a. Pembeli (muslam)
b. Penjual (muslam ilaih)
c. Modal / uang (ra’sul maal)
d. Barang (muslam fiih). Barang yang menjadi obyek transaksi harus telah terspesifikasi
secara jelas dan dapat diakui sebagai hutang.
Hukum
Hukumnya boleh, hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim
dari Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhuma, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tiba di
Madinah dan orang-orang ketika itu meminjamkan buah-buahan (seperti kurma, gandum,
anggur dan lain sebagainya) selama setahun, dua tahun, dan bahkan tiga tahun, lalu beliau
berkata:
ْئ َف ْليُسْ لِفْ فِى َكي ٍْل َمعْ لُ ْو ٍم َو َو ْز ٍن َمعْ لُ ْو ٍم إِلَى أَ َج ٍل َمعْ لُ ْو ٍم َ َ َمنْ أَسْ ل.
ٍ ف فِى َشي
Para ulama menyebutkan beberapa point penting yang berkenaan dengan jual beli ini, yaitu
sebagai berikut:
1. Dalam jual beli ini penjual tidak diperbolehkan membuat kesepakatan tertulis di dalam
akad dengan pembeli bahwa ia berhak mendapat tambahan harga yang terpisah dari harga
barang yang ada, di mana harga tambahan itu akan berkaitan erat dengan waktu pembayaran,
baik tambahan harga itu sudah disepakati oleh kedua belah pihak ataupun tambahan itu ia
kaitkan dengan aturan main jual beli saat ini yang mengharuskan adanya tambahan harga.
2. Apabila orang yang berhutang (pembeli) terlambat membayar cicilan dari waktu yang telah
ditentukan, maka tidak boleh mengharuskannya untuk membayar tambahan dari hutang yang
sudah ada.
3. Penjual tidak berhak menarik kepemilikan barang dari tangan pembeli setelah terjadi jual
beli.
4. Boleh memberi tambahan harga pada barang yang pembayarannya ditunda dari barang
yang dibayar secara langsung (cash).