Disusun Oleh :
Lenti Iswari 201801056
Anggun Mariani 201801011
Dosen Pengampu :
Saprida, S.H.I., M.H.I
EKONOMI SYARIAH
SEKOLAH TINGGI EKONOMI BISNIS SYARIAH
INDO GLOBAL MANDIRI
2021
1
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, Tuhan semesta alam.
Atas izin dan karunia-Nya, penuli dapat menyelesaikan makalah tepat waktu tanpa
kurang suatu apa pun. Tak lupa pula penulis haturkan shalawat serta salam kepada
junjungan Rasulullah Muhammad SAW. Semoga syafaatnya mengalir pada kita di
hari akhir kelak.
Penulis
2
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Al-qur’andanhadistsebagai sumber hukum Islam membahas segala hal yang
berkenaan dengan kehidupan umat Islam. Al-qur’andanHadis tidak hanya
membahas hal-hal yang berkaitan dengan masalah ibadah saja, akan tetapi juga
membahas hal-hal diluar ibadah. Salah satu hal penting yang dibahas dalam hadis
adalah permasalahan nafakah. Persoalan ini merupakan persoalan yang telah
diketahui sejak lama oleh umat Islam, namun dalam pelaksaannya terkadang
belumlah sesuai dengan yang dianjurkan oleh nash, terutama al-qur’an dan hadis
sebagai pedoman dalam aplikasi dari nash. Pembahasan tentang ayat al-
qur’andanhadishnafkah ini akan penulis uraikan dalam paparan di bawah ini.
Perbincangan mengenai nafkah atau kewajiban yang bersifat materi, dalam
berbagai kajian fiqh biasanya dibahas dalam kajian figh keluarga.Aadapun dalam
tata bahasa Indonesia kata nafkah secara resmi sudah dipakai dengan arti
pengeluaran. Dalam penelusuran terhadap ayat dan hadis nafkah ini, penulis
menemukan beberapa ayat dan hadis tentang nafkah ini dalam pembahasan nikah,
hal ini agaknya karena nafkah merupakan konsekwensi dari terjadinya
pernikahan.
Nafkah itu hendaknya berlaku secara ma’ruf. Artinya sesuai dengan adat
dan tradisi yang berlaku dan ini tentunya berbeda beda dari sisi waktu, tempat
dan kondisi manusia1
Muamalah secara bahasa adalah saling bertindak, saling berbuat dan saling
mengamalkan. Menurut istilah pengertian muamalah dapat dibagi menjadi dua
macam, yaitu pengertian muamalah dalam arti sempit dan pengertian muamalah
dalam arti luas. Dalam arti sempit adalah aturan-aturan Allah yang wajib ditaati
yang mengatur hubungan manusia dengan manusia dalam kaitannya dengan cara
memperoleh dan mengembangkan harta benda. Sedangkan pengertian muamalah
1
Salmah, NafkahdalamPerspektifHadist.STAIN Batusangkar. JurnalEkonomi
Islam.JURIS Volume 13, Nomor 1 (Juni 2014).Hlm. 96
3
dalam arti luas adalah aturan-aturan (hukum) Allah untuk mengatur manusia
dalam kaitannya dengan urusan duniawi dalam pergaulan sosial. Muamalah
merupakan salah satu wadah untuk meningkatkan taraf hidup. Dalam bidang
muamalah, Islam mengatur dalam hubungan yang sedemikian rupa mengenai
usaha kerjasama yang harus dilakukan atau ditempuh manusia baik melalui jalur,
pinjam meminjam, sewa menyewa, utang piutang dan lain sebagainya.
Dalam kehidupan ini manusia mempunyai kebutuhan yang beraneka ragam,
untuk dapat memenuhi semua kebutuhan tersebut manusia dituntut untuk bekerja.
Baik bekerja yang diusahakan sendiri ataupun bekerja dengan orang lain. Bekerja
yang diusahakan sendiri maksudnya adalah bekerja atas usaha sendiri, modal
sendiri dan tanggung jawab sendiri. Sedangkan bekerja pada orang lain
maksudnya adalah bekerja dengan bergantung pada orang lain yang memberi
perintah dan mengutusnya, karena ia harus tunduk dan patuh pada orang lain yang
memberikan pekerjaan tersebut.2
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan nafkah ?
2. Apa saja bentuk-bentuk nafkah ?
3. Apa landasan hokum nafkah ?
4. Apasaja yang menjadi penyebab timbulnya kewajiban nafkah ?
C. Tujuan
1. Mengetahui dan memahami arti nafkah.
2. Mengetahui bentuk-bentuk nafkah.
3. Memahami landasan nafkah.
4. Mengetahui penyebab timbulnya kewajiban nafkah.
2
Saprida. Tinjauan Fiqih Muamalah Terhadap Pelaksanaan Upah Di Desa Prambatan
Kecamatan Abab Kabupaten Pali. Jurnal Sosial & Budaya Syar-i Vol. 5 No.1 2018.
Hal.48
4
D. Manfaat
1. Memperluas pengetahuan mahasiswa tentang nafkah.
2. Menjadi referensi untuk penulis berikutnya.
5
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Nafkah
Nafkah menurut bahasa (Etimologi) berasal dari bahas Arab
yaitu dari kata Infaq, yang berarti membelanjakan. Secara
terminologis, nafkah berarti mencukupi makanan, pakaian, dan tempat
tinggal bagi yang menjadi tanggungannya.3Sedangkan menurut para
ulama fiqh, nafkah mengandung beberapa pengertian, antara lain:
1. Syaeikh Ibrahim Bajuri, menyebutkan bahwa kata nafkah diambil
dari kata infaq, yang berarti “Mengeluarkan”. Dan menurutnya
kata nafkah ini tidakdigunakan kecuali untuk kebaikan.4
2. Menurut Abur Rahman al-Jaziri, “nafkah secara kebahasaan
adalah mengeluarkan dan membayarkan. Seperti perkataan “saya
menafkahkan ternak” apabila ternak itu telah keluar dari
pemiliknya dengan menjual atau merusaknya. Maka apabila ia
katakan, “saya menafkahkan benda ini, niscaya habis terjual”.5
3. Wahbah al-zuhaili, menjelaskan bahwa “nafkah” menurut istilah
dalam ungkapan para fuqaha‟, adalah belanja (biaya hidup) yaitu
makanan saja.6 Wabah az-Zuhaili juga berpendapat tentang nafkah
yaitu:
Artinya : “Yaitu mencukupi kebutuhan orang yang menjadi
tanggungannya berupa makanan, pakaian dan tempat tinggal”.
Sedangkan menurut istilah, para ulama‟ tidak berbeda pendapat
dalam memberi definisi akan tetapi yang berbeda dalam redaksinya.
Sebagaimana yang dikemukakan oleh Muhammad bin Ismail al-
3
Al-Munjid fi al-Lugat wa al-i‟lam, (Bairut, al-Maktabah alSyirkiyah, 1986), hlm.
756
4
Syaikh Ibrahim Bajuri, “Hasyiah al-Bajuri”, (Semarang:Toha Putra, tth) cet. 1
hal.185
5
Abur Rahman al-Jazairi, “Kitab al-Fiqh, Ala Madhzah al-Arba’ah’, Juz. IV.
(Mesir:Maktabah at-Tijariati Kubra, 1969, Cet. 2, hlm. 553
6
Wahbah al-zuhaili, “al-Fiqh al-Islam wa Adilatuhu”, jilid 7. (Damsik:Dar al-Fikr,
1989) Cet ke2, hlm 789
6
Kahlani : “Nafkah itu merupakan sesuatu yang diberikan oleh manusia
dalam hal apa yang dibutuhkannya sendiri atau yang dibutuhkan oleh
orang lain, yang berupa makanan, minuman, dan selain keduanya”.7
Dari beberapa pendapat diatas maka dapat disimpulkan bahwa
nafkah ituadalah sesuatu yang dibelanjakan oleh seseorang untuk
dirinya sendiri atau untuk orang lain yang berhak menerimanya, baik
berupa makanan, minuman, pakaian, perumahan dan lain sebagainya.
Semua kebutuhan tersebut, berlaku menurut keadaan.
B. Bentuk-Bentuk Nafkah
Nafkah yang secara umum kita kenal adalah harta yang
berupa makanan, pakaian, dan tempat tinggal yang diberikan kepada
orang yang wajib diberinya. Adapun bentuk-bentuk nafkah menurut
siapa yang wajib mengeluarkannya dan siapa yang menerimanya
terbagi kepada lima orang, yaitu:8
1. Nafkah istri. Adapun orang yang wajib memberinya nafkah adalah
suaminya, baik istri yang hakiki seperti istri yang masih berada
dalam perlindungan suaminya (tidak ditalak) atau istri secara
hukum seperti wanita yang ditalak dengan talak raj‟i sebelum
masa iddahnya habis. Sebagaimana firman AllahSWT:
7
Said Imam Muhammad bin Ismail al-Kahlani, “Subulus Salam”(terjemah).
(Surabaya: al-Ikhlas,1992), Cet 2, hlm. 335.
8
Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jaza‟iri, “Minhajul Muslim”, terjemah Musthafa Aini
dkk, (Jakarta: Darul Haq, 2006), Cet. ke-1 hlm. 556.
7
9
Departemen Agama RI,”al-Qur‟an dan Terjemah”, (Bandung:CV Jumanatul
„AliArt,2005)
8
seorang laki-laki meberikan nafkah kepada seorang wanita apabila
ia telah mengikat tali pernikahan dengannya dan tidak ada lagi
halangan baginya untuk masuk menemui istrinya. Nafkah terhadap
seorang istri dihentikan, jika ia membangkang, atau tidak
mengizinkan suami menggaulinya. Hal itu karena nafkah adalah
konpensasi menikmatinya, sehingga jika seorang suami tidak
diizinkan menikmati istrinya maka nafkahnya secara otomatis
dihentikan.
2. Nafkah wanita yang ditalak ba‟in sejak masa iddahnya jika hamil.
Orang yang wajib memberinya nafkah adalah suami yang
mentalaknya. Nafkah terhadap wanita yang ditalak dalam keadaan
hamil ini dihentikan jika ia telah melahirkan bayinya, tapi jika ia
menyusui anaknya, maka ia berhak mendapatkan upah atas
penyusuannyaHal itu berdasarkan firman Allah SWT:
9
musyawarahkanlah di antara kamu (segala sesuatu) dengan baik;
dan jika kamu menemui kesulitan, maka perempuan lain boleh
menyusukan (anak itu) untuknya.”10 (Q.S at-Thalaq:6)
3. Nafkah orang tua, dan orang yang wajib memberinya nafkah
adalah anaknya. Hal ini berdasarkan firman Allah SWT:
10
Departemen Agama RI,”al-Qur‟an dan Terjemah”, (Bandung:CV Jumanatul
„AliArt,2005)
11
Departemen Agama RI,”al-Qur‟an dan Terjemah”, (Bandung:CV Jumanatul
„AliArt,2005)
10
12
ibid
13
Imam Syafi‟I, Ringkasan Kitab Al-Umm, jilid 3-6, Terjemah Muhammad Yasir
(Jakarta:Pustaka Azzam,2007) cet.ke-3 hal.440
11
mereka dari apa yang kalian makan. Dan berilah pakaian kepada
mereka dari apa yang kalian pakai. Dan kalian jangan mengadzab
ciptaan Allah.”14
Para budak yang laki-laki maupun yang perempuan, apabila
ditahan untuk melakukan sesuatu pekerjaan, maka pemiliknya
berkewajiban memberi nafkah atasnya dan memberi pakaian
menurur yang makruf (patut). Yakni memberi nafkah yang biasa
diberikan kepada para budak dinegeri itu dan dapat
mengenyangkan manusia biasa.
14
(http://radiorodja.com/tag/berbuat-baik-kepada-budak/ diakses pada 20 januari
2021
12
15
Tihami dan sahrani, Sohari, Fikih Munakahat (Kajian afaikih Nikah Lengkap),
Rajawali Pers, Jakarta, 2013, hlm. 166
16
Hafizh Dasuki, Dkk, Alqur‟a Dan Tafsirnya Jilid X, Pt. Dana Bhakti Wakaf,
Yogyakarta, 1991, hlm 392
13
17
Depertemen Agama RI, Al-Qur‟an dan Tafsirnya Jilid X, Dana Bhakti Wakaf,
Yogyakarta, 1991, hlm. 209
14
melainkan sekedar apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak
akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan”.18
Dalam Tafsir al-Misbah diterangkan, ayat ini menjelaskan tentang
kewajiban suami untuk memberi nafkah dan sebagainya, dengan
menyatakan bahwa hendaklah orang yang mampu yaitu mampu dan
memiliki banyak rezeki untuk memberikan nafkah kepada istri dan
anak-anaknya sebatas kadar kemampuannya dan dengan demikian
hendaklah ia memberi sehingga anak istrinya kelapangan dan
keluasaan berbelanja. Dan orang yang disempitkan rezekinya yaitu
orang terbatas penghasilannya, maka hendaklah ia memberi nafkah
dari harta yang diberikan Allah kepadanya artinya jangan sampai dia
memaksakan diri untuk nafkah itu dengan cara mencari rezeki dari
sumber yang tidak direstui Allah. Allah tidak memikulkan beban
kepada seseorang melainkan sesuai dengan apa yang allah berikan
kepadanya. Karena itu janganlah (istri) menuntut terlalu banyak yang
melebihi kadar kemampuan suami, karena Allah akan memberikan
kelapangan setelah kesulitan.19
2. Hadits
Artinya : Dari Hakim bin Muawiyah, dari ayahnya dia
berkata, “Aku bertanya, Wahai Rosulullah, apakah kewajiban kami
terhadap istrinya? Beliau menjawab, “Engkau memberikannya makan
jika engkau makan, engkau memberinya pakaian jika engkau
berpakaian, jangan memikul muka,jangan menjelek-jelekan, dan
jangan berpisah (dari tempat tidurnya), kecuali didalam rumah.” (HR.
Ahmad, Abu Daud, Nasa‟I, Ibnu Majah).20
Dari hadits di atas menerangkan tenang kewajiban suami terhadap
istrinya untuk memberikan jaminan berupa :
19
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Vol 14, ( Jakarta: Lintera Hati, 2002 ),
hlm. 303
20
Mardani, hadits Ahkam, Raja Wali Pers, Jakarta, 2012, hlm. 245
15
1. Memberi nafkah baik berupa sandang, pangan, papan.
2. Tidak menyakiti isteri seperti, tidak memukul wajah isterinya.
3. Memberi nafkah batin misalnya, tidak meninggalkan isterinya.
3. Ijma’
Para fuqaha sepakat bahwa nafkah untuk istri hukumnya wajib atas
diri suaminya jika memang sudah baligh, kecuali jika istri melakukan
nuyuz. Menurut Hanafiyyah, tidak ada nafkah bagi istri yang masih
kecil yang belum siap digauli.21
Artinya bahwa perkawinan merupakan salah satu sebab yang
mewajibkan pemberian nafkah. Jadi dengan adanya perkawinan yang
sah dan istri yang layak digauli seperti telah tumbuh baligh, dan
mampu digauli (dicampuri) maka berhaklah baginya nafkah. Tetapi
sekiranya seorang istri itu masih kecil dan hanya bis abermesraan
tetapi belum bisa digauli maka istri seperti ini tidak berhak atas
nafkah.
21
Wabah az-Zuhaili, 2011, Loc, Cit
16
22
Sulaiman Rasjid, Fikih Islam (Hukum Fikih Lengkap), Bandung, Sinar Baru
Algensindo, 1994. Hlm. 422
23
Bukhari, Matanu Bukhari Maskul bi Khasiyah As-Shindi, Juz III, Beirut: Dar
Al-Fiqr, 2006. Hlm. 308
17
bapaknya apabila keduanya tidak kuat lagi bekerja dan tidak
memiliki harta. Sebagaimana firman Allah SWT dalam AlQur‟an
Surat Luqman ayat 15 :24
24
Deperten Agama RI, Op, cit, hlm. 329
18
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Nafkah menurut bahasa berasal dari bahas Arab yaitu dari kata
Infaq, yang berarti membelanjakan. Secara terminologis, nafkah
berarti mencukupi makanan, pakaian, dan tempat tinggal bagi yang
menjadi tanggungannya. Dan menurutnya kata nafkah ini
tidakdigunakan kecuali untuk kebaikan. "Abur Rahman al-
Jaziri, "nafkah secara kebahasaan adalah mengeluarkan dan
membayarkan.
Al-zuhaili, menjelaskan bahwa "nafkah" menurut istilah dalam
ungkapan para fuqaha‟, adalah belanja yaitu makanan
saja. Sedangkan menurut istilah, para ulama‟ tidak berbeda pendapat
dalam memberi definisi akan tetapi yang berbeda dalam
redaksinya. Dari beberapa pendapat diatas maka dapat disimpulkan
bahwa nafkah ituadalah sesuatu yang dibelanjakan oleh seseorang
untuk dirinya sendiri atau untuk orang lain yang berhak
menerimanya, baik berupa makanan, minuman, pakaian, perumahan
dan lain sebagainya. Nafkah yang secara umum kita kenal adalah
harta yang berupa makanan, pakaian, dan tempat tinggal yang
diberikan kepada orang yang wajib diberinya.
B. Saran
Untukpenulisberikutyadiharapkanlebihbaiklagidenganmenambahr
eferensidanmemperbanyabahandansumbermateri.
19
DAFTAR PUSTAKA
20
Shihab, M. Quraish, Tafsir al-Misbah, Vol 14, ( Jakarta: Lintera
Hati, 2002 )
21