Anda di halaman 1dari 23

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

1. Konsep Nyeri

1.1. Definisi nyeri

Secara umum nyeri adalah suatu rasa yang tidak nyaman, baik ringan

maupun berat. Nyeri didefinisikan sebagai suatu keadaan yang

mempengaruhi seseorang dan eksistensinya diketahui bila seseorang pernah

mengalaminya (Tamsuri, 2007). Menurut International Association for Study of

Pain (IASP), nyeri adalah pengalaman perasaan emosional yang tidak

menyenangkan akibat terjadinya kerusakan aktual maupun potensial, atau

menggambarkan kondisi terjadinya kerusakan.

Menurut Engel (1970) menyatakan nyeri sebagai suatu dasar sensasi

ketidaknyamanan yang berhubungan dengan tubuh dimanifestasikan sebagai

penderitaan yang diakibatkan oleh persepsi jiwa yang nyata, ancaman atau

fantasi luka. Nyeri adalah apa yang dikatakan oleh orang yang mengalami nyeri

dan bila yang mengalaminya mengatakan bahwa rasa itu ada. Definisi ini tidak

berarti bahwa anak harus mengatakan bila sakit. Nyeri dapat diekspresikan

melalui menangis, pengutaraan, atau isyarat perilaku (Mc Caffrey & Beebe, 1989

dikutip dari Betz & Sowden, 2002).

Universitas Sumatera Utara


1.2. Faktor-faktor yang mempengaruhi nyeri

Nyeri merupakan hal yang kompleks, banyak faktor yang mempengaruhi

pengalaman seseorang terhadap nyeri. Seorang perawat harus mempertimbangkan

faktor-faktor tersebut dalam menghadapi klien yang mengalami nyeri. Hal

ini sangat penting dalam pengkajian nyeri yang akurat dan memilih terapi nyeri

yang baik.

a. Usia

Menurut Potter & Perry (1993) usia adalah variabel penting yang

mempengaruhi nyeri terutama pada anak dan orang dewasa. Perbedaan

perkembangan yang ditemukan antara kedua kelompok umur ini dapat

mempengaruhi bagaimana anak dan orang dewasa bereaksi terhadap nyeri. Anak-

anak kesulitan untuk memahami nyeri dan beranggapan kalau apa yang

dilakukan perawat dapat menyebabkan nyeri. Anak-anak yang belum mempunyai

kosakata yang banyak, mempunyai kesulitan mendeskripsikan

secara verbal dan mengekspresikan nyeri kepada orang tua atau

perawat.

Anak belum bisa mengungkapkan nyeri, sehingga perawat harus mengkaji

respon nyeri pada anak. Pada orang dewasa kadang melaporkan nyeri jika sudah

patologis dan mengalami kerusakan fungsi (Tamsuri, 2007).

Seorang perawat harus menggunakan teknik komunikasi yang sederhana

dan tepat untuk membantu anak dalam membantu anak dalam memahami dan

mendeskripsikan nyeri. Sebagai contoh, pertanyaan kepada anak, “ Beritahu

saya

Universitas Sumatera Utara


dimana sakitnya?” atau “apa yang dapat saya lakukan untuk menghilangkan

sakit kamu?”. Hal-hal diatas dapat membantu mengkaji nyeri dengan tepat.

Perawat dapat menunjukkan serangkaian gambar yang melukiskan

deskripsi wajah yang berbeda, seperti tersenyum, mengerutkan dahi

atau menangis. Anak-anak dapat menunjukkan gambar yang paling tepat untuk

menggambarkan perasaan mereka.

b. Jenis kelamin

Gill (1990) mengungkapkan laki-laki dan wanita tidak mempunyai

perbedaan secara signifikan mengenai respon mereka terhadap nyeri. Masih

diragukan bahwa jenis kelamin merupakan faktor yang berdiri sendiri dalam

ekspresi nyeri. Misalnya anak laki-laki harus berani dan tidak boleh menangis

dimana seorang wanita dapat menangis dalam waktu yang sama. Penelitian yang

dilakukan Burn, dkk. (1989) dikutip dari Potter & Perry, 1993 mempelajari

kebutuhan narkotik post operative pada wanita lebih banyak dibandingkan

dengan pr ia.

c. Budaya

Keyakinan dan nilai-nilai budaya mempengaruhi cara individu mengatasi

nyeri. Individu mempelajari apa yang diharapkan dan apa yang diterima

oleh kebudayaan mereka. Hal ini meliputi bagaimana bereaksi terhadap nyeri

(Calvillo

& Flaskerud, 1991).

Universitas Sumatera Utara


Nyeri memiliki makna tersendiri pada individu dipengaruhi oleh latar

belakang budayanya (Davidhizar et all, 1997, Marrie, 2002) nyeri biasanya

menghasilkan respon efektif yang diekspresikan berdasarkan latar belakang

budaya yang berbeda. Ekspresi nyeri dapat dibagi kedalam dua kategori yaitu

tenang dan emosi (Davidhizar et all, 1997, Marrie, 2002) pasien tenang

umumnya akan diam berkenaan dengan nyeri, mereka memiliki sikap dapat

menahan nyeri. Sedangkan pasien yang emosional akan berekspresi secara verbal

dan akan menunjukkan tingkah laku nyeri dengan merintih dan menangis

(Marrie, 2002).

Nilai-nilai budaya perawat dapat berbeda dengan nilai-nilai budaya pasien

dari budaya lain. Harapan dan nilai-nilai budaya perawat dapat mencakup

menghindari ekspresi nyeri yang berlebihan, seperti menangis atau meringis yang

berlebihan. Pasien dengan latar belakang budaya yang lain bisa berekspresi

secara berbeda, seperti diam seribu bahasa ketimbang mengekspresikan nyeri

klien dan bukan perilaku nyeri karena perilaku berbeda dari satu pasien ke pasien

lain.

Mengenali nilai-nilai buda ya yang memiliki seseorang dan

memahami mengapa nilai-nilai ini berbeda dari nilai-nilai kebudayaan

lainnya membantu untuk menghindari mengevaluasi perilaku pasien berdasarkan

harapan dan nilai budaya seseorang. Perawat yang mengetahui perbedaan budaya

akan mempunyai pemahaman yang lebih besar tentang nyeri pasien dan akan

lebih akurat dalam mengkaji nyeri dan respon-respon perilaku terhadap nyeri

juga efektif dalam menghilangkan nyeri pasien (Smeltzer& Bare, 2003).

Universitas Sumatera Utara


d. Ansietas

Meskipun pada umumnya diyakini bahwa ansietas akan meningkatkan

nyeri, mungkin tidak seluruhnya benar dalam semua keadaaan. Riset tidak

memperlihatkan suatu hubungan yang konsisten antara ansietas dan nyeri juga

tidak memperlihatkan bahwa pelatihan pengurangan stres praoperatif

menurunkan nyeri saat pascaoperatif. Namun, ansietas yang relevan atau

berhubungan dengan nyeri dapat meningkatkan persepsi pasien terhadap nyeri.

Ansietas yang tidak berhubungan dengan nyeri dapat mendistraksi pasien

dan secara aktual dapat menurunkan persepsi nyeri. Secara umum, cara yang

efektif untuk menghilangkan nyeri adalah dengan mengarahkan pengobatan nyeri

ketimbang ansietas (Smeltzer

& Bare, 2002).

e. Pengalaman masa lalu dengan nyeri

Seringkali individu yang lebih berpengalaman dengan nyeri yang

dialaminya, makin takut individu tersebut terhadap peristiwa menyakitkan yang

akan diakibatkan. Individu ini mungkin akan lebih sedikit mentoleransi

nyeri, akibatnya ia ingin nyerinya segera reda sebelum nyeri tersebut

menjadi lebih parah. Reaksi ini hampir pasti terjadi jika individu tersebut

mengetahui ketakutan dapat meningkatkan nyeri dan pengobatan yang tidak

adekuat.

Cara seseorang berespon terhadap nyeri adalah akibat dari banyak

kejadian nyeri selama rentang kehidupannya. Bagi beberapa orang, nyeri masa

lalu dapat

Universitas Sumatera Utara


saja menetap dan tidak terselesaikan, seperti padda nyeri berkepanjangan

atau kronis dan persisten.

Efek yang tidak diinginkan yang diakibatkan dari pengalaman

sebelumnya menunjukkan pentingnya perawat untuk waspada terhadap

pengalaman masa lalu pasien dengan nyeri. Jika nyerinya teratasi dengan tepat

dan adekuat, individu mungkin lebih sedikit ketakutan terhadap nyeri dimasa

mendatang dan mampu mentoleransi nyeri dengan baik (Smeltzer & Bare, 2002).

f. Efek plasebo

Efek plasebo terjadi ketika seseorang berespon terhadap pengobatan atau

tindakan lain karena sesuatu harapan bahwa pengobatan tersebut benar

benar bekerja. Menerima pengobatan atau tindakan saja sudah merupakan efek

positif.

Harapan positif pasien tentang pengobatan dapat meningkatkan

keefektifan medikasi atau intervensi lainnya. Seringkali makin banyak petunjuk

yang diterima pasien tentang keefektifan intervensi, makin efektif intervensi

tersebut nantinya. Individu yang diberitahu bahwa suatu medikasi diperkirakan

dapat meredakan nyeri hampir pasti akan mengalami peredaan nyeri dibanding

dengan pasien yang diberitahu bahwa medikasi yang didapatnya tidak

mempunyai efek apapun. Hubungan pasien –perawat yang positif dapat juga

menjadi peran yang amat penting dalam meningkatkan efek plasebo (Smeltzer &

Bare, 2002).

Universitas Sumatera Utara


g. Keluarga dan Support Sosial

Faktor lain yang juga mempengaruhi respon terhadap nyeri adalah

kehadiran dari orang terdekat. Orang-orang yang sedang dalam keadaan nyeri

sering bergantung pada keluarga untuk mensupport, membantu atau melindungi.

Ketidakhadiran keluarga atau teman terdekat mungkin akan membuat nyeri

semakin bertambah. Kehadiran orangtua merupakan hal khusus yang

penting untuk anak-anak dalam menghadapi nyeri (Potter & Perry, 1993).

h. Pola koping

Ketika seseorang mengalami nyeri dan menjalani perawatan di rumah

sakit adalah hal yang sangat tak tertahankan. Secara terus-menerus klien

kehilangan kontrol dan tidak mampu untuk mengontrol lingkungan termasuk

nyeri. Klien sering menemukan jalan untuk mengatasi efek nyeri baik fisik

maupun psikologis. Penting untuk mengerti sumber koping individu selama

nyeri. Sumber-sumber koping ini seperti berkomunikasi dengan keluarga, latihan

dan bernyanyi dapat digunakan sebagai rencana untuk mensupport klien dan

menurunkan nyeri klien.

Sumber koping lebih dari sekitar metode teknik. Seorang klien mungkin

tergantung pada support emosional dari anak-anak, keluarga atau

teman. Meskipun nyeri masih ada tetapi dapat meminimalkan kesendirian.

Kepercayaan pada agama dapat memberi kenyamanan untuk berdo’a,

memberikan banyak kekuatan untuk mengatasi ketidaknyamanan yang datang

(Potter & Perry, 1993).

Universitas Sumatera Utara


1.3. Klasifikasi Nyeri

Nyeri dikelompokkan sebagai nyeri akut dan nyeri kronis. Nyeri

akut biasanya datang tiba-tiba, umumnya berkaitan dengan cidera spesifik, jika

kerusakan tidak lama terjadi dan tidak ada penyakit sistemik, nyeri akut biasanya

menurun sejalan dengan penyembuhan. Nyeri akut didefinisikan sebagai nyeri

yang berlangsung beberapa detik hingga enam bulan (Brunner & Suddarth, 1996).

Berger (1992) menyatakan bahwa nyeri akut merupakan mekanisme

pertahanan yang berlangsung kurang dari enam bulan. Secara fisiologis terjadi

perubahan denyut jantung, frekuensi nafas, tekanan darah, aliran darah perifer,

tegangan otot, keringat pada telapak tangan, dan perubahan ukuran pupil.

Nyeri kronik adalah nyeri konstan atau intermiten yang menetap

sepanjang satu periode waktu. Nyeri kronis dapat tidak mempunyai awitan yang

ditetapkan dan sering sulit untuk diobati karena biasanya nyeri ini tidak

memberikan respon terhadap pengobatan yang diarahkan pada penyebabnya.

Nyeri kronis sering didefenisikan sebagai nyeri yang berlangsung selama enam

bulan atau lebih (Brunner & Suddarth, 1996 dikutip dari Smeltzer 2001).

Menurut Taylor (1993) nyeri ini bersifat dalam, tumpul, diikuti berbagai

macam gangguan, terjadi lambat dan meningkat secara perlahan setelahnya,

dimulai setelah detik pertama dan meningkat perlahan sampai beberapa detik

atau menit. Nyeri ini berhubungan dengan kerusakan jaringan, ini bersifat terus-

menerus atau intermitten.

Universitas Sumatera Utara


1.4. Fisiologi Nyeri

Menurut Torrance & Serginson (1997), ada tiga jenis sel saraf

dalam proses penghantaran nyeri yaitu sel syaraf aferen atau neuron sensori,

serabut konektor atau interneuron dan sel saraf eferen atau neuron motorik. Sel-

sel syaraf ini mempunyai reseptor pada ujungnya yang menyebabkan impuls

nyeri dihantarkan ke sum-sum tulang belakang dan otak. Reseptor-reseptor ini

sangat khusus dan memulai impuls yang merespon perubahan fisik dan kimia

tubuh. Reseptor-reseptor yang berespon terhadap stimulus nyeri disebut

nosiseptor.

Stimulus pada jaringan akan merangsang nosiseptor melepaskan zat-zat

kimia, yang terdiri dari prostaglandin, histamin, bradikinin, leukotrien,

substansi p, dan enzim proteolitik. Zat-zat kimia ini akan mensensitasi ujung

syaraf dan menyampaikan impuls ke otak (Torrance & Serginson, 1997).

Menurut Smeltzer & Bare (2002) kornu dorsalis dari medula spinalis

dapat dianggap sebagai tempat memproses sensori. Serabut perifer berakhir

disini dan serabut traktus sensori asenden berawal disini. Juga terdapat

interkoneksi antara sistem neural desenden dan traktus sensori asenden.

Traktus asenden berakhir pada otak bagian bawah dan bagian tengah dan

impuls-impuls dipancarkan ke korteks serebri.

Agar nyeri dapat diserap secara sadar, neuron pada sistem asenden harus

diaktifkan. Aktivasi terjadi sebagai akibat input dari reseptor nyeri yang terletak

dalam kulit dan organ internal. Terdapat interkoneksi neuron dalam kornu

dorsalis

Universitas Sumatera Utara


yang ketika diaktifkan, menghambat atau memutuskan taransmisi informasi yang

menyakitkan atau yang menstimulasi nyeri dalam jaras asenden. Seringkali

area ini disebut “gerbang”. Kecendrungan alamiah gerbang adalah membiarkan

semua input yang menyakitkan dari perifer untuk mengaktifkan jaras asenden

dan mengaktifkan nyeri. Namun demikian, jika kecendrungan ini berlalu tanpa

perlawanan, akibatnya sistem yang ada akan menutup gerbang. Stimulasi dari

neuron inhibitor sistem asenden menutup gerbang untuk input nyeri

dan mencegah transmisi sensasi nyeri (Smeltzer & Bare, 2002).

Teori gerbang kendali nyeri merupakan proses dimana terjadi interaksi

antara stimulus nyeri dan sensasi lain dan stimulasi serabut yang mengirim

sensasi tidak nyeri memblok transmisi impuls nyeri melalui sirkuit gerbang

penghambat. Sel-sel inhibitor dalam kornu dorsalis medula spinalis

mengandung eukafalin yang menghambat transmisi nyeri (Wall, 1978 dikut

ip dari Smeltzer & Bare,

2002).

1.5. Nyeri post-operasi

Toxonomi Comitte of The International Assocation mendefinisikan nyeri

post operasi sebagai sensori yang tidak menyenangkan dan pengalaman emosi

yang berhubungan dengan kerusakan jaringan potensial atau nyata

atau menggambarkan terminologi suatu kerusakan (Alexander, 1987).

Nyeri post operasi akan meningkatkan stres post operasi dan memiliki

pengaruh negatif pada penyembuhan nyeri. kontrol nyeri sangat penting

sesudah

Universitas Sumatera Utara


pembedahan, nyeri yang dibebaskan dapat mengurangi kecemasan, bernafas lebih

mudah dan dalam, dapat mentoleransi mobilisasi yang cepat. Pengkajian nyeri

dan kesesuaian analgesik harus digunakan untuk memastikan bahwa nyeri pasien

post operasi dapat dibebaskan (Weist et all, 1983; Torrance & Serginson, 1997).

Menurut Potter dan Perry (1993); Torrance dan Sergison (1997) secara

umum respon pasien terhadap nyeri terbagi atas: (1) respon perilaku, dan

(2) respon yang dimanifestasikan oleh otot dan kelenjar otonom.

Respon perilaku terdiri dari (1) secara vokal: merintih, menangis,

menjerit, bicara terengah-engah dan menggerutu, (2) ekspresi wajah: meringis,

merapatkan gigi, mengerutkan dahi, menutup rapat atau membuka lebar mata

atau mulut, menggigit bibir dan rahang tertutup rapat, (3) geraakan tubuh:

kegelisahan, immobilisasi, ketegangan otot, peningkatan

pergerakan tangandan jari, melindungi bagian tubuh,

(4) interaksi sosial: menghindari percakapan, hanya berfokus pada untuk

aktivitas penurunan nyeri, menghindari kontak sosial, berkurangnya perhatian.

Respon yang dimanifestasikan oleh otot polos dan kelenjar-kelenjar

(Philips & Cousin, 1986, dikutip dari Torrance & Serginson, 1997), terdiri atas

(1) nausea, (2) muntah, (3) stasis lambung, (4) penurunan motilitas usus, (5)

peningkatan sekresi usus, (6) gangguan aktivitas ginjal.

Universitas Sumatera Utara


1.6. Manajenen nyeri non-farmakologi: teknis distraksi

Distraksi adalah teknis memfokuskan perhatian pasien pada sesuatu

selain pada nyeri (Brunner & Suddarth, 1996). Distraksi diduga dapat

menurunkan nyeri, menurunkan persepsi nyeri dengan menstimulasi sistem

kontrol desendens, yang mengakibatkan lebih sedikit stimulasi nyeri yang

ditransmisikan ke otak. Keefektifan distraksi tergantung pada kemampuan

pasien untuk menerima dan membangkitkan input sensori selain nyeri (Brunner

& Suddarth, 1996).

Distraksi dapat berkisar dari hanya pencegahan menoton sampai

menggunakan aktivitas fisik dan mental yang sangat kompleks. Kunjungan dari

keluarga dan teman-teman sangat efektif dalam meredakan nyeri. Orang

lain mungkin akan mendapatkan peredaan nyeri melalui permainan dan aktivitas

yang membutuhkan konsentrasi. Tidak semua pasien mencapai peredaan nyeri

melalui distraksi, terutama mereka yang mengalami nyeri hebat. Dengan nyeri

hebat klien mungkin tidak dapat berkonsentrasi cukup baik untuk ikut serta

dalam aktivitas mental atau fisik yang kompleks (Smeltzer & Bare, 2002).

Menurut Taylor (1997), cara-cara yang dapat digunakan pada teknik

distraksi antara lain: (1) penglihatan: membaca, melihat pemendangan dan

gambar, menonton TV, (2) pendengaran: mendengarkan musik, suara

burung, gemercik air, (3) taktil kinestik: memegang orang tercinta, binatang

peliharaan atau mainan, pernafasan yang berirama, (4) projek: permainan yang

menarik, puzzle, kartu, menulis cerita, mengisi teka-teki silang.

Universitas Sumatera Utara


2. Anak

2.1. Anak usia sekolah

Anak usia sekolah adalah dimana anak telah memasuki usia sekolah.

Anak usia sekolah adalah akhir masa kanak-kanak yang berlangsung dari 6

tahun sampai anak mencapai kematangan seksual. Yaitu sekitar 13 tahun

bagi anak perempuan dan 14 tahun bagi anak laki-laki (Hurlock, 1999).

Menurut Wong & Whaley’s (1996) konsep anak tentang sakit dan nyeri

dibedakan berdasarkan usianya. Berikut ini akan disajikan konsep anak tentang

sakit dan nyeri.

Tahap Konsep Sakit Konsep Nyeri


Kognitif
(usia)
Pikiran Fenomisme: • Memahami nyeri
praopersional terutama sebagai
menerima fenomena pengalaman konkret
(2-7) tahun konkrit, eksternal dan secara fisik
tidak berhubungan sebagai • Berfikir dalam hal
sakit, (sakit karena tidak penghilangan nyeri
merasa sehat) magis
• Dapat memandang nyeri
Pengaruh buruk: sebagai hukuman karena
melakukan suatu hal
Menerima penyebab sakit yang salah
sebagai kedekatan antara • Cenderung meminta
dua kejadian yang terjadi seseorang bertanggung
karene “magis” (seperti gugat terhadap nyeri
menderita pilek karena yang dialaminya dan
dekat-dekat orang yang dapat menunjuk pada
pilek). seseorang

Berpikir Kontaminasi: • Memehami nyeri secara


Operasional konkret fisik (mis: sakit kepala,
(7-10 tahun) Menerima penyebab sakit perut)
sebagai seseorang, objek

Universitas Sumatera Utara


atau tindakan eksternal • Mampu menerima nyeri
pada anak yang bersifat psikologis (seseorang
“buruk” atau “berbahaya” yang sekarat)
terhadap tubuh (mis: pilek • Takut akan bahaya dan
karena tidak memakai penghancuran tubuh
topi) (destruksi tubuh dan
kematian)
Internalisasi: • Dapat memandang nyeri
sebagai hukuman karena
Menerima sakit sebagai melakukan hal-hal yang
mendapatkan penyebab salah
eksternal tetapi
ditempatkan di
dalan
tubuh (mis: pilek karena
bernafas dalam udara dan
Pikiran bakteri)
Rasiona l Fisiologis: • Mampu memberikan
Formal (13 tahun alasan nyeri (mis: jatuh
dan lebih besar) Menerima penyebab dan memukul saraf)
sebagai malfungsi atau • Menerima beberapa jenis
tidak berfungsinya organ nyeri psikologis
atau proses; dapat • Mempunyai keterbatasan
menjelaskan sakit pengalaman hidup untuk
berdasarkan urutan menghadapi nyeri seperti
kejadian orang dewasa
menghadapi pemahaman
Psikofisiologis: yang matang tentang
nyeri
Menyadari bahwa kerja • Takut akan kehilangan
psikologis dan sikap kontrol selama
mempengaruhi keadaan menghadapi nyeri
sehat dan sakit

Universitas Sumatera Utara


2.2. Nyeri pada anak

Bayi tidak dapat berkomunikasi melalui verbal secara menyeluruh,

walaupun tingkah laku mereka menampilkan ekspresi wajah nyeri seperti:

menangis, wajah meringis, mata menyipit, dagu bergetar. Bayi secara sempurna

bergantung kepada tenaga medis untuk mengkaji nyeri dan menginterpretasikan

nyeri mereka (Marie, 2002).

Todler dan pra sekolah kurang dalam kemampuan kognitif untuk

menggunakan alat skore nyeri standard orang dewasa. Anak todler biasanya dapat

mengatakan hanya pada adanya nyeri atau tidak walaupun beberapa diantaranya

mampu melokalisasikan nyeri tersebut (Marie, 2002).

Anak usia sekolah mampu mendeskripsikan nyeri mereka (Marie, 2002).

Metode pelaporan sendiri dengan menggunakan skala tingkatan intensitas nyeri

secara numerik telah terbukti bermanfaat untuk anak usia sekolah (Nelson, 1999).

2.3. Pengkajian nyeri pada anak

Menurut potter & Perry (1993) nyeri tidak dapat diukur secara objektif

misalnya dengan X-Ray atau tes darah. Namun tipe nyeri yang muncul dapat

diramalkan berdasarkan tanda dan gejalanya. Kadang-kadang perawat hanya bisa

mengkaji nyeri dengan bertumpu pada ucapan dan perilaku klien karena hanya

klien yang mengetahui nyeri yang dialaminya. Oleh sebab itu perawat harus

mempercayai bahwa nyeri tersebut memang ada.

Universitas Sumatera Utara


Gambaran skala dari berat nyeri merupakan makna yang lebih

objektif yang dapat diukur. Gambaran skala nyeri tidak hanya berguna dalam

mengkaji beratnya nyeri, tetapi juga dalam mengevaluasi perubahan kondisi klien

(Potter & Perry, 1993).

Menurut Wong & Whaley’s (1996) banyak metode yang dapat kita

gunakan untuk menilai nyeri pada anak, salah satu yang umum yaitu: QUESTT

(1) Question the children (bertanya pada


anak)

(2) Use pain rating scale (menggunakan skala

nyeri) (3) Evaluate behaviour (evaluasi tingkah

laku)

(4) Secure parent’s involvement (mengikut sertakan

orangtua) (5) Take cause of pain into account (mencari

penyebab nyeri) (6) Take action (mengambil tindakan)

1. Bertanya pada anak : minta anak untuk menunjukkan lokasi nyeri

dengan menandai atau menunjuk pada dirinya atau boneka. Waspada kalau anak

menolak atau tidak memberi tahu tentang nyerinya.

2. Menggunakan skala nyeri: (1) pilih skala nyeri yang sesuai

dengan umur dan kemampuan anak, (2) gunakan skala nyeri yang sama pada

anak untuk mencegah terjadinya kebingungan pada anak, (3) ajari anak untuk

menggunakan skala nyeri, sebelum nyeri datang, (4) saat pengenalan skala nyeri,

jelaskan bahwa
Universitas Sumatera Utara
hal hal ini adalah cara bagi anak dan orangtua untuk memberitahukan

perawat kalau anak sedang dalam keadaan sakit.

3. Evaluasi perilaku dan perubahan fisiologik: (1) ekspresi wajah adalah

indikator nyeri yang paling tampak, (2) perubahan fisiologik seperti peningkatan

denyut jantung, peningkatan tekanan darah ,penurunan saturasi oksigen, dilatasi

pupil, wajah memerah, mual, (3) perubahan psikologis dan perilaku

mungkin mengindikasikan emosi lain dari pada nyeri, (4) observasi perilaku

spesifik seperti menarik telinga, berbaring dengan satu kaki fleksi, (5)

waspadalah bila anak yang sedang tidur mengalami nyeri, (6) observasi koping

anak selama nyeri.

4. Mengikutsertakan orangtua: (1) tanya pada orang tentang perilaku anak

saat nyeri, (2) libatkan orangtua untuk mengkaji nyeri, karena orangtualah yang

selalu merawat anak, (3) lengkapi informasi tentang nyeri.

5. Mencari penyebab nyeri, karena prosedur mungkin akan memberikan

petunjuk untuk menduga intensitas dan tipe nyeri.

6. Mengambil tindakan, alasan perawat dalam mengkaji nyeri adalah agar

dapat mengurangi nyeri baik dengan obat-obatan atau cara non-farmako logik.

2.4. Pengukuran skala nyeri pada anak

Intensitas nyeri (skala nyeri) adalah gambaran tentang seberapa

parah nyeri dirasakan individu, pengukuran intensitas nyeri sangat subjektif dan

individual dan kemungkinan nyeri dalam intensitas yang sama dirasakan sangat

berbeda oleh dua orang yang berbeda (Tamsuri, 2007).

Universitas Sumatera Utara


1. Face Pain Rating Scale

Menurut Wong dan Baker (1998) pengukuran skala nyeri untuk anak usia

pra sekolah dan sekolah, pengukuran skala nyeri menggunakan Face Pain Rating

Scale yaitu terdiri dari 6 wajah kartun mulai dari wajah yang tersenyum untuk

“tidak ada nyeri” hingga wajah yang menangis untuk “nyeri berat”.

2. Word Grapic Rating Scale

Menggunakan deskripsi kata untuk menggambarkan intensitas

nyeri, biasanya dipakai untuk anak 4-17 tahun (Testler & Other, 1993;

Van Cleve & Savendra, 1993 dikutip dari Wong & Whaleys, 1996).

0 1 2 3 4 5

Tidak nyeri ringan sedang cukup sangat nyeri nyeri hebat

3. Skala intensitas nyeri numerik

Universitas Sumatera Utara


4. Skala nyeri menurut bourbanis

Perawat dapat menanyakan kepada klien tentang nilai nyerinya dengan

menggunakan skala 0 sampai 10 atau skala yang serupa lainnya yang membantu

menerangkan bagaimana intensitas nyerinya. Nyeri yang ditanyakan pada skala

tersebut adalah sebelum dan sesudah dilakukan intervensi nyeri untuk

mengevaluasi keefektifannya (Mc Kinney et al, 2000). Jika klien mengerti dalam

penggunaan skala dan dapat menjawabnya serta gambaran-gambaran yang

diungkapkan atau ditunjukkan tersebut diseleksi dengan hati-hati, setiap

instrumen tersebut dapat menjadi valid dan dapat dipercaya (Gracely &

Wolskee,1983; Houdede, 1982; Sriwatanakul, Kelvie & Lasagna, 1982

dikutip oleh Jacox, et al, 1994).

3. Terapi Musik

3.1. Pengertian

Terapi musik terdiri dari 2 kata, yaitu kata “terapi” dan “musik”. Terapi

(therapi) adalah penanganan penyakit (Brooker, 2001). Terapi juga diartikan

sebagai pengobatan (Laksman, 2000). Sedangkan musik adalah suara atau nada

yang mengandung irama.

Universitas Sumatera Utara


Terapi musik adalah keahlian menggunakan musik atau elemen musik

oleh seseorang terapis untuk meeningkatkan, mempertahankan dan

mengembalikan kesehatan mental, fisik, emosional dan spiritual. Dalam

kedokteran, terapi musik disebut sebagai terapi pelengkap (Complementary

Medicine), Potter juga mendefinisikan terapi musik sebagai teknik yang

digunakan untuk penyembuhan suatu penyakit dengan menggunakan bunyi atau

irama tertentu. Jenis musik yang digunakan dalam terapi musik dapat disesuaikan

dengan keinginan, seperti musik klasik, instrumentalia, dan slow musik (Potter,

2005 dikutip dari Erfandi, 2009).

Menurut Willougnby (1996), musik adalah bunyi atau nada yang

menyenangkan untuk didengar. Musik dapat keras, ribut, dan lembut yang

membuat orang senang mendengarnya. Orang cenderung untuk mengatakan indah

terhadap musik yang disukainya. Musik ialah bunyi yang diterima oleh individu

dan berbeda bergantung kepada sejarah, lokasi, budaya dan selera seseorang.

3.2. Manfaat Musik

Menurut Spawnthe Anthony (2003), musik mempunyai manfaat sebagai

berikut: (1) efek mozart, adalah salah satu istilah untuk efek yang bisa dihasilkan

sebuah musik yang dapat meningkatkan intelegensia seseorang, (2) refresing,

pada saat pikiran seeorang lagi kacau atau jenuh, dengan mendengarkan

musik walaupun sejenak, terbukti dapat menenangkan dan menyegarkan

pikiran kembali, (3) motivasi, hal yang hanya bisa dilahirkan dengan “feeling”

tertentu. Apabila ada motivasi, semangatpun akan muncul, (4) terapi, berbagai

penelitian dan literatur menerangkan tentang manfaat musik untuk kesehatan,

baik untuk
Universitas Sumatera Utara
kesehatan fisik maupun mental, beberapa penyakit yang dapat ditangani dengan

musik antara lain: kanker, stroke, dimensia, nyeri, gangguan kemampuan belajar,

dan bayi prematur.

3.3. Karakteristik terapeutik musik

Menurut Robbert (2002) dan Greer (2003), musik mempengaruhi persepsi

dengan cara: (1) distraksi, yaitu pengalihan pikiran dari nyeri, musik dapat

mengalihkan konsentrasi klien pada hal-hal yang menyenangkan, (2) relaksasi,

musik menyebabkan pernafasan menjadi lebih rileks dan menurunkan denyut

jantung, karena orang yang mengalami nyeri denyut jantung meningkat, (3)

menciptakan rasa nyaman, pasien yang berada pada ruang perawatan dapat

merasa cemas dengan lingkungan yang asing baginya dan akan merasa lebih

nyaman jika mereka mendengar musik yang mempunyai arti bagi mereka.

Terapi musik adalah penggunaan musik untuk relaksasi, mempercepat

penyembuhan, meningkatkan fungsi mental dan menciptakan rasa sejahtera.

Musik dapat mempengaruhi fungsi-fungsi fisiologis, seperti respirasi, denyut

jantung dan tekanan darah (Greer, 2003). Musik juga dapat menurunkan kadar

hormon kortisol yang meningkat pada saat stres. Musik juga merangsang

pelepasan hormon endorfin, hormon tubuh yang memberikan perasaan

senang yang berperan dalam penurunan nyeri (Berger, 1992).

Menurut Greer (2003), keunggulan terapi musik yaitu: (1) lebih

murah daripada analgesia, (2) prosedur non-invasif, tidak melukai pasien, (3)

tidak ada

Universitas Sumatera Utara


efek samping, (4) penerapannya luas, bisa diterapkan pada pasien yang tidak

bisa diterapkan terapi secara fisik untuk menurunkan nyeri.

Menurut Potter (2005 dikutip dari Erfandi, 2009), musik dapat digunakan

untuk penyembuhan, musik yang dipilih pada umumnya musik lembut dan

teratur seperti instrumentalia/ musik klasik mozart.

3.4. Terapi Musik Klasik Mozart

Musik klasik mozart adalah musik klasik yang muncul 250 tahun

yang lalu. Diciptakan oleh Wolgang Amadeus Mozart. Selain kemampuannya

untuk menyembuhkan berbagai penyakit, memberikan efek positif pada ibu

hamil dan janin, disamping itu beberapa penelitian oleh Alfred dan Campbell

sudah membuktikan bahwa musik klasik mozart bisa mengurangi nyeri

pasien. Dibanding musik klasik lainnya, melodi dan frekuensi yang tinggi pada

musik klasik mozart mampu merangsang dan memberdayakan kreatifitas dan

motivatif diotak. Namun, tidak berarti karya komposer klasik lainnya tidak dapat

digunakan (Andreana, 2006).

3.5. Proses Penurunan Nyeri Dengan Terapi Musik Klasik Mozart

Terapi musik klasik mozart dapat mengatasi nyeri berdasarkan teori Gate

Control, bahwa impuls nyeri dapat diatur atau dihambat oleh mekanisme

pertahanan disepanjang sistem saraf pusat. Teori ini mengatakan bahwa impuls

nyeri dihantarkan saat sebuah pertahanan dibuka dan impuls dihambat saat

sebuah pertahanan ditutup. Salah satu cara menutup mekanisme pertahanan

ini adalah

Universitas Sumatera Utara


dengan merangsang sekresi endorfin yang akan menghambat pelepasan

substansi P. Musik klasik mozart sendiri juga dapat merangsang peningkatan

hormon endorfin yang merupakan substansi sejenis morfin yang disuplai oleh

tubuh. Sehingga pada saat neuron nyeri perifer mengirimkan sinyal ke sinaps,

terjadi sinapsis antara neuron perifer dan neuron yang menuju otak tempat

seharusnya substansi p akan menghantarkan impuls. Pada saat tersebut, endorfin

akan memblokir lepasnya substansi P dari neuron sensorik, sehinnga transmisi

impuls nyeri di medula spinalis menjadi terhambat, sehingga sensasi nyeri

menjadi berkurang.

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai