Anda di halaman 1dari 8

STUDI KASUS EPILEPSI

Nama: Fatimah Hargiyani Zahrah


NPM: 2043700258

Seorang pasien balita perempuan berusia 4 tahun dengan berat badan 23 kg di bawa ke rumah
sakit karena kejang yang dialaminya.

Riwayat Penyakit Sebelumnya ; Demam tinggi dan kejang, tipus


Riwayat Penyakit Sekarang : Kejang.
Riwayat Penyakit keluarga: -
Obat yang sedang digunakan; -
Obat yang diresepkan; Fenitoin, asam folat, Amoxixilin

Pemeriksaan Vital Sign


T (suhu) ; 37,3 C

Pemeriksaan Laboratorium
Leukosit ; 12.000/mm3
HB ; 12 mg/dl
1. Jelaskan mengapa pasien bisa seperti itu?
2. Hitung dosis, frekuensi dan lama pemakaian obat?
3. Jelaskan alasan pemberian obat diatas,apakah sudah tepat?
4. Sebagai seorang apoteker, konseling apa yang harus diberikan kepada keluarga
pasien berdasarkan keadaan penyakit pasien
5. Jelaskan patofisiologi penyakit diatas!
6. Jelaskan indikasi, Efek samping, mekanisme aksi dari masing2 obat diatas!
7. Jika dokter memberikan diazepam? Apa saja perhatian khusus untuk obat tersebut?
8. Dari nilai lab diatas manakah yang tidak normal?
9. Jelaskan konseling yang harus diberikan pada pasien diatas!
10. Jelaskan S-O-A-P untuk pasien di atas!
11. Sebutkan referensi yang digunakan!
Jawab:
1. Patofisiologi demam: Penyebab kejang demam secara pasti belum diketahui,
diperkirakan bahwa pada keadaan demam terjadi peningkatan reaksi kimia tubuh.
Dengan demikian reaksi-reaksi oksidasi terjadi lebih cepat dan akibatnya oksigen akan
lebih cepat habis, terjadilah keadaan hipoksia. Transport aktif yang memerlukan ATP
terganggu, sehingga Na intrasel dan K ekstrasel meningkat yang akan menyebabkan
potensial membrane cenderung turun atau kepekaan sel saraf meningkat.
2. Perhitungan dosis, frekuensi dan lama pemakaian obat:
• Phenytoin 20mg/kgBB
Dosis yang diberikan 20x23mg = 460mg/kgBB melalui infus iv selama 20menit
• Diazepam 0.5mg/kgBB
Dosis yang diberikan 0.5mg x 23kg = 11.5mg/kgBB
Sesuai literatur dan sesuai dosis sediaan yang ada di pasaran dosis diazepam
yang digunakan yaitu untuk BB <10kg menggunakan diazepam 5mg sedangkan
untuk BB >10kg menggunakan diazepam 10mg.
• Asam folat untuk pasien 0,4mg sekali sehari
Pemakaian obat selama penggunaan obat antiepilepsi untuk menghindari
defisiensi vitamin B kompleks dan asam folat dalam tubuh.
• Amoxicillin 20mg/kgbb/hari terbagi tiap 8 jam
Untuk pasien : 460mg perhari / 153,3 mg tiap 8 jam selama 10hari untuk
pengobatan tipoid/tifus
3. Kurang tepat, untuk pemberian phenytoin sebaiknya diganti diazepam rektal 10mg
untuk bb lebih dari 10kg sebagai first line pengobatan pada epilepsi. Dan juga perlu
menambahkan kompres bye-bye fever untuk bantu nurunin demamnya. Sedangkan
untuk antibiotik amoxicillin tetap diberikan karena setelah dilihat dari riwayat
sebelumnya pasien pernah mengalami demam tifoid. Asam folat disini berfungsi untuk
mencegah terjadinya kecacatan pada otak dan saraf
4. Kejang selalu merupakan peristiwa yang menakutkan bagi orang tua. Pada saat kejang
sebagian besar orang tua beranggapan bahwa anaknya telah meninggal. Kecemasan ini
harus dikurangi dengan cara yang diantaranya:
• Jangan panik
• Menyakinkan bahwa kejang demam umumnya mempunyai prognosis baik.
• Memberitahukan cara penanganan kejang
• Memberikan informasi mengenai kemungkinan kejang kembali
• Pemberian obat untuk mencegah rekurensi memang efektif tetapi harus diingat
adanya efek samping
5. Patofisiologi:
• Patofisiologi Demam dan Kejang
Demam terjadi oleh karena pengeluaran zat pirogen dalam tubuh. Zat pirogen
sendiri dapat dibedakan menjadi dua yaitu eksogen dan endogen. Pirogen eksogen adalah
pirogen yang berasal dari luar tubuh seperti mikroorganisme dan toksin. Sedangkan
pirogen endogen merupakan pirogen yang berasal dari dalam tubuh meliputi interleukin-
1 (IL-1), interleukin-6 (IL-6), dan tumor necrosing factor-alfa (TNF-A). Sumber utama
dari zat pirogen endogen adalah monosit, limfosit dan neutrofil. Seluruh substansi di atas
menyebabkan sel-sel fagosit mononuclear (monosit, makrofag jaringan atau sel kupfeer)
membuat sitokin yang bekerja sebagai pirogen endogen, suatu protein kecil yang mirip
interleukin, yang merupakan suatu mediator proses imun antar sel yang penting. Sitokin-
sitokin tersebut dihasilkan secara sistemik ataupun local dan berhasil memasuki sirkulasi.
Interleukin-1, interleukin-6, tumor nekrosis factor α dan interferon α, interferon β serta
interferon γ merupakan sitokin yang berperan terhadap proses terjadinya demam. Sitokin-
sitokin tersebut juga diproduksi oleh sel-sel di Susunan Saraf Pusat (SSP) dan kemudian
bekerja pada daerah preoptik hipotalamus anterior. Sitokin akan memicu pelepasan asam
arakidonat dari membrane fosfolipid dengan bantuan enzim fosfolipase A2. Asam
arakidonat selanjutnya diubah menjadi prostaglandin karena peran dari enzim
siklooksigenase (COX, atau disebut juga PGH sintase) dan menyebabkan demam pada
tingkat pusat termoregulasi di hipotalamus. Enzim sikloosigenase terdapat dalam dua
bentuk (isoform), yaitu siklooksigenase-1 (COX-1) dan siklooksigenase-2 (COX-2).
Kedua isoform berbeda distribusinya pada jaringan dan juga memiliki fungsi regulasi
yang berbeda. COX-1 merupakan enzim konstitutif yang mengkatalis pembentukan
prostanoid regulatoris pada berbagai jaringan, terutama pada selaput lender traktus
gastrointestinal, ginjal, platelet dan epitel pembuluh darah. Sedangkan COX-2 tidak
konstitutif tetapi dapat diinduksi, antara lain bila ada stimuli radang, mitogenesis atau
onkogenesis. Setelah stimuli tersebut lalu terbentuk prostanoid yang merupakan mediator
nyeri dan radang. Penemuan ini mengarah kepada, bahwa COX-1 mengkatalis
pembentukan prostaglandin yang bertanggung jawab menjalankan fungsi-fungsi regulasi
fisiologis, sedangkan COX-2 mengkatalis pembentukan prostaglandin yang
menyebabkan radang. Prostaglandin E2 (PGE2) adalah salah satu jenis prostaglandin
yang menyebabkan demam. Hipotalamus anterior mengandung banyak neuron
termosensitif. Area ini juga kaya dengan serotonin dan norepineprin yang berperan
sebagai perantara terjadinya demam, pirogen endogen meningkatkan konsentrasi
mediator tersebut. Selanjutnya kedua monoamina ini akan meningkatkan adenosine
monofosfat siklik (cAMP) dan prostaglandin di susunan saraf pusat sehingga suhu
thermostat meningkat dan tubuh menjadi panas untuk menyesuaikan dengan suhu
thermostat.
Pada keadaan demam, kenaikan suhu sebanyak 1°C akan menyebabkan kenaikan
kebutuhan metabolisme basal 10-15% dan kebutuhan oksigen meningkat sebanyak 20%.
Pada seorang anak yang berumur 3 tahun sirkulasi otak mencapai 65% dari seluruh tubuh,
dibandingkan dengan orang dewasa yang hanya 15%. Pada kenaikan suhu tubuh tertentu
dapat menyebabkan terjadinya perubahan keseimbangan dari membran sel neuron. Dalam
waktu yang singkat terjadi difusi dari ion Kaliummaupun ion Natrium melalui membran
tadi, akibatnya terjadinya lepasan muatan listrik. Lepasan muatan listrik ini dapat meluas
ke seluruh sel maupun membran sel tetangganya dengan bantuan neurotransmitter dan
terjadilah kejang. Tiap anak mempunyai ambang kejang yang berbeda dan tergantung
pada tinggi atau rendahnya ambang kejang seseorang anak pada kenaikan suhu tubuhnya.
Kebiasaannya, kejadian kejang pada suhu 38ºC, anak tersebut mempunyai ambang kejang
yang rendah, sedangkan pada suhu 40º C atau lebih anak tersebut mempunyai ambang
kejang yang tinggi. Dari kenyataan ini dapat disimpulkan bahwa terulangnya kejang
demam lebih sering terjadi pada ambang kejang yang rendah
• Patofisiologi Tifus
Salmonella Typhidapat hidup di dalam tubuh manusia.Manusia yang terinfeksi
bakteri Salmonella Typhidapat mengekskresikannya melalui sekret saluran nafas, urin dan
tinja dalam jangka waktu yang bervariasi. Patogenesis demam tifoid melibatkan 4 proses
mulai dari penempelan bakteri ke lumen usus, bakteri bermultiplikasi di makrofag Peyer’s
patch, bertahan hidup di aliran darah dan menghasilkan enterotoksin yang menyebabkan
keluarnya elektrolit dan air ke lumen intestinal. Bakteri Salmonella Typhibersama
makanan atau minuman masuk ke dalam tubuh melalui mulut. Pada saat melewati lambung
dengan suasana asam banyak bakteri yang mati. Bakteri yang masih hidup akan mencapai
usus halus, melekat pada sel mukosa kemudian menginvasi dan menembus dinding usus
tepatnya di ileum dan yeyunum. Sel M, sel epitel yang melapisi Peyer’s patchmerupakan
tempat bertahan hidupdan multiplikasi Salmonella Typhi. Bakteri mencapai folikel limfe
usus halus menimbulkan tukak pada mukosa usus. Tukak dapat mengakibatkan perdarahan
dan perforasi usus.Kemudian mengikuti aliran ke kelenjar limfe mesenterika bahkan ada
yang melewati sirkulasi sistemik sampai ke jaringan Reticulo Endothelial System(RES) di
organ hati dan limpa.Setelah periode inkubasi, Salmonella Typhikeluar dari habitatnya
melalui duktus torasikus masuk ke sirkulasi sistemik mencapai hati, limpa, sumsum tulang,
kandung empedu dan Peyer’s patchdari ileum terminal. Ekskresi bakteri di empedu dapat
menginvasi ulang dinding usus atau dikeluarkan melalui feses.Endotoksin merangsang
makrofag di hati, limpa, kelenjar limfoid intestinal dan mesenterika untuk melepaskan
produknya yang secara lokal menyebabkan nekrosis intestinal ataupun sel hati dan secara
sistemik menyebabkan gejala klinis pada demam tifoid. Penularan Salmonella
Typhisebagian besar jalur fekal oral, yaitu melalui makanan atau minuman yang tercemar
oleh bakteri yang berasal dari penderita atau pembawa kuman, biasanya keluar bersama
dengan feses. Dapat juga terjadi transmisi transplasental dari seorang ibu hamil yang
berada pada keadaan bakterimia kepada bayinya.

6. Indikasi, efek samping dan mekanisme dari setiap obat:


a. Phenytoin
- Indikasi
Indikasi phenytoin (fenitoin) adalah untuk mengatasi kejang tonik-klonik general
maupun kejang fokal, misalnya pada epilepsi. Obat ini juga dapat digunakan untuk
menangani status epileptikus dan mencegah kejang setelah kraniotomi. Dosis
phenytoin yang diberikan perlu disesuaikan dengan usia pasien
- Efek Samping
- Phenytoin dapat menyebabkan efek samping pada berbagai sistem organ,
dengan efek samping utama pada sistem saraf pusat seperti sakit kepala,
pusing, atau vertigo. Phenytoin intravena juga dapat menyebabkan efek
samping lokal dan kardiovaskular.
- Efek samping phenytoin pada sistem saraf pusat dapat berupa nystagmus,
vertigo, disartria, gangguan koordinasi, konfusi, pusing, sakit kepala, insomnia,
kecemasan sementara, dan kedutan atau gerakan repetitif tidak terkontrol pada
lidah, bibir, muka, dan ekstremitas. Selain itu, phenytoin juga dapat
menyebabkan gangguan motorik seperti dyskinesia, chorea, dystonia, tremor,
dan asterixis.
- Efek samping phenytoin pada sistem gastrointestinal dapat berupa mual,
muntah, konstipasi, diare, dysgeusia (rasa metal/logam di lidah), hepatitis
toksik, dan kerusakan hepar
- Efek samping phenytoin pada sistem hematopoietik adalah trombositopenia,
leukopenia granulositopenia, agranulositopenia, pansitopenia, dan anemia tipe
makrositik dan megaloblastik yang merespons suplementasi asam folat. Selain
itu, phenytoin juga dapat menimbulkan limfadenopati, pseudolimfoma, dan
limfoma
- Efek samping metabolik phenytoin adalah defisiensi vitamin D dan
hiperglikemia jika digunakan secara kronik. Selain itu, obat ini juga dapat
menimbulkan hipokalsemia, hipofosfatemia, dan hirsutisme.
- Efek samping phenytoin pada kulit dapat berupa ruam, dermatitis (bulosa,
eksfoliatif, atau purpura), lupus eritematosa, sindrom Stevens-Johnson, toxic
epidermal necrolysis, dan nekrosis jaringan atau kulit pada pemberian secara
intravena.
- Penggunaan phenytoin secara intravena juga dapat menimbulkan efek samping
lokal yang dikenal dengan nama purple glove syndrome. Sindrom ini meliputi
edema, perubahan warna kulit, dan nyeri di area distal dari lokasi penyuntikan.
Hal ini mungkin disebabkan oleh ekstravasasi.
- Efek samping phenytoin pada jaringan ikat adalah coarsening wajah,
pembesaran bibir, hiperplasia gusi, hipertrikosis, penurunan densitas tulang
(pada penggunaan kronik), dan Peyronie’s disease.
- Efek samping phenytoin pada sistem imun adalah reaksi hipersensitivitas,
anafilaksis, systemic lupus erythematosus (SLE), periarteritis nodosa,
abnormalitas imunoglobulin, dan drug reaction with eosinophilia and systemic
symptoms (sindrom DRESS).
- Penggunaan phenytoin secara intravena dapat menimbulkan efek samping
bradikardi, aritmia, fibrilasi ventrikel, gangguan konduksi atrium/ventrikel,
syok, dan hipotensi.
− Mekanisme aksi
Phenytoin bekerja pada membran sel saraf khususnya pada bagian kanal
natrium. Dengan meningkatkan eflux atau mengurangi masuknya ion natrium yang
melintasi membran sel saraf pada bagian korteks motor yang merupakan pusat
kendali terjadinya kejang pada otak. Kondisi membran sel saraf yang lebih stabil
akan mengurangi aktivitas dan penyebaran kejang sehingga kejang dapat diatasi.
Sebagai anti-aritmia, obat ini bekerja dengan memperpanjang masa refraktori dan
menekan otomatisasi pacu jantung ventrikel dan memperpendek potensi aksi
jantung sehingga dapat menstabilkan kembali detak jantung.
b. Asam Folat
- Indikasi
Asam folat adalah suplemen untuk mencegah dan mengatasi kekurangan
(defisiensi) vitamin B9 dan berperan penting dalam proses pembentukan sel darah
merah dan materi genetik, seperti DNA. Asam folat juga digunakan untuk
mencegah terjadinya cacat tabung saraf (neural tube defect) pada janin.
- Efek Samping
Mual, rasa tidak enak di mulut, kehilangan selera makan, kebingungan, gangguan
tidur, mudah marah
- Mekanisme aksi
Asam folat diperlukan untuk pembentukan sejumlah koenzim dalam sistem
metabolik, khususnya untuk sintesis purin dan pirimidin. Di perlukan dalam sintesis
nukleoprotein, pemeliharaan eritropoietin,merangsang produksi WBC dan platelet
c. Amoxicillin
- Indikasi
Amoxicillin adalah antibiotik untuk membantu mengobati infeksi yang disebabkan
oleh pertumbuhan bakteri. Selain itu, Amoxicillin juga digunakan sebagai
antibiotik untuk membantu mengobati tukak (luka) lambung atau usus yang
disebabkan oleh bakteri H. pylori. Amoxicillin adalah obat dengan nama generik
yang diproduksi oleh banyak perusahaan farmasi. Amoxicillin hanya digunakan
untuk membantu mengobati infeksi yang disebabkan oleh pertumbuhan bakteri,
sehingga penggunaannya pada infeksi virus (seperti flu dan pilek) dan jamur tidak
akan berhasil.
- Efek Samping
Efek Samping yang mungkin timbul akibat pengunaan Amoxicillin adalah:
• Mual dan muntah
• Diare
• Sindrom Stevens-Johnson (reaksi buruk yang sangat gawat terhadap obat. Efek
samping obat ini berpengaruh pada kulit, terutama selaput mukosa)
• Urtikaria/biduran
• Kolestatis (berkurangnya atau terhentinya aliran empedu)
• Kristaluria (keadaan dimana urin atau kencing kita mengandung kristal-kristal)
• Anemia (berkurangnya jumlah sel darah merah atau kandungan hemoglobin
didalam darah)
• Trombositopenia (penurunan jumlah platelet dalam darah di bawah batas
minimal)
• Eosinofilia (tingginya rasio eosinofil di dalam plasma darah)
• Leukopenia (rendahnya jumlah total sel darah putih/leukosit dibanding nilai
normal)
• Agranulositosis (Sel darah putih dapat berkurang akibat infeksi dari patogen
khususnya mikroorganisme)
- Mekanisme aksi
Setelah diabsorpsi amoksisilin didistribusikan ke berbagai jaringan tubuh. Kadar
terapi dalam jaringan-jaringan seperti cairan sendi, pleural, pericardium dan
empedu. Dalam jumlah kecil ditemukan dalam sekresi prostate, jaringan otak, dan
cairan intraokuler. Amoksisilin adalah derivat-hidroksi dengan aktivitas sama
dengan ampisilin. Tetapi resorbsinya lebih lengkap dan pesat dengan kadar darah
dua kali Universitas Sumatera Utara lipat. Waktu paruhya 1-2 jam. Persentasi
pengikatan pada protein jauh lebih ringan daripada pen-G dan pen-V. Difusinya ke
jaringan dan cairan tubuh lebih baik, antara lain ke dalam air liur pasien bronchitis
kronis. Kadar bentuk aktifnya dalam kemih jauh lebih tinggi daripada ampisilin (ca
70%) hingga lebih banyak digunakan pada infeksi saluran kemih. Efek samping.
Gangguan lambung usus dan rash lebih jarang terjadi.

7. Perhatian khusus untuk obat diazepam yaitu, obat ini hanya digunakan dalam kondisi
gawat darurat untuk menghentikan kejang pada pasien, terutama pada yang berada
dalam status epileptikus. Pemakaian jangka panjang akan mengakibatkan kelelahan
pada pasien, langkah yang tidak stabil, mual, depresi, dan penurunan nafsu makan.
Pada anak-anak yang mengonsumsi diazepam atau lorazepam berisiko pula
menjadi ngiler dan hiperaktif

8. Nilai laboratorium
Ukuran Nilai Rujukan Nilai Rujukan (pasien)
3
Leukosit 4,0 – 11,0 10 /µl 12.000/mm3
12,0 – 14,0 g/dL (P),
HB 12 mg/dl (P)
13,0 – 16,0 g/dL (L)
Ket: Nilai lab yang tidak normal di tandai dengan warna merah
9. Konseling yang harus diberikan yaitu,
a. Menyakinkan bahwa kejang demam umumnya mempunyai prognosis baik.
b. Memberitahukan cara penanganan kejang
c. Memberikan informasi mengenai kemungkinan kejang kembali, seperti:
• Tetap tenang dan tidak panik
• Kendorkan pakaian yang ketat terutama disekitar leher
• Bila tidak sadar, posisikan anak terlentang dengan kepala miring. Bersihkan
muntahan atau lendir di mulut atau hidung. Walaupun kemungkinan lidah
tergigit, jangan memasukkan sesuatu kedalam mulut.
• Ukur suhu, observasi dan catat lama dan bentuk kejang.
• Tetap bersama pasien selama kejang
• Berikan diazepam rektal. Dan jangan diberikan bila kejang telah berhenti. Bawa
kedokter atau rumah sakit bila kejang berlangsung 5 menit atau lebih

10. S = Balita perempuan berusia 4 tahun dengan berat badan 23 kg, dengan keluhan
kejang. Riwayat Penyakit Sebelumnya adanya demam tinggi dan kejang dan tipus.
O = Pemeriksaan Vital Sign
- T (suhu) : 37,3 C
Pemeriksaan Laboratorium
- Leukosit ; 12.000/mm3
- HB ; 12 mg/dl
A = Obat yang diberikan sudah tepat, hanya mengganti phenytoin dengan diazepam
rektal sebagai lini pertama untuk kejang epilepsy.
P = Penggunaan diazepam di awal pada saat kejang untuk mengatasi kejangnya
melalu rektal dan untuk menurunkan demam dibantu dengan mengompres menggunakan
plester kompres Bye-bye Fever

11. Referensi yang digunakan:


• Goldstein JA, Chung MG. Status epilepticus and seizures. Dalam: Abend NS,
Helfaer MA, penyunting. Pediatric neurocritical care. New York:
Demosmedical; 2013. h 117–138.
• Fuadi. Faktor Risiko Bangkitan Kejang Demam pada Anak: Universitas
Diponegoro; 2010
• LYRAD,K.,RILEY,MD,JEDDA,MD. Evaluation of Patients with
Leukocytosis. American Family Physician. 2015;92(11).
• M. Conway, JM and Tallian,K. Epilepsy. Neurology / Psychiatry (book3). 2018

Anda mungkin juga menyukai