Anda di halaman 1dari 16

BAB I

PENDAHULUA
N

A. Latar Belakang Masalah

Maloklusi Kelas II skeletal dapat terjadi karena hubungan maksila


terhadap kranium prognati dan mandibula normal, hubungan maksila terhadap
kranium normal dan mandibula retrognati, serta kombinasi dari keduanya. Menurut
McNamara, terdapat banyak faktor yang mempengaruhi terjadinya maloklusi kelas
II. Retrusi mandibula merupakan gambaran yang paling sering terjadi pada anak
usia perumbuhan (60%). Perawatan maloklusi Kelas II skeletal tujuannya untuk
memperbaiki diskrepansi yang terjadi pada lengkung gigi, dan mengembalikan
oklusi Kelas I untuk meningkatkan estetis tampilan wajah. Radiograf sefalometri
merupakan salah satu alat bantu rekam medik yang banyak digunakan untuk
mengevaluasi dan menganalisis perubahan yang diperoleh selama perawatan, serta
mendukung dalam perawatan baik untuk rencana perawatan dan menentukan
diagnosis perawatan .

Alat myofungsional merupakan pilihan alat yang paling banyak digunakan


untuk memperbaiki diskrepansi skeletal arah anteroposterior pada pasien dalam
masa pertumbuhan. Dalam perawatan ortodonti dapat dilakukan dengan dua tahap
perawatan yaitu, tahap pertama untuk memperbaiki diskrepansi skeletal, setelah
itu tahap kedua dilakukan perawatan ortodonti untuk memperbaiki hubungan gigi.
Alat myofungsional tersebut dipilih sesuai dengan kasus dan pola
pertumbuhannya, arah pertumbuhan, besar pertumbuhan dan waktu dalam
pemakaian yang mempengaruhi kesuksesan dalam perawatan. Alat myofungsional
untuk perawatan skeletal kelas II ini bertujuan untuk memperbaiki pertumbuhan
skeletal, bentuk lengkung rahang, dan memperbaiki estetik. Salah satu alat
myofungsional yang sering digunakan dalam merawat Kelas II skeletal adalah
piranti lepasan Bionator.
Bionator pertama kali dikembangkan oleh Wihelm Balter tahun 1964 dan piranti
ini terdiri dari akrilik dengan kawat yang terdapat pada bagian palatal dan vestibulum.
Piranti Bionator ini bekerja untuk mengoreksi diskrepansi yang terjadi pada
dentoalveolar dan skeletal. Selain itu juga Bionator dapat memajukan mandibula,
mengkoreksi overbite, mengatur erupsi gigi dan memperbaiki profil wajah. Perubahan
dentoalveolar yang terjadi berupa retraksi dan uprighting insisivus maksila
diikuti oleh proklinasi gigi insisivus mandibula. Meskipun tidak terdapat perubahan
skeletal pada maksila, tetapi terjadi perubahan dan peningkatan panjang mandibula
dalam menggunakan piranti Bionator. Perubahan skeletal yang signifkan berpengaruh
terhadap perubahan pada jaringan lunak, terutama dimensi vertikal wajah dan posisi
bibir. Maka dari itu penelitian ini ingin mengetahui perbedaan karakteristik
sefalometri sebelum dan sesudah pemakaian piranti Bionator pada pasien masa
pertumbuhan dengan maloklusi skeletal Kelas II.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

Maloklusi adalah keadaan yang menyimpang dari oklusi normal dengan susunan
gigi yang tidak harmonis secara estetik mempengaruhi penampilan seseorang dan
mengganggu keseimbangan fungsi pengunyahan maupun fungsi bicara. Maloklusi bukan
merupakan proses patologis tetapi proses penyimpangan dari perkembangan normal.
Graber (1962) membagi faktor etiologi maloklusi menjadi faktor umum dan faktor lokal.
Faktor umum terdiri dari herediter, kelainan bawaan, malnutrisi, kebiasaan buruk, postur
tubuh, trauma dan faktor lokal terdiri dari kelainan jumlah, bentuk dan ukuran gigi,
premature loss, prolonged retention dan karies gigi desidui.
Maloklusi Klas II merupakan maloklusi yang paling sulit dalam perawatan ortodonti
yang ditandai dengan prognasi maksila dan mandibula normal, retrognasi mandibula dan
maksila normal, ataupun kombinasi dari keduanya. Profit mengatakan bahwa sekitar 80%
dari ras Kaukasia pada pasien maloklusi Klas II memiliki mandibula yang retrognasi,
sedangkan sekitar 20% maksila yang prognasi.

2.1 Maloklusi Klas II

Menurut klasifikasi Angle, maloklusi Klas II ditandai dengan tonjol mesio bukal
molar pertama permanen maksila letaknya lebih ke mesial daripada bukal groove molar
pertama permanen mandibula. Sering dikenal dengan istilah distooklusi atau mandibula
dengan lengkung giginya terletak lebih ke distal terhadap maksila.

Gambar 1: Klas II Angle.

Relasi skeletal dari maloklusi Klas II ditandai dengan mandibula pada


keadaan oklusi, terletak lebih ke distal daripada maksila.
Gambar 2: Klas II skeletal.

2.2 Etiologi maloklusi Klas II

Kemungkinan akan sulit untuk menentukan secara pasti faktor etiologi dari setiap
tipe maloklusi, faktor yang mungkin berperan terhadap terjadinya maloklusi Klas II dibagi
menjadi 4 bagian yaitu: faktor pre-natal, faktor natal, faktor post natal dan faktor
fungsional.

 Faktor pre-natal.

1. Genetik dan kongenital : Penelitian yang dilakukan pada orang tua dan
anaknya yang memiliki tipe maloklusi yang sama menunjukkan bahwa
dimensi wajah pada dasarnya ditentukan secara herediter melalui gen. Dengan
demikian dimensi tulang basal yang berperan pada maloklusi Klas II skeletal
merupakan hal yang diwariskan.
2. Obat-obatan tertentu yang diberikan saaat kehamilan dapat menyebabkan
perkembangan yang abnormal yang mengarah pada maloklusi Klas II.
3. Terapi radiasi selama masa kehamilan dapat menjadi faktor penyebab
maloklusi Klas II.
4. Posisi janin pada saat dalam kandungan misalnya tangan yang diletakkan
didepan wajah janin tampaknya akan mempengaruhi pertumbuhan
kraniofasial terutama bila terjadi pada mandibula.
 Faktor Natal
Aplikasi forceps yang tidak tepat saat melahirkan dapat menyebabkan
kerusakan atau fraktur dari kondilus sehingga terjadi pendarahan pada area sendi dan
mungkin dapat menjadi ankilosis atau fibrosis pada daerah temporo mandibular joint
yang mengarah pada terhambatnya pertumbuhan mandibula.
 Faktor Post Natal
Kondisi-kondisi tertentu yang dapat mempengaruhi perkembangan normal
kraniofasial adalah

1. Kebiasaan tidur dapat mempengaruhi pertumbuhan normal dari rahang.


2. Kebiasaan buruk seperti mengisap jari dan menggigit bibir bawah juga dapat
menjadi penyebab maloklusi Klas II.
3. Trauma saat bermain. Setiap trauma pada mandibula yang dapat menyebabkan
kerusakan pada daerah kondilus memiliki potensi untuk menghambat
pertumbuhan mandibula.
4. Terapi radiasi jangka panjang.
5. Penyakit-penyakit tertentu seperti Rheumatoid arthritis juga dapat
mempengaruhi pertumbuhan mandibula.
6. Penyakit-penyakit lain yang dapat menjadi presdiposisi yang mungkin dapat
mempengaruhi pertumbuhan normal termasuk tonsilitis akut, rhinitis alergi
dan polip nasal.
7. Anomali gigi geligi juga dapat menyebabkan terjadinya maloklusi Klas II,
misalnya kehilangan gigi secara kongenital, malformasi bentuk gigi,
kehilangan dini gigi desidui, dan persistensi.
8. Pada maloklusi Klas II divisi 2, mandibula tidak dapat berkembang karena
retroklinasi insisivus maksila.
 Faktor Fungsional
Berdasarkan teori fungsional matriks ada hubungan antara bentuk anatomis
dan fungsi fisiologis, sehingga kelainan pada hubungan tersebut terutama selama
masa pertumbuhan dapat menjadi faktor yang berperan pada terjadinya suatu
maloklusi, misalnya bila terjadi kerusakan pada fungsi yang normal seperti fungsi
pernafasan, pola penelanan, posisi lidah dan posisi bibir dapat berperan pada
terjadinya maloklusi.

2.3 Klasifikasi Maloklusi Klas II


Berdasarkan inklinasi insisivus maloklusi Klas II dibagi atas maloklusi Klas II
divisi 1 dan maloklusi Klas II divisi 2.

2.3.1.Maloklusi Klas II divisi 1


Gambaran khas maloklusi Klas II divisi 1 ditandai dengan hubungan distooklusi
disertai dengan proklinasi insisivus maksila dan retroklinasi insisivus mandibula.
A. Karakteristik gambaran klinis maloklusi Klas II divisi 1

- Insisivus maksila protrusi


- Mandibula dalam posisi distal sehingga terdapat overjet yang menyolok.
- Adanya gigitan dalam
- Lengkung maksila yang sempit dan palatumnya tinggi.
- Gigi insisivus mandibula yang supraversi, dan jika dalam keadaan oklusi
sentrik terlihat gigi-gigi insisivus mandibula mengenai gingiva di
bagian palatinal dari gigi insivus maksila.
- Relasi bibir yang ditandai dengan keadaan bibir atas terangkat.
- Curve of Spee dalam.
- Bentuk wajah biasanya mesofasial sampai dolicofasial.
- Profil wajah cembung.

- Relasi molar pertama permanen biasanya Klas II.


- Relasi kaninus permanen Klas II.

B. Gambaran Sefalometri Maloklusi Klas II divisi 1


Maloklusi Klas II divisi 1 ditandai dengan posisi mandibula yang lebih
posterior (retrognasi) dan maksila normal atau maksila yang lebih anterior ( prognasi)
atau kombinasi keduanya sedangkan mandibula normal. Pertumbuhan maksila
berlebihan atau prognasi ditandai dengan sudut SNA yang lebih besar dari 82°. Pada
Klas II, mandibula kurang berkembang atau retrognasi dengan sudut SNB lebih kecil
dari 80° dan sudut ANB lebih besar dari 4°. Selain penyimpangan rahang, maloklusi
Klas II divisi 1 memiliki kondisi gigi insisivus yang khas berupa proklinasi insisivus
maksila, retroklinasi insisivus mandibula yang dilihat pada pengukuran sudut dan
garis dari I-NA dan I-NB serta sudut interinsisal. Besar sudut I-NA lebih besar dari
22° dan pengukuran linier I-NA memiliki nilai lebih besar dari 4mm. Sedangkan pada
insisivus mandibula sudut I-NB lebih kecil dari 25° serta pengukuran linier I-NB
lebih kecil dari 4mm. Sudut interinsisal memiliki nilai lebih kecil dari 130°.
2.3.1 Maloklusi Klas II divisi 2
Gambaran maloklusi Klas II divisi 2 yaitu insisivus sentral atas retroklinasi
sedangkan insisivus lateral bisa retrokliniasi ataupun proklinasi.
A. Karakteristik gambaran klinis maloklusi Klas II divisi 2
- Gummy smile.
- Overjet kecil.
- Gigitan dalam.

- Bibir biasanya kompeten dengan garis bibir bawah yang lebih tinggi.

- Relasi bibir tertutup.

- Bentuk lengkung maksila besar dan biasanya berbentuk oval.

- Bentuk wajah biasanya brachifasial.

- Profil wajah cenderung lurus sampai sedikit cembung.

B. Gambaran Sefalometri Maloklusi Klas II divisi 2

Maloklusi Klas II divisi 2 memiliki diskrepansi skeletal ringan ditandai


dengan sudut FMA yang kecil dan dihubungkan dengan pola pertumbuhan
horizontal. Pada arah vertikal tinggi wajah bagian bawah rendah, sudut nasolabial
besar, dan rotasi mandibula berlawanan jarum jam.

2.4 Penatalaksanaan maloklusi Klas II

Penanganan maloklusi Klas II dapat dilakukan dengan cara modifikasi


pertumbuhan yaitu menghambat pertumbuhan maskila dan disaat yang sama
merangsang pertumbuhan mandibula. Perawatan ini hanya dapat dilakukan pada
masa pertumbuhan dengan piranti fungsional. Pada pasien dewasa diskrepansi
skeletal dapat dikamuflase dengan pergerakan gigi secara ortodonti dengan atau tanpa
pencabutan. Pada kasus dengan diskrepansi yang sangat berat, pilihan perawatan
terbaik adalah kombinasi perawatan ortodonti dengan bedah ortognatik.
Kamuflase Maloklusi Klas II dapat dilakukan dalam 2 bentuk:

1. Dengan pencabutan: Pencabutan dibutuhkan untuk retraksi insisivus maksila


yang protrusi. Ini biasanya dicapai dengan pencabutan kedua premolar pertama
maksila untuk menggerakkan gigi anterior ke posterior. Keputusan klinisi untuk
melakukan pencabutan dalam perawatan ortodonti adalah: adanya crowding, insisivus
yang proklinasi, dibutuhkan perubahan profil wajah, adanya anomali ukuran gigi,
pergeseran garis median, overjet yang besar, dan kestabilan hasil perawatan.
Pencabutan premolar menyebabkan perubahan profil jaringan lunak, dalam beberapa
kasus perubahan ini meningkatkan estetik wajah tetapi di lain pihak hal yang tidak
diinginkan juga dapat terjadi pada wajah.
2. Tanpa pencabutan: Dapat dilakukan dengan cara pergeseran gigi di kedua
lengkung yaitu distalisasi gigi geligi maksila dan mesialisasi gigi geligi mandibula.
Dalam perawatan dengan pesawat cekat, hal ini dicapai melalui pemakaian headgear,
distal jet maupun alat distalisasi lainnya. Dalam perawatan tanpa pencabutan, dapat
juga dibantu dengan pemakaian elastik Klas II. Respons tipikal dari elastik Klas II
atau ekuivalennya, adalah sedikit retraksi lengkung maksila pergeseran lengkung
mandibula ke depan, flaring insisivus bawah, elongasi insisivus atas dan molar
bawah serta rotasi bagian anterior searah jarum jam dan bagian posterior berlawanan
jarum jam.
Ada dua masalah utama dengan melakukan hal tersebut, yaitu hasilnya
mungkin tidak stabil atau tidak dapat diterima secara estetis. Pertama, menggerakkan
lengkung mandibula ke depan akan menempatkan insisivus dalam posisi tidak stabil,
sehingga pasien harus memakai retainer seumur hidup atau akan mudah terjadi relaps.
Kedua, pergerakan gigi cenderung memperjelas penampilan tak berdagu
pasien, karena bibir bawah bergerak ke depan tetapi jaringan lunak dagu biasanya
bergerak ke belakang saat mandibula berotasi ke bawah dan ke belakang. Ketiga,
ekstrusi insisivus atas akibat pemakaian elastik Klas II akan menyebabkan rotasi
maksila ke bawah dan ke belakang sehingga mengakibatkan gummy smile.
Berdasarkan alasan tersebut di atas, pemakaian elastik Klas II hampir tidak
pernah memberikan hasil yang baik. Selain hasilnya tidak stabil, cara ini gagal
menyamarkan deformitas yang mendasarinya dan dapat menyebabkan deformitas
semakin jelas. Penerapan genioplasti untuk menggerakkan dagu ke depan terkadang
diperlukan agar perawatan dapat lebih baik secara estetis.

2.5 Indeks Probabilitas Gramling

Indeks adalah sebuah angka atau bilangan yang digunakan sebagai indikator
untuk menerangkan suatu keadaan tertentu. Probabilitas adalah kemungkinan.
Dengan menggunakan suatu indeks dapat dinilai beberapa hal yang menyangkut
maloklusi, misalnya prevalensi, keparahan maloklusi dan hasil perawatan. Indeks
maloklusi mencatat keadaan maloklusi dalam suatu format kategorik atau numerik
sehingga penilaian suatu maloklusi bisa objektif.
Merrifield dan Gebbeck (1989) mengemukakan penelitiannya pada perawatan
maloklusi Klas II skeletal, bahwa tinggi wajah anterior (AFH) dan tinggi wajah
posterior (PFH) berhubungan erat dengan respons mandibula selama perawatan.
Respons mandibula menentukan keberhasilan atau kegagalan perawatan maloklusi
Klas II. Horn (1992) dalam penelitiannya pada perawatan maloklusi Klas II skeletal
didapat bahwa tinggi wajah posterior dan tinggi wajah anterior berhubungan dengan
reaksi mandibula yang terjadi selama perawatan. Reaksi mandibula akan
mempengaruhi perubahan dimensi vertikal wajah. Oleh karena itu Horn
memperkenalkan indeks tinggi wajah (FHI) dalam perawatan ortodonti sebagai upaya
untuk menetapkan hubungan antara AFH dan PFH. Indeks ini juga dapat
menggambarkan besarnya sudut FMA (Frankfort Mandibular Angle) yang dapat
digunakan untuk membantu perencanaan maupun evaluasi perawatan.
Gramling mengumpulkan banyak sampel dari maloklusi Klas II yang berhasil
dirawat dan yang tidak berhasil dirawat dan dibandingkan.Tujuannya untuk mencari
suatu metode dalam memprediksi keberhasilan atau kegagalan pada perawatan
maloklusi Klas II serta evaluasi hasil perawatan. Gramling mengembangkan suatu
indeks yang dinamakan Indeks Probabilitas yang bertujuan untuk meningkatkan suatu
diagnosis dan prognosis serta evaluasi hasil perawatan berdasarkan pada pengamatan
dan perhitungan terperinci dari radiografi sefalometri. Penelitian ini menggunakan
lima pengukuran sefalometri kranial dan dental (Gambar 3). Lima sudut tersebut
yaitu 1. FMA; 2. ANB; 3. OCC PL; 4. FMIA; 5, SNB
Gambar 3.
Sudut-sudut yang digunakan pada Indeks Probabilitas Gramling
2.6 Titik dan garis yang digunakan pada Indeks Probabilitas Gramling

Beberapa titik yang dijadikan referensi dalam gambaran sefalometri. Titik-


titik referensi tersebut dapat dilihat pada Gambar 4.
- S (Sella): titik tengah ruang sella tursika.

- N (Nasion): titik paling anterior dari sutura fronto nasalis atau sutura antara
ruang frontal dan tulang nasal.
- Or (Orbitale): titik terendah pada tepi rongga mata.

- Po (Porion): titik paling superior dari meatus acusticus eksternus .

- titik A (Subspinal): titik paling cekung pada kontur premaksila di antara spina
nasalis anterior dan gigi insisivus maksila.
- titik B (Submentale): titik paling cekung dari lengkung yang dibentuk antara
infra dental dan pogonion.
- Me (Menton): titik paling bawah pada dagu.

- Go (Gonion): titik persimpangan antara garis singgung ramus dan korpus


mandibula.

Gambar 4.
(Titik-titik referensi pada sefalogram lateral yang digunakan pada Indeks
Probabilitas Gramling.)
Pada umumnya garis-garis referensi dibuat dengan menghubungkan titik-titik pada
gambaran sefalometri lateral. Garis-garis referensi tersebut dapat dilihat pada Gambar 5.
- Garis basis kranium (SN) : garis yang menghubungkan Sella dan Nasion
- Garis Frankfort (FHP) : garis yang menghubungkan Porion dan Orbita.
- Garis Oklusal (OCC PL) : adalah garis yang melalui oklusi dari gigi molar
pertama dan gigi insisivus maksila dan mandibula.
- Garis mandibula (MP) : Garis yang menghubungkan Gonion dan Menton.

2.7 Sudut yang digunakan dalam pengukuran Indeks Probabilitas Gramling


2.7.1 FMA (Frankfort - Mandibular Angle)
Sudut pertama adalah FMA yaitu sudut yang dibentuk dari perpotongan antara
garis Frankfort dan garis mandibula yang dikenal sebagai salah satu kriteria
sefalometri terpenting dalam diagnosis, prognosis dan perencanaan perawatan
(Gambar 6). Sudut ini mengindikasikan arah pertumbuhan wajah bawah, baik
horizontal dan vertikal. Nilai normal untuk sudut ini adalah 22˚ - 28˚. FMA di atas
nilai normal menunjukkan pertumbuhan vertikal yang lebih besar, sementara FMA di
bawah nilai normal mengindikasikan pertumbuhan vertikal yang kecil. Sudut ini
merupakan parameter yang baik dari kontrol vertikal selama mekanoterapi sehingga
harus diperhatikan dengan baik selama perawatan. Peningkatan FMA yang terjadi
selama perawatan pada pasien dengan nilai FMA yang sedang sampai besar akan
menunjukkan rotasi ke bawah dan ke belakang yang merupakan suatu proses yang
kurang baik dari sistem gaya ortodonti yang tidak terkontrol.

2.7.2 ANB
Sudut kedua adalah sudut ANB, yang juga merupakan kriteria yang telah
dikenal ortodontis. ANB adalah sudut yang secara spesifik mengklasifikasikan suatu
maloklusi dan merupakan indikator yang digunakan untuk mengkaji disharmoni
hubungan antara maksila dan mandibula yang didapat dari sudut SNA dikurangi

sudut SNB.

ANB menunjukkan hubungan langsung anteroposterior dari maksila terhadap


mandibula. Nilai ANB berkisar 1˚ - 5˚ (Gambar 7). Nilai ANB lebih besar dari 10°
biasanya membutuhkan kombinasi perawatan bedah sebagai tambahan untuk
mendapatkan perawatan yang tepat.

Gambar 7. Nilai normal sudut ANB 1° - 5°.


Gambar 6. FMA
( Frankfort Mandibular Angle ), FMIA (Frankfort Mandibular
Incisor Angle), IMPA (Incisor Mandibular Plane Angle )

2.7.3 FMIA ( Frankfort - Mandibular Incisor Angle )


Sudut ketiga adalah sudut Frankfort - insisivus mandibula, yaitu sudut
yang diambil dari perpotongan garis Frankfort dan garis aksis insisvus mandibula
(Gambar 8). Sudut ini merupakan sudut yang paling penting yang
menggambarkan protrusi insisivus mandibula. FMIA tidak hanya
menggambarkan hubungan protrusi insisivus mandibula terhadap mandibula,
namun juga menghubungkan protrusi insisivus mandibula terhadap wajah.
Nilai normal FMIA adalah 68˚ dengan FMA 22˚ - 28˚. Jika nilai FMIA
65˚ diharapkan nilai FMA 30˚ atau lebih. Tweed mengatakan bahwa nilai FMIA
mengindikasikan derajat keseimbangan dan harmonisasi di antara wajah bawah
dan batas anterior dari pertumbuhan gigi, sehingga bila nilai FMIA berada
dikisaran normal akan terdapat hubungan wajah yang baik ideal.

Gambar 8.
FMIA. Tweed menggunakan FMIA sebagai indikator keseimbangan wajah.
2.7.4 OCC PL ( Occlusal Plane )

Garis oklusal yang diukur terhadap garis Frankfort telah lama dianggap
sebagai penentu atas kualitas gaya ortodonti, dan merupakan sudut keempat
dalam Indeks Probabilitas Gramling. Sudut ini juga penting sebagai penentu
kesulitan dari suatu koreksi ortodonti karena maloklusi dikoreksi di sepanjang
garis oklusal. Dalam penelitian pada 150 maloklusi Klas II didapat bahwa
maloklusi Klas II dengan sudut dataran yang tinggi terbukti paling sulit dikoreksi.
Nilai normal dari garis OCC PL ke garis FH adalah 8°-12° ± 2° pada
pasien laki-laki dan perempuan. Kecuraman rata-rata pada OCC PL laki-laki dan
perempuan adalah 9° dan 11° (Gambar 9). Nilai di atas dan di bawah rentang
normal mengindikasikan tingkat kesulitan dalam perawatan. Peningkatan
kecuraman OCC PL selama perawatan mengindikasikan kehilangan kontrol
vertikal dan kecenderungan untuk memperoleh hasil perawatan yang kurang
stabil karena sudut OCC PL menentukan keseimbangan otot, terutama otot-otot
mastikasi.

2.7.5 SNB

Sudut kelima yang digunakan dalam Indeks Probabilitas adalah sudut


SNB. Sudut ini paling tepat dalam menggambarkan hubungan anteroposterior
mandibula terhadap basis kranium anterior (Gambar 10). Nilai 78°-82 °
menyatakan posisi anteroposterior mandibula yang normal. Nilai yang kurang
dari 74° menyatakan retrognasi mandibula mengindikasikan bahwa bedah
ortognati akan menjadi sangat bermanfaat untuk perawatan.
Gambar 10. Nilai normal SNB 78°-82°.

Gramling melakukan pengelompokan berdasarkan nilai normal masing-


masing sudut, dimana jika lebih besar atau pun lebih kecil dari nilai normal
akan memberikan prediksi keberhasilan atau kegagalan perawatan. Namun
setelah dianalisis sudut-sudut tersebut memiliki nilai prediktif yang rendah dan
tidak valid bila masing-masing dinilai secara terpisah. Jika kelima sudut diukur
secara bersamaan dan digabungkan maka hasil pengukuran tersebut ditemukan
memiliki kemampuan prediktif dalam menentukan apakah suatu kasus sesuai
untuk perbaikan Klas II.
Dari latar belakang tersebut Gramling memformulasikan suatu Indeks
Probabilitas. Yaitu dengan cara menetapkan faktor kesulitan dan diberikan nilai
spesifik dari titik-titik untuk setiap variabel dengan tujuan (1) meningkatkan
prosedur diagnostik, (2) panduan prosedur perawatan, (3) memprediksi
kemungkinan keberhasilan perawatan atau gagal. Hal ini diharapkan indeks akan
menjadi nilai yang memisahkan maloklusi Klas II yang membutuhkan prosedur
perawatan alternatif dari kasus-kasus yang membutuhkan koreksi bedah untuk
mencapai oklusi yang baik. Indeks Probabilitas Gramling menyatakan bahwa
kontrol kelima sudut yaitu FMA, ANB, FMIA, OCC PL dan SNB adalah kunci
apakah koreksi ortodonti maloklusi Klas II sukses atau gagal.
DAFTAR PUSTAKA

1. Adams, C.P. & Kerr, W.J. 1990. The Design, Construction and Use of
Removable Orthodontic Appliances. 6th Edition . Thomson Litho Ltd.
East Kilbride. Scotland. h. 102 – 115.

2. Alexander, R.G. 2001. Teknik Alexander : Konsep dan Filosofi


Kontemporer. Editor Ed. Bahasa Indonesia, Lilian Yuwono. EGC,
Jakarta. h. 150  151.

3. Graber, T.M. & Vanarsdall, R.L. 1994. Orthodontics : Current Principles


and Techniques. 2nd Edition. Mosby Year Book Inc., St. Louis,
Missouri. h.392 – 404, 437  463, 467 – 469.

4. Moyers, R.E. 1988. Handbook of Orthodontics. 4th Edition. Year Book


Medical Publishers, Inc., Chicago, London, Boca Raton. h. 191, 535,
539 – 543.

5. Proffit, W.R. & Fields, H.W. 2000. Contemporary Orthodontics. 4th Edition.
Mosby Inc., St. Louis. h. 397 – 400, 506.

6. Rakosi, T.; Jonas, I. & Graber, T.M. 1993. Color Atlas of Dental Medicine :
Orthodontic – Diagnosis. Thieme Medical Publishers Inc., New York.
h. 49.

7. Soemantri, E.S.S. 1999. Perawatan Orthodontik dan Orthopedik pada


Pasien Usia Pertumbuhan. FKG UNPAD., Bandung. h. 1  3.

8. Van der Linden, Frans P.G.M. 1987. Diagnosis and Treatment Planning in
Dentofacial Orthopedics. London. Quintentessense Publishing Co. Ltd.
h. 163
– 164.

Anda mungkin juga menyukai