Anda di halaman 1dari 36

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Tinjauan Pustaka

A.1 NEUROPATI DIABETIKA

A.1.1 Definisi

Neurorati diabetika adalah sekumpulan gejala (sindrom) yang disebabkan oleh

degenerasi saraf perifer atau autonom sebagai akibat diabetes melitus. 1

A.1.2 Klasifikasi

Neuropati diabetik merupakan kelainan yang heterogen, sehingga

ditemukan berbagai ragam klasifikasi. Secara umum ND yang dikemukakan

bergantung pada 2 hal, pertama, menurut perjalanan penyakit (lama penderita

DM) dan keua, menurut jenis serabut saraf yang terkena lesi. 1,2

 Menurut perjalanan penyakitnya, ND dibagi menjadi :

- Neuropati fungsional / subklinis, yaitu gejala yang muncul sebagai akibat

perubahan biokimiawi. Pada fase ini belum ada kelainan patologik sehingga masih

reversibel.5

- Neuropati struktural/klinis, yaitu gejala timbul sebagai akibat kerusakan struktural

serabut saraf. Pada fase ini masih ada komponen yang reversibel.

- Kematian neuron atau tingkat lanjut, yaitu terjadi penurunan kepadatan serabut

saraf akibat kematian neuron. Pada fase ini sudah irreversible. Kerusakan serabut

saraf pada umumnya dimulai dari distal menuju ke proksimal, sedangkan proses
perbaikan mulai dari proksimal ke distal. Oleh karena itu lesi distal paling banyak

ditemukan, seperti polineuropati simetris distal. 1

 Menurut jenis saraf yang terkena lesi :

Neuropati difus

- Polineuropati sensori-motor simetris distal

- Neuropati otonom : neuromoto sudomotor, neuropati otonom

kardiovaskular, neuropati gastrointestinal, neuropati genitourinaria

- Neuropati lower limb motor simetris proksimal (amiotropi)

Neuropati fokal

- Neuropati kranial

- Radikulopati/pleksopati

- Entrapment neuropathy

Klasifikasi ND diatas berdasarkan anatomi serabut saraf perifer yang

secara umum dibagi atas 3 sistem yaitu sistem motorik, sensorik dan

sistem autonom. Manifestasi klinis ND bergantung dari jenis serabut

saraf yang mengalami lesi. Mengingat jenis serabut saraf yang

terkena lesi bisa kecil atau besar, lokasi proksimal atau distal, fokal

atau difus, motorik atasu sensorik atau autonom, maka manifestasi

klinis ND menjadi bervariasi, mulai kesemutan; kebas; tebal; mati

rasa; rasa terbakar; seperti ditusuk; disobek; ditikam. 1

A.1.3 Diagnosis

Polineuropati sensori-motor simetris distal atau distal symmetrical

sensorymotor polyneuropathy (DPN) merupakan jenis kelaian ND yang paling


sering terjadi. DPN ditandai dengan berkurangnya fungsi sensorik secara

progresif dan fungsi motorik (lebih jarang) yang berlangsung pada bagian

yang berkembang ke arah proksimal. Diagnosi neuropati perifer diabetik

dalam praktek sehari-hari, sangat bergantung pada ketelitian pengambilan

anamnesis dan pemeriksaan fisik. Hanya dengan jawaban tidak ada keluhan

neuropati saja tidak cukup untuk mengeluarkan kemungkinan adanya

neuropati. 1

Pada evaluasi tahunan, perlu diadkan pengkajian terhadap: 1). Refleks

motorik; 2). Fungsi serabut saraf besar dengan tes kuantifikasi sensasi kulit

seperti rasa getar (biotesiometer) dan rasa tekan (estensiometer dengan

filamen mono Sammes-Weinstein); 3). Fungsi serabut saraf kecil dengan tes

sensasi suhu; 4). Untuk mengetahui dengan lebih awal adanya gangguan

hantar saraf dapat dikerjakan elektromiografi. 1

Bentuk lain ND yang juga sering ditemukan ialah neuropati otonom

(parasimpatis dan simpatis) atau diabetic autonomic neuropathy (DAN). 1

 Uji komponen parasimpatis DAN dilakukan dengan : 1). Tes

respons denyut jantung terhadap maneuver valsava; 2). Variasi

denyut jantung (interval RR) selama napas dalam (denyut janjtung

maksimum-minimum)

 Uji komponen simpatis DAN dilakukan dengan : 1). Respons

tekanan darah terhadap berdiri (penurunan sistolik); 2). Respons

tekanan darah terhadap gangguan (peningkatan diastolik). 1


A.1.4 Patogenesis

Proses kejadian ND berawal dari hiperglikemia berkepanjangan yang

berakibat terjadinya peningkatan aktivitas jalur poliol, sintesis advanced

glycosilation end products (AGEs), pembentukan radikal bebas dan aktivasi

protein kinase C (PKC).aktivasi berbagai jalur tersebut berujung pada

kurangnya vasodilatasi, sehingga aliran darah ke saraf menurun dan bersama

rendahnya mioinositol dalam sel terjadilah ND. Berbagai penelitaan

membuktikan bahwa kejadian ND berhubungan sangat kuat dengan lama dan

beratnya DM. 1

Faktor Metabolik

Proses terjadinya ND berawal dari hiperglikemia yang berkepanjangan.

Hiperglikemia persisten menyebabkan aktivitas jalur poliol meningkat, yaitu

terjadi aktivasi enzim aldose-reduktase, yang merubah glukosa menjdai

sorbitol, yang kemudian dimetabolisasi oleh sorbitol, yang kemudian

dimetabolisasi oleh sorbitol dehidrogenase menjadi fruktosa. Akumulasi

sorbitol dan fruktosa dalam sel saraf merusak sel saraf melalui mekanisme

yang belum jelas. Salah satu kemungkinannya ialah akibat dari akumulasi

sorbitol dalam sel saraf menyebabkan keadaan hipertonik interselular sehingga

mengakibatkan edem saraf. Peningkatan sintesis sorbitol berakibat

terhambatnya mioinositol masuk kedalam sel saraf. Penurunan mioinositol dan

akumulasi sorbitol secara langsung menimbulkan stres osmotik yang akan

merusak mitokondria dan akan menstimulasi protein kinase C (PKC). Aktivasi

PKC ini akan menekan fungsi Na-K-ATP-ase, sehingga kadar Na intraselular

menjadi berlebihan, yang berakibat terhambatnya mioinositol masuk ke dalam

sel saraf sehingga terjadi gangguan transduksi sinyal pada saraf. 1


Reaksi jalur poliol ini juga menyebabkan turunya persediaan NADPH

saraf yang merupakan kofaktor penting dalam metabolisme oksidatif. Karena

NADPH merupakan kofaktor penting untuk glutathion dan nitric oxide

synthase (NOS), pengurangan kofaktor tersebut membatasi kemampuan saraf

untuk mengurangi radikal bebas dan penurunan produksi nitric oxide (NO). 1

Disamping meningkatkan aktivitas jalur poliol, hiperglikemia

berkepanjangan akan menyebabkan terbentuknya advance glycosilation end

products (AGEs). AGEs ini sangat toksis dan merusak semua protein tubuh,

termasuk sel saraf. Dengan terbentuknya AGEs dan sorbitol, maka sintesis dan

fungsi NO akan menurun, yang berakibat vasodilatasi berkurang, aliran darah

ke saraf menurun, dan bersama rendahnya mioniositol dalam sel saraf,

terjadilah ND. Kerusakan aksonal metabolik awal masih dapat kembali pulih

dengan kendali glikemik yang optimal, tetapi bila kerusakan metabolik ini

berlanjut menjadi kerusakan iskemik, maka kerusakan struktural akson

tersebut tidak dapat diperbaiki lagi.1

Kelainan Vaskular

Penelititian membuktikan bahwa hiperglikemia juga mempunyai

hubungan dengan kerusakan mikrovaskular. Hiperglikemia persisten

merangsang produksi radikal bebas oksidatif yang disebut reactive oxygen

species (ROS). Radikal bebas ini membuat kerusakan endotel vaskular dan

menetralisasi NO, yang berefek menghalangi vasodilasi mikrovaskular.

Mekanisme kelainan mikrovaskular tersbut dapat melalui penebalan

membrana basalis; trombosis pada arteriol intraneural; peningkatan agregasi

trombosit dan berkurangnya deformabilitas eritrosit; berkurangnya aliran


darah saraf dan peningkatan resistensi vaskular; statis aksonal, pembengkakan

dan demielinisasi pada saraf akibat iskemia akut. Kejadian neuropati yang

didasari oleh kelainan vaskular masih bisa dicegah dengan modifikasi faktor

resiko kardiovaskular, yaitu kadar trigeliserida yang tinggi, indeks massa

tubuh, merokok dan hipertensi. 1

A.1.5 Patofisiologi

Mekanisme yang mendasari neuropati perifer tergantung dari kelainan

yang mendasarinya. Diabetes sebagai penyebab tersering, dapat

mengakibatkan neuropati melalui peningkatan stress oksidatif yang

meningkatkan Advance Glycosylated End products (AGEs), akumulasi polyol,

menurunkan nitric oxide, mengganggu fungsi endotel, mengganggu aktivitas

Na/K ATP ase, dan homosisteinemia. Pada hiperglikemia, glukosa

berkombinasi dengan protein, menghasilkan protein glikosilasi, yang dapat

dirusak oleh radikal bebasi dan lemak, menghasilkan AGE yang kemudian

merusak jaringan saraf yang sensitif. Selain itu, glikosilasi enzim antioksidan

dapat mempengaruhi sistem pertahanan menjadi kurang efisien. 1

Glukosa di dalam sel saraf diubah menjadi sorbitol dan polyol lain oleh

enzim aldose reductase. Polyol tidak dapat berdifusi secara pasif ke luar sel,

sehingga akan terakumulasi di dalam sel neuron, yang menganggu

kesetimbangan gradien osmotik sehingga memungkinkan natrium dan air

masuk ke dalam sel dalam jumlah banyak. Selain itu, sorbitol juga dikonversi

menjadi fruktosa, dimana kadar fruktosa yang tinggi meningkatkan prekursor

AGE. Akumulasi sorbitol dan fruktosa dalam sel saraf menurunkan aktivitas

Na/K ATP ase. Jalur sorbitol, sebagai salah satu mekanisme patogenesis pada
neuropati perifer. Dari: Head KA. Peripheral neuropathy: pathogenic

mechanisms and alternative therapies. Nitric oxide memainkan peranan

penting dalam mengontrol aktivitas Na/K ATP ase. Radikal superoksida yang

dihasilkan oleh kondisi hiperglikemia mengurangi stimulasi NO pada aktivitas

Na/K ATP ase. Selain itu penurunan kerja NO juga mengakibatkan penurunan

aliran darah ke saraf perifer.1

A.1.5 Gejala Klinik

Pada umumnya neuropati menimbulkan gangguan campuran sensorik

dan motorik, kadang-kadang gangguan fungsi autonom, dan mungkin pula

terjadi kelainan motorik lebih menonjol seperti pada sindrom Guillain-Barre,

neuropati porfiria dan difteri. Gangguan sensorik lebih menonjol terjadi pada

defisiensi, diabetes melitus, amiloidosis dan kusta. Gejala gangguan autonom

lebih menonjol tampak pada neuropati diabetika, amiloidosis dan sindrom

disautonomia familial. 1,2

Kelainan motorik mengenai otot-otot kaki dan tungkai terlebih dahulu

dan pada umumnya lebih berat, kemudian baru mengenai otot-otot tangan dan

lengan. Pada kasus ringan hanya mengenai kaki saja. Kelemahan dapat

berlanjut ke arah otot-otot trunkus dan tengkuk. Paralisis brakhialis jarang

ditemukan. Kelemahan otot-otot wajah dan saraf kranialis kadang-kadang

dijumpai, terutama pada sindrom Guillain-Barre. Atrofi otot terjadi secara

perlahan-lahan setelah beberapa minggu atau bulan, bergantung berat atau

ringannya kerusakan serabut saraf. Atrofi juga akan berlanjut karena otot-otot

yang kurang aktif bergerak. 2


Refleks tendon akan berkurang sampai hilang sama sekali bergantung

pada derajat lesi. Hal ini disebabkan oleh menurunnya kecepatan hantar saraf

tepi. Gangguan sensorik lebih banyak mengenai bagian distal tungkai dan

lengan, dapat mengenai semua jenis perasaan atau terbatas pada rasa raba dan

nyeri saja. Mungkin pula terdapat kehilangan rasa tekan, getar, rasa

diskriminasi dua titik. 2

Pada gangguan yang berat, gangguan sensorik dapat menyebar ke arah

proksimal dan melibatkan sensasi rasa panas dan nyeri. Parestesi dan disestesi

sering mengenai tangan dan kaki, kadang-kadang seperti rasa geli, rasa arus

listrik dan rasa seperti disuntik patirasa pada saat akan dilakukan pencabutan

gigi. Bentuk lain adalah rasa nyeri sengat dan rasa tusuk. Parastesi dan

disestesi ini sering terjadi pada polineuropati alkohol dan diabetes melitus 2

Restless-leg syndrome, yaitu gejala kelainan sensorik berupa pegal bila

tungkai istirahat dan membaik bila tungkai digerakkan, sering ditemukan pada

neuropati tertentu misalnya pada neuropati akibat uremia kronis. 2

Gangguan autonom yang sering terjadi ialah anhidrosis dan hipotensi

ortostatik yang lebih sering ditemukan pada neuropati diabetika, amiloidosis

dan kongenital. Manifestasi lain adalah pupil yang kurang reaktif, produksi air

mata dan air liur yang berkurang, dan mungkin pula ada impotensi, kelemahan

sfingter uretra dan anus. Dilatasi esofagus dan kolon dapat dijumpai pada

diabetes melitus dan amiloidosis. Gangguan miksi dapat terjadi karena

distonia vesika urinaria. Pada tahap lanjut akan terjadi retensi urin. 2
A.1.6 Jenis Neuropati

Polineuropati

Neuropati jenis ini menyebabkan kelainan fungsional yang simetris,

biasanya disebabkan oleh kelainan-kelainan difus yang mempengaruhi seluruh

susunan saraf perifer, seperti gangguan metabolik, keracunan, keadaan

defisiensi, dan reaksi imuno-alergik. Bila gangguan hanya mengenai akar saraf

spinalis maka disebut poliradikulopati dan bila saraf spinalis juga ikut

terganggu maka disebut poliradikuloneuropati. 2

Gangguan fungsi saraf tepi terutama bagian distal tungkai dan lengan,

sensorik dan motorik. Gangguan distal lebih dahulu berupa gangguan

sensibilitas berupa gambaran kaus kaki dan sarung tangan (glove and stocking

pattern). Tungkai terkena terlebih dahulu. Gangguan saraf otak dapat terjadi

pada polineuropati yang berat seperti kelumpuhan nervus fasialis bilateral dan

saraf-saraf bulbar mialnya pada poliradikuloneuropati (sindrom Guillain-

Bare). 2

Mononeuropati

Lesi bersifat fokal pada saraf tepi atau lesi bersifat fokal majemuk

yang berpisah-pisah (mononeuropati multiple) dengan gambaran klinis yang

simetris atau tidak simetris. Penyebabnya adalah proses fokal misalnya

penekanan padatrauma, tarikan, luka dan lain-lain, penyinaran, berbagai jenis

tumor, infeksi fokal dan gangguan vaskular. 2


A.1.7 Gambaran Klinik

Gambaran klinik neuropati terlihat pada 20% penderita diabetes

melitus, tetapi dangan pemeriksaan elektrofisiologi pada diabetes melitus

asimtomatik tampak bahwa penderita sudah mengalami neuropati subklinik.

Pada kasus yang jarang, neuropati mungkin merupakan tanda awal suatu

diabetes melitus. Bentuk-bentuk gambaran klinik adalah sebagai berikut: 2

1. Polineuropati sensorik-motorik simetris

Bentuk ini paling sering dijumpai, keluhan dapat dimulai dari yang

paling ringan sampai dengan yang plaing berat. Ada rasa tebal atau

kesemutan, terutama pada tungkai bawah dan menurunya serta hilangnya

refleks tendon Achilles. 2

Kadang-kadang ada rasa nyeri di tungkai. Nyeri ini dapat mengganggu

penderita pada waktu malam hari, terutama pada waktu penderita sedang tidur.

Kadang-kadang penderita mengeluh sukar berjinjit dan sulit berdiri dari posisi

jongkok. 2

2. Neuropati autonom

Keluhan ini bermacam-macam, bergantung pada saraf autonom mana

yang terkena. Penderita dapat mengeluh diare yang bergantian dengan

konstipasi, dilatasi lambung atau disfagia. Gangguan pengosongan kandung

kemih disebabkan oleh karena mukosanya kurang peka lagi. Impotensi lebih

sering dijumpai dan gejala ini semakin nyata apabila neuropati bentuk lain

sudah terjadi. Terjadinya impotensi ini perlahan-lahan, mulai dari gangguan

ereksi sampai dengan gangguan ejakulasi. 2


Gangguan berkeringat dapat dalam bentuk hiperhidrosis, berkeringat

hanya keluar banyak di sekitar wajah, leher dan dada bagian atas (gustatory

sweating), terutama sesudah makan. Sementara itu, gangguan lain dapat

berbentuk hipotensi ortostatik dan bahkan sinkop yang sulit diatasi. 2

3. Mononeuropati

Berbada dengan polineuropati yang bersifat lambat maka

mononeuropati terjadi secara cepat dan biasanya lebih cepat pula membaik.

Yang sering terkena adalah nervi kraniales. Apabila beberapa saraf terkena

namun dari akar yang berlainan maka keadaan tersebut dinamakan

mononeuropati multikompleks. 2

A.1.8 Prognosis

Tipe diabetes melitus yang diderita akan mempengaruhi diagnosis

neuropati diabetika. Pada NIDDM prognosis tentu lebih baik daripada tipe

IDDM. Lama dan beratnya diabetes melitus serta lama dan beratnya keluhan

neuropati yang dialami, dan apakah sudah mengenai saraf autonom, semuanya

akan menentukan prognosis neuropati diabetika.2

A.2 DIABETES MELITUS

A.2.1 Definisi

Diabetes melitus adalah suatu kumpulan gajala yang timbul pada

seseorang yang disebabkan oleh karena adanya peningkatan kadar glukosa

darah akibat penurunan sekresi insulin yang progresif dilatar belakangi oleh

resistensi insulin. Penyakit ini dapat dilatarbelakangi oleh interaksi kompleks


genetic ataupun karena faktor lingkungan. Penyakit ini dapat menyebabkan

komplikasi jangka panjang yang mengenai pembuluh darah, ginjal, mata dan

saraf 1,3,4,7

A.2.2 Epidemiologi

Menurut American Diabetes Association (ADA) 2005, Diabetes

Melitus (DM) merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan

karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja

insulin atau kedua-duanya. Hiperglikemia kronik pada diabetes berhubungan

dengan kerusakan jangka panjang, disfungsi atau kegagalan beberapa organ

tubuh , terutama mata, ginjal syaraf, jantung dan pembuluh darah. Sebelumnya

WHO 1980 berkata bahwa DM merupakan suatu yang tidak dapat dituangkan

dalam satu jawaban yang jelas dan singkat tetapi secara umum dapat dikatakan

sebagai suatu kumpulan problema anatomik dan kimiawi yang merupakan

akibat dari sejumlah faktor dimana didapat defisiensi insulin absolut atau

relatif dan gangguan fungsi insulin. Tampaknya terdapat dalam keluarga

tertentu; berhubungan dengan aterosklerosis yang dipercepat, dan merupakan

predisposisi untuk terjadinya kelainan mikrovaskular spesifik seperti

retinopati, nefropati, dan neuropati.3

Perubahan dalam diagnosis dan klasifikasi yang pernah tercetus pada

tahun 1965 oleh WHO telah terjadi pada 1980 dan kemudian diperbaharui

pada 1985 dan 1994. Sedangkan pada tahun 1997 , ADA (American Diabetes

Association) memperbaharuinya lagi, walaupun sampai saat ini dalam

kehidupan sehari-hari tampak masih banyak tenaga kesehatan belum


mengetahuinya, apalagi memahami atau menjalankannya dalam pekerjaannya

ketika berhadapan dengan orang diabetes. 3

Para pakar di Indonesia pun bersepakat melalui PERKENI

(Perkumpulan Endokrinologi Indonesia) pada tahun 1993 untuk

membicarakan standar pengelolaan diabetes melitus , yang kemudian juga

melakukan revisi kosensus tersebut pada tahun 1998, 2002 dan 2006 dengan

menyesuaikannya denagn perkembangan baru. 3

Secara epidemiologis diabetes seringkali tifak terdeteksi dan dikatakan

onset atau mulai terjadinya diabetes adalah 7 tahun sebelum diagnosis

ditegakkan, sehingga morbiditas dan mortalitas dini terjadi pada kasus yang

tidak terdeteksi ini. Penelitian lain menyatakan bahwa dengan adanya

urbanisasi, populasi diabetes tipe 2 akan meningkat 5-10 kali lipat karena

terjadi perubahan perilaku rural-tradisional menjadi urban. Faktor risiko yang

berubah secara epidemiologis diperkirakan adalah: bertambahnya usia, lebih

banyak dan lebih lamanya obesitas, distribusi lemak tubuh, kurangnya aktifitas

jasmani dan hiperinsulinemia. Semua faktor ini berinteraksi dengan beberapa

faktor genetik yang berhubungan dengan terjadinya DM tipe 2. 1,3

Diabetes sudah dikenal sejak berabad-abad sebelum masehi. Pada

Papyrus Ebers di mesir kurang lebih 1500 SM, digambarkan adanya penyakit

dengan tanda-tanda banyak kencing. Kemudian Celsus atau Parancelus +- 30

th SM juga menemukan penyakit itu. Tetapi baru 200 tahun kemudian,

Aretaeus menyebutnya sebagai penyakit aneh dan menamai penyakit itu

diabetes dari kata diahere yang berarti siphon atau tabung untuk mengalirkan

cairan dari satu tempat ke tempat lain. Dia menggambarkan penyakit itu
sebagai melelehnya daging dan tungkai ke dalam urin. Cendekiawan India dan

China pada abad 3 sampai dengan 6 masehi juga menemukan penyakit ini,

malah dengan mengatakan bahwa urin pasien – pasien ini rasanya manis.

Tahun 1674 Willis melukiskan urin tadi seperti digelingmangi madu dan gula.

Oleh karena sejak itu nama penyakit itu ditambah dengan melitus (melitus =

madu). Ibnu sina pertama kali melukiskan gangren diabetik pada tahun 1000.

Pada tahun 1889 Von Mehring dan Minkowski mendapatkan gejala diabetes

pada anjing yang diambil pankreasnya. Kemudian pada abad 20, tepatnya

tahun 1921 dunia dikejutkan dengan penemuan insulin oleh seorang ahlu

bedah muda Frederick Grant Banting dan Charles Hebert Best. 3

Kemudian pada tahun 1954-1956 ditemukan tablet jenis sulfonilurea

yang dapat meningkatkan kadar insulin. Tahun 1969 ditemukan jenis

sulfonilurea generasi kedua yaitu glibenklamid. 3

Dengan ditemukannya berbagai obat yang dapat mengatur kadar

glukosa darah, komplikasi akut menjadi jarang timbul, hingga umur pasien

diabetes umunya jadi lebih panjang. Timbul persoalan baru yaitu komplikasi

jangka panjang yang sebelumnya tidak dikenal. 1,3

A.2.3 Diagnosis

Diagnosis DM harus didasarkan atas pemeriksaan kadar glukosa darah

dan tidak dapat ditegakkan hanya atas dasar adanya glukosuria saja. Dalam

menentukan diagnosis DM harus diperhatiakn asal bahan darah yang diambil

dan cara pemeriksaan yang dipakai. Untuk diagnosi DM, pemeriksaan yang

dianjurkan adalah pemeriksaan glukosa dengan cara enzimatik dengan bahan

darah plasma vena. Untuk memastikan diagnosis DM, pemeriksaan glukosa


darah seyogyanya dilakukan di laboratorium klinik yang terpecaya. Walaupun

demikian sesuai dengan kondisi setempat dapat juga dipakai bahan darah utuh

(whole blood), vena ataupun kapiler dengan memperhatikan angka-angka

kriteria diagnostik yang berbeda sesuai pembakuan oleh WHO. Untuk

pemantauan hasil pengobatan dapat diperiksa glukosa darah kapiler.3

Ada perbedaan antara uji diagnostik DM dan pemeriksaan penyaring.

Uji diagnostik DM dilakukan pada mereka yang menunjukan gejala/tanda

DM, sedangkan pemeriksaan penyaring bertujuan untuk mengidentifikasi

mereka yang tidak bergejala, yang mempunyai risiko DM. Serangkaian uji

diagnostik akan dilakukan kemudian pada mereka yang hasil pemeriksaan

penyaringnya positif, untuk memastikan diagnosis definitif. 3

Pemeriksaan penyaring dikerjaan pada kelompok dengan salah satu

risiko DM sebagai berikut: 3

1. Usia ≥ 45 tahun

2. Usia lebih muda, terutama dengan indeks massa tubuh (IMT) > 23kg/m² , yang

disertai dengan faktor risiko:

 Kebiasaan tidak aktif

 Turunan pertama dari orangtua dengan DM

 Riwayat melahirkan bayi dengan BB lahir bayi > 4000 gram, atau riwayat

DM-gestasional

 Hipertensi (≥140/90 mmHg)

 Kolesterol HDL ≤ 35 mg/dL dan atau trigliserida ≥ 250 mg/dL

 Menderita polycyctic ovarial syndrome (PCOS) atau keadaan klinis lain yang

terkait dengan resistensi insulin


 Adanya riwayat toleransi glukosa yang terganggu (TGT) atau glukosa darah

puasa terganggu (GDPT) sebelumnya

 Memiliki riwayat penyakkt kardiovaskular

Pemeriksaan penyaring dapat dilakukan melalui pemeriksaan kadar glukosa darah

puasa, kemudian dapat diikuti dengan tes toleransi glukosa oral (TTGO) standar. 3

Pemeriksaan penyaring untuk tujuan skrining masal (mass screening)

tidak dianjurkan mengingat biaya yang mahal, serta pada umumnya tidak

diikuti dengan rencana tindak lanjut bagi mereka yang diketemukan adanya

kelainan. Pemeriksaan penyaring juga dianjurkan dikerjakan pada saat

pemeriksaan untuk penyakit lain atau general check-up. 3

Pemeriksaan penyaring berguna untuk menjaring pasien DM, TGT dan

GDPT, sehingga dapat ditentukan langkah yang tepat untuk mereka. Populasi

dengan TGT dan GDPT merupakan tahapan sementara menuju DM. Setelah

5-10 tahun kemudian 1/3 kelompok TGT akan berkembang menjadi DM, 1/3

tetap TGT dan 1/3 lainnya kembali normal. Adanya TGT sering berkaitan

dengan resistensi insulin. Pada kelompok TGT ini risiko terjadinya

arterosklerosis lebih tinggi dibandingkan kelompok normal. TGT sering

berkaitan dengan penyakit kardiovaskular, hipertensi dan disiplidemia. Peran

aktif para pengelola kesehatan sangat diperlukan agar deteksi DM dapat

ditegakkan sedini mungkin dan pencegahan primer dan sekunder dapat segera

diterapkan. 3

Pemeriksaan penyaring dapat dilakukan melalui pemeriksaan kadar glukosa darah

sewaktu atau kadar glukosa darah puasa, kemudian dapat diikuti dengan tes toleransi

glukosa oral (TTGO) standar. 3


A.2.4 Klasifikasi Tipe 1 atau 2

Berdasarkan kategori dasar yang dibuat oleh The National Diabetes

Data Group, diabetes melitus dibagi menjadi 2 tipe, yaitu tipe primer dan tipe

sekunder. Pada tipe primer, pasien menunjukan adanya beberapa keadaan

yang dapat menyebabkan atau mengakibatkan terjadinya sindroma diabetik.

Sedangkan menurut America Diabetic Association (ADA) pada tahun 2015,

tipe primer tersebut disebut juga dengan Insulin Deppendent Diabetes

Mellitus (IDDM). Sedangkan tipe sekunder disebut juga dengan Non Insulin

Dependent Diabetes Mellitus (NIDDM). Pembagian tersebut sama seperti

klasifikasi yang dikeluarkan ADA pada tahun 2009.6,1

Diabetes pada orang dewasa seringkali langsung dinyatakan sebagai

DM tipe 2, hal ini sebenarnya merupakan suatu kesimpulan yang terlalu cepat

diambil, karena diabetes tipe ini merupakan suatu kelainan yang sangat

heterogen dan mempunyai berbagai bentuk. Suatu studi di denmark meberikan

suatu gambaran lain yaitu DM tipe 1 tidak jarang terjadi pada orang dewasa. Ia

dapat terjadi pada semua umur dan kekerapan akan meningkat secara

kumulatif mulai dari umur 30 tahun, sehingga risiko terjadinya DM tipe 1

berhubungan dengan umur-lama hidup. Sedang di New-zeland, DM pada

orang dewasa 14% menggunakan insulin dan diantara mereka 83% telah

memulai pemakaiannya sebagai pengobatatan permanen kurang dari 12 bulan

setelah diagnosis diabetes ditegakkan. Mereka yang mendapat insulin sebelum

12 bulan ini secara bermakna mempunyai kadar auto-antibody terhadap GAD

(Glutamic Acid Decarboxylase). GAD ini merupakan autoantigen terhadap sel


beta pankreas dan terdapat pada 80% DM tipe 1 baru dan juga terdapat pada

80% subyek 10 tahun sebelum terjadinya diabetes tipe 1. Pada penelitian

UKPDS (inggris) orang dengan DM tipe 2 ternyata 13,4% mempunyai anti

GAD yang positif, dan di antara mereka setelah 6 tahun, 90 % kemudian

memakai insulin, sedang yang dengan anti GAD negatif hanya 6% yang

kemudian memakai insulin. Memang diabetes tipe 1 pada orang dewasa pada

mulanya tidak akan memberikan gambaran klinis yang spesifik sehingga akan

sulot untuk mengklasifikasikan seorang berumur 35-50 tahun yang tidak

gemuk sebagai diabetes, dan untuk kelompok seperti ini dapat ditegakkan

macam-macam etiologi diabetes. 3

Sukar untuk menetapkan seseorang termasuk dalam klasifikasi tipe 1

atau tipe2. Misalnya, seseorang dengan diabetes tipe 2 dan berat badan kurang,

selama ini memakai insulin seringkali dianggap sebagai tipe 1. Atau seorang

anak atau remaja yang baru diketahui diabetes dan berasal dari keluarga

dengan diabetes dengan keturunan autosomal dominan diabetes (MODY).

Orang ini biasanya masuk ke dalam diabetes tipe 2 dan sebaiknya tidak

diklasifikasikan sebagai tipe 1 hanya bedasarkan umurnya saja. Juga didapat

orang dengan diabetes dengan karakteristik diabetes tipe2 dan memerlukan

indulin untuk mengendalikan diabetes tetapi tidak tergantung pada insulin

untuk mencegah terjadinya ketoasidosis, sebaiknya tidak diklasifikasikan

sebagai tipe 1, hanya berdasarkan pemakaian insulinnya. 3

Dibawah ini ada beberapa karakteristik yang dapat digunakan untuk membedakan

DM tipe 1 dan DM tipe 2:

DM tipe 1:
 Mudah terjadi ketoasidosis

 Pengobatan harus dengan insulin

 Onset akut

 Biasanya kurus

 Biasanya pada umur muda

 Berhubungan dengan HLA-DR3 &DR4

 Didapatkan Islet Cell Antibody (ICA)

 Riwayat keluarga diabetes (+) pada 10%

 30-50% , kembar identik terkena

Istilah tipe 1 sering digunakan sabagai sinonim diabetes tergantung insulin (IDDM,

insulin-dependent diabetes melitus). Bentuk diabetes ini terjadi karena kekurangan

insulin yang berat akibat destruksi autoimun sel-sel beta dalam pulau-pulau

Langerhans. Penyakit ini sering terjadi pada anak-anak dan remaja8,5

DM tipe 2 :

 Tidak mudah terjadi ketoasidosis

 Tidak harus dengan insulin

 Onset lambat

 Gemuk atau tidak gemuk

 Biasanya >45 tahun

 Tak berhubungan dengan HLA

 Tak ada Islet Cell Antibody (ICA)

 Riwayat keluarga (+) pada 30%

 ±100% kembar indentik terkena


Diabetes tipe 2 atau Non Insulin Dependent Diabetes Mellitus (NIDDM)

adalah penyakit DM yang disebabkan karena adanya resistensi insulin yang

disertai defisiensi insulin relatif dan disfungsi sel beta. Sebanyak 95% dari pasien

diabetes melitus merupakan pasien diabetes mellitus tipe 2. Biasanya diabetes

mellitus tipe ini sering terjadi pada dewasa tua (45-64 tahun) 8,5

A.2.5 Patofisiologi

Seperti suatu mesin, badan memerlukan bahan untuk membentuk sel

baru dan mengganti sel yang rusak. Disamping itu badan juga memerlukan

energi supaya sel badan dapat berfungsi dengan baik. Energi pada mesin

berasal dari bahan bakar yaitu bensin. Pada manusia bahan bakar itu berasal

dari bahan bakar makanan yang kita makan sehari-hari, yang terdiri dari

karbohidrat , protein dan lemak. 3

Pengolahan bahan makanan dimulai di mulut kemudian ke lambung

dan selanjutnya ke usus. Di dalam saluran pencernaan itu makanan dipecah

menjadi bahan dasar dari makanan itu. Karbohidrat menjadi glukosa, protein

menjadi asam amino, dan lemak menjadi menjadi asam lemak. Ketiga zat

makanan itu akan diserap oleh usus kemudian masuk ke dalam pembuluh

darah dan di edarkan ke seluruh tubuh untuk dipergunakan oleh organ-organ

di dalam tubuh sebagai bahan bakar. Supaya dapat berfungsi sebagai bahan

bakar, zat makanan itu harus masuk dulu ke dalam sel supaya dapat diolah. Di

dalam sel, zat makanan terutama glukosa di bakar melalui proses kimia yang

rumit, yang hasil akhirnya adalah timbulnya energi. Proses ini disebut

metabolisme. Dalam proses metabolisme itu insulin memegang peran yang

sangat penting yaitu bertugas memasukan glukosa ke dalam sel, untuk


selanjutnya dapat digunakan sebagai bahan bakar. Insulin ini adalah hormon

yang dikeluarkan oleh sel beta di pankreas. 3

Dalam keadaan normal artinya kadar insulin cukup dan sensitif, insulin

akan ditangkap oleh reseptor insulin yang ada pada permukaan sel otot,

kemudian membuka pintu masuk sel sehingga glukosa dapat masuk sel untuk

kemudian dibakar menjadi energi/tenaga. Akibatnya kadar glukosa dalam

darah normal. 3

Pada diabetes dimana didapatkan jumlah insulin yang kurang atau pada

keadaan kualitas insulinnya tidak baik (resistensi insulin), meskipun insulin

ada dana reseptor juga ada, tapi karena ada kelainan di dalam sel itu sendiri

pintu masuk sel tetap tidak dapat terbuka hingga glukosa tidak dapat masuk sel

untuk dibakar (dimetabolisme). Akibatnya glukosa tetap berada di luar sel,

hingga kadar glukosa dalam darah meningkat. 6

A.2.6 Kerja Insulin

Insulin yang dikeluarkan oleh sel beta dapat diibaratkan sebagai anak

kunci yang dapat membuka pintu masuknya glukosa ke dalam sel, untuk

kemudian di dalam sel glukosa itu dimetabolisasikan menjadi tenaga. Bila

insulin tidak ada (DM tipe 1) atau bila insulin itu kerjanya tidak baik seperti

dalam keadaan resistensi insulin (DM tipe 2) maka glukosa tak dapat masuk

sel dengan akibat glukosa akan tetapi berada di dalam pembuluh darah yang

artinya kadarnya di dalam darah meningkat. Dalam keadaan seperti ini badan

akan jadi lemah karena tidak ada sumber enegi di dalam sel. 6

A.2.7 Patogenesis

Diabetes Melitus Tipe 1


Insulin pada DM tipe 1 tidak ada disebabkan oleh karena pada jenis ini

ada reaksi otoimun. Pada individu yang rentan (susceptible) terhadap diabetes

tipe 1, terdapat adanya ICA (Islet Cell Antibody) yang meningkat kadarnya

oleh karena beberapa faktor pencetus seperti infeksi virus diantaranya virus

cocksakie, rubella, CMV, herpes dan lain-lain hingga timbul peradangan pada

sel beta (insulitis) yang akhirnya menyebabkan kerusakan permanen sel beta.

Yang diserang pada insulitis itu hanya sel beta, biasanya sel alfa dan delta

tetap utuh. 3

Diabetes Melitus Tipe 2

Diabetes Type 2 adalah kelainan yang heterogen dengan prevalensti

yang sangat bervariasi diantara kelompok etnis. Di AS populasi yang sangat

tinggi prevalensinya adalah suku bangsa India Pima, keturunan Spanyol dan

Asia. 3

Patogenesis diabetes mellitus tipe 2 ditandai dengan adanya resistensi

insulin perifer, gangguan “hepatic glucose production (HGP)”, dan penurunan

fungsi cell β, yang akhirnya akan menuju ke kerusakan total sel β. 3

Pada stadium prediabetes (IFG dan IGT) mula-mula timbul resistensi

insulin (disingkat RI) yang kemudian disusul oleh peningkatan sekresi insulin

untuk mengkompensasi RI itu agar kadar glukosa darah tetap normal. Lama

kelamaan sel beta akan tidak sanggup lagi mengkompensasi RI hingga kadar

glukosa darah meningkat dan fungsi sel beta makin menurun , saat itulah

diagnosis diabetes ditegakkan. Ternyata penurunan fungsi sel beta itu

berlangsung secara progresif sampai akhirnya sama sekali tidak mampu lagi
mengsekresi insulin, suatu keadaan menyerupai diabetes tipe 1. Kadar glukosa

darah makin meningkat. 3,1

Dengan diketahuinya mekanisme seperti itu, ADA (American Diabetes

Association) pada tahun 2008 menyebutkan bahwa “Type 2 diabetes results

from a progressive insulin secretory defect on the background of insuli

resistance. 7

A.2.8 Faktor Resiko Diabetes

Diketahui bahwa diabetes merupakan penyakit keturunan. Artinya bila

orang tuanya menderita diabetes, anak – anaknya akan menderita diabetes

juga. Hal itu memang benar. Tetapi faktor keturunan saja tidak cukup.

Diperlukan faktor lain yang di sebut faktor risiko atau faktor pencetus

misalnya, adanya infeksi virus (pada DM tipe 1), kegemukan pola makan yang

salah, minum obat-obatan yang bisa menaikan kadar glukosa darah. Proses

menua, stress dan lain-lain. 3,1

A.2.9 Komplikasi

Retinopati nefropati dan neuropati merupakan komplikasi yang dapat

di timbulkan dari diabetes. Retinopati bila tidak diterapi akan menjadi

kebutaan, nefropati dapat terjadi juga glomeruloklerosis dengan proteinuria

progresif dan gagal ginjal, dan komplikasi yang terakhir dapat juga terjadi

neuropati sensorik simetris perifer dimana dapat timbul ulserasi dan kolaps

sendi pada kaki neuropatik, atropati charcot, mononeuropati dan mononeuritis

multipleks termasuk neuropati kranial, amiotrofi ; neuropati motorik

proksimal , serta neuropati otonom dimana terjadi takikardia istirahat dan


hipotensi postural; kembung akibat pengosongan lambung yang lambat,

muntah dan diare; kandung kemih atonik; disfungsi ereksi; berkeringat. 3

A.2.10 Terapi

Penanganan terhadap diabetes melitus

Langkah awal adalah memperbaiki metabolisme penderita diabetes

melitus dan biasanya dengan perbaikan metabolik dan pengendalian

hiperglikemia, maka keluahn neuropati dapat berkurang. 3

Penanganan neuropati diabetika berdasarkan etiopatofisiologi

Sebaiknya semua faktor risiko harus dihilangkan atau setidak-tidaknya

dikurangi, misalnya menghindari alkohol, diet cukup protein dan pembatasan

karbohidrat dan kalori. Pemberian vitamin B1 dosis tinggi sering digunakan,

namun demikian bukti ilmiah masih kontroversial. 3

Penanganan terhadap keluhan

Nyeri seringkali menjadi keluhan utama. Untuk ini dapat diberikan

analgesik, dan bila perlu dapat ditambahkan antidepresan dan/atau

karbamazepin. Untuk gastroparesisdan keluahan esofagus dapat diberikan

metoklopramida. Pada gustatory sweating dapat diberikan antikolinergik. 3

Terapi tradisional

Karena tidak ada obat khusus yang tersedia untuk neuropati, peran

dokter adalah untuk memberikan konseling klinis dan genetik dan

menyarankan pengobatan simtomatik dan rehabilitatif. Saran tentang sifat


warisan dan prognosis yang terbaik yang diberikan hanya setelah mengetahui

riwayat keturunan, yang dalam beberapa kasus berarti bahwa keluarga yang

ada akan perlu dievaluasi. 3

Konseling genetik tidak harus didasarkan pada fenotipe tapi informasi

yang diperoleh dari studi tentang riwayat keluarga. Karena CMT dapat

ditransmisikan sebagai autosomal dominan, autosomal resesif, terkait-X

dominan, dan X-linked sifat resesif, dokter harus sangat mengenal bagaimana

mengenali pola warisan. 3

Orthotics yang tepat dan bracing mungkin berguna bagi banyak pasien.

Namun, dalam pengalaman, operasi kaki sering tidak diperlukan. Oprasi kaki

untuk memperbaiki kaki, untuk derajat parah pes cavus dan hammertoes, dapat

meningkatkan berjalan dan mengurangi rasa sakit lebih titik-titik tekanan dan

mencegah bisul plantar. Pasien harus diberikan tujuan yang realistis untuk

operasi, karena jelas itu bukan obat mujarab untuk manifestasi lain seperti

gangguan sebagai kelemahan dan gangguan sensorik. 3

Pendekatan terapi baru

Asam askorbat diperlukan untuk membentuk matriks ekstraselular dan

memungkinkan mielinisasi oleh sel Schwann co-dibudidayakan dengan

neuron. asam askorbat dosis tinggi meningkatkan neuropati dari model tikus

CMTIA. Dengan demikian, uji klinis multicenter menyelidiki potensi asam

askorbat dosis tinggi untuk mengobati pasien CMTIA saat ini sedang

berlangsung di Eropa dan Amerika Serikat. 3

A.2.11 KESIMPULAN
Diabetes adalah suatu sindroma yang ditandai dengan peningkatan

kada glukosa darah disebabkan oleh karena adanya penurunan sekresi insulin.

Pada DM tipe 1 penurunan sekresi itu disebabkan oleh karena kerusakan sel

beta akibat reaksi otoimun sedangkan pada DM tipe 2 penurunan sekresi itu

disebabkan oleh kekurangan fungsi sel beta yang progresif akibat

glukotoksisitas, lipotoksisitas, tumpukan amiloid dan faktor-faktor lain yang

disebabkan oleh resistensi insulin di samping faktor usia dan genetik. 3,1

A.3 NEUROPATI PERIFER

A.3.1 Definisi

Neuropati perifer adalah penyakit pada saraf perifer. Saraf tersebut

adalah semua saraf selain yang ada di otak dan urat saraf tulang belakang

(perifer berarti jauh dari pusat). Gejala dan tanda neuropati perifer cukup

sering ditemukan pada pasien usia lanjut, dan seringkali dianggap sebagai

bagian dari proses penuaan. Namun, sering ditemukan berbagai kondisi yang

menjadi penyebab neuropati perifer pada usia tua, antara lain diabetes

mellitus, keganasan, gangguan metabolik, defisiensi nutrisi dan pemakaian

obat-obatan dalam jangka waktu lama seperti obat anti kejang atau

kemoterapi. Selain itu, juga terdapat penyebab idiopatik neuropati perifer pada

usia tua, yaitu polineuropati aksonal kronik, dimana keadaan ini sering

dijumpai. 9

Prevalensi neuropati perifer pada usia lanjut tidak banyak diketahui.

Hal ini disebabkan sedikitnya penelitian dan keterbatasan waktu yang


9,10,11
dibutuhkan dalam mempelajari kasus neuropati perifer pada usia lanjut.

Selain itu beberapa studi yang dilakukan hanya mencakup gejala neuropati
tertentu, seperti prevalensi neuropati sensorik, otonom atau neuropati pada

keganasan. Dari sedikit penelitian neuropati perifer yang bersifat umum,

prevalensinya berkisar antara 2,4% sampai 8%.3,4 Sedangkan pada penelitian

terbaru dari subjek usia lanjut yang tidak bekerja dilaporkan angka kejadian

neuropati perifer mencapai 31%. 12

Neuropati perifer pada usia lanjut mengakibatkan gangguan kualitas

hidup yang bermakna dan berdampak pada gangguan keseimbangan dan jatuh.

Hal ini akan membatasi fungsi fisik mereka dan menyebabkan mereka lebih

banyak di rumah dan tidak bekerja, sehingga meningkatkan beban bagi

keluarga dan sistem kesehatan.13,14 Karena hal ini dapat menyebabkan

kecacatan yang berat dan keterbatasan fungsi, pendekatan diagnostik yang

baik bisa menjadi langkah awal bagi terapi yang memuaskan.14

A.3.2 Epidemiologi

Studi epidemiologi mengenai neuropati perifer pada usia lanjut masih

belum memuaskan, dan banyak menemui kendala. Salah satu masalah utama

dalam studi ini adalah ketidak sepakatan mengenai definisi operasional yang

cocok untuk dipakai. Definisi yang memerlukan pemeriksaan elektrofisiologi

(seperti kecepatan hantaran saraf), peralatan yang mahal (seperti computer

assisted sensory examination), atau uji invasif (seperti biopsi saraf)

menyebabkan studi menjadi tidak praktis.11 Sedangkan penelitian yang

memfokuskan pada gejala saja (seperti the Michigan Diabetes Neuropathy

Score) menyebabkan banyaknya kasus yang dikeluarkan karena tanpa gejala.

Sehingga sebagian besar data epidemiologi yang ditemukan hanya terbatas

pada definisi untuk penyakit tertentu, seperti diabetes mellitus.13


Martyn dan Hughes melaporkan tiga studi populasi dengan prevalensi

masing-masing antara lain di Italia (penduduk usia lebih dari 55 tahun,

prevalensi 8%), di Bombay India (semua penduduk dewasa berbagai usia,

2,4%), dan Sisilia Italia (semua penduduk dewasa berbagai usia, 7%). 15

Odenheim dan kawan-kawan mendapatkan prevalensi neuropati perifer

sensorik meningkat seiring pertambahan usia, dimana ia menemukan

prevalensi gangguan posisi pada 6% populasi usia 65-74 tahun, 9% pada

populasi usia 75-84 tahun, dan 13% pada populasi usia lebih dari 85 tahun. 16

Sedangkan Lor dan kawan-kawan yang melakukan penelitian pada komunitas

urban di Petaling Jaya Malaysia menemukan prevalensi neuropati sensorik

sebesar 20%, dimana kecenderungannya juga meningkat sesuai usia.17

A.3.3 Etiologi

Neuropati perifer merupakan gambaran klinis yang sering dijumpai

pada sebagian besar penyakit sistemik. Etiologi neuropati tersering di negara

maju adalah diabetes dan alkoholisme, sedangkan di negara berkembang

adalah lepra. Etiologi lain yang bisa ditemukan pada usia lanjut antara lain

trauma, toksik, metabolik, infeksi, iskemik dan paraneoplastik. Selain itu,

insiden neuropati pada HIV juga meningkat seiring meningkatnya kasus

infeksi HIV.17

A.3.4 Patofisiologi

Mekanisme yang mendasari neuropati perifer tergantung dari kelainan

yang mendasarinya. Diabetes sebagai penyebab tersering, dapat

mengakibatkan neuropati melalui peningkatan stress oksidatif yang

meningkatkan Advance Glycosylated End products (AGEs), akumulasi polyol,


menurunkan nitric oxide, mengganggu fungsi endotel, mengganggu aktivitas

Na/K ATP ase, dan homosisteinemia. Pada hiperglikemia, glukosa

berkombinasi dengan protein, menghasilkan protein glikosilasi, yang dapat

dirusak oleh radikal bebasi dan lemak, menghasilkan AGE yang kemudian

merusak jaringan saraf yang sensitif. Selain itu, glikosilasi enzim antioksidan

dapat mempengaruhi sistem pertahanan menjadi kurang efisien.18

Glukosa di dalam sel saraf diubah menjadi sorbitol dan polyol lain oleh

enzim aldose reductase. Polyol tidak dapat berdifusi secara pasif ke luar sel,

sehingga akan terakumulasi di dalam sel neuron, yang menganggu

kesetimbangan gradien osmotik sehingga memungkinkan natrium dan air

masuk ke dalam sel dalam jumlah banyak. Selain itu, sorbitol juga dikonversi

menjadi fruktosa, dimana kadar fruktosa yang tinggi meningkatkan prekursor

AGE. Akumulasi sorbitol dan fruktosa dalam sel saraf menurunkan aktivitas

Na/K ATP ase. 18,19

Nitric oxide memainkan peranan penting dalam mengontrol aktivitas

Na/K ATP ase. Radikal superoksida yang dihasilkan oleh kondisi

hiperglikemia mengurangi stimulasi NO pada aktivitas Na/K ATP ase. Selain

itu penurunan kerja NO juga mengakibatkan penurunan aliran darah ke saraf

perifer.18

A.3.5 Diagnosis

Langkah awal dalam mendiagnosis neuropati perifer adalah menentukan

gejala dan tanda yang berhubungan dengan disfungsi saraf perifer. Biasanya pasien

mengalami munculan gejala yang bermacam-macam. 9,10,12,16


Gejala neuropati dapat dikelompokkan menjadi gejala negatif atau positif.

Gejala positif mencerminkan aktivitas spontan serabut saraf yang tidak adekuat,

sedangkan gejala negatif menunjukkan terjadinya penurunan aktivitas serabut saraf.

Gejala negatif meliputi kelemahan, fatigue, dan wasting, sementara gejala positif

mencakup kram, kedutan otot, dan myokimia. 9,10,12,16 Kelemahan biasanya belum

bermanifestasi sampat 50-80% serabut saraf mengalami kerusakan; gejala positif

mungkin muncul pada awal proses penyakit. Gejala negatif seperti hipestesia dan

abnormalitas melangkah. Gejala lain yang juga sering adalah kesulitan membedakan

rasa panas atau dingin dan keseimbangan yang semakin memburuk terutama saat

gelap dimana input visual tidak cukup mengkompensasi gangguan propriopseptif.

Gejala positif mencakup rasa terbakar atau tertusuk, rasa geli/kesemutan. Gejala

yang mungkin melibatkan sistem saraf otonom mencakup rasa haus, kembung,

konstipasi, diarem impotensi, inkontinensia urin, abnormalitas keringat, dan rasa

melayang yang berkaitan dengan orthostasis. Pasien dengan gangguan vasomotor

mungkin melaporkan keempat anggota gerak terasa dingin sejalan dengan

perubahan warna kulit dan trofi otot.

Riwayat sosial pasien perlu digali berkaitan dengan pekerjaan (kemungkinan

paparan toksik dari bahan kimia), riwayat seksual (kemungkinan HIV atau hepatitis

C), konsumsi alkohol, kebiasaan makan, dan merokok. Sedangkan dari riwayat

keluarga dan pengobatan sebelumnya perlu difokuskan pada penyakit yang

berhubungan dengan neuropati, seperti endokrinopati (diabetes, hipotiroid),

insufisiensi renal, disfungsi hepar, penyakit jaringan penyambung, dan keganasan.

Pengobatan yang pernah dikonsumsi pasien juga perlu dijelaskan untuk menentukan

kemungkinan adanya hubungan temporal antara obat dengan neuropati.

Kemoterapi, pengobatan HIV, dan antibiotik golongan kuinolon merupakan

beberapa contoh agen penyebab neuropati. Selain itu, konsumsi vitamin B6


(Pyridoxine) melebihi dosis 50-100 mg per hari juga dapat mencetuskan neuropati.

9,10,16,18

Pemeriksaan sensorik perlu dilakukan sesuai anatomi saraf perifer dan pola

penyakit. Pemeriksaan ini terbagi tipe serabut saraf ukuran besar atau kecil.

Penilaian serabut saraf besar mencakup sensasi getar, posisi sendi, dan rasa raba

ringan. Sedangkan penilaian serabut kecil mencakup uji pin-prick dan sensasi suhu.

9,12
Tes Romberg juga bermanfaat menilai fungsi serabut besar. Dalam melakukan

pemeriksaan sensorik, perlu memikirkan jenis neuropati yang dikeluhkan, mencakup

mononeuropati, polineuropati (distal simetrik atau multifokal), radikulopati,

pleksopati. Pemeriksaan yang dilakukan meliputi area yang mengalami kelainan dan

dibandingkan dengan area kontralateral yang simetris. Selain itu juga dibandingkan

dengan area lain yang normal, dan dikaitkan dengan dermatom saraf. 9,10,12,16

Penurunan refleks tendon sangat membantu dalam menentukan lokalisasi

kerusakan lower motor neuron. Hiporefleks atau arefleks sering ditemukan pada

neuropati serabut saraf yang besar, namun pada neuropati serabut saraf kecil

refleks tendon dalam seperti refleks Achilles masih baik. 9,10,12,16

Pemeriksaan laboratorium yang dapat menunjang diagnosis cukup banyak,

dan tergantung dari klinis pada pasien. American Academy of Neurology (AAN)

mengajukan parameter praktis pemeriksaan laboratorium dan genetik pada

polineuropati distal simetrik. Panduan tersebut merekomendasikan pemeriksaan

gula darah puasa, elektrolit untuk menilai fungsi ginjal dan hati, pemeriksaan darah

tepi lengkap, kadar vitamin B12 serum, laju endap darah, uji fungsi tiroid, dan

immunofixation electrophoresis serum (IFE). Sedangkan pemeriksaan lainnya

mencakup Myelin associated glycoprotein (MAG), sulfatide, dan antibodi GD1B.

Pada neuropati demielinisasi dengan pemanjangan latensi distal, diperlukan


pemeriksaan anti MAG. Sedangkan pada mononeuropati multifokal, perlu dilakukan

pemeriksaan anti GM1. Selanjutnya, pada pasien sindrom Guillain Barre, uji anti

GQ1b, anti GM1, dan anti GD1a dapat menunjang diagnosis. 19

Pemeriksaan urin dapat mengkonfirmasi kemungkinan paparan bahan kimia

logam berat, seperti uji kadar arsenik dan tembaga dalam urin. Prosedur ini perlu

dilakukan bila terdapat riwayat paparan logam berat, setelah menjalani

pembedahan bariatric, atau intake Zinc berlebihan. 19,20

Uji elektrodiagnostik pada pasien neuropati perifer mencakup kecepatan

hantaran saraf dan needle Electromyography. Kedua uji tersebut merupakan standar

untuk neuropati, terutama neuropati serabut besar. EMG dapat menyingkirkan

kemungkinan diagnosis selain polineuropati, seperti miopati, neuronopati,

pleksopati, atau poliradikulopati. Sebagai pemeriksaan lanjutan setelah pemeriksaan

klinis, elektrodiagnostik memberikan gambaran mengenai keterlibatan relatif

motorik atau sensorik, beratnya kelainan neuropati, dan distribusi kelainan. Selain

itu uji elektrodiagnostik dapat menilai kelainan dari anatomi, apakah suatu

aksonopati atau mielinopati. Demielinisasi dapat dikelompokkan sebagai

demielinisasi komplit atau sebagian. Dan elektrodiagnostik dapat dilakukan untuk

emonitor progresivitas penyakit. Risiko pemeriksaan elektrodiagnostik minimal,

meskipun pada sebagian penderita terdapat ketidaknyamanan. 21,22

Pemeriksaan elektrodiagnostik lainnya adalah stimulasi magnetik, yang

menilai konduksi pada segmen proksimal seperti saraf femoralis atau cauda equina,

namun pemeriksaan ini hanya terbatas pada kasus neuropati perifer.

Pemeriksaan biopsi saraf dilakukan untuk menilai etiologi, lokalisasi

patologik, dan beratnya kerusakan saraf. Namun pemeriksaan ini menjadi kurang

penting dalam dua dekade terakhir seiring berkembangnya teknologi di bidang


elektrodiagnostik, laboratorium dan uji genetik. Biopsi saraf hanya berguna pada

neuropati progresif akut/ sub akut, asimetrik dan multifokal. AAN menganjurkan

pemeriksaan ini pada diagnosis penyakit inflamasi seperti vaskulitis, sarkoidosis, dan

CIDP. Selain itu uji ini bisa dilakukan pada penyakit infeksi seperti lepra. 23,24

A.3.6 Kesimpulan

Gejala dan tanda neuropati perifer cukup sering ditemukan pada pasien usia

lanjut. Berbagai kondisi pada usia tua seperti diabetes, alkoholisme, defisiesi nutrisi,

infeksi, keganasan maupun kelainan autoimun, dapat mempengaruhi kualitas

fungsional saraf yang mengakibatkan neuropati.Untuk mendiagnosis neuropati

perifer secara komprehensif dan efisien, diperlukan pendekatan yang sistematis dan

logis, terutama pada neuropati perifer yang dapat diobati. Aplikasi elektrodiagnostik

yang non invasif cukup memuaskan untuk menegakkan diagnosis, walaupun dalam

kasus tertentu diperlukan pemeriksaan elektrodiagnostik invasif.


B. Kerangka Teori

Berdasarkan uraian diatas maka kerangka teori dalam penelitian ini adalah:

Diabetes Melitus

Diabetes Melitus tipe 1 Diabetes Melitus tipe 2

Komplikasi

1. Retinopati
2. Nefropati

3. Neuropati

Bagan 2.1 Kerangka Teori


C. Kerangka Konsep

Variabel Independent Variabel Dependent


Diabetes Melitus Gangguan Neuropati Perifer

Variabel Luar:

1. Usia
2. Jenis Kelamin
3. Status Pendidikan
4. Berat Badan
5. Tekanan Darah
6. Kadar gula darah
7. Status Gizi

Bagan 2.2 Kerangka Konsep

Keterangan :

: Variabel di teliti

: Variabel tidak diteliti

Anda mungkin juga menyukai