Kata serapan (disebut juga sebagai kata pungutan atau kata pinjam) adalah kata yang
berasal dari bahasa asing (dalam hal ini bahasa selain Bahasa Indonesia), yang kemudian ejaan,
ucapan, dan penulisannya disesuaikan dengan penuturan masyarakat setempat untuk menambah
kosa kata, dan diterima pemakaiannya secara umum.
Kata serapan disebut sebagai kata pungutan atau kata pinjam karena berasal dari bahasa
lain yang dipungut atau dipinjam dan dijadikan kosa kata dalam Bahasa Indonesia. Penggunaan
kata-kata serapan biasanya merupakan hasil konsensus yang kemudian tata penulisannya
didasarkan pada panduan yang berlaku.
Seiring perkembangannya, bahasa Indonesia menyerap berbagai unsur asing, baik dari
bahasa daerah (Jawa, Sunda, Bali), maupun dari bahasa asing (Sanskerta, Arab, Portugis,
Belanda, Cina, dan Inggris), agar lebih singkat dan mudah dipahami. Penulisan unsur serapan
biasanya masih menggunakan bahasa asing, namun tetap dipakai dalam konteks bahasa
Indonesia. Hal inilah yang membuat unsur serapan bisa diterima oleh masyarakat pada umum
dengan lebih mudah.
Setiap bahasa masyarakat memiliki cara yang digunakan untuk mengungkapkan gagasan
dan perasaan atau untuk menyebutkan atau mengacu ke benda-benda di sekitarnya. Hingga pada
suatu titik waktu, kata-kata yang dihasilkan melalui kesepakatan masyarakat itu sendiri
umumnya mencukupi keperluan itu, namun manakala terjadi hubungan dengan masyarakat
bahasa lain, sangat mungkin muncul gagasan, konsep, atau barang baru yang datang dari luar
budaya masyarakat itu. Dengan sendirinya juga diperlukan kata baru. Salah satu cara memenuhi
keperluan itu—yang sering dianggap lebih mudah—adalah mengambil kata yang digunakan oleh
masyarakat luar yang menjadi asal hal baru itu
Berikut ini adalah latar belakang penyerapan unsur bahasa dari beberapa wilayah:
Bahasa Sanskerta tercatat terawal dibawa masuk ke Indonesia yakni sejak mula
tarikh Masehi. Bahasa yang satu ini kerap ditemukan pada beberapa prasasti kerajaan di
Indonesia sejak abad ke-5. Bahkan, dimulai dari abad ke-9 SM (Sebelum Masehi) konon
sudah digunakan di beberapa daerah di Indonesia sebagai dampak disebarkannya agama
Hindu hingga abad ke-7 dan 8. Sampai dua abad setelahnya, penyebaran agama Buddha
dimulai, pun dengan memanfaatkan bahasa Sanskerta ini. Bahasa ini digunakan pula
sebagai bahasa sastra.
Kedua bahasa ini juga erat kaitannya dengan perdagangan rempah-rempah dari India
dan. Kurang lebih, ada 700 kata dalam bahasa Indonesia yang lahir berkat pengaruh
bahasa Sanskerta dan Hindi, misalnya: asmara (āśmara), istimewa (āstām eva), dan
wisuda (viśuddha).
Yang disebut dengan bahasa Tionghoa adalah bahasa di negara Cina (banyak bahasa).
Empat di antara bahasa-bahasa itu yang di kenal di Indonesia
yakni Amoi, Hakka, Kanton, dan Mandarin. Kontak yang begitu lama dengan penutur
bahasa Tionghoa ini mengakibatkan perolehan kata serapan yang banyak pula dari bahasa
Tionghoa, namun penggunaannya tidak digunakan sebagai perantara keagamaan,
keilmuan, dan kesusastraan di Indonesia sehingga ia tidak terpelihara keasliannya dan
sangat mungkin banyak ia berbaur dengan bahasa di Indonesia.
Hubungan antarbangsa ini sudah terjadi sejak abad ke-7 ketika para
saudagar Cina berdagang ke Kepulauan Riau, Kalimantan Barat, dan Kalimantan Timur,
bahkan sampai juga ke Maluku Utara. Pada saat Kerajaan Sriwijaya muncul dan kukuh,
Cina membuka hubungan diplomatik dengannya untuk mengamankan usaha perdagangan
dan pelayarannya, kemudian bahasa Cina itu sendiri mulai terlihat di tengah masyarakat.
Pada tahun 922 musafir Cina melawat ke Kerajaan Kahuripan di Jawa Timur. Sejak
abad ke-11 ratusan ribu perantau meninggalkan tanah leluhurnya dan menetap di banyak
bagian Nusantara (Kepulauan Antara, sebutan bagi Indonesia).
Kata-kata serapan dari bahasa Arab misalnya gengsi (jinsī), iklan (iʿlān), jadwal
(jadwal). Pedagang Arab yang datang ke Indonesia terus berdatangan, dan di antaranya
merupakan penutur bahasa Persia. Itulah sebabnya, bahasa Persia juga memiliki andil
dalam proses pembentukan bahasa Indonesia. Tercatat, lebih dari 200 kata yang kita
miliki adalah serapan dari bahasa Parsi, seperti: bedebah (bad-bakht), bius (bī-hosh), dan
cambuk (chābuk).
Belanda mendatangi Nusantara pada awal abad ke-17 ketika ia mengusir Portugis dari
Maluku pada tahun 1606, kemudian ia menuju ke pulau Jawa dan daerah lain di sebelah
barat. Sejak itulah, secara bertahap Belanda menguasai banyak daerah di Indonesia.
Bahasa Belanda tidak sepenuhnya dapat menggeser kedudukan bahasa Portugis karena
pada dasarnya bahasa Belanda lebih sukar untuk dipelajari. Lagipula orang-orang
Belanda sendiri tidak suka membuka diri bagi orang-orang yang ingin mempelajari
kebudayaan Belanda, termasuk bahasa. Hanya saja pendudukannya semakin luas meliputi
hampir di seluruh negeri dalam kurun waktu yang lama (350 tahun penjajahan Belanda di
Indonesia). Belanda juga merupakan sumber utama untuk menimba ilmu bagi kaum
pergerakan. Maka itu, komunikasi gagasan kenegaraan pada saat negara Indonesia
didirikan banyak mengacu pada bahasa Belanda.
Lamanya durasi Belanda ada di Indonesia justru menjadi momen warisan dan serapan
kata di tengah masyarakat, selain sistem pemerintah, ilmu pembelajaran, budaya, dan
musik. Hingga hari ini, tercatat lebih dari 7.000 kata bahasa Indonesia lahir dari bahasa
Belanda, misalnya indehoi (in het hooi), indekos (in de kost), dan fanatik (fanatiek),
termasuk pula kisah-kisah pembentuk kata yang erat kaitannya dengan situasi sejarah
yang terjadi kala itu.
Kata-kata serapan dari Jepang umumnya tak memiliki bentuk yang terlalu berbeda
dengan wujudnya dalam bahasa Indonesia, misalnya bonsai (bonsai), yoyo (yôyô), dan
karate (karate).
Di antara bahasa-bahasa di atas, ada beberapa yang tidak lagi menjadi sumber penyerapan
kata baru yaitu bahasa Tamil, Parsi, Hindi, dan Portugis. Kedudukan mereka telah tergeser oleh
bahasa Inggris yang penggunaannya lebih mendunia. Walaupun begitu, bukan berarti hanya
bahasa Inggris yang menjadi rujukan penyerapan bahasa Indonesia pada masa yang akan datang.
Penyerapan kata dari bahasa Cina sampai sekarang masih terjadi di bidang pariboga termasuk
bahasa Jepang yang agaknya juga potensial menjadi sumber penyerapan.
Penutur bahasa Indonesia beranggapan bahwa bahasa Sanskerta yang sudah ’mati’ itu
merupakan sesuatu yang bernilai tinggi dan klasik. Alasan itulah yang menjadi pendorong
penghidupan kembali bahasa tersebut. Kata-kata Sanskerta sering diserap dari sumber yang tidak
langsung, yaitu Jawa Kuna. Sistem morfologi bahasa Jawa Kuna lebih dekat kepada bahasa
Melayu. Kata-kata serapan yang berasal dari bahasa Sanskerta-Jawa Kuna misalnya acara,
bahtera, cakrawala, darma, gapura, jaksa, kerja, lambat, menteri, perkasa, sangsi, tatkala, dan
wanita.
Bahasa Arab menjadi sumber serapan ungkapan, terutama dalam bidang agama Islam.
Kata rela (senang hati) dan korban (yang menderita akibat suatu kejadian), misalnya, yang sudah
disesuaikan lafalnya ke dalam bahasa Melayu pada zamannya dan yang kemudian juga
mengalami pergeseran makna, masing-masing adalah kata yang seasal dengan rida (perkenan)
dan kurban (persembahan kepada Tuhan). Ia umumnya dipelihara betul sehingga makna
(kadang-kadang juga bentuknya) cenderung tidak mengalami perubahan.
Meski kontak budaya dengan penutur bahasa-bahasa itu berkesan silih berganti, proses
penyerapan itu adakalanya pada kurun waktu yang tmpang tindih sehingga orang-orang dapat
mengenali suatu kata serapan berasal dari bahasa yang mereka kenal saja, misalnya pompa dan
kapten sebagai serapan dari bahasa Portugis, Belanda, atau Inggris. Kata alkohol yang sebenar
asalnya dari bahasa Arab, tetapi sebagian besar orang agaknya mengenal kata itu berasal dari
bahasa Belanda.
Sesudah Indonesia merdeka, pengaruh bahasa Belanda mula surut sehingga kata-kata serapan
yang sebetulnya berasal dari bahasa Belanda sumbernya tidak disadari betul. Bahkan sampai
dengan sekarang yang lebih dikenal adalah bahasa Inggris.
Hindi 7 Tamil 83
Inggris 1610
Sumber: Senarai Kata Serapan dalam Bahasa Indonesia (1996) yang disusun oleh Pusat
Pembinaan dan Pengembangan Bahasa (sekarang bernama Pusat Bahasa).