Anda di halaman 1dari 46

INFARK MIOKARD AKUT

a. tembus sampai punggung


b. Dada seperti tertindih benda
c. Sesak, mual, keringat dingin
d. Merokok (+)
9 Maret 2021 (H16MRS)
S/ Keluhan Nyeri dada berkurang

O/ Keadaan Umum Lemah

Kesadaran Compos mentis

Tekanan Darah 100/70 mmHg

Nadi 80x/m, reguler, lemah

Respiratory Rate 20x/menit

SpO2 98%

Suhu Tubuh 36,3 C

Kepala dan Leher a/i/c/d: -/-/-/-

Thorax C: S1S2 tunggal lemah, e/g/m: -/-/- di keempat katup jantung


P: Sim +/+, Ves +/+, Ret -/-, Rh -/-, Wh -/-
Abdomen Flat, soepl, timpani, BU +, BAK via kateter, BAB (-)
Ekstremitas AH di keempat ekstremitas +/+, OE di keempat ekstremitas -/-
Penunjang EKG
A/ Assessment IMA STEMI inferior+syok kardiogenik membaik+HF
P/ Planning
Inf. PZ 500cc/24 jam
Inj. Fosmicyn 1x2gr
Inj. MP 2x31,25mg
Inj. As. Tranex 3x1 amp

ii
Inj. Dobutamin teppering down 3-5mg
Inj. Furosemid 1 amp/12 jam
p.o Candesartan 8mg 0-0-1
p.o Codein 3x10mg
p.o CPG 75mg 1-0-0
p.o Atorvastatin 20mg 0-0-1
p.o spironolakton

10 Maret 2021 (H17MRS)


S/ Keluhan Tidak ada keluhan

O/ Keadaan Umum Lemah

Kesadaran Compos mentis

Tekanan Darah 100/70 mmHg

Nadi 82x/m, reguler, lemah

Respiratory Rate 20x/menit

SpO2 98%

Suhu Tubuh 36,5 C

Kepala dan Leher a/i/c/d: -/-/-/-

Thorax C: S1S2 tunggal lemah, e/g/m: -/-/- di keempat katup jantung


P: Sim +/+, Ves +/+, Ret -/-, Rh -/-, Wh -/-
Abdomen Flat, soepl, timpani, BU +, BAK via kateter, BAB (-)

Ekstremitas AH di keempat ekstremitas +/+, OE di keempat ekstremitas -/-

Penunjang EKG

A/ Assessment IMA STEMI inferior+syok kardiogenik membaik+HF

P/ Planning
Inf. PZ 500cc/24 jam
Inj. Fosmicyn 1x2gr
Inj. MP 2x31,25mg
Inj. As. Tranex 3x1 amp
Inj. Dobutamin teppering down 3-5mg

ii
Inj. Furosemid 1 amp/12 jam
p.o Candesartan 8mg 0-0-1
p.o Codein 3x10mg
p.o CPG 75mg 1-0-0
p.o Atorvastatin 20mg 0-0-1
p.o spironolakton

Follow up EKG dan foto Thorax


Tanggal 26/2/2021

● Kesan: Irama sinus, HR 50x/menit reguler, normo aksis, ST Elevasi di lead II, III
dan aVF, Q patologis (-), AV block derajat 1

ii
● Kesan: Irama sinus, HR 75x/menit reguler, normo aksis, ST Elevasi di lead II, III
dan aVF, Q patologis (-), AV block derajat 1

Tanggal 1/3/2021

● Kesan: Irama sinus, HR 75x/menit reguler, normo aksis

ii
● Kesan: Irama sinus, HR 79x/menit reguler, normo aksis, Q patologis (-)

Cor: apeks bergeser ke laterokaudal


Pulmo : corakan vascular meningkat dan blurring. Tampak inflitrat pada
lapang tengah kanan dan kiri
Tampak penebalan fissure minor
Sinus costophrenicus kanan tajam kiri suram
Kesan:
Kardiomegali (LV)
Gambaran edema paru
Efusi pleura bilateral

ii
BAB 3. PEMBAHASAN
Textbook Pasien
Anamnesis
- Nyeri dada kiri menjalar -
- Sesak nafas +
- Mual +
- Muntah -
- Nyeri epigastrium +
- Lemas +
- Keringat dingin +
- Toleransi aktifitas yang berkurang +
- Cepat lelah +
- Pusing -
- Perasaan bingung -
- Palpitasi -
Pemeriksaan Fisik
- Tampak cemas -
- Tidak bisa istirahat +
- Akral dingin -
- Takikardi atau bradikardia +
- Hipotensi -
- S4 dan S3 (gallop) -
- Penurunan intensitas bunyi jantung pertama -
- Rhonki di basal paru -
Diagnosis
1. EKG +
2. Foto Thorax +
3. Laboratorium +
Tatalaksana
1. Oksigen +
2. Nitrogliserin +
3. Morfin -
4. Aspirin +
5. Clopidogrel +
6. Beta blocker +
7. ACE Inhibitor +

ii
8. Antikoagulan +
9. Statin +
10. Terapi reperfusi

3.1 Anatomi Arteri Koronaria


Jantung mendapatkan vaskularisasi dari arteri koronaria. Arteri koronari
merupakan percabangan langsung dari aorta. Arteri koronaria memiliki 2 cabang
utama yaitu right coronary artery (RCA) dan left main coronary artery (LMCA)
(Ogobuiro et al., 2020).
- Right coronary artery (RCA)
RCA memvaskularisasi area jantung sebelah kanan, termasuk SA node dan
AV node. RCA memilki beberapa cabang kecil diantaranya posterior
descending artery (PDA) yang memvaskularisasi bagian posterior dan
inferior jantung; marginal branch artery yang mmevaskularisasi bagian
lateral dari jantung sebelah kanan (Ogobuiro et al., 2020).
- Left main coronary artery (LMCA)
LMCA memvaskularisasi area jantung sebelah kiri. LMCA memilki 2
cabang utama yaitu left anterior descending artery (LAD) yang
memvaskularisasi area anterior ventrikular septum dan bagian anterior dari
ventrikel kiri; left circumflex artery (LCX) yang mengelilingi jantung akan
memvaskularisasi bagian lateral dan posterior dari ventrikel kiri (Ogobuiro
et al., 2020).

ii
Gambar 2.1 Anatomi arteri koronari (Paulsen dan Waschke, 2011).
3.2 Definisi
Sindrom Koroner Akut (SKA) atau Acute Coronary Syndrome (ACS) adalah
istilah operasional yang mengacu pada spektrum gejala yang sesuai dengan
iskemia miokard akut dan/atau infark miokard akut yang biasanya disebabkan
oleh penurunan aliran darah di arteri koroner secara tiba-tiba .Gejala yang terjadi
disebabkan oleh penyumbatan sebagian atau seluruh lumen arteri koroner arteri
yang menyebabkan miokard mengalami (Amsterdam et al., 2014):
• iskemia (sel yang kekurangan oksigen) atau
• infark (kematian sel).
SKA dihubungkan dengan terbentuknya plak aterosklerosis yang mengakibatkan
penyempitan pembuluh darah maupun lepasnya plak aterosklerotik yang akan
mengakibatkan obstruksi sehingga terjadi gangguan pengangkutan oksigen serta
hasil metabolisme ke miokard (Fathoni, 2011).
Spektrum SKA dapat berupa angina pectoris tak stabil (Unstabel Angina Pectoris/UAP),
IMA tanpa elevasi ST (NSTEMI), dan IMA dengan elevasi ST (STEMI). STEMI
merupakan indikator terjadinya oklusi total pada pembuluh darah arteri koroner (PERKI,
2018).

3.3 Epidemiologi
Setiap tahun sekitar 5 – 8 juta orang datang ke instalasi gawat darurat dengah
keluhan nyeri dada, 20-25% diantaranya didiagnosis acute coronary syndrome

ii
(Hewins, 2016). Data dari WHO tahun 2004 menyatakan penyakit infark miokard
akut merupakan penyebab kematian utama di dunia. Terhitung sebanyak
7.200.000 (12,2%) kematian terjadi akibat penyakit ini di seluruh dunia (WHO,
2008). Tahun 2013, sekitar 478.000 pasien di Indonesia didiagnosa Penyakit
Jantung Koroner (PJK). Sedangkan saat ini, prevalensi STEMI meningkat dari
25% ke 40% dari presentasi semua kejadian Infark Miokard (Riskesdas, 2013).

3.4 Faktor resiko


3.4.1 Level lipid yang abnormal dalam sirkulasi (dislipidemia)
Peningkatan kadar lemak berhubungan dengan proses aterosklerosis. Berikut ini
faktor risiko dari faktor lipid darah: total kolesterol plasma > 200 mg/dl, kadar
LDL > 130 mg/dl, kadar trigliserid > 150 mg/dl, kadar HDL < 40 mg/dl (Rathore
et al., 2018)
3.4.2 Hipertensi
Hipertensi sistemik menyebabkan meningkatnya afterload yang secara tidak
langsung akan meningkatkan beban kerja jantung. Kondisi seperti ini akan
memicu hipertrofi ventrikel kiri sebagai kompensasi dari meningkatnya afterload
yang pada akhirnya meningkatan kebutuhan oksigen jantung. Bila proses
aterosklerosis terjadi, maka penyediaan oksigen untuk miokard berkurang.
Tingginya kebutuhan oksigen karena hipertrofi jaringan tidak sesuai dengan
rendahnya kadar oksigen yang tersedia (Brown, 2006).
3.4.3 Merokok
Rokok menyebabkan akumulasi kolesterol LDL yang teroksidasi (oleh radikal
bebas) di dalam dinding arteri. Merokok berkontribusi pada peradangan vascular
yang menjadi karakteristik dari aterosklerosis, hal tersebut tercermin dari kadar
CRP pada perokok lebih tinggi dibandingkan bukan perokok. Merokok, terutama
melalui kandungan nikotinnya, mengaktifkan sistem saraf simpatis, meningkat
baik detak jantung dan tekanan darah sistolik yang berpengaruh terhadap
peningkatan kebutuhan oksigen miokard. Peningkatan aktivitas sistem saraf
simpatis juga mengarah pada vasokonstriksi arteri koroner, menurunkan aliran
darah ke miokard saat kebutuhan oksigen meningkat. Merokok juga menyebabkan

ii
peningkatan kadar karboksihemoglobin dalam tubuh darah, sehingga berpotensi
mengurangi pengiriman supply oksigen ke miokard (Rathore et al., 2018).
- Diabetes Mellitus.
Resiko terjadinya penyakit jantung koroner pada pasien dengan DM sebesar 2- 4
lebih tinggi dibandingkan orang biasa. Diabetes Melitus akan menyebabkan
proses pembuluh darah arteri koronaria, sehingga terjadi penyempitan aliran darah
ke jantung. Pembuluh darah seseorang dengan diabetes cenderung lebih cepat
mengalami degenerasi dan disfungsi endotel (Lewis et al., 2007).
- Aktivitas fisik
Olah raga yang teratur berkaitan dengan penurunan insiden PJK sebesar
20-30 % (Rathore et al., 2018).
Faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi merupakan faktor risiko yang tidak
bisa diubah atau dikendalikan, yaitu diantaranya:
- Usia
Resiko meningkat pada pria datas 45 tahun dan wanita diatas 55 tahun. Seluruh
jenis penyakit jantung koroner termasuk STEMI yang terjadi pada usia lanjut
mempunyai risiko tinggi kematian (Seymour, 2006).
- Jenis Kelamin
Laki-laki dua kali lebih besar dibandingkan pada perempuan, hal ini berkaitan
dengan estrogen yang bersifat kardioprotektif pada perempuan. Angka kejadian
PJK pada perempuan cenderung akan meningkat setelah menopause (Rathore et
al., 2018).
- Riwayat Keluarga
Terdapat bukti bahwa riwayat positif pada keluarga mempengaruhi onset
penderita PJK pada keluarga dekat karena adanya predisposisi genetik. Riwayat
PJK pada first degree family akan meningkatkan resiko PJK 2x lipat (Rathore et
al., 2018)

3.5 Patofisiologi
Sebagian besar SKA merupakan manifestasi akut dari plak ateroma
pembuluh darah koroner yang koyak atau pecah akibat perubahan komposisi plak

ii
dan penipisan tudung fibrosa yang menutupi plak tersebut. Kejadian ini kemudian
akan diikuti oleh proses agregasi trombosit dan aktivasi jalur koagulasi sehingga
terbentuk trombus yang kaya akan trombosit. Trombus akan menyumbat lubang
pembuluh darah koroner baik secara total maupun parsial atau menjadi
mikroemboli yang menyumbat pembuluh koroner yang lebih distal. Selain itu
terjadi pelepasan zat vasoaktif yang menyebabkan vasokonstriksi sehingga
memperberat gangguan aliran darah koroner. Berkurangnya aliran darah koroner
menyebabkan iskemia miokardium. Suplai oksigen yang terhenti selama kurang
lebih 20 menit menyebabkan miokardium mengalami nekrosis atau infark
miokard. Infark miokard tidak selalu disebabkan oleh oklusi total pembuluh darah
koroner. Sumbatan subtotal yang disertai vasokonstriksi yang dinamis juga
menyebabkan terjadinya iskemia dan nekrosis jaringan jantung (PERKI, 2018)

Gambar 3.2 Oklusi pembuluh darah pada atherosklerosis


3.6 Diagnosis
a. Anamnesis
Keluhan pasien dengan iskemia miokard dapat berupa nyeri dada tipikal

ii
(angina). Keluhan nyeri dada angina tipikal berupa rasa nyeri atau tertekan atau
berat atau terbakar di daerah retrosternal, menjalar ke lengan kiri, leher, rahang ,
area interskapular, bahu atau epigastrium. Keluhan berlangsung pesisten >20
menit. Keluhan angina tipikal biasanya sering diikuti keluhan penyerta seperti
diaforesis (keringan dingin), mual, muntah, nyeri abdominal, sesak napas, dan
sinkop (PERKI, 2018). Diagnosis infark miokard akut harus segera dibuat
berdasarkan nyeri dada tipikal yang berlangsung selama >20 menit dan tidak
membaik dengan pemberian nitrogliserin.
Gambaran nyeri yang bukan merupakan karakteristik iskemia miokard
atau nyeri dada non-kardiak yakn (PERKI, 2018):
- Nyeri pleuritik (nyeri tajam yang berhubungan dengan
respirasi atau batuk)
- Nyeri abdomen di area umbilikus atau hipogastrik
- Nyeri dada yang dapat ditunjuk dengan satu jari
- Nyeri dada yang diakibatkan oleh gerakan tubuh atau palpasi
- Nyeri dada dengan durasi beberapa detik
b. Pemeriksaan Fisik
Hasil pemeriksaan fisik yang dapat ditemukan antara lain (PERKI, 2018):
- Regurgitasi katub mitral akut (Murmur sistolik)
- Suara jantung S3
- Rhonki basah halus
- Takipneu
- Takikardia atau bradikardia
- Hipotensi
- Tampak cemas
- Tidak dapat istirahat (gelisah)
- Ekstremitas pucat disertai keringat dingin.
c. Elektrokardiogram
Semua pasien dengan keluhan nyeri dada atau keluhan lain yang mengarah
kepada iskemia harus menjalani pemeriksaan EKG 12 sadapan sesegera mungkin

ii
sesampainya di instalasi gawat darurat. Sedapat mungkin EKG dibuat dalam
waktu 10 menit sejak kedatangan pasien di ruang gawat darurat (PERKI, 2018).
Gambaran EKG yang mungkin dijumpai pada SKA antara lain:
- Normal
- Elevasi segmen ST
Elevasi segmen ST dapat diukur melalui J point, dengan
menggunakan interval PR sebagai reference point garis isoelektrik.
Elevasi segmen ST dikatakan bermakna jika elevasi >1mm (1
kotak kecil) atau >0,1mV pada dua atau lebih sadapan yang
bersebelahan (Rawshani, 2018).

Gambar 2.3 Elevasi segmen ST (ecgwaves.com)

ii
Gambar 2.3 Evolusi EKG pada STEMI

- Depresi segmen ST dan/atau inversi gelombang T


Depresi segmen ST Elevasi segmen ST dapat diukur melalui J
point, dengan menggunakan interval PR sebagai reference point
garis isoleketrik. Depresi segmen ST yang cenderung bersifat
patologis adalah ketika terdapat depresi >0.5mm pada dua atau
lebih sadapan yang bersebelahan. T inversi pada infark miokard
dikarakteristikkan sebagai gelombang T terbalik ≥1mm pada dua
atau lebih sadapan yang bersebelahan (Rawshani, 2018).

Gambar 2.4 Depresi segmen ST dan T inversi (ecgwaves.com)

ii
- Gelombang Q patologis
Ditandai dengan gelombang Q yang lebarnya >0.04 detik dan
dalamnya melebihi sepertiga dari tinggi gelombang R pada
komples QRS yang sama atau amplitudonya >0.1mV.

Gambar 2.5 Gelombang Q patologis (ecgwaves.com)

Diagnosis SKA ditegakkan ketika terdapat keluhan angina pectoris akut (typical
chest pain) disertai perubahan hasil EKG seperti yang disebutkan diatas pada
minimal 2 sadapan yang bersebelahan. Jika hasil pemeriksaan EKG awal normal
sementara angina masih berlangsung dapat dilakukan pemeriksaan ulang 10-20
menit kemudian.

Tabel 2.1 Lokasi infark berdasarkan abnormalitas ekg


(Aboufakher, 2016)
Lokasi infark Abnormalitas EKG A. koroner
Septum V1, V2 LAD
Anterior V3. V4 LAD
Antero-septal V1-V5 LAD
Lateral V5, V6 LCX
Antero-lateral V3-V6 LAD, LCX
Anterior ekstensif V1-V6 LAD, LCX
High lateral I, aVL LCX
Posterior V7-V9 PDA

ii
Inferior II, III, aVF PDA
Ventrikel kanan V3R-V4R RCA

d. Laboratorium
Biomarker jantung dilepaskan dalam sirkulasi karena kerusakan atau
kematian miosit jantung, dengan mengukur biomarker ini dalam serum atau
plasma dapat berguna dalam penegakan diagnosis infark miokard. Terdapat empat
biomarker yang biasa digunakan dalam diagnosis SKA yaitu
1. Mioglobin: merupakan protein heme yang dapat ditemukan pada otot
skeletal dan otot jantung. Myoglobin dilepaskan secara cepat dan
dapat dideteksi dalam satu jam setelah infark dan mencapai puncak
dalam 4- 12 jam dan kembali normal dalam 24-36 jam. Myoglobin
merupakan early marker ketika terjadi infark miokard. Namun
peningkatannya dinilai kurang spesifik untuk menunjukkan
terjadinya infark miokard karena karena diketahui ditemukan dalam
jumlah banyak di otot skeletal (Dasgupta dan Wahed, 2014).
2. Creatinine kinase: Sebelum ditemukannya Troponin, CK menjadi
biomarker pilihan untuk menegakkan diagnosis infark miokard.
Creatinine kinase mrupakan suatu enzim yang memiliki 2 subunit
yaitu CK-MM (muscle) banyak ditemukan di otot skeletal, dan CK-
MB (brain) banyak ditemukan nervous system. Konsentrasi CK-MB
akan mulai meningkat dalam 4-9 jam setelah infark, mencapai
puncak dalam 24 jam dan akan normal kembali dalam 48-72 jam
(Dasgupta dan Wahed, 2014).
3. Cardic Troponin: Merupakan komponen protein kontraktil pada sel
otot, terdapat dua jenis, yaitu Troponin T dan Troponin I. Troponin
T jantung dan troponin I (terutama troponin I) telah diterima sebagai
gold standard untuk mengevaluasi pasien dengan infark miokard
akut. Enzim ini meningkat setelah 4-9 jam post infark miokard akut
dan mencapai puncak dalam 12-24 jam. Troponin T masih dapat
dideteksi setelah 5-14 hari, sedangkan troponin I setelah 5-10 hari.

ii
Troponin dinilai lebih unggul dibandingkan CK-MB karena
diketahui pada kondisi mikroinfark, kadar troponin akan meningkat
meskipun kadar CK-MB masih normal (Dasgupta dan Wahed,
2014).

Gambar 2.6 Biomarker jantung (Dasgupta dan Wahed, 2014).

Biomarker lain yang jarang digunakan yaitu Laktat dehidrogenase (LDH).


LDH kadarnya mulai meningkat dalam 48-72 jam setelah infark miokard dan
mencapai kadar puncak dalam 3-4 hari, menjadikan LDH sebagai penanda akhir
infark miokard (Dasgupta dan Wahed, 2014).

e. Foto polos dada


Pemeriksaan ini bertujuan untuk membuat diagnosis banding,
mengidentifikasi komplikasi serta penyakit penyerta.

ii
Gambar 2.7 Alur diagnosis SKA

3.7 Tatalaksana
Berdasarkan langkah diagnostik yang sudah disebutkan, dokter perlu
segera menetapkan diagnosis kerja yang akan menjadi dasar strategi penganan
selanjutnya. Terapi awal adalah terapi yang diberikan pada pasien dengan
diagnosis kerja SKA atau kemungkinan SKA atas dasar keluhan angina di
instalasi gawat darurat, sebelum ada hasil pemeriksaan EKG dan/atau biomarka
jantung. Terapi awal yang dimaksud adalah (MONACO) morfin, oksigen, nitrat,
aspirin, dan clopidogrel yang tidak harus diberikan semua atau bersamaan.
3.7.1 Oksigenasi 2-4lpm
3.7.2 Aspirin 160mg – 320mg diberikan segera kepada semua pasien
yang tidak diketahui intoleransinya terhadap aspirin.
3.7.3 Ticagrelor dianjurkan dengan dosis awal 180mg dengan dosis
pemeliharaan 2x90mg/hari. Dapat juga diberikan clopidogrel bagi
pasien yang tidak bisa menggunakan ticagrelor, dengan dosis awal
300mg dan dilanjutkan dosis pemeliharaan 75mg/hari. Pada pasien
yang direncanakan terapi reperfusi dengan fibrinolitik, clopidogrel
lebih dianjurkan)
Nitrogliserin (NTG) sublingual 5mg dapat diulang setiap 5 menit
sampai maksimal 3x, jika nyeri dada tidak hilang dengan 1x
pemberian. Nitrat intravena dipertimbangkan untuk diberikan pada

ii
iskemia persisten, gagal jantung atau hipertensi dalam 48 jam
pertama SKA. Nitrat tidak boleh diberikan pada pasien dengan
TDS <90mmHg, dan bradikardia berat <50x permenit)

Gambar 2.8 Pilihan obat selain nitrat

- Morfin sulfat 1-5mg intravena, dapat diulang 10-30 menit bagi


pasien yang tidak responsif dengan terapi 3 dosis NTG sublingual
(PERKI, 2018).
Beberapa obat tambahan yang dapat diberikan dalam penanganan SKA
antara lain:
- Beta blocker
Dapat diberikan karena efeknya terhadap reseptor beta-1
yangmengakibatkan turunnya konsumsi oksigen miokardium.
Kontraindikasi pada pasien dengan asma bronkiale. Beta blocker
direkomendasikan untuk diberikan terutama jika terdapat
hipertensi dan/atau takikardia dan selama tidak ada kontraindikasi
(PERKI, 2018).

ii
Gambar 2.13 Macam statin

Terapi reperfusi
Infark miokard akut dengan elevasi segmen ST (STEMI) merupakan
indikator kerjadian oklusi total pembuluh darah arteri koroner. Keadaan ini
memerlukan tindakan revaskularisasi atau reperfusi untuk mengembalikan aliran
darah ke miokard secepatnya, baik secara medikamentosa menggunakan agen
fibrinolitik atau secara mekanis melalui intervensi koroner perkutan primer (PCI).
Terapi reperfusi diindikasikan untuk semua pasien dengan gejala yang
timbul dalam 12 jam dengan elevasi segmen ST yang menetap. Dalam
menentukan terapi reperfusi, tahap pertama adalah memnetukan ada tidaknya
rumah sakit sekitar yang memilki fasilitas PCI, jika tidak ada langsung pilih terapi
fibrinolitik. Bila ada pastikan waktu tempuh kurang dari 2 jam. Setelah fibrinolitik
diberikan, jika memungkinkan pasien dapat dikirim ke faskes dengan fasilitas
PCI.
Sasaran terapi reperfusi adalah door to needle time untuk memulai terapi
fibrinolitik dapat dicapai dalam 30 menit atau door to balloon time untuk PCI
dapat dicapai dalam 90 menit pada faskes dengan kemampuan fasilitas PCI dan
dalam 120 menit bila pasien perlu ditransfer ke faskes dengan fasilitas PCI untuk
mempersingkat waktu iskemia.
Waktu onset gejala untuk terapi reperfusi merupakan prediktor penting
terhadap luas infark dan outcome pasien. Pemilihan terapi reperfusi dapat
melibatkan risiko perdarahan pada pasien. Jika terapi reperfusi bersama-sama
(tersedia PCI dan fibrinolitik), semakin tinggi risiko perdarahan dengan terapi
fibrinolitik, maka semakin kuat keputusan untuk memilih PCI. Jika PCI tidak
tersedia, maka terapi reperfusi farmakologis harus mempertimbangkan manfaat
dan risiko. Adanya fasilitas kardiologi intervensi merupakan penentu utama
apakah PCI dapat dikerjakan.

ii
Terapi fibrinolitik
Fibrinolitik merupakan strategi reperfusi yang penting terutama pada
layanan medis yang tidak dapat melakukan PCI. Fibrinolitik direkomendasikan
diberikan dalam 12 jam sejak onset gejala. Agen yang spesifik terhadap fibrin
(altepase, tenecteplase, reteplase) lebih disarankan dari pada agen yang tidak
spesifik terhadap fibrinn (streptokinase). Aspirin oral harus diberikan sebagai
terapi tambahan, clopidogrel diindikasikan diberikan sebagai tambahan untuk
aspirin. Antikoagulan juga direkomendasikan diberikan pada pasien yang
mendapat terapi fibrinolitik, berupa enoxaparin.
Setelah diberikan fibrinolitik semua pasien harus dirujuk ke rumah sakit
dengan fasilitas PCI. PCI “rescue” dapat diindikasikan segera bila terapi
fibrinolitik gagal (<50% perbaikan segmen ST setelah 60-90 menit setelah
pemberian fibrinolitik)

Gambar 2.14 Macam fibrinolitik

Gambar 2.15 Kontraindikasi pemberian fibrinolitik


Percutaneous Coronary Interventions (PCI)

ii
Intervensi koroner perkutan (angioplasti atau stenting) tanpa didahului
fibrinolitik disebut PCI primer (primary PCI). PCI efektif dalam
mengembalikan perfusi pada STEMI jika dilakukan beberapa jam pertama infark
miokard akut. PCI primer lebih efektif dari fibrinolitik dalam membuka arteri
koroner yang tersumbat dan dikaitkan dengan outcome klinis jangka pendek dan
jangka panjang yang lebih baik.
Pasien yang akan menjalani PCI primer sebaiknya mendapatkan terapi
antiplatelet ganda berupa aspirin dan clopidogrel/ticagrelor sesegera mungkin
sebelum angiografi, disertai pemberian antikoagulan intravena. Asprin dapat
dikonsumsi oral dengan dosis 160-320mg dan clopidogrel disarankan dengan
dosis 600mg atau ticagrelor dosis loading 180mg. Antikoagulan yang dapat
diberikan antara lain, unfractioned heparin dengan dosis 70-100IU/kgbb i.v bolus
atau enoxaparin bolus 50-70 IU/kgbb iv bolus.
Tatalaksana Nonfarmakologi
- Berhenti merokok dan hindari paparan asam rokok
- Tingkatkan konsumsi buah dan sayur setya makanan yang
mengandung lemak tak jenuh atau minyak ikan
- Hindari konsumsi alkohol
- Latihan fisik atau olahraga, terutama aerobik dengan durasi 20-30
menit frekuensi 3-5x seminggu
- Kurangi berat badan dengan target BMI <25
- Kontrol kadar lipid dengan target LDL <70mg/dL
- Pada pasien dengan komorbid diabetes mellitus, gula darah harus
selalu terkontrol dengan target HbA1C <7%.
‘3.8 Gagal Jantung
Gagal jantung adalah sindrom klinis (sekumpulan tanda dan gejala)
ditandai oleh sesak nafas dan fatik (saat istirahat atau saat aktivitas) yang
disebabkan oleh kelainan struktur atau fungsi jantung.
8 Epidemiologi
Angka kejadian gagal jantung semakin meningkat dari tahun ke tahun,
data WHO tercatat 1,5% sampai 2% orang dewasa di Amerika Serikat menderita

ii
gagal jantung dan 700.000 diantaranya memerlukan perawatan di rumah sakit per
tahun. Faktor risiko terjadinya gagal jantung yang paling sering adalah usia lanjut,
75% pasien yang dirawat dengan gagal jantung berusia 65-75%. Kemudian
menurut penelitian angka kejadian gagal jantung kronik di Amerika Serikat,
jumlahnya sekita r tiga juta orang, lebih dari empat ratus ribu kasus baru
dilaporkan tiap tahun. Di Indonesia sendiri, Pada tahun 2008 diperkirakan
sebanyak 17,3 juta kematian disebabkan oleh penyakit kardiovaskuler.
Prevalensi penyakit gagal jantung di Indonesia tahun 2013 berdasarkan
diagnosis dokter sebesar 0,13% atau diperkirakan sekitar 229.696 orang dengan
estimasi jumlah penderita penyakit gagal jantung terbanyak terdapat di Provinsi
Jawa Timur sebanyak 54.826 orang (0,19%), sedangkan berdasarkan diagnosis
dokter/ gejala sebesar 0,3% atau diperkirakan sekitar 530.068 orang dengan
estimasi jumlah penderita penyakit gagal jantung terbanyak terdapat di Provinsi
Jawa Barat sebanyak 96.487 orang (0,3%) .

3.9 Klasifikasi Gagal Jantung


Gagal jantung dapat diklasifikasikan menjadi beberapa bagian berdasarkan:
a. Kegagalan kemampuan relaksasi dan kontraksi
Kegagalan ini hanya dapat dibedakan berdasarkan eko-Doppler
1. Gagal Jantung Sistolik
Merupakan ketidakmampuan kontraksi jantung memompa
sehingga curah jantung menurun dan menyebabkan kelemahan,
fatik, kemampuan aktivitas menurun dan gejala hipoperfusi
lainnya.
2. Gagal Jantung Diastolik
Gangguan relaksasi dan gangguan pengisian ventrikel yang
definisikan dengan fraksi ejeksi lebih dari 50%. Diagnosis dibuat
dengan pemeriksaan doppler ekokardiografi aliran darah mitral
dan aliran darah vena pulmonalis. Adapun gangguan diastolik
dapat dibedakan menjadi 3 jenis :
- gangguan relaksasi

ii
- pseudonormal
- tipe restriktif
b. Jumlah output
Berdasarkan jumlah outputnya dapat dibedakan menjadi Low Output
dan High Output. Gagal Jantung Low Output biasanya disebabkan oleh hipertensi,
kardiomiopati dilatasi, kelainan katup dan perikard. Gagal jantung High Output
ditemukan pada penurunan resistensi vaskular sistemik seperti pada
hipertiroidisme, anemia, kehamilan, fistula AV, beri-beri dan Penyakit Paget.
c. Waktu
Berdasarkan onsetnya, dibedakan menjadi gagal jantung akut dan
Gagal Jantung Kronis. Gagal Jantung Akut adalah gagal jantung dengan serangan
cepat dari gejala-gejala atau tanda-tanda akibat fungsi jantung yang abnormal.
Gagal Jantung Kronis adalah suatu kondisi patofisiologi dimana terdapat
kegagalan jantung memompa darah yang sesuai dengan kebutuhan jaringan.
d. Anatomisnya
Berdasarkan anatomisnya dibedakan menjadi gagal jantung kanan dan
gagal jantung kiri. Gagal jantung kiri akibat kelemahan ventrikel, meningkatkan
tekanan vena pulmonalis dan paru menyebabkan pasien sesak nafas dan ortopnea.
Gagal jantung kanan menyebabkan ventrikel kanan melemah seperti pada
hipertensi pulmonal primer/sekunder, tromboemboli paru kronik sehingga terjadi
kongesti vena sistemik yang menyebabkan edema perifer, hepatomegali dan
distensi vena jugularis.

3.10 Etiologi
Etiologi dari gagal jantung bermacam-macam tergantung pada
klasifikasinya.
Etiologi dari Gagal Jantung Sistolik (Fraksi Ejeksi <40%)
1. Penyakit Arteri Koroner
2. Dilatasi Non iskemik
3. Kardiomiopati
4. Infark Miokardial

ii
5. Kelainan genetik/familial
6. Kelainan infiltratif
7. Iskemia miokardial
8. Tekanan berlebihan secara kronis
9. Kerusakan yang diinduksi obat/toksik
10. Hipertensi
11. Kelainan metabolisme
12. Penyakit katup obstruktif
13. Virus
14. Volume berlebihan kronis
15. Penyakit Chagas
16. Penyakit regurgitasi katup
17. Kelainan ritme dan detak jantung
18. Shunting Intrakardiak (kanan-kiri)
19. Bradiaritmia kronis
20. Shunting ekstrakardiak
21. Takiaritmia kronis
Etiologi Gagal Jantung Diastolik (Fraksi Ejeksi >40%-50%)
1. Hipertrofi patologis primer (Kardiomiopati hipertrofi)
2. Kardiomiopati restriktif
3. Kelainan infiltratif (amiloidosis sarcoidosis)
4. Kelainan penyimpanan (hemokromatosis)
5. Fibrosis penuaan
6. Kelainan endomiokardial
7. Penyakit endomiokardial
Penyakit Paru
1. Cor pulmonale
2. Kelainan vaskular pulmoner
Keadaan High Output
1. Kelainan metabolik
2. Kebutuhan aliran darah yang berlebih

ii
3. Tirotoksikosis
4. Shunting Arteriovenosus sistemik
5. Kelainan nutrisional (beri-beri)
6. Anemia Kronis

3.11 Patofisiologi

Gagal jantung dapat dilihat sebagai suatu kelainan progresif yang dimulai
setelah adanya “index event” atau kejadian penentu hal ini dapat berupa kerusakan
otot jantung, yang kemudian mengakibatkan berkurangnya miosit jantungyang
berfungsi baik, atau mengganggu kemampuan miokardium untuk menghasilkan
daya. Hal ini pada akhirnya mengakibatkan jantung tidak dapat berkontraksi
secara normal. Kejadian penentu yang dimaksud ini dapat memiliki onset yang
tiba-tiba, seperti misalnya pada kasus infark miokard akut (MI), atau memiliki
onset yang gradual atau insidius, seperti pada pasien dengan tekanan
hemodinamik yang tinggi (pada hipertensi) atau overload cairan (pada gagal
ginjal), atau bisa pula herediter, seperti misalnya pada kasus dengan kardiomiopati

genetik. Pasien dengan gagal jantung pada akhirnya memiliki satu kesamaan,
yaitu penurunan kemampuan pompa jantung, terlepas dari berbagai penyebab
gagal jantung. Pada kebanyakan orang gagal jantung bisa asimtomatik atau sedikit
bergejala setelah terjadi penurunan fungsi jantung, atau menjadi bergejala setelah
disfungsi dialami dalam waktu yang lama. Tidak diketahui dengan pasti mengenai
pasien dengan disfungsi ventrikel kiri tetap asimtomatik, hal yang berpotensi
mampu memberi penjelasan mengenai hal ini adalah banyaknya mekanisme
kompensasi yang akan teraktivasi saat terjadi jejas jantung atau penurunan fungsi
jantung yang tampaknya akan mengatur kemampuan fungsi ventrikel kiri dalam
batas homeostatik/fisiologis, sehingga kemampuan fungsional pasien dapat terjaga
atau hanya menurun sedikit. Transisi pasien dari gagal jantung asimtomatik ke
gagal jantung yang simtomatik, aktivasi berkelanjutan dari sistem sitokin dan
neurohormonal akan mengakibatkan perubahan terminal pada miokardium, hal ini
dikenal dengan remodelling ventrikel kiri. Patogenesis pada gagal jantung dapat

ii
diterangkan pada Gambar 1. Gagal jantung dimulai setelah adanya index event
yang menghasilkan penurunan pada kemampuan pompa jantung. Seiring dengan
menurunan pada kapasitas pompa jantung, beragam mekanisme kompensasi
diaktifkan termasuk sistem syaraf adrenergik, sistem renin angiotensin, dan sistim
sitokin. Pada jangka pendek hal ini dapat mengembalikan fungsi jantung pada
batas homoestatik sehingga pasien tetap asimtomatik. Namun dengan aktivasi
berkelanjutan mekanisme kompensasi ini dapat mengakibatkan kerusakan organ
terminal sekunder pada ventrikel, dengan remodelling ventrikel kiri yang
memburuk dan dekompensasi jantung. Sebagai akibatnya secara klinis pasien
mengalami transisi dari gagal jantung yang tidak bergejala ke gagal jantung yang
bergejala.

Gambar3.1. Patofisiologi Gagal Jantung8

Mekanisme Neurohormonal
Beberapa ahli menyarankan gagal jantung dilihat dalam suatu model
neurohormonal yaitu gagal jantung berkembang sebagai hasil ekspresi berlebihan
suatu molekul yang secara biologis aktif, yang dapat memberikan efek kerusakan
jantung dan sirkulasi.
Seiring dengan progresi gagal jantung, masukan inhibisi dari reseptor
arterial dan kardiopulmoner terus menurun, dan masukan eksitasi meningkat.
Akibatnya perubahan keseimbangan ini terjadi peningkatan aktifitas pada sistem

ii
simpatis, berkurangnya kemampuan sistem parasimpatik dan simpatik dalam
mengontrol denyut jantung, dan terganggunya regulasi reflek simpatis pada
resistensi vaskular. Iskemia dinding anterior juga memiliki efek tambahan pada
eksitasi sistem saraf simpatik efferent.

Pengaturan mekanisme neurohormonal ini dapat bersifat adaptif ataupun


maladaptif. Sistem ini bersifat adaptif apabila sistem dapat memelihara tekanan
perfusi arteri selama terjadi penurunan curah jantung. Sistem ini menjadi
maladaptif apabila menimbulkan peningkatan hemodinamik melebihi batas
ambang normal, menimbulkan peningkatan kebutuhan oksigen, serta memicu
timbulnya cedera sel miokard. Adapun pengaturan neurohormonal sebagai
berikut:
A. Sistem Saraf Adrenergik

Pasien dengan gagal jantung terjadi penurunan curah jantung. Hal iniakan
dikenali oleh baroreseptor di sinus caroticus dan arcusaorta, kemudian
dihantarkan ke medulla melalui nervus IX dan X,yang akan mengaktivasi sistem
saraf simpatis. Aktivasi systemsaraf simpatis ini akan menaikkan kadar
norepinefrin (NE). Hal iniakan meningkatkan frekuensi denyut jantung,
meningkatkankontraksi jantung serta vasokonstriksi arteri dan vena sistemik
Norepinefrin dapat meningkatkan kontraksi dan mempertahankan tekanan
darah, tetapi kebutuhan energi miokard menjadi lebih besar, yang dapat
menimbulkan iskemi jika tidak ada penyaluran O2 ke miokard. Dalam jangka
pendek aktivasi sistem adrenergic dapat sangat membantu, tetapi lambat laun akan
terjadi maladaptasi.
Penderita dengan gagal jantung kronik akan terjadi penurunan konsentrasi
norepinefrin jantung; mekanismenya masih belum jelas, mungkin berhubungan
dengan “exhaustion phenomenon” yang berasal dari aktivasi sistem adrenergik
yang berlangsung lama.

ii
Gambar 3.2 Mekanisme aktivasi sistem syaraf simpatik dan parasimpatik, dan
hormonal pada gagal jantung3

ii
A. Sistem Renin Angiotensin Aldosteron
Curah jantung yang menurun, akan terjadi aktivasi sistem renin- angiotensin
aldosteron. Beberapa mekanisme seperti hipoperfusi renal, berkurangnya natrium
terfiltrasi yang mencapai makula densa tubulus distal, dan meningkatnya stimulasi
simpatis ginjal, memicu peningkatan pelepasan renin dari apparatus
juxtaglomerular. Renin memecah empat asam amino dari angiotensinogen I, dan
Angiotensin -converting enzyme akan melepaskan dua asam amino dari
angiotensin I menjadi angiotensin II. Angiotensin II berikatan dengan 2 protein G
menjadi angiotensin tipe 1 (AT1) dan tipe 2 (AT2). Proses rennin angiotensin
aldosteron ini dapat tergambar pada Gambar 2.2. Aktivasi reseptor AT1 akan
mengakibatkan vasokonstriksi, pertumbuhan sel, sekresi aldosteron dan pelepasan
katekolamin, sementara AT2 akan menyebabkan vasodilatasi, inhibisi
pertumbuhan sel, natriuresis dan pelepasan bradikinin.1

Gambar 3.3 Sistem Renin Angiotensin Aldosteron

Angiotensin II mempunyai beberapa aksi penting dalam mempertahankan


sirkulasi homeostasis dalam jangka pendek, namun jika terjadi ekspresi lama dan

ii
berlebihan akan masuk ke keadaan maladaptif yang dapat menyebabkan fibrosis
pada jantung, ginjal dan organ lain. Selain itu, juga akan mengakibatkan
peningkatan pelepasan NE dan menstimulasi korteks adrenal zona glomerulosa
untuk memproduksi aldosteron.1
Aldosteron memiliki efek suportif jangka pendek terhadap sirkulasi dengan
meningkatkan reabsorbsi natrium. Akan tetapi jika berlangsung relatif lama akan
menimbulkan efek berbahaya, yaitu memicu hipertrofi dan fibrosis vaskuler dan
miokardium, yang berakibat berkurangnya compliance vaskuler dan
meningkatnya kekakuan ventrikel. Di samping itu aldosteron memicu disfungsi
sel endotel, disfungsi baroreseptor, dan inhibisi uptake norepinefrin yang akan
memperberat gagal jantung. Mekanisme aksi aldosteron pada sistem
kardiovaskuler nampaknya melibatkan stres oksidatif dengan hasil akhir inflamasi
pada jaringan.1
B. Stres Oksidatif
Pada pasien gagal jantung terdapat peningkatan kadarreactive oxygen
species (ROS). Peningkatan ini dapat diakibatkan oleh rangsangan dari
ketegangan miokardium, stimulasi neurohormonal (angiotensin II, aldosteron,
agonis alfa adrenergik, endothelin-1) maupun sitokin inflamasi (tumor necrosis
factor, interleukin-1). Efek ROS ini memicu stimulasi hipertrofi miosit, proliferasi
fibroblast dan sintesis collagen. ROS juga akan mempengaruhi sirkulasi perifer
dengan cara menurunkan bioavailabilitas NO.
C. Bradikinin
Penelitian menunjukkan bahwa bradikinin berperan penting dalam
pengaturan tonus pembuluh darah. Bradikinin akan berikatan dengan reseptor B1
dan B2. Sebagian besar efek bradikinin diperantarai lewat ikatan dengan reseptor
B2. Ikatan dengan reseptor B2 ini akan menimbulkan vasodilatasi pembuluh
darah. Pemecahan bradikinin akan dipicu oleh ACE.
D. Remodeling Ventrikel Kiri
Model neurohormonal yang telah dijelaskan di atas gagal menjelaskan
progresivitas gagal jantung. Remodeling ventrikel kiri yang progresif
berhubungan langsung dengan bertambah buruknya kemampuan ventrikel kiri di

ii
kemudian hari. Proses remodeling mempunyai efek penting pada miosit jantung,
perubahan volume miosit dan komponen nonmiosit pada miokard serta geometri
dan arsitektur ruangan ventrikel kiri. Proses remodeling jantung ini dapat
dijelaskan pada gambar 3. Remodeling berawal dari adanya beban jantung yang
mengakibatkan meningkatkan rangsangan pada otot jantung. Keadaan jantung
yang overload dengan tekanan yang tinggi, misalnya pada hipertensi atau stenosis
aorta, mengakibatkan peningkatan tekanan sistolik yang secara parallel
menigkatkan tekanan pada sarkomer dan pelebaran pada miosit jantung, yang
menghasilkan hipertrofi konsentrik. Jika beban jantung didominasi dengan
peningkatan volume ventrikel, sehingga meningkatkan tekanan pada diastolik,
yang kemudian secara seri pada sarkomer dan kemudian terjadi pemanjangan
pada miosit jantung dan dilatasi ventrikel kiri yang mengakibatkan hipertrofi
eksentrik.
Homeostasis kalsium merupakan hal yang penting dalam perkembangan
gagal jantung. Hal ini diperlukan dalam kontraksi dan relaksasi jantung. Jalur
kalsium tipe L merupakan jalur kalsium pada jantung yang paling penting. Jalur
ini akan terbuka saat depolarisasi membran sewaktu fase upstroke potensial aksi.
Akibatnya terjadi influk kalsium kedalam sel yang menyebabkan fase plateu dan
meningkatnya kadar kalsium dalam sitosol. Beberapa penelitian menunjukkan
adanya penurunan mRNA dan kadar protein serta meningkatnya proses fosforilasi
pada jalur ini. Kedua kondisi ini menyebabkan abnormalitas pada influks kalsium
dan mempengaruhi pelepasan kalsium oleh retikulum sarkoplasmadimana hal ini
akan menurunkan kecepatan pengambilan kalsium sehingga menyebabkan
konstraksi dan pengisian jantung menurun.
Kontraksi dan relaksasi jantung merupakan interaksi yang tergantung
pada energi yang memerlukan pemasukan kalsium dalam sitosol. Proses
kontraksi-eksitasi merupakan proses yang menghubungkan depolarisasi membran
plasma dengan pelepasan kalsium ke dalam sitosol, sehingga dapat berikatan
dengan troponin C. Saluran ion kalsium dan natrium pada membran plasma
berperan dalam memulai proses kontraksi- eksitasi. Proses membuka dan menutup
saluran kedua ion ini yang akan menjaga potensial membran.

ii
Pada kondisi gagal jantung terjadi abnormalitas pada pompa ion dan
saluran ion yang menjaga proses kontraksi-eksitasi. Perpindahan isoform yang
terjadi akan mengganti miosin ATPase yang tinggi dan mempengaruhi struktur
membran sehingga mengakibatkan penurunan dalam pompa kalsium ATPase.
Selain itu, adanya kebutuhan energi juga menyebabkan gangguan pada proses
kontraksi-eksitasi pada gagal jantung.
Kematian sel miokard merupakan indikator prognosis buruk pada gagal
jantung. Baik apoptosis dan nekrosis akan menyebabkan kematian sel pada gagal
jantung. Apoptosis terjadi sebagai konsekuensi dari adanya luka pada sel,
peningkatan permeabilitas mitokondria dan jumlah kalsium yang berlebih.
Apoptosis dapat berkembang menjadi nekrosis yang kemudian menjadi fibrosis.
Hal-hal ini memperburuk gagal jantung.

3.12 Klasifikasi
Berdasarkan pembagian NYHA, ada beberapa klasifikasi terkait gagal

ii
jantung, yakni
Berdasarkan Fungsional
Kelas Deskripsi
Kelas I Tidak terdapat batasan dalam
melakukan aktifitas fisik.
Aktifitas fisik sehari-hari tidak
menimbulkan kelelahan,
palpitasi atau sesak nafas
Kelas II Terdapat batasan aktifitas ringan.
Tidak terdapat keluhan saat
istrahat, namun aktifitas fisik
sehari-hari menimbulkan
kelelahan, palpitasi atau sesak
nafas
Kelas III Terdapat batasan aktifitas
bermakna. Tidak terdapat
keluhan saat istrahat, tetapi
aktfitas fisik ringan
menyebabkan kelelahan,
palpitasi atau sesak
Kelas IV Tidak dapat melakukan
aktifitasfisik tanpa keluhan.
Terdapat gejala saat istrahat.
Keluhan meningkat saat
melakukan aktifitas

Berdasarkan Struktur Jantung

Kelas Deskripsi
Stadium A Memiliki risiko tinggi untuk
berkembang menjadi gagal
jantung. Tidak terdapat
gangguan struktural atau
fungsional jantung, tidak
terdapat tanda atau gejala
Stadium B Telah terbentuk penyakit
struktur jantung yang
berhubungan dengan
perkembangan gagal jantung,
tidak terdapat tanda atau gejala
Stadium C Gagal jantung yang
simtomatik
berhubungan dengan

ii
penyakit struktural
jantung yang mendasari
Stadium D Penyakit jantung struktural
lanjut serta gejala gagal jantung
yang sangat bermakna saat
istrahat walaupun sudah
mendapat terapi medis
maksimal (refrakter)

3.13 Diagnosis
Cara mendiagnosis gagal jantung adalah dengan melihat manifestasi
klinis dan pemeriksaan penunjang berupa Xray dan ekokardiografi atau
pemeriksaan laboratorium plasma BNP.
Manifestasi Klinis Gagal Jantung
Gejala Tipikal Tanda Spesifik
Sesak nafas - Peningkatan JVP
- Ortopneu - Refluks hepatojugular
- Paroxysmal nocturnal - Suara jantung S3 (gallop)
dyspnoe - Apex jantung bergeser ke
- Toleransi aktifitas yang lateral
berkurang - Bising jantung
- Cepat lelah
- Begkak di pergelangan
kaki

Gejala Non Tipikal Tanda Non Spesifik


- Batuk di malam / dini hari - Edema perifer
- Mengi - Krepitasi pulmonal
- Berat badan bertambah > - Sura pekak di basal paru
2 kg/minggu pada perkusi
- Berat badan turun (gagal - Takikardia
jantung stadium lanjut) - Nadi ireguler
- Perasaan kembung/ begah - Nafas cepat
- Nafsu makan menurun - Heaptomegali
- Perasaan bingung - Asites
(terutama pasien usia - Kaheksia
lanjut)
- Depresi
- Berdebar
- Pingsan

ii
Kriteria Framingham dalam mendiagnosis gagal jantung adalah
1. Kriteria mayor disertai kriteria minor.
2. Lakukan EKG pada semua kasus dan X-Ray pada kasus Akut
3. Lakukan pengecekan laboratorium untuk BNP atau lakukan
Ekokardiografi
4. Untuk kriteria yang sesuai dengan gagal jantung, lakukan
ekokardiografi untuk mennetukan jenis gagal jantung. Ekokardiografi
mempunyai peran penting dalam mendiagnosis gagal jantung dengan
fraksi ejeksi normal.
Diagnosis harus memenuhi tiga kriteria:
1. Terdapat tanda dan/atau gejala gagal jantung
2. Fungsi sistolik ventrikel kiri normal atau hanya sedikit terganggu

ii
(fraksi ejeksi > 45 - 50%)
3. Terdapat bukti disfungsi diastolik (relaksasi ventrikel kiri abnormal /
kekakuan diastolik).
3.14 Penatalaksanaan
Tatalaksana dari pengobatan gagal jantung adalah dengan medikamentosa
dan perubahan gaya hidup.
Penatalaksanaan bagi pasien gagal jantung simptomatis7 :
1. Pemberian ACEI direkomendasikan, bagi semua pasien dengan EF ≤
40%, untuk menurunkan risiko hospitalisasi akibat gagal jantung dan
kematian dini
2. Pemberian penyekat β, setelah pemberian ACEI atau ARB pada
semua pasien dengan EF ≤ 40% untuk menurunkan risiko hosipitalisasi
akibat gagal jantung dan kematian prematur
3. MRA direkomendasikan bagi semua pasien dengan gejala gagal
jantung yang persisten dan EF≤ 35, walaupun sudah diberikan dengan
ACEI dan penyekat β

ii
 ARB
Direkomendasikan untuk menurunkan risiko hosiptalisasi gagal jantung dan
kematian prematur pada pasien dengan EF ≤ 40% dan pada pasien yang intoleran
terhadap ACEI (pasien tetap harus mendapat penyekat beta dan MRA)
 Ivabradine
Pemberiannya harus dipertimbangkan untuk menurunkan risiko
hospitalisasi pada pasien dengan EF ≤ 35%, laju nadi ≥ 70 x/menit, dan dengan
gejala yang persisten ( NYHA II-IV), walaupun sudah mendapat terapi optimal

ii
penyekat beta, ACEI dan MRA.
Pemberiannya dapat dipertimbangkan untuk menurunkan risiko hospitalisasi
pada pasien dengan irama sinus, EF≤35% dan laju nadi ≥ 70 x/menit, yang
intoleran terhadap penyekat beta, tetapi pasien harus mendapat ACEI (ARB)
dan MRA
 Digoxin
Pemberiannya dapat dipertimbangkan untuk menurunkan risiko hospitalisasi
pada pasien dengan EF ≤ 45% yang intoleran terhadap penyekat beta
(ivabradine adalah pilihan lain badi pasien dengan laju nadi > 70x/ menit).
Pasien juga harus mendapat ACEI (ARB) dan MRA
Pemberiannya dapat dipertimbangkan untuk menurunkan risiko hospitalisasi
pada pasien dengan EF ≤ 45% dan gejala yang persisten (NYHA II-IV)
walaupun sudah mendapat terapi optimal ACEI (ARB), penyekat beta dan
MRA
 H-ISDN
Pemberiannya dapat dipertimbangkan sebagai pengganti ACEI atau ARB,
bila intoleran, untuk menurunkan risiko hospitalisasi dan kematian
premature pada pasien dengan EF ≤ 45% dengan dilatasi ventrikel kiri ( atau
EF ≤ 35% ). Pasien juga harus mendapat penyekat beta dan MRA
Pemberiannya dapat dipertimbangkan untuk menurunkan risiko hospitalisasi
dan kematian premature pada EF≤45 % dengan dilatasi ventrikel kiri
(EF≤35%) dan gejala yang persisten (NYHA II-IV) dengan terapi optimal
ACEI (ARB), penyekat beta dan MRA7.

ii
Pada Gagal Jantung dengan kelainan irama yang persisten, berikan CCB atau beta
bloker. Amiodaron dapat dipertimbangkan. Kemudian tambahkan digoxin untuk
mengontrol laju ventrikel. Namun, jangan gunakan amiodaron dan digoxin karena
dapat menimbulkan bradikardia berat. Untuk mengontrol laju irama, dapat
digunakan kardioversi maupun amiodaron.

3.15 AV Block
3.15.1 Definisi
AV Block termasuk dalam kelompok aritmia blok jantung dimana terjadi
gangguan konduksi impuls yang bisa bersifat permanen atau sementara,
tergantung pada kerusakan anatomi atau fungsional jantung. Blok jantung bisa

ii
terjadi di semua sumber impuls jantung namun paling sering dikenali antara nodus
sinusatrial (blok SA), antara atrium dan ventrikel (blok AV), di dalam atria (blok
intra-atrium), atau di dalam ventrikel (blok intraventrikular). AV block terjadi jika
atrium ada delay atau tidak terhantarnya impuls antara atrium ke ventrikel. Selama
AV block, blok dapat terjadi di nodus AV, bundle of His, atau serabut purkinje.
Perbedaannya dapat diamati pada EKG pada kompleks QRS dan gelombang P.
3.15.2 Klasifikasi
1) AV block derajat I
Disebabkan karena gangguan konduksi di proksimal Bundle of His. Pada
AV blok derajat pertama, setiap dorongan atrial dilakukan ke arah ventrikel dan
tingkat ventrikel biasa diproduksi, namun PR interval melebihi 0,20 detik pada
orang dewasa. Interval PR dapat mencapai sepanjang 1,0 detik dan kadang bisa
melebihi interval P-P, sebuah fenomena yang dikenal dengan skipped P wave. PR
interval penting secara klinis karena pada perpanjangan interval PR
menggambarkan penundaan konduksi di AV simpul (interval A-H), dalam sistem
His-Purkinje (interval H-V), atau pada kedua situs. Konduksi yang sama tertunda
di kedua cabang bundel jarang dapat menghasilkan perpanjangan PR tanpa QRS
yang signifikan penyimpangan kompleks Terkadang, penundaan konduksi intra-
atrium bisa menghasilkan perpanjangan PR.
Jika kompleks QRS pada EKG skalar adalah normal dalam kontur dan
durasi, penundaan AV hampir selalu berada di simpul AV dan jarang berada di
dalam bungkusannya sendiri. Jika kompleks QRS menunjukkan pola blok cabang
bundel, delay konduksi mungkin berada dalam simpul AV atau sistem His -
Purkinje. Dalam kasus terakhir, bundel ECG-nya diperlukan untuk melokalkan
situs penundaan konduksi percepatan laju atrium atau peningkatan tonus vagal
dengan pijatan karotid dapat menyebabkan nodus AV tingkat pertama blok untuk
maju ke blok AV derajat dua saya. Sebaliknya, ketika Blok AV derajat kedua bisa
kembali ke blok tingkat pertama dengan perlambatan laju sinus
2) AV block derajat II
Pada AV blok derajat II dibagi menjadi 2 tipe yaitu mobitz tipe I
(weckenbach) dan mobitz tipe II. Pada mobitz tipe I interval PR secara progresif

ii
bertambah panjang sampai suatu ketika impuls dari atrium tidak dapat sampai ke
ventrikel dan denyut ventrikel (kompleks QRS) tidak tampak atau gelombang P
tidak diikuti oleh kompleks QRS. Mobitz tipe I dapat disebabkan karena tonus
vagus yang meningkat, intoksikasi digitalis, atau akibat proses iskemia. Pada
Mobitz tipe II interval PR tetap sama memanjang seperti pada mobitz tipe I
bedanya didapatkan denyut ventrikel yang berkurang (dropped beat). Penurunan
denyut ventrikel dapat terjadi teratur maupun tidak. Proses ini diakibatkan oleh
infark miokard akut, miokarditis,dan proses degenerasi otot jantung.
3) AV block derajat 3 (Total AV block)
Pada AV block derajat III impuls dari atrium sama sekali tidak tersampaikan ke
ventrikel akibatnya kontraksi di ventrikel sama sekali tidak berhubungan dengan
atrium. Hal ini akan nampak pada EKG dimana gelombang P teratur memiliki
kecepatan 60-90x/menit sementara kompleks QRS kecepatannya hanya 40-
60x/menit. Proses ini disebabkan oleh proses degenerasi, peradangan, intoksikasi
digitalis, dan infark miokard akut.
3.15.3 Gejala
Gejala klinis pada AV block derajat I dan II tidak begitu tampak dan kadang
hanya dirasakan seperti berdebar pada dada. Gejala yang nampak nyata pada AV
block derajat III dimana dapat terjadi sinkop atau presinkp, diikuti keluhan lelah,
sesak, dan nyeri dada pada usia lanjut.
3.15.4 Diagnosis
EKG
1. AV block derajat I : pemanjangan PR interval > 2 detik
2. AV bock derajat II : kompleks P tidak diikuti kompleks QRS
3. AV block derajat III : kompleks P dan QRS sama sekali tidak berhubungan

ii
Gambar 3.3 AV Block derajat I (Mann et al., 2015)

Gambar 3.4 AV Block derajat II tipe I (Mann et al., 2015)

ii
Gambar 3.3 AV Block derajat III (Mann et al., 2015)
3.15.5 Tatalaksana
Tidak ada tatalaksana khusus untuk AV block derajat I dan derajat II mobitz tipe
I. Untuk pasien dengan AV block derajat II tipe II dan AV block derajat III
dibutuhkan alat pacu jantung.

ii
DAFTAR PUSTAKA

Aboufakher, R. 2016. ECG in STEMI Importance and Challenges. Diakses


melalui https://www.heart.org/idc/groups/heart-
public/%40wcm/%40mwa/documents/downloadable/ucm_467056.pdf [11
Agustus 2020]

Amsterdam, E. A. et al. 2014. 2014 AHA/ACC Guideline forthe management of


patients with non-ST-elevation acutecoronary syndromes: A report of the
American College of Cardiology. American Heart Association Task Force
on practice guidelines. Circulation. e344-426

Brown, T.C. 2006. Penyakit Aterosklerotik Koroner. Dalam: Price, S.A.,


William, L.M., ed. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses Penyakit.
Edisi 6. Jakarta: EGC 580-587

Dasgupta, A. dan A. Wahed. 2014. Cardiac Markers. Clinical Chemistry,


Immunology and Laboratory Quality Control: Elsevier.

ECG & ECHO Learning. 2018. T-waves in ischemia: hyperacute, inverted


(negative), Wellen’s sing, & de Winter’s sign. Diakses melalui
https://ecgwaves.com/topic/t-wave-negative-inversions-hyperacute-wellens-
sign-de-winters/ [11 Agutus 2020]

ECG & ECHO Learning. 2018. ECG sign of myocardial infarction: pathological
Q waves dan pathological R waves. Diakses melalui
https://ecgwaves.com/topic/ecg-criteria-myocardial-infarction-pathological-
q-waves-r-waves/ [11 Agustus 2020]

Hewins, K. 2014. 2014 NSTE-ACS guidelines overview. Diakses melalui


http://www.heart.org/idc/groups/heartpublic/@wcm/@mwa/documents/dow
nloadable/ucm_489665.pdf [9Agustus 2020]

Lewis S. L et al. 2007. Medical Surgical Nursing: Assesment and Management


of Clinical Problems. Sevent edition. Volume 3. Mosby Elsevier

Ogobuiro, I. et al. 2020. Anatomy, Thorax, Heart Coronary Arteries. Diakses


melalui https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK534790/ [10 Agustus
2020]

Paulsen F. dan J. Waschke. 2011. Sobotta: Atlas of Human Anatomy Internal


Organs 15th edition. Elsevier: Munchen

ii
Rathore, V. et al. 2018. Risk Factors for Acute Myocardial Infarction: A Review.
Eurasian Journal of Medical Investigastion. 2(1):1-7

Rawshani, A. 2018. ST segmen: physiology, normal appearance, ST depression &


ST elevation. Diakses melalui https://ecgwaves.com/st-segment-normal-
abnormal-depression-elevation-causes/ [11 Agustus 2020]

Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas). 2013. Badan Penelitian dan Pengembangan


Kesehatan Kementerian Kesehatan. Depkes RI: Jakarta.

Seymour, DG. 2006. Perioperative and Postoperative Medical Assessment of


Geriatric Medicine. St. Louis: John Wiley Sons Inc.

Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia (PERKI). 2018.


Pedoman tatalaksana sindrom koroner akut edisi keempat. Diakses melalui
www.inaheart.org [8 Agustus 2020]

World Health Organization (WHO). 2008. The Top Ten Causes of Death. Diakses
melalui http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs310_2008.pdf [11
Agustus 2020]

ii

Anda mungkin juga menyukai