Anda di halaman 1dari 8

BAB I

PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
            Al-Qur’an di yakini oleh umat islam sebagai firman Allah SWT yang diturunkan
kepada Nabi Muhammad SAW yang telah mutlak akan kebenarannya. Sebagai ajaran dan
petunjuk umat manusia tentang kehidupan di dunia ini dan di akhirat nanti.
            Al-Qur’an telah menyampaikan beberapa hal diantaranya, tentang akhlak yang baik,
hukum islam, ibadah serta tentang pendidikan dan masih banyak lagi. Untuk memahami isi
dari Al-Qur’an kita dapat melakukannya dengan membaca tafsir Al-Qur’an sehingga
memudahkan untuk dipahami.
            Berbicara tentang pendidikan, tentunya tidak lepas dari ilmu pengetahuan, metode
pengajaran, tujuan pendidikan dan objek pendidikan. Dalam makalah ini membahas tentang
objek pendidikan yang terkandung dalam Al-Qur’an surah An-Nisa’ ayat 170.

B.     Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian pendidikan?
2.      Siapakah objek pendidikan dalam QS. An-Nisa’ 170?

C.    Tujuan Masalah
1.      Untuk mengetahui pengertian pendidikan
2.      Untuk mengetahui objek pendidikan dalam Al-Qur’an

BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Tarbawi (Pendidikan)


            Kata “pendidikan”, merupakan kata benda yang berasal dari kata didik, mendapat
awalan pen dan akhiran an, yang berarti ajaran, tuntunan, pimpinan. Sedangkan pendidikan
menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah proses pengubahan sikap dan tata laku
seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya
pengajaran dan pelatihan, proses, perbuatan, cara mendidik.[1]
            Dalam bahasa arab ada tiga term yang biasa dipergunakan untuk mengartikan
pendidikan, yaitu ta’lim, tarbiyah dan ta’bid. Menurut Syed al-Nuquid al-Attas istilah ta’bid
adalah lebih tepat digunakan untuk menunjukan pengertian pendidikan.[2]Sedangkan ‘Abd
al-Fatah Jalal mengatakan bahwa kata ta’lim adalah paling tepat untuk menunjukan
pengertian pendidikan[3], karena menurutnya proses ta’lim lebih universal dari proses
tarbiyah.
            Istilah tarbiyah yang dipergunakan pendidikan berasal dari kata raba-yarbu, artinya
bertambah, bertumbuh. Kedua berasal dari kata rabiya-yarba yang berarti menjadi besar,
sedangkan ketiga berasal dari kata rabba-yarabbu, yang berarti memperbaiki, menguasai,
menuntun, menjaga, memelihara.[4]
            Kata ta’dib berasal dari addaba yang berarti undangan kepada suatu perjamuan.
[5] Kata addaba tersebut di muta’addikan menjadi adaba-yu-addibu ta’bid yang berarti
pendidikan sebagai padana dari kata ta’lim.[6]
            Definisi pendidikan atau ta’dib menurut al-Atlas adalah pengenalan dan pengakuan
(yaitu adab) yang secara berangsur-angsur telah ditanamkan kedalam diri, tempat-tempat
yang tepatdari segala sesuatu di dalam penciptaan, sehingga hal itu membimbing ke arah
pengenalan dan pengakuan tempat Tuhan yang tepat dalam tatanan wujud tersebut.[7]

B.     Objek Pendidikan
            Anak didik sebagai objek pekerjaan mendidik atau objek pendidikan merupakan
makhluk yang berada dalam proses perkembangan dan pertumbuhan yang memerlukan peran
sebagai subyek juga, sebagai sosok pribadi yang memiliki potensi, motivasi, cita-cita,
perasaan, pengalaman dan kebutuhan sebagai manusia yang ingin dihargai, aktualisasi diri.[8]
            Lembaga pendidikan yang baik tidak hanya menuntut peserta didiknya menghormati
pendidiknya, tetapi pendidik memberikan teladan terlebih dahulu mengenai cara menghargai
dan menghormati peserta didik. Bila pendidik telah melaksanakan teladan yang demikian,
maka peserta didik juga akan bersikap demikian juga, namun bila pendidik hanya menuntut
peserta didiknya saja yang menghargai dan menghormati pendidik, maka hasilnya tidak akan
berjalan dengan baik, pendidik akan cenderung menggunakan pendekatan struktural bahkan
mendidik dengan cara hukuman.
            Pada hakikatnya, proses pembelajaran merupakan interaksi antara guru dan siswa.
Guru sebagai penyampai materi pembelajaran dan siswa sebagai pencari ilmu pengetahuan
sekaligus sebagai penerimanya. Dalam melakukan interaksi tersebut terdapat rambu yang
perlu dihargai dan dituruti oleh kedua belah pihak, agar pembelajaran berjalan dengan baik
dan menyenangkan. Untuk itu, ada beberapa hal yang mesti selalu mewarnai sikap guru
dalam berinteraksi dengan siswanya, sebagaimana yang telah di paparkan diatas.
            Demikian pula dengan siswa, dalam proses pembelajaran mereka harus selalu aktif.
Mereka dituntut tidak hanya menerima penyampaian guru, tetapi juga harus aktif dalam
mencari dan menemukan sendiri pengetahuan yang dipercaya. Oleh karena itu, siswa sebagai
peserta didik tidak hanya objek pendidikan tetapi juga sebagai subjek.
            Ada dua sosok peserta didik yang diperbincangkan dalam ayat al-Qur’an surat al-
baqaroh ayat 30-31, yaitu malaikat dan Nabi Adam. Pendidiknya adalah Allah, Dia mengajar
malaikat dan juga mengajar Adam. Malaikat diberi hak berbicara mengenai apa yang akan
Allah lakukan, yaitu penciptaan manusia sebagai khalifah dimuka bumi. Dan Nabi Adam
sebagai peserta didik tidak hanya menerima transfer ilmu, tanpa usaha dari Allah. Tetapi
Allah memberikan daya kepadanya, berupa indera, akal dan atau kalbu, sehingga membuat
Adam aktif dan memperoleh ilmu mengungguli malaikat. Malaikat tidak menguasai ilmu
yang dikuasai Adam.
            Hal diatas menggambarkan petunjuk untuk para tenaga pendidik, bahwa janganlah
mereka hendaknya melihat atau memperlakukan para peserta didik sebagai objek semata.
Tetapi perlakukan jugalah sebagai subjek[9].

1.      Ayat-ayat tentang objek pendidikan


QS. An-Nisa’
ِ ْ‫ت َواأْل َر‬
‫ض َو َكانَ هَّللا ُ َعلِي ًما َح ِكي ًما‬ ِّ ‫م ال َّرسُو ُل بِ ْال َح‬fُ ‫يَا أَيُّهَا النَّاسُ قَ ْد َجا َء ُك‬
َ ‫ال َّس َم‬ ‫ق ِم ْن َربِّ ُك ْم فَآ َ ِمنُوا خَ ْيرًا لَ ُك ْم َوإِ ْن تَ ْكفُرُوا فَإِ َّن هَّلِل ِ َما فِي‬
ِ ‫اوا‬
)170 :‫(النساء‬

            Artinya :“Wahai manusia, sesungguhnya telah datang Rasul (Muhammad) itu


kepadamu dengan (membawa) kebenaran dari Tuhan (Pembimbing dan Pemelihara) kamu,
maka berimanlah kamu, itulah yang lebih baik bagimu. dan jika kamu kafir, (maka kekafiran
itu tidak merugikan Allah sedikitpun), karena sesungguhnya apa yang di langit dan di bumi
itu adalah kepunyaan Allah dan adalah Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (QS.
An-Nisa’: 170)[10]

            Dalam ayat ini Allah menyeru kepada manusia untuk beriman, sebab sudah ada Rosul
(Nabi Muhammad SAW) yang diutus untuk membawa syari’at yang benar.
            Dalam tafsir disebutkan bahwa lafadz An Naas pada saat turunnya ayat adalah kepada
ahli kafir Mekah. Adapun manusia, karena adanya kesamaan jenis, ukhuwah basyariyyah,
maka dakwah dan tarbiyah kepada non muslim pun harus tetap dilakukan, tentunya dengan
jalan yang baik.
            Nabi SAW bersabda:”Dari Abdullah Ibn ’Amr Ibn Al Ash ra. Berkata, sesungguhnya
Nabi SAW besabda: Sampaikanlah dariku walau satu ayat.....” (HR. Bukhori).
Kesimpulan: Maka manusia baik yang muslim maupun non muslim merupakan objek
dakwah dan tarbiyah. Namun disini perlu diluruskan, bahwa proses dakwah dan tarbiyah
tidak harus dengan kekerasan dan perang, tetapi dengan jalan yang hikmah, mauidzoh
hasanah, dan argumen yang bertanggung jawab.

2.      Mufrodat
ُ‫يَا أَيُّهَا النَّاس‬            : wahai manusia
‫م ال َّرسُو ُل‬fُ ‫ َجا َء ُك‬            : telah datang Rosulullah
‫ق‬ ِّ ‫بِ ْال َح‬                       : dengan (membawa) kebenaran
‫فَآ َ ِمنُوا‬                       : berimanlah
‫ت‬ِ ‫ال َّس َما َوا‬                   : langit
ِ ْ‫واأْل َر‬                   
‫ض‬ َ : bumi
‫ َعلِي ًما‬                        : maha mengetahui
‫ح ِكي ًما‬                       
َ : maha bijaksana

            Setelah Allah s.w.t. mengkritik ahlul kitab -Yahudi dan Nashrani- dan membantah
tuduhan-tuduhan mereka dalam ayat-ayat sebelumnya, maka dalam ayat 170 ini Allah s.w.t.
menasehati seluruh umat manusia dan memerintahkan mereka agar beriman, karena argument
yang ada telah jelas. Tidak ada alasan lagi untuk berpaling darinya. Sebagaimana diketahui,
bahwa kaum yahudi dahulu kala senantiasa menunggu-nunggu datangnya al-masih (Isa) dan
seorang Nabi, yaitu Nabi Muhammad s.a.w. Bahkan mereka mengirimkan para pendeta dan
ahli imu merka untuk bertanya pada Nabi Yahya a.s., apakah ia merupakan al-masih yang
disebut dalam Taurat, ataukah Nabi akhir zaman. Namun Yahya menjawab “tidak”. Dengan
turunnya ayat di atas, sesungguhnya pertanyaan-pertanyaan kaum Yahudi telah terjawab,
bahwa yang mereka nantikan selama ini sebagaimana disebutkan dalam Taurat dan Injil,
adalah Nabi Muhammad s.a.w. yang telah hadir di hadapan mereka. Oleh karenanya,
seharusnya mereka beriman padanya, karena iman itulah yang akan menyucikan mereka dari
segala kotoran dan najis, dan keimanan itulah yang akan membawa mereka kepada
kebahagiaan abadi.
            Walaupun ayat di atas sebab turunnya adalah terkait dengan kaum Yahudi, namun
bahasa yang digunakan oleh Allah s.w.t. adalah bahasa yang bersifat umum, yaitu “Ya-
ayyuhan-nasu”  yang artinya “wahai sekalian manusia’. Para ulama menyebutkan bahwa
kasus seperti ini sering terjadi, dan kemudian mereka mengambil suatu kaedah sebagai
berikut:

ِ ْ‫ال ِع ْب َرةُ بِ ُع ُموْ ِم اللَّ ْف ِظ الَ بِ ُخصُو‬


ِ َ‫ص ال َّسب‬
‫ب‬

Artinya: “Standar/kriteria (sesuatu) itu adalah umumnya lafadz (bahasa), bukan khususnya
sebab.

            Sebagaimana diketahui, memang ayat tersebut untuk kaum Yahudi secara asbabun-
nuzulnya (sebab turunnya ayat), namun yang menjadi pathokan adalah bahasa yang
digunakan Allah s.w.t. yang bersifat umum, yaitu “wahai sekalian manusia”.
            Menurut Quraish Shihab, kehadiran Rasul s.a.w. yang dinyatakan dengan kata-kata,
“datang kepada kamu” dan juga pernyataan bahwa yang beliau bawa adalah tuntunan
dari “Tuhan (Pembimbing dan Pemelihara) kamu”,  itu dimaksudkan sebagai rangsangan
kepada mitra bicara (kamu) agar menerima siapa yang datang dan menerima apa yang
dibawanya. Karenanya, wajib bagi yang didatangi untuk menyambutnya dengan gembira.
            Dengan demikian, sesungguhnya ayat ini berkaitan dengan objek pendidikan secara
global, yaitu seluruh umat manusia, tanpa terkecuali. Artinya menjadi kewajiban setiap
muslim untuk memiliki misi mendidik seluruh umat manusia. Hal ini sesuai dengan
pernyataan Allah dalam surat Ali Imran: 110, bahwasanya umat Islam adalahkhaira
ummah atau umat yang terbaik.

3.      Penjelasan
a.       Penjelasan dari ayat
      Setelah Allah SWT memberi hujjah kepada ahli kitab dan menolak keraguan dan usul
mereka yang sembrono dan bersifat menentang, maka beralihlah pembicaraan Allah
ditujukan kepada umat manusia seluruhnya. Maka, mereka diperintahkan supaya beriman.
Sesudah itu, Allah katakan pula janji-Nya atas amal kebaikan dan ancaman-Nya terhadap
perbuatan jahat, yakni sebagai isyarat, bahwa alasan telah cukup jelas, dan hujjah tak bisa
lagi dibantah.
      Jadi, tidak tersisa lagi alasan apapununtuk tidak mau atau menghalangi orang lain yang
akan mengikuti seruan Nabi dan menerima kebenaran dari Rasul yang mulia ini.
      Memang, sudah lama umat yahudi menunggu-nunggu dari Allah, kapan diturunkan
seseorang Messiah (juru selamat) dan Nabi yang telah di janjikan-Nya lewat Nabi-nabi
mereka. Pada pasal 1 Injil yahya, ada keterangan, bahwa orang yahudi menyuruh beberapa
imam dan orang lewi dari yerussalem, akan bertanya kepada yahya demikian, “siapakah
engkau?” agaknya, pada diri yahya kelihatan adanya tanda-tanda kenabian. Lalu, mereka
bertanya pula kepadanya, “apakah engkau kristus itu?”, “bukan”, jawab yahya. Mereka
bertanya lagi, “engkaulah Nabi itu?” namun yahya tetap menjawab, “bukan” (Injil Yahya 1:9-
23)
      Dengan demikian, bahwa orang-orang yahudi maupun nasrani yang tinggal di negeri
arab, tatkala mendengar ayat ini pada saat diturunkannya, mereka segera faham bahwa yang
dimaksud Rasul disini ialah Rasul yang telah dijanjikan oleh Nabi Musa as. Dalam taurat dan
oleh Nabi Isa dalam injil, maupun oleh Nabi-nabi lainnya.
      Maka berimanlah kalian itu lebih baik bagimu. Karena iman akan membersihkan dan
mensucikan kamu dari dosa dan kejahatan, bahkan membuatmu patut mendapat kebahagiaan
abadi.
      Dan kalau kamu kafir, maka sesungguhnya Allah tidak butuh imanmu dan Allah maha
kuasa dalam memberi balasan atas akibat-akibat yang ditimbulkan oleh kekafiran dan
perbuatanmu yang buruk. Karena, Allah mempunyai apa saja yang ada di langit dan bumi.
Semua itu milik-Nya dan ciptaan-Nya, dan semua adalah hamba-Nya. Mereka tunduk kepada
hukum-Nya, baik dengan taat atau paksaan. Penghambaan paksaan tanpa kehendak sendiri
(ikhtiar), adalah terjadi dengan ketundukan terhadap kekuasaan dan sunnah-sunnah-Nya di
alam semesta. Penghambaan itu bersifat umum, mencakup seluruh makhluk, baik yang
berakal maupun tidak. Sedang pengabdian ikhtiar adalah khusus dilakukan oleh orang-orang
mu’min yang baik-baik, dan para malaikat yang suci.
      Dan adalah keadaan Allah itu maha tahu dengan ilmu-Nya yang meliputi, dan maha
bijaksana dengan kebijaksanaan yang sempurna dalam segala perbuatan dan hukum-hukum-
Nya. Bagi-Nya, perkara kaum beriman, kafir atau seluruh keadaan yang lain itu tidaklah
tersembunyi. Dan diantara kebijaksanaan Allah, bahwa Dia memberimu balasan atas dosa-
dosa dan kemaksiatan yang kamu lakukan. Karena, Allah menciptakan kamu ini tidaklah sia-
sia, dan takkan membiarkan begitu saja.
      Oleh karena itu, berbahagialah orang yang mampu menahan diri dari kemauan nafsunya,
dan lebih mengutamakan kehidupan akhirat dari pada dunia. Celakalah bagi orang yang tak
mau mengingat Tuhannya, dan enggan menunaikan perintah dan larangan-Nya, bahkan
bersahabat dengan setan dan tentara-tentaranya.[11]
BAB III
PENUTUP

A.    Simpulan
            Dalam bahasa arab ada tiga term yang biasa dipergunakan untuk mengartikan
pendidikan, yaitu ta’lim, tarbiyah dan ta’bid. Menurut Syed al-Nuquid al-Attas istilah ta’bid
adalah lebih tepat digunakan untuk menunjukan pengertian pendidikan. Sedangkan ‘Abd al-
Fatah Jalal mengatakan bahwa kata ta’lim adalah paling tepat untuk menunjukan pengertian
pendidikan, karena menurutnya proses ta’lim lebih universal dari proses tarbiyah.
            Dalam QS. An-Nisa’ ayat 170 ini Allah menyeru kepada manusia untuk beriman,
sebab sudah ada Rosul (Nabi Muhammad SAW) yang diutus untuk membawa syari’at yang
benar.
            Dalam tafsir disebutkan bahwa lafadz An Naas pada saat turunnya ayat adalah kepada
ahli kafir Mekah. Adapun manusia, karena adanya kesamaan jenis, ukhuwah basyariyyah,
maka dakwah dan tarbiyah kepada non muslim pun harus tetap dilakukan, tentunya dengan
jalan yang baik.
            Nabi SAW bersabda:”Dari Abdullah Ibn ’Amr Ibn Al Ash ra. Berkata, sesungguhnya
Nabi SAW besabda: Sampaikanlah dariku walau satu ayat.....” (HR. Bukhori).
            Maka manusia baik yang muslim maupun non muslim merupakan objek dakwah dan
tarbiyah. Namun disini perlu diluruskan, bahwa proses dakwah dan tarbiyah tidak harus
dengan kekerasan dan perang, tetapi dengan jalan yang hikmah, mauidzoh hasanah, dan
argumen yang bertanggung jawab.

B.     Saran
            Menyadari bahwa dalam pembuatan makalah ini masih banyak kekurangan dan
minimnya pengetahuan dari penulis, dan kedepannya penulis akan berusaha lebih baik agar
dapat diterima dan difahami oleh pembaca maupun dosen pengampu dalam mata kuliah
Tafsir Tarbawi.
            Maka dari itu kami selaku penulis membutuhkan dan menerima masukan atau kritikan
dari dosen pengampu maupun dari pembaca.
DAFTAR PUSTAKA

Dra. Suryani, M.Ag. 2012. Hadist Tarbawi. Analisis Paedagosis Hadist-hadist


                 Nabi. Yogyakarta: Teras
Al-Maraghi Musthafa Ahmad, 1970. Terjemah Tafsir Al-Maraghi. Semarang:
            Tohaputra
Yusuf Muhammad Kadar, 2011. Tafsir Tarbawi. Yogyakarta: Zanafa Publishing
www.Qur’an Al-Islam.com di akses pada tanggal 15 maret 2017
www.Nia. Objek Pendidikan dalam Al-Qur’an.2012.wordpress.com di akses pada
            tanggal 15 maret 2017

[1] Departemen Pendidikan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, h. 232.


[2][2] Lihat Syed Muhammad al-Niqaib al-Atlas, Konsep Pendidikan dalam Islam (Bandung:
Mizan, 1990), h. 60.
[3] Lihat “Abd al Fattah Jalal, Min Ushul al-Tarbiyah fi al-Islam (Mesir:t.p., 1977M), h. 27.
[4] Lihat ‘Abd al-Rahman al-Nahlawiy, Ushul al-Tarbiyah al-Islamiyah wa
Asalibuha (Damsyik: Dar al-fikr, t.th), h.32; Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan, h. 29.
[5] Lihat Abu Husain Ahmad bin Fariz bin Zakariyah, Mu’jam Maqyis al-Lughah ditahkik
oleh ‘Abd al-Salam Mahmud Harun, Juz 1 (Mesir al-Maktabah wa al-mat’ba’ah Mushtafa al-
Halabi wa Auladuh, 1980M), h. 74
[6] Lihat Manzhur, op. Cit., Juz I, h. 206.
[7] Ibid., h. 62-63.
[8] Troboni, Pendidikan Islam; Paradigma Teologis, Filosofis dan spritualitas (Malang:
UMM Press, 2008), h. 158.
[9] Kadar Muhammad Yusuf, Tafsir Tarbawi, yogyakarta:Zanafa Publishing, h.91
[10] Qur’an al-Islam.com
[11] Al-Maraghi Musthafa Ahmad. Terjemah Tafsir Al-Maraghi. Semarang. 1970. Hal 47-49

Anda mungkin juga menyukai