1
Undang-Undang Nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-
Undang Nomor 10 tahun 1998, pasal 1 angka 1-4.
Indonesia perihal perlunya perlindungan konsumen di sektor perbankan telah secara
singkat disinggung dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 (selanjutnya
disebut UU Perbankan) yaitu sebagai berikut:
1. Pasal 29 ayat (3) mengatur: “dalam memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan
Prinsip Syariah dan melakukan kegiatan usaha lainnya, bank wajib menempuh cara-
cara yang tidak merugikan bank dan kepentingan nasabah yang mempercayakan
dananya kepada bank.”
2. Pasal 29 ayat (4) menyebutkan dengan tegas “untuk kepentingan nasabah, bank
wajib menyediakan informasi mengenai kemungkinan timbulnya risiko kerugian
sehubungan dengan transaksi nasabah yang dilakukan melalui bank.”
Perubahan undang-undang perbankan tersebut merupakan salah satu upaya mengatasi
krisis perbankan yang terjadi sejak pertengahan 1997 sehingga sejak undang-undang
tersebut berlaku pada November 1998. Otoritas perbankan masih terfokus kepada
penanganan restrukturisasi perbankan hingga awal tahun 2002.
Dibentuknya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
(selanjutnya disebut UUPK) pada tanggal 20 April 1999 dan baru berlaku efektif pada
tanggal 20 April 2000 belum mendapat respon dari otoritas perbankan pada waktu itu.
Baru pada awal tahun 2002 Bank Indonesia mulai menyusun cetak biru (blue print-
banking landscape) sistem perbankan nasional yang di dalamnya mengatur pula
mengenai perlindungan konsumen. Pengaturan perlindungan konsumen sektor perbankan
tersebut baru dapat direalisasikan oleh Bank Indonesia pada tanggal 9 Januari 2004
dengan peluncuran Arsitektur Perbankan Indonesia (API) yang menetapkan upaya
perlindungan nasabah sebagai salah satu pilar penting dari 6 Pilar dalam API tersebut.
API merupakan suatu cetak biru (blue print-banking landscape) sistem perbankan
nasional yang terdiri dari 6 (enam) pilar untuk mewujudkan visi sistem perbankan yang
sehat, kuat, dan efisien guna menciptakan kestabilan sistem keuangan dalam rangka
membantu mendorong pertumbuhan ekonomi nasional. Enam pilar dalam API adalah
1. Struktur perbankan yang sehat;
2. Sistem pengaturan yang efektif;
3. Sistem pengawasan yang independen dan efektif;
4. Industri perbankan yang kuat;
5. Infrastruktur yang mencukupi; dan
6. Perlindungan nasabah.
Upaya untuk melindungi dan memberdayakan nasabah kemudian dituangkan menjadi
4 (empat) aspek, yaitu mekanisme pengaduan nasabah, pembentukan lembaga mediasi
independen, transparansi informasi produk, dan edukasi nasabah. Keempat aspek
tersebut dimasukkan ke dalam empat program API, yaitu:
1. Penyusunan standar mekanisme pengaduan nasabah;
2. Pembentukan lembaga mediasi perbankan independen;
3. Penyusunan standar transparansi informasi produk; dan
4. Peningkatan edukasi untuk nasabah.
Keterkaitan satu sama lain dari keempat program di atas secara bersama-sama akan
dapat meningkatkan perlindungan dan pemberdayaan hak-hak nasabah. Seharusnya
implementasi program-program tersebut dimulai dengan memberikan edukasi kepada
masyarakat mengenai kegiatan usaha dan produk-produk keuangan dan perbankan.
Edukasi ini, selain untuk memperluas wawasan masyarakat mengenai industri
perbankan, juga ditujukan untuk mendorong peningkatan taraf hidup masyarakat melalui
pengenalan perencanaan keuangan. Setelah edukasi, dilaksanakan transparansi produk-
produk keuangan dan perbankan agar masyarakat yang berkeinginan untuk menjadi
nasabah bank mendapatkan informasi yang cukup memadai mengenai manfaat, risiko,
dan biaya-biaya yang terkait dengan suatu produk tertentu. Dengan demikian keputusan
untuk memanfaatkan produk tersebut sudah melalui pertimbangan yang matang dan
sesuai dengan kebutuhan calon nasabah.2
Segala kebutuhan keuangan Nasabah diharapkan dapat dipenuhi oleh perbankan
sebagai lembaga intermediasi dan penyedia jasa perbankan bagi nasabah. Oleh karena itu
bank dituntut untuk dapat menyediakan semua jasa keuangan dalam satu atap, sehingga
nasabah tidak hanya mendapatkan produk-produk bank saja melainkan juga produk-
produk yang disediakan oleh lembaga keuangan lain seperti asuransi dan perusahaan
sekuritas, seperti deposito, tabungan, kredit dan lain sebagainya, melainkan juga
menawarkan produk-produk baru seperti bancassurance (produk asuransi), derivatif
(asset backed securities, credit linked notes) dan investasi (seperti reksadana, danequity
linked deposit).
Selain hal di atas, perkembangan kemajuan teknologi informasi (ICT-Information
Communication & Technology) berjalan sangat pesat menyebabkan distribution channels
untuk memasarkan produk dan jasa bank menjadi semakin cepat dan mudah serta bersifat
2
Muliaman D. Hadad, Perlindungan dan Pemberdayaan Nasabah Bank dalam Arsitektur Perbankan
Indonesia, disampaikan pada diskusi Badan Perlindungan Konsumen Nasional, (Jakarta : 16 Juni 2006).
borderless. Bank-bank semakin banyak menawarkan dan mendistribusikan produk dan
jasanya dengan memanfaatkan electronic based channels seperti pemakaian ATM,
internet banking, phone banking dan electronic fund transfer at point of sales (EFTPOS).
Penggunaan teknologi informasi dalam distribusi pelayanan jasa bank tersebut
menyebabkan risiko yang dihadapi oleh industri perbankan juga semakin meningkat baik
dari sisi kuantitas maupun kualitasnya. Meningkatnya exposures risiko tersebut harus
mampu diantisipasi dengan menerapkan prudential banking activities.3
Semakin meningkatnya exposures risiko tersebut, berpotensi terjadinya friksi antara
bank dengan nasabah. Apabila tidak segera diselesaikan dapat berubah menjadi sengketa
antara nasabah dengan bank. Timbulnya sengketa tersebut terutama disebabkan oleh
empat hal yaitu:
1. Informasi yang kurang memadai mengenai karakteristik produk atau jasa yang
ditawarkan bank;
2. Pemahaman nasabah terhadap aktivitas dan produk atau jasa perbankan yang masih
kurang;
3. Ketimpangan hubungan antara nasabah dengan bank; dan
4. Tidak adanya saluran yang memadai untuk memfasilitasi penyelesaian awal friksi
dan atau sengketa yang terjadi antara nasabah dengan bank.
Dalam pengimplementasian peraturan, diperlukan suatu upaya yang berkelanjutan
untuk lebih mengefektifkan program-program perlindungan nasabah di atas. Program-
program dimaksud meliputi pelaksanaan edukasi masyarakat mengenai hak-hak nasabah
dalam berhubungan dengan bank, pengenalan produk keuangan dan perbankan. Edukasi
untuk memberdayakan masyarakat melalui peningkatan pengetahuan keuangan
(financial literacy) untuk mendukung terwujudnya masyarakat yang kritis dan mampu
merencanakan keuangannya secara bijaksana. Dalam hal ini, edukasi keuangan
diharapkan tidak hanya memberikan peningkatan pemahaman mengenai produk
keuangan dan perbankan namun juga diharapkan dapat memberikan kontribusi kepada
peningkatan taraf hidup masyarakat melalui perencanaan keuangan yang tepat. Edukasi
Nasabah menjadi penting karena setidaknya berguna untuk menjelaskan produk dan jasa
bank, memberikan bantuan hukum struktural serta bantuan hukum teknikal.
Pengawasan dan pengaturan di sektor jasa keuangan sebelumnya berada di bawah
otoritas Bank Indonesia yang mengatur dan mengawasi sektor perbankan, sedangkan
3
Agus Sudiarto, Arsitektur Perbankan Indonesia : Suatu Kebutuhan Dan Tantangan Perbankan KeDepan
: Kompas 5 Juni 2003.
Lembaga Keuangan Bukan Bank/LKBB atau sekarang dikenal dengan IKNB (Industri
Keuangan Non Bank) berada dalam pengawasan Departemen Keuangan cq. BAPEPAM-
LK (Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan). Dibentuknya OJK
menjadikan pengaturan dan pengawasan sektor keuangan dilakukan secara terintegrasi.
Untuk perlindungan konsumen dan masyarakat, Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan pada Pasal 28 dan Pasal 29
menyebutkan bahwa OJK berwenang melakukan tindakan pencegahan kerugian konsumen
dan masyarakat. Kewenangan OJK tersebut meliputi: (1) memberikan informasi dan edukasi
kepada masyarakat atas karakteristik sektor jasa keuangan, layanan, dan produknya; (2)
meminta Lembaga Jasa Keuangan untuk menghentikan kegiatannya apabila kegiatan
tersebut berpotensi merugikan masyarakat; dan (3) tindakan lain yang dianggap perlu sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan.
Pasal 29 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 mengatur pelayanan pengaduan
Konsumen oleh OJK. Pelayanan tersebut meliputi: menyiapkan perangkat yang memadai
untuk pelayanan pengaduan Konsumen yang dirugikan oleh pelaku di Lembaga Jasa
Keuangan; membuat mekanisme pengaduan Konsumen yang dirugikan oleh pelaku di
Lembaga Jasa Keuangan; dan memfasilitasi penyelesaian pengaduan Konsumen yang
dirugikan oleh pelaku di Lembaga Jasa Keuangan sesuai dengan peraturan perundang-
undangan di sektor jasa keuangan.
Pasal 30 mengatur perlindungan Konsumen oleh OJK dalam melakukan pembelaan
hukum. Kewenangan OJK tersebut meliputi: mengajukan gugatan untuk memperoleh ganti
kerugian dari pihak yang menyebabkan kerugian pada Konsumen dan/atau Lembaga Jasa
Keuangan sebagai akibat dari pelanggaran atas peraturan perundang-undangan di sektor jasa
keuangan.
Sejak berfungsinya OJK, telah dikeluarkan sejumlah Peraturan dan Surat Edaran OJK
yang terkait dengan perlindungan konsumen di sektor jasa keuangan, antara lain:
1) Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 1/POJK.07/2013 Tentang Perlindungan
Konsumen Sektor Jasa Keuangan. Lembaran Negara Tahun 2013 Nomor 118,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5431;
2) Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 1/POJK.07/2014 Tentang Lembaga Alternatif
Penyelesaian Sengketa Di Sektor Jasa Keuangan. Lembaran Negara Tahun 2014 Nomor
12, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5499;
3) Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan Nomor 1/SEOJK.07/2014 Tentang Pelaksanaan
Edukasi Dalam Rangka Meningkatkan Literasi Keuangan KepadaKonsumen Dan/Atau
Masyarakat;
4) Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan Nomor 2/SEOJK.07/2014 Tentang Pelayanan Dan
Pengaduan Konsumen Pada Pelaku Jasa Keuangan;
5) Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan Nomor 12/SEOJK.07/2014 Tentang Penyampaian
Informasi Dalam Rangka Pemasaran Produk dan/atau Layanan Jasa Keuangan;
6) Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan Nomor 13/SEOJK.07/2014 Tentang Perjanjian
Baku; dan
7) Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan Nomor 7/SEOJK.07/2015 Tentang Pedoman
Penilaian Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa di Sektor Jasa Keuangan.
Selain ketentuan OJK tersebut di atas, khusus untuk para nasabah penyimpan dana
berlaku pula perlindungan dana simpanan nasabah pada perbankan di Indonesia.
Perlindungan tersebut yang dilaksanakan oleh Lembaga Penjamin Simpanan (LPS)
berdasarkan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 berikut peraturan pelaksanaannya yang
dikeluarkan oleh LPS. Demikian pula dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang
Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, ada terdapat juga ketentuan
yang melindungi nasabah di sektor jasa keuangan terutama pasal yang mengatur mengenai
Prinsip Mengenali Pengguna Jasa (Know Your Customer Pinciples) dan penundaan transaksi
(dalam hal pengguna jasa melakukan transaksi yang patut diduga menggunakan harta
kekayaan yang berasal dari hasil tindak pidana, memiliki rekening untuk menampung harta
kekayaan yang berasal dari hasil tindak pidana atau diketahui dan/atau patut diduga
menggunakan dokumen palsu).4
Pengaturan perlindungan konsumen oleh OJK tampaknya telah memperhatikan standar
dan ketentuan yang berlaku secara internasional yang merupakan best practices on consumer
protection, antara lain ketentuan yang diterbitkan oleh Bank Dunia terkait dengan
perlindungan konsumen.
Pada tahun 2012 World Bank telah menerbitkan pedoman perlindungan konsumen
disektor jasa keuangan.5 Pedoman ini bertujuan untuk memastikan bahwa konsumen
mendapatkan informasi yang cukup dalam pengambilan keputusan, tidak menjadi subyek
dari praktik-praktik penipuan dan ketidak wajaran serta memiliki akses untuk mekanisme
penyelesaian perselisihan. Pedoman ini ditujukan antara lain untuk sektor Perbankan,
Asuransi dan Lembaga Pembiayaan yang isinya meliputi:
a) Institusi perlindungan konsumen;
b) Praktik keterbukaan dan penjualan;
4
Undang- UndangNomor 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan PemberantasanTindak Pidana
Pencucian Uang, Pasal 18-21 dan Pasal 26.
5
Pedoman ini berjudul : The World Bank, Good Practices for Financial Consumer Protection.
Washington DC, June 2012.
c) Pemeliharaan dan penanganan rekening nasabah;
d) Perlindungan Data dan Privacy;
e) Mekanisme Penyelesaian Sengketa;
f) Financial Literacy dan penguatan konsumen;
g) Perlindungan konsumen dan persaingan usaha.
Hukum perlindungan konsumen, pengaturan dan struktur pengawasannya adalah elemen
yang sangat esensial dari sistem keuangan modern. Kecukupan pemenuhan perlindungan
konsumen, perilaku bertanggung jawab para pelaku usaha dan kemampuan
pengguna/konsumen untuk melindungi kepentingannya di sektor jasa keuangan berkontribusi
penting bagi penguatan ekonomi masyarakat dan stabilitas di sektor keuangan. Agresivitas
target inklusi keuangan baik pada level nasional maupun internasional dan kebijakan untuk
mendukung sebaran inklusi keuangan perlu didukung oleh implementasi perlindungan
konsumen yang efektif dan peningkatan kapabilitas konsumen. 6
Menurut ketentuan UU Perbankan dan juga Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008
Tentang Perbankan Syariah (selanjutnya disebut UUPS), ada terdapat beberapa jenis
nasabah atau pihak yang menggunakan jasa bank dalam sistem perbankan yang meliputi:
1. Nasabah Penyimpan Dana, yaitu nasabah yang menempatkan dananya di bank
dalam bentuk simpanan berdasarkan perjanjian bank dengan nasabah yang
bersangkutan;
2. Nasabah Debitur adalah nasabah yang memperoleh fasilitas kredit atau pembiayaan
berdasarkan Prinsip Syariah atau yang dipersamakan dengan itu berdasarkan
perjanjian bank dengan nasabah yang bersangkutan;
3. Nasabah Investor adalah Nasabah yang menempatkan dananya di Bank Syariah
dan/atau UUS dalam bentuk Investasi berdasarkan Akad antara Bank Syariah atau
UUS dan Nasabah yang bersangkutan;
4. Walk-In Customer adalah nasabah pengguna jasa bank yang tidak memiliki rekening
pada bank tersebut, tidak termasuk pihak yang mendapatkan perintah atau
penugasan dari nasabah untuk melakukan transaksi atas kepentingan nasabah
tersebut.7
Sedangkan hubungan hukum yang terjadi antara bank dengan nasabahnya dapat
digambarkan dari kegiatan usaha yang dapat dilakukan oleh lembaga perbankan
6
The World Bank, Global Survey on Consumer Protection and Financial Literacy Oversight
Frameworks and Practices in 114 Economies. Washington DC, 2014.
7
Pasal 1 angka 6 Peraturan Bank Indonesia Nomor 14/27/PBI/2012 tentang Penerapan Program Anti
Pencucian Uang Dan Pencegahan Pendanaan Terorisme Bagi Bank Umum
berdasarkan pada Pasal 6 dan Pasal 7 UU Perbankan dan Pasal 19 dan Pasal 20 UUPS.
Secara garis besar kegiatan usaha bank dalam pasal tersebut jika disarikan menjadi sebagai
berikut: (1) bank menghimpun dana dari masyarakat; (2) menyalurkan dana dalam bentuk
kredit atau pembiayaan, (3) melakukan jual-beli dan/atau menjamin surat-surat berharga, (4)
melakukan penyertaan pada perusahaan lain di sektor keuangan; dan (5) memberikan jasa-
jasa perbankan. Atas kegiatan usaha yang dijalankan oleh lembaga perbankan maka bentuk-
bentuk hubungan hukum antara bank dengan nasabahnya selaku konsumen antara lain dapat
berupa: hubungan hukum kreditur dan debitur, penjual dan pembeli, penyewa dan yang
menyewakan, pemberian kuasa, penjaminan, pendiri dana pensiun dan pemegang saham
pada perusahaan yang didirikan oleh bank yang bersangkutan dan bentuk hubungan hukum
lainnya.
Secara umum perlindungan Nasabah perbankan terdiri dari dua bentuk, yang bersifat
langsung dan tidak langsung. Perlindungan langsung atau Direct/Explicit Protection Scheme
diatur melalui Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan Pasal
28 - 31; Pasal 29 dan Pasal 37 b UU Perbankan, Pasal 36, 38-39 UUPS, UU LPS, POJK
mengenai Perlindungan Konsumen. Sedangkan yang bersifat tidak langsung atau
Indirect/Implicit (impliedly) Protection Scheme dilakukan melalui Pembinaan & Pengawasan
OJK dan BI (Pasal29-37 UUP), PBI Transparansi Produk Bank dan Penggunaan Data
Pribadi Nasabah (PBI 7/6/2005), PBI Laporan Pengaduan Nasabah, PBI Laporan Mediasi
Perbankan, UU Perlindungan Konsumen (UU No. 8 Tahun 1999), KUHPerdata Pasal
1365,1367 dan Wanprestasi serta ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010
tentang Pencegahan dan Pemberantasan TPPU Pasal 19 jo 22, Pasal 26, 41 jo 66-67.
8
Aad Rusyad Nurdin, Kajian Peraturan Perlindungan Konsumen Di Sektor Perbankan, Jurnal Hukum
dan Pembangunan 48 No. 2, 2018, hlm. 314
tersebut tidak dapat diselesaikan secara internal maka konsumen dapat menggunakan
forum Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa Di Sektor Jasa Keuangan dengan
layanan penyelesaian sengketa dapat berupa mediasi, ajudikasi dan arbitrasi.
Khusus perbankan syariah perihal penyelesaian sengketa ini ada diatur secara tegas
dalam Pasal 55 UUPS. Penyelesaian sengketa Perbankan Syariah dilakukan oleh
pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama. Dalam hal para pihak telah
memperjanjikan penyelesaian sengketa selain di Peradilan Agama, maka penyelesaian
sengketa dilakukan sesuai dengan isi Akad. Penyelesaian sengketa tersebut tidak boleh
bertentangan dengan Prinsip Syariah. Pada bagian penjelasan UUPS ada disebutkan yang
dimaksud dengan “penyelesaian sengketa dilakukan sesuai dengan isi akad” adalah
upaya sebagai berikut:
a) Musyawarah;
b) Mediasi perbankan;
c) Melalui badan arbitrase syariah nasional (basyarnas) atau lembaga arbitrase lain;
dan/atau
d) Melalui pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum.
Dalam Pasal 23 UUPK disebutkan bagi Pelaku usaha yang menolak dan/atau tidak
memberi tanggapan dan/atau tidak memenuhi ganti rugi atas tuntutan konsumen
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4), dapat
digugat melalui badan penyelesaian sengketa konsumen atau mengajukan ke badan
peradilan di tempat kedudukan konsumen. Pasal 45-48 juncto Pasal 52-58 UUPK
mengatur mengenai penyelesaian sengketa baik melalui non litigasi maupun litigasi.