Anda di halaman 1dari 6

Salah satunya, menulis buku.

Beberapa bukunya berisi cerita inspiratif di antaranya 'Perempuan


Tunarungu Menembus Batas' dan 'Setinggi Langit'. Melalui karyanya tersebut ia menyuarakan
hak-hak kelompok disabilitas.

2019 jadi penanda 10 tahun CEO Thisable Enterprise, Angkie Yudistia, bekerja sebagai
seorang sociopreneur. Ibu dua anak yang semula tak tahu tengah melakukan pekerjaan
tersebut menandai momentum ini dengan merilis buku ke-3 berjudul "Become Rich as a
Socio-preneur".

"Rich ini tentu bukan bermaksud cuan (untung) saja. Tapi, lebih ke bagaimana juga


kaya secara lahir dan batin karena bekerja sebagai sociopreneur," kata Angkie di acara
rilis buku karyanya di Scenic Resto and Lounge di kawasan Sudirman, Jakarta Pusat,
Jumat, 5 Juli 2019.

Sejak terjun langsung ke dunia komunitas disabilitas pada 2009, Angkie merasa punya
banyak teman seperjuangan, walau dengan layar belakang pendidikan
berbeda. Ketertarikan mengembangkan isu disablilitas membuat perempuan 32 tahun
tersebut terus belajar, bahkan sampai ke luar negeri.

Terkait sociopreneur, Angkie Yudistia berpendapat perkembangannya di Indonesia akan


kian menjanjikan. "Khususnya untuk generasi muda. Karena mereka juga berusaha
memecahkan masalah atau ketidakseimbangan yang terjadi di masyarakat," kata
Angkie.

Dengan berbisnis untuk kepentingan sosial, seorang sociopreneur Indonesia


membutuhkan modal, business plan, dan sistem pemasaran yang jelas dan efektif agar
berjalan konsisten sampai bertahun-tahun lamanya.

"Makin ke sini banyak yang berminat jadi sociopreneur. Saat ditanya, jawabannya


beragam. Salah satu polling terbanyak adalah ingin melakukan sesuatu yang lebih baik.
Bagi mereka, senyum di wajah orang-orang yang mereka bantu merupakan suatu
kekayaan yang sangat bernilai," papar Angkie.

Keberhasilan seorang sociopreneur tak semata dipandang dari keuntungan, tapi juga


dampak yang dihasilkan dari usaha tersebut. "Tapi, seorang sociopreneur sama
seperti entrepreneur lainnya, harus pandai berhitung. Memiliki modal untuk usaha dan
harus menghasilkan keuntungan demi mengembangkan usahanya," tambahnya.

Pada tahun 2013 Mimpi yang tinggi tidak hanya bisa dicapai oleh orang-
orang dengan panca indera sempurna. Beberapa orang yang memiliki
ketidaksempurnaan di tubuhnya juga bisa menggapai mimpi mereka sesuai
dengan apa yang diharapkan.

Angkie Yudistia merupakan salah satu wanita menginspirasi yang berani


melangkah dalam 'ketidakmampuannya' untuk meraih mimpi serta
harapannya. Wanita yang kerap disapa Angkie itu bermimpi bisa terus
berkarya dan menjadi orang sukses walau memiliki keterbatasan.

Angkie baru saja meluncurkan buku keduanya bersama L'Oreal. Buku itu
berisi tentang kisah serta profil para peneliti wanita yang menginspirasi
wanita lainnya. Awalnya Angkie merasa ragu untuk bekerja sama dengan
L'Oreal mengerjakan proyek buku tersebut. Namun karena kecintaannya
menulis, ia punya keyakinan untuk berusaha mencoba dan memberikan
yang terbaik.

"Saya sangat suka menulis karena saya tunarungu. Tidak bisa mendengar
membuat saya sulit berkomunikasi makanya saya suka menulis. Awalnya
saya ragu karena nggak tahu sama sekali tentang peneliti tapi saya pikir
kenapa tidak dicoba," ujar Angkie ketika berbincang-bincang saat
peluncuran buku keduanya 'Setinggi Langit' bersama L'Oreal di kantor
L'Oreal beberapa waktu lalu, Kuningan, Jakarta Selatan.

Buku keduanya berisi tentang suka-duka 10 para peneliti yang pernah


memenangkan program L'Oreal, UNESCO For Women in Science (FWIS).
Buku tersebut dirilis dalam rangka memperingati sepuluh tahun program
itu. Angkie pun dipercaya menulis buku inspiratif ini karena kehidupannya
yang juga menginspirasi.

Angkie hanya memiliki waktu dua bulan untuk menyelesaikan 'Setinggi


Langit'. Menurut putri dari pasangan Hadi Sanjoto dan Indiarty Kaharman
ini, tantangan membuat buku datang saat harus berkomunikasi dengan
narasumbernya. Beberapa narasumber harus didatangi langsung ke kota
mereka seperti di Yogyakarta dan Bandung. Tidak hanya itu, sebagian dari
mereka juga bekerja di luar negeri sehingga interview dilakukan hanya
melalui Skype.

Keterbatasan Angkie mendengar membuat wanita yang hobi traveling itu


kesulitan berkomunikasi dan hanya melalui Skype. Ia harus dibantu dua tim
dari L'Oreal untuk merekam, menuliskan hasil wawancara, serta
menjelaskan secara lebih detail. Angkie juga berusaha keras mengerti
melalui gerak bibir narasumbernya. Ternyata semua kerja keras Angkie
dan tim menghasilkan karya yang baik.

"Tough people will win, siapapun bisa asal niat. Saya yang difabel pun
bisa," ujarnya.

Sebelum buku keduanya itu, wanita kelahiran 5 Juni 1987 ini juga telah
menerbitkan buku dengan judul 'Perempuan tunarungu Menembus Batas'.
Buku tersebut merupakan wujud dari mimpinya dalam keterbatasannya
sebagai seorang difabel. Tidak mudah menghadapi kenyataan bahwa ia
tak sama dengan gadis lainnya.

Saat berbincang dengan Wolipop usai acara peluncuran buku 'Setinggi


Langit', Angkie juga bersedia berbagi pengalaman ketika mengalami
kehilangan pendengaran. Tanpa terlihat sedih ataupun ragu-ragu, Angkie
mulai bercerita. Ia kehilangan pendengaran sejak usia 10 tahun. Wanita
lulusan Fakultas Public Relation dari London School Jakarta ini menjadi
tunarungu karena kesalahan obat.

Entah bagaimana awal-mulanya bisa terjadi kesalahan obat sehingga


membuat pendengarannya hilang, Angkie mengaku tidak tahu persis
kejadiannya. Ia hanya tahu bahwa dirinya tidak lagi bisa mendengar
dengan jelas bahkan yang ada hanya dengungan. Dengungan itu
sebenarnya cukup mengganggunya. "Kalau boleh milih mending tenang
saja sekalian ya," tambahnya lirih.

Setelah kehilangan pendengaran, masa remajanya menjadi kurang


menyenangkan. Angkie merasa sangat tidak percaya diri dengan
kondisinya kala itu. Akan tetapi, sang ibunda tetap mendukung Angkie dan
memasukkannnya ke sekolah umum.

Meskipun ia tahu ibundanya selalu merasa sedih melihat kondisinya, tapi


kedua orangtuanya tidak pernah menunjukkan kesedihan mereka. Berkat
ketegaran orangtua, Angkie merasa tidak perlu ada yang ditakutkan. Ia
merasa lebih berani dan percaya diri karena kedua orangtua yang telah
melahirkannya ke dunia ini.

"Aku dulu selalu bertanya-tanya aku salah apa, orangtuaku pun sedih tapi
mereka nggak pernah nangis di depan aku, jadi aku mulai kebentuk nggak
bisa nangis di depan orang atau dikasihani, itu yang buat aku lebih kuat,"
tutur wanita yang pernah menjadi Finalis None Jakarta Barat 2008 itu.

Kekuatan Angkie kian lama semakin besar dan menjadi tekad yang kuat
untuk menggapai mimpinya. Hal itu pula yang menjadi alasan mengapa ia
merilis buku mengenai kehidupannya sebagai gadis tunarungu.

Dalam menjalani aktivitas sehari-hari, wanita 26 tahun itu memakai alat


bantu pendengaran. Tanpa alat tersebut dia tidak bisa mendengar apapun.
Dengan alat bantu itu pun terkadang dia masih sulit mendengar karena
menurutnya, kerusakan pendengarannya sudah cukup parah.

Dengan segala keterbatasannya itu, Angkie berusaha bangkit menjadi


wanita yang mandiri dan menginspirasi. Hal itu dibuktikannya setelah
berhasil merilis dua buku inspiratif, menjadi pendiri dari Thisable
Enterprise, serta pernah mendapat Kartini Next Generation Awards dari
Kementrian Komunikasi Informatika di tahun ini.
(aln/eny)
Tahun 2011

Perempuan Tuna Rungu Menembus Batas : Ketika


Keterbatasan Mendengar Menjadi Sebuah Kelebihan

Ketidakmampuan mendengar menempatkan kaum tuna rungu sering menjadi korban, namun tidak
sedikit juga perempuan tuna rungu indonesia yang mencatat prestasi.Dengan mendapatkan
pendidikan yang sesuai karakternya mampu menjadikan dirinya individu yang kreatif, inovatif,
mandiri dan memiliki jiwa kewirausahaan, ini membuktikan bahwa kemiskinan bahasa yang sering
menjadi kendala bukan hambatan utama untuk menghasilkan karya besar.
SCRIPT KARYA ANGKIE YUDISTIA
Mimpi yang tinggi tidak hanya bisa dicapai oleh orang-orang dengan panca
indera sempurna. Beberapa orang yang memiliki ketidaksempurnaan di
tubuhnya juga bisa menggapai mimpi mereka sesuai dengan apa yang
diharapkan.

Angkie Yudistia merupakan salah satu wanita menginspirasi yang berani


melangkah dalam 'ketidakmampuannya' untuk meraih mimpi serta
harapannya. Wanita yang kerap disapa Angkie itu bermimpi bisa terus
berkarya dan menjadi orang sukses walau memiliki keterbatasan.

Dengan segala keterbatasannya itu, Angkie berusaha bangkit menjadi


wanita yang mandiri dan menginspirasi. Hal itu dibuktikannya setelah
berhasil merilis TIGA BUKU inspiratif.

Buku pertama yang berjudul “Perempuan


Tuna Rungu
Menembus Batas”dengan tag line “ Ketika
Keterbatasan Mendengar Menjadi Sebuah
Kelebihan” rilis pada tahun 2011. Melalui karya buku
ini angkie ingin menyampaikan bahwa Ketidakmampuan
mendengar menempatkan kaum tuna rungu sering menjadi korban, namun
tidak sedikit juga perempuan tuna rungu indonesia yang mencatat
prestasi.Dengan mendapatkan pendidikan yang sesuai karakternya mampu
menjadikan dirinya individu yang kreatif, inovatif, mandiri dan memiliki jiwa
kewirausahaan, ini membuktikan bahwa kemiskinan bahasa yang sering
menjadi kendala bukan hambatan utama untuk menghasilkan karya besar.

Buku kedua yang berjudul 'Setinggi Langit' dirilis pada tahun 2013 bersama
brand kosmetik ternama L'Oreal. Dengan segala keterbatasannya itu,
Angkie berusaha bangkit menjadi wanita yang mandiri dan menginspirasi.
Hal itu dibuktikannya setelah berhasil merilis dua buku inspiratif, menjadi
pendiri dari Thisable Enterprise, serta pernah mendapat Kartini Next
Generation Awards dari Kementrian Komunikasi Informatika pada tahun
2013. . Melalui dua karyanya tersebut ia menyuarakan hak-hak
kelompok disabilitas.
Buku ketiga yang berjudul "Become Rich as a Socio-preneur" pada tahun 2019 jadi
penanda 10 tahun CEO Thisable Enterprise, Angkie Yudistia, bekerja sebagai
seorang sociopreneur. Ibu dua anak yang semula tak tahu tengah melakukan pekerjaan
tersebut menandai momentum ini dengan merilis buku ke-3 berjudul "Become Rich as a
Socio-preneur" yang menginspirasi bagi yang berminat berbisnis untuk kepentingan
sosial

Anda mungkin juga menyukai