Nomor 25/PUU-XII/2020
DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA
MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA
[1.1] Yang mengadili perkara konstistusi pada tingkat pertama dan terakhir, menjatuhkan putusan
dalam perkara Pengujian Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah
untuk Kepentingan Umum terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945, yang diajukan oleh:
2. DUDUK PERKARA
[2.1] Menimbang bahwa pemohon telah mengajukan permohonan dengan Surat Permohonan
bertanggal 9 Maret 2020, yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi
(selanjutnya disebut Kepaniteraan Mahkamah) pada tanggal dicatat dalam Buku 11 Maret
2020 Berdasarkan Akta Penerimaan Berkas Permohonan Nomor 25/MK-KA/2020 dan
telah Registrasi Perkara Kontitusi pada tanggal 13 Maret 2020 dengan Nomor 25/PUU-
XII/2020 yang telah diperbaiki dan diterima di Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 13
Maret 2020 yang pada pokoknya menguraikan hal-hal sebagai berikut:
I. KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI
1.1. Bahwa Pemohon memohon agar Mahkamah Konstitusi (Selanjutnya disebut Mahkamah)
Melakukan pengujian terhadap Pasal 9 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum.
1.2. Selanjutnya, pasal 10 ayat (1) huruf A Undang-Undang Mahkamah Konstitusi menyatakan:
“Mahkamah konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terkahir yang
putusan nya bersifat final untuk : a menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang
dasar negara republik Indonesia tahun 1945”
1.3. Merujuk pada ketentuan Pasal 24 C ayat (1) UUD 1945 juncto Pasal 10 ayat (1) huruf (a)
Undang - Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Mahkamah konstitusi (UU MK), bahwa
salah satu kewenangan Mahkamah Konstitusi adalah Melakukan Pengujian Undang –
Undang Dasar 1945 (UUD 1945) antara lain Menyatakan : “Mahkamah Konstitusi
berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final
untuk menguji Undang –Undang terhadap Undang – Undang Dasar”
1.4. Pasal 10 ayat (91) huruf a Undang-Undang Mahkamah Konstitusi antara lain menyatakan:
“Mahkamah Konstitusi mengadili mengadili pada tingkat pertama dan dan terakhir yang
putusannya bersifat final untuk menguji :a. Undang-Undang terhadap Undang-Undang
Dasar Negaea Republik Indonesia Tahun 1945”
1.5. Pasal 29 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan
Kehakiman menyebutkan bahwa salah satu kewenangan konstitusional Mahkamah
Konstitusi adalah mengadili pada tingkat pertama dan terakhir putusannya bersifat final
untuk menguji Undng-Undang terhadap Undang Undang Dasar.
1.7. Pasal 9 ayat (1) Undang-Undang No 12 tahun 2011 mengatur bahwa dalam hal suatu
Undang-Undang diduga bertentangan dengan UUD 1945, pengujian dilakukan oleh
mahkamah konstitusi.
1.8 Bahwa mengacu kepada ketentuan tersebut diatas, Mahkamah konstitusi berwenang untuk
melakukan Pengujian Konstitusi atas suatu Undang-Undang terhadap Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia 1945.
2.1. Bahwa ketentuan pada pasal 51 ayat (1) Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang
Mahkamah Konstitusi dengan tegas menyatakan bahwa Pemohon adalah pihak yang
menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya
undang-undang, yaitu :
Oleh karena itu seyogyanyalah Pasal 9 Ayat (1) dan Ayat (2) Undang - Undang Nomor 2
Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum
dinyatakan bertentangan dengan undang-undang Dasar 1945 dan dinyatakan tidak
memiliki kekuatan hukum yang mengikat.
IV. PETITUM
Berdasarkan seluruh uraian diatas dan bukti-bukti terlampir, jelas bahwa didalam
permohonan uji materiil ini terbukti bahwa Pasal 9 Ayat (1) dan Ayat (2) Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum merugikan
Hak Konstitusional Pemohon yang dilindungi (protected), dihormati (respected), dimajukan
(promoted), dan dijamin (guaranted) UUD 1945. Oleh karena itu, diharapkan dengan
dikabulkannya permohonan ini dapat mengembalikan Hak Konstitusional Pemohon sesuai dengan
amanat Konstitusi.
Dengan demikian, Pemohon memohon kepada Majelis Hakim Konstitusi yang mulia
berkenan memberikan putusan sebagai berikut:
Selain itu, Pemohon pada persidangan tanggal 25 Maret 2020 mengajukan 3 orang ahli yang telah
memberikan keterangan lisan dan tertulis dibawah sumpah dalam persidangan tersebut diatas yang
pada pokoknya sebagai berikut :
I. Ahli Hukum Adat
Mengingat Kekhususan bidang ilmu yang saya dalami , saya akan menganalisis mengenai
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan yang
memungkinkan untuk di uji materiil di Mahkamah Konstitusi, karena pengaturan dalam Undang-
Undang ini berpotensi mengakibatkan terjadinya ketidakpastian hukum.
Analisa ketidak sesuaian Pasal 9 ayat (1) dengan Pasal 18B UUD 1945
Mengemukakan pendapat mengenai ketidaksesuaian dengan Pasal 18B ayat (2) yang berisi
tentang pengakuan dan penghormatan Negara terhadap kesatuan masyarakat hukum adat dan hak-
hak tradisionalnya. Secara lengkapnya bunyi pasal tersebut adalah :“(2) Negara mengakui dan
menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang
masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik
Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.”
Amanat konstitusi untuk mengakui dan menghormati masyarakat adat itu tidak tercermin
didalam pasal tersebut, mengingat Indonesia tidak hanya berpatokan pada hukum positif, tetapi ada
juga hukum kebiasaan dan hukum adat yang memang diakui baik oleh negara maupun masyarakat,
Hukum Positif “ditegakkan oleh atau melalui pemerintah atau pengadilan.” Manusia hidup dan
diatur, serta tunduk pada bebagai aturan. Selain aturan umum atau khusus yang telah disebutkan
diatas, manusia juga diatur dan tunduk pada aturan adat-istiadat (hukum kebiasaan), hukum agama
(sepanjang belum menjadi hukum positif), hukum moral.Hukum kebiasaan, hukum agama,
Ketaatan terhadap hukum kebiasaan, hukum agama, atau hukum moral tergantung pada sikap orang
perorangan dan sikap kelompok masyarakat yang bersangkutan.
Diartikan sebagai hukum positif adalah: "kumpulan asas dan kaidah hukum tertulis dan
tidak tertulis yang pada saat ini sedang berlaku dan mengikat secara umum atau khusus dan
ditegakkan oleh atau melalui pemerintah atau pengadilan dalam negara Indonesia." Penekanan
"pada saat ini sedang berlaku," karena secara keilmuan rechtwefenschap, pengertian hukum positif
diperluas.Bukan saja yang sedang berlaku sekarang, melainkan termasuk juga hukum yang pernah
berlaku dimasa lalu.karena dalam definisi keilmuan mengenai hukum positif dimasukkan unsur
"berlaku pada waktu tertentu dan tempat tertentu." Hukum yang pernah berlaku, adalah juga hukum
yang berlaku pada waktu tertentu dan tempat tertentu, sehingga termasuk pengertian hukum positif,
walaupun dimasa lalu. Hukum positif juga mengenal Hukum positif lokal yang dapat dibedakan
antara hukum positif yang lahir atau dibuat dan berlaku dalam lingkungan pemerintahan otonomi
berupa Peraturan Daerah, atau keputusan-keputusan lainnya.Hukum positif lokal ini termasuk juga
peraturan hukum yang dibuat pada tingkat nasional tetapi hanya berlaku untuk daerah atau wilayah
tertentu. Undang-undang tentang pembentukan daerah otonom yang istimewa yang dipisahkan dari
ketentuan hukum positif pada umumnya, seperti Nanggroe Aceh Darussalam (UU No. 18 Tahun
2001) adalah aturan hukum yang dibuat oleh Pusat tetapi dalam pembuatan dan otonomi urusan
pemerintahan menggunakan mekanisme syariat, yang hanya berlaku untuk daerah atau wilayah
Aceh. Hukum Ach yang kental dengan nuansa Islam syariat hanya berlaku untuk aceh sebagai
provinsi istimewa.Selain hukum positif, Indonesia juga memelihara dan mengakui hukum adat atau
hukum kebiasaan, yang dapat berupa hukum adat yang berlaku untuk lingkungan masyarakat
hukum teritorial atau geneologis tertentu.
Hukum Adat, yaitu hukum asli bangsa Indonesia yang hidup dan berlaku secara turun
temurun atau diakui atau dinyatakan sebagai hukum yang berlaku berdasarkan peraturan
perundang-undangan dan atau putusan hakim. Hukum adat mungkin didapati atau diketahui dalam
atau melalui tulisan (dituliskan). Walaupun demikian, hukum adat adalah hukum tidak tertulis,
karena tidak pernah dengan sengaja dibentuk secara tertulis oleh pejabat yang berwenang melalui
tata cara tertentu. Hukum adat menjadi hukum positif atas dasar kenyataan sebagai hukum yang
hidup dan ditaati, pengakuan, dibiarkan berlaku, atau ditetapkan oleh pengadilan.
Terkait Konstitusi itu Sifatnya Abstrak Menurunkan materi muatan yang ada ke UU yaitu Pasal
18B ayat (2) UUD 1945 dengan diatur nya UU Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan, bukan bearti
UU Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan ini membatasi aturan yang ada diKosntitusi. Seharusnya
pada Pasal 9 ayat (1) UU No.20 tahun 2002 ini menjaga makna dari Pasal 18B ayat (2) yang
berbunyi : Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta
hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan
prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang. bukannya
memangkas ketentuan yang ada,
Pasal 9 ayat 1 ini sejatinya, memberikan ketidakpastian hukum dan kontradiksi dengan pasal 18B
UUD 1945, dimana pada Pasal 18B UUD 1945 dijelaskan bahwa seluruh hal tentang masyarakat
adan itu diatur dan dipertimbangkan kesejahteraannya. Jadi tidak ada kesingkronan diantara kedua
pasal tersebut.
konsep yang menyatakan ada dua substansi dalam pandangan hukum yang berbeda antara
Pasal 9 ayat 1 UU Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan dengan Pasal 18B UUD 1945 .
Adapun bunyi Pasal 18B UUD 1945 ini ialah :
(1) Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang
bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang.
(2) Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat
beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan
perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang
diatur dalam undang-undang.
Menurut Asas Lex Posterior Derogat Legi Priori yaitu pada peraturan yang sederajat,
peraturan yang paling baru melumpuhkan peraturan yang lama. Disini sangat jelas ketidak
singkronan antara UU kehutanan dan UU Lingkungan Hidup , dimana dalam UU lingkungan hidup
pada pasal 69 ayat (2) diboleh masyarakat Adat membakar Hutan, ketidak singkronan inilah
munculnya dualisme hukum.
1.) Teori Amandemen Konstitusi ada 2 jenis cara yaitu Formal dan Informal
Perubahan secara Informal dapat dilakukan beberapa cara ,yaitu :
1. Some Primay Force
Perubahan konstitusi dapat terjadi apabila terdapat tekanan kuat dari suatu kekuasaan
ataupun kondisi tertentu.
2. Judicial Interpretation (Penasiran Yudisial)
Mengutip pendapat Satjipto Raharjo, bahwa salah satu sifat yang ada pada peraturan
perundang-undangan atau hukum tertulis adalah sifat otoritatif dari rumusan norma
yang dibentuknya. Dalam hal ini beliau memandang bentuk tulisan atau litera
scriptahanyalah suatu usahan untuk menyampaikan ide atau pikiran. Ide atau pikiran
tersebut tentu saja tidak akan mungkin tersampaikan secara utuh dalam untaian kata-
kata di dalam perundang-undangan tersebut.
3. Usage and convention
Usage (kebiasaan) and convention (konvensi) dapat diterima secara harafiah dalam hal
menjadi salah satu sarana perubahan undang-undang dasar secara informal.
Maka, Melalui pemutusan pengadilan dalam hal ini dengan Pengadilan Mahkamah
Konstitusi. Maka perlu Mahkamah Konstitusi memutus UU Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan
dalam hal ini pasal 9 ayat 1 bertentangan dengan konstitusi , yang tidak sesuai dengan Pasal 18B
ayat (2) UUD 1945.
Menurut keahlian dan analisis saya, Pengaturan pada Pasal 2 ayat (4) Undang-Undang Nomor
5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (“UUPA”) mengatur bahwa hak
menguasai dari Negara tersebut di atas pelaksanaannya dapat dikuasakan kepada daerah-daerah
Swatantra dan masyarakat-masyarakat hukum adat, sekedar diperlukan dan tidak bertentangan
dengan kepentingan nasional, menurut ketentuan-ketentuan peraturan pemerintah. Pengaturan
inilah yang menjadi dasar bagi pengaturan tanah ulayat.
Tanah ulayat diartikan sebagai tanah bersama para warga masyarakat hukum adat yang
bersangkutan. Hak penguasaan atas tanah masyarakat hukum adat dikenal dengan hak ulayat.
UUPA sendiri tidak mendefinisikan apa yang dimaksud dengan tanah ulayat. Dalam Pasal 3
UUPA memang terdapat istilah “hak ulayat dan hak-hak yang serupa dengan itu”. Dalam
Penjelasan Pasal 3 UUPA dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan "hak ulayat dan hak-hak yang
serupa itu" ialah apa yang di dalam perpustakaan hukum adat disebut "beschikkingsrecht". Bunyi
selengkapnya Pasal 3 UUPA adalah sebagai berikut:
Dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam pasal 1 dan 2 pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak
yang serupa itu dari masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih
ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan Negara, yang
berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan Undang-undang dan
peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi.
Berdasarkan Pasal 3 UUPA, hak ulayat diakui “sepanjang menurut kenyataannya masih ada”.
Pada Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor
10 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penetapan Hak Komunal Atas Tanah Masyarakat Hukum Adat
dan Masyarakat yang Berada dalam Kawasan Tertentu (“Permen Agraria dan Tata Ruang
10/2016”) hak ulayat atas tanah dikenal dengan istilah hak komunal atas tanah yaitu hak milik
bersama atas tanah suatu masyarakat hukum adat, atau hak milik bersama atas tanah yang diberikan
kepada masyarakat yang berada dalam kawasan tertentu.
Kawasan tertentu adalah kawasan hutan atau perkebunan. Sedangkan yang dimaksud dengan
masyarakat hukum adat adalah sekelompok orang yang terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai
warga bersama suatu persekutuan hukum karena kesamaan tempat tinggal ataupun atas dasar
keturunan.
Persyaratan yang harus dipenuhi oleh hak ulayat menurut Pasal 3 UUPA adalah :
Mengenai hal ini, sesuai dengan Penjelasan Pasal 67 ayat (1) Undang-Undang Nomor 41 Tahun
1999 tentang Kehutanan (“UU Kehutanan”), suatu masyarakat hukum adat diakui keberadaannya,
jika menurut kenyataannya memenuhi unsur antara lain:
a. masyarakatnya masih dalam bentuk paguyuban (rechtsgemeenschap);
b. ada kelembagaan dalam bentuk perangkat penguasa adatnya;
d. ada pranata dan perangkat hukum, khususnya peradilan adat, yang masih ditaati; dan
e. masih mengadakan pemungutan hasil hutan di wilayah hutan sekitarnya untuk pemenuhan
kebutuhan hidup sehari-hari.
Persyaratan yang terakhir ini, menurut Kurnia Warman, tidak terlampau menjadi ganjalan yang
merisaukan bagi keberadaan hak ulayat karena UUD 1945 telah tegas mengakui keberadaan hak-
hak tradisional komunitas di Indonesia. Pasal 18B ayat (1) UUD menyatakan bahwa negara
mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat besarta hak-hak
tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip
Negara Kesatuan Republik Indonesia. Jadi, jika ada UU yang tidak mengakui keberadaan hak-hak
tradisional komunitas maka UU tersebut jelas-jelas bertentangan dengan UUD 1945.
Selain itu , Permen Agraria dan Tata Ruang 10/2016 mengatur cara penetapan hak komunal atas
tanah masyarakat hukum adat dan masyarakat yang berada dalam kawasan tertentu.
Pasal 5 ayat (1) Permen Agraria dan Tata Ruang 10/2016 mengatur bahwa masyarakat
hukum adat atau masyarakat yang berada dalam kawasan tertentu mengajukan permohonan
penetapan hak komunal atas tanah masyarakat hukum adat dan masyarakat kepada Bupati/Walikota
atau Gubernur.
Permohonan tersebut diajukan oleh kepala adat atau perwakilan masyarakat yang berada
dalam kawasan tertentu, dengan dilengkapi syarat antara lain :
a. riwayat masyarakat hukum adat dan riwayat tanahnya, apabila pemohon masyarakat
hukum adat;
b. riwayat penguasaan tanah paling kurang 10 (sepuluh) tahun atau lebih secara berturut-turut,
apabila pemohon masyarakat yang berada dalam kawasan tertentu;
c. fotokopi kartu identitas atau akta pendirian koperasi, unit bagian dari desa, atau kelompok
masyarakat lainnya;
d. surat keterangan dari kepala desa atau nama lain yang serupa dengan itu.
Setelah menerima permohonan tersebut, Bupati/Walikota atau Gubernur membentuk Tim
Inventarisasi Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan, dan Pemanfaatan Tanah (“Tim IP4T”) untuk
menentukan keberadaan masyarakat hukum adat atau masyarakat yang berada dalam kawasan
tertentu serta tanahnya.
Dalam hal tanah yang dimohon berada di dalam 1 (satu) Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota
membentuk Tim IP4T yang terdiri dari :
c. Lurah/Kepala Desa setempat atau sebutan lain yang disamakan dengan itu sebagai anggota;
e. Unsur Dinas Kabupaten/Kota yang menangani urusan di bidang Kehutanan, Unsur Balai
Pemantapan Kawasan Hutan dan Unsur Dinas/Badan Kabupaten/Kota yang menangani
urusan di bidang tata ruang sebagai anggota, apabila pemohon masyarakat yang berada
dalam Kawasan Hutan;
f. Perwakilan Masyarakat Hukum Adat setempat atau perwakilan masyarakat yang berada
dalam Kawasan Tertentu;
Dalam hal tanah yang dimohon terletak di lintas Kabupaten/Kota, Gubernur membentuk Tim IP4T
yang terdiri dari unsur yang sama seperti di atas, kecuali huruf e diganti dengan Unsur Dinas
Provinsi yang menangani urusan di bidang Kehutanan, Unsur Balai Pemantapan Kawasan Hutan,
dan Unsur Dinas/Badan Provinsi yang menangani urusan di bidang tata ruang sebagai anggota,
apabila pemohon masyarakat yang berada dalam kawasan hutan, serta ditambahkan unsur Kepala
Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional sebagai Ketua merangkap anggota.
Jadi sudah sepatutnya pasal 2 dan pasal 3 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang
Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (“UUPA”) lebih diperhatikan oleh pemerintah khususnya
tentang persyaratan hak ulayat oleh masyarakat adat, jika sudah memenuhi syarat terhadap
masyarakat adat barulah pemerintah melakukan pengadaan tanah untuk kepentingan umum
dilaksanakan dengan pemberian ganti kerugian yang layak dan adil bagi masyarakat adat.
[2.3] Menimbang bahwa Presiden telah menyampaikan keterangan lisan dan tertulis dalam
persidangan Mahkamah tanggal 23 Maret 2020, yang pada pokoknya sebagai berikut:
IV. PETITUM
Berdasarkan seluruh uraian diatas, Pemerintah dan DPR-RI memohon kepada yang
terhomat Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia yang memeriksa
dan memutus Permohonan Pengujian Pasal 9 ayat (1) Dan (2) UU No. 2 Tahun 2012
tentang Pengadaan Tanah bagi kepentingan Umum terhadap UUD NRI 1945 sebagai dapat
memberikan putusan sebagai berikut:
[2.4] Menimbang bahwa Dewan Perwakilan Rakyat telah menyampaikan keterangan lisan
persidangan Mahkamah tanggal 23 Maret 2020 yang pada pokoknya sebagai berikut:
I. UMUM
Sesuai dengan ketentuan pasal 51 Ayat (1) Undang-undang Nomor24 Tahun 2003 Tentang
Mahkamah konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011
menyatakan bahwa pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/ atau kewenangan hak
konstitusinya dirugikan oleh berlakunya Unang-Undang, yaitu:
A. Perorangan warga Negara Indonesia
B. Kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan
masyarakat dan prinsip Negara kesatuan Republik Indonesia yang diatur didalam undang-
undang.
C. Badan hukum public atau privat, atau
D. Lembaga Negara
Ketentuan di atas dipertegas dalam penjelasannya bahwa yang dimaksud dengan hak
konstitusional adalah hak-hak yang diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945, maka terlebih
dahulu harus menjelaskan dan mebuktikan, kualifikasinya dalam permohonan a quo sebagaimana
disebut dalam pasal 51 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2003 Tentang mahkamah
konstitusi sebagaimana telah diubah dengan undang-undang Nomor 8 Tahun2011 yakni:
A. Hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dalam kualifikasi dimaksud yang dianggap
telah dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang yang diuji.
B. Kerugian hakdan/atau kewenangan konstitusonal pemohon sebagai akibat Berlakunya
Undang-Undang yang dimohonkan pengujian.
Lebih lanjut Mahkamah Konstitusi telah memberikan pengertian dan batasan kumulatif tentang
kerugian hak dan/ atau kewenangan konstitusional yang timbul karena berlakunya suatu undang-
undang sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun
2011, maupun berdasarkan putusan-putusan Mahkamah Konstitusi terdahulu (vide putusan Nomor
006/UU-III/2005), harus memenuhi 5 syarat, yaitu :
A. Adanya hak konstitusional Pemohon yang diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945.
B. Hak konstitusional Pemohon tersebut dianggap oleh Pemohon tersebut dianggap oleh
Pemohon telah dirugikan oleh suatu Undang-Undang yang diuji.
C. Kerugian konstitusional Pemohon yang dimaksud bersifat spesifik dan actual atau
setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan
terjadi.
D. Adanya hubungan sebab-akibat antara kerugian dan berlakunya Undang-Undang yang
dimohonkan untuk diuji.
E. Adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan, maka kerugian yang
didalilkan tidak akan atau tidak terjadi lagi.
1. Bahwa didalam identitas permohonan yang diajukan oleh Pemohon telah menegaskan
bahwa Pemohon telah mengajukan Permohonan secara perorangan;
2. Bahwa didalam uraian kedudukan Pemohon (Legal Standing) Paragraf 2, Pemohon
menjelaskan bahwa ia mewakili Badan Hukum Privat dalam mengajukan permohonan;
3. Bahwa pemohon tidak menjelaskan ataupun memberikan landasan bahwa ia merupakan
perwakilan dari Badan Hukum Privat tersebut;
4. Bahwa berdasarkan uraian diatas dapat dilihat bahwa kedudukan hukum (legal standing)
pemohon masih dipertanyakn atau belum jelas sehingga permohonan yang diajukan
pemohon harus ditolak oleh majelis hakim mahkamah konstitusi.
Atas hal-hal tersebut diatas kiranya perlu dipertanyakan kepenting pemohon, apakah sudah
tepat sebagai pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan atas
ketentuan pasal dalam Udang-Undang . Terhadap kedudukan hukum pemohon, pemerintah
menyerahkan sepenuhnya Mahkamah untuk menilai dan memutuskannya.
PEMBANGUNAN.
Bahwa dalam permohonan yang dimohonkan pemohon menyatakan rumusan Pasal 9 ayat
(1) dam (2) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 Tentang pengadaan Tanah bagi pembagunan
merugikan hak konstitusional Pemohon,dengan alasan yang pada pokoknya sebagai berikut:
2012 pasal 9 ayat (1) dan (2) yang menyatakan: Ayat (1) “ penyelenggaraan pengadaan
untuk kepentingan umum dilaksanakan dengan pemberian gamti kerugian yang layak dan
adil”.
2. Bahwa ketentuan pada pasal 9 Ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012
tentang pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepetingan umum, telah merugikan hak
konstitusional pemohon dimana hak ulayat pemohon yang merupakan tanah adat diambil
dan ganti rugi yang diberikan tidak layak dan adil bagi pemohon karena frasa “layak dan
3. Bahwa frasa “Pengadaan tanah bagi kepentingan umum” memiliki arti pembangunan
tersebut dilakukan untuk kepentimgan umum masyarakat termasuk masyarakat adat tanpa
4. bahwa dengan diberlakukannya ketentuan dalam pasal 9 ayat (1) dan (2) UU No 2 Tahun
2012 tentang pengadaan tanah bagi pembangunan memperlihatkan bahwa Negara tidak
menghormati hak-hak tradisional dari masyarakat adat itu sendiri seperti yang telah diakui
terdapat dalam kesatuan pasal 18B ayat (2) UUD NRI 1945 yang berbunyi: “Negara
tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan
prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam Undang- Undang.”
2. Bahwa masyarakat hukum adat memiliki hak-hak tradisional mereka dimana salah satunya
adalah hak ulayat atas tanah adat mereka yang tidak bias diganggu gugat.
Tahun 2012 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan adalah sebagai berikut:
A. Bahwa dalam rangka mewujudkan masyarakat yang adil, makmur, dan sejahtera
pembangunan;
kepentingan umum.
Yang lebih lengkap, terperinci dan menyeluruh sehubungan dengan anggapa DPR mengenai
argumen-argumen para pemohon dalam permohonannya DPR menyatakan tidak setuju atas
I. Bahwa terhadap dalil pemohon yang menyatakan bentuk kerugian konstitusional yang
dialami oleh pemohon disebabkan karena berlakunya norma undang-undang, pasal 9 ayat
(1) dan (2) Undang-Undang No 2 tahun 2012 Tentang Pengadaan Tanah Bagi
pembangunan. Menurut pemohon dalam permohonannya, pasal 9 ayat (1) dan (2) dan
Bertentangan dengan pasal 18B ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia. Menurut pemohon pasal 9 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 2 Tahun
2012 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan yang menyatakan Ayat (1)
Kerugian yang layak dan adil. ketentuan tersebut memperlihatkan bahwa Negara tidak
menghormati hak-hak tradisional dari masyarakat adat itu sendiri kerena Pasal 18B ayat
(2) UUD NRI 1945 menyatakan “ Negara mengakui dan mengormati kesatuan-kesatuan
masyarakat adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan
perkembangan masyarakat dan prinsip Negara kesatuan Republik Indonesia , yang diatur
dalam Undang-Undang.
II. Bahwa apabila melihat ketentuan pasal 1 ayat (2) Undang-Undang No. 2 Tahun 2012
tentang pengadaan tanah bagi pembangunan yang menyatakan “ Pengadaan Tanah adalah
kegiatan menyediakan tanah dengan cara memberi ganti rugi yang layak dan adil kepada
pihak yang berhak. Dalam pasal ini besarnya ganti rugi ialah sebesar kerugian nyata yang
diderita kreditur yang menyebabkan timbulnya kekurangan nilai keuntungan yang akan
diperolehnya.
III. Bahwa apabila melihat ketentuan pasal 3 Udang-Undang no 2 Tahun 2012 Tentang
tetap menjamin kepentingan hukum pihak yang berhak ”. Maka tujuan dari pasal ini guna
meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran bangsa Negara dan masyarakat dengan tetap
IV. Bahwa apabila melihat ketentuan pasal 5 Undang-Undang no 2 Tahun 2012 Tentang
pengadaan tanah bagi pembangunan yang menyatakan “ pihak yang Berhak wajib
melepaskan tanahnya pada saat pelaksaan pengadaan Tanah untuk kepentingan umum
setelah pemberian Ganti Kerugian atau berdasarkan putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap. Jadi sebelum ada kesepakatan mengenai ganti kerugian
dan belum ada pemberian ganti kerugian, sesorang tidak wajib melepaskan tanahnya.
V. PETITUM
Bahwa berdasarkan hal-hal tersebut diatas, DPR memohon kepada yang terhormat Majelis
Hakim Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia yang memeriksa dan memutus permohonan
pengujian pasal 9 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 Tentang Pengadaan
3. Menyatakan pasal 9 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 Tentang
Apabila Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi berpendapat lain, maka kami memohon
VI. KESIMPULAN
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, DPR memohon kepada yang terhornat Ketua Majelis
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia yang memeriksa dan memutus permohonan pengujian
pasal 9 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 Tentang Pengadaan Tanah
Bagi Pembagunan ;
Menyatakan pasal 9 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 Tentang
Menyatakan pasal 9 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 Tentangan
Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan tetapi mempunyai kekuatan hukum dan tetap
[2.5] Menimbang bahwa untuk menguatkan dalilnya, Termohon telah mengajukan alat bukti
surat/tulisan yang diberi tanda bukti T-1 sebagai berikut :
1. Bukti T-1 : Risalah Sidang Perumusan Undang-Undang Nomor 2 Tahun
2012
[2.6] Menimbang bahwa untuk mempersingkat uraian dalam putusan ini, segala sesuatu yang terjadi
di persidangan merujuk berita acara persidangan, yang merupakan suatu kesatuan yang tidak
terpisahkan dengan putusan ini;
3. PERTIMBANGAN HUKUM
Menimbang bahwa isu hukum utama permohonan pemohon adalah memohon pengujian
konstitusionalitas pasal 9 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang
Pengadaan Tanah bagi Pembangunan. Menurut pemohon, pasal 9 ayat (1) dan (2) betentangan
dengan pasal dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945, (selanjutnya
disebut UUD1945), yang menyatakan sebagai berikut:
Kewenangan Mahkamah
[3.1] Bahwa berdasarkan Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945, Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-UndangNomor 8 Tahun 2011 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Taahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5226, selanjutnya disebut UU MK), serta Pasal 29 ayat (1) huruf a
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5076, selanjutnya disebut UU Kekuasaan Kehakiman, salah satu kewenangan
konstitusional Mahkamah adalah mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya
bersifat final untuk menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar;
[3.2] Bahwa Pasal 51 ayat (1) UU MK juncto Pasal 3 PMK PUU menyatakan bahwa Pemohon adalah
pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya
Undang-Undang yaitu:
a. perseorangan warga negara Indonesia;
b. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai
dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik
Indonesia yang diatur dalam undang-undang;
c. badan hukum public atau privat;
d. lembaga negara
Dengan demikian, Pemohon dalam pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar
1945 harus menjelaskan dan membuktikan terlebih dahulu;
a. kedudukannya sebagai pemohon sebagaimana dimaksud dalam pasal 51
ayat (1) UU MK;
b. kerugian Hak dan/atau kewenangan konstitusional yang diberikan oleh
UUD 1945 yang diakibatkan oleh berlakunya Undang-Undang yang
dimohonkan pengujian;
[3.3] Bahwa berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 006/PUU-III/2005 dan putusan-putusan
Mahkamah Konstitusi yang hadir berikutnya, Mahkamah Konstitusi telah menentukan 5 (lima)
syarat mengenai kerugian konstitusional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK,
yakni sebagai berikut:
a. harus ada hak dan/atau kewenangan konstitusional Para Pemohon yang
diberikan oleh UUD 1945
b. hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut dianggap telah dirugikan
oleh berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian
c. kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut bersifat spesifik
dan actual, setidak-tidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran
yang wajar dapat dipastikan akan terjadi;
d. ada hubungan sebab akibat (casual verband) antara kerugian hak dan/atau
kewenangan konstitusional dengan Undang-Undang yang dimohonkan
pengujian; dan
e. ada kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan, maka
kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang didalilkan tidak
akan atau tidak lagi terjadi.
[3.4] Bahwa berdasarkan uraian yang diajukan Pemohon pada permohonan sebelumnya, menurut
Mahkamah Pemohon memiliki kedudukan hukum dalam Permohonan a quo sebagai perseorangan
warga negara Indonesia berdasarkan; Kartu Tanda Penduduk (KTP) yang dikeluarkan oleh Kantor
Catatan Sipil Kabupaten Penajam Paser Utara.
[3.5] Menimbang bahwa oleh karena Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo dan pemohon
memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan permohonan a quo maka
selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan pokok permohonan,
Pokok Permohonan
[3.6] 18B bahwa Pemohon mengajukan Uji Materil (Judicial Review) terhadap pasal 9 ayat (1) dan (2)
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan yang
menyatakan;
Ayat (1):
“Penyelenggaraan Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum memperhatikan keseimbangan
antara kepentingan pembangunan dan kepentingan masyarakat.”
Ayat (2):
“Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum dilaksanakan dengan pemberian ganti kerugian
yang layak dan adi1.”
Bahwa alasan Pemohon mengajukan permohonan a quo pada pokoknya sebagai berikut:
1. Bahwa kesatuan masyarakat adat diakui dan dihormati Haknya sebagaimana yang terdapat dialam
ketentuan Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 yang berbunyi: “Negara mengakui dan menghormati
kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih
hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik
Indonesia, yang diatur dalam Undang-Undang.”;
2. Bahwa masyarakat hukum adat memiliki hak-hak tradisional salah satunya adalah hak ulayat atas
tanah adat mereka yang tidak bisa diganggu gugat;
3. Bahwa menurut G. Kertasapoetra dalam bukunya “Hukum Tanah”, jaminan Undang-Undang
Pokok Agraria bagi keberhasilan pendayagunaan tanah menyatakan bahwa : “Hak ulayat
merupakan hak tertinggi atas tanah yang dimiliki oleh suatu persekutuan hukum (desa dan suku)
untuk menjamin ketertiban, pemanfaatan/ pendayagunaan tanah yang pelaksanaanya diatur oleh
ketua persekutuan (kepala suku atau kepala desa yang bersangkutan).”
4. Bahwa masyarakat adat dayak menggunakan hak ulayat atas tanah adat mereka untuk
melangsungkan kehidupan mereka yang kesehariannya menggunakan tanah sebagai roda
kehidupan;
5. Bahwa berdasarkan uraian diatas, hak ulayat atas tanah adat harus diakui negara sebagai hak-hak
tradisional masyarakat hukum adat dalam kondisi apapun;
6. Bahwa penyelenggaraan pengadaan tanah untuk kepentingan umum yang dilakukan untuk
pemindahan ibukota tidak memperhatikan keseimbangan antara kepentingan pembangunan dan
kepentingan masyarakat sehingga keyataan yang ada tidak sesuai dengan esensi Pasal 9 ayat 1
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012;
7. Bahwa frasa “layak dan adil” di dalam Pasal 9 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012
Tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum, sulit untuk
didefinisikan antara ganti rugi masyarakat biasa dengan masyarakat hukum adat;
8. Bahwa dengan adanya ketentuan dalam Pasal 9 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012
tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum akan menimbulkan
kerugian bagi masyarakat adat dayak;
9. Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka ketentuan Pasal 9 Ayat (1) dan (2) tentang Pengadaan
Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum bertentangan dengan Pasal 18B Ayat (2)
UUD 1945.
10. Maka berdasarkan uraian tersebut Pemohon memohon kepada Yang Mulia Majelis Hakim
Konstitusi untuk menyatakan Pasal 9 Ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012
tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum dinyatakan
bertentangan dengan UUD 1945 dan untuk melakukan Pengujian Materil atas Pasal 9 Ayat (1)
dan (2) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan
Untuk Kepentingan Umum terhadap Pasal 18B Ayat 2 UUD 1945.
[3.7] Menimbang bahwa Mahkamah telah memeriksa bukti-bukti tertulis yang diajukan oleh pemohon
yang diberi tanda bukti P-1 sampai dengan bukti P-8;
[3.8] Menimbang bahwa Mahkamah telah memeriksa bukti-bukti tertulis yang diajukan oleh termohon
yang diberi tanda T-1
[3.9]Menimbang bahwa Mahkamah telah mendengar keterangan ahli Pemohon Prof. Muhammad Vidi,
S.H, M.H., Prof. Moch Oka Mas Agung, S.H, M.H., Prof. Dr. Mardiahati Marbun, S.H.,M.H.
sebagaimana selengkapnya termuat dalam bagian duduk perkara;
[3.10] Menimbang bahwa Mahkamah telah mendengar keterangan Presiden sebagaimana selengkapnya
termuat dalam bagian duduk perkara;
[3.11] Menimbang bahwa Mahkamah telah mendengar keterangan DPR, sebagaimana selengkapnya
termuat dalam bagian duduk perkara;
[3.12] Menimbang bahwa setelah memeriksa dengan seksama bukti-bukti Pemohon dan mendengar
keterangan pihak-pihak sebagaimana disebutkan dalam paragraph [3.9] , [3.10] dan [3.11] di atas,
Mahkamah memberikan pertimbangan sebagai berikut.
[3.14] Bahwa pokok permasalahan konstitusionalitas yang dipersoalkan oleh Pemohon adalah apakah
ketentuan Pasal 9 Ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan
Tanah bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum menimbulkan ketidakadilan, diskriminatif,
ketidakpastian hukum, dan karenanya bertentangan dengan UUD 1945
[3.15] Menimbang bahwa dari seluruh uraian pertimbangan diatas, Mahkamah berpendapat bahwa
demi mewujudkan keadilan dan memberikan kepastian hukum kepada seluruh warga negara
Indonesia sebagai pelaksanaan pasal 18C ayat (2), pasal 27 ayat (1), Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D
ayat (1) dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945, dan juga menjunjung asa equality before the law maka
menurut Mahkamah ketentuan Pasal 9 Ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012
tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum tentang Paten tidak
berlaku dan tidakmempunyai kekuatan hukum tetap. Argumentasi Mahkamah tersebut juga
didasarkan pada pertimbangan bahwa oleh karena Pasal 9 ayat (1) dan ayat (2) a quo.
[3.16] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh uraian pertimbangan tersebut diatas, menurut
Mahkamah, permohonan Pemohon beralasan menurut hukum.
4. KONKLUSI
Berdasarkan penilaian atas fakta dan hukum sebagaimana diuraikan di atas, Mahkamah
berkesimpulan bahwa:
AMAR PUTUSAN
Mengadili,
1. Mengabulkan permohonan pemohon untuk seluruhnya;
2. Menyatakan Pasal 9 Ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang
Pengadaan Tanah bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2012 Nomor 22, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5280
bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak
mempunyai kekuatan hukum mengikat;
3. Memerintahkan pemutusan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana
mestinya
Demikian diputuskan dalam Rapat Permusyawaratan Hakim oleh Sembilan Hakim
Konstitusi, yaitu Ahmad Habibullah selaku Ketua merangkap anggota, Muhammad Abduh Ikrar,
Gilang Permata Sari, Hilman Mursidi, Septia Dewanti, Eko Satrio Widyanto Nugroho, Aulia
Jonanda Harlis, Dicky Feby, Albert Wilton Panjaitan, masing-masing sebagai Anggota pada hari
Senin, tanggal Dua bulan April, tahun Dua Ribu Delapan Belas, yang diucapkan dalam siding
pleno Mahkamah Konstitusi terbuka untuk umum pada hari Rabu, tanggal Satu, bulan April,
tahun Dua Ribu Dua Puluh, selesai diucapkan pukul 11.15 WIB, oleh Sembilan Hakim
Konstitusi, yaitu Ahmad Habibullah selaku Ketua merangkap anggota, Muhammad Abduh Ikrar,
Gilang Permata Sari, Hilman Mursidi, Septia Dewanti, Eko Satrio Widyanto Nugroho, Aulia
Jonanda Harlis, Dicky Feby, Albert Wilton Panjaitan, masing-masing sebagai Anggota, dengan
didampingi oleh Renata Disyacitta sebagai Panitera Pengganti, dihadiri oleh Pemohon atau
kuasanya, Presiden atau yang mewakili, Dewan Perwakilan Rakyat atau yang mewakili.
KETUA
Ahmad Habibullah
ANGGOTA – ANGGOTA
PANITERA PENGGANTI
Renata Disyacitta