Anda di halaman 1dari 12

MENGENAL 4 MAZHAB TERKENAL DALAM ISLAM

DISUSUN OLEH :

Rohiddatul Hady Fazlan


1702121841
AKUNTANSI
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
Kata Pengantar

Segala puji dan syukur saya ucapkan kepada Tuhan yang Maha Esa, karena atas
berkat dan limpahan rahmat-Nyalah maka saya dapat menyelesaikan makalah ini
dengan tepat waktu.

Berikut ini saya mempersembahkan sebuah makalah dengan tema “ Mengenal


Lebih Dekat 4 Mazhab Dalam Islam “ yang Insha Allah akan menambah wawasan
kita tentang mazhab yang ada di dalam islam.

Dengan ini saya mempersembahkan makalah ini dengan penuh rasa terima kasih
dan semoga Allah SWT memberkahi makalah ini sehingga dapat memberi banyak
manfaat.

Pekanbaru, November 2017

Penyusun
A.    Sejarah LahirnyaMazhab

Secara bahasa, mazhab memiliki dua pengertian, pertama kata mazhab berasal dari
kata zahaba-yazhabu yang memiliki arti telah berjalan, telah berlalu, telah mati. Pengertian
kedua yakni, mempunyai arti suatu yang diikuti dalam berbagai masalah disebabkan adanya
pemikiran, oleh karena itu mazhab berarti yang diikuti atau dijadikan pedoman atau metode.
[1]

Secara istilah, Madzhab adalah hasil ijtihad seorang imam (mujtahid) tentang hukum suatu
masalah atau tentang kaidah-kaidah istinbath. Dengan demikian pengertian mazhab adalah:
mengikuti hasil ijtihad seorang imam tentang hukum suatu masalah atau kaidah-
kaidah istinbath-nya.[2]

Dapat penulis simpulkan bahwasannya mazhab diartikan sebagai alur pikir, pendapat,


kepercayaan, ideologi, doktrin, ajaran, paham dan aliran-aliran dalam hukum yang
merupakan hasil ijtihad dari para Imam.

Secara umum, proses lahirnya mazhab yang paling utama adalah faktor usaha para murid
imam mazhab yang menyebarkan dan menanamkan pendapat para imam kepada masyarakat
dan juga disebabkan adanya pembukuan pendapat para imam mazhab sehingga memudahkan
tersebarnya pendapat tersebut di kalangan masyarakat. Karena pada dasarnya, para Imam
mazhab tidak mengakui atau mengklaim sebagai “mazhab”. Secara umum, mazhab berkaitan
erat dengan nama imam atau tempat.[3]

Perkembangan berbagai mazhab, selain didukung oleh fuqaha serta para pengikut mereka,
juga mendapat pengaruh dan dukungan dari penguasaan politik. Mazhab Hanafi mulai
berkembang ketika Abu Yusuf, murid abu Hanifah diangkat menjadi Qadhi dalam
pemerintahan tiga khalifah Abbasyiah: Al-mahdi, Al-hadi dan Al-Rasyid. Al-Kharaj adalah
kitab yang disusun atas permintaan khalifah Al-Rasyid dan kitab ini adalah rujukan pertama
rujukan Hanafi.[4]

Mazhab Malik berkembang di khilafah timur atas dukungan al-Mansyur dan di khilafah barat
atas dukungan Yahya Ibnu Yahya ketika diangkat menjadi qadhi oleh para khalifah
Andalusia. Di Afrika, Al-Mu’iz Badis mewajibkan seluruh penduduk untuk mengikuti
Mazhab Maliki. Mazhab Syafi’i membesar di Mesir ketika Shalahuddin al-Ayubi merebut
negeri itu. Mazhab Hanbali menjadi kuat pada masa pemerintahan Al-Mutawakkil. Waktu itu
al-Mutawakkil tidak mengangkat seorang qadhi kecuali dengan persetujuan imam Ahmad
Ibnu hambal. [5]

Dari mata rantai sejarah ini jelas terlihat korelasi pemikiran fiqh dari zaman sahabat, tabi’in
hingga munculnya mazhab-mazhab fiqih pada periode berikutnya. Meskipun jumlah mazhab
tidak terbatas kepada empat mazhab besar yaitu: Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali.[6]

Thaha Jabir Fayad Al-Ulwani, menejelaskan bahwa mazhab fiqih islam yang muncul setelah
sahabat dan tabi’in berjumlah tiga belas aliran. Tiga belas aliran itu beraliaran Ahli
Sunnah.  Akan tetapi, tidak semua aliran tersebut dapat diketahui dasar-dasar dan
metode istinbath hukum yang digunakan, kecuali Sembilan atau sepuluh dari ketiga belas
imam tersebut. Diantaranya aliran tersebut adalah:

1.      Abu Sa’id Al-Hasan ibn Yasar Al-Basri (w. 110 H)

2.      Abu Hanifah Al-Nu’man ibn Tsabit Ibn Zuthi (w. 150 H)

3.      Al-Auza’I Abu ‘Amr ‘Abdur Rahman Ibn ‘Amr Ibn Muhammad (w. 157H)

4.      Sufyan Ibn Sa’id Ibn Masruq At-Tsauri (w. 160 H)

5.      Al-Laits Ibn S’ad (w. 175 H)

6.      Malik Ibn Anas Albahi (w. 179 H)

7.      Sufyan Ibn ‘uyainah (w. 198 H)

8.      Muhammad Ibn Idris As-Syafi’I (w. 204 H)

9.      Ahmad Ibn Muhammad Ibn Hambal (w. 241 H)

10.  Daud Ibn ‘Ali Al-Ashbahani Al-Baghdadi ( w. 270 H)

11.  Ishaq Ibn Rahawai (w. 238 H)

12.  Abu Tsawur Ibrahim Ibn Khalid Al-Kalabi

Mereka itulah yang dikenal dengan imam para mazhab. Inilah mazhab-mazhab fiqih yang
dikenal dikalangan sunni. Selain itu, terdapat pula mazhab-mazhab yang terkenal dalam
kelompok syi’ah, seperti Mazhab Zaidiyah, Mazhab Imamiyah, Mazhab Ismailiyah dan
Mazhab Abadiyyah.[7]

Secara umum, tiap-tiap Mazhab memiliki ciri khas tersendiri karena para pembinanya
berbeda pendapat dalam menggunakan metode penggalian hukum. Namun perbedaan itu
hanya terbatas dalam masalah-masalah furuq, bukan masalah-maslah prinsipil atau pokok
syariat. Mereka sependapat bahwa semua sumber atau dasar syariat adalah Al-Quran dan
Sunnah Nabi. Semua hukum yang berlawanan dengan kedua hukum tersebut wajib ditolak
dan tidak diamalkan. Mereka juga saling menghormati satu sama lain, selama yang
bersangkutan berpendapat sesuai dengan garis-garis yang ditentukan oleh syariat islam.[8]

B.     Tokoh-tokoh Mazhab Fiqih yang Empat

1.      IMAM ABU HANIFAH (80-150 H/699-767 M)

Imam Abu HAnifah, pendiri mazhab Hanafi, adalah abu Hanifah An-Nukman bin Tsabit bin
Zufi At-Tamimi. Beliau masih memiliki pertalian hubungan kekeluargaan dengan Imam Ali
bin Abi Thalib ra. Imam Ali bahkan pernah berdoa bagi Tsabit, yakni agar Allah memberkahi
keturunannya. Tak heran, jika kemudian dari keturunan Tsabit ini muncul seorang ulama
besar seperti Abu Hanifah.[9]

Dilahirkan di Kufah pada tahun 80 H/699 M, pada masa pemerintahan Al-Walid bin Abdul
Malik, Abu Hanifah selanjutnya menghabiskan masa kecil dan tumbuh menjadi dewasa di
sana. Sejak masih kanak-kanak, beliau telah mengkaji dan menghafal Al-Qur’an. Selain
memperdalam Al-Qur’an, beliau juga aktif mempelajari ilmu fiqh. Dalam hal ini kalangan
sahabat Rasul, diantaranya kepada Anas bin Malik, Abdullah bin Aufa dan Abu Tufail Amir,
dan lain sebagainya. Dari mereka, beliau juga mendalami ilmu hadits.[10]

Beliau juga dikenal sebagai orang yang sangat tekun dalam mempelajari ilmu. Sebagai
gambaran, beliau pernah belajar fiqh kepada ulama yang paling terpandang pada masa itu,
yakni Human bin Abu Sulaiman, tidak kurang dari 18 tahun lamanya. Setelah wafat gurunya,
Imam Hnifah kemudian mulai mengajar di banyak majlis ilmu di Kufah.[11]

Semasa hidupnya, Imam Abu Hanifah dikenal sebagai seorang yang sangat dalam ilmunya,
ahli zuhud, sangat tawadhu’, dan sangat teguh memegang ajaran agama. Beliau tidak tertarik
kepada jabatan-jabatan resmi kenegaraan, sehingga beliau pernah menolak tawaran sebagai
hakim (Qadhi) yang ditawarkan oleh Al-Mansur. Konon, karena penolakannya itu beliau
kemudian dipenjarakan hingga akhir hayatnya.

Imam Abu Hanifah wafat pada tahun 150 H/767 M, pada usia 70 tahun. Beliau dimakamkan
di pekuburan Khizra. Pada tahun 450 h/1066 M, didirikanlah sebuah sekolah yang diberi
nama Jami’ Abu Hanifah.

Sepeninggal beliau, ajaran dan ilmunya tetap tersebar melalui murid-muridnya yang cukup
banyak. Diantara murid-murid Abu Hanifah yang terkenal adalah Abu Yusuf, Abdullah bin
Mubarrak, Waki’ bin Jarah Ibn Hasan Al-Syiabani, dan lain-lain. Sedang di antara kitab-kitab
Imam Abu Hainifah adalah: Al-Musuan (kitab hadits, dikumpulkan oleh muridnya), Al-
Makharij (buku ini dinisbahkan kepada Imam Abu Hanifah, diriwayatkan oleh Abu Yusuf),
dan fiqh Akbar (kitab fiqh yang lengkap).[12]

a.      Sistematika Sumber Hukum Mazhab Hanafi

Abu Bakar Muhammad Ali Thaib Al-Baghdadi dalam kitabnya, Al-Baghdadi menjelaskan


bahwa dasar-dasar pemikiran fiqih Abu Hanifah sebagai berikut: “aku (Abu Hanifah)
mengambil kitab Allah. Bila tidak ditemukan didalamnya, aku ambil dari sunnah Rasul, jika
aku tidak menemukan pada kitab dan sunnahnya, aku ambil pendapat-pendapat sahabat. Aku
ambil perkataan yang aku kehendaki dan aku tinggalkan pendapat-pendapat yang tidak aku
kehendaki. Dan aku tidak keluar dari pendapat mereka kepada pendapat orang lain selain
mereka. Adapun apabila telah sampai urusan itu atau telah datang kepada Ibrahim, As-
Syaibani, Ibnu Sirin, Al-Hasan, Atha, Sa’id, dan abu Hanifah menyebut beberapa orang lagi
mereka orang-orang yang telah berijtihad”.[13]

Dari uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa dasar-dasar Mazhab Hanafi adalah:
1.      Kitab Allah (al-Quran)

2.      Sunnah Rasulullah yang sahih serta telah mahsyur diantara para ulama yang ahlu.

3.      Fatwa-fatwa dari sahabat.

4.      Al-Qiyas

5.      Al-Istihsan

6.      Al-‘Urf[14]

b.      Pola Pikir dan Faktor Yang Mempengaruhi Imam Hanafi

Secara geografis Imam Hanafi lahir di Kuffah (Iraq) yang penduduknya merupakan
masyarakat yang sudah banyak mengenal kebudayaan dan peradaban. Fuqaha daerah ini
sering dihadapkan pada persoalan hidup yang beragam. Untuk mengatasinya, mereka
terpaksa memakai ijtihad dan akal. Keadaan ini berbeda dengan hijaz. Masyarakat daerah ini
masih dalam suasana kehidupan sederhana seperti keadaan pada masa Nabi. Untuk
mengatasinya, para fuqahah hijaz cukup mengandalkan al-Quran, Sunnah, dan Ijma’ para
sahabat. Oleh karena itu mereka tidak merasa perlu untuk berijtihad seperti fuqaha Iraq.

Sebaliknya Imam Abu Hanifah menghadapi persoalan kemasyarakatan di Iraq, yaitu daerah
yang sarat dengan budaya dan peradaban, tetapi jauh dari pusat informasi hadist Nabi. Jadi
“terpaksa” atau “selalu” menggunakan akal atau rasionya.[15]

Dapat penulis simpulkan bahwasannya imam hanafi dalam memutuskan hukum lebih
dominan menggunakan ijtihad dan akal yang berbeda dengan Imam-Imam Ahlul Hadis, yang
adakalanya tidak menerima ijtihad. Inidikarnakan masyarakat di iraq telah mengenal
kemajuan peradaban dan jauh dari jauh kota sumber hadis.

2.      IMAM MALIK BIN ANAS (93-179 H/712-795 M)

Imam Malik bin Anas, pendiri mazahab Maliki, dilahirkan di Madinah, pada tahun 93 H.
baliau berasal dari Kablah Yamniah. Sejak kecil beliau telah rajin menghadiri majlis-majlis
ilmu pengetahuan, sehingga sejak kecil itu pula beliau telah hafal Al-Qur’an. Tak kurang dari
itu , ibundanya sendir yang mendorong Imam Malik untuk senantiasa giat menuntut ilmu.[16]

Pada mulanya beliau belajar dari Ribiah, seorang ulama yang sangat terkenal pada waktu itu.
Selain itu, beliau juga memperdalam hadits kepada Ibn Syihab, disamping juga mempelajari
ilmu fiqh dari para sahabat. Setelah mencapai tingkatan yang tinggi  dalam bidang ilmu
itulah, Imam Malik mulai mengajar, karena merasa memiliki kewajiban untuk membagi
pengetahuannya kepada orang lain yang membutuhkan.
      Meski begitu, beliau dikenal sangat berhati-hati dalam member fatwa. Beliau tak lupa
untuk terlebih dahulu menenliti hadis-hadis Rasulullah saw, dan bermusyawarah dengan
ulam lain, sebelum kemudian memberikan fatwa atas suatu masalah. Diriwayatkan bahwa
beliau memiliki tujuh puluh orang yang bisa diajak bermusyawarah untuk mengeluarkan
suatu fatwa.

      Imam Malik dikenal mempunyai daya ingat yang sangat kuat. Pernah, beliau mendengar
31 hadits dari Ibn Syihab tanpa menulisnya. Dan ketika diminta kepadanya untuk mengulangi
seluruh hadis tersebut, tak satupun dilupakannya. Imam Malik benar-benar mengasah
ketajaman daya ingatannya, terlabih lagi karena pada masa itu masih belum terdapat suatu
kumpulan hadits secara tertulis. Karenanya karunia tersebut sangat menunjang beliau dalam
menuntut ilmu.

      Selain itu, beliau dikenal sangat ikhlas di dalam melakukan sesuatu. Sifat inilah kiranya
yang member kemudahan kepada beliau di dalam mengkaji ilmu pengetahuan. Beliau sendiri
pernah berkata: “Ilmu itu adalah cahaya; ia akan mudah dicapai dengan hati yang taqwa dan
khusyu”. Beliau juga menasehatkan untuk menghindari keraguan, ketika beliau berkata:
“sebaik-baik pekerjaan adalah yang jelas. Jika engkau menghadapi dua hal, dan salah satunya
meragukan, maka kerjakanlah yang lebih meyakinkan menurutmu”.

      Tak pelak Imam Malik adalah seorang ulama yang sangat terkemuka, terutama dalam
ilmu hadits dan fiqh. Beliau mencapai tingkat yang sangat tinggi dalam kedua cabang ilmu
tersebut. Imam Malik bahkan telah menulis kitab Al-Muwaththa’, yang merupakan kitab
hadis dan fiqh.

      Imam Malik meninggal dunia pada usia 86 tahun. Namun demikian, mazhab Maliki
tersebar luas dan dianut di banyak bagian diseluruh penjuru dunia.[17]

a.      Sistematika Sumber Hukum Mazhab

Sistematika sumber hukum atau istinbath Imam Malik, pada dasarnya ia tidak menulis secara
sistematis. Akan tetapi para muridnya atau mazhabnya meyusun sistematika imam Malik.
Sebagaimana qadhi’iyyad dalam kitabnya Al-Mudharrak, sebagai berikut: “sesungguhnya
manhaj imam Dar-Alhijrah, pertama ia mengambil kitabullah, jika tidak ditemukan dalam
kitabullah nash-nya ia mengambil As-sunnah (katagori As-Sunnah menurutnya hadits-hadits
nabi dan fatwa-fatwa sahabat, amal Ahli-Almadinah, al-qiyas, al-mashlahah al-mursalah,
sadd adz-dzara’i, al-‘urf, dan al-‘adat”.[18]

b.      Pola Pikir Dan faktor Yang Mempengaruhi Imam Malik

Berbeda dengan Imam Abu Hanifah, Imam Malik lahir di Madinah yang di kenal sebagai
daerah Hadits dan tempat tinggal sahabat Nabi. Fuqaha di sini lebih mengerti hadits daripada
fuqaha lainnya. Madinah pun merupakan suatu tempat yang masih bernuansa kampung dan
sederhana, suatu kehidupan yang menjadikan Al-Quran dan As-Sunnah serta Ijma’ sahabat
sudah cukup untuk dijadikan sebagai dasar acuan keputusan hukum. Di sini jelas, para fuqaha
tidak perlu lagi ijtihad dan rasio karena Madinah sebagai tempat asal dan dekat dengan
Mekkah. Atas hal ini wajarlah kalau Imam Malik lebih cenderung lebih menguasai hadits dan
kurang menggunakan rasio di banding Imam Abu Hanifah, karena faktor sosial dan budaya
masyarakat.[19]

3.      IMAM SYAFI’I (150-204 H/769-820 M)

Imam Syafi’i, yang dikenal sebagai pendiri mazhab Syafi’i adalah: Muhammad bin Idris
Asy-Syafi’i Al-Quraisyi. Beliau dilahirkan di Ghazzah, pada tahun 150 H, bertepatan dengan
wafatnya Imam Abu Hanifah.[20]

Meski dibesarkan dalam keadaan yatim dan dalam satu keluarga yang miskin, tidak
menjadikan beliau rendah diri, apalagi malas. Sebaliknya, beliau bahkan giat mempelajari
hadits dari ulama-ulam hadits yang banyak terdapat di Mekkah. Pada usianya yang masih
kecil, beliau juga telah hafal Al-Qur’an.[21]

Pada usianya yang ke-20, beliau meninggalkan Mekkah mempelajari Ilmu Fiqh dari Imam
Malik. Merasa masih harus memperdalam pengetahuannya, beliau kemudian pergi ke Iraq,
sekali lagi mempelajari fiqh, dari murid Imam Abu Hanifah yang masih ada. Dalam
perantauannya tersebut, beliau juga sempat mengunjungi Persia, dan beberapa tempat lain.

      Setelah wafat Imam Malik (179 H), beliau kemudian pergi ke Yaman, menetap dan
mengajarkan ilmu disana, bersama Harun Al-Rasyid, yang telah mendengar tentang
kehebatan beliau, kemudian meminta beliau untuk datang ke Baghdad. Imam Syafi’i
memenuhi undangan tersebut. Sejak saat itu beliau dikenal secara lebih luas, dan banyak
orang belajar kepadanya. Pada waktu itulah mazhab beliau mulai dikenal.[22]

      Tak lama setelah itu Imam Syafi’i kembali ke Mekkah dan mengajar rombongan jamah
haji yang datang dari berbagai penjuru. Melalui mereka inilah mazhab Syafi’i menjadi
tersebar luas ke seluruh dunia.

      Pada tahun 198 H, beliau pergi ke Negara Mesir. Beliau mengajar di Mesjid Amru bin
As. Beliau juga menulis kitab Al-Um, Amaliqubra, Kitab Risalah, Ushul Al-fiqh, dan
memperkenalkan Waul Jadid sebagai mazhab baru. Adapun dalam penyusunan kitab Ushul
Fiqh, Imam Syafi’i dikenal sebagai orang pertama yang mempelopori penulisan dalam bidang
tersebut.[23]

      Di Mesir inilah akhirnya Imam Syafi’i wafat setelah menyebarkan ilmu dan manfaat
kepada banyak orang. Kitab-kitab beliau hingga kini masih di baca orang, dan makam beliau
di Mesir sampai detik ini masih ramai di ziarahi orang. Sedang murid-murid beliau yang
terkenal diantaranya adalah: Muhammad bin Abdullah bin Al-Hakam, Abu Ibrahim bin
Ismail bin Yahya Al-Muzani, Abu Ya’kub Yusuf bin yahya Al-Buwaiti dan lain sebagainya.
[24]

a.      Sistematika Sumber Hukum Mazhab

Pola pikir imam Asy-Syafi’i secara garis besar dapat di lihat dari kitabAl-Um yang
menguraikan sebagai berikut: “ ilmu itu bertingkat secara berurutan pertama-tama adalah Al-
Quran dan As-Sunnah apabila telah tetap, kemudian kedua Ijma’ ketika tidak ada dalam Al-
Quran dan As-Sunnah dan ketiga sahabat Nabi ( fatwa sahabi ) dan kami tahu dalam fatwa
tersebut tidak adanya ikhtilaf di antara mereka, keempat ikhtilaf sahabat Nabi, kelima qiyas
yang tidak diqiyaskan selain kepada Al-Quran dan As-Sunnah karena hal itu telah berada di
dalam kedua sumber, sesungguhnya mengambil ilmu dari yang teratas. [25]

b.      Pola Pikir Dan Faktor Yang Mempengaruhi Imam Syafi’i

Faktor Pluralisme Pikiran : Imam As-Syafi’i lahir dan hidup sangat jauh berbeda dengan
imam sebelumnya. Pada masa Imam Syafi’i hidup, sudah banyak ahli fiqih, baik sebagai
murid Imam abu Hanifah atau Imam Malik sendiri masih hidup. Akumulasi berbagai
pemikiran fiqh fuqaha, baik dari Mekkah, Madinah, Irak, syam, dan Mesir menjadikan asy-
syafi’i memiliki wawasan yang luas tentang berbagai aliran pemikiran fiqih.[26]

Faktor Geografis: faktor ini merupakan faktor secara alamiah negara Mesir tempat Asy-
Syafi’i lahir. Mesir adalah daerah kaya dengan warisan budaya Yunani, Persia, Rumawi dan
Arab. Kondisi budaya yang kosmopolit ini tentu saja memberikan pengaruh besar terhadap
pola pikir Imam Asy-syafi’i. Hal ini terlihat dari kitabnya Ilmu Mantiq yang di pengaruhi
aliran Aristoteles.[27]

Faktor Sosial Dan Budaya: faktor ini ikut mempengaruhi pola pikir Imam Syafi’i dengan
Qaul Qadhim dan Qaum Jadid. Qaul qadhim di bangun di Irak tahun 195 H. Di mana masa
itu Imam Syafi’i tinggal di Irak pada zaman pemerintahan Al-Amin. Setelah tinggal di Irak
Asy-Syafi’i melakukan perjalanan ke beberapa daerah dan kemudian tinggal di Mesir. Di
Mesir ia bertemu dan berguru kepada ulama Mesir yang pada umumnya adalah rekan Imam
Malik. Karena perjalanan intelektualnya tersebut, Imam Syafi’i mengubah beberapa
pendapatnya yang di sebut dengan Qaul Jadid. Dengan demikian Qaul qadhim adalah
pendapat Imam Syafi’i yang bercorak ra’yi sedangkan Qaul Jadid adalah pendapatnya yang
bercorak hadits.[28]

4.      IMAM AHMAD HAMBALI(164 -241 H/780-855 M)

Imam Ahmad Hambali adalah Abu Abdullah Ahmad bin Muhammad bin Hambal bin Hilal
Al-Syaibani. Beliau dilahirkan di Baghdad pada bulan Rabiul Awal tahun 164 H (780M).[29]
Ahmad bin Hambal dibesarkan dalam keadaan yatim oleh ibunya, karena ayahnya meninggal
ketika beliau masih bayi. Sejak kecil beliau telah menunjukkan sifat dan pribadi yang mulia
sehingga menarik simpati banyak orang. Dan sejak kecil itu pula beliau telah menunjukkan
minaat yang besar kepada ilmju pengetahuan, kebetulan pada saat itu Baghdad nerupakan
kota pusat ilmu pengetahuan. Beliau memulai dengan belajar menghagfal Al-Quran,
kemudian belajar Bahasa Arab, Hadits, sejarah para Nabi dan sahabat serta thabi’in.[30]

Untuk memperdalam ilmu, beliau pergi ke Basrah untuk beberapa kalinya, disanalah beliau
bertemu dengan Imam Syafi’i. beliau juga pergi menuntut ilmu ke Yaman dan Mesir.

Pada masa pemerintahan Al-Muktasim sampai khalifah Abbasiyah beliau sempat dipenjara,
karena sependapat dengan opini yang mengatakan bahwa Al-Qur’an adalah makhluk. Beliau
dibebaskan pada masa khalifah Al-Mutawakkil.

Imam Aahmad Hambali wafat di Baghdad pada usia 77 tahun, atau tepatnya pada tahun 241
H (855 M) pada masa pemerintahan khalifah Al-Wathiq. Sepeninggal beliau, mazhab
Hambali berkembang luas dan menjadi salah satu mazhab yang memiliki banyak penganut.
[31]

a.      Sistematika Sumber Hukum Mazhab

Cara Imam Hambali dalam memberikan fatwa tentang urusan agama dan hukum-hukum yang
berkenaan dengan agama sangat berhati-hati, baik dalam menjawab atau menjelaskan
hukumnya. Bahkan seringkali beliau memberikan jawaban : “Saya tidak tau atau belum tau
atau belum saya periksa”, kalau memang belum jelas benar tentang perkara yang ditanyakan
kepada beliau. Adapun dasar-dasar hukum Imam Hambali adalah :

1.      Al-Qur’an dan Hadist, yakni apabila beliau medapatkan Nash, maka beliau tidak lagi
memperhatikan dalil-dalil yang lain dan tidak memperhatikan pendapat-pendapat sahabat
yang menyalahinya.

2.      Ahmad Ibnu Hanbal berfatwa dengan fatwa sahabat, ia memilihi pendapat sahabat yang
tidak menyalahinya (Ikhtilaf) dan yang sudah sepakat.

3.      Apabila fatwa sahabat berbeda-beda, Ahmad Ibnu Hanbal memilih salah satu pendapat
mereka yang lebih dekat kepada Al-Qur’an dan As-sunnah.

4.      Ahmad Ibnu Hanbal menggunakan Hadist Mursal dan Dhaif apabila tidak ada aksar,
qaul sahabat atau ijma’ yang menyalahinya.

5.      Apabila tidak ada dalam Nash, As-Sunnah, qaul sahabat, riwayat Masyhur, Hadist
Mursal dan Dhaif, Ahmad Ibnu Hanbal menganalogikan (menggunakan Qiyas) dan Qiyas
bagi nya adalah dalil yang digunakan dalam keadaan terpaksa.[32]
b.      Pola pikir dan faktor yang mempengaruhi Imam Hambali

Pesat nya perkembangan zaman tidak membuat Imam Hambali berpikir rasional, bahkan
hasil rumusannya lebih ketat dan kaku dibandingkan Imam Maliki yang tradisional. Paling
tidak ada dua faktor yang menjadikan Imam Hambali berpikir seperti itu.

      Faktor munculnya berbagai aliran. Pada masa ini, aliran syiah, khawarij, qadariah dan
murjiah, semua aliran ini telah banyak keluar atau menyimpang dari ajaran islam yang
sebenarnya.[33]

      Faktor politik dan budaya. Ahmad Ibnul Hanbal, hidup pada periode pertengahan
kekhalifahan Abbasyiah, ketika unsur Persia mendominasi unsur Arab. Pada periode ini
sering kali timbul pergolakan, konflik, dan pertentangan yang berkisar pada soal kedudukan
putra mahkota dan khilafat antara anak-anak khalifah dan saudara-saudara nya. Saat itu aliran
Mu’tazilah berkembang, bahkan menjadi mazhab resmi Negara pada masa pemerintahan
Almakmun, Almu’tasim, dan Alwatsiq.[34]

      Inilah faktor yang menyebabkan Imam Hanbali mengajak kepada masyarakat untuk
berpegang teguh kepada Hadist dan Sunnah. Sikap ini berbeda dengan Imam Asyafi’I yang
melawan ijtihat rasional pada saat itu dengan memadukan hadist dan rasio. Sebaliknya, Imam
Hanbali justru berpendapat bahwa ijtihat itu sendiri harus dilawan dengan kembali berpegang
teguh kepada hadist dan Sunnah. 

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Asy-Syarbani, “Sejarah dan Biografi Empat Imam Mazhab”, (Semarang : Amzah, 1991)

Dedi Supriadi “Perbandingan Mazhab dengan Pendekatan Baru”, (Bandung : CV Pustaka Setia,


2008).

Harun Nasution, “Islam ditinjau dari berbagai aspek”, jilid 2, (Jakarta: UI-Press, 1985).

Jalaluddin Rakhmat, “Dahulukan Akhlak di Atas Fiqh”, (Bandung : PT. Mizan, 2007).

M. Ali Hasan, “Perbandingan Mazhab”,( Jakarta : PT. Grafindo Persada, 2002).


Muhammad Jawad Mughniyah, “Fiqh Lima Mazhab”, (Jakarta : Pt. Lentera Basritama, 1999).

Anda mungkin juga menyukai