Anda di halaman 1dari 21

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Landasan Teori


2.1.1 Definisi Status Gizi
Status gizi adalah keadaan tubuh yang terjadi akibat keseimbangan antara
zat gizi yang masuk ke dalam tubuh dengan zat gizi yang dibutuhkan oleh tubuh
untuk proses metabolisme. Setiap individu memerlukan asupan gizi yang berbeda-
beda, tergantung dengan usia, jenis kelamin, aktivitas tubuh, berat badan dan
lainnya (Par’i et al, 2017).
2.1.2 Penilaian Status Gizi
Penilaian status gizi menurut Ariani (2017) dapat dilakukan dengan dua
cara, yaitu:
1. Penilaian status gizi secara langsung
Penilaian status gizi secara langsung dapat diukur dengan empat cara
yaitu:
a. Antropometri
1) Pengertian
Antropometri secara umum diartikan sebagai ukuran tubuh
manusia. Dilihat dari sudut pandang gizi, antropometri berhubungan
dengan berbagai macam cara pengukuran bentuk tubuh dan
komposisi tubuh dari tingkat umur dan tingkat gizi.
2) Penggunaan
Antropometri diperlukan untuk melihat ketidakseimbangan
masukan protein dan energi, yang terlihat dari pertumbuhan fisik dan
jaringan di dalam tubuh seperti lemak, otot, dan jumlah air dalam
tubuh.
b. Klinis
1) Pengertian
Pemeriksaan klinis yaitu cara yang baik untuk mengukur status
gizi masyarakat. Cara ini dilihat dari perubahan yang terjadi dan
dihubungkan dengan ketidakcukupan gizi. Hal ini juga dapat dilihat
pada kulit, mata, rambut, bibir dan organ-organ yang dekat dengan
permukaan tubuh.
2) Penggunaan
Cara ini biasanya digunakan untuk melihat tanda secara cepat
(rapid clinical surveys). Cara ini dijadikan untuk mendeteksi tanda
klinis yang terjadi dari kekurangan salah satu atau lebih zat gizi.
Selanjutnya, untuk melihat status gizi seseorang dapat dilihat dari
hasil pemeriksaan fisik yaitu tanda dan gejala atau status penyakit
seseorang.
c. Biokimia
1) Pengertian
Pemeriksaan biokimia adalah pemeriksaan status gizi yang
dilakukan dengan menggunakan spesimen jaringan tubuh yang
secara laboratoris. Jaringan tubuh yang dipakai antara lain yaitu
darah, urine, feses, otot, dan hati.
2) Penggunaan
Cara ini dilakukan untuk mendeteksi terjadinya malnutrisi yang
lebih parah. Banyak tanda klinis yang tidak spesifik menggambarkan
kekurangan salah satu zat gizi. Oleh sebab itu, cara biokimia ini
dapat membantu menentukan secara spesifik zat gizi mana yang
mengalami kekurangan.
d. Biofisik
1) Pengertian
Pemeriksaan biofisik adalah cara dengan melihat kemampuan
fungsi dan struktur dari jaringan tubuh.
2) Penggunaan
Pada dasarnya digunakan pada keadaan tertentu seperti kejadian
buta senja epidemik (epidemic of night blindnes). Cara yang
digunakan yaitu tes adaptasi gelap.
2. Penilaian status gizi secara tidak langsung
Penilaian status gizi secara tidak langsung diukur dengan menggunakan
tiga cara sebagai berikut:
a. Survei konsumsi makanan
1) Pengertian
Survei konsumsi makanan adalah cara penentuan status gizi dengan
cara melihat jumlah dan jenis zat gizi yang dimakan.
2) Penggunaaan
Hasil dari data konsumsi makanan dapat digunakan untuk melihat
gambaran jumlah dan jenis zat gizi yang dikonsumsi oleh masyarakat,
keluarga, dan individu. Cara ini dapat mengidentifikasi kekurangan
dan kelebihan zat gizi.
b. Statistik vital
Statistik vital ini merupakan cara pengukuran status gizi dengan
cara menganalisis data beberapa statistik kesehatan seperti angka
kematian berdasarkan umur, angka kesakitan, kematian akibat
penyebab tertentu dan data lainnya yang berhubungan dengan gizi.
c. Faktor ekologi
1) Pengertian
Malnutrisi merupakan masalah ekologi sebagai hasil interaksi
antara faktor fisik, biologis, dan lingkungan budaya. Jumlah makanan
sangat bergantung kepada ekologi sepeti iklim, tanah, irigasi dan lain-
lain.
2) Penggunaan
Cara ini dipandang sangat penting untuk mengetahui apa penyebab
malnutrisi di suatu masyarakat sebagai dasar untuk melakukan intervensi
gizi.
2.1.3 Faktor yang Mempengaruhi Status Gizi
Menurut Paramashanti (2019) untuk menilai status gizi pada bayi, kita harus
melakukan perhitungan yang tepat. Ada dua faktor yang harus diperhatikan saat
mengukur status gizi pada pada bayi,sebagai berikut:
1. Faktor eksternal
Faktor eksternal atau faktor yang berasal dari luar bayi yang
mempengaruhi status gizi bayi diantaranya adalah:
a. Pemberian Air Susu Ibu (ASI)
Memberikan makanan kepada bayi haruslah diperhatikan dengan
baik, harus memperhatikan kualitas dan kuantitasnya. Bayi di bawah 6
bulan harus diberi makanan cair, dan makanan cair yang paling tepat
diberikan adalah ASI tanpa tambahan cairan lain. Jika ingin mengenalkan
bayi dengan makanan-makanan padat, bayi haruslah telah berumur 6
bulan. Sementara itu, selama pemberian makanan padat tadi, pemberian
ASI tetap dilakukan sampai bayi berumur 24 bulan.
b. Pemberian makanan tambahan
Makanan tambahan selain ASI adalah salah satu faktor yang sangat
mempengaruhi status gizi bayi. Makanan tambahan ini antara lain seperti
susu formula, madu, air putih, dan makanan padat lainnya baru dapat
diberikan ketika bayi telah berumur 6 bulan.
2. Faktor internal
Faktor internal, atau faktor yang berasal dari bayi atau orang tua bayi
yang mempengaruhi status gizi bayi diantaranya adalah:
a. Usia
Usia yang dimaksud adalah usia bayi dan usia orang tua bayi. Faktor
usia ini sangat mempengaruhi kemampuan dan pengetahuan orang tua
dalam memberikan nutrisi dan zat gizi untuk memenuhi kebutuhan bayi.
Semakin matang usia seseorang, maka semakin membuat orang tersebut
menambah pengetahuannya tentang bagaimana cara yang baik untuk
merawat dan memberikan nutrisi dan zat gizi yang baik bagi anaknya.
b. Kondisi fisik
Kondisi fisik merupakan faktor yang sangat penting untuk
mendapatkan status gizi yang baik. Ketika bayi sakit, tetapi kondisi
fisiknya dalam keadaan baik, maka proses penyembuhannya akan
berjalan dengan cepat.
c. Infeksi
Infeksi yang terjadi dalam tubuh bayi juga dapat menyebabkan
berbagai gangguan bagi status gizi pada bayi. Gangguan akibat infeksi ini
berupa menurunnya nafsu makan, sulitnya menelan makanan, dan
buruknya proses pencernaan makanan. Oleh karena itu, orang tua
diharuskan selalu menjaga bayi agar tidak mengalami infeksi yang dapat
mengganggu status gizi bayi.
2.1.4 Klasifikasi Status Gizi Pada Anak di Bawah Lima Tahun
Klasifikasi status gizi pada anak di bawah lima tahun dapat dilihat pada
Tabel 2.
Tabel 2. Klasifikasi Status Gizi Anak Bawah Lima Tahun (balita)
(Sumber : Kemenkes RI tahun 2002 dalam Ariani, 2017)
Indeks Status Gizi Ambang batas
Berat badan menurut umur Gizi lebih > + 2SD
(BB/U) Gizi baik ≥ - 2SD sampai + 2SD
Gizi kurang < - 2SD sampai ≥ - 3SD
Gizi buruk < - 3SD
Tinggi badan menurut Tinggi > + 2SD
umur (TB/U) Normal ≥ - 2SD sampai + 2SD
Pendek < - 2SD sampai ≥ - 3SD
Sangat pendek < - 3SD
Berat badan menurut tinggi Gemuk > + 2SD
badan (BB/TB) Normal ≥ - 2SD sampai + 2SD
Kurus < - 2SD sampai ≥ - 3SD
Sangat kurus < - 3SD
Indeks Massa Tubuh Gemuk > + 2SD
menurut umur (IMT/U) Normal ≥ - 2SD sampai + 2SD
Kurus < - 2SD sampai ≥ - 3SD
Sangat kurus < - 3SD

2.1.5 Definisi dan Epidemiolgi Stunting


Stunting merupakan salah satu keadaan malnutrisi kronis biasanya terjadi
pada balita yang disebabkan oleh penyakit infeksi yang berulang (UNICEF,
2018). Stunting merupakan suatu masalah pertumbuhan anak dengan tinggi badan
per umur kurang dari -2 Standar Deviasi (SD) yang termasuk kedalam kategori
pendek dan sangat pendek (WHO, 2014). Stunting yaitu gejala, bukan suatu
penyakit. Deteksi dini stunting pada anak perlu dilakukan, supaya dapat diberikan
intervensi secepatnya, karena stunting ini akan berdampak pada aspek psikososial,
kualitas hidup anak, biaya yang dikeluarkan untuk pengobatan, dan fasilitas
lingkungan (Soetjiningsih, 2017).
Mengenai rata-rata prevalensi balita stunting tahun 2018, regional Asia
Tenggara 31,9% tertinggi ke-dua setelah regional Afrika dan masih tinggi
dibandingkan rata-rata internasional 21,9%. Negara Indonesia merupakan negara
urutan ke-enam dengan stunting tertinggi di regional Asia Tenggara (WHO,
2016b). Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar tahun 2018, prevalensi stunting
di Indonesia yaitu 30,8% dengan 11,5% balita sangat pendek dan 19,3% balita
pendek. Hasil tersebut menunjukkan bahwa prevalensi stunting di Indonesia
belum mencapai standar WHO yaitu <20%.
Pada hasil Riset Kesehatan Dasar tahun 2018, prevalensi balita stunting di
Riau tercatat 27,4% yang menurun dari tahun 2013 yaitu 36,8% (Riset Kesehatan
Dasar, 2018). Berdasarkan laporan tahunan Dinas Kesehatan Provinsi Riau,
prevalensi stunting di Kabupaten Kampar tahun 2018, yaitu 32,1%. Prevalensi
stunting tersebut meningkat dari tahun 2016 sebesar 28,7% dan tahun 2017 yang
tercatat 27%. Kabupaten Kampar termasuk Kabupaten dengan stunting tertinggi
ke-lima di Provinsi Riau tahun 2018 setelah Kabupaten Rokan Hilir, Bengkalis,
Indragiri Hilir dan Indragiri Hulu. Berdasarkan data dari Dinas Kesehatan
Kabupaten Kampar terkait stunting bulan Januari hingga bulan Juli tahun 2019,
Kecamatan Tambang merupakan salah satu Kecamatan di Kabupaten Kampar
dengan prevalensi balita stunting yang tertinggi yaitu sebesar 9,8%.

2.1.6 Etiologi Stunting


Berdasarkan etiologi, stunting diklasifikasikan menjadi dua yaitu:
A. Variasi Normal (Normal Variant)
1. Perawakan Pendek Keturunan (familial short stature)
Perawakan pendek keturunan dipengaruhi oleh tinggi badan orangtua
ataupun anggota keluarga lainnya. Biasanya satu atau kedua orangtua
maupun anggota keluarga lainnya memiliki ambang batas tinggi badan
1,5–2 SD dibawah tinggi badan rata-rata, sehingga akan mempengaruhi
tinggi badan anak. Tetapi kecepatan pertumbuhan anak tetap normal,
umur tulang tidak terlambat, dan perkembangan pubertas masih dalam
batas normal. Rumus potensi genetik dapat memprediksi tingggi badan
anak (Soetjiningsih, 2017).
Rumus potensi genetik:
TB Ayah+TB Ibu +13
Target TB anak laki-laki (cm) = ± 8,5 cm
2
TB Ayah+TB Ibu−13
Target TB anak perempuan (cm)= ± 8,5 cm
2

Faktor genetik menjadi penentu sifat yang diturunkan oleh orang tua,
seperti individu yang memiliki orang tua dengan perawakan pendek
kemungkinan akan memiliki tinggi badan yang tidak optimal, walaupun
dengan asupan gizi yang cukup (Kemenkes RI, 2017b).
2. Pertumbuhan Lambat (constitutional delay in growth)
Pada anamnesis sering kali ditemukan bahwa pertumbuhan terlambat
pada anak dipengaruhi oleh masa pertumbuhan salah satu dari orangtua
yang terlambat sehingga pertumbuhan linier anak terganggu. Stunting
pada kondisi ini bersifat sementara dikarenakan pada dasarnya panjang
badan waktu lahir normal, namun pada saat usia 3-36 bulan pertumbuhan
anak turun atau dibawah normal, tetapi selanjutnya pertumbuhan anak
akan kembali normal (Soetjiningsih, 2017).

B. Kelainan Patologis
Stunting berdasarkan kelainan patologis dikelompokkan menjadi dua
yaitu proporsional dan tidak proporsional (Soetjiningsih, 2017).
1. Proporsional
Proporsional berarti anak dengan postur tubuh yang pendek dan
semua bagian tubuh proporsional.
a. Kelainan Endokrin
Beberapa kelainan endokrin yang bisa menyebabkan stunting yaitu
defisiensi GH (Growth Hormone), hipotiroidisme, sindrom Chusing,
gangguan metabolisme vitamin D, dan pseudohipoparatiroidisme
(Sudoyo et al, 2014). Growth hormon merupakan salah satu hormon
yang sangan berpengaruh terhadap tumbuh kembang anak. GH
(Growth Hormone) atau somatotropin merupakan hormon yang
menjadi pengatur utama pertumbuhan somatis, terutama pertumbuhan
kerangka (Soetjiningsih, 2017).
Defisiensi GH (Growth Hormone) disebabkan oleh gangguan pada
axis hipotalamus – pituitari – GH – IGF-1. GH (Growth Hormone)
tidak di produksi pada penderita tumor pituitari dan agenesis pituitari.
Selain itu defek/mutasi pada gen-gen tertentu juga menyebabkan
defisiensi GH (Growth Hormone), sehingga terjadi gangguan
pertumbuhan. Gangguan pertumbuhan juga dapat disebabkan oleh
hipotiroidisme yang didapat setelah lahir, peningkatan kadar
glukokortikoid darah akibat penyakit Chusing dapat menekan sekresi
GH (Growth Hormone), dan rakhitis yang disebabkan defisiensi
vitamin D (Sudoyo et al, 2014).
b. Penyakit kronis
Gangguan pertumbuhan terkait tinggi badan dapat disebabkan oleh
penyakit kronis yang diderita anak maupun karena kurangnya asupan
gizi. Penyakit kronis dapat disebabkan oleh kelainan bawaan ataupun
yang didapat (Soetjiningsih, 2017). Penyakit kronis pada anak yang
dapat menyebabkan stunting seperti penyakit celiac, enteritis
regionalis, Crohn disease, kanker, dan lain-lain (Sudoyo et al, 2014).
Penyakit kronis juga dapat meliputi penyakit infeksi yang diderita
anak dalam kurung waktu yang lama akan menyebabkan gangguan
pada pertumbuhan linier anak (Supariasa et al, 2016).
c. Malnutrisi
Malnutrisi adalah masalah gizi yang mungkin disebabkan oleh
asupan gizi yang tidak seimbang atau tidak mencukupi kebutuhan atau
karena gangguan pada pemanfaatan gizi (Dorland, 2012). Pada
umumnya gangguan pertumbuhan yang sering terjadi akibat
malnutrisi disebabkan oleh penyakit-penyakit kronis (Sudoyo et al,
2014).
2. Disproporsional
Disproporsional merupakan kondisi anak dengan stunting yang
disebabkan oleh kelainan pada tulang. Kelainan patologis disproporsional
yang dapat menyebabkan stunting yaitu sindrom-sindrom perawakan
pendek (stunting). Sindrom-sindrom tersebut seperti sindrom Turner,
sindrom Noonan, sindrom Prader-Willi, gangguan kromosom autosom,
displasia skeletal, dan lain-lain. Sindrom Turner menjadi penyebab
tersering stunting pada perempuan.
Sindrom ini disebabkan oleh tidak terdapatnya/abnormalitas
kromosom X atau disebut juga disgenesis gonad pada wanita secara
kariotip adalah 45,X (Soetjiningsih, 2017). Selain itu, displasia skeletal
juga merupakan penyebab stunting. Salah satu bentuk tersering displasia
skeletal yaitu akondroplasia. Kelainan ini biasanya diturunkan secara
dominan autosom. Kondisi tubuh pasien stunting dengan displasia
skeletal tidak proporsional terlihat pada ekstremitas pendek, kepala relatif
besar, dahi menonjol (Sudoyo et al, 2014).

Menurut UNICEF (2014) stunting merupakan salah satu masalah gizi


kurang. Stunting disebabkan oleh dua faktor yang dibagi menjadi 2 kategori,
yaitu faktor langsung dan tidak langsung. Faktor langsung terutama pada
masalah stunting yaitu asupan gizi ibu yang buruk saat hamil, asupan gizi
bayi dan balita yang tidak memadai, dan penyakit infeksi. Sedangkan faktor
tidak langsung diantaranya faktor lingkungan dan faktor sosial ekonomi
meliputi pendidikan dan pekerjaan orang tua serta pendapatan keluarga.
1. Faktor Langsung
a. Gizi Ibu Saat Hamil
Kondisi ibu saat hamil juga sangat mempengaruhi pertumbuhan
janin dan pertumbuhan setelah janin dilahirkan. Ibu hamil yang
menderita kekurangan energi kronis (KEK) akan berisiko melahirkan
bayi dengan berat badan yang rendah (BBLR). Bayi dengan BBLR
akan mengalami keterlambatan pertumbuhan hingga usia balita
bahkan sampai remaja. Anak yang lahir dari Ibu yang menderita KEK
dan hidup dalam lingkungan yang kurang baik akan mengalami
kekurangan gizi dan mudah sakit. Anak dengan keadaan seperti ini
memiliki berat dan tinggi badan yang lebih rendah dibandingkan
dengan standar pertumbuhan pada anak yang sehat dan hidup di
lingkungan sehat (Kemenkes RI, 2017b).
b. Berat Badan Lahir Rendah (BBLR)
Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) adalah bayi baru lahir dengan
berat badan <2500 gram tanpa memperhatikan usia kehamilan. Pada
tahun 1976, WHO mendefinisikan BBLR yaitu bayi dengan berat
badan lahir <2500 gram (sampai dengan atau termasuk 2499) namun
pada tahun 2004 hingga saat ini, definisi BBLR disederhanakan
menjadi bayi dengan berat lahir <2500 gram (Kosim et al, 2014).
Berdasarkan penyebab, BBLR dikelompokkan menjadi 3 kategori,
yaitu BBLR prematur, bayi Kecil untuk Masa Kehamilan (KMK) dan
kombinasi prematur dan bayi KMK (WHO, 2011). BBLR dikaitkan
dengan gizi ibu sebelum dan saat hamil. Anak yang lahir dengan
BBLR dari Ibu dengan nutrisi yang buruk sebelum dan selama
kehamilan dan hidup di lingkungan yang tidak bersih berisiko
mengalami kurang gizi dan mudah terkena infeksi, selanjutnya dapat
menyebabkan pertumbuhan anak terganggu yang dimulai sejak dalam
kandungan (Soetjiningsih, 2017).
c. Gizi Bayi dan Balita
Prinsip gizi seimbang yang harus diterapkan untuk mengatur pola
makan pada masa pertumbuhan terutama bayi dan balita, seimbang
antara kebutuhan dan asupan gizi. Pada masa pertumbuhan makanan
sumber pembangun harus menjadi perhatian khusus, oleh sebab itu
asupan gizi yang kurang dapat mengakibatkan pertumbuhan yang
terhambat (Kemenkes RI, 2017b).
Gizi kurang pada bayi dan balita disebabkan oleh gagalnya
pemberian ASI eksklusif, proses pemberhentian ASI secara dini, serta
tidak memperhatikan kualitas dan kuantitas Makanan Pendamping
ASI (MPASI) yang diberikan kepada anak sehingga menyebabkan
stunting (Kemenkes RI, 2017b).
d. Penyakit Infeksi
Penyakit infeksi merupakan penyebab langsung stunting. Penyakit
infeksi umum terjadi pada satu tahun pertama kehidupan di negara
dengan pendapatan rendah dan episode diare atau infeksi parasit
berulang yang dikaitkan dengan meningkatnya kejadian stunting
(Millward, 2017). ISPA dan diare kronik juga merupakan penyakit
infeksi yang dapat menyebabkan stunting (Dewi dan Adhi, 2016).
2. Faktor Tidak Langsung
a. Faktor Lingkungan
Faktor lingkungan yang dapat menyebabkan stunting secara tidak
langsung. Faktor lingkungan meliputi sanitasi yang buruk, kurangnya
penggunaan air bersih, dan anggota rumah tangga yang perokok
(Izwardy, 2019). Perilaku higiene dan Sanitasi yang buruk dapat
menyebabkan asupan gizi yang tidak sehat dan penyakit infeksi pada
anak, jika kondisi ini sering terjadi dan dalam waktu yang cukup lama
akan menyebabkan stunting (Kemenkes RI, 2018).
b. Faktor sosial ekonomi
1) Pendidikan Ibu
Pendidikan orang tua menjadi salah satu faktor yang penting
untuk tumbuh kembang anak dikarenakan dengan pendidikan yang
baik, orang tua dapat menerima segala informasi dari luar terutama
tentang cara pengasuhan anak yang baik, bagaimana menjaga
kesehatan anak, cara mendidik, dan sebagainya (Soetjiningsih,
2017). Tingkat pendidikan bukan menjadi faktor yang
memengaruhi stunting secara langsung karena masih banyak
faktor-faktor lain yang dapat memengaruhi terjadinya masalah
kurang gizi. Pada beberapa penelitian juga menunjukkan bahwa
ada hubungan yang bermakna antara tingkat pendidikan ibu dengan
kejadian stunting (Setiawan et al, 2018). Pada balita dengan
pendidikan orang tua yang tinggi (baik pendidikan ibu atau ayah)
terdapat hubungan yang signifikan dengan kejadian stunting (Ramli
et al, 2009).
2) Pekerjaan Orang Tua
Pekerjaan orang tua ini akan menunjang tumbuh kembang anak,
dikarenakan orang tua dapat menyediakan semua kebutuhan dasar
anak (Soetjiningsih, 2017). Biasanya ibu balita stunting maupun
tidak stunting memilih untuk menjadi ibu rumah tangga. Balita
dengan ibu tidak bekerja lebih cenderung tidak stunting karena
peran ibu sangatlah penting dalam mengurus dan merawat anak
serta menentukan kualitas dan kuantitas makanan yang nantinya
dikonsumsi oleh anak, namun, faktor lain juga harus diperhatikan
seperti tingkat pengetahuan dan pola asuh ibu (Desyanti dan
Nindya, 2017).
Namun, penelitian lain menyatakan bahwa tidak ada hubungan
antara pekerjaan ibu dengan kejadian stunting. Hal ini dapat
disebabkan karena pengaruh pola asuh. Ibu yang tidak bekerja
belum tentu memiliki pola pengasuhan anak yang baik. Pola asuh
anak yang kurang baik tidak selalu disebabkan oleh status
pekerjaan seorang ibu, melainkan dapat disebabkan oleh faktor lain
seperti kurangnya pengetahuan ibu mengenai gizi (Aini et al,
2018).
3) Pendapatan keluarga
Balita dengan status ekonomi keluarga yang rendah akan
berdampak pada pertumbuhan karena kurang mendapatkan
makanan bergizi, sehingga menyebabkan balita kekurangan gizi
baik zat gizi makro maupun zat gizi mikro (Ni’mah dan Nadhiroh,
2015). Kuatnya hubungan antara status ekonomi yang rendah
dengan gizi kurang menunjukkan bahwa perbaikan pada gizi
kurang dapat tercapai bila keadaan ekonomi sudah membaik.
Tingkat pendapatan tertentu sangat mempengaruhi kebutuhan gizi
seimbang (Sudirman, 2008).
2.1.7 Dampak Stunting Bagi Balita
Stunting menjadi salah satu gangguan gizi akibat asupan gizi yang kurang
atau tidak mencukupi kebutuhan. Asupan gizi yang kurang dapat menyebabkan
penurunan kapasitas fisik dan psikis, penurunan sistem imunitas tubuh, dan
terganggunya pertumbuhan otak dan perilaku anak (Kemenkes RI, 2017b).
Stunting dan keadaan malnutrisi lainnya merupakan faktor utama yang
menyebabkan penyakit, kecacatan, bahkan kematian pada anak. Anak dengan
stunting memiliki risiko 4 kali lebih tinggi terhadap kematian. risiko kecacatan
dan kematian akibat malnutrisi ditemukan berdasarkan bukti yang kuat. Selain itu,
stunting dan keadaan malnutrisi lainnya juga berdampak pada pembangunan
sosial dan ekonomi (UNICEF, 2013).
Malnutrisi pada awal kehidupan mempunyai dampak yang besar untuk masa
depan terkait pendidikan, pendapatan, dan produktivitas individu. Stunting
dihubungkan dengan prestasi sekolah yang buruk dan performa sekolah yang
buruk karena terjadi gangguan pada perkembangan otak dan sistem saraf. Masa
perkembangan otak dan sistem saraf dimulai pada awal kehamilan dan lengkap
pada saat anak berusia 2 tahun.
Waktu, tingkat keparahan dan durasi dari malnutrisi selama masa ini dapat
mempengaruhi perkembangan kognitif anak dan bersifat irreversible. Keadaan
malnutrisi dapat menimbulkan dampak jangka panjang seperti postur tubuh yang
tidak optimal saat dewasa, meningkatnya risiko terkena obesitas dan penyakit
kronis lainnya, menurunnya kesehatan reproduksi, menurunnya kemampuan
bekerja dan produktivitas saat bekerja (UNICEF, 2013)
2.1.8 Definisi Makanan Pendamping Air Susu Ibu (MP-ASI)
Makanan pendamping air susu ibu (MP-ASI) adalah makanan atau
minuman yang diberikan kepada anak usia 6-24 bulan yang mana berguna untuk
memenuhi kebutuhan gizi selain dari ASI. Dengan kata lain, anak yang sudah
berusia 6 bulan selain diberikan MP-ASI anak masih tetap diberikan ASI sampai
usia 24 bulan. Peran MP-ASI bukan sebagai pengganti ASI, melainkan menjadi
tambahan nutrisi selain ASI (Kemenkes RI, 2014).

2.1.9 Tujuan dan Manfaat Pemberian MP-ASI


Tujuan dan manfaat pemberian MP-ASI adalah sebagai tambahan dan
pelengkap nutrisi yang diperlukan untuk proses pertumbuhan dan perkembangan
anak. Hal ini jelas menunjukkan bahwa MP-ASI bukan menggantikan peran ASI,
namun untuk melengkapi dan mendampingi ASI dalam memberikan nutrisi
kepada anak. Masalah status gizi dapat dikarenakan Kurangnya pengetahuan
orang tua tentang pemberian MP-ASI pada anak (Ariani, 2017).
2.1.10 Syarat Pemberian MP-ASI
Menurut Sjarif et al (2015) terdapat 4 syarat pemberian MP-ASI yang
direkomendasikan oleh WHO Global Strategy for Feeding Infant and Young
Children pada tahun 2003, yaitu :
1. Tepat waktu, artinya MP-ASI harus diberikan saat ASI eksklusif sudah
tidak dapat memenuhi kebutuhan energi anak.
2. Adekuat, artinya MP-ASI mempunyai kandungan energi, protein, dan
mikronutrien yang mampu memenuhi seluruh kebutuhan energi anak.
3. Aman, artinya MP-ASI dijaga kehigienisannya dari awal proses
pembuatan sampai proses pemberiannya.
4. Diberikan dengan cara yang benar, artinya MP-ASI diberikan dengan
melihat sinyal lapar dan kenyang seorang anak. Frekuensi dan metode
harus dapat membuat anak untuk mengkonsumsi makanan secara aktif
dengan jumlah yang cukup.
2.1.11 Syarat Pembuatan MP-ASI
Menurut Ariani (2017) beberapa syarat yang harus diperhatikan dalam
pembuatan MP-ASI, yaitu :
1. Memiliki nilai energi dan kandungan protein yang tinggi.
2. Memiliki nilai suplementasi yang baik serta mendukung vitamin dan
mineral dalam jumlah yang cukup.
3. Dapat diterima oleh pencernaan bayi dengan baik.
4. Harganya relatif murah.
5. Sebaiknya dapat diproduksi dari bahan-bahan yang tersedia secara
lokal.
6. Kandungan serat kasar atau bahan lain yang sukar dicerna dalam jumlah
yang sedikit.
2.1.12 Usia Pemberian MP-ASI
Usia 0-24 bulan merupakan masa pertumbuhan dan perkembangan yang
pesat, sehingga kerap diistilahkan sebagai periode emas sekaligus periode kritis.
Periode emas dapat diwujudkan jika pada masa ini bayi dan anak memperoleh
asupan gizi yang sesuai untuk tumbuh kembang yang optimal. Sebaliknya apabila
bayi dan anak pada masa ini tidak memperoleh makanan sesuai kebutuhan
gizinya, maka periode emas akan berubah menjadi periode kritis yang akan
mengganggu tumbuh kembang bayi dan anak, baik pada saat ini maupun masa
selanjutnya (Depkes RI dalam Agustina dan Listiowati, 2012).
Pemberian makan yang tidak tepat mengakibatkan masih cukup banyak
anak yang menderita gizi kurang. Fenomena “gagal tumbuh” atau growth
faltering pada anak Indonesia mulai terjadi pada usia 4-6 bulan ketika bayi diberi
makanan tambahan dan terus memburuk hingga usia 18-24 bulan. Kekurangan
gizi memberi kontribusi 2/3 kematian balita. Dua pertiga kematian tersebut terkait
dengan praktek pemberian makan yang tidak tepat pada bayi dan anak usia dini
(WHO dalam Agustina dan Listiowati, 2012).
MP-ASI diberikan pertama kali pada saat bayi berusia 6 bulan atau 180
hari. Pemberian MP-ASI ini dimulai dengan mengenalkan MP-ASI kepada bayi
dengan jumlah yang sedikit, kemudian ditambah seiring bertambahnya usia bayi.
Hal ini untuk mengatasi ketidakseimbangan antara jumlah energi yang dibutuhkan
bayi dengan jumlah energi yang mampu dihasilkan oleh ASI (Fikawati et al,
2015).
Ketika bayi telah mengkonsumsi MP-ASI, biasanya akan terjadi
penurunan konsumsi ASI. Hal ini dapat menimbulkan kekurangan gizi dan
meningkatkan risiko terkena penyakit, dikarenakan pada dasarnya jumlah energi
yang dikonsumsi bayi lebih sedikit dibandingkan ketika masih mengkonsumsi
ASI eksklusif. Oleh karena itu, penanganan yang dapat dilakukan adalah dengan
menjaga frekuensi pemberian MP-ASI agar gizi yang dibutuhkan bayi dapat
terpenuhi (Fikawati et al, 2015). Pemberian MP-ASI dapat dikategorikan
berdasarkan Tabel 3.

Tabel 3. Kategori Frekuensi dan Cara Pemberian MP-ASI Menurut Usia


(Sumber : Kemenkes RI, 2014)
Usia
2.1.13 Jumlah makanan yang biasanya
(bulan Frekuensi
diasupi bayi/waktu makan
)
6-8 2-3 kali/hari makanan lumat + 2-3 sendok makan penuh setiap kali
1-2 kali makanan selingan + makan dan ditingkatkan secara
ASI perlahan sampai setengah 1/2 dari
cangkir mangkuk ukuran 250 ml
setiap kali makan
9-11 3-4 kali/hari makanan lembek ½ mangkuk ukuran 250 ml
+ 1-2 kali makanan selingan
+ ASI
12-23 3-4 kali/hari makanan ¾ mangkuk ukuran 250 ml
keluarga + 1-2 kali makanan
selingan + ASI

Jenis MP-ASI
Berdasarkan Kemenkes RI (2014) makanan pendamping ASI dibagi
menjadi tiga kelompok berdasarkan jenisnya, yaitu:
1. Makanan lumat
Makanan lumat adalah makanan yang disajikan dengan cara
dihancurkan dan disaring terlebih dahulu. Contoh makanan lumat adalah
tomat saring, pisang lumat halus, pepaya lumat, air jeruk manis, bubur
susu, bubur ASI dan lain-lain.
2. Makanan lembek
Makanan lembek adalah makanan yang disajikan dengan cara dimasak
dengan menggunakan air yang banyak. Contoh makanan lunak adalah bubur
nasi campur, nasi tim halus, bubur kacang hijau dan lain-lain.
3. Makanan padat
Makanan padat adalah makanan yang disajikan seperti makanan
keluarga lainnya. Contoh makanan padat adalah lontong, kentang rebus,
biskuit dan lain-lain.

2.1.14 Jadwal dan Pedoman Pola Pemberian MP-ASI


Menurut Sibagariang (2010) dalam pemberian MP-ASI untuk anak usia 6-
24 bulan yang baik dan benar harus disesuaikan dengan usia dan kemampuan
anak dalam menerima makanan. Adapun jadwal pemberian MP-ASI pada anak
umur 6-24 bulan adalah sebagai berikut:
1. Makanan anak umur 6-9 bulan
Pemberian ASI masih terus diberikan, namun anak sudah dapat
diperkenalkan dengan MP-ASI lumat sebanyak 2 kali/hari karena pada usia
6 bulan kemampuan alat pencernaan sudah semakin kuat. Untuk menunjang
nilai gizi makanan, nasi tim dapat ditambahkan sedikit demi sedikit sumber
zat lemak seperti santan/minyak kelapa karena dapat menambah jumlah
kalori makanan, juga membantu penyerapan vitamin A dan zat gizi lain
yang larut dalam lemak. Takaran pemberian MP-ASI paling sedikit
diberikan kepada anak pada rentang usia 6-9 bulan setiap sekali makan
adalah sebagai berikut:
a. Pada usia 6 bulan-beri 6 sendok makan
b. Pada usia 7 bulan-beri 7 sendok makan
c. Pada usia 8 bulan-beri 8 sendok makan
d. Pada usia 9 bulan-beri 9 sendok makan
2. Makanan anak umur 9-12 bulan
Ketika anak memasuki usia 10 bulan, secara bertahap anak sudah dapat
diperkenalkan dengan makanan keluarga. Namun, karena masih dalam
proses peralihan ke makanan keluarga, maka nasi tim anak harus diatur
kepadatannya secara berangsur-angsur mendekati bentuk dan kepadatan
makanan keluarga (makanan lembek). Setelah itu , sudah dapat diberikan
makanan selingan 1 kali sehari, usahakan makanan selingan ini dibuat
sendiri untuk menjamin kebersihannya dan juga pilihlah makanan selingan
yang bernilai gizi tinggi, seperti bubur kacang hijau, buah-buahan dan lain-
lain. Anak juga perlu dikenalkan dengan aneka ragam bahan makanan,
dengan mencampurkan ke dalam makanan lembek berbagai lauk pauk dan
sayur-sayuran secara berganti-ganti. Pengenalan bahan makanan sejak dini
sangat berpengaruh baik terhadap kebiasaan mengkonsumsi makanan yang
sehat di kemudian hari.
3. Makanan anak umur 12-24 bulan
Pada usia ini pemberian ASI masih diteruskan, dan pada periode usia ini
produksi ASI sudah berkurang, namun memiliki sumber zat gizi yang
berkualitas tinggi. Pemberian MP-ASI atau makanan keluarga sudah dapat
diberikan sekurang-kurangnya 3 kali sehari dengan porsi setengah porsi
orang dewasa sekali makan, dan diberikan makanan selingan 2 kali sehari.
Dapat juga memberikan variasi pemberian makanan dengan menggunakan
jenis bahan makanan yang sama, misalnya nasi diganti dengan mie, bihun,
roti, kentang dan lain-lain. Hati ayam diganti dengan tahu, tempe, kacang
hijau, telur dan ikan. Bayam diganti dengan daun kangkung, wortel dan
tomat dan lain-lain.

Tabel 4. Pedoman Pola Pemberian MP-ASI


(Sumber : Kemenkes RI, 2014)
Umur Makanan Makanan Makanan
ASI
(bulan) lumat lembik keluarga
0-6
6-9
9-12
12-24
2.1.15 Hubungan Waktu Pertama Kali Peberian MP-ASI dengan Kejadian
Stunting
Menurut Prihutama et al (2018) sumber utama kebutuhan gizi anak usia 0-6
bulan untuk memenuhi kebutuhan gizinya adalah dari pemberian ASI. Saat
periode usia anak 0-24 bulan terjadi proses pertumbuhan dan perkembangan otak
yang sangat signifikan, sehingga periode usia 0-24 bulan merupakan periode usia
yang sangat penting bagi anak. Oleh karena itu United Nations Childrens Fund
(UNICEF) dan WHO menganjurkan pemberian Air Susu Ibu (ASI) Eksklusif
sampai anak berusia 6 bulan.
Setelah anak memasuki usia 6 bulan, kebutuhan gizi untuk proses
pertumbuhan dan perkembangan yang diperoleh dari ASI dapat dibantu dengan
pemberian Makanan Pendamping ASI (MPASI) (Ariani, 2017). Makanan
pendamping ASI (MPASI) adalah makanan yang diberikan kepada anak
bersamaan dengan ASI. MPASI sendiri bersifat untuk melengkapi ASI, bukan
untuk menggantikan ASI dan ASI tetap harus diberikan sampai usia 2 tahun
diikuti pemberian MP-ASI setelah anak berusia 6 bulan untuk membantu
pertumbuhan dan perkembangan yang optimal (Prihutama et al, 2018).
Menurut Fitri dan Ernita (2019) MP-ASI yang diberikan yang terlalu dini
ini akan meningkatkan resiko anak terkenak penyakit infeksi seperti diare, infeksi
saluran nafas, alergi hingga gangguan pertumbuhan karena anak yang berusia <6
bulan system pencernaannya belum berfungsi dengan sempurna untuk
memperoses makanan yang masuk ke saluran cerna. Ketika anak telah
mengkonsumsi MP-ASI, biasanya akan terjadi penurunan dalam mengkonsumsi
ASI. Hal ini dapat menimbulkan kekurangan gizi, karena pada dasarnya jumlah
energi yang dikonsumsi bayi lebih sedikit dibandingkan ketika masih
mengkonsumsi ASI eksklusif. MP-ASI yang diberikan terlambat atau ketika anak
berusia lebih dari 6 bulan juga dapat meningkatkan resiko kejadian stunting, hal
ini dikarenakan saat usia 6 bulan zat gizi yang terkandung dalam ASI tidak lagi
dapat memenuhi kebutuhan gizi pada anak. Oleh karena itu, penanganan yang
dapat dilakukan untuk mengatasi masalah tersebut adalah memperhatikan usia
pemberian MP-ASI agar gizi yang dibutuhkan anak untuk proses pertumbuhan
dan perkembanan dapat terpenuhi (Fikawati et al, 2015).
Usia pemberian MP-ASI yang efektif dan sesuai dengan kondisi anak akan
memberikan dampak terkontrolnya status gizi anak. Dengan demikian
peningkatan berat badan anak akan terkontrol dan anak menjadi sehat. Dalam
tubuh yang sehat akan memudahkan pencernaan dalam mengolah makanan yang
dikonsumsi dan pertumbuhan serta perkembangan anak akan lebih baik (Agustina
and Listiowati, 2012).
Penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Khasanah et all (2016) di
Kecamatan Seday Kabupaten Bantul dengan menggunakan study cross sectional
dengan jumlah sampel 190 orang, didapatkan hasil bahwa terdapat hubungan yang
bermakna antara waktu pertama kali pemberian MP-ASI dengan status gizi anak
usia 6-23 bulan dengan indeks TB/U (p-value=0,002). Dapat disimpulkan, bahwa
semakin tepat waktu pemberian pertama kali MP-ASI, maka pertumbuhan tingi
anak akan semakin baik.
Penelitian serupa yang di lakukan Wandini et all (2020) di wilayah kerja
Puskesmas Hanura Kecamatan Teluk Pandan Kabupaten Pesawaran yang
menggunakan study cross sectional dengan jumlah sampel 41 orang, didapatkan
hasil bahwa terdapat hubungan pemberian makanan pendamping ASI (MP-ASI)
dengan kejadian stunting pada balita usia 7-24 bulan (P-Value = 0.000). Jadi
dapat disimpulkan terdapat hubungan pemberian makanan pendamping ASI (MP-
ASI) dengan kejadian stunting di wilayah kerja Puskesmas Hanura Kecamatan
Teluk Pandan Kabupaten Pesawaran Tahun 2020. Dari analisis diperoleh pula
nilai Odd Ratio=0.083 artinya anak dengan pemberian makanan pendamping ASI
(MP-ASI) tidak sesuai mempunyai resiko 0.083 kali untuk menjadikan balita yang
mengalami stunting.

2.2 Kerangka Teori

Faktor-faktor penyebab
stunting:
Faktor genetik
Gizi Ibu saat hamil
BBLR Stunting
Gizi bayi dan balita
Penyakit infeksi
Faktor lingkungan
2.3 Kerangka Konsep

Variabel Independent Variabel Devendent

Waktu pertama kali pemberian


MP-ASI Stunting

2.4 Hipotesis
Hipotesis pada penelitian ini adalah terdapat hubungan waktu pertama kali
pemberian makanan pendamping ASI (MP-ASI) dengan kejadian stunting pada
anak usia 0-59 bulan di wilayah kerja Puskesmas Tambang Kabupaten Kampar.

Anda mungkin juga menyukai