Anda di halaman 1dari 4

STUDI KASUS

JAKARTA, KOMPAS.com - Bank Indonesia (BI) menerbitkan Peraturan Bank


Indonesia (PBI) Nomor 18/11/PBI/2016 tentang Pasar Uang. Peraturan ini untuk memayungi
PBI dan ketentuan lainnya terkait instrumen, pelaku, uang, transaksi, infrastruktur, acuan suku
bunga dan hal-hal lain terkait pasar uang. "Peraturan tersebut antara lain PBI tentang JIBOR, PBI
tentang Instrumen Pasar Uang, dan PBI tantang Pasar Uang Antarbank dengan Prinsip Syariah,"
tulis BI dalam keterangan resminya, Jumat (12/8/2016).
PBI ini merupakan penjabaran lebih lanjut dari kewenangan BI dalam UU tentang Bank
Indonesia pasal 7 dan pasal 10 terkait upaya mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah,
serta pengendalian moneter dengan cara termasuk namun tidak terbatas pada OPT di pasar uang
baik rupiah maupun valas. Pengaturan pasar uang ini juga mengacu pada pasal 71 UU No.1
tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara yang mengatur penggunaan SUN sebagai instrumen
moneter. Implementasi dari pasal tersebut adalah dilakukannya transaksi operasi moneter BI
dengan underlying SBN. "Oleh karena itu, diperlukan pengaturan dan pengembangan pasar uang
untuk mendukung efektivitas transmisi kebijakan moneter," ujar bank sentral. Pasar uang yang
berfungsi dengan baik memiliki peranan penting untuk pengelolaan likuiditas bagi pelaku pasar
keuangan, mendukung efektivitas kebijakan moneter, pencapaian stabilitas sistem keuangan, dan
kelancaran sistem pembayaran. "Diperlukan pengaturan di pasar uang domestik yang
memberikan pedoman (guideline) bagi pelaku pasar untuk menerbitkan instrumen dan
bertransaksi di pasar uang sebagai salah satu sumber pembiayaan kegiatan ekonomi," terang BI.
(12/8/2016)
TEMPO Interaktif, Jakarta - Deputi Gubernur Bank Indonesia Budi Mulia menyatakan
pembelian Surat Berharga Negara dilakukan untuk menjaga kestabilan rupiah. SBN merupakan
bagian dari instrumen operasi pasar terbuka, selain Surat Berharga BI, Term Deposit, dan
lainnya."Implementasi Operasi Pasar Terbuka tentu ditujukan untuk stabilitas moneter, di
antaranya pasti untuk menjaga kestabilan rupiah di samping pencapaian kestabilan harga atau
inflasi," kata Budi kepada Tempo

JAKARTA, KOMPAS.com - Bank Indonesia (BI) terus berupaya menjaga pembalikan arus
modal yang berasal dari penjualan surat utang negara (SUN) oleh asing. Sebabnya, kondisi ini
mempengaruhi pelemahan rupiah. Berdasarkan data BI hingga 6 September 2012, kepemilikan
asing pada Surat Berharga Negara (SBN) mencapai Rp 234,84 triliun atau mencapai 27,96
persen dari total SBN yang mencapai Rp 839,9 triliun. Gubernur BI Darmin Nasution
menjelaskan rasio ini cukup tinggi apabila dibandingkan dengan beberapa negara kawasan.
"Kami menyadari kerentanan yang akan ditimbulkan dari besarnya kepemilikan asing pada SBN
tersebut terhadap stabilitas nilai tukar," kata Darmin saat Rapat Kerja Pembahasan RAPBN 2013
di Komisi XI DPR Jakarta, Senin (10/9/2012).
TEMPO.CO, Jakarta 22 november 2019- Kepala Riset Infovesta Utama, , Wawan
Hendrayana, mengatakan instrumen surat berharga negara (SBN) dan SBN ritel semakin
menarik di tahun depan. Pasalnya pada tahun depan, masih terdapat peluang pemangkasan
suku bunga acuan oleh Bank Indonesia.

Adapun, kemarin Bank Indonesia telah menahan suku bunga acuan di level 5 persen setelah
melakukan pemangkasan sebanyak empat kali dengan bobot total 100 basis poin sejak Juli
hingga Oktober. 

"Suku bunga di tahun depan bakal berada di level 4,5 persen hingga 4,75 persen," kata dia
kepada Bisnis, yang dilansir pada Jumat 22 November 2019. 

Karena itu, dia menuturkan deposito bakal semakin tertinggal karena bunga yang
ditawarkan akan semakin kecil sementara itu terdapat bobot pajak 20 persen yang harus
ditanggung.

Wawan menyebut pemerintah masih tetap menggantungkan nasib kepada instrumen


SBN untuk menutup defisit anggaran.  “Dengan demikian SBN menjadi alternatif instrumen
yang aman dan imbal hasilnya di atas deposito. Demand untuk SBN akan selalu ada,” ujarnya

PEMBAHASAN
Apa langkah BI menjaga arus pembalikan arus modal?
langkah rutin yang dilakukan BI adalah memonitor yang intensif terhadap perilaku
investor asing, khususnya yang melakukan investasi di pasar SBN. Sejak September 2012, saat
nilai tukar rupiah mengalami tekanan karena pembalikan modal dari SBN, BI menempuh strategi
baru dalam menjaga stabilitas nilai tukar yaitu dengan melakukan intervensi secara simultan di
pasar valuta asing dan pasar SBN. "Dengan terjaganya stabilitas harga SBN dapat mencegah
terjadinya pembalikan modal yang lebih besar," tambahnya. Selain itu, BI juga akan terus
meningkatkan kepemilikan BI atas SBN yang akan digunakan sebagai instrumen moneter. Sejak
September 2011 hingga September 2012, kepemilikan SBI oleh BI meningkat dari Rp 47,9
triliun menjadi Rp 82,4 triliun. Di sisi lain, penggunaan SBN sebagai instrumen moneter dalam
transaksi repo meningkat dari Rp 30,9 triliun menjadi Rp 62,2 triliun pada September 2012. BI
juga terus menjaga kepercayaan investor domestik terhadap pasar obligasi domestik. Sebagai
contoh, akhir 2005 lalu terjadi kejatuhan harga SBN yang tajam, sehingga mengakibatkan
investor domestik khususnya yang berinvestasi pada reksadana berbasis SBN mengalami trauma
untuk berinvestasi di pasar obligasi. "Sedangkan penguatan basis investor domestik sangat
penting untuk pendalaman pasar keuangan dan stabilitas nilai tukar," jelasnya.

2).Mengapa SBN menjadi alternatif instrumen yang aman dan imbal hasilnya di atas deposito?

Bila pasar SBN bakal langsung tergerak akibat penurunan suku bunga acuan, pada
instrumen SBN ritel, Pemerintah tetap perlu menawarkan kupon yang sesuai dengan ekspektasi
investor ritel. Pemerintah mengumpulkan lebih dari Rp49,78 triliun atau 97,26 persen dari nilai
SBN ritel jatuh tempo di tahun ini yakni Rp51,2 triliun.Meskipun selisihnya tipis bila
dibandingkan dengan nilai SBN ritel jatuh tempo, capaian ini belum memenuhi target
Pemerintah yakni di kisaran Rp60 triliun hingga Rp80 triliun. 

Di sisi lain, bila dibandingkan dengan penawaran SBN ritel tahun lalu, capaian di tahun
ini cukup positif secara nominal dan frekuensi. Perinciannya, pada tahun lalu Pemerintah
mendapatkan Rp46,01 triliun dari lima kali penerbitan SBN ritel atau 81 persen dari nilai SBN
ritel jatuh tempo kala itu yakni Rp56,8 triliun

Data penyerapan instrumen ritel tergolong mini bila dilihat dari potret kepemilikan
SBN domestik berdasarkan kepemilikannya. Investor ritel atau individu baru mewakili 3
persen dari total SBN beredar yakni Rp2.741,29 triliun atau Rp82,15 triliun seperti yang
tercatat laman Direktorat Jenderal Pengelola Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) per 19
November 2019.Porsi investor individu memang timpang bila dibandingkan dengan investor
asing memiliki modal jumbo yang kini memiliki Rp1.066,67 triliun atau 38,91 persen dari total
SBN beredar.Sebagai gambaran pada penawaran savings bond ritel (SBR), pada seri SBR005
Pemerintah mendapatkan Rp4 triliun dengan kupon sebesar 8,15 persen. 

Sebulan setelahnya, Pemerintah yang menawarkan seri ST003 pun mendapatkan Rp3,1
triliun dengan kupon yang sama. Sayangnya, nilai pemesanan terus turun hingga menyentuh
Rp1,96 triliun dari ST005 dengan kupon 7,4 persen dan SBR008 berkupon 7,2 persen dengan
Rp1,89 triliun.Bahkan, ORI016 yang pada tahun sebelumnya kerap mencetak pemesanan dua
digit hanya meraup Rp8,2 triliun dengan kupon sebesar 6,8 persen sebagai imbas penurunan
suku bunga acuan. Dalam hal penyerapan, sepanjang pemerintah memberikan imbal hasil yang
lebih tinggi dari ekspektasi maka peminatnya akan sangat besar,

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "SBN Instrumen


Aman", https://nasional.kompas.com/read/2012/06/07/03203927/sbn.instrumen.aman.
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "BI Terbitkan Peraturan Pasar
Uang", https://money.kompas.com/read/2016/08/12/175411526/bi.terbitkan.peraturan.pasar.uang

Anda mungkin juga menyukai