya kepada pihak ketiga kecuali dalam
hal Konsumen memberikan persetujuan tertulis; dan/atau diwajibkan oleh peraturan
perundang-undangan.
5. Pasal 33: Pelaku Usaha Jasa Keuangan dilarang mengenakan biaya apapun kepada
Konsumen atas pengajuan pengaduan.
Perbuatan yang dilarang yang diatur dalam Pasal 8 sampai dengan 18 UUPK memang
lebih banyak mengatur larangan-larangan dalam penjualan
barang selain ada pula aturan yang dilarang dalam sektor perdagangan jasa termasuk
dalam hal ini sektor jasa keuangan keuangan. Jika dilihat dan dibandingkan dengan
UUPK, peraturan-peraturan terkait jasa keuangan agak berbeda dengan apa yang diatur
di UUPK karena memang peraturan jasa keuangan lebih menekankan pada pemberian
jasa atau financial services sehingga perbuatan yang dilarang adalah perbuatan yang
tentu saja khusus terkait dengan delivery of financial services yang berpotensi
mengganggu penyelenggaraan jasa keuangan.8
E. Kesesuaian dengan Ketentuan Tentang Penyelesaian Sengketa
Sebagaimana telah diuraikan di atas, di sektor jasa keuangan apabila terjadi sengketa
dengan nasabah maka langkah pertama adalah mengupayakan diselesaikan oleh pelaku
usaha yang bersangkutan melalui mekanisme pengaduan nasabah. Atas pengaduan
tersebut pelaku usaha akan mengupayakan penyelesaian secara internal terlebih dahulu.
Apabila dapat disepakati diselesaikan melalui permintaan permohonan maaf dan atau
pemberian ganti rugi kepada konsumen yang telah dirugikan. Namun jika persoalan

8
Aad Rusyad Nurdin, Kajian Peraturan Perlindungan Konsumen Di Sektor Perbankan, Jurnal Hukum
dan Pembangunan 48 No. 2, 2018, hlm. 314
tersebut tidak dapat diselesaikan secara internal maka konsumen dapat menggunakan
forum Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa Di Sektor Jasa Keuangan dengan
layanan penyelesaian sengketa dapat berupa mediasi, ajudikasi dan arbitrasi.
Khusus perbankan syariah perihal penyelesaian sengketa ini ada diatur secara tegas
dalam Pasal 55 UUPS. Penyelesaian sengketa Perbankan Syariah dilakukan oleh
pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama. Dalam hal para pihak telah
memperjanjikan penyelesaian sengketa selain di Peradilan Agama, maka penyelesaian
sengketa dilakukan sesuai dengan isi Akad. Penyelesaian sengketa tersebut tidak boleh
bertentangan dengan Prinsip Syariah. Pada bagian penjelasan UUPS ada disebutkan yang
dimaksud dengan “penyelesaian sengketa dilakukan sesuai dengan isi akad” adalah
upaya sebagai berikut:
a) Musyawarah;
b) Mediasi perbankan;
c) Melalui badan arbitrase syariah nasional (basyarnas) atau lembaga arbitrase lain;
dan/atau
d) Melalui pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum.
Dalam Pasal 23 UUPK disebutkan bagi Pelaku usaha yang menolak dan/atau tidak
memberi tanggapan dan/atau tidak memenuhi ganti rugi atas tuntutan konsumen
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4), dapat
digugat melalui badan penyelesaian sengketa konsumen atau mengajukan ke badan
peradilan di tempat kedudukan konsumen. Pasal 45-48 juncto Pasal 52-58 UUPK
mengatur mengenai penyelesaian sengketa baik melalui non litigasi maupun litigasi.

Anda mungkin juga menyukai