Oleh :
RIZKI RAMADHAN
2011901038
Pembimbing:
dr. Cherlina Sp.A, M.Biomed
Puji dan syukur atas kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat
dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan pembuatan laporan kasus
yang berjudul “ANAK DENGAN KEJANG DEMAM KOMPLEK DAN
DEHIDRASI AKUT DERAJAT SEDANG” yang diajukan sebagai persyaratan
untuk mengikuti kepaniteraan klinik senior bagian Ilmu Kesehatan Anak Program
Studi Kedokteran Universitas Abdurrab Pekanbaru.
Penulis berterima kasih yang sebesar-besarnya kepada dokter pembimbing
dr. Cherlina, Sp.A, M.Biomed atas bimbingannya selama berlangsungnya
pendidikan di bagian Ilmu Kesehatan Anak sehingga penulis dapat menyelesaikan
tugas ini.
Penulis menyadari bahwa dalam pembuatan laporan kasus ini masih
terdapat banyak kekurangan serta jauh dari kesempurnaan akibat keterbatasan
pengetahuan dan kemampuan penulis. Oleh karenanya, penulis memohon maaf
atas segala kekurangan serta diharapkan kritik dan saran yang membangun dalam
rangka perbaikan penulisan laporan kasus. Semoga laporan kasus ini dapat
bermanfaat bagi banyak pihak demi perkembangan dan kemajuan ilmu
pengetahuan.
Demikian yang dapat saya sampaikan, mudah-mudahan Journal Reading
ini dapat bermanfaat bagi para pembaca, khususnya bagi kami yang sedang
menempuh pendidikan.
Rizki Ramadhan
ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR....................................................................................
DAFTAR ISI...................................................................................................
BAB I : PENDAHULUAN.............................................................................
BAB II : TINJAUAN PUSTAKA..................................................................
A. KEJANG DEMAM.............................................................................
2.1 Definisi................................................................................................
2.2 Faktor risiko.........................................................................................
2.3 Etiologi................................................................................................
2.4 Klasifikasi............................................................................................
2.5 Patofisiologi.........................................................................................
2.6 Manifestasi klinis.................................................................................
2.7 Diagnosis.............................................................................................
2.8 Penatalaksanaan...................................................................................
2.9 Diagnosis Banding...............................................................................
2.10 Prognosis...........................................................................................
B. DIARE AKUT.....................................................................................
2.1 Definisi................................................................................................
2.2 Etiologi................................................................................................
2.3 Patofisiologi.........................................................................................
2.4 Manifestasi klinis.................................................................................
2.5 Diagnosis.............................................................................................
2.6 Penatalaksanaan...................................................................................
2.7 Diagnosis Banding...............................................................................
2.8 Prognosis.............................................................................................
BAB III : STATUS PASIEN..........................................................................
BAB IV : ANALISA KASUS.........................................................................
BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN.......................................................
iii
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................
LAMPIRAN ...................................................................................................
1. PPT.......................................................................................................
PENUTUP.......................................................................................................
iv
BAB I
PENDAHULUAN
Kejang demam merupakan salah satu penyakit yang sering dijumpai pada
bayi dan anak. Berdasarkan data WHO tahun 2012 angka insidensi penyakit
kejang demam masih tinggi, tercatat 80% terjadi di negara-negara miskin dan 3,5-
10,7% terjadi di negara maju. Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI)
menyebutkan, tercatat 35% kasus kejang demam yang ditangani (1). pendapat ahli
terbanyak kejang demam terjadi pada waktu anak berusia antara 3 bulan sampai 5
tahun. berkisar 2,2% - 5% kasus anak mengalami kejang demam sebelum mereka
mencapai usia 5 tahun. Terbanyak bangkitan kejang deman terjadi pada anak usia
antara 6 bulan sampai 22 bulan.(1)
Fenomena yang banyak terjadi di Indonesia, saat demam tidak ditangani
dengan baik oleh orang tua, seperti tidak segera memberikan kompres pada anak
ketika terjadi kejang demam, tidak memberikan obat penurun demam, dan
sebagaian orang tua justru membawa anaknya kedukun. Sehingga terjadinya
keterlamabatan bagi petugas dalam menangani kejang demam.(1)
Kejang demam adalah kejang yang terkait demam dan usia serta tidak
didapatkan infeksi intrakranial ataupun kelainan di otak. Kejang demam
merupakan salah satu kelainan saraf tersering pada anak. Faktor risiko yang
berperan dalam terjadinya kejang demam yaitu faktor demam, usia, riwayat
keluarga, riwayat prenatal dan riwayat perinatal. (2)
Angka Mortalitas dari kejang demam berkisar 0,64%-0,75%, dengan
prognosis kejang demam baik dan sebagian besar penderita kejang demam
sembuh sempurna, sebagian berkembang kasus kejang demam berkembang
menjadi epilepsi dan dapat mengakibatkan gangguan tingkah laku serta penurunan
intelegensi dalam pencapaian tingkat akademik. (2)
Tindakan pencegahan terhadap bangkitan kejang demam berupa pemberian
terapi farmakologi yaitu antipiretik dan antikonvulsan. Jenis obat yang sering
deigunakan adalah fenobarbital, asam valproate, dan fenitoin, obat harus diberikan
dengan indikasi yang tepat sehingga dapat mencegah terjadinya kejang demam
berulang.(3)
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
6
Perubahan kenaikan temperatur tubuh berpengaruh terhadap nilai ambang
kejang dan eksibilitias neural, karena kenaikan suhu tubuh berpengaruh pada
kanal ion dan metabolisme seluler serta produksi ATP. Setiap kenaikan suhu
tubuh satu derajat celcius akan meningkatkan metabolisme karbohidrat 10-
15% sehingga dengan adanya peningkatan suhu akan mengakibatkan
peningkatan kebutuhan glukosa dan oksigen. Pada demam tinggi akan dapat
mengakibatkan hipoksi jaringan termasuk jaringan otak. Keadaan ini akan
menganggu fungsi normal dari pompa Na+ dan reuptake asam glutamate sel
glia. Kedua hal tersebut mengakibatkan masuknya ion Na+ ke dalam sel,
meningkatkan timbunan asam glutamate ekstrasel Timbunan asma glutamate
akan meningkatkan permeabilitas membran sel terhadap ion Na+ sehingga
semakin meningkatkan masuknya ion Na+ ke dalam sel. Masuknya ion Na+
kedalam sel dipermudah dengan adanya demam, sebab demam akan
meningkatkan mobilitas dan benturan ion terhadap membran sel. Perubahan
konsentrasi ion Na+ intra dan ekstrasel tersebut akan mengakibatkan
perubahan potensial membrane sel neuron sehingga membrane sel dalam
keadaan depolarisasi. Disamping itu, demam dapat merusak neuron GABA-
ergik sehingga fungsi inhibisi terganggu.(4)
Kenaikan suhu yang terjadi secara mendadak menyebabkan kenaikan
kadar asam glutamate dan menurunkan kadar glutamin. Tetapi sebaliknya
kenaikan suhu tubuh secara pelan tidak menyebabkan kenaikan kadar asam
glutamate. Perubahan glutamin menjadi asam glutamate dipengaruhi oleh
kenaikan suhu tubuh. Asam glutamate merupakan eksitator. Sedangkan
GABA sebagai inhibitor tidak dipengaruhi oleh kenaikan suhu mendadak. (4)
b. Faktor usia
Tahap perkembangan otak dibagi menjadi 6 fase yaitu: 1) neurulasi, 2)
perkembangan prosensefali, 3) proliferasi neuron, 4) migrasi seural, 5)
organisasi dan 6) mielinisasi. Tahapan perkembangan otak intrauteri dimulai
fase neuralasi sampai migrasi neural. Fase perkembangan organisasi dan
mielinisasi masih berlanjut pasca postnatal. Pembentukan reseptor untuk
eksitator lebih awal dibandingkan inhibitor. Pada keadaan otak belum matang
7
reseptor untuk asam glutamate sebagai reseptor eksitator yang aktif,
sedangkan GABA sebagai inhibitor yang kurang aktif, sehingga eksitasi lebih
dominan dari pada inhibisi. Corticotropin raleasing hormone (CRH)
merupakan neuropeptide eksitator, berpotensi sebagai prokonvulsan. Pada
otak belum matang kadar CRH di hipokampus tinggi sehingga berpotentsi
untuk terjadinya bangkitan kejang apabila terpicu oleh demam. (4)
c. Faktor riwayat keluarga
Belum dapat dipastikan cara pewarisan sifat genetik terkait kejang demam.
Namun pewarisan gen secara autosomal dominan paling banyak ditemukan.
penetrasi autosomal dominan diperkirakan sekitar 60-80%. Apabila salah satu
orang tua penderita dengan riwayat pernah menderita kejang demam
mempunyai resiko untuk terjadinya kejang demam sebesar 20-22%. Dan
apabila kedua orang tua penderita tersebut mempunyai riwayat pernah
menderita kejang demam meningkat menjadi 59-64%, tetapi sebaliknya
apabila keduanya orang tua penderita tidak pernah mengalami kejang demam
sebelumnya maka resiko terjadinya kejang demam 9%.(4)
d. Usia saat ibu hamil
Usia ibu pada saat ibu hamil sangat menentukan status kesehatan bayi
yang akan dilahirkan. Usia ibu kurang dari 20 tahun atau lebih dari 35 tahun
dapat mengakibatkan berbagai komplikasi dalam kehamilan dan persalinan.
Komplikasi kehamilan dan persalinan dapat menyebabkan prematuritas, bayi
berat lahir rendah, penyulit persalinan dan partus lama. Keadaan tersebut
dapat mengakibatkan janin asfiksia. Pada asfiksia akan terjadi hipoksi dan
iskemia, Hipoksia dapat mengakibatkan rusaknya faktor inhibisi dan atau
meningkatnya funsi neuron eksitasi, sehingga mudah timbul kejang bila ada
rangsangan yang memadai.(4)
e. Kehamilan dengan eklamsia dan hipertensi
Ibu yang mengalami komplikasi kehamilan seperti plasenta previa dan
eklamsia dapat menyebabkan asfiksia pada bayi. Eklamsia dapat terjadi pada
kehamilan primipara atau usia pada saat hamil diatas 30 tahun. Penelitian
terhadap kejang pada anak sebesar 9% disebabkan oleh karena adanya
8
riwayat eklamsia selama kehamilan. Asfiksia disebabkan oleh karena adanya
hipoksia pada bayi yang dapat berakibat timbulnya kejang. Hipertensi pada
ibu dapat menyebabkan aliran darah ke plasenta berkurang sehingga berakibat
keterlambatan pertumbuhan intrauterin dan bayi berat lahir rendah. (4)
f. Asfiksia
Trauma persalinan akan menimbulkan asfiksia perinatal atau perdarah
intrakranial. penyebab yang paling banyak akibat gangguan prenatal dan
proses persalinan adalah asfiksia, yang akan menimbulkan lesi pada daerah
hikokampus dan selanjutnya menimbulkan kejang. Pada asfiksia perinatal
akan terjadi hipoksia dan iskemi dijaringan otak. Keadaan ini dapat
menimbulkan bangkitan kejang, baik pada stadium akut dan frekuensi
bergantung pada derajat beratnya asfiksia, usia janin dan lamanya asfiksia
berlangsung. Bangkitan kejang biasanya mulai timbul 6-12 jam setelah lahir
dan didapat pada 50% kasus, setelah 12-14 jam bangkitan kejang menjadi
lebih sering dan hebat. pada 75%-90% kasus akan didapatkan gejala sisa
gangguan neurologis yaitu diantaranya kejang. Hipoksia dan iskemia akan
menyebabkan peninggian cairan dan Na intraseluler sehingga terjadinya edem
otak. Hipoksia dapat mengakibatkan rusaknya faktor inhibisi dan atau
meningkatkann fungsi neuron eksitasi, shingga mudah timbul kejang bila ada
rangsangan yang memadai.(4)
g. Bayi berat lahir rendah
Bayi berat lahir rendah (BBLR) dapat menyebabkan asfiksia atau iskemia
otak dan perdarahan intraventrikular. Iskemia otak dapat menyebabkan
kejang. Bayi dengan BBLR dapat mengalami gangguan metabolisme yaitu
hipoglikemia atau hipokalsemia. Keadaan ini dapat menyebabkan kerusakan
otak pada periode perinatal. Adanya kerusakan otak, dapat menyebabkan
kejang pada perkembangan.(4)
h. Kelahiran premature dan postmature
Pada bayi prematur, perkembangan alat-alat tubuh kurang sempurna
sehingga belum berfungsi dengan baik. Pada 50% bayi premature menderita
apnea, asfiksia berat, sindrom gangguan pernapasan sehingga bayi menjadi
9
hipoksia. Keadaam ini menyebabkan aliran darah ke otak berkurang. Bila
keadaan ini sering timbul dan tiap serangan lebih dari 20 detik maka
kemungkinan timbulnya kerusakan otak yang permanen lebih besar. (6) Pada
bayi yang dilahirkan lewat waktu atau postmature akan terjadi proses penuaan
plasenta, sehingga permukaan makanan dan oksigen akan menurun.
Komplikasi yang dapat dialami oleh bayi yang lahir postmature ialah suhu
yang tidak stabil, hipoglikemia, dan kelainan neurologis.(4)
i. Partus lama
Partus lama yaitu persalinan kala I lebih dari 12 jam dan kala II lebih dari
1 jam. Pada primigravida biasanya kala I sekitar 13 jam dan kala II 1,5 jam.
Sedangkan multigravida, kala I 7 jam dan kala II 1-5 jam. Persalinan yang
sukar dan lama meningkatkan resiko terjadinya cedera mekanik dan hipoksia
janin. Manifestasi klinis dari cedera mekanik dan hipoksia dapat berupa
kejang.(4)
j. Persalinan dengan alat
Persalinan yang sulit termasuk persalinan dengan bantuan alat dan
kelainan letak dapat menyebabkan trauma lahir atau cedera mekanik pada
kepala bayi. persalinan yang sulit terutama bila terdapat kelainan dan
disproporsi sefalopelvik, dapat menyebabkan perdarahn subdural. Perdarahn
subarachnoid dapat terjadi pada bayi premature dan cukup bulan karena
trauma. Manifestasi neurologis dari perdarahn tersebut dapat berupa iritabel
dan kejang. Cedera karena kompresi kepala yang dapat berakibat distorsi dan
kompresi otak, sehingga terjadi perdarahn atau udem otak, keadaan ini dapat
menimbulkan kerusakan otak, dengan kejang sebagai manifestasi klinisnya. (4)
2.3 Etiologi
Penyebab kejang demam hingga saat ini belum diketahui dengan pasti.
Kejang demam tidak selalu timbul pada suhu yang tinggi dikarenakan pada suhu
yang tidak terlalu tinggi juga dapat menyebabkan kejang. Kondisi yang dapat
menyebabkan kejang demam diantaranya adalah infeksi yang mengenai jaringan
ekstrakranial seperti otitismedia akut, bronkitis dan tonsilitis. Selain itu penyebab
terjadinya kejanf demam antara lain yaitu obat-obatan, ketidak seimbangan
10
kimiawi seperti hiperkalemia, hipoglikemia, asidosis, demam, patologis otak dan
eklamsia.(6)
Identifikasi dari penyebab kejang sangat membantu mengidentifikasi pilihan
pengobatan yang sesuai dan kemungkinan prognosis anak. pertimbangan pertama
harus menentukan apakah kejang merupakan bangkitan atau tidak(7)
Genetik berkontribusi terhadap insidensi kejang demam. Kejang demam
merupakan contoh klasik dari interaksi dari faktor lingkungan (demam) dan faktor
predisposisi. Predisposisi genetik jelas sekali memiliki peran utama terhadap
riwayat kejang demam pada keluarga dan merupakan faktor risiko mayor pada
kejang demam.(7) Pada banyak keluarga kelainan autosomal dominan yang
diwarisi, dan gen tunggal ganda telah terindentifikasi. Gen tunggal yang telah
teridintifikasi yaitu gen FEB 1,2,3,4,5,6 dan 7 pada kromosom 8q13-q21,
19p13.3, 2q24, 5q14-q15, 6q22-24, 18q11.2 dan 21q22. Hanya fungso dari FEB
2yang diketahui, yaitu gen kanal sodium, SCNIA(9) Mutasi gen tunggal juga telah
teridentifiaski dapat mempengaruhi GABA dan kanal sodium.(8)
Selain penyebab kejam demam menurut data profil kesehatan Indonesia tahun
2012 yaitu didapatkan 10 penyakti yang sering rawat inap di rumah sakit
diantaranya adalah diare dan penyakit gastroenteritis oleh penyebab infeksi
tertentu, demam tifoid. demam berdarah dengue dan paratifoid, penyulit
kehamilan, dispepsia, hipertensi esensial, cidera intrakranial, indeksi saluran
pernafasan atas dan pneumonia. Kejang pada neonatus dan anak bukanlah suatu
penyakit, namun merupakan suatu gejala penting akan adanya penyakit lain
sebagai penyebab kejang atau adanya kelainan susunan saraf pusat. Penyebab
sekundernya adalah gangguan metabolik atau penyakit lain seperti penyakit
infeksi. Negara berkembang, kejang pada neonatus dan anak sering disebabkan
oleh tetanus neonatus, sepsis, meningitis, ensefalitis, perdarahan otak dan cacat
bawaan. Penyebab kejang pada neonatus, baik primer maupun sekunder umumnya
berkaitan erat dengan kondisi bayi didalam kandungan dan saat proses persalinan
serta masa-masa bayi baru lahir. Menurut penelitian yang dilakukan di Iran,
penyebab kejang demam karena infeksi virus dan bakteri.(2)
11
2.4 Klasifikasi
1. Kejang demam sederhana (simple febrile seizure)(3)
Kejang demam yang berlangsung singkat (<15 menit), bentuk kejang
umum (tonik dan atau klonik), serta tidak berulang dalam waktu 24
jam. Keterangan:
a. Kejang demam sederhana merupakan 80% diantara seluruh kejang
demam.
b. Sebagian besar kejang demam sederhana berlangsung kurang dari 5
menit dan berhenti sendiri.
2. Kejang demam kompleks (complex febrile seizure)
Kejang demam dengan salah satu ciri berikut:
a. Kejang lama (>15 menit)
b. Kejang fokal atau parsial satu sisi, atau kejang umum didahului
kejang parsial. berulang atau lebih dari 1x dalam waktu 24 jam.
2.5 Patofisiologi
kejang merupakan manifestasi klinis akibat terjadinya pelepasan muatan
listrik yang berlebihan di sel neuron otak karena gangguan fungsi pada neuron
tersebut baik berupa fisiologi, biokimiawi, maupun anatomi. sel saraf seperti juga
sel hidup umumnya, mempunyai potensial membrane. potensial membrane yaitu
selisih potensial antara intrasel dan ekstrasel. dalam keadaan istirahat potensial
membrane berkisar antara 30-100 mV, selisih potensial membrane ini akan tetap
sama selama sel tidak mendapatkan ransangan. potensial membrane ini terjadi
akibat perbedaan letak dan jumlah ion-ion terutama ino Na+, K+, dan Ca++. bila
sel saraf mengalami stimulasi akan mengakibatkan menurunnya potensial
membrane, penurunan potensial membrane ini akan mengakibatkan permeabilitas
membrane terhadap ion Na+ akan lebih banyak masuk kedalam sel selama
serangan ini lemah, perubahan potensial membrane masih dapat dikompensasi
oleh transport aktif ion Na+ dan Ion K+, sehingga selisih potensial kembali ke
keadaan istirahat. perubahan potensial yang demikian sifatnya tidak menjalar yang
disebabkan sebagai respon lokal. (7)
12
bila ransangan cukup kuat, perubahan potensial dapat mencapai ambang tetap
(firing level), maka permeabilitas membrane terhadap Na+ akan meningkatkan
secara besar-besaran sehingga timbul spike potensial atau potensial aksi. potensial
aksi ini akan dihantarkan oleh sel saraf berikutnya melalui sinaps dengan
perantara zat kimia yang dikenal sebagai neurotransmitter. Bila perangsangan
telah selesai, maka permeabilitas membrane kembali ke keadaan istirahat, dengan
cara Na+ akan kembali keluar sel dan K+ masuk ke dalam sel melalui mekanisme
pompa Na-K yang membutuhkan ATP dari sintesa glukosa dan oksigen. (4)
Mekanisme terjadinya kejang ada beberapa teori:
a. Gangguan pembentukan ATP dengan akibat kegagalan pompa Na-K
misalnya pada hipoksemia, iskemia, dan hipoglikemia. Sedangkan pada
kejang sendiri dapat terjadi pengurangan ATP dan terjadi hipoksemia.
b. Perubahan permeabilitas membrane sel saraf, misalnya hipokalsemia dan
hipomagnesemia.
c. Perubahan relatif neurotransmitter yang bersifat eksitasi dibandingkan
dengan neurotransmitter inhibisi dapat menyebabkan depolarisasi yang
berlebihan. Misalnya ketidakseimbangan antara GABA atau glutamate akan
menimbulkan kejang.
Patofisiologi kejang demam secara pasti belum diketahui, diperkirakan bahwa
pada keadaan demam terjadi peningkatan reaksi kimia tubuh. Dengan demikian
reaksi-reaksi oksidasi terjadi lebih cepat dan akibatnya oksigen akan lebih cepat
habis, terjadilah keadaan hipoksia. Transpor aktif yang memerlukan ATP
terganggu, sehingga Na intrasel dan K ekstrasel meningkat yang akan
menyebabkan potensial membrane cenderung turun atau kepekaan sel saraf
meningkat. (7)
Pada saat kejang demam akan timbul kenaikan konsumsi energi di otak,
jantung,oto, dan terjadi gangguan pusat pengaturan suhu tubuh. Demam akan
menyebabkan kejang bertambah lama, sehingga kerusakan otak makin bertambah.
Pada kejang yang lama akan terjadi perubahan sistemik berupa hipotensi artrial,
hiperpireksia sekunder akibat aktifitas motorik dan hiperglikemia. Semua hal ini
akan mengakibatkan iskemi neuron karena kegagalan metabolisme otak.(8)
13
Demam dapat menimbulkan kejang melalui mekanisme sebagai berikut:
a. Demam dapat menurunkan nilai ambang kejang pada sel-sel yang belum
matang
b. Timbul dehidrasi sehingga terjadi gangguan elektrolit yang menyebabkan
gnagguan permeabilitas membrane sel
c. Metabolisme basal meningkat, sehingga terjadi penimbunan asam laktat
dan CO2 yang akan merusak neuron
d. Demam meningkatkan cerebral blood flow (CBF) serta meningkatkan
kebutuhan oksigen dan glukosa, sehingga menyebabkan gangguan
pengaliran ion-ion keluar masuk.
Kejang demam yang berlangsung singkat pada umumnya tidak akan
meninggalkan gejala sisa. Pada kejang demam yang lama (> 15 menit) biasanya
diikuti dengan apnea, hipksemia (disebabkan oleh meningkatknya kebutuhan
oksigen dan energi untuk kontraksi otot skelet), asidosis laktat (disebabkan oleh
metabolisme anaerob), hipoksi arterial, dan selanjutnya menyebabkan
metabolisme otak meningkat. Rangkaian kejadian di atas menyebabkan gangguan
peredaran darah di otak, sehingga terjadi hipoksemia dan edema otak, pada
akhirnya terjadi kerusakan sel neuron. (7)
2.6 Manifestasi Klinis
Kejang demam sederhana(4)
Kejang berlangsung singkat <15 menit
Sifat kejang umum (tonik-klonik)
Tidak berulang dalam 24 jam
Kejang demam kompleks
Kejang berlangsung lama >15 menit
Kejang dengan fokal atau parsial satu sisi, atau kejang umum didahului
kejang parsial
Kejang berulang >1x dalam 24jam
14
2.7 Diagnosis
1. Anamnesis(7)
Anak-anak dengan kejang demam sederhana sehat secara neurologis
dan perkembangan sebelum dan setelah kejang
Mereka tidak mengalami kejang tanpa demam
Kejang digambarkan sebagai klonik umum atau kejang tonik-klonik
umum
Tanda-tanda kejang fokal selama onset atau periode postical ( misalnya,
gerakan klonik awal 1 tungaki atau tungaki pada 1 sisi, tungkai lemah
secara postictal) akan menyingkirkan kejang demam sederhana
Demikian pula, aktivitas kejang demam sederhajan tidak berlanjut
selama lebh dari 15 menit, meskipun periode kantuk atau kebingungan
pasca bedah dapat melampaui batas maksimum 15 menit
Kejang demam sederhana sering terjadi dengan peningkatan suhu awal
pada awal penyakit. kejang mungkin merupakan indikiasi pertama
bahwa anak itu sakit. meskipun tidak ada cutoff yang jelas diketahui,
suhu rektal dibawah 380c haru menimbulkan kekhawatiran bahwa
kejadian itu bukan kejang demam sederhana
2. Pemeriksaan Fisik
Temuan pemeriksaan fisik menunjukkan anak yang sehat secara
neurologis dan perkembangan. sangat penting bahwa anak tidak memiliki
tanda meningitis atau ensefalitis (misalnya leher kaku atau perubahan status
mental persisten(4).
3. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan laboratorium(3)
Pemeriksaan laboratorium tidak dilakukan secara rutin pada kejang
demam, tetapi dapat dikerjakan untuk evaluasi sumber infeksi penyebab
demam. Pemeriksaan laboratorium yang dapat dikerjakan atas indikasi
misalnya darah perifer, elektrolit, dan gula darah.
b. Pemeriksaan pungsi lumbal(3)
15
Pemeriksaan cairan serebrospinal dilakukan untuk menegakkan atau
menyingkirkan kemungkinan meningitis. Berdasarkan bukti-bukti terbaru,
saat ini pemeriksaan lumbal tidak dilakukan secara rutin pada anak berusia
<12 bulan yang mengalami kejang demam sederhana dengan keadaan
umum membaik.
Indikasi pungsi lumbal:
Terdapat tanda dan gejala rangsang meningeal
Terdapat kecerugiaan adanya infeksi SSP berdasarkan anamnesis
dan pemeriksaan klinis
Dipertimbangkan pada anak dengan kejang disertai demam yang
sebelumnya telah mendapatkan antibiotik dan pemberian antibiotik
tersebut dapat mengaburkan tanda dan gejala meningitis
c. Elektroensefalogragi (EEG)
Indikasi pemeriksaan EEG:(3)
Pmeriksaan EEG tidak diperlukan untuk kejang demam, kecuali
apabila bangkitan bersifat lokal
EEG hanya dilakukan pada kejang fokal untuk menentukan adanya
fokus kejang diotak yang membutuhkan evaluasi lebih lanjut
d. Pencitraan(4)
Pemeriksaan neuroimaging (CT scan atau MRI kepala) tidak rutin
dilakukan pada anak dengan kejang demam sederhana. Pemeriksaan
tersebut dilakukan bila terdapat indikasi, seperti kelainan neurologis fokal
yang menetap, misalnya hemiparesis atau paresis nervus kranialis.
2.8 Diagnosis banding
Ensefalitis(5) Meningitis(5)
Infeksi jaringan otak Radang selaput otak yang disebabkan
Etiologi bakteri, protozoa, oleh bakteri patogen. ditandai dengan
cacing,virus peningkatan jumlah sel PMN dalam
Manifestasi klinis LCS dan terbukti adanya bakteri
Gejala khas berupa suhu naik penyebab infeksi dalam LCS
mendadak naik, nyeri kepala dan Anamnesis
16
muntah didahului dengan Infeksi saluran
kejang bersifat umum dan atau napas atas atau pencernaan
fokal atau hanya twitching saja demam
kesadaran menurun nyeri kepala
gejala serebral lainnya dapat dengan atau tanpa penurunan
berupa ataksis, paresis, paralisis, kesadaran
afisia dan lainnya Pemeriksaan Fisik
gerakan involunter Penurunan kesadaran
Pemeriksaan laboratorium meningeal sign (+) dan deficit
LCS biasanya jernih dengan sel neurologis
normal atau sedikit meningkat 50- Pemeriksaan penunjang
500/mm3 Pungsi lumbal jumlah sel 100-
darah tepi lengkap 10.000/µl dengan hitung jenis sel
menunjukkan PMN ringan atau PMN
leukositosis MN Protein 200-500 mg/dl
MRI/CT Scan kepala edem otak Glukosa <40 mg/dl
baik umum atau lokal Pewarnaan gram
EEG gambaran abnormal Identifikasi antigen (aglutinasi latex)
berupa aktivitas gelombang lambat
2.9 Penatalaksanaan
Pada kebanyakan kasus, biasanya kejang demam berlangsung singkat dan
saat pasien datang kejang sudah berhenti. Bila datang dalam keadaan kejang,
obat yang paling cepat menghentikan kejang adalah diazepam intravena 0,3-0,5
mg/kgBB, dengan cara pemberian secara perlahan dengan kecepatan 1-2
mg/menit atau dalam 3-5 menit, dan dosis maksimal yang dapat diberikan adalah
20 mg.(9)
Obat yang praktis dan dapat diberikan oleh orang tua atau jika kejang terjadi
di rumah adalah diazepam rektal 0,5-0,75 mg/kgBB, atau diazepam rektal 5 mg
untuk anak dengan berat badan kurang dari 10 kg dan diazepam rektal 10 mg
untuk berat badan lebih dari 10 kg. Jika anak di bawah usia 3 tahun dapat diberi
17
diazepam rektal 5 mg dan untuk anak di atas usia 3 tahun diberi diazepam rektal
7,5 mg. Jika kejang belum berhenti, dapat diulang dengan cara dan dosis yang
sama dengan interval 5 menit. Jika setelah 2 kali pemberian diazepam rektal
masih tetap kejang, dianjurkan untuk dibawa ke rumah sakit. (9)
Di rumah sakit dapat diberikan diazepam intravena dengan dosis 0,3-0,5
mg/kgBB. Jika kejang tetap belum berhenti, maka diberikan phenytoin intravena
dengan dosis awal 10-20 mg/kgBB/kali dengan kecepatan 1 mg/kgBB/menit
atau kurang dari 50 mg/menit. Jika kejang berhenti, maka dosis selanjutnya
adalah 4-8 mg/kgBB/hari, dimulai 12 jam setelah dosis awal. Jika dengan
phenytoin kejang belum berhenti, maka pasien harus dirawat di ruang rawat
intensif. Jika kejang telah berhenti, pemberian obat selanjutnya tergantung
apakah kejang demam sederhana atau kompleks dan faktor risikonya. (9)
18
1. Berikan oksigen 2-3 liter/menit nasal
2. Berikan anti kejang dengan:
Stesolid rectal: 5 mg untuk anak dengan berat badan <10kg dan 10 mg
untuk anak dengan berat badan >10kg
Atau diazepam/valium 03-05mg/kgBB/iv
3. Bila kejang berhenti ( dengan pemberian antikejang yang pertama) maka
diberikan fenobarbital im loading dose: Anak <1 bulan: 30mg/im, anak 1
bulan-1 tahun: 50 mg/im, anak >1 tahun: 75 mg/im
4. Bila kejang tidak berhenti (dengan pemberian antikejang pertama)
diberikan stesolid ke 2 setelah 3-5 menit. Bila kejang berhenti
selanjutnya diberikan fenobarbital seperti diatas.
5. Bila kejang tidak berhenti setelah pemberian stesolid ke 2 maka
diberikan fenitoin/ dilantin 10-20 mg/kgbb/iv
6. Kejang berhenti (setelah diberikan fenitoin/dilantin injeksi) maka
selanjutnya diberikan dilantin/fenitoin oral 5-7 mg/kgbb/ hari dibagi 3
dosis selama 12 jam kemudian.
7. Bila dengan Pemberian Fenitoin/dilantin iv tidak berhenti kejangnya
maka diberikan drip diazepam dan dirawat di ICU
Anti Piretik
Antipiretik tidak terbukti mengurangi risiko kejang demam, namun para
ahli di Indonesia sepakat bahwa antipiretik tetap dapat diberikan. Dosis
paracetamol adalah 10-15 mg/kgBB/kali diberikan 4 kali sehari dan tidak
boleh lebih dari 5 kali. Dosis ibuprofen 5-10 mg/kgBB/kali, 3-4 kali sehari.
Meskipun jarang, acetylsalicylic acid dapat. (10)
Anti Konvulsan
Diazepam oral dosis 0,3 mg/kgBB tiap 8 jam saat demam menurunkan
risiko berulangnya kejang pada 30-60% kasus, juga dengan diazepam rektal
dosis 0,5 mg/kgBB tiap 8 jam pada suhu >38,50 C. Dosis tersebut dapat
menyebabkan ataksia, iritabel, dan sedasi cukup berat pada 25-39% kasus.
Phenobarbital, carbamazepine, dan phenytoin saat demam tidak berguna
untuk mencegah kejang demam. (10)
19
Pemberian obat rumat/Profilaksis(10)
Indikasi pemberian obat rumat/profilaksis hanya pada penderita kejang
demam yang menunjukkan ciri-ciri sebagai berikut (salah satu):
a. Kejang lama >15 menit
b. Adanya kelainan neurologi yang nyata sebelum dan sesudah kejang
misalnya hemiparesis, Todd, Cerebral palsi, retardasi mental,
Hidrosefalus.
c. Kejang fokal
d. Pengobatan rumit dipertimbangkan bila
Kejang berulang 2 x atau lebih dalam 24 jam
Kejang demam terjadi pada bayi kurang dari 12 bulan dan demam
> 4 x pertahun
Kelainan neurologis tidak nyata misalnya keterlambatan
perkembangan ringan bukan merupakan indikasi pengobatan
rumit/profilaksis
Kejang fokal atau fokal menjadi umum menunjukkan bahwa anak
mempunyai fokus organik
Ada 2 jenis pengobatan rumat/profilaksis yaitu: (10)
Ruamatan/profilaksis intermitten yaitu pada demam berupa anti
piretik dan anti kejang, saat ini lebih diutamakan profilaksis
intermitten.
Rumatan/Profilaksis jangka panjang yaitu pemberian terus-
menerus
Jenis obat untuk profilaksis intermitten adalah:
Pemberian obat diberikan pada suhu 38,50 C
Pada anak dengan kejang demam sederhana
Obat yang digunakan: diazepam, oral dengan dosis 0,3-0,5
mg/kgbb dibagi dalam 3 dosis saat pasien demam
20
Dapat juga diberikan diazepam rectal tiap 8 jam sebanyak 5
mg (BB<10kg) dan 10 mg(BB>10kg) setiap pasien
menunjukkan suhu > 38,50C
Profilaksis intermitten ini sebaiknya diberikan sampai anak
berumur 4 tahun (usia menderita kejang demam sederhana
sangat kecil).
Edukasi Pada Orang Tua
Kejang merupakan peristiwa yang menakutkan bagi setiap orang tua.
Pada saat kejang, sebagian besar orang tua beranggapan bahwa anaknya
akan meninggal. Kecemasan tersebut harus dikurangi dengan cara
diantaranya: (3)
Meyakinkan orang tua bahwa kejang demam umumnya mempunyai
prognosis baik.
memberitahukan cara penanganan kejang.
Memberikan informasi mengenai kemungkinan kejang kembali
Pemberian obat profilaksis untuk mencegah berulangnya kejang
demam memang efektif, tetapi harus diingat adanya efek samping
obat.
Beberapa orang yang harus dikerjakan bila anak kejang(3)
Tetap tenang dan tidak panik
Longgarkan pakaian yang ketat terutama di sekitar leher
Bila anak tidak sadar, posisikan anak miring. Bila terdapat muntah,
bersihkan muntahan atau lendir di mulut atau hidung.
Walaupun terdapat kemungkinan (yang sesungguhnya sangat kecil)
lidah tergigit, jangan memasukkan sesuatu kedalam mulut.
Tetap bersama anak selama dan sesudah kejang.
Berikan diazepam rektal bila kejang masih berlangsung lebih dari 5
menit. Jangan berikan bila kejang telah berhenti. Diazepam rektal
hanya boleh diberikan satu kali oleh orang tua.
21
Bawa kedokter atau rumah sakit bila kejang berlangsung 5 menit
atau lebih, suhu tubuh lebih dari 40 derajat celcius, kejang tidak
berhenti dengan diazepam rektal, kejang okal, setelah kejang anak
tidak sadar, atau terdapat kelumpuhan.
Vaksinasi
Sampai saat ini tidak ada kontraindikasi untuk melakukan vaksinasi
pada anak dengan riwayat kejang demam. Kejang setelah demam
karena vaksinasi sangat jarang. Suatu studi kohort menunjukkan bahwa
risiko relatif kejang demam terkait vaksin dibandingkan dengan kejang
demam tidak terkait vaksin adalah 1,6 (IK 95% 1,27 sampai 2,11).
Angka kejadian kejang demam pascavaksinasi DPT adalah 6-9 kasus
per 100.000 anak yang divaksinasi, sedangkan setelah vaksin MMR
adalah 25-34 kasus per 100.000 anak. Pada keadaan tersebut,
dianjurkan pemberian diazepam intermitten dan parasetamol
profilaksis. (3)
2.10 Prognosis
Prognosis kejang demam secara umum baik, akan tetapi jika kejang demam
tidak teratasi atau kejang demam bersifat berulang akan berpotensi sebagai
berikut: (3)
1. Kecacatan atau kelainan neurologis
2. kemungkinan berulangnya kejang demam
3. Faktor risiko menjadi epilepsi dikemudian hari
22
1. Bakteri : Shigella, Salmonella, E.Coli, Clostrodium perfringens,
Staphylococcus aureus, Campylobacter aeromonas, Bacillus Aureus
2. Virus : Rotavirus, Adenovirus, Norwalk virus, Coronavirus, Astrovirus
3. Parasit : Protozoa, Entamoeba Hystolytica, Giardia lamblia, Balantidium
coli, Trichirus trichiura, Crytosporidium parvum, Strongyloides
stercolaris
4. Non Infeksi : malabsorpsi, keracunan makanan, alergi, gangguan
motilitas, immunodefisiensi, kesulitan makan, dll
2.3 Faktor risiko
Penularan diare dapat dengan cara fekal-oral, yaitu melalui makanan atau
minuman yang tercemar oleh enteropatogen, kontak tangan langsung dengan
penderita, barang-barang yang telah tercemar tinja penderita atau secara tidak
langsung melalui lalat. Cara penularan ini dikenal dengan istilah 5F, yaitu
Faeces, finger, flies, fluid, field.
Faktor perilaku antara lain:
Tidak memberikan ASI ekslusif, MP ASI terlalu dini akan mempercepat
bayi kontak terhadap kuman
menggunakan botol susu terbukti meningkatkan risiko terkena penyakit
karena sangat sulit untuk membersihkan botol susu.
Tidak menerapkan kebiasaan cuci tangan pakai sabun sebelum
ASI/makan, setelah Buang Air Besar (BAB), dan setelah membersihkan
BAB anak.
Faktor lingkungan antara lain:
Ketersediaan air bersih yang tidak memadai, kurangnya ketersediaan
mandi cuci kakus (MCK)
kebersihan lingkungan dan pribadi yang buruk
Disamping faktor risiko tersebut ada beberapa faktor dari penderita dapat
meningkatkan kecendrungan untuk diare antara lain: kurang gizi/malnutrisi
terutama anak gizi buruk, penyakit imunodefisiensi dan penderita campak(12)
2.4 Patofisiologi
23
Penyebab tersering diare pada anaka dalah disebabkan oleh rotavirus. Virus
ini menyebabkan 40-60% dari kasus diare pada bayi dan anak. Setelah terpapar
dengan agen tertentu, virus akan masuk kedalam tubuh bersama dengan makanan
dan minuman. Kemudian virus akan sampai ke sel-sel epitel usus dan akan
menyebabkan infeksi dan merusak sel-sel epitel tersebut. Sel-sel epitel yang rudak
akan digantikan oleh sel enterosit baru yang berbentuk kuboid atau sel epitel
gepeng yang belum matang sehingga vili-vili usus halus mengalami atrofi dan
tidak dapat menyerap cairan dan makanan dengan baik. Cairan dan makanan yang
terkumpul didalam usus halus akan menyebabkan peningkatan tekanan osmotik
usus. Cairan dan makanan yang tidak diserap tadi akan didorong keluar melalui
anus dan terjadilah diare.(13)
Dalam sebuah penilitian yang dilakukan Wibowo 2019, menyebutkan
bahwasannya terdapat hubungan diare akut dengan dehidrasi dengan kejadian
kejang demam pada anak. Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit akan
menyebabkan perubahan konsentrasi ion di ruang ekstraseluler sehingga terjadi
ketidakseimbangan potensial membarane ATP ASE, difusi Na+, K+ kedalam sel,
depolarisasi neuron dan lepas muatan listrik dengan cepat melalui
neurotransmitter sehingga timbul kejang. Pasien dengan dehidrasi mengalami
kekurangan cairan dan elektrolit yang mengakibatkan demam, karena cairan dan
elektrolit ini merupakan komponen yang sangat berpengaruh dalam keseimbangan
termoregulasi di hipotalamus anterior, sehingga jika pasien mengalami dehidrasi
maka keseimbangan termoregulasi di hipotalamus anterior akan mengalami
gangguan. Apabila anak mengalami dehidrasi ( kehilangan cairan dan elektrolit)
maka elektrolit yang ada pada pembuluh darah akan berkurang, padahal dalam
proses metabolisme dihotalamus membutuhkan elektrolit tersebut, sehingga
kekurangan cairan dan elektrolit akan menganggu fungsi hipotalamus anterior,
daam mempertahankan keseimbangan termoregulasi dan akhirnya menyebabkan
demam.17
24
Infeksi usus menimbulkan gejala gastrointestinal serta geajala lainnya bila
terjadi komplikasi ekstraintestinal termasuk manifestasi neurologik. Gejala
gastrointestinal berupa diare, kram perut dan muntah. Sedangkan manifestasi
sistemik bervariasi tergantung pada penyebabnya. penderita dengan diare cair
mengeluarkan tinja yang mengandung sejumlah ion natrium, klorida, dan
bikarbonat. Kehilangan air dan elektrolit ini bertambah bila ada muntah dan
kehilangan air juga meningkat bila ada panas. Hal ini dapat menyebabkan
dehidrasi, asidosis metabolik, dan hipovolemia. Dehidrasi merupakan keadaan yang
paling berbahaya karena dapat menyebabkan hipovolemia, kolaps kardiovaskular
dan kematian bila tidak diobati dengan tepat. Dehidrasi yang terjadi menurut
tonisitas plasma dapat berupa dehidrasi isotonik, hipertonik, ataupun hipotonik.
Menurut derajat dehidrasinya bisa tanpa dehidrasi, dehidrasi ringan, dehidrasi
sedang, atau dehidrasi berat.
2.6 Diagnosis
1. Anamnesis
Pasien dengan diare akut datang dengan berbagai gejala klinik tergantung
penyebab dasarnya. Keluhan diare berlangsung kurang dari 15 hari. Diare
Karena penyakit usus halus biasanya berjumlah banyak, diare air, dan
sering berhubungan dengan malabsorpsi dan dehidrasi sering didapatkan.
Diare karena kelainan kolon seringkali berhubungan dengan tinja
berjumlah kecil tapi sering, bercampur darah dan ada sensasi ingin
kebelakang. Pasien dengan diare akut infektif datang dengan keluhan khas
seperti mual, muntah, nyeri abdomen, demam dan tinja yang sering,
malabsorptif, atau berdarah tergantung bakteri patogen yang spesifik.
Secara umum, patogen usus halus tidak invasif dan patogen ileokolon
lebih mengarah ke invasif. Muntah yang mulai beberapa jam dari
masuknya makanan mengarahkan kita pada keracunan makanan karena
toksin yang dihasilkan.(14)
2. Pemeriksaan Fisik
25
Pada pemeriksaan fisik perlu diperiksa: berat badan. suhu tubuh, frekensi
denhut jantung danpernapasan serta tekanan darah. Selanjutnya perlu
dicari tanda-tanda utama dehidrasi: kesadaran, rasa haus, dan turgor kulit
abdomen dan tanda-tanda tambahan lainnya: Ubun-ubun besar cekung atau
tidak, mata: cekung atau tidak, ada atau tidaknya air mata, bibir, mukosa
mulut dan lidah kering atau basah.
Tabel 2.1 Penentuan derajat dehidrasi menurut WHO 1995
Penilaian A B C
Keadaan umum Baik, Sadar Gelisah, rewel * Lesu atau tidak
sadar
Mata Normal Cekung Sangat cekun
Air Mata Ada Tidak ada Kering
Mulut Dan Lidah Basah Kering Sangat kering
Rasa Haus Minum biasa, Haus, ingin Malas minum
tidak haus minum banyak* atau tidak bisa
minum*
Turgor Kulit Kembali cepat Kembali lambat* Kembali sangat
lambat*
Hasil Tanpa dehidrasi Dehidrasi Dehidrasi berat
Pemeriksaan ringan/ sedang
Bila ada 1 tanda Bila ada 1 tanda
* ditambah 1 * ditambah 1
atau lebih tanda atau lebih tanda
lain lain
Terapi Rencana terapi Rencana terapi B Rencana terapi C
A
26
menit 140)
3. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium lengkap pada diare akut umumnya tidak
diperlukan, hanya pada keadaan tertentu mungkin diperlukan, misalnya
penyebab dasarnya tidak diketahui atau ada sebab-sebab lain selain diare
akut atau pada penderita dengan derajat dehidrasi berat.
Pemeriksaan makroskopik atau mikroskopik tinja dapat dilakukan untuk
menentukan diagnosa pasti. Secara makroskopik harus diperhatikan
bentuk, warna tinja, ada tidaknya darah, lender, pus, lemak dan lain-lain.
Pemeriksaan mikroskopik melihat ada tidaknya leukosit, eritrosit, telur
cacing, parasit, bakteri, dan lain-lain
27
1. Rehidrasi dengan menggunakan oralit baru (mengganti kehilangan cairan
yang telah terjadi, mengganti kehilangan cairan yang sedang berlangsung,
dan pemberian cairan rumatan).
2. zinc diberikan selama 10 hari berturut-turut
3. ASI dan makanan tetap diteruskan
4. Antibiotik selektif
5. Nasihat kepada orang tua
Rencana terapi B pada diare dengan dehidrasi ringan sedang:15
- Cairan rehidrasi oral (CRO) diberikan sebanyak 75 mL/kgBB dalam 3 jam
untuk mengganti kehilangan cairan yang terjadi dan sebanyak 5-10 mL/kgBB
setiap diare cair.
Bila berat badan tidak diketahui berikan oralit sesui tabel dibawah ini:
Umur sampai 4 bulan 4-12 bulan 12-24 bulan 2-5 tahun
Berat badan < 6 kg 6-10 kg 10-12 kg 12-19 kg
Jumlah cairan 200-400 400-700 700-900 900-1400
28
pipa nasogastrik. Cairan intravena yang diberikan adalah ringer laktat atau KaEN
3B atau NaCl dengan jumlah cairan dihitung berdasarkan berat badan. Status
rehidrasi dievaluasi secara berkala. 15
- Berat badan 3-10 kg : 200 mL/kgBB/hari
- Berat badan 10-15 kg : 175 mL/kgBB/hari
- Berat badan >15 kg : 135 mL/kgBB/hari
Pasien dipantau di Puskesmas/ Rumah sakit selama proses rehidrasi sambil
memberi edukasi tentang melakukan rehidrasi kepada orangtua.
Anti diare
Tidak boleh diberi obat antidiare, kecuali pada keadaan diare non
spesifik. Anti diare dan anti motilitis belum terdapat bukti yang jelas sebagai
pengobat diare.5 Obat anti diare hanya simtomatis bukan spesifik untuk
mengobati kausa, tidak memperbaiki kehilangan air dan elektrolit serta
menimbulkan efek samping yang tidak diinginkan. Anti motilitis seperti
difenosilat dan loperamid dapat menimbulkan paralisis obstruksi sehingga
terjadi bacterial overgrowth, gangguan absorpsi dan sirkulasi. 15
Antibiotik
Sebagian besar kasus diare tidak memerlukan pengobatan dengan
antibiotik oleh karena pada umumnya sembuh sendiri (self limiting). 7
Antibiotik diberikan bila ada indikasi, misalnya kholera, shigella. Penyebab
terbesar dari diare pada anak adalah virus (Rotavirus). Kecuali pada bayi
berusia di bawah 2 bulan karena potensi terjadinya sepsis oleh karena bakteri
mudah mengadakan translokasi kedalam sirkulasi.15
|Tabel 1. Terapi antibiotik untuk penyebab spesifik diare16
29
Probiotik
Pemberian Probiotik dapat menguntungkan pada anak yang mengalami diare akut.
Probiotik berperan dalam mengurangi frekuensi dan durasi diare dengan
meningkatkan respon imun. Mekanisme probiotik dalam mengurangi frekuensi
dan durasi diare adalah dengan berkompetisi untuk berlekatan pada enterosit usus,
sehingga enterosit yang telah jenuh dengan probiotik tidak dapat lagi berlekatan
dengan bakteri lain sehingga menghambat pertumbuhan bakteri patogen.16
30
BAB III
STATUS PASIEN
I. IDENTITAS PASIEN
Nama : An. Bayu
No RM : 187010/
Umur : 5 tahun 1 bulan
Berat Badan : 13 kg
Jenis Kelamin : Laki-Laki
Nama Ayah/Ibu : Tn. Nuryadi/ Ny. Erna
Alamat : Perumahan SRP (Bangkinang)
Agama : Islam
Waktu masuk RS : Minggu, 08 November 2020 jam 14.25 WIB
Kiriman dari : Datang Sendiri
31
Dikeluarga, Ny. Erna (Ibu pasien) pernah mengalami kejang demam.
e. Riwayat imunisasi
Imunisasi dasar lengkap, imunisasi lanjutan tidak ada keterangan yang
lengkap dari keluarga pasien
f. Riwayat Pemberian Makanan (gizi)
Ibu pasien mengatakan, pemberian makan cukup tetapi pasien sering
jajan-janan yang berkemasan dan minum-minuman berwana.
g. Penghasilan Keluarga
Kerja Ayah : Wiraswasta
Kerja Ibu : Ibu rumah tangga
Jumlah Anak: Jumlah anak 2 (Pasien merupakan anak kedua)
h. Riwayat perumahan dan lingkungan
Pekarangan Pohon,
teratur/tidak
Sampah
Kesan : lingkungan sehat/kurang sehat
32
b. Tanda-Tanda Vital
Nadi : 110x/menit
Pernapasan : 22x/menit
Tekanan Darah : 100/40 mmHg
Suhu : 39,7oC
antoprometri : menurut CDC persentil 25 (gizi kurang)
c. Rambut
Rambut : Hitam dan tidak mudah dicabut
d. Kulit
Kulit : Warna normal, tidak ada efloresensi
e. Kepala dan Leher
Kepala : Normocephali
Mata : Konjungtiva anemis (-/-)
Sclera ikterik (-/-)
Reflek cahaya (+/+)
mata cekung
Telinga : Tidak ada kelainan (dalam batas normal)
Hidung : Tidak ada kelainan (dalam batas normal)
Mulut : Tidak dijumpai kelainan (dalam batas normal)
pembesaran tonsil : T1/1
Faring : Faring tidak hiperemis
Leher : Tidak ada pembesaran kelenjar getah bening
(dalam batas normal)
f. Thoraks
Paru
Inspeksi : Dinding dada simetris kiri dan kanan, pergerakan
dinding dada simetris, tidak ada retraksi, tidak ada
pelebaran sela iga
Palpasi : Fremitus taktil kanan dan kiri sama
Perkusi : Sonor seluruh lapangan paru
Auskultasi : 1. Paru
33
Saluran nafas : Bronchial
Jaringan paru Wheezing (-/-)
Ronki (-/-)
Jantung
Inspeksi : Tidak terlihat pulsasi ictus cordis
Palpasi : Pulsasi ictus cordis kuat angkat, teraba pada SIC V
linea midclavicular sinistra
Auskultasi : Bunyi jantung I dan II murni regular, murmur (-),
gallop (-)
g. Abdomen
Inspeksi : Dinding perut tampak datar, pergerakan dinding
dada dan perut simetris
Palpasi : Konsistensi lunak /soepel, tidak teraba hepar dan
lien, nyeri tekan ulu hati (-)
Perkusi : Timpani seluruh lapangan abdomen
Auskultasi : Bising usus (+) < 3 detik. bising usus meningkat
h. Ekstremitas
Ekstremitas atas : akral hangat, udem (-), deformitas (-), tonus (+),
gerak (+), kekuatan (+), reflek fisiologis (+/+)
Ekstremitas bawah : akral hangat, udem (-), deformitas (-), tonus (+),
gerak (+), kekuatan (-), reflek fisiologis (+/+),
reflek patologis (-/-)
CRT : Normal
i. Genitalia dan Anus
Genitalia : Normal
Anus : Tidak ada kelainan
34
- Eritrosit : 4,600.000/mm3
- lekosit : 11,900/mm3
- hematokrit : 36,7%
- MCV : 79,6 fl
- MCH : 27.9 pg
- RDW :
- Trombosit : 259.000/mm3
- Hitung jenis lekosit : eo 0,1/ba 0,1/nseg 83,0/lym 8,4/mono8,4
- elektrolit belum diperiksa
Pemeriksaan Diabetes
Glukosa darah (stick) :116 mg/dl
V. MASALAH
1. Diagnosa Kerja : Kejang Demam Komplek
Diagnosa Tambahan : Diare akut dengan dehidrasi sedang
2. Diagnosis Gizi : gizi kurang (CDC Persentil 25)
VI. PENATALAKSANAAN
Diberikan infus ringer lactat 40 tpm, ceftriakson 2 x 1gr IV, stesolid 0,25-
0,5 mg/kgbb/iv, paracetamol syr 3x1 ½cth, zinc syr 1x 20mg, Lacto B
2x1/hari
VII. PROGNOSIS
1. Quo ad vitam (kehidupan) : bonam
2. Quo ad sanationam (kesembuhan) : bonam
3. Quo ad fungsionam (fungsi organ) : bonam
35
VIII. FOLLOW UP PASIEN
SOAP
Tanggal Keterangan
36
Hari Pasien tidak Kejang KDK, Pct Syr 3x1
IV: kejang negatif GeaDS ½ cth
11/11/20 Mencret (-) Suhu tubu (Perbaikan) Infus RL 46
20 Demam (-) 37.0 tpm
Bb: 11.7 Stesolid
TD 90/60 2x1cth
Ceftriakson
2x1 dosis:
500mg
Zing:
1x20mg
Lacto B 2x1
sachet
Cefixime
syr 2x2
37
38,7
38
didapatkan 25
(BB kurang)
sesuai umur/BB
39
BAB IV
ANALISA KASUS
Kejang demam kompleks adalah bangkitan kejang yang terjadi pada anak
berumur 6 bulan sampai 5 tahun yang mengalami kenaikan suhu tubuh diatas
38C yang tidak disebabkan oleh proses intrakranial, kriteria kejang demam
kompleks yaitu kejang lama >15 menit, kejang fokal atau parsial satu sisi, atau
kejang umum didahului kejang parsial, kejang berulang atau lebih dari 1x dalam
24 jam. Berdasarkan anamnesis pada pasien didapatkan kejang demam diusia 5
tahun 1 bulan dengan frekuensi 3x/hari, sifat kejang tonik-klonik umum, demam,
tidak adanya kelainan neurologis dan penurunan kesadaran, pada riwayat penyakit
dahulu, pasien pernah mengalami kejang demam satu bulan yang lalu. Riwayat
keluarga pasien didapatkan penyakit yang sama seperti pasien yaitu ibu pasien.
Hal ini sesuai dengan teori bahwasannya genetik dapat mempengaruhi terjadinya
kejang demam.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan GCS 15, keadaan umum: tampak sakit
sedang, kesadaran komposmentis, yang mana pasien ensefalitis dan meningitis
dapat ditemukan penurunan kesadaran, kemudian pada vital sign didapatkan
Tekanan darah: 90/50 mmhg, nadi: 110x/menit, suhu 38,7 derajat celcius,
pernafasan 22x/menit. Kemudian dilakukan pemeriksaan refkles fisiologis (+) dan
refleks patologis yang mana hasilnya kaku kuduk (-), Brudzinski I (-), Brudzinski
II (-), kernig sign (-) yang dapat menyingkirkan diagnosa meningitis pada pasien
Pada pemeriksaan Penunjang darah rutin didapatkan Hemoglobin : 12,9 gr%,
Leukosit: 11,900/mm3, Hematokrit: 36,7%, Trombosit: 259.000/mm 3, kemudian
kadar glukosa sewaktu pasien adalah 116 mg/dl yang membuktikan keaadan
kejang bukan dicetuskan karena hipoglukosa pada pasien, Meskipun tidak
dilakukan tetapi pemeriksaan lumbal pungsi menjadi alternatif untuk
membuktikan bahwa pasien tidak mengalami meningitis dan ensefalitis, tidak
dilakukannya lumbal fungsi disebabkan keterbatasan sarana dari rumah sakit.
Diagnosis dari kasus ini adalah kejang demam kompleks, diagnosis
ditegakkan berdasarkan keluhan utama pasien, riwayat penyakit sekarang, riwayat
penyakit dahulu dan pemeriksaan fisik yang dilakukan.
40
Berdasarkan teori, diare akut adalah buang air besar dengan konsistensi lebih
encer atau cair dari biasanya ≥3x/hari, dengan atau tanpa darah dan lendir yang
timbul mendadak dan berlangsung kurang dari 2 minggu. pada pasien perlu
ditentukan juga apakah diare tanpa dehidrasi atau mengalami dehidrasi
(ringan/sedang atau berat). Berdasarkan anamnesis, ditemukan diare dengan
frekuensi buang air besar 3x/hari, konsistensi cair, warna hijau. kemungkinan
faktor pencetus dari diare adalah faktor makanan dan minumam dari pasien
(pasien suka makan jajanan dan minuman berkemasan).
Pemeriksaan Fisik ditemukan mata cekung, anak haus dan selalu ingin minum
banyak, mulut kering, berat badan berkurang (semula berat badan 13kg dan
sekarang menjadi 11,9), didapatkan pengurangan berat badan 7% dari berat badan
awal, dari pemeriksaan fisik didapatkan pasien mengalami dehidrasi
ringan/sedang.
Pada pemeriksaan penunjang yang diperlukan pada diare akut, adalah
pemeriksaan darah lengkap, elektrolit, analisis gas darah, dan yang utama adalah
pemeriksaan feses. Pada kasus ini pemeriksaan yang dilakukan adalah
pemeriksaan darah rutin didapatkan hasil dalam batas normal . pemeriksaan feses,
analisis gas darah dan elektrolit tidak dilakukan. Dari hasil anamnesis dan
pemeriksaan fisik pasien ditegakkan diagnosis pasien mengalami diare dengan
dehidrasi ringan/sedang.
Berdasarkan teori terdapat hubungan antara diare dengan dehidrasi dengan
kasus demam kejang pada anak. diare dengan dehidrasi (ringan/sedang atau berat)
dapat menyebabkan gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit, yang nantinya
akan berdampak pada perubahan konsentrasi ion diruang ekstraseluler, dan
pembuluh darah.
Penatalaksanaan pada pasien berdasarkan teori , terapi saat kejang demam
dapat diberikan Diazepam (Stesolid) dosis 0,3-0,5 mg/kgbb/IV dengan kecepatan
2mg/menit apabila kejang turun lanjutkan dengan pemberian fenobarbital im
loading dose dengan dosis 75mg/im. Terapi demam dapat diberikan paracetamol
3x1 ½ cth dengan dosis yang dibutuhkan yaitu 10-15mg/kgbb/kali pada pasien
bertujuan untuk menurunkan suhu tubuh agar tidak mencetuskan demam,
41
selanjutnya dilakukan terapi untuk kasus diare dengan dehidrasi ringan/sedang,
Pada pasien ini pengobatan yang dilakukan yaitu mengatasi dehidrasi dengan
resusitasi cairan dan mengatasi penyebabnya (faktor makanan) , untuk dehidrasi
ringan/sedang diberikan resusitasi cairan RL 75 ml/kgBB/3 jam jadi 13 kg x 75
ml = 975 ml selama 3 jam dan diberikan cairan maintenance yaitu (Rumus
Holiday Segar) 10 kg pertama= 13 kg x 100 cc= 1300 + (3) x 50= 1.450. jadi total
cairan maintanence 1.450/24 jam (60,42 ml/jam) = 20 tetes permenit makro.
Untuk mengatasi infeksi bakteri diberikan obat ceftriakson 1x1gr dengan dosis:
20-50mg/kgbb/kali IV,pemberian lacto B 2x1 sachet/hari, pemberian suportif
diberikan zinc syr 1x20mg (untuk memperpendek frekuensi diare dan lama
perawatan.
42
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
Kejang demam adalah kejang yang terkait dengan demam dan usia, serta tidak
didapatkan infeksi intrakranial ataupun kelainan lain diotak. Demam adalah
kenaikan suhu tubuh diatas 38 derajat celcius rektal. Pendapat para ahli pada
kejang demam terjadi pada waktu anak berusia 3 bulan sampai 5 tahun. berkisar
2,2-5% anak dibawah 5 tahun pernah mengalami kejang demam. Perlu
dilakukannya pengendalian anamnesa yang baik untuk menegakkan diagnosa
karena tidak terdapat pemeriksaan yang spesifik terhadap kejang demam.
Pemeriksaan fisik yang cermat juga perlu dilakukan untuk menyingkirkan kejang
akibat proses peradangan meningens dan parenkim otak. Edukasi sangat penting
terhadap orang tua agar penanganan yang cepat dapat mengurangi risiko
berulangnya kembali.
43
DAFTAR PUSTAKA
44
13. Kemenkes RI. Tatalaksana Diare Anak.2011
14. Departemen Kesehan Republik Indonesia. Buku Saku Lintas Diare: 2011
15. Pudjiadi Anthonius, Hegar Badriul, Hendryastuti Setyo, Idris Nikmah,
Gandaputra Ellen. Diare akut. Pedoman pelayanan medis ikatan dokter anak
indonesia. 2008.
16. Buku Saku Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit. ISBN 978-979-
19477-0-1
17. Wibowo. D, Hardiyanti, Subhan. Hubungan Dehidrasi dengan Komplikasi
Kejang pada Pasien Diare Usia 0-5 Tahun di RSUD Idaman Banjarbaru.
Dinamika Journal Keperawatan dan Kebidanan. 2019. V(10):1. ISSN: 2086-
3454)
45