Anda di halaman 1dari 17

Jurnal Ilmu dan Teknologi Perikanan

Volume 2 No 2 (2020)

KARAKTERISTIK PENYEDAP RASA DARI AIR REBUSAN PADA JENIS IKAN YANG BERBEDA
DENGAN PENAMBAHAN TEPUNG MAIZENA

Characteristics of Flavor Enhancers Made from Different Types of Fish Broth with Addition of Cornstarch

Aryna Conny Tamaya*, Yudhomenggolo Sastro Darmanto, Apri Dwi Anggo

Program Studi Teknologi Hasil Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Diponegoro
Jln. Prof. Soedarto, SH, Tembalang, Semarang, Jawa Tengah - 50275, Telp/fax: (024) 7474698
Email : arynaconny@gmail.com

ABSTRAK

Air rebusan merupakan salah satu limbah cair yang dihasilkan dari pengolahan produk perikanan. Air rebusan
ikan mengandung glutamat yang secara alami terdapat dalam daging atau makanan yang berprotein lainnya.
Asam glutamat dapat meningkatkan rasa gurih pada makanan. Makanan yang dapat mengandung asam glutamat
yaitu ikan, seperti ikan lukas dari air tawar, ikan bawal dari air payau dan ikan kurisi dair air laut. Penelitian ini
menggunakan bahan baku air rebusan ikan dan bahan pengisi tepung maizena. Penggunaan tepung maizena
sebagai pengganti maltodekstrin berfungsi untuk bahan penyalut dan pengental. Tujuan penelitian ini yaitu untuk
mengetahui karakteristik penyedap rasa dari air rebusan pada jenis ikan yang berbeda serta untuk mengetahui
jenis ikan terbaik yang digunakan dalam pembuatan penyedap rasa. Metode penelitian yang digunakan yaitu
yaitu experimental laboratories dengan menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan perlakuan
penyedap rasa tanpa air rebusan ikan (A), penyedap rasa dengan air rebusan Ikan Lukas (B), penyedap rasa
dengan air rebusan Ikan Bawal (C), dan penyedap rasa dengan air rebusan Ikan Kurisi (D) dengan tiga kali
ulangan. Parameter uji berupa kadar air, kadar protein, kelarutan, profil asam amino dan penilaian hedonik. Data
parametrik dianalisis dengan ANOVA dan uji lanjut Tukey HSD. Data nonparametrik dianalisis menggunakan
Kruskall-Wallis dan uji lanjut Mann-Whitney. Hasil penelitian menunjukkan bahwa hasil uji terbaik yaitu pada
kadar air 5,69±0,64%; kadar protein sebesar 16,54±0,1%; dan asam amino 125.624,26 mg/kg pada perlakuan
dengan Ikan Lukas. Hasil uji kelarutan dan hedonik terbaik yaitu pada penyedap rasa dengan perlakuan Ikan
Bawal sebesar 76,16±3,28% dan 7,28<μ<7,56. Berdasarkan hasil analisis terdapat perlakuan yang berbeda nyata
pada kadar air; kadar protein; dan uji hedonik, sedangkan pada kelarutan terdapat perlakuan yang tidak berbeda
nyata.

Kata kunci: Asam glutamat, air rebusan ikan, ikan bawal, ikan kurisi, ikan lukas, penyedap rasa

ABSTRACT

One of the fish processing wastes came from the stewing process. The stewing water contains glutamate that is
naturally found in meat or other protein sources. Foods that contain glutamic acids such as Cyprinid fish from
freshwater, Pomfret from brackish water, and Threadfin Bream from seawater. This study used raw materials
for fish broth and cornstarch for filling material. Cornstarch is used as a substitute for maltodextrin for coating
and thickening. The purpose of this study was to determine the characteristics of flavor enhancers with different
types of stewing water and to find out the best types of fish used in making flavors. The research was
experimental laboratories, using a Completely Randomized Design (CRD) with a flavoring treatment without
fish stew (A), flavoring with Cyprinid fish stew (B), Pomfret stew (C), and Threadfin Bream stew (D) with three
replications. The parameters are water content, protein content, solubility, amino acid profile, and hedonic
value. Data were analyzed by ANOVA and Tukey’s HSD, while nonparametric data were analyzed using
Kruskal-Wallis and Mann-Whitney tests. The results showed that the results of the water content test was
5.69±0.64%; protein content was 16,54±0,1%; and the amino acid was 125,624.26 mg/kg, for Cyprinid fish. The
best solubility and hedonic test results were on flavorings from Pomfret with 76.16±3.28% and 7.28<μ<7.56,
respectively. Based on the results, there were significantly different treatments on the water content, protein
content, and hedonic test, while not significantly different for solubility.

Keywords: Cyprinid fish, fish broth, flavoring, glutamic acid, pomfret, threadfin bream

PENDAHULUAN antara lain kadar air yang cukup tinggi (70-80%


Ikan merupakan sumber protein, lemak, dari berat daging) dan kandungan gizi yang tinggi
vitamin, mineral dan asam lemak yang sangat baik. terutama kandungan lemak dan protein. Ikan Lukas
Ikan merupakan bahan pangan yang mudah sekali (Labiobarbus sp) merupakan salah satu ikan air
mengalami kerusakan. Penyebab kerusakan ikan tawar di perairan Indonesia. Ikan Lukas dikenal
13
Jurnal Ilmu dan Teknologi Perikanan
Volume 2 No 2 (2020)

dengan banyak nama sesuai dengan nama lokal faktor dari dalam dan luar dari ikan tersebut seperti
masing-masing daerah. Pada dasarnya ikan bawal spesies ikan, jenis kelamin dan habitat ikan. Sarie et
(Colossoma sp) merupakan jenis ikan air tawar, al., (2018) menyatakan kandungan gizi pada setiap
akan tetapi tidak jarang ikan bawal dibudidayakan ikan berbeda-beda tergantung pada faktor internal
di air payau. Ikan Kurisi (Nemipterus sp) dan eksternal yang meliputi jenis atau spesies ikan,
merupakan salah satu ikan demersal, kadang jenis kelamin, umur, fase reproduksi dan
membentuk gerombolan terutama pada daerah lingkungan hidup ikan. Selain itu, air rebusan yang
perairan pantai dengan dasar lunak seperti pasir digunakan sebagai bahan baku perlu ditambah
dengan sedikit lumpur. Ikan kurisi tergolong jenis dengan bahan pengisi atau pengental untuk
ikan yang berprotein tinggi dan rendah lemak yaitu menstabilkan adonan. Pada penelitian ini
sebesar 19,66% dan 0,94%. Ketiga ikan tersebut menggunakan bahan pengisi tepung maizena.
memiliki rasa yang gurih sehingga dapat Tepung maizena merupakan tepung yang
dimanfaatkan sebagai bahan pembuatan penyedap dihasilkan dari pengolahan biji jagung sehingga
rasa. mengandung pati atau karbohidrat kompleks dari
Penyedap rasa adalah bahan tambahan endosperma biji jagung. Tepung maizena
makanan yang memberikan rasa pada bahan digunakan sebagai pengental, tepung maizena dapat
tertentu, sehingga suatu makanan dapat bertambah menstabilkan adonan penyedap rasa sehingga dapat
manis, asam, dan sebagainya. Penyedap rasa terdiri digunakan sebagai pengganti maltodekstrin.
dari 2 jenis yaitu penyedap rasa alami dan Menurut Yuanita dan Silitonga (2014), fungsi
penyedap rasa sintetis. Penyedap rasa alami tepung adalah sebagai bahan pengisi dan pengikat
didapatkan dari tumbuhan dan hewan secara untuk memperbaiki stabilitas emulsi, menurunkan
langsung atau melalui proses fisik, mikrobiologi, penyusutan akibat pemasakan, memberi warna
atau enzimatis. Penyedap rasa sintetis tidak terdapat yang terang, meningkatkan elastisitas produk.
di alam, didapatkan dari proses kimiawi dengan Selain itu dapat membentuk tekstur yang padat dan
bahan baku dari alam maupun hasil tambang. menarik air dari adonan.
Perkembangan industri penyedap rasa makanan di
Indonesia terlihat semakin banyak diminati oleh METODE PENELITIAN
masyarakat. Namun saat ini penyedap rasa yang Bahan yang digunakan dalam pengolahan air
beredar merupakan penyedap rasa sintetis (MSG), rebusan adalah ikan lukas, ikan bawal, ikan kurisi,
dimana penggunaan yang berlebihan dapat dan air. Bahan yang digunakan dalam pengolahan
menimbulkan efek kesehatan seperti CRS (Chinese penyedap rasa yaitu air rebusan ikan, tepung
Restaurant Syndrom). Berdasarkan Widyalita et al., maizena, garam, gula, bawang merah, bawang
(2014), meskipun diperkenankan sebagai penyedap putih, dan lada.
masakan, penggunaan MSG berlebihan dapat
mengakibatkan rasa pusing dan mual. Gejala itu Prosedur Penelitian
disebut Chinese Restaurant Syndrome. Laporan Prosedur penelitian yang digunakan adalah
masyarakat ke Food Drug Administration (FDA), experimental laboratories. Penelitian dilakukan
2% dari seluruh pengguna MSG mengalami dengan pola Rancangan Acak Lengkap (RAL)
masalah kesehatan, sehingga WHO menetapkan dengan 4 perlakuan dan ulangan sebanyak tiga kali.
ADI (Acceptable daily intake) untuk manusia Perlakuan yang diterapkan yaitu perbedaan jenis
sebesar 120 mg/ kg3. ikan yang berbeda, A sebagai kontrol (penyedap
Proses pembuatannya dengan cara rasa tanpa air rebusan ikan); B (penyedap rasa
perebusan dimana ikan yang akan dimasak dengan air rebusan ikan lukas); C (penyedap rasa
menerima panas dengan media air. Perebusan dapat dengan air rebusan ikan bawal); D (penyedap rasa
menyebabkan kehilangan zat gizi yang lebih besar dengan air rebusan ikan kurisi).
pada ikan. Hal ini terjadi karena selama proses
perebusan ikan terendam dalam air sehingga Pembuatan Penyedap Rasa
beberapa zat gizi yang larut air seperti protein ikut Pelaksanaan penelitian ini mengacu pada
terlarut dalam air rebusan menyebabkan air rebusan Meiyani et al., (2014), ikan yang akan digunakan
ikan mengandung zat gizi dan memiliki rasa gurih dibersihkan isi perutnya kemudian dicuci hingga
yang dapat digunakan sebagai bahan penyedap rasa. bersih. Kemudian dilanjutkan dengan perebusan
Menurut Pundoko et al., (2014), pada proses ikan dengan perbandingan 1: 2 selama 30- 45 menit
pengolahan ikan banyak zat gizi penting seperti dengan suhu 100°C. Air rebusan yang dihasilkan
protein, lemak dan kadar air yang mungkin hilang kemudian disaring untuk diambil filtrat kaldu
selama proses pengolahan berlangsung, khususnya ikannya. Dilanjutkan dengan pemanasan kaldu ikan
setelah proses perebusan. Selama proses perebusan dengan suhu 80°C kemudian ditambahkan dengan
yang memerlukan waktu memungkinkan banyak bawang merah, bawang putih, garam, gula, lada dan
protein dan lemak yang hilang atau ikut terbawa tepung maizena sebanyak 2,5%. Adonan penyedap
dalam air rebusan. Kandungan asam glutamat pada rasa dituang dalam loyang dan diratakan tipis-tipis,
setiap ikan dapat berbeda dikarenakan pengaruh lalu di oven dengan suhu 70°C hingga adonan
14
Jurnal Ilmu dan Teknologi Perikanan
Volume 2 No 2 (2020)

menjadi kering dan krispi. Dilanjutkan dengan yang digunakan. Sebanyak 0,5 gram (a) bahan
penghalusan menggunakan blender lalu diayak ditimbang lalu dilarutkan dalam 50 ml aquades dan
sehingga menghasilkan penyedap rasa yang halus. disaring dengan penyaring vakum. Kertas saring
sebelum digunakan dikeringkan terlebih dahulu
Analisis Data dengan oven suhu 105 oC sekitar 30 menit lalu
Analisis data parametrik digunakan dalam ditimbang (b). Setelah proses penyaringan, kertas
hasil data kadar air, kadar protein, kelarutan dan saring beserta residu bahan dikeringkan kembali
rendemen. Analisis data parametrik yang digunakan dalam oven suhu 105 oC kurang lebih 3 jam,
yaitu ANOVA dan uji lanjut BNJ. Sedangkan data didinginkan dalam desikator selama 15 menit lalu
non parametrik digunakan dalam data hasil uji ditimbang (c). Kelarutan dapat dihitung sebagai
hedonik. Analisis non parametrik yang digunakan berikut:
adalah Ikruskal-Wallis dan uji lanjut Mann-
Whitney. Kelarutan (%)

Pengujian Kadar Air (AOAC, 2005) Keterangan:


Sampel sebanyak 5 gram ditimbang dan a = sampel
dimasukan kedalam cawan kemudian dikeringkan b = kertas saring sebelum digunakan
dalam oven selama 12 jam pada suhu 105oC. cawan c = kertas saring setelah digunakan
didinginkan dalam desikator selama 30 menit ka = kadar air
kemudian ditimbang. Persentase kadar air dapat
dihitung menggunakan rumus: Pengujian Profil Asam Amino (AOAC, 2005)
Komposisi asam amino ditentukan dengan
menggunakan HPLC. Sebelum digunakan,
perangkat HPLC harus dibilas dulu dengan eluen
yang akan digunakan selama 2-3 jam. Begitu pula
Keterangan: syringe yang akan digunakan dibilas dengan
B = Berat sampel (g) akuades. Analisis asam amino dengan
B1 =Berat (sampel+cawan)sebelum menggunakan HPLC terdiri atas 4 tahap, yaitu:
dikeringkan (g) tahap pembuatan hidrolisat protein, tahap
B2 = Berat (sampel = cawan) setelah pengeringan, tahap derivatisasi, dan tahap injeksi
dikeringkan (g) serta analisis asam amino.
Kandungan asam amino dalam bahan dapat
Pengujian Kadar Protein (SNI 01-2354.4, 2006) dihitung dengan rumus:
Menurut SNI 01-2354.4-2006, 2 g sampel
dimasukkan dalam labu destruksi kemudian
ditambah 2 butir tablet katalis dan ditambah 15 ml
H2SO4, 3 ml H2O2 lalu di destruksi selama 2 jam Keterangan:
dengan suhu 410 °C kemudian tunggu hingga suhu C = Konsentrasi Standar Asam Amino (0,5
ruang dan tambah 50 ml aquades. Siapkan μmol/ml)
erlenmeyer berisi 25 ml larutan H3BO3 4% lalu FP = Faktor Pengenceran (5 ml)
dilakukakan destilasi hingga destilat berwarna BM =Bobot Molekul dari masing-masing
kuning kemudian di titrasi dengan HCL 0,2 N Asam Amino (g/mol)
hingga berubah warna dari hijau menjadi abu-abu
netral. Pengujian Hedonik (SNI 01-2346, 2006)
Uji Hedonik merupakan metode uji yang
digunakan untuk mengukur tingkat kesukaan
Keterangan: terhadap produk dengan menggunakan lembar
VA = ml HCL untuk titrasi sampel penilaian. Penilaian sampel yang diuji berdasarkan
VB = ml HCL untuk titrasi blanko tingkat kesukaan panelis. Jumlah tingkat kesukaan
N =Normalitas standar HCL yang bervariasi tergantung dari rentangan mutu yang
digunakan ditentukan. Penilaian dapat diubah dalam bentuk
14,007 = berat atom Nitrogen angka dan selanjutnya dapat dianalisis secara
6,25 = faktor konversi protein untuk ikan statistik untuk penarikan kesimpulan.
W = berat sampel
Pengujian Rendemen (Nugroho et al., 2018)
Pengujian Kelarutan (AOAC, 2005) Rendemen merupakan rasio antara produk
Pengukuran kelarutan dihitung berdasarkan yang terbentuk dengan bahan dasar yang
pada presentase berat residu yang tidak dapat digunakan. Nilai rendemen dapat dihitung dengan
melalui kertas saring terhadap berat contoh bahan rumus:

15
Jurnal Ilmu dan Teknologi Perikanan
Volume 2 No 2 (2020)

Kadar protein pada perlakuan kontrol berbeda nyata


dengan perlakuan ikan lukas, bawal dan kurisi.
Keterangan:
A = Berat akhir produk yang dihasilkan (g) Tabel 2. Kadar Protein Penyedap Rasa dengan
B = Berat bahan yang digunakan (g) Perbedaan Jenis Ikan
No Perlakuan Berat Basah Berat Kering
HASIL DAN PEMBAHASAN (%) (%)
Kadar Air 1 A 2,84±0,05a 3,03±0,04a
Hasil pada pengujian kadar air menunjukkan 2 B 16,54±0,10d 17,54±0,06d
bahwa terdapat perlakuan yang berbeda nyata. 3 C 11,26±0,12c 12,24±0,07c
b
Kadar air pada perlakuan kontrol tidak berbeda 4 D 8,78±0,22 9,36±0,27b
nyata dengan perlakuan ikan lukas dan kurisi, Keterangan :
namun berbeda nyata dengan perlakuan ikan bawal. - Data ± standar deviasi
- Superscript yang berbeda pada kolom yang
Tabel 1. Kadar Air Penyedap Rasa dengan sama menunjukkan berbeda nyata pada taraf
Perbedaan Jenis Ikan 5%
No Perlakuan Kadar Air (%)
1 A 6,41±0,83a Berdasarkan Tabel 2 dapat dilihat bahwa
2 B 5,69±0,64a kadar protein tertinggi pada penyedap rasa ikan
3 C 7,98±0,46b lukas yaitu sebesar 16,54% berat basah dan 17,54%
4 D 6,13±0,54a berat kering, dan kadar protein terendah pada
Keterangan : penyedap rasa perlakuan kontrol yaitu sebesar
- Data ± standar deviasi 2,84% berat basah dan 3,03% berat kering,
- Superscript yang berbeda pada kolom yang sedangkan untuk kadar protein dari air rebusan ikan
sama menunjukkan berbeda nyata pada taraf bawal sebesar 11,26% berat basah dan 12,24%
5% berat kering, dan penyedap rasa dari air rebusan
ikan kurisi memiliki kadar protein sebesar 8,78%
Berdasarkan Tabel 1 dapat dilihat bahwa berat basah dan 9,36% berat kering. Kadar protein
nilai kadar air terendah yaitu penyedap rasa dari air penyedap rasa berbeda-beda pada setiap perlakuan,
rebusan ikan lukas sebesar 5,69%, dan kadar air hal ini dikarenakan ikan lukas, bawal dan kurisi
tertinggi yaitu penyedap rasa dari air rebusan bawal memiliki kandungan protein yang berbeda sehingga
sebesar 7,98%, sedangkan untuk penyedap rasa protein yang larut pada saat perebusan juga berbeda
dengan perlakuan kontrol memiliki kadar air kemudian menghasilkan produk yang memiliki
sebesar 6,41% dan kadar air pada penyedap rasa kadar protein berbeda juga. KKP (2015)
dari air rebusan kurisi sebesar 6,13%. Hal ini menyatakan ikan kurisi memiliki kadar protein
dikarenakan penambahan air rebusan ikan yang sebesar 19,66%. Kandungan protein ikan kurisi
berbeda jenis di setiap perlakuan penyedap rasa dengan ikan jenis lainnya tidak begitu jauh berbeda
sehingga terdapat nilai kadar air yang bervariatif. seperti ikan kerapu yang memiliki kandungan
Seperti yang diketahui bahwa kadar air setiap ikan protein sebesar 16,97%. Begitu pula untuk
berbeda sehingga akan menghasilkan produk yang perlakuan kontrol yang memiliki kadar protein
berbeda kadar airnya. Menurut Pratama et al. terendah dikarenakan pada perlakuan kontrol tidak
(2013) cyprinidae dalam keadaan segar memiliki ada penambahan air rebusan ikan yang dapat
nilai kadar air sebesar 79,65%, sedangkan kadar air meningkatkan kadar protein, sehingga dapat
yang terkandung dalam ikan bawal segar yaitu dikatakan bahwa perlakuan dengan jenis ikan yang
sebesar 78,04% (Purwadi et al., 2014), KKP (2015) berbeda menyebabkan kadar protein penyedap rasa
juga menyatakan bahwa ikan kurisi segar memiliki yang dihasilkan memiliki nilai yang berbeda. Jaya
kandungan kadar air sebesar 79,55%. Dilihat dari (2011), menyatakan kaldu blok ikan gabus
ketiga pernyataan tersebut dapat dinyatakan bahwa mengandung lebih banyak protein bila
penambahan air rebusan dari ikan yang berbeda dibandingkan kaldu blok ikan tenggiri. Hal ini
jenis dapat menghasilkan kadar air bubuk penyedap disebabkan oleh karena protein ikan gabus sebelum
rasa yang bervariatif. Botutihe dan Nur (2018) perlakuan sebesar 12% dan ikan tenggiri sebelum
menyatakan perbedaan nilai kadar air pada bumbu perlakuan sebesar 10%. Hal tersebut menunjukkan
bubuk penyedap ikan roa asap disebabkan oleh bahwa ikan gabus mengandung protein lebih tinggi
adanya penambahan ikan roa asap pada setiap dibandingkan dengan protein ikan tenggiri.
perlakuannya.
Kelarutan
Kadar Protein Hasil pada uji kelarutan menunjukkan
Hasil pada uji kadar protein menunjukkan bahwa terdapat perlakuan yang tidak berbeda nyata.
bahwa terdapat perlakuan yang berbeda nyata. Kelarutan pada perlakuan kontrol tidak berbeda

16
Jurnal Ilmu dan Teknologi Perikanan
Volume 2 No 2 (2020)

nyata dengan perlakuan ikan lukas, bawal dan non esensial tertinggi pada air rebusan ikan tenggiri
kurisi. yaitu glisin dan asam glutamat sedangkan asam
amino esensial tertinggi pada arginin dan lisin. Cita
Tabel 3. Hasil Analisis Uji Kelarutan Penyedap rasa gurih berasal dari dua komponen utama
Rasa dengan Perbedaan Jenis Ikan peptida dan asam amino yang terdapat dari ekstrak
No Perlakuan Kelarutan (%) dan bumbu-bumbu yang digunakan.
1 A 68,70±12,38a Berdasarkan hasil uji asam amino penyedap
2 B 70,01±3,76a rasa dengan perlakuan 3 ikan yang berbeda
3 C 76,16±3,28a didapatkan nilai tertinggi pada asam amino glisin,
4 D 74,09±9,13a asam glutamat dan arginin. Jumlah asam amino
Keterangan : glisin terbesar yaitu pada perlakuan dengan
- Data ± standar deviasi menggunakan ikan lukas yaitu 21439,77 mg/kg
- Superscript yang sama pada kolom yang sama sedangkan jumlah glisin yang terbesar kedua yaitu
menunjukkan tidak berbeda nyata pada taraf pada penyedap rasa dengan perlakuan dengan ikan
5% bawal yaitu 21260,27 mg/kg, untuk penyedap rasa
dengan perlakuan ikan kurisi memiliki jumlah asam
Berdasarkan Tabel 3 dapat dilihat bahwa amino glisin sebesar 15730,94 mg/kg dan asam
nilai kelarutan terendah yaitu pada penyedap rasa amino glisin terendah pada perlakuan kontrol
perlakuan kontrol sebesar 68,70%, dan kelarutan sebesar 1680,25 mg/kg. Asam amino glutamat
tertinggi yaitu pada penyedap rasa dari air rebusan tertinggi terdapat pada perlakuan dengan ikan lukas
bawal sebesar 76.16%, sedangkan untuk penyedap yaitu sebesar 12279,02 mg/kg, dan pada perlakuan
rasa dari air rebusan ikan lukas memiliki kelarutan dengan ikan bawal memiliki nilai asam glutamat
sebesar 70,01% dan kelarutan pada penyedap rasa terbesar kedua yaitu 16154,62 mg/kg, asam amino
dari air rebusan kurisi sebesar 74,09%. Hal ini glutamat pada perlakuan dengan ikan kurisi yaitu
menunjukkan bahwa semakin besar nilai kelarutan 12169,18 mg/kg, sedangkan pada perlakuan kontrol
maka semakin baik untuk produk tersebut karena memiliki jumlah asam glutamat terendah yaitu
akan lebih cepat larut saat dicampur dengan air 2923,79 mg/kg. Asam glutamat merupakan asam
sehingga penyedap rasa akan lebih cepat meresap amino yang dapat memberikan rasa gurih pada
dalam masakan. Kelarutan massa bubuk dalam air daging ikan. Menurut Laksono et al., (2019), asam
dipengaruhi oleh antara lain kadar air massa bahan amino yang paling banyak ditemui pada moluska
yang dilarutkan (Meiyani et al., 2014). laut adalah asam glutamat, asam aspartat, glisin dan
alanin. Asam glutamat dan asam aspartat
Profil Asam Amino memberikan cita rasa pada seafood, namun dalam
Berdasarkan Tabel 4, perlakuan berpengaruh bentuk garam sodium pada MSG akan memberikan
terhadap asam amino esensial dan non esensialnya. rasa umami.
Pada perlakuan kontrol terdapat asam amino Berdasarkan jumlah asam amino pada
esensial tertinggi terdapat pada Arginin dan pengujian profil asam amino tersebut dapat
Fenilalanin dengan nilai 5.547,18 mg/kg dan disimpulkan bahwa penyedap rasa dengan
1.131,67 mg/kg, sedangkan asam amino non perlakuan ikan lukas memiliki jumlah asam amino
esensial tertinggi terdapat pada Asam glutamat dan terbesar yaitu sebanyak 125624,26 mg/kg, jumlah
Glisin dengan nilai 2.923,79 mg/kg dan 1.680,25 asam amino terbesar kedua yaitu pada penyedap
mg/kg. Penyedap rasa dengan perlakuan ikan lukas rasa dengan perlakuan ikan bawal yaitu sebanyak
terdapat asam amino esensial tertinggi pada pada 102728,28 mg/kg, sedangkan penyedap rasa dengan
Arginin dan Fenilalanin dengan nilai 13.005,02 perlakuan ikan kurisi memiliki jumlah asam amino
mg/kg dan 6.838,96 mg/kg, sedangkan asam amino sebanyak 94031,22 mg/kg, serta jumlah asam
non esensial tertinggi pada Glisin dan Asam amino terkecil yaitu pada perlakuan kontrol sebesar
Glutamat dengan nilai 21.439,77 mg/kg dan 23144,92 mg/kg. Jumlah asam amino yang berbeda
16.154,62 mg/kg. Asam amino esensial tertinggi pada setiap perlakuan dikarenakan kandungan
pada perlakuan ikan bawal yaitu Arginin dan Lisin protein yang terdapat pada setiap ikan memiliki
dengan nilai 11.054,75 mg/kg dan 4.611,86 mg/kg, nilai yang tidak sama besarnya, sedangkan untuk
sedangkan asam amino non esensial tertinggi pada perlakuan kontrol tidak ada penambahan protein
Glisin dan Asam glutamat dengan nilai 21.260,27 yang berasal dari ikan sehingga jumlah asam amino
mg/kg dan 12.279,02 mg/kg. Asam amino esensial yang terkandung didalamnya juga kecil. Menurut
tertinggi pada perlakuan ikan kurisi terdapat di Sarie et al., (2018), kandungan gizi pada setiap ikan
arginin dan leusin dengan nilai 12.426,46 mg/kg berbeda-beda tergantung pada faktor internal dan
dan 4.648,59 mg/kg, sedangkan asam amino non eksternal yang meliputi jenis atau spesies ikan,
esensial tertinggi pada glisin dan asam glutamat jenis kelamin, umur, fase reproduksi, dan
dengan nilai 15.730,94 mg/kg dan 12.169,18 lingkungan hidup ikan.
mg/kg. Menurut Cahya et al. (2014), asam amino
17
Jurnal Ilmu dan Teknologi Perikanan
Volume 2 No 2 (2020)

Tabel 4. Profil Asam Amino Penyedap Rasa dengan Perbedaan Jenis Ikan
No. Asam Amino Penyedap Rasa
A (mg/kg) B (mg/kg) C (mg/kg) D (mg/kg)
Asam amino esensial
1 Glisin 1.680,25 21.439,77 21.260,27 15.730,94
2 L- Asam Glutamat 2.923,79 16.154,62 12.279,02 12.169,18
3 L- Alanin 1.567,75 10.475,37 10.223,09 8.438
4 L- Prolin 1.095,84 9.336,74 10.099,18 7.002,43
5 L- Asam Aspartat 1.599,23 9.122,21 6.363,12 6.008,34
6 L- Serin 1.609,51 6.305,77 5.363,90 4.510,59
7 L- Tirosin 953,44 2.753,62 1.434,19 2.231,22
Asam amino non esensial
8 L- Arginin* 5.547,18 13.005,02 11.054,75 12.426,46
9 L- Fenilalanin* 1.131,67 6.838,96 4.047,41 4.199,67
10 L- Leusin* 871,67 6.836,59 4.456,59 4.648,59
11 L- Lisin* 909,27 5.992,99 4.611,86 4.465,63
12 L- Threonin* 862,99 4.701,89 3.699,74 3.927,83
13 L- Valin* 907,14 4.664,99 3.318,82 3.486,33
14 L- Histidin* 976,08 4.656,94 2.315,52 2.523,20
15 L- Isoleusin* 509,11 3.338,78 2.200,82 2.262,81
Jumlah 23.144,92 125.624,26 102.728,28 94.031,22

Tabel 5. Hedonik Penyedap Rasa dengan Perbedaan Jenis Ikan


No Perlakuan Nilai Hedonik
Kenampakan Aroma Rasa Tekstur Selang Kepercayaan
1 A 7,00±0,53a 7,01±0,59a 7,03±0,49a 7,03±0,49a 7,01<μ< 7,24
2 B 7,27±0,69b 7,33±0,76b 7,30±0,65b 7,37±0,61b 7,17<μ<7,36
3 C 7,57±0,73c 7,47±0,90b 7,50±0,73c 7,30±0,53b 7,28<μ<7,56
4 D 7,57±0,73d 7,00±0,87c 7,40±0,72c 7,33±0,61b 7,30<μ<7,31
Keterangan:
- Data merupakan hasil rata-rata ± standar deviasi
- Data yang diikuti dengan tanda huruf kecil yang berbeda dalam kolom yang sama menunjukkan perbedaan
yang nyata (P<0,05).

Hedonik Kenampakan
Hasil uji hedonik terhadap penyedap rasa Kenampakan dalam penilaian hedonik
dari air rebusan ikan yang berbeda menunjukkan termasuk kedalam penilaian utama dikarenakan
berbeda nyata (P<5%). Perlakuan A terhadap kenampakan dapat menentukan karakteristik suatu
perlakuan B, C, dan D berbeda nyata. Perlakuan B produk penyedap rasa dilihat dari warna,
terhadap perlakuan C dan D tidak berbeda nyata. kebersihan, bentuk dan ukuran serbuk penyedap
Perlakuan C terhadap perlakuan D tidak berbeda rasa. Hasil nilai rata-rata pada parameter
nyata. Hal ini disebabkan penyedap rasa dengan kenampakan menunjukkan bahwa nilai rata-rata
perlakuan A memiliki nilai kesukaan panelis yang tertinggi terdapat pada penyedap rasa C dan D yaitu
tidak sama dengan penyedap rasa dengan perlakuan sebesar 7,57, penyedap rasa perlakuan B sebesar
B, C, dan D. Penyedap rasa A memiliki nilai 7,27 sedangkan penyedap rasa A memiliki nilai
hedonik yang berbeda yang diberikan oleh panelis. rata-rata kenampakan terkecil yaitu sebesar 7. Hal
Hal ini dikarenakan penyedap rasa A tidak ada ini menunjukkan bahwa panelis suka dengan
penambahan air rebusan ikan sehingga kenampakan penyedap rasa ini, terutama pada
menghasilkan penyedap rasa yang berbeda dengan perlakuan ikan bawal dan perlakuan ikan kurisi.
perlakuan lain. Penyedap rasa A memiliki Perbedaan kenampakan ini dikarenakan pada proses
kenampakan berwarna putih kekuningan, aroma pengovenan dapat menyebabkan reaksi pencoklatan
spesifik bumbu, rasa yang gurih dan bertekstur dari maltodekstrin dan asam amino yang
padat seperti serbuk. Selain itu, untuk penyedap terkandung dalam formulasi penyedap rasa,
rasa B, C, dan D memiliki kenampakan yang sehingga perlakuan kontrol memiliki warna yang
hampir sama yaitu berwarna putih kecoklatan, lebih cerah dibandingkan perlakuan dengan air
aroma spesifik penyedap rasa ikan, memiliki rasa rebusan ikan. Menurut Yeo dan Shibamoto (1991),
yang gurih spesifik kaldu ikan, dan teksturnya pemanasan menyebabkan reaksi pencoklatan dari
padat seperti serbuk. gula dan asam amino yang berpengaruh terhadap
18
Jurnal Ilmu dan Teknologi Perikanan
Volume 2 No 2 (2020)

warna dan rasa yang tidak diinginkan pada bahan panelis atau tidak. Parameter tekstur dalam
makanan. penilaian hedonik penyedap rasa bertujuan untuk
mengetahui serbuk penyedap rasa dari air rebusan
Aroma ikan tersebut kering atau lembab. Berdasarkan hasil
Parameter aroma merupakan parameter yang nilai rata-rata terhadap parameter tekstur
termasuk penting dikarenakan untuk menentukan menunjukkan bahwa nilai tertinggi terdapat pada
aroma suatu produk spesifik atau beraroma lain, penyedap rasa dengan perlakuan B yaitu 7,37, nilai
parameter aroma memanfaatkan indera penciuman tertinggi berikutnya yaitu pada perlakuan D sebesar
untuk menentukan penilaian. Berdasarkan hasil 7,33, sedangkan untuk penyedap rasa dengan
rata-rata dari parameter aroma menunjukkan bahwa perlakuan C memiliki nilai rata-rata sebesar 7,3 dan
rata-rata tertinggi pada penyedap rasa perlakuan C untuk penyedap rasa dengan perlakuan A memiliki
yaitu sebesar 7,47, penyedap rasa dengan nilai nilai rata-rata sebesar 7,03. Berdasarkan nilai rata-
tertinggi berikutnya yaitu pada perlakuan B yaitu rata terhadap parameter tekstur dapat dikatakan
7,33, sedangkan untuk penyedap rasa perlakuan A bahwa konsumen menyukai tekstur penyedap rasa
memiliki nilai rata-rata sebesar 7,01 serta penyedap tersebut. Perbedaan tekstur pada penyedap rasa
rasa perlakuan D memiliki nilai rata-rata sebesar 7. dapat disebabkan oleh perbedaan perlakuan pada
Berdasarkan nilai rata-rata terhadap parameter formulasi penyedap rasa. Menurut Malichati dan
aroma dapat dikatakan bahwa konsumen menyukai Annis (2018), dari keempat formula dapat
penyedap rasa tersebut. Hal ini dikarenakan aroma disimpulkan panelis memiliki preferensi kesukaan
penyedap rasa mampu meningkatkan selera makan tekstur kaldu bubuk dengan bubuk halus dan lebih
konsumen, apalagi untuk penyedap rasa dengan lembab. Perbedaan tekstur diduga karena perbedaan
perlakuan air rebusan ikan terdapat aroma spesifik formulasi pada perlakuan kaldu bubuk.
ikan sehingga dapat meningkatkan selera
konsumen. Menurut Octaviyanti et al., (2017), Tabel 6. Rendemen Penyedap Rasa Kontrol
aroma dapat mempengaruhi selera seseorang No. Proses Pengolahan Rendemen (gr)
terhadap suatu makanan. Hal ini dikarenakan, 1. Kontrol (Air) 2000
apabila seseorang mencium bau yang kurang enak 2. Perebusan 1300
dari suatu makanan maka dapat menurunkan selera 3. Penyaringan filtrat 1300
makan. Perlakuan dengan ikan akan membuat 4. Perebusan dengan 1130
aroma kaldu bubuk menjadi semakin kuat seperti Penambahan bumbu
aroma ikan sehingga meningkatkan selera. 5. Pengovenan 366
6. Penghalusan dan 254
Rasa Pengayakan
Rasa merupakan salah satu parameter Hasil akhir rendemen 12,7 %
penting dalam pengujian hedonik, parameter rasa
memanfaatkan indera perasa (lidah) untuk
menentukan penilaian terhadap suatu produk dapat Rendemen
diterima atau tidak. Berdasarkan hasil nilai rata-rata Berdasarkan Tabel 6 dan 7 menunjukkan
terhadap parameter rasa menunjukkan bahwa nilai bahwa rendemen pada perlakuan kontrol sebesar
tertinggi terdapat pada perlakuan C yaitu sebesar 12,7%. Pada perlakuan ikan lukas memiliki
7,5, sedangkan nilai tertinggi berikutnya yaitu pada rendemen sebesar 15,45%. Nilai rendemen pada
penyedap rasa perlakuan D yaitu sebesar 7,4, selain penyedap rasa dengan perlakuan ikan bawal yaitu
itu untuk penyedap rasa dengan perlakuan A sebesar 14,8%; sedangkan pada penyedap rasa
memiliki nilai rata-rata sebesar 7,33 serta penyedap dengan perlakuan ikan kurisi memiliki nilai
rasa dengan perlakuan A memiliki nilai rata-rata rendemen sebesar 19,5%. Berdasarkan data tersebut
terendah sebesar 7,03. Berdasarkan nilai rata-rata dapat disimpulkan bahwa nilai rendemen tertinggi
terhadap parameter rasa dapat dikatakan bahwa terdapat pada penyedap rasa dengan perlakuan air
konsumen suka terhadap produk penyedap rasa rebusan ikan kurisi, sedangkan nilai rendemen
dengan perlakuan penambahan air rebusan ikan terendah yaitu pada penyedap rasa dengan
yang berbeda jenis. Menurut Botutihe dan Nur perlakuan kontrol. Perbedaan nilai rendemen yang
(2018), pengaruh tingkat kesukaan terhadap rasa dihasilkan dapat menunjukkan bahwa ketiga ikan
bumbu bubuk berbahan dasar ikan ini kemungkinan tersebut memiliki nilai ekonomis yang bervariatif.
dipengaruhi oleh adanya senyawa aktif pembentuk Menurut Annisa et al., (2017), nilai rendemen dapat
rasa pada produk perikanan. menggambarkan nilai ekonomis suatu bahan.
Semakin tinggi nilai rendemen, maka semakin
Tekstur tinggi nilai ekonomisnya karena semakin tinggi
Parameter tekstur dalam penilaian hedonik jumlah yang dapat dimanfaatkan dari bahan
digunakan untuk melihat bentuk produk, sehingga tersebut.
dapat menentukan produk tersebut diterima oleh

19
Jurnal Ilmu dan Teknologi Perikanan
Volume 2 No 2 (2020)

Tabel 7. Rendemen Penyedap Rasa


No. Proses Pengolahan Rendemen (gr) Rendemen (gr) Rendemen (gr)
Ikan Lukas Ikan Bawal Ikan Kurisi
1. Ikan 2000 2000 2000
2. Perebusan dengan 4L Air 2300 2400 2780
3. Penyaringan Filtrat 2115 2290 2600
4. Perebusan dengan Penambahan Bumbu 1950 2050 2450
5. Pengovenan 370 355 452
6. Penghalusan dan Pengayakan 309 296 390
Hasil Akhir Rendemen 15,45 % 14,8 % 19,5 %

KESIMPULAN Pengembangan Produk Diversifikasi.


Kesimpulan yang dapat diambil dari JPHPI, 22(1): 60- 70.
penelitian ini adalah air rebusan ikan dapat Malichati, A. R., dan Adi, A. C. 2018. Kaldu Ayam
mempengaruhi nilai kadar air, kadar protein, dan Instan dengan Subtitusi Tepung Hati
asam amino, namun tidak mempengaruhi nilai Ayam sebagai Alternatif Bumbu untuk
kelarutan. Formulasi terbaik penyedap rasa yaitu Mencegah Anemia. Amerta Nutr, 2(1):
pada air rebusan Ikan Lukas dikarenakan memiliki 74- 82.
nilai kadar air, kadar protein, dan asam amino Meiyani, D. N. A. T., Riyadi, P. H dan A. D.
terbaik dengan nilai selang kepercayaan pada uji Anggo. 2014. Pemanfaatan Air Rebusan
hedonik sebesar 7,17<μ<7,36. Kepala Udang Putih (Penaeus
merguiensis) sebagai Flavor dalam Bentuk
DAFTAR PUSTAKA Bubuk dengan Penambahan Maltodekstrin.
Annisa, S., Darmanto, Y. S., dan Amalia, U. 2017. Jurnal Pengolahan dan Bioteknologi Hasil
Pengaruh Perbedaan Spesies Ikan terhadap Perikanan, 3(2): 67-74
Hidrolisat Protein Ikan dengan Nugroho, P., Dwiloka, B dan Rizqiati, H. 2018.
Penambahan Enzim Papain. Indonesian Rendemen, Nilai PH, Tekstur, dan
Journal of Fisheries Science dan Aktivitas Antioksidan Keju Segar dengan
Technology, 13(1): 24- 30. Bahan Pengasam Ekstrak Bunga Rosella
AOAC. 2005. Official Methods of Analysis. Ungu (Hibiscus sabdariffa L.). Jurnal
Association of Official Analytical Teknologi Pangan, 2(1): 33- 39.
Chemists. Benjamin Franklin Station, Octaviyanti, N., Dwiloka, B dan Setiani, B. E.
Washington. 2017. Mutu Kimiawi dan Mutu
Botutihe, D, dan Rasyid, N. P. 2018. Mutu Kimia, Organoleptik Kaldu Ayam Bubuk dengan
Organoleptik, dan Mikrobiologi Bumbu Penambahan Sari Bayam Hijau. Jurnal
Bubuk Penyedap Berbahan Dasar Ikan Aplikasi Teknologi Pangan, 6(2): 1- 4.
Roa Asap (Hermihamphus far.). Jurnal Pratama, R. I., Rostini, I dan Awaluddin, M. Y.
Perbal, 6(3): 16-30. 2013. Komposisi Kandungan Senyawa
Cahya, G., A. Baehaki, dan R. Nopianti. 2014. Flavor Ikan Mas (Cyprinus carpio) Segar
Karakteristik dan Aktivitas Antioksidan dan Hasil Pengukusannya. Jurnal
Petis Air Rebusan Kepala Gabus (Channa Akuatika, 4(1): 55- 67.
striata) dan Tenggiri (Scomberomorus Pundoko, S. S., Onibala, H dan Agustin, A. T.
commersoni) dengan Perbedaan 2014. Perubahan Komposisi Zat Gizi Ikan
Konsentrasi Gula Kelapa. Fistech, 3(1): Cakalang (Katsuwonus pelamis. L) Selama
30- 39. Proses Pengolahan Ikan Kayu. Jurnal
Jaya, F. M. 2011. Karakteristik Kaldu Blok dari Media Teknologi Hasil Perikanan, 2(1):
Kepala Ikan Tenggiri (Scomberomorus 9-14.
commersoni) dan Gabus (Channa striata) Purwadi, S. D., Darmanto, Y. S dan Wijayanti, I.
dengan Penambahan Konsentrasi Tapioka 2014. Pengaruh Penambahan Egg White
yang Berbeda. Jurnal Ilmu-ilmu Perikanan Powder (EWP) terhadap Kualitas Gel
dan Budidaya Perairan, 6(1): 1- 13. Surimi Beberapa Ikan Air Tawar. Jurnal
Kementerian Kelautan dan Perikanan. 2015. Pengolahan dan Bioteknologi Hasil
Database Nilai Gizi. Litbang KKP. Perikanan, 3(2): 52- 59.
Jakarta. Sarie, O. T., Asikin, A. N dan Kusumaningrum, I.
Laksono, U. T., Nurhayati, T., Suptijah, P., 2018. Pengaruh Perbedaan Jenis Ikan
Nur’aenah, N dan Nugroho, T. S. 2019. terhadap Karakteristik Gel Surimi.
Karakteristik Ikan Malong (Muraenesox Ziraa’ah, 43(3): 266- 272.
cinerus) sebagai Bahan Baku Standar Nasional Indonesia. 2006. Cara Uji Kimia
– Bagian 4: Penentuan Kadar Protein
20
Jurnal Ilmu dan Teknologi Perikanan
Volume 2 No 2 (2020)

dengan Metode Total Nitrogen pada Anak SD Komp.Lariangbangi Makassar.


Produk Perikanan No. 01- 2354.4-2006. BPIGF Kesehatan, 1-8.
Badan Standardisasi Nasional Indonesia. Yeo dan Shibamoto. 1991. Flavor Compound
Jakarta. Formed from Lipids by Heat Treatment in
Flavor Precursor. American Chemical
_______________________. 2006. Petunjuk Society. Washington.
Pengujian Organoleptik dan atau Sensori Yuanita, I., dan Silitonga, L. 2014. Sifat Kimia dan
No. 01-2346-2006. Badan Standardisasi Palatabilitas Nugget Ayam Menggunakan
Nasional Indonesia. Jakarta. Jenis dan Konsentrasi Bahan Pengisi yang
Widyalita, E., Sirajuddin, S dan Zakaria. 2014. Berbeda. Jurnal Ilmu Hewani Tropika,
Analisis Kandungan Monosodium 3(1).
Glutamat (MSG) pada Pangan Jajanan

21
Jurnal Ilmu dan Teknologi Perikanan
Volume 2 No 2 (2020)

22
Online : J. Peng. & Biotek. Hasil Pi.
http://www.ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/jpbhp Vol. 5 No. 1 Th. 2016
Hasil Penelitian ISSN : 2442-4145

PENGARUH METODE PENGERINGAN GRANULATOR TERHADAP KANDUNGAN ASAM


GLUTAMAT SERBUK PETIS LIMBAH PINDANG IKAN LAYANG (Decapterus spp.)

The Effect of Granulator Drying Method to Glutamic Acid Content of Fish Paste Powder from Mackerel Scad
(Decapterus spp.) boiled waste

Hilda Rizkyah Fauzy*), Titi Surti, Romadhon

Program Studi Teknologi Hasil Perikanan, Jurusan Perikanan,


Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Diponegoro
Jl. Prof Soedarto, SH, Tembalang, Semarang, Jawa Tengah-50275, Telp/Fax. +6224 7474698
Email : hilda.rizkyah.r@gmail.com

Diterima : 1 Desember 2015 Disetujui : 2 Desember 2015

ABSTRAK

Petis adalah produk sampingan hasil perebusan (ikan, kupang, dan udang) yang dikentalkan seperti saus. Petis
mengandung asam glutamat yang cukup tinggi yang dikenal sebagai penyedap makanan. Oleh karena itu, sangat
memungkinkan produk flavor yang dibuat dari petis limbah pindang ikan layang. Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui pengaruh metode pengeringan granulator terhadap kandungan asam glutamat, sifat kimia dan sifat
fisik pada serbuk petis limbah pindang ikan layang. Metode penelitian menggunakan Rancangan Acak
Kelompok dengan perlakuan metode pengeringan granulator (50°C selama 5 jam, 60°C selama 4 jam, dan 70°C
selama 3 jam). Variabel mutu yang diamati adalah asam glutamat, kadar air, protein, lemak, abu karbohidrat, dan
hedonik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa metode pengeringan granulator berpengaruh nyata terhadap nilai
asam glutamat dengan nilai tertinggi diperoleh pada pengeringan suhu 50 oC selama 5 jam yaitu 10,12%; Kadar
protein, dan lemak terbaik terdapat pada metode pengeringan granulator dengan suhu 50oC selama 5 jam dengan
nilai kadar protein 31,73%, kadar lemak 4,62%. Sedangkan untuk metode pengeringan granulator dengan suhu
70oC selama 3 jam memberikan nilai terbaik pada kadar air (21,37%), abu (6,16%) dan karbohidrat (65,79%).
Nilai hedonik terbaik terdapat pada metode pengeringan granulator dengan suhu 60 oC selama 4 jam yaitu
7,31 7,49.

Kata kunci: Ikan Layang, Petis, Asam Glutamat, Granulator, Pengeringan,

ABSTRACT

Fish paste is made from boiling of fish, mussel and shrimp by product which is viscous like sauce. Fish paste is
high glutamic acid content that is used as food flavoring. Therefore, it may possibly making fish paste powder
from mackerel scad byproducts due to high content of glutamic acids. The aimed of this research were to
determine the effect of granulator drying method to glutamic acid content, the chemical and physical
characteristic of the fish paste powder of mackerel scad fish boiled by product. The used research method was a
randomized block design with three different treatments method of drying granulator (50oC for 5 hours, 60oC for
4 hours and 70oC for 3 hours). Quality variable measured were glutamic acid, moisture contnet, protein, lipids,
ash, carbohydrate and hedonic test. The result of the research showed that the method of granulator drying on
fish paste powder of mackerel scad fish boiled by product had significantly affected to glutamic acid content on
treatment 50oC for 5 hours which was showed the high content of glutamic acids 10,12%. Protein content and
lipid content also showed the high amount at 50oC for 5 hours with 31,73% and 4,62% respectively, meanwhile
at 70oC for 3 hours treatment gave the low moisture content (21,37%), ash content (6,16%) and carbohydrate
content (65,79%). The high hedonic test (7,31 7,49) be found at temperature 60oC for 4 hours.

Keywords: Kite Shaped Fish, Petis, Glutamic Acid, Granulator, Drying.


*
) Penulis Penanggungjawab

PENDAHULUAN satu pengawetan ikan layang adalah dengan cara


pemindangan yaitu pengolahan dengan merebus
Ikan layang merupakan ikan pelagis yang atau memanaskan ikan dalam suasana bergaram.
memiliki daging dengan rasa manis dan gurih, Namun dalam proses pemindangan biasanya
sehingga saat belum diolah menjadi masakan yang menghasilkan limbah cair yang dapat dimanfaatkan
berbumbu, dagingnya tidak berasa hambar. Salah kembali untuk diolah sebagai bahan baku petis
16
Online : J. Peng. & Biotek. Hasil Pi.
http://www.ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/jpbhp Vol. 5 No. 1 Th. 2016
Hasil Penelitian ISSN : 2442-4145

ikan. Menurut Poernomo et al. (2004), petis adalah MATERI DAN METODE PENELITIAN
produk sampingan hasil perebusan (ikan, kupang,
dan udang) yang dikentalkan seperti saus. Petis Alat dan Bahan
memiliki tekstur semi-padat dan diberi penambahan Materi yang digunakan dalam penelitian ini
bumbu-bumbu dan gula, sehingga warnanya adalah limbah cair pindang ikan layang
menjadi coklat pekat dan rasanya manis. (Decapterus spp.). Penelitian ini dilaksanakan di
Petis digunakan sebagai perangsang Laboratorium Fisika Terapan Studi D3 Kimia
makanan (bumbu masak) yang sedap dan bergizi. Universitas Diponegoro Laboratorium Ilmu Gizi
Kadar air yang terkandung dalam petis cukup tinggi dan Teknologi Pangan Universitas Muhammadiyah
yaitu sekitar 56% dan mempengaruhi mutu petis. Semarang dan Laboratorium Ilmu Pangan
Jika kadar airnya tinggi maka kemunginan mikroba Universitas Katolik Soegijapranata, Semarang.
untuk tumbuh juga tinggi begitu juga sebaliknya. Alat yang digunakan dalam penelitian
Selain itu untuk menghasilkan produk flavor yang adalah panci, pengaduk, talenan, wadah, saringan,
banyak dipasarkan biasanya dalam bentuk kering pisau, timbangan analitik, granulator, penggiling
ataupun serbuk. Menurut Fardiaz (1989) kadar air tepung
bahan makanan berperan dalam pertumbuhan
mikroorganisme, sehingga sangat menentukan Metode Penelitian
kualitas dan masa penyimpanan. Dengan membuat Pembuatan petis dilakukan dengan
kadar air suatu bahan dibawah nilai minimal yang pemasakan awal cairan limbah pindang ikan
dibutuhkan oleh mikroba untuk pertumbuhan dan layang, yang kemudian ditambahkan dengan
perkembangbiakannya, sehingga mikroba tersebut bawang putih 4,5%, cabai 1,5%, tepung terigu
tidak mempunyai kesempatan untuk tumbuh, tidak 7,5%, serta gula (gula pasir 18,8%, gula merah
berkembang sebagaimana mestinya. 18,8% dan kombinasi gula merah dan gula pasir
Penggunaan petis sebagai penyedap rasa 18,8%), kemudian pengadukan hingga menjadi
dalam makanan membutuhkan jumah yang cukup kental dan disaring, lalu didinginkan. Setelah itu
banyak. Oleh karena itu diperlukan produk flavor dikeringkan dengan menggunakan granulator
yang memiliki kadar air yang rendah ataupun dengan suhu 50oC, 60oC dan 70oC, lama
tekstur seperti penyedap rasa lainnya yang pengeringan terbaik didapatkan melalui
berbentuk serbuk yang dibuat dari petis limbah pengamatan terhadap karakteristik sensori yang
pindang ikan layang. meliputi tekstur dan aroma serbuk petis selama
Pengeringan merupakan salah satu metode proses pengeringan berlangsung dengan rentang
yang digunakan untuk mempertahankan mutu suatu waktu pengamatan yaitu tiap satu jam. Lama
produk. Mengeringkan suatu bahan bermanfaat pengeringan yang didapat untuk masing-masing
untuk memperpanjang daya awet dari suatu produk, suhu yaitu 50oC selama 5 jam, 60oC selama 4 jam
sehingga mikroba tidak dapat tumbuh. dan 70oC selama 3 jam. Petis yang sudah kering
Pertumbuhan mikroba pada bahan pangan yang kemudian dihaluskan dengan menggunakan
telah diolah khususnya petis dipengaruhi oleh penggilingan tepung.
beberapa faktor diantaranya adalah suhu, kadar air, Metode penelitian yang digunakan adalah
Aw dan nutrisi dalam bahan pangan tersebut. experimental laboratories, dengan rancangan
Menurut Winarno (1997) pertumbuhan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak
mikroorganisme dipengaruhi oleh nutrisi, waktu, Kelompok dengan 3 metode pengeringan
suhu, pH, kadar air, ketersediaan gas-gas dan Aw. granulator. Parameter yang diamati adalah uji nilai
Hal tersebut diperkuat oleh pernyataan Buckle et. sensori yang mengacu pada BSN, 2011. Uji nilai
al. (1985) bahwa kapang senang tumbuh pada kadar asam glutamat yang mengacu pada Bioassay
buah-buahan yang membusuk, tempat-tempat yang system, 2009. Uji nilai kadar proksimat yang
lembab dan pada bahan makanan yang semi basah. mengacu pada AOAC, 1995, serta uji hedonik yang
Beberapa penelitian telah membuktikan mengacu pada Setiyasi et al., 2013.
bahwa perbedaan metode pengeringan oven dengan
suhu 50oC, 60oC dan 70oC berpengaruh nyata HASIL DAN PEMBAHASAN
terhadap kandungan kimia yang dihasilkan.
Berdasarkan hal tersebut, penelitian yang dilakukan Kadar Asam Glutamat
ini mengacu pada penelitian di atas, penelitian ini Hasil pengujian nilai kadar asam glutamat
dilakukan pada metode pengeringan dengan pada serbuk petis limbah pindang ikan layang
menggunakan granulator untuk mengetahui dengan metode pengeringan granulator tersaji pada
perbedaan terhadap kandungan asam amino Tabel 1. Hasil Pengujian menunjukkan bahwa
glutamat sebagai flavor. metode pengeringan granulator memberikan
pengaruh nyata terhadap kadar asam glutamat
(P<0,05). Penurunan nilai asam glutamat
disebabkan karena denaturasi protein akibat
pemanasan yang terlalu tinggi. Denaturasi terjadi

17
Online : J. Peng. & Biotek. Hasil Pi.
http://www.ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/jpbhp Vol. 5 No. 1 Th. 2016
Hasil Penelitian ISSN : 2442-4145

dalam perubahan struktur karena ada ikatan-ikatan Hasil pengujian menunjukkan bahwa metode
yang pecah. Menurut Winarno dan Rahayu (2004) pengeringan granulator tidak memberikan pengaruh
asam glutamat merupakan bagian dari kerangka nyata terhadap kadar air (P>0,05), hal tersebut
utama berbagai jenis molekul protein yang terdapat disebabkan oleh metode pengeringan yang
dalam makanan. Riawan (1990) menambahkan digunakan memiliki perbedaan suhu pengeringan
salah satu sifat protein yaitu denaturasi ialah yang tidak terlalu tinggi serta kombinasi waktu
pemecahan stuktur yang aktif dari protein dan pengeringan yang telah sesuai untuk masing-
kondisi panas dan zat kimia asam yang kuat dan masing suhu pengeringan. Semakin tinggi suhu
banyak. pengeringan maka waktu pengeringan yang
Tabel 1. Hasil Pengujian Nilai Kadar Asam digunakan akan semakin singkat. Penyesuaian
Glutamat (bk %) pada Serbuk Petis tersebut dapat menghasilkan kadar air serbuk petis
Limbah Pindang Ikan Layang dengan yang tidak berbeda nyata. Namun mengindikasikan
Metode Pengeringan Granulator bahwa semakin tinggi suhu maka semakin rendah
Perlakuan Nilai asam glutamat kadar airnya. Hasil kadar air jika dibandingkan
Suhu 50oC (5 jam) 10,12 ± 0,31a dengan SNI produk yang berbentuk serbuk yaitu
o
Suhu 60 C (4 jam) 8,79 ± 0,25b standar 12%, jadi kadar air dalam produk serbuk
o
Suhu 70 C (3 jam) 7,96 ± 0,18c petis ini belum memenuhi standar. Menurut
Keterangan: Winarno (1991), dengan kadar air rendah
- Data merupakan hasil dari rata-rata 3 kali diharapkan masa simpan serbuk petis pada
ulangan ± standar deviasi penelitian ini dapat bertahan lebih lama. Kadar air
- Superscript huruf kecil yang berbeda (a, b) sangat berpengaruh terhadap mutu bahan pangan.
menunjukkan bahwa perlakuan metode Hal ini diperkuat oleh pendapat Sudarmadji et al.
pengeringan granulator berbeda nyata. (1997) dengan adanya pemanasan nilai kadar air
dan kadar protein dapat mengalami penurunan,
Hasil uji asam glutamat yang diperoleh pada dimana semakin tinggi suhu pemanasan, maka
penelitian mengandung asam glutamat yang cukup suatu bahan pangan yang dilakukan proses
besar hingga 10,12%. Hal ini dapat disebabkan pengeringan dengan temperatur yang tinggi
karena asam glutamat merupakan bagian dari semakin rendah kemampuan menyerap air yang
kerangka utama berbagai jenis molekul protein berasal dari udara bebas, sehingga kadar air yang
yang terdapat dalam makanan secara alami. terdapat pada produk pun menurun.
Ditambahkan oleh Persatuan PabrikMonosodium
Glutamat dan Glutamat Acid Indonesia (P2MI) Kadar Protein
(2004), yang menyatakan asam glutamat terdiri dari Hasil pengujian nilai kadar protein pada
dua bentuk yaitu bentuk terikat dan bentuk bebas. serbuk petis limbah pindang ikan layang dengan
Bentuk terikat merupakan asam glutamat yang metode pengeringan granulator tersaji pada Tabel 3.
terikat pada asam amino lain membentuk protein, Tabel 3. Hasil Pengujian Nilai Kadar Protein (bk
selanjutnya bentuk bebas merupakan asam glutamat %) pada Serbuk Petis Limbah Pindang
yang tidak berikatan dengan protein. Ikan Layang dengan Metode Pengeringan
Granulator
1.1 Kadar Air Perlakuan Nilai Kadar Protein
Hasil pengujian nilai kadar air pada serbuk Suhu 50oC (5 jam) 31,73 ± 0,57a
o
petis limbah pindang ikan layang dengan metode Suhu 60 C (4 jam) 27,26 ± 1,52b
o
pengeringan granulator tersaji pada Tabel 2. Suhu 70 C (3 jam) 24,40 ± 1,81b
Tabel 2. Hasil Pengujian Nilai Kadar Air (bb %) Keterangan :
pada Serbuk Petis Limbah Pindang Ikan - Data merupakan hasil dari rata-rata 3 kali
Layang dengan Metode Pengeringan ulangan ± standar deviasi
Granulator - Superscript tanda huruf kecil yang berbeda
Perlakuan Nilai Kadar Air menunjukan bahwa perlakuan perlakuan
Suhu 50oC (5 jam) 22,12 ± 0,66a metode pengeringan granulator tidak berbeda
o
Suhu 60 C (4 jam) 21,83 ± 1,23a nyata
o
Suhu 70 C (3 jam) 21,37 ± 0,12a
Keterangan : Hasil uji ANOVA dari nilai kadar protein
- Data merupakan hasil dari rata-rata 3 kali menunjukan Sig < 0,05. Hasil ini mengindikasikan
ulangan ± standar deviasi bahwa perbedaan metode pengeringan memberikan
- Superscript tanda huruf kecil yang berbeda pengaruh nyata terhadap nilai kadar protein.
menunjukan bahwa perlakuan perlakuan Berdasarkan hasil penelitian yang didapat diketahui
metode pengeringan granulator tidak berbeda bahwa kandungan protein mengalami penurunan.
nyata Dilihat dari metode pengeringan suhu 50oC selama
5 jam yang memiliki nilai tertinggi yaitu sebesar
24,72% dan suhu 70oC selama 3 jam yang memiliki
18
Online : J. Peng. & Biotek. Hasil Pi.
http://www.ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/jpbhp Vol. 5 No. 1 Th. 2016
Hasil Penelitian ISSN : 2442-4145

nilai terendah yaitu sebesar 19,19%. Semakin tinggi Hasil uji ANOVA dari data nilai kadar lemak
suhu pengeringan yang digunakan maka akan menunjukkan bahwa Sig < 0,05. Hal ini
menyebabkan denaturasi protein. Denatuasi protein mengindikasikan bahwa perbedaan metode
disebabkan oleh pemanasan yang tinggi. Menurut peneringan memberikan pengaruh berbeda nyata
Salamah et al. (2012) menjelaskan bahwa terhadap kandungan kadar lemak serbuk petis ikan
pengolahan memberikan penurunan terhadap kadar layang. Hasil penelitian menunjukkan nilai kadar
protein, hal ini disebabkan penggunaan suhu tinggi lemak yang semakin menurun. Penurunan kadar
pada saat proses pengolahan mengakibatkan protein lemak disebabkan oleh perbedaan suhu pengeringan
terdenaturasi. Sudarmadji et al. (1997) yang digunakan. Semakin tinggi suhu pengeringan
menambahkan dengan adanya pemanasan, protein maka kadar lemaknya semakin menurun. Hal ini
dalam bahan makananakan mengalami perubahan diduga oleh oksidasi lemak. Oksidasi lemak salah
dan membentuk persenyawaan dengan bahan lain, satunya dipengaruhi oleh kadar air dalam bahan
misalnya antara asam amino hasil perubahan pangan. Menurut Purnomo (1995), air yang besar
protein dengan gula-gula reduksi yang membentuk peranannya dalam struktur bahan pangan juga
senyawa rasa dan aroma makanan. Pemanasan yang merupakan faktor utama dalam oksidasi lemak.
berlebihan atau perlakuan lain mungkinakan Kadar lemak suatu bahan pangan dapat digunakan
merusakkan protein apabila dipandang dari sudut untuk memperkirakan tingkat oksidasi yang sangat
gizinya. erat kaitannya dengan ketengikan, terutama bila
Proses pengeringan menyebabkan terjadinya diketahui secara pasti kandungan lemak tidak
pengurangan kadar air serbuk petis sehingga jenuhnya. Lemak tidak jenuh ini yang nantinya
meningkatkan presentase kadar protein serbuk petis berpotensi menyebabkan ketengikan pada produk.
dibanding dengan kadar protein petis sebelum Semakin banyak kandungan lemak tidak jenuh
dikeringkan. Penurunan kadar protein disebabkan maka ketengikan produk akan semakin mudah
oleh efek samping pada saat proses pengolahan terjadi (Aditya, 2008). Penurunan kadar air akan
terlarut bersamaan dengan terlarutnya komponen meningkatkan konsentrasi dari radikal inisiasi dan
yang lain, hal ini juga berlaku pada penurunan tingkatan kontak dengan O2 dengan lemak
kadar air semakin lama pengeringan, kadar air mengakibatkan lemak menjadi rusak dan secara
semakin menurun. Menurut Nurjanah dan proporsi akan menurunkan kandungan lemak
Kustiyariyah (2005), bahwa penurunan kadar bahan. Peningkatan suhu pengeringan
protein dapat disebabkan oleh terlarutnya menyebabkan penurunan kadar lemak. Pada suhu
komponen tersebut saat dilakukan pengeringan pengeringan yang tinggi, oksidasi lemak dalam
akibat panas. Komponen protein yang terlarut bahan pangan lebih besar daripada suhu rendah
tersebut terdiri dari protein yang bersifat larut air (Desroiser, 1988).
terutama sarkoplasma. Diperkuat oleh De Man
(1997), menambahkan bahwa protein sarkoplasma Kadar Abu
merupakan protein terbesar kedua yang memiliki Hasil pengujian nilai kadar abu pada serbuk
sifat larut dalam air. Karakteristik fisik sarkoplasma petis limbah pindang ikan layang dengan metode
bertanggungjawab untuk daya larut sarkoplasma pengeringan granulator tersaji pada Tabel 5.
yang tinggi dalam air. Tabel 5. Hasil Pengujian Nilai Kadar Abu (bk %)
pada Serbuk Petis Limbah Pindang Ikan
Kadar Lemak Layang dengan Metode Pengeringan
Hasil pengujian nilai kadar lemak pada Granulator
serbuk petis limbah pindang ikan layang dengan Perlakuan Nilai Kadar Abu
metode pengeringan granulator tersaji pada Tabel 4. Suhu 50oC (5 jam) 7,47 ± 0,11a
o
Tabel 4. Hasil Pengujian Nilai Kadar Lemak (bk Suhu 60 C (4 jam) 6,69 ± 0,28b
o
%) pada Serbuk Petis Limbah Pindang Suhu 70 C (3 jam) 6,16 ± 0,26b
Ikan Layang dengan Metode Pengeringan Keterangan :
Granulator - Data merupakan hasil dari rata-rata 3 kali
Perlakuan Nilai Kadar Lemak ulangan ± standar deviasi
Suhu 50oC (5 jam) 4,62 ± 0,09a - Superscript tanda huruf kecil yang berbeda
o
Suhu 60 C (4 jam) 4,14 ± 0,11b menunjukan bahwa perlakuan perlakuan
o
Suhu 70 C (3 jam) 3,64 ± 0,09c metode pengeringan granulator tidak berbeda
Keterangan : nyata
- Data merupakan hasil dari rata-rata 3 kali
ulangan ± standar deviasi Hasil uji ANOVA dari nilai kadar abu
- Superscript tanda huruf kecil yang berbeda menunjukan bahwa Sig < 0,05. Hasil ini
menunjukan bahwa perlakuan perlakuan mengindikasikan bahwa perbedaan metode
metode pengeringan granulator tidak berbeda pengeringan memberikan pengaruh nyata terhadap
nyata nilai kadar abu serbuk petis ikan layang. Nilai kadar
abu terbaik terdapat pada metode pengeringan
19
Online : J. Peng. & Biotek. Hasil Pi.
http://www.ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/jpbhp Vol. 5 No. 1 Th. 2016
Hasil Penelitian ISSN : 2442-4145

granulator dengan suhu 70oC selama 3 jam yaitu kadar protein yang semakin menurun akibat proses
sebesar 6,16%. Hal tersebut diakibatkan karena pengeringan yang tinggi. Menurut Listana et al.,
kadar air dalam pangan juga menurun. Penurunan (2011) meningkat dan menurunnya kadar
kadar abu ini terjadi karena semakin lama karbohidrat diduga pengaruh suhu pengeringan,
pengeringan maupun semakin tinggi suhu yang umumnya terkait dengan terjadinya hidrolisis.
digunakan maka jumlah air yang diuapkan semakin Sebagai contoh pengeringan akan menyebabkan
banyak. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan gelatinisasi pati yang akan meningkatkan nilai
Sudarmadji et al (1997) bahwa kadar abu cernanya. Sebaliknya peranan karbohidrat
tergantung pada jenis bahan, cara pengabuan, waktu sederhana dan kompleks dalam reaksi maillard
dan suhu yang digunakan saat pengeringan. dapat menurunkan ketersediaan karbohidrat dalam
Peningkatan suhu pengeringan menyebabkan produk hasil pengeringan.
penurunan kadar abu sebab dengan meningkatnya Sumber karbohidrat dalam serbuk petis ini
suhu mengakibatkan kadar air semakin menurun adalah glikogen yang terdapat dalam limbah air
sehingga semakin banyak residu yang ditinggalkan rebusan pindang ikan layang. Menurut Winarno
dalam bahan. Menurut Susanto dan Saneto (1994), (1992) glikogen merupakan pati hewan, banyak
kandungan air bahan makanan yang dikeringkan terdapat pada hati dan otot, bersifat larut dalam air.
akan mengalami penurunan lebih tinggi dan Glikogen terdapat dalam otot-otot hewan, manusia
menyebabkan pemekatan dari bahan-bahan yang dan ikan. Glikogen disimpan dalam hati hewan
tertinggal salah satunya mineral. Kadar abu ada sebagai cadangan energi yang sewaktu-waktu dapat
hubungannya dengan mineral suatu bahan diubah menjadi glukosa.
(Sudarmadji et al., 1989).
Nilai Hedonik
Kadar Karbohidrat Hasil pengujian hedonik pada serbuk petis
Hasil pengujian nilai kadar karbohidrat pada limbah pindang ikan layang dengan metode
serbuk petis limbah pindang ikan layang dengan pengeringan granulator tersaji pada Tabel 8. Uji
metode pengeringan granulator tersaji pada Tabel 6. hedonik merupakan analisis sensoris yang
Tabel 6. Hasil Pengujian Nilai Kadar karbohidrat dilakukan oleh panelis untuk mengetahui tingkat
(bk %) pada Serbuk Petis Limbah Pindang kesukaan secara subyektif. Parameter uji hedonik
Ikan Layang dengan Metode Pengeringan yang dilakukan pada produk bakso ikan meliputi
Granulator kenampakan, aroma, rasa dan tekstur. Menurut
Perlakuan Nilai Kadar Karbohidrat Soekarto (1985), sifat mutu subyektif pangan
Suhu 50oC (5 jam) 56,17 ± 0,63a karena penilaiannya menggunakan organ indera
o
Suhu 60 C (4 jam) 61,91 ± 1,85b manusia, kadang-kadang disebut juga sifat sensoris
o
Suhu 70 C (3 jam) 65,79 ± 1,83c karena penilaiannya didasarkan rangsangan sensoris
Keterangan : pada organ indera.
- Data merupakan hasil dari rata-rata 3 kali Nilai hedonik spesifikasi kenampakan
ulangan ± standar deviasi menunjukkan hasil yang baik pada produk serbuk
- Superscript tanda huruf kecil yang berbeda petis dengan ketiga metode pengeringan yang
menunjukan bahwa perlakuan perlakuan dilakukan. Nilai kenampakan pada serbuk petis
metode pengeringan granulator tidak berbeda dengan metode pengeringan suhu 60oC selama 4
nyata jam adalah 7,57 ± 0,57 sekaligus menjadi nilai
tertinggi. Nilai kenampakan terendah terdapat pada
Hasil uji ANOVA dari nilai kadar metode pengeringan suhu 70oC selama 3 jam yaitu
karbohidrat menunjukan bahwa Sig < 0,05. Hasil sebesar 7,00 ± 0,52; sedangkan dengan metode
ini mengindikasikan bahwa perbedaan metode pengeringan suhu 50oC selama 5 jam memiliki nilai
pengeringan memberikan pengaruh nyata terhadap sebesar 7,50 ± 0,51. Hasil tersebut dapat diambil
nilai kadar karbohidrat serbuk petis ikan layang. kesimpulan bahwa nilai hedonik serbuk petis
Nilai kadar karbohidrat pada serbuk petis ikan dengan metode pengeringan granulator dapat
layang mengalami peningkatan. Kadar karbohidrat diterima oleh panelis. Hasil uji Kruskal Wallis
dengan metode pengeringan suhu 50oC selama 5 menunjukkan bahwa nilai hedonik serbuk petis
jam memiliki nilai sebesar 43,75%, yang limbah pindang ikan layang dengan metode
merupakan nilai terendah, dan nilai tertinggi pengeringan granulator tidak berpengaruh nyata
diperoleh dari metode pengeringan dengan suhu (P>0,05).
70oC selama 3 jam yaitu sebesar 51,74%. Hal Warna pada serbuk petis dipengaruhi adanya
tersebut disebabkan oleh proses pengeringan yang gula yang menyebabkan reaksi Maillard saat
menyebabkan terjadinya kehilangan kandungan air, pemanasan. Rata-rata nilai kecerahan serbuk petis
sehingga meningkatkan bahan kering yang ikan layang ini berkisar antara 52,31 – 55,59
dihasilkan. Dalam proses pengolahan penambahan dengan nilai terbaik terdapat pada metode
bumbu seperti tepung terigu dan gula pasir berperan pengeringan granulator dengan suhu 60oC selama 4
meningkatkan kadar karbohidrat. Berbeda dengan jam dan nilai terendah dengan suhu 70 oC selama 3

20
Online : J. Peng. & Biotek. Hasil Pi.
http://www.ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/jpbhp Vol. 5 No. 1 Th. 2016
Hasil Penelitian ISSN : 2442-4145

jam. Apabila hasil dari L mendekati nilai 100 maka diduga karena terjadinya reaksi maillard dan
produk tersebut dapat dikatakan memiliki warna karamelisasi.
putih yang baik. Perbedaan nilai kecerahan ini

Tabel 8. Hasil Pengujian Nilai Hedonik pada Serbuk Petis Limbah Pindang Ikan Layang dengan Metode
Pengeringan Granulator
Perlakuan Suhu 50oC (5 jam) Suhu 60oC (4 jam) Suhu 70oC (3 jam)
a a
Kenampakan 7,50 ± 0,51 7,57 ± 0,57 7,00 ± 0,52a
a a
Aroma 7,47 ± 0,51 7,47 ± 0,41 7,43 ± 0,64a
a b
Rasa 7,37 ± 0,63 7,40 ± 0,47 7,30 ± 0,46b
a a
Tekstur 7,00 ± 0,47 7,17 ± 0,35 7,20 ± 0,50a
Keterangan :
- Data merupakan hasil dari rata-rata 3 kali ulangan ± standar deviasi
- Superscript huruf kecil yang berbeda (a, b) menunujukan bahwa perlakuan metode pengeringan
granulator berbeda nyata.

Menurut Git et al., (1994) dalam Purwitasari sehingga hanya sampai menjadi karamel yang
et al (2014) perlakuan pemanasan dapat kering, kemudian digiling menggunakan
memberikan pengaruh terhadap terjadinya penggilingan tepung. Menurut Regina et al., (2012),
pencoklatan selama proses pengeringan. Kadar gula Tekstur suatu pangan dipengaruhi oleh tekstur
reduksi akan meningkat tajam, sehingga terjadilah bahan baku pangan. Terlalu banyak gula maka
reaksi pencoklatan (Maillard) yang semakin bahan yang dihasilkan akan lengket karena gula
meningkat. Hal tersebut diperkuat dengan mengalami karamelisasi.
pernyataan Kurnia dan Sudarminto (2015) bahwa
semakin lama waktu pemanasan warna serbuk petis KESIMPULAN DAN SARAN
semakin menurun, hal tersebut diduga adanya
reaksi pencoklatan. Kesimpulan
Aroma yang dihasilkan pada serbuk petis 1. Metode pengeringan granulator berpengaruh
dengan metode pengeringan yang berbeda tidak nyata terhadap nilai asam glutamat. Nilai asam
berbau amis. Selain itu bau sedap yang dihasilkan glutamat tertinggi diperoleh pada pengeringan
oleh bumbu-bumbu mampu menghilangkan bau suhu 50oC selama 5 jam, dan nilai terendah
amis pada limbah pindang ikan layang. Menurut diperoleh dari metode pengeringan suhu 70oC
Fakhrudin (2009), aroma yang muncul juga selama 3 jam. Hal tersebut dikarenakan
disebabkan oleh bumbu-bumbu seperti bawang semakin tinggi suhu pengeringan maka nilai
putih yang memberikan aroma dan bau yang kuat asam glutamat semakin rendah;
karena minyak volatilnya mengandung komponen 2. Kadar protein, dan lemak terbaik terdapat pada
sulfur. Serbuk petis yang dihasilkan memiliki nilai metode pengeringan granulator dengan suhu
yang hampir sama, yakni enak, rasa ikan terasa, 50oC selama 5 jam dengan nilai kadar protein
gurih karena ada tambahan dari bumbu lain selama dan kadar lemak. Sedangkan untuk kadar air,
proses pembuatan petisnya, terutama gula. Menurut abu dan karbohidrat terbaik terdapat pada
Winarno (2004) dalam Hermansyah et al (2009) metode pengeringan granulator dengan suhu
bahwa rasa suatu pangan dapat berasal dari bahan 70oC selama 3 jam dengan kadar air, abu dan
pangan itu sendiri dan apabila mendapat perlakuan karbohidrat; dan
atau pengolahan maka rasanya dapat dipengaruhi 3. Nilai kecerahan (L*) terdapat pada metode
oleh bahan yang ditambahkan selama pengolahan. pengeringan granulator dengan suhu 60oC
Parameter tekstur serbuk petis dengan selama 4 jam, yakni dengan nilai 55,59, begitu
metode pengeringan yang berbeda memiliki nilai pula dengan nilai hedonik (kesukaan) yang
berkisar antara 7,00 sampai 7,20. Nilai tertinggi disukai oleh konsumen.
terdapat pada serbuk petis dengan metode
pengeringan suhu 70oC selama 3 jam, yakni sebesar Saran
7,20 ± 0,50, metode pengeringan suhu 60 oC selama 1. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut
4 jam sebesar 7,17 ± 0,35 dan yang terendah yakni mengenai pengaruh masa simpan serbuk petis
dengan metode pengeringan suhu 50oC selama 5 ikan layang dengan metode pengeringan yang
jam dengan skor 7,00 ± 0,47. Serbuk petis dengan berbeda pada suhu ruang dan suhu dingin
perlakuan metode pengeringan granulator memiliki dalam kaitannya dengan perubahan sifat fisik
tekstur yang hampir sama cukup lembut, hal dan kimianya.
tersebut dikarenakan saat proses pengeringan 2. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk
dengan menggunakan granulator produk tidak menghasilkan kadar air kurang dari 12% yaitu
langsung berubah menjadi serbuk karena petis yang dengan cara meningkatkan lama pengeringan
digunakan mengandung gula yang cukup banyak dan komposisi bahan yang baik.
21
Online : J. Peng. & Biotek. Hasil Pi.
http://www.ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/jpbhp Vol. 5 No. 1 Th. 2016
Hasil Penelitian ISSN : 2442-4145

DAFTAR PUSTAKA Persatuan Pabrik Monosodium Glutamat & Asam


Glutamat Indonesia (P2MI). 2004. Tingkat
Aditya, H. T. 2008. Sifat Kimia Tepung Daging Konsumsi MSG di Indonesia. S.1.:s.n
Sapi Yang Dibuat Dengan Metode Pengeringan Poernomo D, Sugeng H S, dan Agus W. 2004.
Yang Berbeda Dan Sifat Mikrobiologisnya Pemanfaatan Asam-asam Organik (Asam Cuka,
Selama Penyimpanan. [Skripsi]. IPB. Bogor Jeruk Nipis (Citrus aurantifolia) dan Belimbing
AOAC (Assosiation of Official Analytical Wuluh (Averrhoa bilimbi) Untuk Mengurangi
Chemist). 1995. Official Methods of Analysis. Bau Amis Petis Ikan Layang (Decapterus spp.).
16th edition. New York : Arlington. [Skripsi]. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Badan Standardisasi Nasional. 2011. Standar Purnomo, H. 1995. Teknologi dan Dasar-Dasar
Nasional Indonesia No. 01-2346-2011. Pengolahan Daging. Gramedia Pustaka Utama.
Pengujian Organoleptik dan atau Sensori. Jakarta
Direktorat Jenderal Perikanan, Jakarta. Purwitasari A, Yusuf H, dan Rini Y. 2014.
Bioassay System, 2009. EnzychromTM Glutamate Pengaruh Suhu dan Waktu Ekstraksi Terhadap
Assay Kit (EGLT-100). Quantitative Sifat Fisik Kimia dalam Pembuatan Konsentrat
Colorimetric Determination of Glutamate at 565 Protein Kacang Komak (Lablab purpureus (L.)
nm. USA sweet). Jurnal Bioproses Komoditas Tropis 2(1)
Buckle, K.A., Edwards, R.A., Fleet, G.H., Wootton, : 42-53.
M. 1985. Ilmu Pangan. Penerjemah Hari Regina, M.P.T.A., Dian R.A Dan Nur H.R. 2012.
Purnomo Adiono. UI Press, Jakarta Kajian Karakteristik Koya Ikan Dengan Bahan
De Man J.M. 1997. Kimia Makanan. Padmawinata Dasar Beberapa Macam Ikan Dan Tepung
K, Penerjemah. Bandung: Institut Teknologi Kedelai (Glycine Max) Sebagai Pelengkap
Bandung. Terjemahan dari: Food Chemistry. Makanan. Jurnal Teknosains Pangan 1(1) : 75-
Fakhrudin, A. 2009. Pemanfaatan Air Rebusan 85.
Kupang Putih (Corbula faba Hinds) Untuk Riawan,S. 1990. Kimia Organik. Binarupa Aksara.
Pengolahan Petis dengan Penambahan Jakarta
berbagai Pati-patian. Salamah E, Purwaningsih S dan Kurnia R. 2012.
Fardiaz, S. 1989. Mikrobiologi Pangan. Kandungan Mineral Remis (Corbicula
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan javanica) Akibat Proses Pengolahan. Jurnal
Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi. Pusat Akuatika 3(1) : 74-83.
Antar Universitas Pangan dan Gizi. Institut Setiyasi M, Puji A dan Risa N. 2013. Analisis
Pertanian Bogor. Bogor dalam Fitriyah, R. Organoleptik Bubuk Penyedap Rasa Alami Dari
Rohani H. 2013. Studi Pengaruh Penambahan Ekstrak Daun Sansakng (Pycnarrhena
Air dan Suhu Pemanasan Terhadap Viskositas cauliflora Diels). JKK, volume 2(1) : 63-68.
Petis Ikan. Jurnal Penelitian. Universitas Soekarto ST. 1985. Penilaian Organoleptik Untuk
Brawijaya. Malang Industri Pangan dan Hasil Pertanian. Jakarta:
Hermansyah R, Wignyanto dan Arie F.M. 2009. Penerbit Bhratara Karya Aksara
Pembuatan Tepung Pewarna Alami dari Limbah Sudarmadji, S., B. Haryono dan Suhadi. 1989.
Pengolahan Daging Rajungan (Kajian Analisa Bahan Makanan dan Pertanian.
Konsentrasi Dekstrin, Suhu Pengeringan dan Penerbit Liberty Yogyakarta Bekerjasama
Analisis Biaya Produksi). Jurnal Industri 1(1) : Dengan Pusat Antar Universitas Pangan Dan
40-49. Gizi. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.
Kurnia dan Sudarminto. 2015. Pengaruh Proporsi ____________________________________. 1997.
Kacang Tanah Dan Petis Dengan Lama Prosedur Analisis untuk Bahan Makanan dan
Pemanasan Terhadap Karakteristik Bumbu Pertanian. Liberty, Yogyakarta
Rujak Cingur Selama Penyimpanan. Jurnal Susanto dan Saneto. 1994. Teknologi Pengemasan
Pangan dan Agroindustri 3(1) : 259-270. Bahan Makanan. C.V Family. Blitar
Lidiasari, Merynda dan Friska, 2006. Pengaruh Winarno, F.G. 1991. Kimia Pangan dan Gizi. Edisi
Perbedaan Suhu Pengeringan Tepung Tapai Ubi Kelima. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Kayu Terhadap Mutu Fisik dan Kimia yan ___________. 1992. Kimia Pangan dan Gizi. Edisi
Dihasilkan. Jurnal Ilmu-Ilmu Pertanian Keenam Gramedia Pustaka
Indonesia 8(2) : 141-146. ___________. 1997. Kimia Pangan dan Gizi. PT
Listiana E A, Sri W dan Titis S K. 2011. Suhu dan Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 250 hlm.
Waktu Mempengaruhi Kadar Karbohidrat dan Winarno, F.G. dan Rahayu T.S. 2004. Bahan
Serat Kasar Pada Cookies Tanah Liat dan Tambahan untuk Pangan dan Kontaminasi.
Rumput Laut Merah (Kappaphycus alvarezii). Pustaka Sinar Harapan. Jakarta
Nurjanah Z, dan Kustiyariyah. 2005. Kandungan
Mineral dan Proksimat Udang yang Diambil
dari Kabupaten Boalemo. Gorontalo. Buletin
Teknologi Hasil Perikanan 8(2): 15-24

22

Anda mungkin juga menyukai