TEMPO.CO, Jakarta 23 November 2016 - Bank Indonesia (BI) dalam arah kebijakannya
tahun depan akan melakukan optimalisasi Surat Berharga Negara (SBN) sebagai instrumen
moneter secara bertahap menggantikan Surat Berharga Bank Indonesia (SBI).
Gubernur BI Agus D.W. Martowardojo menuturkan BI secara bertahap sudah melakukan
pengalihan instrumen itu. Hingga saat ini penggunaannya mencapai 50 persen.
"Lebih dari 50 persen kegiatan kami yang menggunakan underlying aset sudah menggunakan
underlying SBN," kata Agus, di Jakarta Convention Center, Senayan, Selasa, 22 November
2016.
Agus berujar ke depan porsi penggunaannya akan terus ditingkatkan. Target yang dicanangkan
pada 2024 mendatang, BI sepenuhnya akan menggunakan SBN sebagai underlying operasi
moneter.
Menurut Agus, khusus untuk SBI dalam term jangka pendek masih digunakan. Namun untuk
term jangka menengah hingga panjang sudah menggunakan SBN. "Kami meyakini ini akan
efisien."
Agus mengatakan saat ini total SBN yang dipegang BI sudah di atas Rp 100 triliun. "Ini
adalah suatu proses yang dijalankan secara bertahap," ucapnya.
Agus menambahkan hal ini sebagai upaya penguatan pendalaman pasar uang. "Dengan pasar
uang yang dalam dan pelaku keuangan yang semakin banyak akan berjalan optimal."
TEMPO.CO, Jakarta - Kepala Riset Infovesta Utama, Wawan Hendrayana,
mengatakan instrumen surat berharga negara (SBN) dan SBN ritel semakin
menarik di tahun depan. Pasalnya pada tahun depan, masih terdapat
peluang pemangkasan suku bunga acuan oleh Bank Indonesia.
"Suku bunga di tahun depan bakal berada di level 4,5 persen hingga 4,75
persen," kata dia kepada Bisnis, yang dilansir pada Jumat 22 November
2019.
Ads by Kiosked
Karena itu, dia menuturkan deposito bakal semakin tertinggal karena bunga
yang ditawarkan akan semakin kecil sementara itu terdapat bobot pajak 20
persen yang harus ditanggung.
“Dengan demikian SBN menjadi alternatif instrumen yang aman dan imbal
hasilnya di atas deposito. Demand untuk SBN akan selalu ada,” ujarnya.
Bila pasar SBN bakal langsung tergerak akibat penurunan suku bunga acuan,
pada instrumen SBN ritel, Pemerintah tetap perlu menawarkan kupon yang
sesuai dengan ekspektasi investor ritel.
Pemerintah mengumpulkan lebih dari Rp49,78 triliun atau 97,26 persen dari
nilai SBN ritel jatuh tempo di tahun ini yakni Rp51,2 triliun.
Meskipun selisihnya tipis bila dibandingkan dengan nilai SBN ritel jatuh
tempo, capaian ini belum memenuhi target Pemerintah yakni di kisaran Rp60
triliun hingga Rp80 triliun.
Di sisi lain, bila dibandingkan dengan penawaran SBN ritel tahun lalu,
capaian di tahun ini cukup positif secara nominal dan frekuensi.
Perinciannya, pada tahun lalu Pemerintah mendapatkan Rp46,01 triliun dari
lima kali penerbitan SBN ritel atau 81 persen dari nilai SBN ritel jatuh tempo
kala itu yakni Rp56,8 triliun
Data penyerapan instrumen ritel tergolong mini bila dilihat dari potret
kepemilikan SBN domestik berdasarkan kepemilikannya. Investor ritel atau
individu baru mewakili 3 persen dari total SBN beredar yakni Rp2.741,29
triliun atau Rp82,15 triliun seperti yang tercatat laman Direktorat Jenderal
Pengelola Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) per 19 November 2019.
Sebagai gambaran pada penawaran savings bond ritel (SBR), pada seri
SBR005 Pemerintah mendapatkan Rp4 triliun dengan kupon sebesar 8,15
persen.
TEMPO Interaktif, Jakarta - Deputi Gubernur Bank Indonesia Budi Mulia
menyatakan pembelian Surat Berharga Negara dilakukan untuk menjaga
kestabilan rupiah. SBN merupakan bagian dari instrumen operasi pasar
terbuka, selain Surat Berharga BI, Term Deposit, dan lainnya.
"Implementasi Operasi Pasar Terbuka tentu ditujukan untuk stabilitas
moneter, di antaranya pasti untuk menjaga kestabilan rupiah di samping
pencapaian kestabilan harga atau inflasi," kata Budi kepada Tempo melalui
lewat pesan pendek, Kamis, 11 Juli 2011.