Anda di halaman 1dari 15

Journal Reading

RISK FACTORS FOR ACUTE RESPIRATORY INFECTION IN


CHILDREN UNDER FIVE IN PADANG, INDONESIA

Oleh :
Echa Putri Ayu Rimadhona MZ, S.Ked
2011901010

Pembimbing:
dr. Inggrit Anggraini, M.BIOMED, Sp.A

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR


ILMU KESEHATAN ANAK RSUD KOTA DUMAI
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ABDURRAB PEKANBARU
2021
FAKTOR RISIKO INFEKSI SALURAN PERNAFASAN AKUT PADA
ANAK BALITA DI PADANG, INDONESIA

Rahmi Hidayanti 1), Husna Yetti 2), Andani Eka Putra 3)

1)
Program Magister Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran Universitas
Andalas Padang 2)Fakultas Kedokteran Universitas Andalas Padang

ABSTRAK
Latar Belakang : Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) merupakan penyebab
utama penyakit akut dan kematian pada bayi di seluruh dunia. Persentase ISPA
(tahun 2017) pada anak usia 12-59 bulan di Kota Padang adalah 26,5% dan
Puskesmas Andalas 33,2%. ISPA dipengaruhi oleh banyak faktor seperti kondisi
lingkungan. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis faktor risiko ISPA pada
balita di Padang, Indonesia.
Subjek dan Metode : Penelitian ini menggunakan studi kasus kontrol yang
dilakukan di Puskesmas Andalas, Padang, Indonesia. Sampel yang digunakan
yaitu 90 anak dengan rentang usia 12-59 bulan. Variabel terikat adalah ISPA.
Variabel bebas adalah kelembaban, ventilasi rumah, kepadatan hunian, asap rokok
dalam ruangan. Data status ISPA diambil dari rekam medis. Variabel lain diukur
dengan angket dan lembar observasi. Data dianalisis dengan regresi logistik
ganda
Hasil : Ventilasi yang buruk (OR = 11,73; CI 95% = 2,16-63,86; p = 0,004),
kepadatan hunian tinggi (OR = 21,99; CI 95% = 3,75-129,04; p = 0,001), dan asap
rokok dalam ruangan (OR = 5,09; 95 % CI = 1,06-24,34; p = 0,042), dapat
meningkatkan risiko ISPA pada balita dan bermakna secara statistik.
Kesimpulan : Ventilasi yang buruk, kepadatan hunian tinggi, asap rokok dalam
ruangan, dan kelembaban udara yang tinggi meningkatkan risiko ISPA pada
balita.
Kata Kunci : Infeksi saluran pernafasan akut, kepadatan hunian, kelembaban
udara, balita
A. LATAR BELAKANG
Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) masih menjadi penyebab
utama penyakit akut di seluruh dunia dan penyebab kematian pada bayi.
Sekitar 3,9 juta anak meninggal setiap tahun akibat ISPA (Taksande dan
Yeole, 2015). ISPA terdiri dari infeksi saluran pernafasan atas dan infeksi
saluran pernafasan bagian bawah yang tergantung dari daerah saluran
pernafasan yang terkena (Nandasena et al, 2013). 40% - 60% kunjungan
pasien ke Puskesmas dan 15% -30% kunjungan pasien ke rumah sakit
adalah kasus ISPA dengan episode 3-6 (Kemenkes, 2012).
ISPA disebabkan oleh bakteri dan virus. Kelompok bakteri
termasuk yang umum yaitu Streptococcus pneumoniae, Staphylococcus
aureus, Pneumococci, Haemophilus influenzae tipe b (Hib), Bordetella,
Korinebakteri dan spesies bakteri lainnya. Virus penyebab ISPA adalah
Mikovirus, Adenovirus, Corona-virus, Phorornavirus, Mycoplasma,
Herpes-virus, pernapasan virus syncytial (RSV), virus campak, virus
parainfluenza manusia tipe 1,2 dan 3 (PIV) -1, PIV-2 dan PIV-3),
influenza virus dan virus varicella (Fakunle, 2012).
Pemerintah berupaya memberantas ISPA dengan pendekatan
Manajemen Terintegrasi pendekatan Penyakit Anak untuk dapat
melakukan skrining penyakit yang memerlukan perawatan segera agar
angka kematian dapat dikurangi dan mampu menyaring kondisi yang
hanya membutuhkan perawatan di rumah. Keberhasilan ini bergantung
pada jumlah faktor risiko dan modifikasi faktor risiko (Wantania et al.,
2008).
Beberapa faktor yang berkontribusi terhadap peningkatan kasus
ISPA adalah kualitas udara yang rendah baik di dalam maupun di luar
rumah secara biologis, fisik dan kimiawi. Kualitas udara pada ruang rumah
dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain struktur bangunan, kepadatan
hunian dan juga aktivitas dalam rumah seperti perilaku merokok di dalam
rumah (Kemenkes, 2011). Hampir 90% masyarakat menghabiskan waktu
dan beraktivitas di dalam ruangan terutama balita sehingga terkait dengan
risiko pencemaran udara dalam ruangan (Kemenkes 2011, Sati dkk,
2015).
Kelembaban dan kepadatan hunian memiliki hubungan yang
signifikan dengan kejadian ISPA pada bayi (Rosdiana dan Hermawati,
2015). Adanya asap dalam ruangan merupakan faktor risiko terjadinya
ISPA (Yadav et al, 2013). Suhu ruangan yang tidak memenuhi persyaratan
memiliki risiko 2,29 kali lebih besar untuk mengalami ISPA dibandingkan
suhu ruangan yang memenuhi persyaratan (Sati et al., 2015).
Rumah merupakan bagian dari lingkungan yang mempengaruhi
terjadinya infeksi saluran pernafasan. Komponen rumah terdiri dari
dinding, lantai, ventilasi, penerangan dan kepadatan penghuni (Masfufatun
et al., 2016; Depkes, 2007). Rumah yang tidak sehat dapat menyebabkan
tingginya koloni bakteri di rumah pada kelompok kasus (Fakunle, 2012;
Ana et al., 2013).
Pemerintah melalui Peraturan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia Nomor 1077/MENKES/PER/V/2011 tentang Pedoman Sanitasi
Udara di Ruang Rumah menetapkan persyaratan kualitas udara di ruang
rumah secara biologis, fisik, dan kimiawi. Secara biologis, ruang dengan
udara dalam keadaan sehat rumah harus bebas dari kuman udara
maksimal <700 CFU/m3. Kualitas fisik terdiri dari suhu udara,
penerangan, dan kelembaban.
Berdasarkan data Riskesdas 2013, Sumatera Barat menempati
urutan ke-10 dengan prevalensi ISPA tertinggi di Indonesia (25,7%).
Berdasarkan data Dinas Kesehatan Kota Padang tahun 2017, proporsi
ISPA pada bayi di Kota Padang sebesar 26,5%. ISPA pada balita tertinggi
di Puskesmas Andalas dengan jumlah 2.821 kasus (33,2%).
Kepemilikan rumah sehat di wilayah kerja Puskesmas Andalas
masih rendah. Dari 15.393 rumah yang ada di wilayah kerja Puskesmas
Andalas, 2.400 (15,6%) rumah yang diperiksa syarat kesehatannya dan
dinyatakan memenuhi syarat kesehatan dari 2.101 rumah sehat (87%),
sedangkan target 100% (Andalas Health Center, 2016).
B. SUBYEK DAN METODE
1. Desain Studi
Jenis penelitian ini adalah observasional analitik dengan desain case
control. Penelitian dilakukan di Puskesmas Andalas Padang, Indonesia.
2. Populasi dan Sampel
Populasi penelitian adalah anak-anak di Padang, Indonesia. Sampel
sebanyak 90 anak usia 12-59 bulan. Pemilihan sampel menggunakan
metode random sampling.
3. Instrumen Penelitian
Data kuman udara diukur dengan water volume sampler. Data
pencahayaan diukur dengan lux meter. Kelembaban dan suhu udara
diukur dengan thermohygrometer. Data dianalisis dengan regresi
logistik ganda.

C. HASIL
1. Karakteristik subjek
Distribusi frekuensi karakteristik subjek penelitian adalah sebagian
besar berusia <32 tahun pada 49 orang (54,4%), pendidikan Sekolah
Menengah Atas (SMA) (46,7%) pekerja swasta dan ibu rumah tangga
dengan proporsi yang sama yaitu 26 orang (28,9%).
Tabel 1. Karakteristik Subjek
Variabel n %
Usia
< 32 tahun 49 54.4
≥ 32 tahun 41 45.6
Pendidikan
Lulusan SMP 8 8.9
Lulusan SMA 42 46.7
Lulusan Kuliah 40 44.4
Pekerjaan
PNS/Prajurit 10 11.1
Pekerja Swasta 26 28.9
Pengusaha Swasta 25 27.8
Tenaga Kerja 2 2.2
Ibu Rumah Tangga 26 28.9
Asisten Rumah Tangga 1 1.1

2. Hasil Analisis Bivariat


Analisis bivariat dilakukan untuk mengetahui hubungan variabel
bebas (jumlah bakteri di udara, suhu, kelembaban, pencahayaan, asap
rokok dalam ruangan, ventilasi, dan kepadatan hunian) dengan
kejadian ISPA (Tabel 2).
Jumlah kuman udara yang tidak memenuhi syarat pada
kelompok kasus adalah 68,9% dibandingkan dengan kelompok kontrol
(24,4%). Proporsi kuman yang tidak memenuhi syarat lebih tinggi
pada kelompok kasus. Kelembaban yang tidak memenuhi persyaratan
(71,1%). Pencahayaan yang tidak memenuhi persyaratan (53,3%) pada
kelompok kasus lebih tinggi daripada kelompok kontrol (28,9%).
Merokok di dalam rumah lebih tinggi pada kelompok kasus (66,7%)
dibandingkan pada kelompok kontrol (42,2%).
Ventilasi yang tidak memenuhi persyaratan 77,8% lebih tinggi
pada kelompok kasus dibandingkan dengan kelompok kontrol (22,2%).
Kasus kepadatan hunian yang padat lebih tinggi kelompok (73,3%) dan
pada kelompok kontrol (28,9%).
Tabel 2. Analisis Bivariat Faktor Risiko ISPA

ISPA
Variabel Total
ATAU 95% CI P
Independen Kasus Kontrol
n % n % n %
Jumlah Kuman Udara
Tinggi 31 73.8 11 26.2 42 100
6.84 2.71 -17.31 0.001
Rendah 14 29.2 34 70.8 48 100
Suhu
Rendah 14 66.7 7 33.3 21 100
2.45 0.88 -6.86 0.135
Tinggi 31 44.9 38 55.1 69 100
Kelembaban
Tinggi 32 76.2 10 23.8 42 100
8.62 3.32 -22.36 0.001
Rendah 13 27.1 35 72.9 48 100
Pencahayaan
Rendah 24 64.9 13 35.1 37 100
2.81 1.18 -6.72 0.032
Tinggi 21 39.6 32 60.4 53 100
Asap Rokok dalam Ruangan
Iya 30 61.2 19 38.8 49 100
100 1.16 -6.45 0.034
Tidak 15 36.6 26 63.4 41 100
Lantai
Buruk 20 58.8 14 41.2 34 100
100 0,75 -4.20 0.277
Baik 25 44.6 31 55.4 56 100
Dinding
Buruk 26 61.9 16 38.1 42 100
100 1,06-5.80 0.057
Baik 19 47.3 29 52.7 48 100
Ventilasi
Buruk 35 77.8 10 22.2 45 100
100 4.53-33.10 0.001
Baik 10 22.2 35 77.8 45 100
Kepadatan Tempat Tinggal
Tinggi 33 71.7 13 28.3 46 100
100 2.69-17.04 0.001
Rendah 12 27.3 32 72.7 44 100

3. Regresi Logistik Berganda


Tabel 3 menunjukkan hasil regresi logistik ganda. Tabel 3
menunjukkan bahwa ventilasi yang buruk (OR=11,73; CI 95% = 2,16-
63,86; P=0,004), kepadatan hunian tinggi (OR=21,99; 95% CI = 3,75-
129,04; P=0,001), dan asap rokok dalam ruangan (OR=5,09; CI 95% =
1,06-24,34; P=0,042), dapat meningkatkan risiko ISPA pada balita dan
bermakna secara statistik.
Tabel 3. Hasil Analisis Regresi Logistik Berganda
95% CI

Variabel Independen ATAU Batasan yang Batas P


lebih rendah Atas

Ventilasi yang buruk 11.73 2.16 63.86 0.004


Kepadatan hunian tinggi 21.99 3.75 129.04 0.001
Merokok di dalam rumah 5.09 1.06 24.34 0.042
Dinding non-permanen 1.48 0.33 6.70 0.609
Jumlah kuman udara tinggi 2.96 0.44 19.84 0.263
Suhu 3.24 0.60 17.54 0.172
Aliran 3.35 0.62 18.09 0.161
Kelembaban tinggi 5.00 0.79 31.51 0.086
Pencahayaan 3.76 0.70 20.37 0.124
R2 = 76,9%

D. PEMBAHASAN
1. Hubungan antara kepadatan hunian dengan kejadian ISPA
Kepadatan tempat tinggal berhubungan positif dengan kejadian
ISPA. Penelitian ini sejalan dengan Syahidi (2013) di Tebet, Jakarta
Selatan, bahwa ada pengaruh kepadatan hunian terhadap kejadian ISPA
(OR = 5,59; CI 95% = 2,16-14,50). Kepadatan hunian adalah rasio total
luas lantai ruangan dibagi jumlah penghuni, minimal 8m 2 /orang. Area
kamar tidur yang direkomendasikan adalah 8m2 /dua orang dan tidak
dianjurkan untuk tidur dalam satu kamar, kecuali anak di bawah usia 5
tahun (Departemen Kesehatan, 2007). Sedangkan kepadatan hunian
pengamatan di lapangan adalah 7,49 m2, Artinya rumah di Puskesmas
Andalas memiliki hunian yang padat.
Kepadatan tempat tinggal dapat mempengaruhi kelembaban, hal
ini dikarenakan jumlah penghuni yang banyak sehingga dapat
meningkatkan jumlah uap air dan Co2 yang mengurangi kadar oksigen
dan memiliki dampak pada penurunan kualitas udara ruangan
(Wulandari, 2013).
Kepadatan ruangan juga mempengaruhi suhu ruangan yang
disebabkan oleh pelepasan panas yang akan meningkatkan kelembapan
akibat uap air dari pernafasan. Bangunan sempit yang tidak sesuai
dengan jumlah penghuni akan mengakibatkan kekurangan oksigen di
dalam ruangan sehingga daya tahan tubuh penghuni menjadi menurun,
dan dapat mempercepat resiko penyakit pernafasan seperti ISPA
(Affandi, 2012).
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Sati et.al tahun 2015
di Kabupaten Ogan Hilir yang menyatakan bahwa terdapat hubungan
yang signifikan antara kepadatan hunian dengan kejadian ISPA
(OR=6.61; 95% CI=1,02-42,82). Kepadatan tempat tinggal merupakan
prasyarat untuk proses penularan penyakit. Kepadatan hunian di dalam
rumah sangat penting untuk diperhatikan, hal ini dikarenakan jumlah
penghuni yang banyak di dalam rumah akan mempercepat terjadinya
pencemaran udara dalam penyebaran mikroorganisme di sekitar rumah
(lingkungan Hidup).

2. Hubungan ventilasi rumah dengan kejadian ISPA


Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan antara
ventilasi yang tidak memenuhi persyaratan dengan kejadian ISPA.
Ventilasi berfungsi untuk membebaskan udara dari bakteri terutama
bakteri patogen dan menjaga rumah agar selalu dalam kelembapan yang
optimal. Ventilasi yang tidak memenuhi syarat akan memicu
kelembaban ruangan yang tinggi, kelembaban yang tinggi merupakan
media yang baik untuk pertumbuhan bakteri penyebab penyakit (Sati
dkk, 2015).
Konsentrasi kuman yang tinggi terdapat di udara, hal ini berkaitan
erat dengan kecukupan ventilasi yang berfungsi sebagai sarana untuk
menjamin kualitas udara yang keluar dan masuk (Yusuf dkk, 2016).
Anak-anak yang tinggal di rumah dengan ventilasi yang baik lebih kecil
kemungkinannya untuk mengalami ISPA dibandingkan dengan anak
yang tinggal di rumah dengan ventilasi yang buruk (Wantania dkk,
2008). Masalah ventilasi secara umum adalah kurangnya udara segar
dari luar ke dalam ruangan, distribusi dan pertukaran udara yang buruk,
masalah filtrasi udara karena pemeliharaan sistem ventilasi yang buruk.
Gangguan kesehatan seperti saluran pernafasan yang disebabkan oleh
bakteri mungkin saja bersumber dari sistem ventilasi. Sumber
mikrobiologi kontaminasi datang dari karpet, furnitur lembab, atau
genangan di sistem ventilasi (Fitria, dkk 2008).
Ventilasi yang tidak memadai menjadi penyebab rendahnya
kualitas udara dalam ruangan. Kontaminasi dalam ruangan dapat
meningkat karena tingkat ventilasi yang tinggi dapat mengganggu atau
mengurangi kenyamanan penghuni (EPA, 1991). Pengaruh ventilasi
pada kesehatan dapat terjadi pada orang yang lebih rentan (Fitria dkk,
2008). Ventilasi yang memadai dapat mengurangi kuman patogen yang
ditularkan melalui transmisi obligat dan preferensial melalui udara,
termasuk URTI (WHO, 2007).
Standar luas ventilasi rumah adalah 10% dari luas lantai. Ventilasi
yang tidak memenuhi syarat dapat menyebabkan penurunan kadar
oksigen di udara ruangan, dan menyebabkan bau pengap yang
dikeluarkan oleh kulit, pakaian, dan mulut manusia; menyebabkan
peningkatan suhu udara dalam ruangan dan peningkatan kelembaban
dalam rumah (Gunawan, 2009).

3. Hubungan antara asap rokok dalam ruangan dengan kejadian


ISPA
Selain kepadatan hunian dan ventilasi, variabel yang secara
signifikan berhubungan dengan hasil analisis multivariat regresi logistik
adalah merokok di dalam rumah. Hasil penelitian ini serupa dengan
penelitian yang dilakukan oleh Syahidi et al. (2016) yang menyatakan
bahwa ada hubungan yang signifikan antara merokok di dalam rumah
dengan kejadian ISPA pada balita (OR = 8,02; p = 0,001). Asap rokok
dari orang tua atau penghuni rumah merupakan bahan pencemaran yang
serius di dalam rumah dan meningkatkan risiko timbulnya penyakit,
terutama gangguan pernapasan pada anak. Semakin banyak rokok yang
dimiliki keluarga, semakin besar risiko terjadinya ISPA.
Tiga bahan utama rokok yang berdampak negatif bagi kesehatan
adalah tar, nikotin, dan karbon monoksida. Asap rokok meningkatkan
risiko penyakit saluran pernapasan pada anak-anak. Asap rokok dapat
merangsang peningkatan lendir dan menurunkan kemampuan silia
sehingga penumpukan lendir yang kental bertambah dan terperangkap
oleh partikel atau mikroorganisme di saluran napas sehingga
mengurangi pergerakan udara di dalam tubuh (Ahyanti dan Duarsa,
2013).
Adanya perokok di dalam rumah menyebabkan pencemaran udara
dalam ruangan dan meningkatkan kejadian ISPA pada anak (Safarina,
2015). Paparan asap rokok pada anak-anak sangat tinggi di dalam
rumah. Asap rokok dari orang tua atau penghuni merupakan bahan
pencemaran yang serius di dalam ruangan dan akan meningkatkan
risiko penyakit. Paparan asap rokok secara terus menerus dapat
menyebabkan gangguan pernafasan (Milo dkk, 2015). Risiko kematian
mendadak pada bayi 3 kali lebih tinggi pada anak yang terpapar asap
rokok dari perokok hamil (Seguel dkk, 2016).
Keluarga yang memiliki bayi dan memiliki anggota keluarga yang
merokok di dalam rumah lebih mungkin mengalami ISPA
dibandingkan dengan bayi yang tidak memiliki keluarga perokok
(Basuki dan Febriani, 2016). Lebih dari 4000 bahan kimia ditemukan
dalam asap rokok dan 40 bahan kimia tersebut merupakan karsinogen
penyebab kanker dalam fase uap dan partikel. Asap rokok sampingan
(secondhand smoke) bersifat karsinogenik dibandingkan dengan asap
utama yang dihirup oleh perokok aktif (Nandasena dkk, 2013).
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi rekomendasi bagi
pemegang kebijakan atau program pencegahan ISPA pada balita di
Dinas Kesehatan Kota Padang. Program terkait adalah Seksi
Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit Menular dan Seksi Kesehatan
Lingkungan dalam rangka meningkatkan kerjasama penanggulangan
ISPA dengan memaksimalkan Program Klinik Sanitasi sebagai wadah
komunikasi bagi pasien ISPA dan tenaga kesehatan. Sesuai Peraturan
Menteri Kesehatan Nomor 13 Tahun 2015 tentang Penyelenggaraan
Pelayanan Kesehatan Lingkungan di Puskesmas dalam mengurangi
faktor risiko lingkungan, pelayanan kesehatan lingkungan dilakukan
dalam bentuk penyuluhan, pemeriksaan kesehatan lingkungan, dan
lingkungan intervensi kesehatan tal. Hal ini dapat sangat mendukung
upaya penurunan faktor risiko penyakit berbasis lingkungan.

E. KESIMPULAN
Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) masih menjadi penyebab
utama penyakit akut di seluruh dunia dan penyebab kematian pada bayi.
ISPA disebabkan oleh bakteri dan virus. Berdasarkan data Dinas
Kesehatan Kota Padang tahun 2017, proporsi ISPA pada bayi di Kota
Padang sebesar 26,5%. ISPA pada balita tertinggi di Puskesmas
Andalas dengan jumlah 2.821 kasus (33,2%).
Terdapat beberapa faktor yang berkontribusi terhadap
peningkatan kasus ISPA diantaranya yaitu kualitas udara yang rendah
baik di dalam maupun di luar rumah. Kualitas udara pada ruang rumah
dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain struktur bangunan,
kepadatan hunian dan juga aktivitas dalam rumah seperti perilaku
merokok di dalam rumah.
Pada penelitian ini terdapat hubungan antara kepadatan hunian,
ventilasi rumah dan asap rokok dalam ruangan dengan kejadian ISPA
pada balita di Padang, Indonesia
DAFTAR PUSTAKA

Affandi A (2012). Hubungan lingkungan fisik rumah dengan kejadian Infeksi


Saluran Pernafasan Akut pada anak balita di Kabupaten Wonosobo
Provinsi Jawa Tengah Tahun 2012. [Tesis]. Depok. Fakultas
Kesehatan Masyarakat. Universitas Indonesia.
Ahyanti dan Duarsa (2013). Hubungan Merokok Dengan Kejadian ISPA Pada
Mahasiswa Politeknik Kesehatan Kementerian Kesehatan
Tanjungkarang. Jurnal Kesehatan Masyarakat Andalas. 7(2): 47-53.
Basuki dan Febriani (2016). Hubungan Antara Kriteria Perokok Dengan
Kejadian Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) Pada Balita di
Wilayah Kerja Kecamatan Prambanan Yogyakarta. Jurnal Stikes
Wirahusada.10(1).
Departemen Kesehatan Republik Indonesia (2007). Pedoman Penilaian
Rumah Sehat. Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan
Penyehatan Lingkungan. Jakarta
Environmental Protection Agency(1991). Indoor Air Facts No.4 (Revised)
Sick Building Syndrome (SBS). Environmetal Protection Agency,
United States
FakunleAG (2012). Indoor Air Quality and Risk of Respiratory Infections
Among Under Five Children Presenting Two Hospitals in Ibadan,
Nigeria. Nigeria Faculty of Public Health. University of Ibadan.
Fitria. L, Wulandari.RA, Hermawati.E, dan Susanna D (2008). Kualitas Udara
Dalam Ruang Perpustakaan Universitas ‘’X” Ditinjau dari Kualitas
Biologi, Fisik dan Kimiawi. Jurnal Makara Kesehatan.12(2): 76-82.
Gunawan (2009). Rencana Rumah Sehat. Yogyakarta. Penerbit Kanisius
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (2011). Peraturan Menteri
Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1077/MENKES/PER/ V/ 2011
tentang Pedoman Penyehatan Udara Dalam Ruang Rumah.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (2012). Pedoman Pengendalian
Infeksi Saluran Pernafasan Akut. Jakarta. Direktorat Jenderal
Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan.
_____ (2013). Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) Indonesia tahun 2013.
Jakarta. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Kementerian
Kesehatan Republik Indonesia
Lemeshow S, David W, Janelle K, Stephen K (1997). Besar Sampel Dalam
Penelitian Kesehatan. Gajah Mada University Press. Yogyakarta.
Masfufatun J, Nurjazuli, Suhartono (2016). Hubungan Kualitas lingkungan
rumah dengan kejadian Penumonia pada bayi di Wilayah kerja
Puskesmas Banjarmangu 1 Kabupaten Banjarnegara. Jurnal Kesehatan
Lingkungan Indonesia. 15(1): 6-13.
Milo, IsmantoY, KalloVD (2015). Hubungan Kebiasaan Merokok Dalam
Rumah Dengan Kejadian ISPA Pada Anak Umur 1 – 5 Tahun Di
Puskesmas Sario Kota Menado. Ejournal Keperawatan (e-Kp).
3(2):https://ejournal.- unsrat.ac.id/index.php/jkp/article/vi ew/8087.
NandasenaS, WickremasingheAR, Sathiakumar N (2013). Indoor Air
Poluution and Respiratory Health of Children in The Developing
World. World Journal of Clinical Pediatrics. 2(2): 6-15.
Puskesmas Andalas (2016). Laporan tahunan Puskesmas Andalas
Rosdiana D, Hermawati E (2015). Hubungan Kualitas Mikrobiologi Udara
Dalam Rumah dengan Kejadian ISPA Pada Balita. Jurnal Respirologi
Indo. 35(2): 83-96.
Safarina L (2015). Hubungan Kebiasaan Merokok Di Dalam Rumah Dengan
Kejadian ISPA Pada Balita di Desa Cimareme Kabupaten Bandung
Barat. Jurnal Kesehatan Kartika. 10(2).
SatiL, Sunarsih E, Faisya AF (2015). Hubungan kualitas Udara Dalam
Ruangan Asrama Santriwati dengan Kejadian ISPA di Pondok
Pesantren Rhaudatul Ulum dan Al Ittifa Kabupaten Ogan Hilir Tahun
2015. Jurnal Ilmu Kesehatan Masyarakat. 6(2).
Seguel JM, Merrill, DO, Seguel D, Campagna (2016). Indoor Air Quality.
American Journal of Lifestyle Medicine. 11 (4): 284-295.
Syahidi. MH, Gayatri D, Bantas K (2016). Faktor-faktor Yang Mempengaruhi
Kejadian Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) Pada Anak Balita
Berumur 12-59 Bulan di Puskesmas Kelurahan Tebet Barat,
Kecamatan Tebet, Jakarta Selatan. Jurnal Epidemiologi Kesehatan
Indonesia. 1(1).
TaksandeA, Yeole M (2015). Risk factor of Acute Respiratory Infection (ARI)
in under fives in a rural hospital of Central India. Journal of Pediatric
and Neonatal Individualized Medicine. 5(1): e050105 doi : 10.7363/
050105.
WantaniaJM, Naning R, Wahani A (2008). Infeksi respiratori akut. Dalam :
Buku Ajar Respirologi Anak. Cetakan Pertama IDAI. Jakarta: EGC.
Wulandari E (2013). Faktor Yang Berhubungan Dengan Keberadaan
Streptococcus di Udara Pada Rumah Susun Kelurahan Bandarharjo
Kota Semarang Tahun 2013. Unnes Journal of Public Health. 2(4).
https://doi.org/- 10.15294/ujph.v2i4.3059.
World Health Organization (2007). Pencegahan dan Pengendalian Infeksi
Saluran Pernapasan Akut (ISPA) yang cenderung menjadi epidemi
dan pandemi di Fasilitas Kesehatan. Pedoman Interim WHO.
YadavS, Khinchi Y, PanA, GuptaSK, ShahGS, BaralDD, PoudelP (2013).
Risk factors for acute respiratory infection in hospitalized under five
children in central Nepal. Journal Nepal Paediatr.33(1): 39-44.
Yusuf M, Sudayana I, Nurtamin (2016). Hubungan lingkungan rumah dengan
kejadian ISPA pada masyarakat pesisir Kelurahan Lapulu Kecamatan
Abeli Tahun 2014. Medula. 3(2). Akses di http://ojs.uho.ac.id/index.-
php/medula/article/view

Anda mungkin juga menyukai