Anda di halaman 1dari 3

Cabai Kriting dan Cuitan Gus Dur

Sebelum memposting sengaja saya colek dulu Kiai Fahrul Umam Pengurus Lesbumi Depok,
agar tenang tidak terhantui dengan komentarnya yang agak satir.
Ini bukan kebutuhan konten kiai hehe, hanya sedang menenangkan sang istri ingin sarapan nasi
plus goreng cabai kriting.
Kebetulan pula, pagi ini saya sedang memperingati Haul Gus Dur yang ke 11 dirumah sendirian
dengan ngaderes kembali buku 'TUHAN TIDAK PERLU DIBELA' nya LKIS Yogyakarta.

Seperti ada yang memapah pikiran, ketersambungan rangkaian kegiatan pagi ini antara
memasak cabai kriting dan membaca Gus Dur dalam cuitan. Jadilah oretan ini.

Cabai keriting didaerah saya adalah segolongan cabai hijau tapi bentuknya panjang dan langsing,
kalau sudah memerah disebut cabai rawit. Yang gendut cabai hijau. Bener gak?

Diantara pedasnya parian cabai, cabai keriting tidak tergolong cabai yang pedas, jadi aman-aman
saja disantap orang yang mempunyai penyakit lambung dan pencernaan.

Sebagai pelengkap cita rasa makanan, cabai keriting baiknya terhidang sesudah digoreng, karena
cabai keriting mentah, seandainya dimakan tanpa garam dan bumbu masak lainnya, akan
menimbulkan rasa Pahang seandainya dimakan seperti aslinya.

Ini di kira-kira saja tidak berdasar penelitian, sepertinya lidah manusia Indonesia sudah akrab
dengan nuansa makanan pedas, terbukti setiap warung nasi, sambal (berbahan dasar cabai) sudah
menjadi kekhasan yang wajib tersedia.

Kalau saja anggaran penelitian porsi nya besar, sepertinya persoalan sambal menarik untuk
diteliti. Coba saja pergi ke pasar, diantara golongan sayur, cabailah yang sering mengalami
pluktuasi naik turunnya harga, dan sulit untuk di standardisasi seakan menjadi misteri, Saking
harga cabai tidak bisa di prediksi.

Namun sayang, lain harga cabai lain pula harga penelitian. Harga Penelitian di negeri kita masih
minim dan jauh dari harapan. Padahal negeri lain begitu jor-joran meneliti Indonesia.
Akhirnya para peneliti(kaum intelektual) kita banyak yang meminta suforting anggaran
penelitian dari mereka.
Kekhawatiran Gus Dur dalam sebuah kolomnya, "Kaum Intelektual berganti Kelamin" adalah
sebuah cerminan, agar para peneliti diberikan rumah yang strategis dan permanen, agar mereka
tidak dianggap makhluk sombong yang tidak mau mengerti selain dunia teori yang mereka
kuasai.

Sebagai Kiai, peneliti, penulis dan penyandang Bapak Pluralisme juga seabrek gelar yang
bertengger dalam diri Gus Dur, pernyataan-pernyataannya sampai hari ini tak pernah usang.
Pernyataannya menjadi cuitan yang selalu membumi.

Bukan hanya menyitir kaum intelektual saja, kasarnya persoalan apapun Gus Dur selalu mencuit
lewat tulisan-tulisannya.

Butuh pemikiran dan analisis yang mendalam menerjemahkan cuitan-cuitan Gus Dur. Pemilihan
diksi yang sederhana sering kali ditafsirkan kontroversi bagi para penyimak yang membaca
sekilas lalu mengcopy paste dan begitu saja menyebarkannya hingga menjadi polemik.

Dari banyaknya cuitan Gus Dur, kalau boleh saya menyimpulkan tak banyak yang sepedas cabai
merah, yang berakibat pembaca menjadi murka. Tepatnya ya, cabe keriting itu. kecuali menyoal
hal yang prinsif tentang kontek kenegaraan dan kemanusiaan.

Tuhan tidak perlu dibela misalnya, kalau dibaca sekilas, judul kolom tersebut sudah penistaan
(kontek sekarang).

Padahal Gus Dur dalam tulisan kolom nya menukil pernyataan Al-hujwiri:" Bila engkau
menganggap Allah ada hanya karena engkau yang merumuskannya, hakikatnya engkau sudah
menjadi kafir. Allah tidak perlu disesali kalau" Ia menyulitkan"kita. Juga tidak perlu dibela kalau
orang menyerang hakikatnya. Yang ditakuti berubah adalah persepsi manusia atas hakikat Allah,
dengan kemungkinan kesulitan yang diakibatkannya".

Pernyataan Al-hujwiri ini menjawab kisah yang dituliskan Gus Dur dalam kolomnya, tentang
seorang sarjana yang menamatkan study di luar negeri yang pulang ke tanah air, dan terkejut
ketika kembali ke tanah air, selalu dilihatnya ekspresi kemarahan orang muslim terhadap
persoalan informasi salah yang ditakuti akan menghancurkan Islam. Termasuk semua jenis
ekspresi diri, dari soal pakaian hingga tari jaipongan.

Puncak dari kegelisahan seorang sarjana itu, kemudian pulang kampung dan diajak kawan
seprofesinya untuk menemui seorang guru tarekat. Dan disitulah ia memperoleh kepuasan.
Jawabannya ternyata sederhana saja." Allah itu Maha Besar. Ia tidak memerlukan pembuktian
akan kebesaran-Nya. Ia Maha Besar karena Ia ada, apapun yang diperbuat orang atas diri-Nya,
sama sekali tidak ada pengaruhnya atas wujud-Nya dan atas kekuasaan-Nya.

Antara keritikan dan penyadaran didalamnya, ketika kita menelusuri cerita dari tulisan kolom
Gus Dur tersebut,terkhusus bagi saya, Cuitan judul kolom itu segar dan tidak begitu pedas
namun ada sedikit 'pahang seperti cabai keriting untuk seorang yang masih fakir atas kefahaman
tentang hakikat Allah(Tuhan) sesuai dengan anggapan dari perumusan pikiranku saja.

Semakin dalam memahami cuitan-cuitan Gus Dur , semakin bau dan harus bergegas sadar diri,
agar kita selalu berpikir bijak dalam mengimbangi informasi dan ekspresi diri yang positif
konstruktif. Kalau gawat, cukup dengan jawaban yang mendudukkan persoalan secara dewasa
dan biasa-biasa saja, dan tidak perlu dicari-cari.

Terimakasih Bapak Bangsa KH. Abdurahman Wahid Allahu yarham. cuitanmu tetap segar dan
sepedas cabe Keriting.

Anda mungkin juga menyukai