Anda di halaman 1dari 15

KAJIAN ILMIAH PEMBERIAN OBAT MELALUI RUTE

INTRAVENA PADA JURNAL


“PHARMACOKINETICS OF SINGLE-DOSE I.V. MORPHINE IN
NORMAL VOLUNTEERS AND PATIENTS WITH END-STAGE
RENAL FAILURE”

Oleh
Kelompok 3/A3C
Putu Yayang Kresna Yuda (18021081)
Ketut Pande Sukadiasa (18021082)
Ni Putu Sinthya Devi Widyarini (18021083)
Putu Sintya Eka Putri (18021084)

PROGRAM STUDI FARMASI KLINIS


FAKULTAS ILMU ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS BALI INTERNASIONAL
DENPASAR
2020
KATA PENGANTAR

Om Swastyastu
Puji syukur penulis haturkan ke hadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa (Tuhan
Yang Maha Esa), karena atas rahmat dan anugerah-Nya penulis dapat menyelesaikan
makalah ini yang berjudul “Pharmacokinetics of Single-Dose I.V. Morphine in
Normal Volunteers and Patiens with End-Stage Renal Failure” tepat waktu.
Makalah ini disusun dalam rangka memenuhi tugas kelompok dalam menempuh
pembelajaran mata kuliah Biofarmasetika dan Farmakokinetika pada semester Genap
tahun akademik 2020.
Dalam penyusunan makalah ini penulis mengalami beberapa kesulitan dan
hambatan, namun berkat adanya bantuan dari berbagai pihak, hambatan tersebut
dapat diatasi. Oleh karena itu melalui pengantar ini penulis mengucapkan terima
kasih yang setulus-tulusnya kepada:
1. Dosen pengampu mata kuliah Biofarmasetika dan Farmakokinetika di
Universitas Bali Internasional
2. Rekan Mahasiswa yang telah mendukung dan memberikan masukan demi
kemajuan makalah ini
3. Orang tua yang telah mendukung penulis dalam penyusunan makalah ini.
Penulis menyadari bahwa tulisan kecil ini masih sederhana, baik dari segi isi
maupun tata penulisannya. Terkait itu, segala kritik dan saran-saran yang konstruktif
dari para pembaca sangat diharapkan demi sempurnanya tulisan ini dan karya penulis
berikutnya. Akhirnya penulis berharap, semoga karya tulis ini ada manfaatnya.
Om Santih Santih Santih Om
Denpasar, 25 April 2020

Penulis
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Farmakokinetik adalah ilmu yang mempelajari tentang nasib obat terhadap
tubuh yang meliputi ADME (Absorpsi, Distribusi, Metabolisme, dan Eliminasi) dari
obat. Model farmakokinetik sendiri dapat memberikan penafsiran yang lebih teliti
tentang hubungan kadar obat dalam plasma dan respons farmakologik. Data
farmakokinetik ini sangat penting diketahui karena memiliki hubungan yang erat
dengan kejadian timbulnya toksisitas serta efek samping yang beresiko terhadap
kelanjutan penyakit. Prinsip dan data farmakokinetik sangatlah penting diketahui
oleh seorang dokter dan apoteker agar dapat menetapkan regimen dosis yang optimal
bagi masing-masing pasien (Ritschel, 2004).
Pada umumnya terdapat banyak rute pemberian obat yang dapat diberikan
kepada pasien yaitu meliputi rute oral, rute intravena, rute subkutuan, dan lainnya.
Pemilihan jalur pemberian obat didasarkan oleh banyak pertimbangan salah satunya
keadaan klinis pasien serta keterbatasan obat dalam sistem pencernaan. Jalur
pemberian obat secara intravena merupakan salah satu dari sekian banyak rute obat
yang umum digunakan. Jalur ini digunakan karena seluruh dosis obat akan masuk ke
dalam tubuh dengan segera atau bioavailabilitas dapat mendekati 100%. Selain itu,
rute ini dapat memberikan efek local dan sistemik, serta cocok digunakan untuk
pasien dalam keadaan tidak sadar. Pada rute ini, obat akan langsung didistribusikan
ke semua jaringan di dalam tubuh melalui sistem sirkulasi. Untuk memahami kinetika
obat dalam tubuh tidak cukup hanya dengan menentukan dan mengetahui
perkembangan kadar atau jumlah senyawa asalnya saja (unchanged compound),
tetapi juga meliputi metabolitnya (Shargel, 2012).
Morfin merupakan golongan obat narkotik (obat opioid) yang masuk kedalam
jenis obat analgesic yang mana bekerja secara kuat dengan mengurangi nyeri di
sistem saraf pusat. Analgesic merupakan senyawa obat yang berfungsi untuk
menekan atau meringankan rasa nyeri jika digunakan dalam dosis terapi yang efektif.
Penggunaan analgesic ini pada pasien dengan komplikasi ginjal dapat memberikan
pengaruh terhadap perbedaan sensitivitas obat pada pasien tersebut (Azzami, 2019).
Penelitian ini dilakukan untuk mengkaji dan membandingkan profil
farmakokinetika morfin yang diberikan pada sukarelawan sehat dan orang dengan
penyakit ginjal stadium akhir yang membutuhkan hemodialysis. Hasil penelitian ini
diharapkan dapat dijadikan pertimbangan dalam penentuan dosis morfin yang lebih
tepat khususnya pada pasien dengan komplikasi gagal ginjal dengan hemodialysis.

1.2. Rumusan Masalah


Adapun rumusan masalah yang dapat diambil dari latar belakang diatas adalah
sebagai berikut:
1. Apa yang dimaksud dengan biofarmasetika dan farmakokinetika?
2. Bagaimana bahasan mengenai model kompertemen dan hasil perbandingan
parameter farmakokinetika morfin yang diberikan pada relawan sehat dengan
yang diberikan pada pasien gagal ginjal stadium akhir dalam jurnal tersebut?

1.3. Tujuan Penulisan


Adapun tujuan penulisan yang dapat diambil berdasarkan rumusan masalah
diatas adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui pengertian dan hubungan antara biofarmasetika dan
farmakokinetika
2. Untuk mengetahui bahasan perbandingan profil dan parameter
farmakokinetika morfin yang diberikan pada relawan sehat dengan yang
diberikan pada pasien gagal ginjal stadium akhir sesuai dengan ulasan pada
jurnal
BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Definisi
2.1.1. Definisi Biofarmasetika
Biofarmasetika merupakan cabang ilmu farmasi yang mempelajari
hubungan antara sifat-sifat fisiko kimia dari bahan baku obat dan bentuk
sediaan dengan efek terapi sesudah pemberian obat tersebut kepada pasien.
Terdapat faktor yang mempengaruhi biofarmasetika obat yaitu stabilitas obat
didalam suatu produk obat, pelepasan obat, laju pelepasan obat pada saat obat
mengalami proses absorbs dan absorpsi sistemik obat (Shargel et al, 2012).
2.1.2. Definisi Farmakokinetika
Farmakokinetika adalah ilmu yang mempelajari secara khusus
perubahan jumlah obat dalam tubuh sebagai fungsi waktu. Dengan kata lain,
dalam pokok bahasan farmakokinetika dilakukan kajian-kajian terhadap
fenomena absorbsi, distribusi, dan eliminasi obat secara kuantitatif. Oleh
karena itu, dalam penelitian-penelitian farmakokinetika dikembangkan
berbagai macam model-model matematika untuk menjelaskan proses
perjalanan obat di dalam tubuh. (Shargel et al, 2012).
Farmakokinetika mejelaskan tentang suatu obat yang dilepas dari bentuk
sediaanya, obat di absorpsi ke dalam jaringan sekitarnya, tubuh, atau
keduanya. Absorpsi obat sistemik dari saluran cerna atau dari berbagai site
ekstravaskuler lain bergantung pada sifat fisika kimia obat, bentuk sediaan
yang digunakan dan anatimi fisiologi dari site absorpsi. Pendosisan oral
factor-faktor seperti luas area saluran cerna, laju pengosongan lambung,
motilitas saluran cerna dan aliran darah ke site absorpsi mempengaruhi laju
dan jumlah absorpsi obat. Dalam farmakokitenika, keseluruhan laju absorpsi
obat dapat digambarkan baik sebagai proses masuknya orde kesatu atau orde
nol. Sebagian besar model farmakokinetika menganggap absorpsi mengikuti
orde kesatu. (Shargel et al, 2012).
2.2. Kajian Jurnal
2.2.1.Judul Jurnal
Jurnal yang dikaji berjudul “Pharmacokinetics of Single-Dose I.V.
Morphine in Normal Volunteers and Patiens with End-Stage Renal Failure”
2.2.2.Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian tersebut dilakukan untuk membandingkan profil
farmakokinetik morfin yang diberikan secara intravena pada subjek relawan
normal (sehat) dan pada pasien dengan gagal ginjal stadium akhir. Hasil
penelitian tersebut diharapkan dapat dijadikan pertimbangan dalam penentuan
dosis dan penggunaan morfin secara intravena yang lebih tepat dan pasien
dengan komplikasi gagal ginjal stadium akhir.
2.2.3.Metode Penelitian
Studi ini telah disahkan oleh komite etika Bitish sebelumnya dan untuk
seluruh subyek penelitian telah diberikan penjelasan dan ditanyai persetujuan
sebelum dilakukannya pengambilan dan observasi sampel darah.
1. Sampel yang digunakan
Sampel diambil dari sebelas subjek relawan sehat (enam laki-laki), usia
rata-rata 30,6 tahun (kisaran 24-40 tahun) dan berat rata-rata 62,6 kg (kisaran
47-85 kg), dibandingkan dengan sembilan pasien (lima laki-laki) dengan gagal
ginjal kronis (usia rata-rata 30 tahun dengan kisaran 22-55 tahun) dan berat
rata-rata 58,7 kg (kisaran 38-83 kg). Semua telah berpuasa selama 6 jam
sebelum penelitian, dan pasien dengan gagal ginjal telah menjalani
hemodialisis dalam 10-24 jam sebelumnya. Pada subjek, kanula dimasukkan
ke dalam vena di fossa antecubital, dan morfin sulfat 0,125 mg kg -1 dalam
0.9% saline 10 ml disuntikkan selama 30 detik. Sampel yang digunakan
meupakan darah vena yang diambil pada 0.5, 2, 5, 10, 15, 20, 20, 30, 40, 60,
90 dan 120 menit setelah injeksi morfin. Darah disentrifugasi segera dan
plasma disimpan pada suhu ruang -70°C sampai diperlukan untuk analisis
(Aitkenhead, et all., 1984).
2. Cara Perlakuan Sampel
Dalam penelitian ini, kami mengambil sampel selama 2 jam setelah
pemberian morfin. Periode pengambilan sampel yang relatif singkat ini dapat
mengakibatkan kesalahan dalam estimasi waktu paruh eliminasi terminal.
Namun menurut Bullingham, dkk. (1982) dalam sebuah studi farmakokinetik
metadon, menunjukkan bahwa pengambilan sampel dalam waktu lama tidak
selalu mengarah pada perkiraan parameter turunan yang lebih baik. Sampel
darah yang didapat kemudian disentrifugasi segera dan plasma disimpan pada
suhu ruang -70°C sampai diperlukan untuk analisis (Aitkenhead, et all., 1984).
3. Dosis Obat yang digunakan
Dosis obat yang digunakan pada penelitian yaitu Morfin sulfat 0,125 mg
kg-1 (Aitkenhead, et all., 1984).
4. Cara Analisis konsentrasi obat dalam darah (plasma)
Analisis untuk morfin dilakukan sebanyak dua rangkap. Satu mililiter
plasma dicampur dengan natrium klorida 1 g. Kemudian ditambahkan 100
mikroliter nalorphine 250 ngml-1 sebagai standar internal, dan pH plasma
disesuaikan menjadi 8,2 dengan penambahan buffer borat. Setelah
penambahan kloroform 9 ml, sampel diguncang secara mekanis selama 15
menit, dan disentrifugasi pada 3000 putaran min-1 selama 5 menit. Lapisan
berair disedot dan lapisan kloroform dihapus dan diuapkan di bawah nitrogen
pada suhu 60°C. Komposisi fase gerak adalah 0,08 mol liter -1 kalium
dihidrogen ortofosfat 1000 ml, metanol 200 ml dan asam heptana sulfonat 2
ml. Residu yang diekstraksi dilarutkan dalam 120 mikroliter fase gerak.
Kolom terdiri dari fase balik u-Bondapak C18, panjang 25 cm dan diameter
4,4mm (Aitkenhead, et all., 1984).
Laju aliran melalui kolom adalah 1,5 ml min -1, dan detektor
elektrokimia pada 0,64 V digunakan untuk mengukur konsentrasi morfin
dalam plasma. Pemulihan morfin dari standar plasma adalah 100,9 ± 0,5%
(rata-rata ± SEM). Koefisien variasi pengujian kurang dari 5%. Batas bawah
sensitivitas uji sekitar 1 ng ml-1 (Aitkenhead, et all., 1984).
5. Cara Analisis dan mendapatkan parameter farmakokinetik
Data morfin waktu plasma dipasang oleh komputer setelah pendahuluan
eksponensial awal ke persamaan bi- dan tri-eksponensial menggunakan
analisis regresi kuadrat-terkecil non-linear. Bobot 1, 1 / C t, dan l /Ct2, di mana
Ct = konsentrasi pada waktu t yang digunakan. Pilihan pembobotan yang
optimal dibuat untuk setiap set data berdasarkan beberapa kriteria yaitu nilai
koefisien determinasi (r2), plot residu tertimbang, plot nilai yang dikumpulkan
dengan garis prediksi model yang ditarik melalui titik-titik, dan standar
deviasi dari estimasi parameter (Wagner, 1975). Pilihan model tiga
kompartemen ditentukan oleh pengujian Fratio untuk penelitian ini. Waktu
paruh eliminasi, volume distribusi, total clearance tubuh dan konstanta laju
transfer antar kompartemen yang nyata dihitung menggunakan rumus standar.
Signifikansi perbedaan antara kedua kelompok dievaluasi menggunakan uji
peringkat jumlah Wilcoxon untuk data non-parametrik (Aitkenhead, et all.,
1984).

Gambar 2.1 Representasi Model Tiga Kompartemen yang Digunakan


(Gibaldi and Perrier, 1975)
2.2.4.Deskripsi Obat
Morfin Sulfat merupakan kelompok analgesic golongan opioid kuat yang
digunakan dalam pengatasan nyeri pada pasien pembedahan baik pada anak-
anak mapun dewasa serta digunakan pula untuk memperdalam anastesi. Hati
merupakan organ yang bertanggung jawab dalam sebagian besar pembersihan
morfin dari tubuh (Aitkenhead, et all., 1984).
Morfin sulfat digunakan untuk mengurangi rasa nyeri hebat yang tidak
dapat ditangani dengan analgesic non opioid. Morfin sulfat yang diberikan
dengan rute intravena (parenteral) berbentuk liquid (cairan). Terget kerja dari
morfin sulfat ini adalah meningkatkan ambang batas nyeri pada sistem saraf
pusat (Latief, 2001).
2.2.5.Interpretasi Parameter Farmakokinetika
1. Model Kompartemen dan Kurva Profil Morfin dalam Darah
Pada jurnal “Pharmacokinetics of Single-Dose I.V. Morphine in
Normal Volunteers and Patiens with End-Stage Renal Failure”, model
farmakokinetika yang digunakan yaitu model farmakokinetika kompartemen
dua terbuka.

Gambar 2.2 Konsentrasi plasma (ng ml-1) setelah injeksi i.v. dari morfin
0.125 mg kg-1 dari subjek relawan normal dan dari subjek pasien dengan
penyakit ginjal (Aitkenhead, et all., 1984).
Parameter farmakokinetika dihitung menggunakan program computer.
Data konsentrasi plasma morfin terhadap waktu dimasukkan pada komputer
lalu dimasukkan ke persamaan tri-eksponensial dengan metode residual
menggunakan analisis regresi kuadrat-terkecil non-linear. Parameter
farmakokinetika yang dicari meliputi waktu paruh baik eliminasi maupun
distribusi, volume distribusi, total clearance tubuh dan konstanta laju transfer
antar kompartemen (k10, k21, k13) yang dihitung menggunakan rumus
standar. Selanjutnya perbedaan antara kedua kelompok dievaluasi
menggunakan uji peringkat jumlah Wilcoxon untuk data non-parametrik.
Perbedaan profil farmakokinetika morfin sebagai berikut (Aitkenhead, et all.,
1984).

Gambar 2.3 Profil konsentrasi plasma (ng ml-1) setelah injeksi i.v. dari
morfin 0.125 mg kg-1 dari subjek relawan normal 11 (—) dan dari subjek 9
pasien dengan penyakit ginjal (- -) (Aitkenhead, et all., 1984).
2. Parameter Farmakokinetika
Parameter farmakokinetika yang dicari meliputi waktu paruh baik
eliminasi maupun distribusi, volume distribusi, total clearance tubuh dan
konstanta laju transfer antar kompartemen (k10, k21, k13) yang dihitung
menggunakan rumus standar.

Gambar 2.4 Nilai parameter farmakokinetika morfin 0.125 mg kg-1 dari


subjek relawan normal 11 dan dari subjek 9 pasien dengan penyakit ginjal
2.2.6. Interpretasi Profil dan Nilai Farmakokinetika
Fase farmakokinetik ini merupakan salah satu unsur penting yang
menentukan profil keberadaan zat aktif pada tingkat biofase dan selanjutnya
menentukan aktivitas terapeutik obat. Model farmakokinetik sendiri dapat
memberikan penafsiran yang lebih teliti tentang hubungan kadar obat dalam
plasma dan respons farmakologik (Shargel, 2012).
Dalam penelitian ini konsentrasi morfin diukur dan dibandingkan dengan
standar yang dikenal (nalorphine) yang ditambahkan ke setiap sampel. Jadi,
estimasi morfin tidak tergantung pada ekstraksi absolut dari sampel plasma.
Pada penelitian ini, detektor elektrokimia digunakan dalam mode oksidasi.
Mode oksidasi memiliki mekanisme mengoksidasi gugus hidroksil fenolik
pada morfin. Deteksi konsentrasi plasma didasarkan pada perubahan tegangan
yang dihasilkan oleh oksidasi ini.
Dalam penelitian ini, kami mengambil sampel selama 2 jam setelahnya
pemberian morfin. Pengambilan sampel yang relatif singkat umumnya
dicurigai dapat menghasilkan kesalahan dalam estimasi paruh eliminasi
terminal. Namun menurut Bullingham dkk. (1982) dalam sebuah studi tentang
the farmakokinetik metadon, menunjukkan bahwa waktu sampling yang lebih
panajang tidak selalu mengarah pada hasil nilai parameter farmakokinetik
yang lebih baik. Selain itu, nilai untuk waktu paruh eliminasi terminal pada
penelitian ini sangat mirip dengan nilai yang diperoleh pada subjek penelitian
yang dilakukan oleh Stanski, Greenblatt dan Lowenstein (1978), yang
mengambil sampel darah selama 48 jam setelah morfin mengalami
administrasi.
Tabel 2.1 Presentase Perubahan Nilai farmakokinetika antara nilai pada
subjek normal dengan nilai pada pasien diserta gagal ginjal
No. Parameter Farmakokinetika Presentase Perbuhan
1. T1/2 Alpha 127,6%
2. T1/2 Beta 23,2%
3. V1 36,84%
4. Cl 10,43%

Berdasarkan tabel presentase perubahan, dapat dilihat bahwa terjadi


peningkatan secara siginifikan (>10%) T½ α (waktu paruh distribusi) pada
kelompok subjek pasien gagal ginjal dibandingkan dengan subjek normal. T½ α
pada pasien gagal ginjal meningkat hingga 127,6% dibanding dengan T½ α
pada subjek normal. Semakin lama T½ α ditemukan pada pasien dengan gagal
ginjal dapat mencerminkan perbedaan hemodinamik dan perfusi organ
dibandingkan dengan subyek normal. Hal ini menyebabkan dibutuhkan waktu
paruh distribusi yang lebih Panjang pada pasien dengan gagal ginjal.
Distribusi morfin pada penelitian meliputi distribusi kejaringan dan organ.
Selanjutnya, volume distribusi yang lebih kecil di temukan pada pasien
dengan gagal ginjal. V1 dalam jurnal menunjukkan rtotal volume distribusi
sentral sedangkan V2 dan V3 menunjukkan volume distribusi perifer.
Berdasarkan tabel 2.1, maka data dilihat terjadi penurunan signifikan V1 pada
paisen dengan gagal ginjal. V1 pada pasien gagal ginjal menurun hingga
36,8% dibandingkan dengan V1 pada subjek normal. Hal ini berhubungan
dengan hemodinamik yang berubah atau dengan berkurangnya total air tubuh
dan perubahan pengikatan protein yang ditemukan pada pasien dengan gagal
ginjal kronis yang telah menjalani hemodialisis (Olsen, Bennett dan Porter,
1975). Namun, seperti halnya dengan semua model farmakokinetik,
perhitungan volume distribusi tidak menyiratkan bahwa situs distribusi
tertentu diketahui, dan oleh karena itu perbedaan V1 yang terjadi pada kedua
kelompok sulit untuk ditafsirkan situs distribusi mana yang mengalami
penurunan.
Waktu paruh eliminasi dan klirens merupakan parameter selanjutnya yang
akan dibahas. Nilai parameter T1/2 beta (waktu paruh eliminasi) tergantung
pada volume distribusi dan laju pembersihan total tubuh. Berdasarkan tabel
2.1, terlihat bahwa terjadi peningkatan waktu paruh eliminasi yang dibutuhkan
oleh pasien gagal ginjal secara signifikan. T1/2 Beta pada pasien gagal ginjal
meningkat kurang lebih sebanyak 23% dibandingkan pada subjek normal.
Sedangkan, untuk nilai klirens pada kedua subjek tidak terlihat perbedaan
yang signifikan. Tingkat pembersihan rata-rata pada pasien dengan gagal
ginjal adalah sekitar 10% kurang dari pada subyek normal. Hal ini diakibatkan
karena tahap ekskresi utama morfin adalah oleh ginjal sehingga pasien dengan
penyakit ginjal dapat mengalami penurunan tingkat pembersihan atau klirens
walaupun tidak terlalu signifikan perbedaanya dengan subjek normal
(Berkowitz, 1976).
Nilai parameter selanjutnya yang menjadi sorotan adalah konsentrasi
plasma morfin itu sendiri (Cp). Berdasarkan gambar 2.2 dapat dilihat bahwa
terjadi peningkatan konsentrasi plasma morfin pada waktu yang sama anatara
subjek normal dengan pasien gagal ginjal. Sebagai contoh, dapat dilihat
perbandingan Cp morfin pada kedua kelompok disaat t=0.5 jam. Cp morfin
pada subjek normal sebesar 437 sedangkan pada pasien gagal ginjal sebesar
826. Ini menunjukkan konsentrasi plasma morfin lebih besar pada pasien
dengan gagal ginjal dibandingkan pada subjek normal selama 2 jam. Hal yang
didapat adalah terlepas dari waktu hubungan antara konsentrasi plasma dan
efek sentral, pasien dengan gagal ginjal kronis secara rata-rata menunjukkan
lebih banyak kepekaan terhadap efek farmakologis dari morfin.
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Biofarmasetika merupakan cabang ilmu farmasi yang mempelajari hubungan
antara sifat-sifat fisiko kimia dari bahan baku obat dan bentuk sediaan dengan
efek terapi. Sedangkan farmakokinetika adalah ilmu yang mempelajari secara
khusus perubahan jumlah obat dalam tubuh sebagai fungsi waktu. Dengan kata
lain, dalam pokok bahasan farmakokinetika dilakukan kajian-kajian terhadap
fenomena absorbsi, distribusi, dan eliminasi obat secara kuantitatif. Kedua ilmu
ini berikatan erat dalam analisis profil obat pada tubuh pasien.
Berdasarkan studi penelitian pada jurnal yang dikaji telah ditemukan bahwa
distribusi dan eliminasi morfin yang diberikan secara intravena ke subyek relawan
normal dan pasien dengan ginjal kronis menghasilkan data tri-eksponensial
plasma konsentrasi morfin. Ada variasi yang luas antara hasil nilai parameter
kedua subjek tetapi rata-rata, pasien dengan gagal ginjal menunjukkan konsentrasi
plasma yang lebih tinggi setelah morfin diinjeksi, dan volume distribusi yang
lebih kecil yang dapat mengakibatkan peningkatan kepekaan terhadap efek
obat. Eliminasi dari tubuh pada kedua subjek tidak memiliki perbedaan secara
signifikan. Sehingga berdasarkan perbandingan kedua profil farmakokinetika,
maka dapat dilihat bahwa pada pasien gagal ginjal stadium akhir yang menjalani
hemodialysis terjadi peningkatan konsentrasi plasma morfin didalam darah yang
dapat mengakibatkan peningkatan efek sensitivitas morfin dengan dosis tersebut
pada pasien gagal ginjal.
DAFTAR PUSTAKA

Altkenhead, A. R. M. Vater, K. Achola, C. M. S. Cooper And G. Smith. 1984.


Pharmacokinetics Of Single-Dose I.V. Morphine In Normal Volunteers And
Patients With End-Stage Renal Failure. https://pdf.sciencedirectassets.com.
Diakses tanggal 20 April 2020.
Azzami, N. A., Taufik E. N. 2019. Pengaruh Pemberian Analgesik Kombinasi
Parasetamol Dan Morfin Terhadap Kadar Ureum Serum Pada Tikus Wistar
Jantan, Vol. 8. http://ejournal3.undip.ac.id/index.php/medico. Diakses tanggal
25 April 2020.
Berkowitz, L. 1976. Advances in Experimental Social Psychology. New York:
Academic Press.
Bullingham, R. E. S., McQuay, H. J., Porter, E. J. B.,Thomas, D., Allen, M. C, and
Moore, R. A. 1982. Acute i.v. mfthadonft kinetics in "inn- relationship to
chronic studies. Sr. J. Anattth.,54,1271.
Gibaldi, M., and Perrier, D. 1975. Pharmacokinttia. New York: Marcel Dekker.
Latief, S.A, Suryadi K.A dan Dachlan M.R. 2001. Petunjuk Praktis Anestesiologi,
Edisi II. Jakarta: Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FK-UI.
Olsen, G. D., Bennett, W. M., and Porter, G. A. 1975. Morphine and phenytoin
binding to plawno proteins in renal and hepatic failure. Clin. Pharmacol. Thtr.,
17,677.
Ritschel WA, Kearns G L. 2004. Handbook of basic pharmacokinetics, including
clinical applications, Edisi ke-6. Washington :AphA
Shargel, L et al. 2012. Applied Biopharmaceutics & Pharmacokinetics. New York:
McGraw-Hill Companies.
Stanski, D. R. Greenblatt, D. J., Lappas, D. G., Koch-Weser, J., and Lowenstein, E.
1976. Kinetics of high dose intravenous morphine in cardiac surgery patients.
Clin. Pharmacol. Thtr., 19, 752.
Wagner, J. G. 1975. In Fundamentals of Clinical Pharmacotanttia, p. 289. Hamilton:
Drug Intelligence Publications.

Anda mungkin juga menyukai