Anda di halaman 1dari 23

LAPORAN PENDAHULUAN EPILEPSI

A. Defenisi
Epilepsi adalah penyakit serebral kronik dengan karekteristik kejang
berulang akibat lepasnya muatan listrik otak yang berlebihan dan bersivat
reversibel (Tarwoto, 2007).
Epilepsi adalah gangguan kronik otak dengan ciri timbulnya gejala-gejala
yang datang dalam serangan-serangan, berulang-ulang yang disebabkan lepas
muatan listrik abnormal sel-sel saraf otak, yang bersifat reversibel dengan
berbagai etiologi (Arif, 2000).
Sedangakan defenisi epilepsi oleh Hugling Jakson masih tetap bertahan
sejak abad ke-19 Epilepsi merupakan istilah untuk cetusan listrik lokal pada
substansia grisea otak yang terjadi sewaktu-waktu mendadak dan sangat cepat
(ginsberg, 2005).
Dari defenisi diatas dapat disimpulkan bahwa epilepsi merupakan penyakit
serebral kronik dimana terjadinya cetusan listrik atau lepasnya muatan listrik
lokal pada substansia grisea otak dengan karakteristik gejala berupa kejang
berulang.
B. Etiologi
Penyebab pada kejang epilepsi sebagian besar belum diketahui (idiopatik),
sering terjadi pada:
1. Trauma lahir, asphyxia neonatorum
2. Cedera Kepala, infeksi sistem syaraf
3. Keracunan CO, intoksikasi obat/alkohol
4. Demam, ganguan metabolik (hipoglikemia, hipokalsemia, hiponatremia)
5. Tumor otak
6. Kelainan pembuluh darah (Tarwoto, 2007)

Faktor etiologi berpengaruh terhadap penentuan prognosis.


Penyebab utama ialah epilepsi idopatik, Remote Simtomatik Epilepsi
(RSE), epilepsi simtomatik akut dan epilepsi pada anak-anak yang didasari
oleh kerusakan otak pada saat peri- atau antenatal. Dalam klasifikasi
tersebut ada dua jenis epilepsi menonjol, ialah epilepsi idiopatik dan RSE
dari kedua tersebut terdapat banyak etiologi dan sindrom yang berbeda,
masing-masing dengan prognosis yang baik dan yang buruk. Dipandang
dari kemungkinan terjadinya bangkitan ulang pasca-awitan, definisi
neurologik dalam kaitannya dengan umur saat awitan mempunyai nilai
prediksi sebagai berikut:

Apabila pada saat lahir telah terjadi defisit neurologik maka dalam
waktu 12 bulan pertama seluruh kasus akan mengalami bangkitan ulang,
apabila defisit neurologik terjadi pada saat pascalahir maka resiko
terjadinya bangkitan ulang adalah 75% pada 12 bulan pertama dan 85%
dalam 36 bulan pertama kecuali bangkitan pertama yang terjadi pada saat
terkena gangguan otak akut akan mempunyai resiko 40% dalam 12 bulan
pertama dan 36 bulan pertama untuk terjadinya bangkitan ulang. Secara
keseluruhan resiko untuk terjadinya bangkitan ulang tidak konstan.
Sebagian besar kasus menunjukan bangkitan ulang dalam waktu 6 bulan
pertama.

Perubahan bisa terjadi pada awal saat otak janin mulai berkembang,
yakni pada bulan pertama dan kedua kehamilan. Dapat pula diakibatkan
adanya gangguan pada ibu hamil muda seperti infeksi, demam tinggi,
kurang gizi (malnutrisi) yang bisa menimbulkan bekas berupa kerentanan
untuk terjadinya kejang. Proses persalinan yang sulit, persalinan kurang
bulan atau telat bulan (serotinus) mengakibatkan otak janin sempat
mengalami kekurangan zat asam dan ini berpotensi menjadi ''embrio''
epilepsi bahkan bayi yang tidak segera menangis saat lahir atau adanya
gangguan pada otak seperti infeksi/ radang otak dan selaput otak, cedera
karena benturan fisik/ trauma serta adanya tumor otak atau kelainan
pembuluh darah otak juga memberikan kontribusi terjadinya epilepsi.
Tabel 01. Penyebab- penyebab kejang pada epilepsi
Bayi (0- 2 th) Hipoksia dan iskemia paranatal
Cedera lahir intrakranial
Infeksi akut
Gangguan metabolik (hipoglikemia, hipokalsemia,
hipomagnesmia, defisiensi piridoksin)
Malformasi kongenital
Gangguan genetic
Anak (2- 12 th) Idiopatik
Infeksi akut
Trauma
Kejang demam
Remaja (12- 18 th) Idiopatik
Trauma
Gejala putus obat dan alcohol
Malformasi anteriovena
Dewasa Muda (18- 35 th) Trauma
Alkoholisme
Tumor otak
Dewasa lanjut (> 35) Tumor otak
Penyakit serebrovaskular
Gangguan metabolik (uremia, gagal hepatik, dll )
Alkoholisme

C. Klasifikasi
Epilepsi diklasifikasikan menjadi dua pokok umum yaitu klasifikasi
epilepsi dengan sindrom epilepsi dan klasifikasi berdasarkan tipe kejang
1. klasifikasi epilepsi dan sindrom epilepsi
Berdasarkan penyebab
a. Epilepsi idiopatik: bila tidak diketahui penyebabnya, epilepsi pada anak
dengan paroksimal oksipital
b. Simtomatik: bila ada penyebabnya, letak fokus pada pada semua lobus
otak
2. klasifikasi tipe kejang epilepsi (browne, 2008)
a. Epilepsi kejang parsial (lokal, fokal)
1. Epilepsi parsial sederhana, yaitu epilepsi parsial dengan kesadaran
tetap normal
Dengan gejala motorik:
 Fokal motorik tidak menjalar: epilepsi terbatas pada satu bagian
tubuh saja
 Fokal motorik menjalar: epilepsi dimulai dari satu bagian tubuh
dan menjalar meluas ke daerah lain. Disebut juga epilepsi
Jackson.
 Versif: epilepsi disertai gerakan memutar kepala, mata, tuibuh.
 Postural: epilepsi disertai dengan lengan atau tungkai kaku dalam
sikap tertentu
 Disertai gangguan fonasi: epilepsi disertai arus bicara yang
terhenti atau pasien mengeluarkan bunyi-bunyi tertentu
Dengan gejala somatosensoris atau sensoris spesial (epilepsi
disertai halusinasi sederhana yang mengenai kelima panca indera
dan bangkitan yang disertai vertigo).
 Somatosensoris: timbul rasa kesemuatan atau seperti ditusuk-
tusuk jarum.
 Visual: terlihat cahaya
 Auditoris: terdengar sesuatu
 Olfaktoris: terhidu sesuatu
 Gustatoris: terkecap sesuatu
 Disertai vertigo
Dengan gejala atau tanda gangguan saraf otonom (sensasi
epigastrium, pucat, berkeringat, membera, piloereksi, dilatasi
pupil).
Dengan gejala psikis (gangguan fungsi luhur)
 Disfagia: gangguan bicara, misalnya mengulang suatu suku kata,
kata atau bagian kalimat.
 Dimensia: gangguan proses ingatan misalnya merasa seperti
sudah mengalami, mendengar, melihat, atau sebaliknya. Mungkin
mendadak mengingat suatu peristiwa di masa lalu, merasa seperti
melihatnya lagi.
 Kognitif: gangguan orientasi waktu, merasa diri berubah.
 Afektif : merasa sangat senang, susah, marah, takut.
 Ilusi: perubahan persepsi benda yang dilihat tampak lebih kecil
atau lebih besar.
 Halusinasi kompleks (berstruktur): mendengar ada yang bicara,
musik, melihat suatu fenomena tertentu, dll.
b. Epilepsi parsial kompleks, yaitu kejang disertai gangguan kesadaran.
Serangan parsial sederhana diikuti gangguan kesadaran : kesadaran
mula-mula baik kemudian baru menurun.
 Dengan gejala parsial sederhana A1-A4. Gejala-gejala seperti pada
golongan A1-A4 diikuti dengan menurunnya kesadaran.
 Dengan automatisme. Yaitu gerakan-gerakan, perilaku yang timbul
dengan sendirinya, misalnya gerakan mengunyah, menelan, raut
muka berubah seringkali seperti ketakutan, menata sesuatu,
memegang kancing baju, berjalan, mengembara tak menentu, dll.
Dengan penurunan kesadaran sejak serangan; kesadaran menurun
sejak permulaan kesadaran.
 Hanya dengan penurunan kesadaran
 Dengan automatisme
c. Epilepsi Parsial yang berkembang menjadi bangkitan umum (tonik-
klonik, tonik, klonik).
Epilepsi parsial sederhana yang berkembang menjadi bangkitan umum.
Epilepsi parsial kompleks yang berkembang menjadi bangkitan umum.
Epilepsi parsial sederhana yang menjadi bangkitan parsial kompleks lalu
berkembang menjadi bangkitan umum.

1. Epilepsi kejang umum


a. Lena Atau Kejang absant (Petit mal)
Lena khas (tipical absence)
Pada epilepsi ini, kegiatan yang sedang dikerjakan terhenti, muka
tampak membengong, bola mata dapat memutar ke atas, tak ada reaksi
bila diajak bicara. Biasanya epilepsi ini berlangsung selama ¼ – ½
menit dan biasanya dijumpai pada anak.
 Hanya penurunan kesadaran
 Dengan komponen klonik ringan. Gerakan klonis ringan, biasanya
dijumpai pada kelopak mata atas, sudut mulut, atau otot-otot lainnya
bilateral.
 Dengan komponen atonik. Pada epilepsi ini dijumpai otot-otot leher,
lengan, tangan, tubuh mendadak melemas sehingga tampak
mengulai.
 Dengan komponen klonik. Pada epilepsi ini, dijumpai otot-otot
ekstremitas, leher atau punggung mendadak mengejang, kepala,
badan menjadi melengkung ke belakang, lengan dapat mengetul atau
mengedang.
 Dengan automatisme
 Dengan komponen autonom.
Lena tak khas (atipical absence)
Dapat disertai:
 Gangguan tonus yang lebih jelas.
 Permulaan dan berakhirnya bangkitan tidak mendadak.
b. Grand Mal
Kejang mioklonik
Pada epilepsi mioklonik terjadi kontraksi mendadak, sebentar, dapat
kuat atau lemah sebagian otot atau semua otot, seringkali atau berulang-
ulang. Bangkitan ini dapat dijumpai pada semua umur.

Kejang klonik
Pada epilepsi ini tidak terjadi gerakan menyentak, repetitif,
tajam, lambat, dan tunggal multiple di lengan, tungkai atau torso.
Dijumpai terutama sekali pada anak.
Kejang tonik
Pada epilepsi ini tidak ada komponen klonik, otot-otot
hanya menjadi kaku pada wajah dan bagian tubuh bagian atas,
flaksi lengan dan ekstensi tungkai. Epilepsi ini juga terjadi pada
anak.
Kejang tonik- klonik
Epilepsi ini sering dijumpai pada umur di atas balita yang
terkenal dengan nama grand mal. Serangan dapat diawali dengan
aura, yaitu tanda-tanda yang mendahului suatu epilepsi. Pasien
mendadak jatuh pingsan, otot-otot seluruh badan kaku. Kejang
kaku berlangsung kira-kira ¼ – ½ menit diikutti kejang kejang
kelojot seluruh tubuh. Bangkitan ini biasanya berhenti sendiri.
Tarikan napas menjadi dalam beberapa saat lamanya. Bila
pembentukan ludah ketika kejang meningkat, mulut menjadi
berbusa karena hembusan napas. Mungkin pula pasien kencing
ketika mendapat serangan. Setelah kejang berhenti pasien tidur
beberapa lamanya, dapat pula bangun dengan kesadaran yang
masih rendah, atau langsung menjadi sadar dengan keluhan badan
pegal-pegal, lelah, nyeri kepala.
Kejang atonik
Pada keadaan ini otot-otot seluruh badan mendadak
melemas sehingga pasien terjatuh. Kesadaran dapat tetap baik atau
menurun sebentar. Epilepsi ini terutama sekali dijumpai pada anak.
2. Epilepsi kejang tak tergolongkan
Termasuk golongan ini ialah bangkitan pada bayi berupa gerakan
bola mata yang ritmik, mengunyah, gerakan seperti berenang,
menggigil, atau pernapasan yang mendadak berhenti sederhana.

D. Manifestasi klinis
Menurut (Tucker, 1998 : 432 ) manifestasi klinis epilepsi sebagai berikut:   
1. Kehilangan kesadaran
2. Aktivitas motorik
a. Tonik klonik
b. Gerakan sentakan, tepukan atau menggarau
c. Kontraksi singkat dan mendadak disekelompok otot
d. Kedipan kelopak mata
e. Sentakan wajah
f. Bibir mengecap – ecap
g. Kepala dan mata menyimpang ke satu sisi
3. Fungsi pernafasan
a. Takipnea
b. Apnea
c. Kesulitan bernafas
d. Jalan nafas tersumbat
Sedangkan manifestasi klinik berdasarkan proses terjadinya keadaan
epilepsi yang dialami pada penderitagejala yang timbul berturut-turut
meliputi di saat serangan, penyandang epilepsi tidak dapat bicara secara
tiba-tiba. Kesadaran menghilang dan tidak mampu bereaksi terhadap
rangsangan. Tidak ada respon terhadap rangsangan baik rangsang
pendengaran, penglihatan, maupun rangsang nyeri. Badan tertarik ke
segala penjuru. Kedua lengan dan tangannya kejang, sementara tungkainya
menendang-nendang. Gigi geliginya terkancing. Hitam bola mata
berputar-putar. Dari liang mulut keluar busa. Napasnya sesak dan jantung
berdebar. Raut mukanya pucat dan badannya berlumuran keringat.
Terkadang diikuti dengan buang air kecil. Manifestasi tersebut
dimungkinkan karena terdapat sekelompok sel-sel otak yang secara
spontan, di luar kehendak, tiba-tiba melepaskan muatan listrik.

E. Patofisiologi
Kejang terjadi akibat lepas muatan paroksismal yang berlebihan dari
sebuah fokus kejang atau dari jaringan normal yang terganggu akibat suatu
keadaan patologik. Aktivitas kejang sebagian bergantung pada lokasi muatan
yang berlebihan tersebut. Lesi di otak tengah, talamus, dan korteks serebrum
kemungkinan besar bersifat apileptogenik, sedangkan lesi di serebrum dan
batang otak umumnya tidak memicu kejang.
Di tingkat membran sel, sel fokus kejang memperlihatkan beberapa fenomena
biokimiawi, termasuk yang berikut :
1. Instabilitas membran sel saraf, sehingga sel lebih mudah mengalami
pengaktifan.
2. Neuron-neuron hipersensitif dengan ambang untuk melepaskan muatan
menurun dan apabila terpicu akan melepaskan muatan menurun secara
berlebihan.
3. Kelainan polarisasi (polarisasi berlebihan, hipopolarisasi, atau selang
waktu dalam repolarisasi) yang disebabkan oleh kelebihan asetilkolin atau
defisiensi asam gama-aminobutirat (GABA).
4. Ketidakseimbangan ion yang mengubah keseimbangan asam-basa atau
elektrolit, yang mengganggu homeostatis kimiawi neuron sehingga terjadi
kelainan depolarisasi neuron. Gangguan keseimbangan ini menyebabkan
peningkatan berlebihan neurotransmitter aksitatorik atau deplesi
neurotransmitter inhibitorik.
Perubahan-perubahan metabolik yang terjadi selama dan segera setelah
kejang sebagian disebabkan oleh meningkatkannya kebutuhan energi akibat
hiperaktivitas neuron. Selama kejang, kebutuhan metabolik secara drastis
meningkat, lepas muatan listrik sel-sel saraf motorik dapat meningkat
menjadi 1000 per detik. Aliran darah otak meningkat, demikian juga respirasi
dan glikolisis jaringan. Asetilkolin muncul di cairan serebrospinalis (CSS)
selama dan setelah kejang. Asam glutamat mungkin mengalami deplesi
selama aktivitas kejang .

Secara umum, tidak dijumpai kelainan yang nyata pada autopsi. Bukti
histopatologik menunjang hipotesis bahwa lesi lebih bersifat neurokimiawi
bukan struktural. Belum ada faktor patologik yang secara konsisten
ditemukan. Kelainan fokal pada metabolisme kalium dan asetilkolin dijumpai
di antara kejang. Fokus kejang tampaknya sangat peka terhadap asetikolin,
suatu neurotransmitter fasilitatorik, fokus-fokus tersebut lambat mengikat dan
menyingkirkan asetilkolin

F. Pathway

Idiopatik, herediter,
Ketidakseimbangan aliran
trauma kelahiran, infeksi
listrik pada sel saraf
perinatal, meningitis, dll
Sistem saraf

Epilepsi

Petitmal Akimetis Myolonik

Hilang tonus otot Keadaaan lemah Kontraksi tidak sadar


dan tidak sadar yang mendadak
Hambatan mobilitas fisik
Aktivitas kejang

Perubahan proses keluarga Hipoksia Jatuh

Kerusakan memori Resiko cedera


Perubahan status
kesehatan Ketidakmampuan
Ketidakefektifan
Isolasi sosial keluarga mengambil
koping keluarga
tindakan yang tepat

Penyakit kronik
Ansietas
Pengobatan,

Kurang pengetahuan keperawatan terbatas Psikomotor


penatalaksanaan kejang

Gangguan neurologis Gangguan respiratori


Gangguan perkembangan

Grandmal
HDR

Hilang kesadaran Spasme otot pernapasan

Ketidakefektifan Obstruksi trakheobronkial


bersihan jalan nafas

G. Penatalaksanaan
Menurut Elizabeth, 2001 : 174 penatalaksaan epilepsi yaitu:
1. Atasi penyebab dari kejang
2. Tersedia obat – obat yang dapat mengurangi frekuensi kejang yang
didalam seseorang
a. Anti konvulson
b. Sedatif
c. Barbirorat
Obat yang dapat mencegah serangan epilepsi
 fenitoin (difenilhidantoin)
 karbamazepin
 fenobarbital dan asam valproik
Dalam memberikan terapi anti epilepsi yang perlu diingat sasaran
pengobatan yang dicapai, yakni:
 Pengobatan harus di berikan sampai penderita bebas serangan.
 Pengobatan hendaknya tidak mengganggu fungsi susunan syaraf
pusat yang normal.
 Penderita dapat memiliki kualitas hidup yang optimal.
3. Operasi dengan reseksi bagian yang mudah terangsang
4. Menaggulangi kejang epilepsi
a. Selama kejang
1. Berikan privasi dan perlindungan pada pasien dari penonton yang
ingin tahu
2. Mengamankan pasien di lantai jika memungkinkan
3. Hindarkan benturan kepala atau bagian tubuh lainnya dari bendar
keras, tajam atau panas. Jauhkan ia dari tempat / benda berbahaya.
4. Longgarkan baju . Bila mungkin, miringkan kepalanya kesamping
untuk mencegah lidahnya menutupi jalan pernapasan.
5. Biarkan kejang berlangsung. Jangan memasukkan benda keras
diantara giginya, karena dapat mengakibatkan gigi patah. Untuk
mencegah gigi klien melukai lidah, dapat diselipkan kain lunak
disela mulut penderita tapi jangan sampai menutupi jalan
pernapasannya.
6. Ajarkan penderita untuk mengenali tanda2 awal munculnya
epilepsi atau yg biasa disebut "aura". Aura ini bisa ditandai dengan
sensasi aneh seperti perasaan bingung, melayang2, tidak fokus pada
aktivitas, mengantuk, dan mendengar bunyi yang melengking di
telinga. Jika Penderita mulai merasakan aura, maka sebaiknya
berhenti melakukan aktivitas apapun pada saat itu dan anjurkan
untuk langsung beristirahat atau tidur.
7. Bila serangan berulang-ulang dalam waktu singkat atau
penyandang terluka berat, bawa ia ke dokter atau rumah sakit
terdekat.
b. Setelah kejang
1. Penderita akan bingung atau mengantuk setelah kejang terjadi.
2. Pertahankan pasien pada salah satu sisi untuk mencegah aspirasi.
Yakinkan bahwa jalan napas paten.
3. Biasanya terdapat periode ekonfusi setelah kejang grand mal
4. Periode apnea pendek dapat terjadi selama atau secara tiba- tiba
setelah kejang
5. Pasien pada saaat bangun, harus diorientasikan terhadap
lingkungan
6. Beri penderita minum untuk mengembalikan energi yg hilang
selama kejang dan biarkan penderita beristirahat.
7. Jika pasien mengalami serangan berat setelah kejang (postiktal),
coba untuk menangani situasi dengan pendekatan yang lembut dan
member restrein yang lembut
8. Laporkan adanya serangan pada kerabat terdekatnya. Ini penting
untuk pemberian pengobatan oleh dokter.
H. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan antara lain:
1. Elektrolit (natrim dan kalium), ketidak seimbangan pada Na+¿¿ dan K +¿¿
dapat berpengaruh atau menjadi predisposisi pada aktivitas kejang
2. Glukosa, hipolegikemia dapat menjadi presipitasi ( percetus ) kejang
3. Ureum atau creatinin, meningkat dapat meningkatkan resiko timbulnya
aktivitas kejang atau mungkin sebagai indikasi nefrofoksik yang
berhubungan dengan pengobatan
4. Sel darah merah, anemia aplestin mungkin sebagai akibat dari therapy obat
5. Kadar obat pada serum : untuk membuktikan batas obat anti epilepsi yang
teurapetik
6. Fungsi lumbal, untuk mendeteksi tekanan abnormal, tanda infeksi,
perdarahan
7. Foto rontgen kepala, untuk mengidentifikasi adanya sel, fraktur
8. DET ( Position Emission Hemography ), mendemonstrasikan perubahan
metabolik
( Dongoes, 2000 : 202 )

A. Konsep Dasar Asuhan Keperawatan


1. Pengkajian
Pengkajian merupakan langkah pertama dari proses keperawatan
dengan mengumpulkan data-data yang akurat dari klien sehingga akan
diketahui berbagai permasalahan yang ada.
Untuk melakukan langkah pertama ini diperlukan pengetahuan dan
kemampuan yang harus dimiliki oleh perawat diantaranya pengetahuan
tentang kebutuhan atau system biopsikososial dan spiritual bagi manusia
yang memandang manusia dari aspek biologis, psikologis, social dan
tinjauan dari aspek spiritual.( Aziz Alimul H, 2004 ).
Pengkajian pada pasien dengan epilepsi antara lain:
a. Anamnesa
Keluhan utama yang sering menjadi alasan klien dibawa ke rumah sakit
adalah terjadinya kejang berulang dan penurunan tingkat kesadaran.
b. Riwayat kesehatan
Riwayat kesehatan sekarang : faktor riwayat penyakit saat ini sangat
penting diketahui karena untuk mengetahui pola dari kejang klien.
Tanyakan dengan jelas tentang gejala yang timbul seperti kapan mulai
serangan, stimulus yang menyebabkan respons kejang, dan seberapa auh
aat kejang dengan respons fisik dan psikologis dari klien.
Tanyakan faktor-faktor yang memungkinkan predisposisi dari serangan
epilepsi, apakah sebelumnya klien pernah mengalami trauma kepala dan
infeksi serta kemana saja klien sudah meminta pertolongan setelah
mengalami keluhan.
Penting juga ditanyakan tentang pemakaian obat sebelunya seperti
pemakaian obat-obatan antikonvulsan, antipiretik dll., dan riwayat
kesehatan masa lalu, riwayat kesehatan keluarga.
c. Riwayat penyakit dahulu
Penyakit yang pernah diderita sebelumnya (apakah mengalami keadaan
yang sama seperti sekarang seperti mengalami kejang berulang).

d. Riwayat kesehatan keluarga


Apakah ada anggota keluarga yang menderita kejang, penyakit saraf, dan
penyakit lainnya.
e. Pengkajian Psiko-sosio-spiritual
Pengkajian mekanisme koping yang digunakan klien juga penting untuk
menulai respons emosi klien terhadap kondisi pascakejang.nsetelah
mengalami kejang klioen sering mengalami perubahan konsep diri yang
maladaptif. Klien akan lebih banyak menarik diri, ketakutan akan
serangan kejang berulang dan depresi akan prognosis dari kondisi yang
akan datang.
1.  Aktivitas dan istirahat
Gejala yaitu keletihan, kelemahan umum, keterbatasan dalam
beraktivitas yang ditimbulkan oleh diri sendiri atau orang lain. Tanda
yaitu perubahan tonus, kekuatan otot, gerakan involunter,  kontraksi
otot atau sekumpulan otot.
2. Sirkulasi.
Gejala yaitu iktal : hipertensi (tekanan darah tinggi), peningkatan nadi,
sianosis, tanda-tanda vital normal atau depresi dengan penurunan nadi
dan pernafasan.
3. Integritas ego.
Gejala yaitu stressor eksternal atau internal yang berhubungan
keadaan dan atau penanganan peka rangsang, perasaan tidak ada
harapan dan tidak berdaya, perubahan dalam berhubungan.Ditandai
dengan pelebaran rentang respon emosional.
4. Eliminasi.
Gejala yaitu inkontinesia, ditandai dengan iktal : peningkatan tekanan
kandung kemih, dan tonus sfingter, postiktal : otot relaksasi yang
mengakibatkan inkontinensia baik urine maupun fekal.
5. Makanan dan cairan.
Gejalanya yaitu sensitivitas terhadap makanan, mual dan muntah yang
berhubungan dengan aktivitas kejang.Ditandai dengan kerusakan
jaringan lunak dan gigi (cedera selama kejang).
6. Neurosensori
Gejalanya yaitu riwayat sakit kepala, kejang berulang, pingsan, pusing
dan memliki riwayat trauma kepala, anoksia, infeksi cerebral, adanya
aura (rangsangan audiovisiual,auditorius, area halusinogenik).
Ditandai dengan kelemahan otot, paralisis, kejang umum, kejang
parsial (kompleks), kejang parsial (sederhana).
7. Nyeri dan kenyamanan
Gejalanya yaitu sakit kepala, nyeri otot, nyeri abnormal paroksismal
selama fase iktal.Ditandai dengan sikap atau tingkah laku yang hati-
hati, distraksi, perubahan tonus otot.
8. Pernafasan.
Gejalanya yaitu fase iktal : gigi mengatup, sianosis, pernafasan cepat
dan dangkal, peningkatan sekresi mucus, fase postiktal apnea.
9. Keamanan
Gejalanya yaitu riwayat terjatuh, fraktur, adanya alergi.Ditandai
dengan trauma pada jaringan lunak, ekimosis, penurunan kesadaran,
kekuatan tonus otot secara menyeluruh.
10. Interaksi social
Gejalanya yaitu terdapat masalah dalam hubungan interpersonal
dalam keluarga atau lingkungan sosialnya melakukan pembatasan,
penghindaran terhadap kontak sosial.
11. Penyuluhan dan pembelajaran.
Gejalanya yaitu adanya riwayat epilepsi pada keluarga, penggunaan
obat maupun ketergantungan obat termasuk alkohol.
f. Pemeriksaan fisik
Pada pengkaian fisik secara umum sering didapatkan pada awal
pascakejang klien mengalami konfusi dan sulit untuk bangun. Pada
kondisi yang lebih berat sering dijumpai adanya penuruna kesadaran.
Pengkajian untuk peristiwa kejang perlu dikaji tentang: Bagaimana
kejang sering terjadi pada klien, tipe pergerakan atau aktifitas, berapa
lama kejang berlangsung, diskripsi aura yang menimbulkan peristiwa,
status poskial, lamanya waktu klien untuk kembali kejang, adanya
inkontinen selama kejang.
Selain itu juga dilakukan pemeriksaan 6B, yaitu:
1. B1 (Breathing)
Inspeksi apakah klien batuk, produksi sputum, sesak napas dan
peningkatan frekuensi pernapasan yang sering didapatkan pada klien
epilepsi disertai adanya gangguan pada sistem pernapasan.
2. B2 (Blood)
Pengkajian pad asitem kardiovaskuler terutama dilakukan pada
klien epilepsi tahap lanjut apabila klien sudah mengalami syok.
3. B3 (Brain)
Peningkatan B3 (Brain) merupakan pemeriksaan fokus dan lebih
lengkap dibandingkan pengkaian pada sistem lainnya.
Tingkat kesadaran: Tingkat kesadaran klien dan respons terhadap
lingkungan adalah indikator paling sensitif untuk disfungsi sistem
persarafan.
Fungsi serebral, Status mental: observasi penampilan dan tingkah
laku klien, nilai gaya bicara dan observasi ekspresi wajah, aktifitas
motorik pada klien epilepsi tahap lanjut biasanya mengalami
perubahan status mental seperti adanya gangguan perilaku, alam
perasaan, dan persepsi.
4. B4 (Bladder)
Pemeriksaan pada sitem kemih biasanya didapatkan berkurangnya
volume output urine, hal ini berhubungan dengan penurunan perfusi
dan penurunan curah jantung keginjal.
5. B5 (Bowel)
Mual sampai muntah dihubungkan dengan peningkatan produksi
asam lambung. Pemenuhan nutrisi pada klien epilepsi menurun
karena anoreksia dan adanya kejang.

6. B6 (Bone)
Pada fase akut setelah kejang sering didapatkan adanya penurunan
kekuatan otot dan kelemahan fisik secara umum sehingga
mengganggu aktifitas perawatan diri.
2. Diagnosa epilepsi
a) Nyeri akut b.d nyeri kepala sekunder respons pascakejang (Postikal).
b) Resiko cedera b.d kejang berulang, ketidaktahuan tentang epilepsi dan
cara penanganan saat kejang serta penurunan tingkat kesadaran.
c) Kecemasan b.d kejang berulang, penyakit yang diderita.
3. Intervensi epilepsi
No.
Tujuan Intervensi Rasional
Dx
1. Setelah dilakukan11. Berikan lingkungan11. Menurunkan reaksi
tindakan keperawatan yang aman dan terhadap rangsangan
keluhan nyeri tenang. eksternal atau sensitivitas
berkurang dengan terhadap cahaya dan
kriteria hasil: menganjurkan klien untuk
          Klien dapat tidur beristirahat.
dengan tenang. 22. Lakukan manajemen22. Membantu menurunkan
          Wajah klien nyeri dengan metode (memutuskan) stimulasi
tampak rileks. distraksi dan relaksasi sensasi nyeri.
     Klien nafas dalam.
memverbalisasikan 33. Lakukan latihan33. Dapat membantu
penurunan rasa sakit. gerak aktif atau pasif relaksasi otot-otot yang
sesuai kondisi dengan tegang dan dapat
lembut dan hati-hati. menurunkan rasa sakit atau
tidak nyaman.
44. Kolaborasi44. Diperlukan untuk
pemberian analgesik. menurunkan rasa sakit.
2. Setelah dilakukan
1.  1. Kaji tingkat1.   1. Data dasar untuk
tindakan keperawatan pegetahuan klien dan intervensi selanjutnya.
klien bebas dari keluarga cara
cedera yang penanganan kejan
disebabkan oleh
2.   2. Anjurkan keluarga2. 2. Melindungi klien apabila
kejang dan penurunan agar mempersiapkan kejang terjadi.
kesadran dengan lingkungan yang aman
kriteria: seperti memasang
          Klien dan keluarga batasan ranjang atau
mengetahui cara paan pengaman dan
mengontrol kejang. alat suction untuk
          Menghindari selalu berada dekat
stimulus kejang. klien.
          Melakukan     3. Anjurkan untuk3. 3. Mengurangi risiko jatuh
pengobatan teratur mempertahankan tirah atau terluka jika vertigo,
untuk menurunkan baring total selama sinkope, dan ataksia
intensitas kejang. fase akut. terjadi.
4.   4. Kolaborasi4. 4. Terapi medikasi untuk
pemberian terapi, menurunkan respons
fenytoin kejang berulang.
(dilantin).
3. Setelah dilakukan
1.   1. Bantu klien
1.   1. Ketakutan yang
tindakan keperawatan mengekspresikan rasa berkelanjutan memberikan
ketakutan klien hilang takut. dampak psikologis yang
atau berkurang dengan tidak baik.
kriteria hasil:       2. Lakukan kerja
2.   2. Kerja sama klien dan
-    Klien dapat sama dengan keluarga. keluarga sangat penting
mengenal perasaannya
3.    3. Hindari konflik
3.   3. Konflik dapat
-    Klien dapat dengan pasien dan meningkatkan rasa marah,
mengidentifikasi jalin trust dengan menurunkan kerja sama
penyebab atau faktor baik. dan mungkin
yang mempengaruhi memperlambat
kecemasan atau penyembuhan.
ketakutan yang     4. Ajarkan kontrol
4.   4. Kontrol kejang
dialaminya. kejang. bergantung pada aspek
pemahaman dan kerja
sama klien. Klien
dianjurkan untuk
mengikuti gaya hidup rutin
reguler dan sedang, diet
(menghindari stimulan
yang berlebuhan), latihan
dan istirahat tidur.
5.   5. Beri lingkungan 5. Aktivitas sedang adalah
yang tenang dan terapi yang baik karena
suasana untuk penggunaan energi yang
istirahat. berlebihan dapat dihindari.
6.  6. Kurangi stimulus 6. Mengurangi rangsangan
ketegangan. eksternal yang tidak perlu.
7. Berikan penjelasan
6.  7. Keadaan tegang
tentang keadaan (ansietas, frustasi)
klien/penyakit yang mengakibatkan kejang
diderita klien. pada beberapa klien.
8.  8. Orientasikan klien
7.   8. Memberikan respons
terhadap prosedur balik yang positif.Orientasi
rutin dan aktifitas dapat menurunkan
yang diharapkan. kecemasan.

4. Implementasi
Merupakan komponen dari proses keperawatan (Potter & Perry,
2005) adalah kategori dari perilaku keperawatan di mana tindakan yang di
perlukan untuk mencapai tujuan dan hasil yang di perkirakan dari asuhan
keperawatan di lakukan dan di selesaikan. Sudut pandang teori,
implementasi dari rencana asuhan keperawatan mengikuti komponen
perencanaan dari proses keperawatan. Namun demikian, di banyak
lingkungan perawatan kesehatan, implementasi mungkin dimulai secara
langsung setelah pengkajian.Sebagai contoh, implementasi segera
diperlukan ketika perawat mengidentifikasi kebutuhan klien yang
mendesak, dalam situasi seperti henti jantung, kematian mendadak dari
orang yang dicintai, atau kehilangan rumah akibat kebakaran.
5. Evaluasi
Evaluasi merupakan proses keperawatan mengukur respon klien
terhadap tindakan keperawatan dan kemajuan klien kearah pencapaian
tujuan (Potter & Perry, 2005). Evaluasi terjadi kapan saja perawat
berhubungan dengan klien. Perawat mengevaluasi apakah perilaku atau
respon klien mencerminkan suatu kemunduran atau kemajuan dalam
diagnose keperawatan atau pemeliharaan status yang sehat. Selama
evaluasi, perawat memutuskan apakah langkah proses keperawatan
sebelumnya telah efektif dengan menelaah respon klien dan
membandingkannya dengan perilaku yang disebutkan dalam hasil yang
diharapkan.

DAFTAR PUSTAKA
Nurarif AH dan Kusuma H. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan
Diagnose Medis dan Nanda-NIC-NOC jilid 1 dan 2. Panduan Penyusunan
Asuhan keperawatan professional. Yogyakarta: Media Action, 2013
Gofir A dan Wibowo S. Obat Antiepilepsi. Yogyakarta: Pustaka Cendekia Press,
2006.
Smeltzer SC dan Bare BG. Buku Ajar keperawatan medikal-bedah Brunner &
Suddarth Edisi 8 Volume 3. Jakarta: EGC, 2002.
Mansjoer Arif, dkk. Kapita selekta kedokteran edisi 3 jilid 2. Jakarta: Media
Aesculapius Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2001.
Price SA & Wilson LM. Patofisiologi: Konsep klinis proses-proses penyakit
Edisi 6 Volume 2. Jakarta: EGC, 2005.
Oktaviana F. Epilepsi. Medicinus Scientific Journal of Pharmaceutical
Development and Medical application Vol. 2,No.4 Edisi November -
Desember 2008.
Moorhead, Sue, et all. Nursing Outcomes Classification (NOC) Fourth
Edition. USA: Mosbie Elsevier, 2010.

Bulecheck, Gloria M, et al. Nursing Intervention Classification (NIC) Fifth


Edition. USA: Mosbie Elsevier, 2010.

Anda mungkin juga menyukai