Anda di halaman 1dari 31

PUTUSAN

Nomor 25/PUU-XII/2020
DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA
MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA

[1.1] Yang mengadili perkara konstistusi pada tingkat pertama dan terakhir, menjatuhkan putusan
dalam perkara Pengujian Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah
untuk Kepentingan Umum terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945, yang diajukan oleh:

[1.2] Yang bertandatangan di bawah ini :


Nama : Andi Kurniawan
Pekerjaan : Petani
Umur : 54 Tahun
Kewarganegaraan : Indonesia
Alamat : Jl. Letjen Suprapto No.17, Kecamatan Sepaku, Penajam Paser
Utara.
Berdasarkan surat kuasa khusus Nomor : 06/SKK/III/2020 tanggal 4 Maret 2020 memberi
kuasa kepada : Farug Human, S.H., M.H. yang beralamat kantor Jl. Jendral Sudirman Kav
52-53, Pacific Century Place, Level 35, Sudirman Central Business District Lot 10, baik
bersama-sama ataupun sendiri bertindak atas nama pemberi kuasa;
Selanjutnya disebut sebagai ------------------------------------------ Pemohon;

[1.3] Membaca permohonan Pemohon;


Mendengar keterangan Pemohon;
Membaca keterangan Dewan Perwakila Rakyat
Membaca keterangan Pemerintah;
Mendengar keterangan ahli Pemohon;
Mendengar keterangan ahli Termohon;

2. DUDUK PERKARA
[2.1] Menimbang bahwa pemohon telah mengajukan permohonan dengan Surat Permohonan
bertanggal 9 Maret 2020, yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi
(selanjutnya disebut Kepaniteraan Mahkamah) pada tanggal dicatat dalam Buku 11 Maret
2020 Berdasarkan Akta Penerimaan Berkas Permohonan Nomor 25/MK-KA/2020 dan
telah Registrasi Perkara Kontitusi pada tanggal 13 Maret 2020 dengan Nomor 25/PUU-
XII/2020 yang telah diperbaiki dan diterima di Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 13
Maret 2020 yang pada pokoknya menguraikan hal-hal sebagai berikut:
I. KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI

1.1. Bahwa Pemohon memohon agar Mahkamah Konstitusi (Selanjutnya disebut Mahkamah)
Melakukan pengujian terhadap Pasal 9 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum.

1.2. Selanjutnya, pasal 10 ayat (1) huruf A Undang-Undang Mahkamah Konstitusi menyatakan:
“Mahkamah konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terkahir yang
putusan nya bersifat final untuk : a menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang
dasar negara republik Indonesia tahun 1945”

1.3. Merujuk pada ketentuan Pasal 24 C ayat (1) UUD 1945 juncto Pasal 10 ayat (1) huruf (a)
Undang - Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Mahkamah konstitusi (UU MK), bahwa
salah satu kewenangan Mahkamah Konstitusi adalah Melakukan Pengujian Undang –
Undang Dasar 1945 (UUD 1945) antara lain Menyatakan : “Mahkamah Konstitusi
berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final
untuk menguji Undang –Undang terhadap Undang – Undang Dasar”

1.4. Pasal 10 ayat (91) huruf a Undang-Undang Mahkamah Konstitusi antara lain menyatakan:
“Mahkamah Konstitusi mengadili mengadili pada tingkat pertama dan dan terakhir yang
putusannya bersifat final untuk menguji :a. Undang-Undang terhadap Undang-Undang
Dasar Negaea Republik Indonesia Tahun 1945”

1.5. Pasal 29 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan
Kehakiman menyebutkan bahwa salah satu kewenangan konstitusional Mahkamah
Konstitusi adalah mengadili pada tingkat pertama dan terakhir putusannya bersifat final
untuk menguji Undng-Undang terhadap Undang Undang Dasar.

1.6. Pasal 7 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang pembentukan Peraturan


Perundang-Undangan (UU 12 Tahun 2011) mengatur bahwa secara hierarkis kedudukan
UUD 1945 lebih tinggi dari Undang-Undang, oleh karena itu setiap ketentuan Undang-
Undang tidak boleh bertentangan dengan UUD 1945.

1.7. Pasal 9 ayat (1) Undang-Undang No 12 tahun 2011 mengatur bahwa dalam hal suatu
Undang-Undang diduga bertentangan dengan UUD 1945, pengujian dilakukan oleh
mahkamah konstitusi.
1.8 Bahwa mengacu kepada ketentuan tersebut diatas, Mahkamah konstitusi berwenang untuk
melakukan Pengujian Konstitusi atas suatu Undang-Undang terhadap Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia 1945.

II. KEDUDUKAN HUKUM (LEGAL STANDING)

2.1. Bahwa ketentuan pada pasal 51 ayat (1) Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang
Mahkamah Konstitusi dengan tegas menyatakan bahwa Pemohon adalah pihak yang
menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya
undang-undang, yaitu :

a. Perorangan Warga Negara Indonesia;


b. Kesatuan Masyarakat Hukum adat sepanjang masih hidup dan
sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik
Indonesia yang diatur dalam undang-undang;
c. Badan hukum publik dan privat; atau
d. Lembaga Negara.

Selanjutnya penjelasan pasal 51 ayat (1) menyatakan :


Yang dimaksud dengan “hak konstitusional” adalah hak-hak yang diatur dalam Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945. Bahwa merujuk kepada Putusan Mahkamah
sejak Putusan Nomor 006/PUU-III/ 2005 tanggal 31 Mei 2005 dan Putusan Nomor 11/PUU-
V/2007 tanggal 20 September 2007 dan putusan-putusan selanjutnya, berpendirian bahwa kerugian
hak dan/atau kewenangan konstitusional sebagimana dimaksud pasal 51 ayat (1) Undang-Undang
Mahkamah Konstitusi harus memenuhi 5 (lima) syarat, yaitu :

a. Adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional pemohon yang


diberikan oleh UUD 1945;
b. Hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut oleh pemohon
dianggap dirugikan oleh berlakunya undang- undang yang dimohonkan
pengujian;
c. kerugian konstitusional tersebut harus bersifat spesifik (khusus)
dan aktual atau setidak tidaknya potensial yang menurut penalaran
yang wajar dapat dipastikan akan terjadi;
d. adanya hubungan sebab-akibat (causal verband) antara kerugian
dimaksud dan berlakunya undang-undang yang dimohonkan
pengujian;
e. adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkanya permohonan,
maka kerugian konstitusional seperti yang didalilkan tidak akan atau
tidak lagi terjadi.
2.2. Ipso Jure, ada lima syarat mutlak yang harus dipenuhi dalam menguji undang-undang
terhadap Undang-Undang Dasar. Syarat pertama adalah kualifikasi pemohon sebagai
warga negara Republik Indonesia, untuk bertindak sebagai pemohon sebagaimana
ditegaskan dalam Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Mahkamah Konstitusi. Syarat kedua
dengan berlakunya suatu undang-undang hak dan/atau kewenangan konstitusional
pemohon dirugikan. Syarat ketiga, kerugian konstitusional tersebut bersifat spesifik.
Syarat keempat kerugian tersebut timbul akibat berlakunya undang-undang yang dimohon.
Syarat kelima, kerugian kostitusional tersebut tidak akan terjadi lagi kalau permohonan ini
dikabulkan.
2.3. Bahwa dalam permohonan a quo Andi Kurniawan memkiliki kualifikasi sebagai
pemohon, baik dari sisi kedudukan hukum (legal standing) maupun dari sisi kerugian
konstitusional yang dialami dan aktual terjadi akibat keberadaan pasal yang dimintakan
pengujian.
2.4. Bahwa pemohon memiliki kedudukan hukum dalam permohonan a quo sebagai
Perorangan Warga Negara Indonesia berdasarkan data diri kartu tanda penduduk yang
dikeluarkan oleh Kantor Catatan Sipil (Capil) di Penajem Paser Utara.
2.5. Bahwa berdasarkan bukti data diri yang ada sebagai Warga Negara Indonesia yang sah,
sehingga dalam permohonan a quo Andi Kurniawan berwenang dan bertindak sebagai
pemohon dalam Pengujian Pasal 9 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 2 Tahun
2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum terhadap
UUD 1945 di Mahkamah Konstitusi.
2.6. Bahwa Andi Kurniawan, 54 tahun, yang merupakan Kepala Adat Suku yang bekerja
sebagai petani .
2.7. Bahwa pada tanggal 26 Agustus 2019, Presiden Republik Indonesia resmi mengumumkan
bahwa ibu kota baru akan dibangun di wilayah administratif Kabupaten Penajam Paser
Utara dan Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur.
2.8. Bahwa setelah pengumuman tersebut, pada tanggal 31 Agustus 2019, Andi Kurniawan
sebagai Kepala Adat Suku Daya wilayah tersebut mengadakan pertemuan dengan
masyarakat adat lain dengan pembahasan kemungkinan tanah adat yang akan digunakan
dalam pembangunan ibu kota yang baru.
2.9. Bahwa dengan adanya pembangunan di tanah adat membuat masyarakat adat dayak
khawatir karena walaupun tanah adat yang akan digunakan nanti dilakukan kompensasi
atau ganti rugi namun hal ini berbeda dengan kepercayaan masyarakat adat Dayak ini
sendiri dimana kepercayaan masyarakat adat Dayak apabila meminjam tanah makan akan
dibalas dengan tanah tidak diganti dengan uang.
2.10. Bahwa frasa “layak dan adil” dalam Pasal 9 Ayat (2) UU Nomor 2 Tahun 2012 tentang
Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum sulit untuk didefinisikan
antara ganti rugi masyarakat biasa dengan masyarakat hukum adat.
2.11. Bahwa dengan diberlakukannya ketentuan tersebut Pemohon beranggapan hak
konstitusional yang dimiliki Pemohon didalam Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 telah
dirugikan dengan berlakunya ketentuan sebagaimana diatur didalam Pasal 9 ayat (1) dan
(2) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan
Untuk Kepentingan Umum, .
2.12. Bahwa berdasarkan uraian tersebut diatas, Pemohon memiliki kedudukan hukum sebagai
Pemohon dalam permohonan uji materiil Pasal 9 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan
Umum terhadap Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 dalam perkara a quo

III. POKOK-POKOK PERMOHONAN

3.1. Bahwa Pemohon Andi Kurniawan ; Umur: 54 Tahun. Pekerjaan: Petani,


Kewarganegaraan: Indonesia Alamat: Jl. Letjen Suprapto No.17, Kecamatan Sepaku,
Penajam Paser Utara.
3.2. Bahwa sebagai warga negara hak konstitusional pemohon dirugikan karena berlakunya
Pasal 9 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan
Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum, Bahwa hak konstitusional pemohon
dirugikan dengan adanya ketentuan yang diatur dalam Ayat (1):
“Penyelenggaraan Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum memperhatikan
keseimbangan antara kepentingan pembangunan dan kepentingan masyarakat.”
Ayat (2):
“Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum dilaksanakan dengan pemberian
ganti kerugian yang layak dan adi1.”
3.3. Bahwa ketentuan pada Pasal 9 Ayat (1) dan (2) Undang - Undang Nomor 2 Tahun 2012
tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum, telah merugikan
hak konstitusional pemohon dimana hak ulayat pemohon yang merupakan tanah adat
diambil dan ganti rugi yang diberikan tidak layak dan adil bagi pemohon karena frasa
“layak dan adil” sulit untuk didefinisikan
3.4. Bahwa berdasarkan sila ke- 5 dari pancasila yaitu ”keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia”, Setiap individu harus menjalankan dan mengamalkan apa yang telah di
tuangkan dalam sila ke- 5 dengan tidak melanggar norma-norma dan tata tertib serta
perbuatan yang diskriminatif. Untuk itu perlu dikembangkan sikap adil terhadap sesama,
menjaga keseimbangan antara hak dan kewajiban serta menghormati hak-hak orang lain
dan yang dimaksud dengan “melakukan perbuatan diskriminatif.”
3.5. Bahwa dengan diberlakukannya ketentuan dalam Pasal 9 Ayat (1) dam Ayat (2) Undang-
Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk
Kepentingan Umum memperlihatkan bahwa negara tidak menghormati hak-hak
tradisional dari masyarakat adat itu sendiri seperti yang telah diakui didalam Pasal 18B
Ayat (2) UUD 1945.
3.6. Bahwa alasan pemohon mengajukan Permohonan Pengujian pasal yang mengatur tentang
Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum yang terdapat dalam
pasal 9 ayar (1) dan Ayat (2) sangat merugikan hak konstitusional pemohon yang
dianggap tidak memberikan kepastian hukum pada pasal tersebut.
3.7. Bahwa Hak Konstitusional Pemohon tersebut telah sangat dirugikan dengan berlakunya
pasal 9 Ayat (1) dan Ayat (2) Undang-Undang Tentang Pengadaan Tanah bagi
Pembangunan untuk Kepentingan Umum. Kerugian tersebut bersifat fakta dan aktual
berdasarkan peristiwa yang telah dialami langsung oleh pemohon.
3.8. Bahwa dengan ketentuan norma Pasal 9 Ayat (1) dan Ayat (2) Undang - Undang Nomor 2
Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum,
menimbulkan kerugian konstitusional berupa diskriminasi karena penemuan daripada
pemohon dapat didahului oleh orang lain kemudian menghilangkan kesempatan untuk
mempertahankan warisan leluhur daripada pemohon.

Oleh karena itu seyogyanyalah Pasal 9 Ayat (1) dan Ayat (2) Undang - Undang Nomor 2
Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum
dinyatakan bertentangan dengan undang-undang Dasar 1945 dan dinyatakan tidak
memiliki kekuatan hukum yang mengikat.

IV. PETITUM
Berdasarkan seluruh uraian diatas dan bukti-bukti terlampir, jelas bahwa didalam
permohonan uji materiil ini terbukti bahwa Pasal 9 Ayat (1) dan Ayat (2) Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum merugikan
Hak Konstitusional Pemohon yang dilindungi (protected), dihormati (respected), dimajukan
(promoted), dan dijamin (guaranted) UUD 1945. Oleh karena itu, diharapkan dengan
dikabulkannya permohonan ini dapat mengembalikan Hak Konstitusional Pemohon sesuai dengan
amanat Konstitusi.

Dengan demikian, Pemohon memohon kepada Majelis Hakim Konstitusi yang mulia
berkenan memberikan putusan sebagai berikut:

1. Mengabulkan permohonan Pemohon untuk seluruhnya;


2. Menyatakan Pasal 9 Ayat (1) dan Ayat (2) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012
Tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum bahwa
bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945;
3. Menyatakan Pasal 9 Ayat (1) dan Ayat (2) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012
Tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum bertentangan
dengan Pasal 18B ayat (2) Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945.
4. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia
sebagaimana mestinya. Atau apabila Majelis Hakim Konstitusi berpendapat lain,
mohon putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono).
[2.2] Menimbang bahwa untuk menguatkan dalilnya, Pemohon telah mengajukan alat bukti
surat/tulisan yang diberi tanda bukti P-1 sampai dengan bukti P-8 sebagai berikut :
1. Bukti P-1 : Fotokopi KTP Pemohon
2. Bukti P-2 : Undang-Undang Dasar 1945
3. Bukti P-3 : Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003
4. Bukti P-4 : Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009
5. Bukti P-5 : Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011
6. Bukti P-6 : Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009
7. Bukti P-7 : Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012
8. Bukti P-8 : Lampiran Surat Keterangan Ahli

Selain itu, Pemohon pada persidangan tanggal 25 Maret 2020 mengajukan 3 orang ahli yang telah
memberikan keterangan lisan dan tertulis dibawah sumpah dalam persidangan tersebut diatas yang
pada pokoknya sebagai berikut :
I. Ahli Hukum Adat
Mengingat Kekhususan bidang ilmu yang saya dalami , saya akan menganalisis mengenai
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan yang
memungkinkan untuk di uji materiil di Mahkamah Konstitusi, karena pengaturan dalam Undang-
Undang ini berpotensi mengakibatkan terjadinya ketidakpastian hukum.

Analisa ketidak sesuaian Pasal 9 ayat (1) dengan Pasal 18B UUD 1945

Seperti diketahui ,Pasal 9 ayat 1 yang menyatakan bahwa “ Penyelenggaraan Pengadaan


Tanah untuk Kepentingan Umum memperhatikan keseimbangan antara kepentingan pembangunan
dan kepentingan masyarakat” Didalam pasal ini terdapat dalil yang dapat menimbulkan
ketidakpastian hukum bagi masyarakat adat dimana didalam pembangunan ibukota, pemerintah
tidak memperhatikan itu semua khususnya pada masyarakat adat dimana karena pembangunan
tersebut menyebabkan kehidupan masyarakat adat terganggu dan dalam hal ganti rugi juga
masyarakat adat berbeda dengan masyarakat kota. Dimana kalau pemerintah merugikan masyarakat
kota dapat memberikan ganti rugi berupa uang akan tetapi jika masyarakat adat tidak bisa,
dikarenakan masyarakat adat hidupnya bergantung pada tanah dan pada lahan seperti bertani,
beternak, dll. Jadi, ganti rugi yang diharapkan oleh masyarakat adat adalah berupa tanah dan lahan
agar mereka tetap bisa melangsungkan roda kehidupannya.

Mengemukakan pendapat mengenai ketidaksesuaian dengan Pasal 18B ayat (2) yang berisi
tentang pengakuan dan penghormatan Negara terhadap kesatuan masyarakat hukum adat dan hak-
hak tradisionalnya. Secara lengkapnya bunyi pasal tersebut adalah :“(2) Negara mengakui dan
menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang
masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik
Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.”

Amanat konstitusi untuk mengakui dan menghormati masyarakat adat itu tidak tercermin
didalam pasal tersebut, mengingat Indonesia tidak hanya berpatokan pada hukum positif, tetapi ada
juga hukum kebiasaan dan hukum adat yang memang diakui baik oleh negara maupun masyarakat,
Hukum Positif “ditegakkan oleh atau melalui pemerintah atau pengadilan.” Manusia hidup dan
diatur, serta tunduk pada bebagai aturan. Selain aturan umum atau khusus yang telah disebutkan
diatas, manusia juga diatur dan tunduk pada aturan adat-istiadat (hukum kebiasaan), hukum agama
(sepanjang belum menjadi hukum positif), hukum moral.Hukum kebiasaan, hukum agama,
Ketaatan terhadap hukum kebiasaan, hukum agama, atau hukum moral tergantung pada sikap orang
perorangan dan sikap kelompok masyarakat yang bersangkutan.
Diartikan sebagai hukum positif adalah: "kumpulan asas dan kaidah hukum tertulis dan
tidak tertulis yang pada saat ini sedang berlaku dan mengikat secara umum atau khusus dan
ditegakkan oleh atau melalui pemerintah atau pengadilan dalam negara Indonesia." Penekanan
"pada saat ini sedang berlaku," karena secara keilmuan rechtwefenschap, pengertian hukum positif
diperluas.Bukan saja yang sedang berlaku sekarang, melainkan termasuk juga hukum yang pernah
berlaku dimasa lalu.karena dalam definisi keilmuan mengenai hukum positif dimasukkan unsur
"berlaku pada waktu tertentu dan tempat tertentu." Hukum yang pernah berlaku, adalah juga hukum
yang berlaku pada waktu tertentu dan tempat tertentu, sehingga termasuk pengertian hukum positif,
walaupun dimasa lalu. Hukum positif juga mengenal Hukum positif lokal yang dapat dibedakan
antara hukum positif yang lahir atau dibuat dan berlaku dalam lingkungan pemerintahan otonomi
berupa Peraturan Daerah, atau keputusan-keputusan lainnya.Hukum positif lokal ini termasuk juga
peraturan hukum yang dibuat pada tingkat nasional tetapi hanya berlaku untuk daerah atau wilayah
tertentu. Undang-undang tentang pembentukan daerah otonom yang istimewa yang dipisahkan dari
ketentuan hukum positif pada umumnya, seperti Nanggroe Aceh Darussalam (UU No. 18 Tahun
2001) adalah aturan hukum yang dibuat oleh Pusat tetapi dalam pembuatan dan otonomi urusan
pemerintahan menggunakan mekanisme syariat, yang hanya berlaku untuk daerah atau wilayah
Aceh. Hukum Ach yang kental dengan nuansa Islam syariat hanya berlaku untuk aceh sebagai
provinsi istimewa.Selain hukum positif, Indonesia juga memelihara dan mengakui hukum adat atau
hukum kebiasaan, yang dapat berupa hukum adat yang berlaku untuk lingkungan masyarakat
hukum teritorial atau geneologis tertentu.

Hukum Adat, yaitu hukum asli bangsa Indonesia yang hidup dan berlaku secara turun
temurun atau diakui atau dinyatakan sebagai hukum yang berlaku berdasarkan peraturan
perundang-undangan dan atau putusan hakim. Hukum adat mungkin didapati atau diketahui dalam
atau melalui tulisan (dituliskan). Walaupun demikian, hukum adat adalah hukum tidak tertulis,
karena tidak pernah dengan sengaja dibentuk secara tertulis oleh pejabat yang berwenang melalui
tata cara tertentu. Hukum adat menjadi hukum positif atas dasar kenyataan sebagai hukum yang
hidup dan ditaati, pengakuan, dibiarkan berlaku, atau ditetapkan oleh pengadilan.

Terkait Konstitusi itu Sifatnya Abstrak Menurunkan materi muatan yang ada ke UU yaitu Pasal
18B ayat (2) UUD 1945 dengan diatur nya UU Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan, bukan bearti
UU Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan ini membatasi aturan yang ada diKosntitusi. Seharusnya
pada Pasal 9 ayat (1) UU No.20 tahun 2002 ini menjaga makna dari Pasal 18B ayat (2) yang
berbunyi : Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta
hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan
prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang. bukannya
memangkas ketentuan yang ada,

Pasal 9 ayat 1 ini sejatinya, memberikan ketidakpastian hukum dan kontradiksi dengan pasal 18B
UUD 1945, dimana pada Pasal 18B UUD 1945 dijelaskan bahwa seluruh hal tentang masyarakat
adan itu diatur dan dipertimbangkan kesejahteraannya. Jadi tidak ada kesingkronan diantara kedua
pasal tersebut.

konsep yang menyatakan ada dua substansi dalam pandangan hukum yang berbeda antara
Pasal 9 ayat 1 UU Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan dengan Pasal 18B UUD 1945 .
Adapun bunyi Pasal 18B UUD 1945 ini ialah :
(1) Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang
bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang.
(2) Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat
beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan
perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang
diatur dalam undang-undang.

Menurut Asas Lex Posterior Derogat Legi Priori yaitu pada peraturan yang sederajat,
peraturan yang paling baru melumpuhkan peraturan yang lama. Disini sangat jelas ketidak
singkronan antara UU kehutanan dan UU Lingkungan Hidup , dimana dalam UU lingkungan hidup
pada pasal 69 ayat (2) diboleh masyarakat Adat membakar Hutan, ketidak singkronan inilah
munculnya dualisme hukum.

1.) Teori Amandemen Konstitusi ada 2 jenis cara yaitu Formal dan Informal
Perubahan secara Informal dapat dilakukan beberapa cara ,yaitu :
1. Some Primay Force
Perubahan konstitusi dapat terjadi apabila terdapat tekanan kuat dari suatu kekuasaan
ataupun kondisi tertentu.
2. Judicial Interpretation (Penasiran Yudisial)
Mengutip pendapat Satjipto Raharjo, bahwa salah satu sifat yang ada pada peraturan
perundang-undangan atau hukum tertulis adalah sifat otoritatif dari rumusan norma
yang dibentuknya. Dalam hal ini beliau memandang bentuk tulisan atau litera
scriptahanyalah suatu usahan untuk menyampaikan ide atau pikiran. Ide atau pikiran
tersebut tentu saja tidak akan mungkin tersampaikan secara utuh dalam untaian kata-
kata di dalam perundang-undangan tersebut.
3. Usage and convention
Usage (kebiasaan) and convention (konvensi) dapat diterima secara harafiah dalam hal
menjadi salah satu sarana perubahan undang-undang dasar secara informal.
Maka, Melalui pemutusan pengadilan dalam hal ini dengan Pengadilan Mahkamah
Konstitusi. Maka perlu Mahkamah Konstitusi memutus UU Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan
dalam hal ini pasal 9 ayat 1 bertentangan dengan konstitusi , yang tidak sesuai dengan Pasal 18B
ayat (2) UUD 1945.

II. Hukum Agraria

Menurut keahlian dan analisis saya, Pengaturan pada Pasal 2 ayat (4) Undang-Undang Nomor
5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (“UUPA”) mengatur bahwa hak
menguasai dari Negara tersebut di atas pelaksanaannya dapat dikuasakan kepada daerah-daerah
Swatantra dan masyarakat-masyarakat hukum adat, sekedar diperlukan dan tidak bertentangan
dengan kepentingan nasional, menurut ketentuan-ketentuan peraturan pemerintah. Pengaturan
inilah yang menjadi dasar bagi pengaturan tanah ulayat.

Tanah ulayat diartikan sebagai tanah bersama para warga masyarakat hukum adat yang
bersangkutan. Hak penguasaan atas tanah masyarakat hukum adat dikenal dengan hak ulayat.

UUPA sendiri tidak mendefinisikan apa yang dimaksud dengan tanah ulayat. Dalam Pasal 3
UUPA memang terdapat istilah “hak ulayat dan hak-hak yang serupa dengan itu”. Dalam
Penjelasan Pasal 3 UUPA dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan "hak ulayat dan hak-hak yang
serupa itu" ialah apa yang di dalam perpustakaan hukum adat disebut "beschikkingsrecht". Bunyi
selengkapnya Pasal 3 UUPA adalah sebagai berikut:

Dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam pasal 1 dan 2 pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak
yang serupa itu dari masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih
ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan Negara, yang
berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan Undang-undang dan
peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi.

Berdasarkan Pasal 3 UUPA, hak ulayat diakui “sepanjang menurut kenyataannya masih ada”.

 Pada Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor
10 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penetapan Hak Komunal Atas Tanah Masyarakat Hukum Adat
dan Masyarakat yang Berada dalam Kawasan Tertentu (“Permen Agraria dan Tata Ruang
10/2016”) hak ulayat atas tanah dikenal dengan istilah hak komunal atas tanah yaitu hak milik
bersama atas tanah suatu masyarakat hukum adat, atau hak milik bersama atas tanah yang diberikan
kepada masyarakat yang berada dalam kawasan tertentu.

Kawasan tertentu adalah kawasan hutan atau perkebunan. Sedangkan yang dimaksud dengan
masyarakat hukum adat adalah sekelompok orang yang terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai
warga bersama suatu persekutuan hukum karena kesamaan tempat tinggal ataupun atas dasar
keturunan.
Persyaratan yang harus dipenuhi oleh hak ulayat menurut Pasal 3 UUPA adalah :

1. Sepanjang kenyataannya masyarakat hukum adat itu masih ada;

Mengenai hal ini, sesuai dengan Penjelasan Pasal 67 ayat (1) Undang-Undang Nomor 41 Tahun
1999 tentang Kehutanan (“UU Kehutanan”), suatu masyarakat hukum adat diakui keberadaannya,
jika menurut kenyataannya memenuhi unsur antara lain:
a. masyarakatnya masih dalam bentuk paguyuban (rechtsgemeenschap);
b. ada kelembagaan dalam bentuk perangkat penguasa adatnya;

c. ada wilayah hukum adat yang jelas;

d. ada pranata dan perangkat hukum, khususnya peradilan adat, yang masih ditaati; dan

e. masih mengadakan pemungutan hasil hutan di wilayah hutan sekitarnya untuk pemenuhan
kebutuhan hidup sehari-hari.

2. Sesuai dengan kepentingan nasional dan negara; dan


Dari segi politik, menurut Kurnia Warman, pernyataan “sesuai dengan kepentingan nasional dan
negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa” merupakan suatu a priori yang mengandung
kecurigaan dari pemerintah terhadap masyarakat hukum adat. Pernyataan ini menunjukan seolah-
olah masyarakat hukum adat itu bukan merupakan bagian kenasionalan, kenegaraan dan
kebangsaan.
Maka karena pernyataan “sesuai dengan kepentingan negara” ini dapat menimbulkan multi tafsir
dan sarat kepentingan politik, akan sulit bagi kita untuk dapat menentukan apakah keberadaan
suatu masyarakat hukum adat tertentu memenuhi persyaratan ini atau tidak, tanpa mengetahui
masyarakat hukum adat yang mana yang dimaksud tersebut.

3. Tidak bertentangan dengan UU dan peraturan yang lebih tinggi.

Persyaratan yang terakhir ini, menurut Kurnia Warman, tidak terlampau menjadi ganjalan yang
merisaukan bagi keberadaan hak ulayat karena UUD 1945 telah tegas mengakui keberadaan hak-
hak tradisional komunitas di Indonesia. Pasal 18B ayat (1) UUD menyatakan bahwa negara
mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat besarta hak-hak
tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip
Negara Kesatuan Republik Indonesia. Jadi, jika ada UU yang tidak mengakui keberadaan hak-hak
tradisional komunitas maka UU tersebut jelas-jelas bertentangan dengan UUD 1945.
Selain itu , Permen Agraria dan Tata Ruang 10/2016 mengatur cara penetapan hak komunal atas
tanah masyarakat hukum adat dan masyarakat yang berada dalam kawasan tertentu.

  Pasal 5 ayat (1) Permen Agraria dan Tata Ruang 10/2016 mengatur bahwa masyarakat
hukum adat atau masyarakat yang berada dalam kawasan tertentu mengajukan permohonan
penetapan hak komunal atas tanah masyarakat hukum adat dan masyarakat kepada Bupati/Walikota
atau Gubernur.
  Permohonan tersebut diajukan oleh kepala adat atau perwakilan masyarakat yang berada
dalam kawasan tertentu, dengan dilengkapi syarat antara lain :

a. riwayat masyarakat hukum adat dan riwayat tanahnya, apabila pemohon masyarakat
hukum adat;
b. riwayat penguasaan tanah paling kurang 10 (sepuluh) tahun atau lebih secara berturut-turut,
apabila pemohon masyarakat yang berada dalam kawasan tertentu;

c. fotokopi kartu identitas atau akta pendirian koperasi, unit bagian dari desa, atau kelompok
masyarakat lainnya;

d. surat keterangan dari kepala desa atau nama lain yang serupa dengan itu.

 
Setelah menerima permohonan tersebut, Bupati/Walikota atau Gubernur membentuk Tim
Inventarisasi Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan, dan Pemanfaatan Tanah (“Tim IP4T”) untuk
menentukan keberadaan masyarakat hukum adat atau masyarakat yang berada dalam kawasan
tertentu serta tanahnya.

Dalam hal tanah yang dimohon berada di dalam 1 (satu) Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota
membentuk Tim IP4T yang terdiri dari :

a. Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota sebagai ketua merangkap anggota;


b. Camat setempat atau pejabat yang ditunjuk sebagai anggota;

c. Lurah/Kepala Desa setempat atau sebutan lain yang disamakan dengan itu sebagai anggota;

d. Unsur pakar hukum adat, apabila pemohon Masyarakat Hukum Adat;

e. Unsur Dinas Kabupaten/Kota yang menangani urusan di bidang Kehutanan, Unsur Balai
Pemantapan Kawasan Hutan dan Unsur Dinas/Badan Kabupaten/Kota yang menangani
urusan di bidang tata ruang sebagai anggota, apabila pemohon masyarakat yang berada
dalam Kawasan Hutan;

f. Perwakilan Masyarakat Hukum Adat setempat atau perwakilan masyarakat yang berada
dalam Kawasan Tertentu;

g. Lembaga Swadaya Masyarakat; dan

h. Instansi yang mengelola sumber daya alam.

 
Dalam hal tanah yang dimohon terletak di lintas Kabupaten/Kota, Gubernur membentuk Tim IP4T
yang terdiri dari unsur yang sama seperti di atas, kecuali huruf e diganti dengan Unsur Dinas
Provinsi yang menangani urusan di bidang Kehutanan, Unsur Balai Pemantapan Kawasan Hutan,
dan Unsur Dinas/Badan Provinsi yang menangani urusan di bidang tata ruang sebagai anggota,
apabila pemohon masyarakat yang berada dalam kawasan hutan, serta ditambahkan unsur Kepala
Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional sebagai Ketua merangkap anggota.

Jadi sudah sepatutnya pasal 2 dan pasal 3 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang
Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (“UUPA”) lebih diperhatikan oleh pemerintah khususnya
tentang persyaratan hak ulayat oleh masyarakat adat, jika sudah memenuhi syarat terhadap
masyarakat adat barulah pemerintah melakukan pengadaan tanah untuk kepentingan umum
dilaksanakan dengan pemberian ganti kerugian yang layak dan adil bagi masyarakat adat.

[2.3] Menimbang bahwa Presiden telah menyampaikan keterangan lisan dan tertulis dalam
persidangan Mahkamah tanggal 23 Maret 2020, yang pada pokoknya sebagai berikut:

I. MENGENAI SYARAT PERMOHONAN


1. Bahwa Permohonan yang diajukan didalam perkara a quo bertujuan untuk melaksanakan
hak konstitusional Pemohon yang dijamin 18B ayat (2) UUD NRI 1945;
2. Bahwa Pemohon menganggap hak konstitusional Pemohon telah dirugikan akibat
diberlakukan nya Pasal 9 ayat (1) dan (2) UU No. 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan
Tanah bagi Kepentingan Umum;
3. Bahwa tidak terdapat hubungan antara Pasal yang diuji materil ke Mahkamah Konstitusi
dengan Pasal 18B ayat (2) UUD NRI 1945 yang menjadi dasar hak konstitusional
Pemohon;
4. Bahwa Pemohon dalam hal ini ketua adat tidak menguraikan dengan jelas tentang hak-
hak konstitusional Pemohon yang telah dirugikan sesuai dengan yang dimaksud dalam
Pasal 51 ayat (2) UU No.24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi;
5. Bahwa berdasarkan penjelasan diatas Permohonan yang telah diajukan oleh Pemohon
tidak dapat dikatakan memenuhi ketentuan karna sebagaimana yang diatur didalam pasal
51 ayat (1) dan (2) UU No.24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sehingga
Permohonan yang disampaikan oleh Pemohon harus dinyatakan tidak dapat diterima.
II. MENGENAI KEDUDUKAN HUKUM PEMOHON (LEGAL STANDING)
1. Bahwa berdasarkan pasal 51 ayat (1), Pemohon dapat berupa Perorangan, Kesatuan
Masyarakat Hukum Adat, Badan Hukum Publik/Privat, atau Lembaga Negara;
2. Bahwa didalam Identitas Permohonan yang diajukan oleh Pemohon telah menegaskan
bahwa Pemohon mengajukan Permohonan secara perorangan;
3. Bahwa didalam uraian kedudukan pemohon (Legal Standing) Paragraf 4, Pemohon
menjelaskan bahwa ia mewakili Kesatuan Masyarakat Adat dalam mengajukan
Permohonan;
4. Bahwa Pemohon tidak menjelaskan ataupun memberikan landasan bahwa ia merupakan
perwakilan dari Kesatuan Masyarakat Adat;
5. Bahwa terdapat suatu pernyataan yang tidak serasi (Incocistent) satu sama lain didalam
Permohonan yang telah disampaikan oleh Pemohon;
6. Bahwa berdasarkan uraian diatas dapat dilihat bahwa Kedudukan Hukum (Legal
Standing) Pemohon masih dipertanyakan atau belum jelas sehingga Permohonan yang
diajukan Pemohon harus ditolak oleh Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi.
III. MENGENAI POKOK MATERI PERMOHONAN
1. Bahwa Pasal 9 ayat (2) UU No.2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi
Pembangunan yang berbunyi “Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum dilaksanakan
dengan pemberian Ganti Rugi yang layak dan adil”. Berdasarkan frasa tersebut, yang
dimaksud dengan Ganti Rugi yang layak dan adil adalah Pemberian ganti rugi kepada
Masyarakat yang diketahui telah dipertimbangkan secara matang agar tercapainya
keadilan dan keseimbangan;
2. Bahwa Pengganti rugian sesuai permintaan masyarakat tidak memiliki korelasi dengan
Pasal 18B ayat (2) yang berbunyi “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-
kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup
dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik
Indonesia, yang diatur dalam undang-undang” karena dalam hal Pengganti kerugian dari
Pemerintah telah mengikuti perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan
Republik Indonesia dan tidak berhubungan dengan menghormati maupun mengakui hak-
hak tradisional masyarakat adat;
3. Bahwa negara telah memberikan ganti rugi kepada masyarakat adat yang sudah sesuai
pada pertimbangan dengan melihat perkembangan masyarakat dan prinsip Negara
Kesatuan Republik Indonesia sesuai bagaimana di tegaskan dalam Pasal 18 b ayat (2)
UUD NRI 1945 yang berbunyi “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan
masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan
sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik
Indonesia, yang diatur dalam undang-undang”;
4. Bahwa Ganti Kerugian adalah penggantian yang layak dan adil kepada pihak yang berhak
dalam proses pengadaan tanah yang bertujuan agar tercapainya kepastian hukum;
5. Bahwa “Ganti rugi atas tanah bagi kepentingan umum telah diatur melalui peraturan
perundang-undangan yaitu dalam Perpres 65 Tahun 2006 dalam BAB III Panitia
Musyawarah, Dan Ganti Rugi, Bagian kedua Musyawarah Pasal 8 s/d Pasal 11 dan
Bagian Ketiga Ganti Rugi Pasal 12 s/d Pasal 19”
6. Bahwa apabila tidak terdapat aturan yang jelas mengenai aspek ganti rugi dalam
pengadaan tanah bagi kepentingan umum,maka akan terciptanya kesenjangan-
kesenjangan yang terjadi antara tuan tanah dan pemerintah serta tidak akan terwujudnya
asas keadilan dan kepastian di mata hukum
7. Bahwa berdasarkan uraian paragraf (7), bahwa disebutkannya akan pentingnya aturan
yang pasti tentang aspek ganti-rugi oleh pemerintah,semata-mata bertujuan agar
terwujudnya asas kepentingan umum sesuai dengan undang-undang nomor 24 tahun 1992
tentang penataan ruang Jo. undang-undang nomor 23 tahun 1997 tentang pengolaan
lingkungan hidup Jo. permen agrarian nomor 2 tahun 1999 tentang izin lokasi;
8. Bahwa Pemohon menyatakan didalam Permohonan “Negara mengakui dan menghormati
kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya”, yang diatur
dalam undang-undang no 18B tahun 1945
9. Bahwa berdasarkan pernyataan tersebut, Pemohon dianggap tidak mampu menafsirkan
dan membaca suatu ketentuan dengan baik karena didalam 18B ayat 2 UUD 1945
menyatakan “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum
adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan
perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia,”;
10. Bahwa Pemohon menyatakan terdapat suatu ketidaksesuaian antara pengaturan terkait
pengadaan tanah bagi kepentingan umum dengan pengaturan mengenai pengakuan dan
penghormatan masyarakat adat pada pasal 18B UUD 1956,karena tidak diakuinya hak hak
adat pada pengaturan terkait pengadaan tanah bagi kepentingan umum sedangkan pada
pasal 18B mengatur mengenai masyarakat adat;
11. Bahwa berdasarkan pernyataan Pemohon yang telah disebutkan didalam Paragraf (11),
dapat dilihat bahwa Pemohon tidak mampu untuk menafsirkan suatu ketentuan. Hal ini
dikarenakan pada dasarnya Undang-Undangpengadaan tanah bagi kepentingan
umum,tetap memperhatikan aspek ganti rugi masyarakat atas pembangunan umum,hanya
saja didalam penjelasan Pasal 9 ayat (2) yang menyebutkan ganti-rugi yang layak dan adil
tidak menyebutkan secara perinci mengenai masyarakat adat,namun definisi masyarakat
pada pengaturan ini merujuk pada masyarakat universal,yang artinya baik masyarakat
modern maupun adat;
12. Bahwa anggapan Pemohon yang menganggap Undang-Undang pengadaan tanah bagi
kepentingan umum tidak mementingkan masyarakat adat dalam hal hak dan pengakuan
dengan adanya frasa “masyarakat” merupakan suatu kesalahan besar dalam menafsirkan
suatu ketentuan;
13. Bahwa yang dimaksud didalam Pasal 9 ayat (2) UU No.2 Tahun 2012 tentang pengadaan
tanah bagi kepentingan masyarakat ialah Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum
dilaksanakan dengan pemberian Ganti Kerugian yang layak dan adil yang mana ganti
kerugian disini adalah untuk masyarakat, yang dengan dimaksud masyarakat telah
dijelaskan didalam penjelasan;
14. Bahwa pada dasarnya walaupun Pihak yang Berhak dan pihak yang menguasai Objek
Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum wajib mematuhi ketentuan dalam Undang-
Undang ini sesuai dengan pasal 8 uu no 2 tahun 2012 , namun didalam praktik masyarakat
adat masih dapat menyatakan penolakan ataupun keberatan atas keputusan pemerintah,hal
ini mengacu pada pasal 3 UUPA tentang hak ulayat;
15. Bahwa berdasarkan pasal 5 uu no 12 tahun 2012 yang berbunyi Pihak yang Berhak wajib
melepaskan tanahnya pada saat pelaksanaan Pengadaan Tanah untuk Kepentingan
Umum setelah pemberian Ganti Kerugian atau berdasarkan putusan pengadilan yang
telah memperoleh kekuatan hukum tetap,senimgga dalam peraturan ini ditegaskan bahwa
pada saat pengadaan wajib dilakukan untuk kepentingan umum asalkan dilakukan
penggantian rugi;
16. Bahwa pada nyatanya Pemohon dalam hal melakukan penyerahan tanah untuk
kepentingan umum tidak memberikan informasi terlebih dahulu kepada pemerintah
mengenai detail dan runtutan jenis ganti rugi yang diinginkan dan kepala suku tidak
menerangkan terlebih dahulu kepada masyarakat suku mengenai pembangunan secara
besar-besaran dan membutuhkan tanah dalam jumlah yang banyak sehingga memicu
kekecewaan dari masyarakat suku;
17. Bahwa berdasarkan uraian pada paragraph (15), (16), (17), dapat diketahui bahwa
senyatanya kepla adat ataupun masyarakat adat tetap dapat menuntut gantin kerugian
yang sepadan dan sesuai dengan aturan adat mereka,sesuai dengan pasal 6 peraturan
menteri dalam negri nomor 15 tahun 1975 mengenai ketentuan-ketentuan tata cara
pembebasan tanah;
18. Bahwa Pemohon menyatakan Pemohon ingin masyarakat adat mendapat pengaturan yang
khusus dan jelas dalam dalam hal kepentingan-kepentingan masyarakat adat,sebab aturan
yang berlaku pada pemerintah dalam hal undang-undang tidak semuanya sesuai dengan
aturan yang tertera pada suku ataupun adat mereka,hal inipun tak terlepas dari nilai
filosofis dan historis yang di junjung tinggi oleh masyarakat adat sehingga jika
pemerintah hanya memuat aturan mengenai masyarakat bukan adat,maka hal tersebut
akan mencederai asas “Equality before the law” karena keinginan Pemohon akan
menimbulkan suatu keadaan dimana kedudukan masyarakat adat berbeda dengan
masyarakat umumnya di depan hukum.

IV. PETITUM

Berdasarkan seluruh uraian diatas, Pemerintah dan DPR-RI memohon kepada yang
terhomat Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia yang memeriksa
dan memutus Permohonan Pengujian Pasal 9 ayat (1) Dan (2) UU No. 2 Tahun 2012
tentang Pengadaan Tanah bagi kepentingan Umum terhadap UUD NRI 1945 sebagai dapat
memberikan putusan sebagai berikut:

1. Menyatakan bahwa Permohonan Pemohon tidak memenuhi syarat pengajuan


permohonan yang telah diatur didalam Pasal 51 ayat (1) ;
2. Menyatakan bahwa kedudukan hukum (Legal Standing) Pemohon tidak jelas;
3. Menyatakan Permohonan Pemohon ditolak atau setidak-tidaknya Permohonan
Pemohon tidak dapat diterima;
4. Menerima keterangan Pemerintah dan DPR-RI secara keseluruhan;
5. Menyatakan bahwa Pasal 9 ayat (1) dan (2) UU No.2 Tahun 2012 tentang Pengadaan
Tanah Bagi Kepentingan Umum tidak bertentangan dengan UUD NRI 1945;
6. Menyatakan bahwa Pasal 9 ayat (1) dan (2) UU No.2 Tahun 2012 tentang Pengadaan
Tanah Bagi Kepentingan Umum tetap berlaku dan mempunyai kekuatan hukum
mengikat diseluruh wilayah Indonesia;

[2.4] Menimbang bahwa Dewan Perwakilan Rakyat telah menyampaikan keterangan lisan
persidangan Mahkamah tanggal 23 Maret 2020 yang pada pokoknya sebagai berikut:

I. UMUM

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 secara tegas


mencantumkan bahwa Negara Indonesia adalah Negara Hukum yang tercantum di dalam Pasal 1
ayat (3) UUD NRI Tahun 1945. Dan juga dijelaskan bahwa Dewan Perwakilan Rakyat diberi
amanat untuk membentuk Undang-Undang dalam Pasal 20 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945,
yang berbunyi: “Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk undang-undang”.
Selain berfungsi membuat atau membentuk undang-undang, Dewan Perwakilan Rakyat juga
berfungsi sebagai pengawas terhadap pelaksanaan undang-undang, sebagaimana yang tertulis
dalam Pasal 20A ayat (1) yang berbunyi, “Dewan Perwakilan Rakyat memiliki fungsi legislasi,
fungsi anggaran dan fungsi pengawasan”. Pasal 20A ayat (2) berisi “Dalam melaksanakan
fungsinya, selain hak yang diatur dalam pasal-pasal lain Undang-Undang Dasar ini, Dewan
Perwakilan Rakyat mempunyai hak intetrplesi, hak angket dan hak menyatakan pendapat”. Pasal
20A ayat (3) berbunyi sebagai berikut “Segala hak yang diatur dalam pasal-pasal lain Undang-
Undang Dasar ini, setiap angggota Dewan Perwakilan Rakyat mempunyai hak mengajukan
pertanyaan, menyampaikan usulan dan pendapat, serta hak imunitas”.
Dalam usaha mewujudkan prinsip-prinsip negara hukum tersebut dalam kehidupan
bermasyarakat dan bernegara, peran dan fungsi penegak hukum adalah sangatlah penting, untuk
dapat menegakkan hal tersebut diatas, maka pejabat memerlukan dasar hukum salah satunya ialah
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, sesuai dengan amanat UUD 1945
pada Pasal 5 ayat (1) bahwa Presiden memegang kekuasaan membentuk undang-undang dengan
persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), maka jelas pasal tersebut menyatakan bahwa DPR
sebagai pemegang kekuasaan legislatif memiliki wewenang untuk ikut serta dalam pembentukan
undang-undang, sebagaimana yang diamanatkan oleh Pasal 21 UUD 1945. Selanjutnya mengenai
tata cara pembuatan undang-undang itu sendiri diatur dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun
2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang kemudian diganti dengan
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
bahwa dalam proses pembentukan perundang-undangan meliputi kegiatan sebagai berikut:
perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan dan pengundangan.
Dalam hal ini DPR juga mengakui bahwa Negara Indonesia memberlakukan asas fiksi
(presumtio iuresde iure) yang menyatakan “setiap orang dianggap mengetahui adanya undag-
undang yang telah diundangkan, dengan kata lain, fiksi hukum menganggap semua orang tahu
hukum”. Maka dari itu pemohon tentulah dapat mengerti kriteria untuk menjadi pemohon yang
tidak bertentangan dengan hukum di Indonesia karena semua subjek hukum dianggap telah
mengerti hukum.
Berdasarkan permohonan yang dimohonkan pemohon bahwa hak konstitusional pemohon
telah dirugikan karena berlakunya norma undang-undang in litis. Pemohon dalam pemohonannya
menyebutkan bahwa denag berlakunya pasal 9 ayat (1) dan (2) yang berbunyi “ penyelenggaraan
pengadaan Tanah untuk kepentingan umum memperhatikan keseimbangan antara kepentingan
pembangunan dan kepentingan masyarakat .” pengadaan Tanah untuk kepentingan umum
dilaksanakan dengan pemberian Ganti kerugian yang layak dan adil.

II. KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI


1. Bahwa berdasarkan ketentuan pasal 24 Ayat (20 UUD 1945, berbunyi:
”kukuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah mahkamah Agung dan badan peradilan
yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan
agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha Negara, dan oleh
sebuah Mahkamah”;
2. Bahwa berdasarkan ketentuan pasal 24c Ayat (1) UUD 1945, berbunyi:
“Mahkamah konstitusi berwenang mengdili pada tingkat pertama dan terakhir yang
putusannya bersifat final untunk mengunji undang-undang terhadap Undang-undang
Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya diberikan
oleh Undang-undang Dasar, memutus pembubaran partai politik dan memutus
perselisihan tentang hasil pemilihan Umum”;
3. Bahwa ketentuan pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 tahun 2003 tentang
mahkamah konstitusi ( Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 98,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4316, selanjutnya disebut UU
24/2003, ( Bukti P-3 ), sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8
Tahun 2011 Tentang perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5226, selanjutnya disebut UU 8/2011,( Bukti P-4), yang berbunyi :
“ Mahkmah konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang
putusanya bersifa t final untuk (1) menguji undang-undang terhadap Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; (2) memutus sengketa kewenangan
lembaga Negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945; (3) Memutus pembubaran partai politik dan (4)
memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum”;
4. Bahwa penegasan serupa juga diatur dalam pasal 29 Ayat (1) huruf a Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009 tentang kekuasaan kehakiman ( Lembaran
Negara Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Nomor 5076)( Bukti P-5 )”
berbunyi:
“Mahkamah konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang
putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945”:
5. Bahwa salah satu kewenangan yang dimiliki oleh mahkamah konstitusi sebagaimana diatur
dalam pasal 9 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011 tentang pembentukan
peraturan perundang-undangan yang mengatur bahwa; dalam hal ini suatu undang-undang
diduga bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia btahun
1945, pengujiannya dilakukan oleh mahkamah konstitusi”;
6. Bahwa sebagai penegak dan pegawai konstitusi, Mahkamah Konstitusi juga berwenang
memberikan penafsiran terhadap sebuah ketentuan yang terdapat dalam ayat, pasal atau
bagian Undang-Undang agar berkesesuain dengan nilai-nilai konstitusi yang hidup didalam
masyarakat (the living of constitusion ). Tafsir mahkamah konstitusi terhadap
konstitusionalisme yang terdapat dalam ayat, pasal atau bagian undang-undang tersebut
merupakan tafsir satu satunya (the sole interpreter of constitution ) yang memiliki kekuatan
hukum, sehingga terhadap dalam ayat, pasal atau bagian Undang-Undang yang memiliki
makna ambigu, tidak jelas, dan/atatu multi tafsir dapat pula dimintakan penafsirannya
kepada mahkamah konstitusi. Dalam sejumlah perkara pengujian Undang-Undang,
mahkamah konstitusi telah beberapa kali menyatakan sebuah undang-undang, mahkamh
konstitusi telah beberapa kali menyatakan sebuah bagian dari undang-undang
konstitusional bersyarat (conditionally constitutional) sepanjang ditafsirkan sesuai dengan
tafsir yang diberikan mahkamah konstitusi atau sebaliknya, tidak konstitusional jika tidak
diartikan sesuai dengan penafsiran mahkamah konstitusi;
7. Bahwa mengacu kepada ketentuan tersebut diatas mahkamah konstitusi berwenang untuk
melakukan pengujian konstitusionalisme suatu undang-undang terhadap UUD NRI
1945
III. KEDUDUKAN HUKUM (LEGAL STANDING) PEMOHON

Sesuai dengan ketentuan pasal 51 Ayat (1) Undang-undang Nomor24 Tahun 2003 Tentang
Mahkamah konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011
menyatakan bahwa pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/ atau kewenangan hak
konstitusinya dirugikan oleh berlakunya Unang-Undang, yaitu:
A. Perorangan warga Negara Indonesia
B. Kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan
masyarakat dan prinsip Negara kesatuan Republik Indonesia yang diatur didalam undang-
undang.
C. Badan hukum public atau privat, atau
D. Lembaga Negara

Ketentuan di atas dipertegas dalam penjelasannya bahwa yang dimaksud dengan hak
konstitusional adalah hak-hak yang diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945, maka terlebih
dahulu harus menjelaskan dan mebuktikan, kualifikasinya dalam permohonan a quo sebagaimana
disebut dalam pasal 51 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2003 Tentang mahkamah
konstitusi sebagaimana telah diubah dengan undang-undang Nomor 8 Tahun2011 yakni:
A. Hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dalam kualifikasi dimaksud yang dianggap
telah dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang yang diuji.
B. Kerugian hakdan/atau kewenangan konstitusonal pemohon sebagai akibat Berlakunya
Undang-Undang yang dimohonkan pengujian.

Lebih lanjut Mahkamah Konstitusi telah memberikan pengertian dan batasan kumulatif tentang
kerugian hak dan/ atau kewenangan konstitusional yang timbul karena berlakunya suatu undang-
undang sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun
2011, maupun berdasarkan putusan-putusan Mahkamah Konstitusi terdahulu (vide putusan Nomor
006/UU-III/2005), harus memenuhi 5 syarat, yaitu :
A. Adanya hak konstitusional Pemohon yang diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945.
B. Hak konstitusional Pemohon tersebut dianggap oleh Pemohon tersebut dianggap oleh
Pemohon telah dirugikan oleh suatu Undang-Undang yang diuji.
C. Kerugian konstitusional Pemohon yang dimaksud bersifat spesifik dan actual atau
setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan
terjadi.
D. Adanya hubungan sebab-akibat antara kerugian dan berlakunya Undang-Undang yang
dimohonkan untuk diuji.
E. Adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan, maka kerugian yang
didalilkan tidak akan atau tidak terjadi lagi.

1. Bahwa didalam identitas permohonan yang diajukan oleh Pemohon telah menegaskan
bahwa Pemohon telah mengajukan Permohonan secara perorangan;
2. Bahwa didalam uraian kedudukan Pemohon (Legal Standing) Paragraf 2, Pemohon
menjelaskan bahwa ia mewakili Badan Hukum Privat dalam mengajukan permohonan;
3. Bahwa pemohon tidak menjelaskan ataupun memberikan landasan bahwa ia merupakan
perwakilan dari Badan Hukum Privat tersebut;
4. Bahwa berdasarkan uraian diatas dapat dilihat bahwa kedudukan hukum (legal standing)
pemohon masih dipertanyakn atau belum jelas sehingga permohonan yang diajukan
pemohon harus ditolak oleh majelis hakim mahkamah konstitusi.

Atas hal-hal tersebut diatas kiranya perlu dipertanyakan kepenting pemohon, apakah sudah
tepat sebagai pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan atas
ketentuan pasal dalam Udang-Undang . Terhadap kedudukan hukum pemohon, pemerintah
menyerahkan sepenuhnya Mahkamah untuk menilai dan memutuskannya.

IV. KETERANGAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT ATAS ARGUMEN HUKUM

PEMOHON MENGENAI HAK KONSTITUSIONAL PEMOHON YANG

DIRUGIKAN DENGAN BERLAKUNYA PASAL 9 AYAT (1) DAN (2) UNDANG-

UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2012 TENTANG PENGADAAN TANAH BAGI

PEMBANGUNAN.

Bahwa dalam permohonan yang dimohonkan pemohon menyatakan rumusan Pasal 9 ayat

(1) dam (2) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 Tentang pengadaan Tanah bagi pembagunan

merugikan hak konstitusional Pemohon,dengan alasan yang pada pokoknya sebagai berikut:

1. Bahwa Pemohon merasa dirugikan akibat adanya kebijakan Undang-Undang No 2 Tahun

2012 pasal 9 ayat (1) dan (2) yang menyatakan: Ayat (1) “ penyelenggaraan pengadaan

tanah untuk kepentingan umum memperhatikan keseimbangan antara kepentingan

pembangunan dan kepeningan masyarakat “. Ayat (2) “penyelenggaraan pengadaan tanah

untuk kepentingan umum dilaksanakan dengan pemberian gamti kerugian yang layak dan

adil”.

2. Bahwa ketentuan pada pasal 9 Ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012

tentang pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepetingan umum, telah merugikan hak

konstitusional pemohon dimana hak ulayat pemohon yang merupakan tanah adat diambil

dan ganti rugi yang diberikan tidak layak dan adil bagi pemohon karena frasa “layak dan

adil” sulit untuk didefinisikan;

3. Bahwa frasa “Pengadaan tanah bagi kepentingan umum” memiliki arti pembangunan

tersebut dilakukan untuk kepentimgan umum masyarakat termasuk masyarakat adat tanpa

melihat ataupun mempertimbangkan tujuan dilakukannya suatu pelarangan tersebut;

4. bahwa dengan diberlakukannya ketentuan dalam pasal 9 ayat (1) dan (2) UU No 2 Tahun

2012 tentang pengadaan tanah bagi pembangunan memperlihatkan bahwa Negara tidak

menghormati hak-hak tradisional dari masyarakat adat itu sendiri seperti yang telah diakui

didalam pasal 18B ayat (2) UUD NRI 1945;

Alasan-Alasan Pengujian Pasal 9 ayat (1) dan (2) UU 2/2012


1. Bahwa kesatuan masyarakat adat diakui dan dihormati Haknya sebagaimana yang

terdapat dalam kesatuan pasal 18B ayat (2) UUD NRI 1945 yang berbunyi: “Negara

mengakui dan mengormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak

tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan

prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam Undang- Undang.”

2. Bahwa masyarakat hukum adat memiliki hak-hak tradisional mereka dimana salah satunya

adalah hak ulayat atas tanah adat mereka yang tidak bias diganggu gugat.

3. Bahwa menurut G. Kertasapoetra dalam bukunya “Hukum Tanah”, jaminan Undang-


Undang Pokok Agraria bagi keberhasilan pendayagunaan tanah menyatakan bahwa : “Hak
ulayat merupakan hak tertinggi atas tanah yang dimiliki oleh suatu persekutuan hukum
(desa dan suku) untuk menjamin ketertiban, pemanfaatan/ pendayagunaan tanah yang
pelaksanaanya diatur oleh ketua persekutuan (kepala suku atau kepala desa yang
bersangkutan).”
4. Bahwa masyarakat adat dayak menggunakan hak ulayat atas tanah adat mereka untuk
melangsungkan kehidupan mereka yang kesehariannya menggunakan tanah sebagai roda
kehidupan;
5. Bahwa berdasarkan uraian diatas, hak ulayat atas tanah adat harus diakui negara sebagai
hak-hak tradisional masyarakat hukum adat dalam kondisi apapun;
6. Bahwa penyelenggaraan pengadaan tanah untuk kepentingan umum yang dilakukan untuk
pemindahan ibukota tidak memperhatikan keseimbangan antara kepentingan pembangunan
dan kepentingan masyarakat sehingga keyataan yang ada tidak sesuai dengan esensi Pasal 9
ayat 1 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012;
7. Bahwa frasa “layak dan adil” di dalam Pasal 9 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 2 Tahun
2012 Tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum, sulit untuk
didefinisikan antara ganti rugi masyarakat biasa dengan masyarakat hukum adat;
8. Bahwa dengan adanya ketentuan dalam Pasal 9 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 2 Tahun
2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum akan
menimbulkan kerugian bagi masyarakat adat dayak;
9. Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka ketentuan Pasal 9 Ayat (1) dan (2) tentang
Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum bertentangan dengan
Pasal 18B Ayat (2) UUD 1945.
10. Maka berdasarkan uraian tersebut Pemohon memohon kepada Yang Mulia Majelis Hakim
Konstitusi untuk menyatakan Pasal 9 Ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 2 Tahun
2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum dinyatakan
bertentangan dengan UUD 1945 dan untuk melakukan Pengujian Materil atas Pasal 9 Ayat
(1) dan (2) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi
Pembangunan Untuk Kepentingan Umum terhadap Pasal 18B Ayat 2 UUD 1945.
Sebelum DPR menyampaikan penjelasan atas argumen-argumen dalam permohonan,

DPR terlebih dahulu akan menjelaskan landasan-landasan dibentuknya Undang-Undang No 2

Tahun 2012 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan adalah sebagai berikut:

A. Bahwa dalam rangka mewujudkan masyarakat yang adil, makmur, dan sejahtera

berdasarkan pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Thun

1945, pemerintah perlu melaksanakan pembangunan;

B. Bahwa untuk menjamin terselanggaranya pembanguna untuk kepentingan umum,

diperlukan tanah yang pengadaannya dilaksanakan dengan menegedepankan prinsip

kemanusiaan, demokratis dan adil;

C. Bahwa peraturan perundang-undangan di bidang pengadaan tanah bagi pembanguna untuk

kepentingan umum belum dapat menjamin perolehan tanah untuk pelaksanaan

pembangunan;

D. Bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaiman huruf a, huruf b, dan huruf c perlu

membentuk Undang-Undanh tentang pengadaan Tanah bagi pembangunan untuk

kepentingan umum.

Yang lebih lengkap, terperinci dan menyeluruh sehubungan dengan anggapa DPR mengenai

argumen-argumen para pemohon dalam permohonannya DPR menyatakan tidak setuju atas

argumen-argumen pemohon tersebut dengan alas an-alasan sebagai berikut;

I. Bahwa terhadap dalil pemohon yang menyatakan bentuk kerugian konstitusional yang

dialami oleh pemohon disebabkan karena berlakunya norma undang-undang, pasal 9 ayat

(1) dan (2) Undang-Undang No 2 tahun 2012 Tentang Pengadaan Tanah Bagi

pembangunan. Menurut pemohon dalam permohonannya, pasal 9 ayat (1) dan (2) dan

Undang-Undang No 2 Tahun 2012 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan

Bertentangan dengan pasal 18B ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia. Menurut pemohon pasal 9 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 2 Tahun

2012 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan yang menyatakan Ayat (1)

penyelenggaraan Pengadaan Tanah untuk kepentingan umum memperhatikan

keseimbangan antara kepentingan pembangunan dan kepentingan masyarakat. Ayat (2)


pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum dilaksanakan dengan pemberian Ganti

Kerugian yang layak dan adil. ketentuan tersebut memperlihatkan bahwa Negara tidak

menghormati hak-hak tradisional dari masyarakat adat itu sendiri kerena Pasal 18B ayat

(2) UUD NRI 1945 menyatakan “ Negara mengakui dan mengormati kesatuan-kesatuan

masyarakat adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan

perkembangan masyarakat dan prinsip Negara kesatuan Republik Indonesia , yang diatur

dalam Undang-Undang.

II. Bahwa apabila melihat ketentuan pasal 1 ayat (2) Undang-Undang No. 2 Tahun 2012

tentang pengadaan tanah bagi pembangunan yang menyatakan “ Pengadaan Tanah adalah

kegiatan menyediakan tanah dengan cara memberi ganti rugi yang layak dan adil kepada

pihak yang berhak. Dalam pasal ini besarnya ganti rugi ialah sebesar kerugian nyata yang

diderita kreditur yang menyebabkan timbulnya kekurangan nilai keuntungan yang akan

diperolehnya.

III. Bahwa apabila melihat ketentuan pasal 3 Udang-Undang no 2 Tahun 2012 Tentang

pengadaan Tanah Bagi Pembangunan yang menyatakan “ Pengadaan tanah untuk

kepentingan umum bertujuan menyediakan tanah bagi melaksanakan pembangunan guna

meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran bangsa, Negara, dan masyarakat dengan

tetap menjamin kepentingan hukum pihak yang berhak ”. Maka tujuan dari pasal ini guna

meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran bangsa Negara dan masyarakat dengan tetap

menjamin kepentingan hukum pihak yang berhak.

IV. Bahwa apabila melihat ketentuan pasal 5 Undang-Undang no 2 Tahun 2012 Tentang

pengadaan tanah bagi pembangunan yang menyatakan “ pihak yang Berhak wajib

melepaskan tanahnya pada saat pelaksaan pengadaan Tanah untuk kepentingan umum

setelah pemberian Ganti Kerugian atau berdasarkan putusan pengadilan yang telah

memperoleh kekuatan hukum tetap. Jadi sebelum ada kesepakatan mengenai ganti kerugian

dan belum ada pemberian ganti kerugian, sesorang tidak wajib melepaskan tanahnya.

V. PETITUM

Bahwa berdasarkan hal-hal tersebut diatas, DPR memohon kepada yang terhormat Majelis

Hakim Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia yang memeriksa dan memutus permohonan
pengujian pasal 9 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 Tentang Pengadaan

Tanah Bagi Pembangunan untuk memberikan amar putusan sebagai berikut:

1. Menyatakan permohonan pemohon ditolak untuk seluruhnya atau setidak-tidaknya

permohonan pemohon tidak dapat diterima;

2. Menyatakan keterangan DPR diterima seluruhnya;

3. Menyatakan pasal 9 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 Tentang

Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar

Negara Republik Indonesia ;

Apabila Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi berpendapat lain, maka kami memohon

putusan yang seadil-adilnya (ex aequoet bono ).

Atas perhatian Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia,

kami ucapkan terima kasih

VI. KESIMPULAN

Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, DPR memohon kepada yang terhornat Ketua Majelis

Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia yang memeriksa dan memutus permohonan pengujian

pasal 9 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 Tentang Pengadaan Tanah

Bagi Pembagunan ;

 Menyatakan permohonan pemohon ditolak atau setidak-tidaknya permohonan pemohon

dinyatakan tidak terima;

 Menerima keterangan DPR secara keseluruhan;

 Menyatakan pasal 9 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 Tentang

Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan tidak bertentangan dengan UUD 1945;

 Menyatakan pasal 9 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 Tentangan

Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan tetapi mempunyai kekuatan hukum dan tetap

berlaku diseluruh wilayah Indonesia.

[2.5] Menimbang bahwa untuk menguatkan dalilnya, Termohon telah mengajukan alat bukti
surat/tulisan yang diberi tanda bukti T-1 sebagai berikut :
1. Bukti T-1 : Risalah Sidang Perumusan Undang-Undang Nomor 2 Tahun
2012
[2.6] Menimbang bahwa untuk mempersingkat uraian dalam putusan ini, segala sesuatu yang terjadi
di persidangan merujuk berita acara persidangan, yang merupakan suatu kesatuan yang tidak
terpisahkan dengan putusan ini;

3. PERTIMBANGAN HUKUM

Menimbang bahwa isu hukum utama permohonan pemohon adalah memohon pengujian
konstitusionalitas pasal 9 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang
Pengadaan Tanah bagi Pembangunan. Menurut pemohon, pasal 9 ayat (1) dan (2) betentangan
dengan pasal dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945, (selanjutnya
disebut UUD1945), yang menyatakan sebagai berikut:

Pasal 28C ayat (2) :


“Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif
untuk membangun masyarakat, bangsa dan negaranya”

Menimbang bahwa sebelum mempertimbangkan pokok permohonan, Mahkamah


Konstitusi (selanjutnya disebut Mahkamah) terlebih dahulu akan mempertimbangkan hal-hal
berikut :
a. Kewenangan Mahkamah untuk mengadili permohonan a quo;
b. Kedudukan hukum (Legal Standing) Pemohon untuk mengajukan
permohonan a quo;

Terhadap kedua hal tersebut, Mahkamah berpendapat sebagai berikut :

Kewenangan Mahkamah
[3.1] Bahwa berdasarkan Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945, Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-UndangNomor 8 Tahun 2011 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Taahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5226, selanjutnya disebut UU MK), serta Pasal 29 ayat (1) huruf a
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5076, selanjutnya disebut UU Kekuasaan Kehakiman, salah satu kewenangan
konstitusional Mahkamah adalah mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya
bersifat final untuk menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar;
[3.2] Bahwa Pasal 51 ayat (1) UU MK juncto Pasal 3 PMK PUU menyatakan bahwa Pemohon adalah
pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya
Undang-Undang yaitu:
a. perseorangan warga negara Indonesia;
b. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai
dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik
Indonesia yang diatur dalam undang-undang;
c. badan hukum public atau privat;
d. lembaga negara
Dengan demikian, Pemohon dalam pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar
1945 harus menjelaskan dan membuktikan terlebih dahulu;
a. kedudukannya sebagai pemohon sebagaimana dimaksud dalam pasal 51
ayat (1) UU MK;
b. kerugian Hak dan/atau kewenangan konstitusional yang diberikan oleh
UUD 1945 yang diakibatkan oleh berlakunya Undang-Undang yang
dimohonkan pengujian;

[3.3] Bahwa berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 006/PUU-III/2005 dan putusan-putusan
Mahkamah Konstitusi yang hadir berikutnya, Mahkamah Konstitusi telah menentukan 5 (lima)
syarat mengenai kerugian konstitusional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK,
yakni sebagai berikut:
a. harus ada hak dan/atau kewenangan konstitusional Para Pemohon yang
diberikan oleh UUD 1945
b. hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut dianggap telah dirugikan
oleh berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian
c. kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut bersifat spesifik
dan actual, setidak-tidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran
yang wajar dapat dipastikan akan terjadi;
d. ada hubungan sebab akibat (casual verband) antara kerugian hak dan/atau
kewenangan konstitusional dengan Undang-Undang yang dimohonkan
pengujian; dan
e. ada kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan, maka
kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang didalilkan tidak
akan atau tidak lagi terjadi.

[3.4] Bahwa berdasarkan uraian yang diajukan Pemohon pada permohonan sebelumnya, menurut
Mahkamah Pemohon memiliki kedudukan hukum dalam Permohonan a quo sebagai perseorangan
warga negara Indonesia berdasarkan; Kartu Tanda Penduduk (KTP) yang dikeluarkan oleh Kantor
Catatan Sipil Kabupaten Penajam Paser Utara.
[3.5] Menimbang bahwa oleh karena Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo dan pemohon
memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan permohonan a quo maka
selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan pokok permohonan,

Pokok Permohonan
[3.6] 18B bahwa Pemohon mengajukan Uji Materil (Judicial Review) terhadap pasal 9 ayat (1) dan (2)
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan yang
menyatakan;
Ayat (1):
“Penyelenggaraan Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum memperhatikan keseimbangan
antara kepentingan pembangunan dan kepentingan masyarakat.”

Ayat (2):
“Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum dilaksanakan dengan pemberian ganti kerugian
yang layak dan adi1.”

a. Terhadap norma Undang-Undang Dasar 1945 sebagai berikut;


Pasal 18B ayat (2)
“(2) Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta
hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat
dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.”

Pasal 27 ayat (1)


“Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan
wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”
Pasal 28C ayat (2)
“Setiap orang berhak untuk mengajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara
kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa dan negaranya”
Pasal 28D ayat (1)
“Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang
adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”
Pasal 28I ayat (2)
“Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum
yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”

Bahwa alasan Pemohon mengajukan permohonan a quo pada pokoknya sebagai berikut:
1. Bahwa kesatuan masyarakat adat diakui dan dihormati Haknya sebagaimana yang terdapat dialam
ketentuan Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 yang berbunyi: “Negara mengakui dan menghormati
kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih
hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik
Indonesia, yang diatur dalam Undang-Undang.”;
2. Bahwa masyarakat hukum adat memiliki hak-hak tradisional salah satunya adalah hak ulayat atas
tanah adat mereka yang tidak bisa diganggu gugat;
3. Bahwa menurut G. Kertasapoetra dalam bukunya “Hukum Tanah”, jaminan Undang-Undang
Pokok Agraria bagi keberhasilan pendayagunaan tanah menyatakan bahwa : “Hak ulayat
merupakan hak tertinggi atas tanah yang dimiliki oleh suatu persekutuan hukum (desa dan suku)
untuk menjamin ketertiban, pemanfaatan/ pendayagunaan tanah yang pelaksanaanya diatur oleh
ketua persekutuan (kepala suku atau kepala desa yang bersangkutan).”
4. Bahwa masyarakat adat dayak menggunakan hak ulayat atas tanah adat mereka untuk
melangsungkan kehidupan mereka yang kesehariannya menggunakan tanah sebagai roda
kehidupan;
5. Bahwa berdasarkan uraian diatas, hak ulayat atas tanah adat harus diakui negara sebagai hak-hak
tradisional masyarakat hukum adat dalam kondisi apapun;
6. Bahwa penyelenggaraan pengadaan tanah untuk kepentingan umum yang dilakukan untuk
pemindahan ibukota tidak memperhatikan keseimbangan antara kepentingan pembangunan dan
kepentingan masyarakat sehingga keyataan yang ada tidak sesuai dengan esensi Pasal 9 ayat 1
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012;
7. Bahwa frasa “layak dan adil” di dalam Pasal 9 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012
Tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum, sulit untuk
didefinisikan antara ganti rugi masyarakat biasa dengan masyarakat hukum adat;
8. Bahwa dengan adanya ketentuan dalam Pasal 9 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012
tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum akan menimbulkan
kerugian bagi masyarakat adat dayak;
9. Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka ketentuan Pasal 9 Ayat (1) dan (2) tentang Pengadaan
Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum bertentangan dengan Pasal 18B Ayat (2)
UUD 1945.
10. Maka berdasarkan uraian tersebut Pemohon memohon kepada Yang Mulia Majelis Hakim
Konstitusi untuk menyatakan Pasal 9 Ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012
tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum dinyatakan
bertentangan dengan UUD 1945 dan untuk melakukan Pengujian Materil atas Pasal 9 Ayat (1)
dan (2) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan
Untuk Kepentingan Umum terhadap Pasal 18B Ayat 2 UUD 1945.

[3.7] Menimbang bahwa Mahkamah telah memeriksa bukti-bukti tertulis yang diajukan oleh pemohon
yang diberi tanda bukti P-1 sampai dengan bukti P-8;
[3.8] Menimbang bahwa Mahkamah telah memeriksa bukti-bukti tertulis yang diajukan oleh termohon
yang diberi tanda T-1
[3.9]Menimbang bahwa Mahkamah telah mendengar keterangan ahli Pemohon Prof. Muhammad Vidi,
S.H, M.H., Prof. Moch Oka Mas Agung, S.H, M.H., Prof. Dr. Mardiahati Marbun, S.H.,M.H.
sebagaimana selengkapnya termuat dalam bagian duduk perkara;
[3.10] Menimbang bahwa Mahkamah telah mendengar keterangan Presiden sebagaimana selengkapnya
termuat dalam bagian duduk perkara;
[3.11] Menimbang bahwa Mahkamah telah mendengar keterangan DPR, sebagaimana selengkapnya
termuat dalam bagian duduk perkara;
[3.12] Menimbang bahwa setelah memeriksa dengan seksama bukti-bukti Pemohon dan mendengar
keterangan pihak-pihak sebagaimana disebutkan dalam paragraph [3.9] , [3.10] dan [3.11] di atas,
Mahkamah memberikan pertimbangan sebagai berikut.
[3.14] Bahwa pokok permasalahan konstitusionalitas yang dipersoalkan oleh Pemohon adalah apakah
ketentuan Pasal 9 Ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan
Tanah bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum menimbulkan ketidakadilan, diskriminatif,
ketidakpastian hukum, dan karenanya bertentangan dengan UUD 1945
[3.15] Menimbang bahwa dari seluruh uraian pertimbangan diatas, Mahkamah berpendapat bahwa
demi mewujudkan keadilan dan memberikan kepastian hukum kepada seluruh warga negara
Indonesia sebagai pelaksanaan pasal 18C ayat (2), pasal 27 ayat (1), Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D
ayat (1) dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945, dan juga menjunjung asa equality before the law maka
menurut Mahkamah ketentuan Pasal 9 Ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012
tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum tentang Paten tidak
berlaku dan tidakmempunyai kekuatan hukum tetap. Argumentasi Mahkamah tersebut juga
didasarkan pada pertimbangan bahwa oleh karena Pasal 9 ayat (1) dan ayat (2) a quo.
[3.16] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh uraian pertimbangan tersebut diatas, menurut
Mahkamah, permohonan Pemohon beralasan menurut hukum.

4. KONKLUSI

Berdasarkan penilaian atas fakta dan hukum sebagaimana diuraikan di atas, Mahkamah
berkesimpulan bahwa:

[4.1]Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo


[4.2]Pemohon memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo
[4.3]Permohonan Pemohon beralasan menurut hukum.

Berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang


Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengna Undang-
undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 tahun 2003
tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 70,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5226), dan Undang-Undang Nomor 48
Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009
Nomo 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076)

AMAR PUTUSAN
Mengadili,
1. Mengabulkan permohonan pemohon untuk seluruhnya;
2. Menyatakan Pasal 9 Ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang
Pengadaan Tanah bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2012 Nomor 22, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5280
bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak
mempunyai kekuatan hukum mengikat;
3. Memerintahkan pemutusan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana
mestinya
Demikian diputuskan dalam Rapat Permusyawaratan Hakim oleh Sembilan Hakim
Konstitusi, yaitu Ahmad Habibullah selaku Ketua merangkap anggota, Muhammad Abduh Ikrar,
Gilang Permata Sari, Hilman Mursidi, Septia Dewanti, Eko Satrio Widyanto Nugroho, Aulia
Jonanda Harlis, Dicky Feby, Albert Wilton Panjaitan, masing-masing sebagai Anggota pada hari
Senin, tanggal Dua bulan April, tahun Dua Ribu Delapan Belas, yang diucapkan dalam siding
pleno Mahkamah Konstitusi terbuka untuk umum pada hari Rabu, tanggal Satu, bulan April,
tahun Dua Ribu Dua Puluh, selesai diucapkan pukul 11.15 WIB, oleh Sembilan Hakim
Konstitusi, yaitu Ahmad Habibullah selaku Ketua merangkap anggota, Muhammad Abduh Ikrar,
Gilang Permata Sari, Hilman Mursidi, Septia Dewanti, Eko Satrio Widyanto Nugroho, Aulia
Jonanda Harlis, Dicky Feby, Albert Wilton Panjaitan, masing-masing sebagai Anggota, dengan
didampingi oleh Renata Disyacitta sebagai Panitera Pengganti, dihadiri oleh Pemohon atau
kuasanya, Presiden atau yang mewakili, Dewan Perwakilan Rakyat atau yang mewakili.

KETUA

Ahmad Habibullah

ANGGOTA – ANGGOTA

M. Abduh Ikrar Gilang Permata Sari

Hilman Mursidi Septia Dewanti

Eko Satrio Widyanto Nugroho Aulia Jonanda Harlis

Dicky Feby Albert Wilton Panjaitan

PANITERA PENGGANTI

Renata Disyacitta

Anda mungkin juga menyukai