Anda di halaman 1dari 18

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Human papillomavirus (HPV) adalah virus deoxyribonucleic acid (DNA)
untaian ganda yang menular secara seksual dan menginfeksi permukaan kulit dan
mukosa epitel (Kahn, 2009). Infeksi HPV pada genitalia merupakan infeksi yang
sering terjadi dan bersifat asimtomatik (Rusmil, 2008). Terdapat 100 tipe HPV
yang telah diketahui. Beberapa diantaranya berperan dalam terbentuknya lesi
prakanker, kanker leher rahim, dan kutil kelamin (WHO, 2007).
Depkes RI melaporkan bahwa penderita kanker leher rahim di Indonesia
diperkirakan mencapai 90-100 diantara 100 000 penduduk pertahun (Pradipta &
Sungkar, 2007) dan masih menduduki tingkat pertama dalam urutan keganasan
pada wanita (Suwiyoga, 2007). Sekitar 70% kejadian kanker leher rahim
disebabkan oleh HPV tipe 16 dan 18 (WHO, 2007).
Kutil kelamin merupakan penyakit yang sangat menular dan hampir selalu
menular secara seksual, tetapi transmisi vertikal dan autoinokulasi juga dapat
terjadi walaupun jarang (Scheinfeld & Lehman, 2006). Sekitar 90%-100%
kejadian kutil kelamin disebabkan oleh HPV tipe 6 dan 11. Walaupun penyakit
kutil kelamin tidak selalu menyebabkan kematian, penyakit ini dapat
menyebabkan morbiditas yang bermakna dan membutuhkan biaya perawatan
kesehatan yang besar (WHO, 2007).

Salah satu penyebab kanker serviks adalah infeksi Human Papilloma


Virus (HPV). HPV ditularkan melalui aktivitas seksual terutama pada usia yang
dini, dengan banyak pasangan seksual, dan juga melalui sentuhan kulit di
wilayah genital (skin to skin contact) (Bobak et al., 1993).

Infeksi HPV bisa dicegah menggunakan vaksin. Adapun penyebab


tingginya angka kejadian dan kematian akibat infeksi HPV adalah kurangnya

1
pengetahuan akan bahaya, cara penyebaran, dan khususnya pencegahan terhadap
infeksi tersebut (Tarigan, 2009). Hal tersebut juga terbukti dari hasil beberapa
penelitian yang dilakukan oleh Lenehan, et al. (2007), Giuseppe, et al. (2008),
Walsh, et al. (2008), dan Ragin, et al. (2009) yang menunjukan bahwa
pengetahuan masyarakat mengenai vaksin HPV masih rendah. Oleh karena itu,
sebagai langkah awal dalam memperbaiki pengetahuan masyarakat mengenai
vaksin HPV, perlu diketahui sejauh mana pengetahuan mahasiswa pendidikan
sarjana keperawatan sebagai calon perawat yang berkewajiban untuk memahami
manfaat dari vaksin HPV.

1.2 Tujuan Makalah


Untuk memperluas tingkat pengetahuan yang lebih dalam kepada mahasiswa
Universitas Lambung Mangkurat Program Studi Ilmu Keperawatan mengenai
Human Papilloma Virus (HPV)

2
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 PENGERTIAN HPV


Human papilloma virus (HPV) adalah penyebab dari kanker serviks
baik secara biologik maupun epidemiologik. Human papilloma virus tipe 16
dan 18 bertanggung jawab untuk sekitar 70% kanker pada seviks, vagina dan
anus. Meskipun demikian, HPV tidak cukup untuk menimbulkan kanker
karena dikenal faktor lain yang disebut kofaktor yang juga berperan untuk
terjadinya kanker. Partikel HPV dapat dibuat dengan menggunakan kapsid L1
untuk kemudian dieksploitasi menjadi vaksin. Vaksin ini dapat menimbulkan
titer antibodi yang tinggi terhadap infeksi sehingga vaksinasi HPV diharapkan
dapat berperan atau memberikan manfaat yang baik untuk program
pencegahan kanker serviks. Infeksi HPV disebut sebagai penyebab kanker
serviks. Infeksi virus tersebut dapat terjadi pada mukosa serviks, vagina,
vulva, dan anus. Kanker serviks adalah tumor ganas yang tumbuh didalam
leher rahim atau serviks yang terdapat pada bagian terendah dari rahim yang
menempel pada puncak vagina.( Diananda,Rama, 2009 ) Kanker serviks
merupakan gangguan pertumbuhan seluler dan merupakan kelompok penyakit
yang dimanifestasikan dengan gagalnya untuk mengontrol proliferasi dan
maturasi sel pada jaringan serviks. Kanker serviks biasanya menyerang wanita
berusia 35 - 55 tahun, 90% dari kanker serviks berasal dari sel kelenjar
penghasil lendir pada saluran servikal yang menuju kedalam rahim (Sarjadi,
2001).
Dari beberapa pendapat yang dikemukakan oleh para ahli penulis
dapat menyimpulkan bahwa kanker serviks adalah pertumbuhan sel yang
abnormal yang terdapat pada organ reproduksi wanita yaitu serviks atau
bagian terendah dari rahim yang menempel pada puncak vagina .Di antara
populasi perempuan yang asimtomatik, pravalensi infeksi HPV berkisar

3
antara 2-44%,sedangkan pravalensi secara global adalah 10,41%. Khusus di
Asia, akan terjadi penurunan prevalensi khusus untuk negara-negara di
Afrika, Melanesia, infeksi HPV sesuai dengan pertambahan usia.Tanggal 8
Juni 2006, FDA (Food and Drugs memberikan kontribusi terhadap kematian
ibu yang Administration) Amerika Serikat menyetujui penggunaan cukup
besar dibandingkan tuberkulosis, keadaan vaksin quadrivalent human
papilloma virus sebagai alat kematian ibu akibat persalinan, bahkan AIDS. 1 -
untuk menurunkan beban infeksi HPV dan sekuele yang sebagian besar kasus
kanker serviks berjenis diakibatkannya, yaitu lesi-lesi pra-kanker, kanker
serviks, karsinoma sel skuamosa, sedangkan jenis kanker ano-genital lainnya
dan warts. Vaksin inidirekomendasi untuk diberikan pada anak
perempuandengan sejumlah usia 11-12 tahun dan memberikan efek proteksi
terhadapinteraksi ini akan infeksi HPV yang tipe 6, 11, 16 dan 18.

2.2 ETIOLOGI HPV


Saat ini sudah dikenal lebih kurang 100 tipe HPV yang penomorannya
dibuat berdasarkan urutan ditemukannya. Partikel HPV terdiri dari sekitar
8000 pasang molekul DNA yang membentuk lingkaran dan terbungkus oleh
protein yang terdiri dari 2 molekul (L1dan L2). Terdapat gen-gen yang
mempunyai kapasitas mengkode protein-protein, temasuk diantaranya protein
awal (E1, E2, E4-E7) yang sangat diperlukan pada proses replikasi virus DNA
dan pembentukanpartikel virus pada sel-sel yang terinfeksi olehnya. Infeksi
HPV (dengan atau tanpa kelainan padaserviks) cenderung akan menghilang.
Proses akuisisi HPV atau clearence adalah proses yang dinamis dan
berlawanan. Ditemukannya kembali HPV mungkin disebabkan akibat adanya
reinfeksi atau dikenal sebagai fase laten. Persistensi HPV didefinisikan
sebagai ditemukannya kembali HPV dari tipe yang sama 2 kali atau lebih
didalam interval waktu pengamatan. Kira-kira 90% HPV akan hilang dalam 2

4
tahun pengamatan. HPV tipe 16 dapat bertahan lebih lama dibandingkan tipe
lain, namun hal ini tidak berhubungan langsung dengan proses
karsinogenisitas. Sampai saat ini belum diketahui secara pasti mengapa
infeksi HPV dapat menjadi penyebab proses keganasan di daerah serviks,
yaitu di zona transformasi. Hubungan antara tingginya paritas dengan kanker
mungkin akibat menurunnya kemampuan serviks dalam mempertahankan
zona transformasi pada ektoserviks terhadap infeksi HPV selain kemungkinan
faktor hormonal yang juga dapat berperan. Kanker serviks terjadi jika sel - sel
serviks menjadi abnormal dan membelah secara tidak terkendali, jika sel - sel
serviks terus membelah, maka akan terbentuk suatu masa jaringan yang
disebut tumor yang bisa bersifat jinak atau ganas, jika tumor tersebut ganas
maka keadaannya disebut kanker serviks. Penyebab terjadinya kelainan pada
sel - sel serviks tidak diketahui secara pasti, tetapi terdapat beberapa faktor
resiko yang berpengaruh terhadap terjadinya kanker serviks yaitu :
1. HPV ( Human Papiloma Virus ) HPV adalah virus penyebab kutil genetalis
(Kandiloma Akuminata) yang ditularkan melalui hubungan seksual.
a. Timbulnya keganasan pada binatang yang diinduksi dengan virus
papiloma.
b. Dalam pengamatan terlihat adanya perkembangan menjadi karsinoma
pada kondilom akuminata.
c. Pada penelitian 45 dan 56, keterlibatan HPV pada kejadian kanker
dilandasi oleh beberapa faktor yaitu: epidemiologic infeksi HPV
ditemukan angka kejadian kanker serviks yang meningkat.
d. DNA HPV sering ditemukan pada Lis ( Lesi Intraepitel Serviks )
2. Merokok Pada wanita perokok konsentrasi nikotin pada getah servik 56 kali
lebih tinggi dibandingkan didalam serum, efek langsung bahan tersebut pada
serviks adalah menurunkan status imun lokal sehingga dapat menjadi
kokarsinogen infeksi virus.

5
3. Hubungan seksual pertama dilakukan pada usia dini ( kurang dari 18 tahun).
4. Berganti - ganti pasangan seksual. Suami atau pasangan seksualnya
melakukan hubungan seksual pertama pada usia 18 tahun, berganti - berganti
pasangan dan pernah menikah dengan wanita yang menderita kanker serviks.
5. Pemakaian DES ( Diethilstilbestrol ) pada wanita hamil untuk mencegah
keguguran.
6. Pemakaian Pil KB. Kontrasepsi oral yang dipakai dalam jangka panjang yaitu
lebih dari lima tahun dapat meningkatkan resiko relatif 1,53 kali. WHO
melaporkan resiko relative pada pemakaian kontrasepsi oral sebesar 1,19 kali
dan meningkat sesuai dengan lamanya pemakaian.
7. Infeksi herpes genitalis atau infeksi klamedia menahun.
8. Golongan ekonomi lemah. Dikaitkan dengan ketidakmampuan dalam
melakukan tes pap smear secara rutin dan pendidikan yang rendah. ( Dr imam
Rasjidi, 2010 )

2.3 PATOFISIOLOGI HPV

Dari beberapa faktor yang menyebabkan timbulnya kanker sehingga


menimbulkan gejala atau semacam keluhan dan kemudian sel - sel yang
mengalami mutasi dapat berkembang menjadi sel displasia. Apabila sel
karsinoma telah mendesak pada jaringan syaraf akan timbul masalah keperawatan
nyeri. Pada stadium tertentu sel karsinoma dapat mengganggu kerja sistem
urinaria menyebabkan hidroureter atau hidronefrosis yang menimbulkan masalah
keperawatan resiko penyebaran infeksi. Keputihan yang berkelebihan dan berbau
busuk biasanya menjadi keluhan juga, karena mengganggu pola seksual pasien
dan dapat diambil masalah keperawatan gangguan pola seksual. Gejala dari
kanker serviks stadium lanjut diantaranya anemia hipovolemik yang
menyebabkan kelemahan dan kelelahan sehingga timbul masalah keperawatan
gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh.

6
Pada pengobatan kanker leher rahim sendiri akan mengalami beberapa efek
samping antara lain mual, muntah, sulit menelan, bagi saluran pencernaan terjadi
diare gastritis, sulit membuka mulut, sariawan, penurunan nafsu makan ( biasa
terdapat pada terapi eksternal radiasi ). Efek samping tersebut menimbulkan
masalah keperawatan yaitu nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh. Sedangkan efek
dari radiasi bagi kulit yaitu menyebabkan kulit merah dan kering sehingga akan
timbul masalah keperawatan resiko tinggi kerusakan integritas kulit. Semua tadi
akan berdampak buruk bagi tubuh yang menyebabkan kelemahan atau kelemahan
sehingga daya tahan tubuh berkurang dan resiko injury pun akan muncul. Tidak
sedikit pula pasien dengan diagnosa positif kanker leher rahim ini merasa cemas
akan penyakit yang dideritanya. Kecemasan tersebut bisa dikarenakan dengan
kurangnya pengetahuan tentang penyakit, ancaman status kesehatan dan mitos
dimasyarakat bahwa kanker tidak dapat diobati dan selalu dihubungkan dengan
kematian.

2.4 EPIDEMIOLOGI HPV

Untuk wilayah ASEAN, insidens kanker serviks di Singapore sebesar 25,0


pada ras Cina; 17,8 pada ras Melayu; dan Thailand sebesar 23,7 per 100.000
penduduk. Insidens dan angka kematian kanker serviks menurun selama beberapa
dekade terakhir di AS. Hal ini karena skrining Pap menjadi lebih banyak dikenal
dan lesi serviks pre-invasif lebih sering dideteksi dari pada kanker invasif.
Diperkirakan terdapat 3.700 kematian akibat kanker serviks pada 2006 (Imam
Rasjidi. 2009).

Di Indonesia diperkirakan ditemukan 40 ribu kasus baru kanker mulut


rahim setiap tahunnya. Menurut data kanker berbasis patologi di 13 pusat
laboratorium patologi, kanker serviks merupakan penyakit kanker yang memiliki
jumlah penderita terbanyak di Indonesia, yaitu lebih kurang 36%. Dari data 17

7
rumah sakit di Jakarta 1977, kanker serviks menduduki urutan pertama, yaitu 432
kasus di antara 918 kanker pada perempuan (Imam Rasjidi. 2009).

Di Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo, frekuensi kanker serviks sebesar


76,2% di antara kanker ginekologi. Terbanyak pasien datang pada stadium
lanjut, yaitu stadium II B-IV B, sebanyak 66,4%. Kasus dengan stadium III
B, yaitu stadium dengan gangguan fungsi ginjal, sebanyak 37,3%. Apabila
dideteksi pada stadium awal, kanker serviks invasif merupakan kanker yang
paling berhasil diterapi, sebesar 92% untuk kanker lokal. Kebanyakan para
penderita kanker serviks yang meninggal diakibatkan keterlambatan
diagnosis pada stadium lanjut, keadaan umum yang lemah, status sosial
ekonomi yang rendah, serta keterbatasan sumber daya dan keterbatasan
sarana (Imam Rasjidi. 2009).

2.5 MANIFESTASI KLINIK HPV


1. Keputihan yang makin lama makin berbau akibat infeksi dan nekrosis
jaringan.
2. Perdarahan yang dialami segera setelah senggama ( 75% - 80% ).
3. Perdarahan yang terjadi diluar senggama.
4. Perdarahan spontan saat defekasi.
5. Perdarahan diantara haid.
6. Rasa berat dibawah dan rasa kering divagina.
7. Anemia akibat pendarahan berulang.
8. Rasa nyeri akibat infiltrasi sel tumor ke serabut syaraf.

2.6 PENCEGAHAN HVP


Risiko tinggi pada perempuan mulai pada umur 20 tahun dimana
menandakan bahwa perempuan usia remaja dan telah mengalami menstruasi
harus mulai memperhatikan kesehatan reproduksinya. Salah satu program

8
pencegahan kanker serviks yaitu menggunakan vaksinasi HPV (human
papilloma virus) seharusnya sudah diperoleh dan diketahui remaja perempuan
dalam proses pendidikan baik dilingkungan sekolah maupun kampus serta
melalui media cetak maupun elektronik (Berlian Rachmani, 2012).
Infeksi HPV berisiko tinggi merupakan penyebab terjadinya kanker
serviks, sehingga tindakan skrining mengalami pergeseran yang semula
ditujukan untuk pencegahan sekunder bergeser menjadi tujuan pencegahan
primer. Mencegah terjadinya infeksi HPV berisiko tinggi merupakan
pencegahan primer dan dianggap lebih penting. Karena pencegahan sekunder
mempunyai beberapa kelemahan antara lain :

1. pencegahan sekunder tidak mencegah terjadinya NIS (CIN),

2. terapi lesi prakanker yang baru terdeteksi pada pence- gahan sekunder
seringkali menimbulkan morbiditas terhadap fungsi fertilitas pasien, dan

3. pencegahan sekunder akan mengalami hambatan pada sumber daya manusia


dan alat yang kurang.

Pencegahan primer hanya mungkin dilakukan dengan deteksi


terjadinya infeksi HPV risiko tinggi terlebih dahulu Identifikasi terjadinya
infeksi HPV risiko tinggi dapat dilakukan dengan Hybrid Capture (HC) atau
dengan Polymerase Chain Reaction (PCR). Selain itu, berbagai macam cara
mendeteksi HPV, antara lain dengan Vira Pap, Vira Type, dan HPV Profile.
Dengan metode-metode tersebut dapat diidentifikasi kelompok HPV risiko
rendah (HPV tipe 6, 11, 42, 43 dan 44), dan risiko tinggi (HPV tipe 16, 18, 31,
33 , 35, 39, 45, 51, 52, 56 dan 58).
Pemeriksaan HC dinilai lebih mudah dilakukan dalam program

skrining12 karena mampu mendeteksi LSIL, ASCUS dan HSIL secara lebih
sensitif dibandingkan dengan peme- riksaan pap smear, walaupun dengan

9
spesifisitas yang lebih rendah. Sensitivitas HC pada NIS I, HSIL dan kanker
adalah sebesar 51,5%, 89,3% (85,2-96,5%), dan 100%, berturut-turut, dengan
spesifisitas 87,8% (81-95%). Secara keseluruhan sensitivitas HC
dibandingkan dengan pemeriksaan pap smear lebih tinggi 23% (untuk NIS I
sebesar 11% dan untuk NIS II-III sebesar 8%), dan spesifisitas HC lebih
rendah 6% dibandingkan dengan pap smear. Sensitivitas gabungan HC dan
pap smear akan meningkatkan sensitivitas sampai 39%, dan spesifisitas tetap
lebih rendah 7%.
Pemeriksaan HC saja hanya mampu mendeteksi infeksi HPV risiko
tinggi tetapi tidak mampu mendeteksi kelainan sel prakanker sehingga

spesifisitas HC lebih rendah jika dibandingkan dengan pap smear.14,15


Temuan pada HC dan pap smear pada beberapa institusi menjadi dasar
penelitian protokol skrining dan tindak lanjut hasil pemeriksaan. HC yang
positif harus diikuti dengan pengawasan yang ketat, kelainan sitologi harus
diikuti dengan terapi, sedangkan hasil negative keduanya menjadi dasar
pemberian vaksinisasi HPV

2.7 PENATALAKSANAAN MEDIS DAN KEPERAWATAN HPV


1. Penatalaksanaan Medis Pengobatan pada stadium awal, dapat dilakukan
operasi sedangkan stadium lanjut hanya dengan pengobatan dan penyinaran.
Tolak ukur keberhasilan pengobatan yang biasa digunakan adalah angka
harapan hidup 5 tahun. Harapan hidup 5 tahun sangat tergantung dari
stadium atau derajatnya beberapa peneliti menyebutkan bahwa angka
harapan hidup untuk kanker leher rahim akan menurun dengan stadium yang
lebih lanjut. Pada penderita kanker leher rahim ini juga mendapatkan
sitistatika dalam ginekologi. Penggolongan obat sitostatika antara lain : a.
Golongan yang terdiri atas obat - obatan yang mematikan semua sel pada
siklus termasuk obat - obatan non spesifik. b. Golongan obat - obatan yang

10
memastikan pada fase tertentu darimana proliferasi termasuk obat fase
spesifik. c. Golongan obat yang merusak sel akan tetapi pengaruh proliferasi
sel lebih besar, termasuk obat - obatan siklus spesifik.
2. Penatalaksanaan Keperawatan
Dalam lingkar perawatan meliputi sebelum pengobatan terapi radiasi
eksternal anatara lain kuatkan penjelasan tentang perawatan yang digunakan
untuk prosedur. Selama terapi yaitu memilih kulit yang baik dengan
menganjurkan menghindari sabun, kosmetik, dan deodorant. Pertahankan
kedekuatan kulit dalam perawatan post pengobatan antara lain hindari
infeksi, laporkan tanda - tanda infeksi, monitor intake cairan, beri tahu efek
radiasi persisten 10 - 14 hari sesudah pengobatan, dan melakukan perawatan
kulit dan mulut. Dalam terapi radiasi internal yang perlu dipertimbangkan
dalam perawatan umum adalah teknik isolasi dan membatasi aktivitas,
sedangkan dalam perawatan pre insersi antara lain menurunkan kebutuhan
untuk enema atau buang air besar selama beberapa hari, memasang kateter
sesuai indikasi, latihan nafas panjang dan latihan rom dan jelaskan pada
keluarga tentang pembatasan pengunjung. Selama terapi radiasi
perawatannya yaitu monior tanda - tanda vital tiap 4 jam. Memberikan posisi
semi fowler, berikan makanan berserat dan cairan parenteral sampai 300ml
dan memberikan support mental. Perawatan post pengobatan antara lain
menghindari komplikasi post pengobatan ( tromboplebitis, emboli pulmonal
dan pneumonia ), monitor intake dan output cairan. (Bambang sarwiji, 2011)
3 STADIUM KARSINOMA SERVIKS
Klasifikasi internasional tentang karsinoma serviks uteri :Tingkat
kriteria Tahap O : Kanker insitu, kanker terbatas pada lapisan epitel, tidak
terdapat bukti invasi. Tahap I : Karsinoma yang benar - benar berada dalam
serviks. Proses terbatas pada serviks walaupun ada perluasan ke korpus uteri.
Tahap Ia : Karsinoma mikroinvasif, bila membran basalis sudah rusak dan sel

11
tumor sudah memasuki stoma lebih dari 1 mm, sel tumor tidak terdapat pada
pembuluh limfa atau pembuluh darah. Tahap Ib : Secara klinis sudah diduga
adanya tumor yang histologik menunjukkan invasi serviks uteri. Tahap II :
Kanker vagina, lesi telah menyebar diluar serviks hingga mengenai vagina
(bukan sepertiga bagian bawah ) atau area para servikal pada salah satu sisi
atau kedua sisi. Tahap IIa : Penyebarah hanya perluasan vagina, parametrium
masih bebas dari infiltrate tumor. TahapIIb : Penyebaran keparametrium, uni
atau bilateral tetapi belum sampai pada dinding panggul. Tahap III : Kanker
mengenai sepertiga bagian bawah vagina atau telah meluas kesalah satu atau
kedua dinding panggul. Penyakit nodus limfe yang teraba tidak merata pada
dinding panggul.Urogram IV menunjukkan salah satu atau kedua ureter
tersumbat oleh tumor. Tahap IIIa : Penyebaran sampai pada sepertiga bagian
distal vagina, sedang ke parametrium tidak dipersoalkan. Tahap IIIb :
Penyebaran sudah sampai pada dinding panggul, tidak ditemukan daerah
bebas infiltrasi antara tumor dengan dinding panggul ( frozen pelvic ) atau
proses pada tingkatan klinik I dan II, tetapi sudah ada gangguan faal ginjal.
Tahap IV : Proses keganasan telah keluar dari panggul kecil dan melibatkan
mukosa rektum dan atau kandang kemih (dibuktikan secara histologik ) atau
telah terjadi metastasis keluar paanggul atau ketempat - tempat yang jauh.
Tahap IVa : Proses sudah keluar dari panggul kecil, atau sudah menginfiltrasi
mukosa rektrum dan atau kandung kemih. Tahap IVb : Telah terjadi
penyebaran jauh.

12
2.8 PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK HVP
a. Sitologi
Pemeriksaan ini yang dikenal sebagai tes papanicolaous ( tes PAP ) sangat
bermanfaat untuk mendeteksi lesi secara dini, tingkat ketelitiannya
melebihi 90% bila dilakukan dengan baik. Sitologi adalah cara Skrining
sel - sel serviks yang tampak sehat dan tanpa gejala untuk kemudian
diseleksi. Kanker hanya dapat didiagnosis secara histologik.
b. Kolposkopi
Kolposkopi adalah pemeriksaan dengan menggunakan kolposkopi, suatu
alat yang dapat disamakan dengan sebuah mikroskop bertenaga rendah
dengan sumber cahaya didalamnya ( pembesaran 6 - 40 kali ). Kalau
pemeriksaan sitologi menilai perubahan morfologi sel - sel yang
mengalami eksfoliasi, maka kolposkopi menilai perubahan pola epitel dan
vascular serviks yang mencerminkan perubahan biokimia dan perubahan
metabolik yang terjadi di jaringan serviks.
c. Biopsi
Biopsi dilakukan didaerah abnormal jika SSP (sistem saraf pusat ) terlihat
seluruhnya dengan kolposkopi. Jika SSP tidak terlihat seluruhnya atau
hanya terlihat sebagian kelainan didalam kanalis serviskalis tidak dapat
dinilai, maka contoh jaringan diambil secara konisasi.Biopsi harus
dilakukan dengan tepat dan alat biopsy harus tajam sehingga harus
diawetkan dalam larutan formalin 10%.
d. Konisasi
Konosasi serviks ialah pengeluaran sebagian jaringan serviks sedemikian
rupa sehingga yang dikeluarkan berbentuk kerucut ( konus ), dengan
kanalis servikalis sebagai sumbu kerucut. Untuk tujuan diagnostik,
tindakan konisasi selalu dilanjutkan dengan kuretase.Batas jaringan yang
dikeluarkan ditentukan dengan pemeriksaan kolposkopi.Jika karena suatu

13
hal pemeriksaan kolposkopi tidak dapat dilakukan, dapat dilakukan tes
Schiller. Pada tes ini digunakan pewarnaan dengan larutan lugol ( yodium
5g, kalium yodida 10g, air 100ml ) dan eksisi dilakukan diluar daerah
dengan tes positif ( daerah yang tidak berwarna oleh larutan lugol ).
Konikasi diagnostik dilakukan pada keadaan - keadaan sebagai berikut : 1.
Proses dicurigai berada di endoserviks. 2. Lesi tidak tampak seluruhnya
dengan pemeriksaan kolposkopi. 3. Diagnostik mikroinvasi ditegakkan
atas dasar specimen biopsy. 4. Ada kesenjangan antara hasil sitologi dan
histopatologik.
e. Test Iva
IVA (inspeksi visual dengan asam asetat) merupakan cara sederhana
untuk mendeteksi kanker leher rahim sedini mungkin (Sukaca E. Bertiani,
2009) IVA merupakan pemeriksaan leher rahim (serviks) dengan cara
melihat langsung (dengan mata telanjang) leher rahim setelah memulas
leher rahim dengan larutan asam asetat 3-5% (Wijaya Delia, 2010).
Laporan hasil konsultasi WHO menyebutkan bahwa IVA dapat
mendeteksi lesi tingkat pra kanker (high-Grade Precanceraus Lesions)
dengan sensitivitas sekitar 66-96% dan spesifitas 64-98%. Sedangkan nilai
prediksi positif (positive predective value) dan nilai prediksi negatif
(negative predective value) masing-masing antara 10-20% dan 92-97%
(Wijaya Delia, 2010).
Pemeriksaan IVA merupakan pemeriksaan skrining alternatife dari pap
smear karena biasanya murah, praktis, sangat mudah untuk dilaksanakan
dan peralatan sederhana serta dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan
selain dokter ginekologi. Pada pemeriksaan ini, pemeriksaan dilakukan
dengan cara melihat serviks yang telah diberi asam asetat 3-5% secara
inspekulo. Setelah serviks diulas dengan asam asetat, akan terjadi
perubahan warna pada serviks yang dapat diamati secara langsung dan

14
dapat dibaca sebagai normal atau abnormal. Dibutuhkan waktu satu
sampai dua menit untuk dapat melihat perubahan-perubahan pada jaringan
epitel.
Serviks yang diberi larutan asam asetat 5% akan merespon lebih cepat
daripada larutan 3%. Efek akan menghilang sekitar 50-60 detik sehingga
dengan pemberian asam asetat akan didapat hasil gambaran serviks yang
normal (merah homogen) dan bercak putih (displasia) (Novel S
Sinta,dkk,2010).
Pemeriksaan IVA dilakukan dengan spekulum melihat langsung leher
rahim yang telah dipulas dengan larutan asam asetat 3-5%, jika ada
perubahan warna atau tidak muncul plak putih, maka hasil pemeriksaan
dinyatakan negative. Sebaliknya jika leher rahim berubah warna menjadi
merah dan timbul plak putih, maka dinyatakan positif lesi atau kelainan
pra kanker. Namun jika masih tahap lesi, pengobatan cukup mudah, bisa
langsung diobati dengan metode Krioterapi atau gas dingin yang
menyemprotkan gas CO2 atau N2 ke leher rahim. Sensivitasnya lebih dari
90% dan spesifitasinya sekitar 40% dengan metode diagnosis yang hanya
membutuhkan waktu sekitar dua menit tersebut, lesi prakanker bisa
dideteksi sejak dini. Dengan demikian, bisa segera ditangani dan tidak
berkembang menjadi kanker stadium lanjut. Metode krioterapi adalah
membekukan serviks yang terdapat lesi prakanker pada suhu yang amat
dingin (dengan gas CO2) sehingga sel-sel pada area tersebut mati dan
luruh, dan selanjutnya akan tumbuh sel-sel baru yang sehat (Samadi
Priyanto. H, 2010).

15
BAB III
PENUTUP
2.9 Kesimpulan
HPV atau human papilloma virus merupakan penyebab dari kanker
serviks baik secara biologik maupun epidemiologik. Meskipun demikian,
HPV juga didukung oleh faktor-faktor lain yang menyebabkan kanker
terjadi. Sekitar 70% kanker pada seviks, vagina dan anus disebabkan oleh
human papilloma virus tipe 16 dan 18.
Sampai saat ini belum diketahui secara pasti mengapa infeksi HPV
dapat menjadi penyebab proses keganasan di daerah serviks. Tetapi
beberapa faktor resiko yang berpengaruh terhadap terjadinya kanker
serviks yaitu : HPV ( Human Papiloma Virus ), Merokok, Hubungan
seksual pertama dilakukan pada usia dini ( kurang dari 18 tahun), Berganti
- ganti pasangan seksual, Pemakaian DES ( Diethilstilbestrol ) pada
wanita hamil untuk mencegah keguguran, Pemakaian Pil KB, Infeksi
herpes genitalis kronis, ekonomi yang lemah.
Pemeriksaan diagnostiknya ada beberapa cara yaitu : Sitologi,
Kolposkopi, Biopsi, Konosasi serviks. Selama terapi radiasi perawatannya
yaitu monior tanda - tanda vital tiap 4 jam. Memberikan posisi semi
fowler, berikan makanan berserat dan cairan parenteral sampai 300ml dan
memberikan support mental.

2.10 Saran
Untuk pelayanan kesehatan agar lebih meningkatkan pelayanan untuk
masyarakat terutama masyarakat ekonomi kebawah karena penyakit
kanker serviks merupakan penyakit yang sangat lama diobati juga perlu
banyak dana.

16
Bagi para mahasiswa dan peneliti untuk terus melakukan penelitian
lebih jauh mengenai penyebab-penyebab dan cara pengobatan kanker
serviks.

17
DAFTAR PUSTAKA

1. Jawetz, Melnick. 2000. Mikrobiologi untuk Profesi Kesehatan, Ed. 16.


Jakarta: EGC.
2. Bambang Dwipoyomo. 2007. Kanker Serviks dan Vaksin HPV, Staf
Medik Fungsional Ginekologi Onkologi RS. Kanker “Dharmais”
3. Berlian Rachmani, Zahroh Shaluhiyah. 2012. Sikap Remaja Perempuan
Terhadap Pencegahan Kanker Serviks Melalui Vaksinasi HPV di kota
Semarang. Semarang : Media Kesehatan Masyarakat Indonesia. Vol. 11
(34-41)
4. Imam Rasjidi. 2009. Epidemiologi Kanker Serviks. Tangerang :
Indonesian Journal of Cancer Vol. III, No. 3 (103-108)
5. Andrijono. 2007. Vaksinasi HPV Merupakan Pencegahan Primer Kanker
Serviks. Jakarta: Dapertemen Obstetri dan Ginekologi FK UI. Vol. 58 No.
5.
6. Sukaca, Bertiani E. (2009). Cara Cerdas Menghadapi Kanker Serviks.
Yogyakarta: Penerbit Genius.
7. Delia, Wijaya. 2010. Pembunuh Ganas Itu Bernama Kanker Serviks.
Yogyakarta : Sinar Kejora.
8. Novel S.Sinta dkk. 2010. Kanker Serviks dan Infeksi Human
Pappilomavirus (HPV). Jakarta : Javamedia Network
9. Samadi Priyanto. H. 2010. Yes, I Know Everything Abaut Kanker Servik.
Yogyakarta : Tiga Kelana.

18

Anda mungkin juga menyukai