Anda di halaman 1dari 61

BAB I

Pendahuluan

A. Latar Belakang

Hingga tahun 2018, telah tercatat 12.677 kasus klinis Filariasis

Limfatik di daerah endemis yang tersebar di hampir seluruh provinsi di

Indonesia, kecuali provinsi NTB, Sulawesi Utara, Bali, Jawa Timur, DI

Yogyakarta, dan DKI Jakarta (Kemenkes RI, 2019). Filariasis Limfatik

adalah penyakit tropis yang disebabkan oleh gigitan nyamuk yang

mengandung cacing filaria seperti Wuchereria bancrofti, Brugia malayi,

dan Brugia timori dalam tubuhnya. Cacing berhabitat di dalam tubuh

manusia dan menetap dalam jaringan limfatik, bermigrasi melalui nodus

limfa, dan berkembang menjadi mikrofilaria yang bersirkulasi dalam

pembuluh darah (Babu & Nutman, 2014). Sebagai dampaknya,

menyebabkan pembengkakan pada tungkai, payudara, kaki, dan organ

genital (WHO, 2019).

Beragam jenis nyamuk dapat menjadi vektor transmisi Filariasis

limfatik meliputi Anopheles, Culex, Aedes, Mansonia, dan Ochlerotatus

bergantung pada lokasi geografis dan karakteristik biologis tiap spesies

(Famakinde, 2018). Mayoritas infeksi Filariasis limfatik disebabkan oleh

cacing Wuchereria bancrofti pada persentase 90% (WHO, 2019) dengan

nyamuk Culex quinquefasciatus sebagai vektor utama (Famakinde, 2018).


Menanggapi kasus tersebut, pada tahun 2002 WHO menciptakan

program eliminasi filariasis secara global yang disebut Global Programme

to Eliminate Lymphatic Filariasis (GPELF) yang selanjutnya

ditindaklanjuti oleh Kementerian Kesehatan Republik Indonesia dengan

mengeluarkan Permenkes RI No. 94 tahun 2014 tentang Penanggulangan

Filariasis melalui pengurangan risiko penularan filariasis di suatu wilayah.

Langkah yang dilakukan adalah melalui pengendalian faktor risiko dan

POPM (Pemberian Obat Secara Massal) Filariasis. Pengendalian faktor

risiko berupa pemutusan rantai penularan, salah satunya melalui

pencegahan terhadap gigitan nyamuk Culex quinquefasciatus. Langkah ini

yang dikenal dengan strategi pemberantasan penyakit dengan Massive

Drug Administration (MDA) berupa pemberian kombinasi albendazole

dengan diethylcarbamazepine (DEC) atau albendazole dan penggunaan

Insecticide-Treated Bed Nets (ITNs). Perlindungan personal terhadap

gigitan nyamuk dilaksanakan dengan penggunaan repelen topikal/ losion

(Gryseels dkk., 2015).

Repelen topikal berbahan aktif DEET masih dipercaya sebagai

repelen yang paling efektif sehingga banyak digunakan (Xu, Choo, De La

Rosa, & Leal, 2014) . N,N-Diethyl-m-toluamide (DEET) merupakan

bahan kimia aktif beracun yang digolongkan dalam zat karsinogenik tipe

D (ATSDR, 2015). DEET memiliki efek samping cukup kuat yang

menyebabkan gangguan sensoris, kapasitas motoris, memori, dan

kemampuan belajar (Yoon dkk., 2015). DEET berperan dalam


pertumbuhan tumor dengan cara menstimulasi sel endotel dan memicu

angiogenesis (Legeay dkk., 2016). Beragam studi mengindikasikan adanya

resistensi multiple terhadap nyamuk yang disebabkan adanya overekspresi

gen, amplifikasi, dan mutasi yang menyebabkan perubahan struktur

protein sehingga menyebabkan nyamuk yang resisten. Penggunaan bahan

kimia DEET secara luas terhadap nyamuk dan serangga telah

menimbulkan resistensi nyamuk terhadap insektisida (N. Liu, 2015).

Repelen Botani yang memiliki risiko kecil terhadap lingkungan

dan kesehatan manusia menjadi alternatif yang mungkin untuk

menggantikan penggunaan DEET (Yoon dkk., 2015). Rata-rata tumbuhan

memiliki kandungan tertentu yang digunakan untuk bertahan dari serangga

pemangsa. Selain berfungsi sebagai perlindungan diri, kandungan tersebut

terkadang juga memiliki sifat anti nyamuk, seperti sitronella, eugenol,

geraniol, dan limonene (Dhara Shukla, Samudrika Wijayapala and Padma

S Vankar, 2017). Tanaman bawang, geranium, jahe, jeruk, marigold, pala,

mawar, pinus, dan violet terbukti memiliki kandungan anti nyamuk

natural. Salah satu tumbuhan yang dapat dimanfaatkan sebagai repelen

adalah kenikir marigold.

Kenikir marigold (Tagetes erecta L.) adalah tanaman hias dengan

aroma menyengat yang tumbuh subur di negara tropis maupun subtropis.

Tanaman ini berasal dari Mexico dan telah terbukti memiliki sifat

antibakterial, antimikroba, hepatoprotektif, antioksidan, analgetik, serta

insektisidal dan mosquitocidal (Priyanka, Shalini, & Navneet, 2013).


Kenikir marigold mengandung geraniol, limonene, linglool asetat,

menthol, ocimene, beta-phellandrene, dipente alpha, beta pipene, dan

tagetona yang bersifat “antifeedant“ (Salinas-Sánchez dkk., 2012).

Sementara itu, kandungan terpenoid yang ada pada daun maupun

bunganya dipercaya menjadi komponen utama yang membuat tanaman ini

bersifat anti nyamuk (Baskoro Tu, Hadianto, Istiyana, Badriyah, &

Diptyanusa, 2018).

Terpenoid berfungsi untuk menghambat sinyal saraf, metabolisme,

dan pergerakan nyamuk (Bulbuli Khanikor, 2013) cit. (Baskoro Tu dkk.,

2018). Berdasarkan penelitian terdahulu, ekstrak bunga kenikir marigold

menunjukkan aktivitas repelen terhadap nyamuk Culex quinquefasciatus

(Nikkon, Habib, Saud, & Karim, 2011). Penelitian tersebut dilakukan di

Bangladesh dengan bahan dasar yang didapatkan pada kawasan tersebut.

Kandungan dan kadar zat yang ada pada suatu tanaman bervariasi

bergantung pada faktor lingkungan tempat tumbuhan tersebut tumbuh (W.

Liu, Liu, Yin, & Zhao, 2015). Diperlukan adanya penelitian lebih lanjut

mengenai kenikir marigold di Indonesia dan pengaruhnya sebagai repelen.

Etanol atau etil alkohol adalah cairan alkohol jernih yang dibuat dari

fermentasi beragam zat yang bersifat mudah menguap sehingga digunakan

sebagai pelarut ekstrak (Azwanida NN, 2015). Disebutkan bahwa Allah

menciptakan segala yang ada di dalam bumi ini dengan manfaatnya

dengan hikmahnya;
“Wa mā khalaqnas-samā`a wal-arḍa wa mā bainahumā bāṭilā, żālika ẓ

annullażīna kafarụ fa wailul lillażīna kafarụ minan-nār “ (Q.S. As-Sad:27)

Terjemah:

Dan Kami tidak menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada antara

keduanya tanpa hikmah. Yang demikian itu adalah anggapan orang-orang

kafir, maka celakalah orang-orang kafir itu karena mereka akan masuk

neraka.

Penelitian ini bertujuan untuk mengungkap hikmah yang ada di

bumi untuk kesejahteraan umat manusia.

B. Perumusan Masalah

Meninjau latar belakang yang ada, peneliti berkeinginan untuk

mengangkat permasalahan mengenai

1. Apakah ekstrak bunga kenikir marigold efektif sebagai repelen

terhadap Nyamuk Culex quinquefasciatus?

2. Berapa nilai RT50-90 dan RC50-90 ?


C. Tujuan

1. Tujuan Umum

Mengetahui efektivitas ekstrak etanol bunga kenikir (Tagetes erecta

L.) sebagai repelen terhadap nyamuk Culex quinquefasciatus.

2. Tujuan Khusus

a. Mengetahui signifikansi perbedaan daya tolak antara kelompok

kontrol dan kelompok perlakuan

b. Mengetahui RT50 dan RT90 efek daya tolak ekstrak etanol bunga

kenikir sebagai repelen terhadap nyamuk Culex quinquefasciatus

c. Mengetahui RC50 dan RC90 efek daya tolak ekstrak etanol bunga

kenikir sebagai repelen terhadap nyamuk Culex quinquefasciatus

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis

Membuktikan daya repelen pada bunga kenikir (Tagetes erecta L.)

dan menambah wawasan ilmu mengenai repelen dengan bahan alami.

2. Manfaat Praktis

Hasil penelitian ini dapat dikembangkan dalam upaya pencegahan

filariasis dengan cara melindungi diri dari gigitan nyamuk

menggunakan ekstrak etanol dari bunga kenikir (Tagetes erecta L.).


E. Keaslian Penelitian

Tabel 1.1 Keaslian Penelitian


No. Penulis. Judul. Tahun Variabel Desain Penelitian Perbedaan Persamaan
1. Nikkon et al. Tagetes Dependen: Menggunakan metode post- Konsentrasi pelarut Jenis pelarut
erecta Linn. and its Jumlah nyamuk test only control group Lokasi sumber bahan Nyamuk uji
mosquitocidal potency yang tidak meng design. uji
against Culex gigit Analisis Probit dengan
quinquefasciatus. 2011 Independen: determinasi nilai LC50
Ekstrak pelarut
2. Marques et al. Larvacidal Dependen: Menggunakan metode post- Nyamuk uji Bahan uji
Activity of Tagetes erecta Jumlah nyamuk test only control group
Against Aedes aegypti. Aedes aegypti design.
2011 yang tidak meng Analisis Probit dengan
gigit determinasi nilai LC50 dan
Independen: LC90
Jenis konstituen
yang terkandung
dalam daun kenikir
3. Amerasan et al. Dependen: Menggunakan metode post- Bahan uji Nyamuk uji
Adulticidal and Jumlah nyamuk test only control group
Repellent properties Aedes aegypti, design
of Cassia tora Linn. Culex Analisis Probit dengan
against Culex quinquefasciatus, determinasi nilai LC50 dan
quinquefasciatus, dan Anopheles LC90, uji nilai Chi square
Aedes aegypti, and stephensi yang
Anopheles stephensi. tidak menggigit
2012 Independen:
Berbagai ekstrak
pelarut
BAB II
Tinjauan Pustaka
A. Tinjauan Pustaka
1. Filariasis

a) Definisi

Filariasis limfatik adalah penyakit tropis terabaikan akibat

infestasi cacing filaria. Penyakit ini ditularkan melalui gigitan

nyamuk Anopheles, Culex, Aedes, dan Mansonia yang membawa

cacing parasit Wuchereria bancrofti, Brugia malayi, dan B. timori

(WHO, 2013). Filariasis limfatik disebut juga elephantiasis karena

gejala kronis berupa dilatasi kelenjar getah bening, dan penebalan

pembuluh getah bening (Rajasekaran, Anuradha, Manokaran, &

Bethunaickan, 2018).

b) Gejala Klinis

Dua komponen utama filariasis limfatik adalah

lymphangiectesia dan reaksi inflamasi. Gejala klinis filariasis

limfatik bervariasi menurut tingkat keparahan, daerah geografis,

spesies parasit, intensitas infeksi, dan respon imun (Masrizal,

2012). Gejala mulai nampak setelah mengalami infeksi selama 3

bulan diawali dengan fase akut yang ditandai dengan inflamasi

kelenjar getah bening (lymphadenitis), saluran getah bening

(lymphangitis), dan pembengkakan pada tungkai dan skrotum

(lymphedema) (Rajasekaran dkk., 2018).


Manifestasi klinis tahap akut yang paling sering dijumpai

adalah demam filarial, dan manifestasi klinis tahap kronis adalah

scrotal hydrocele. Demam filariasis dapat muncul sendiri tanpa

gejala infeksi filariasis limfatik lainnya. Demam ini diawali oleh

tremor dan rigor selama 1-3 jam yang bisa diikuti dengan kongesti

(Goel, 2016).

c) Epidemiologi Filariasis

Diperkirakan bahwa 120 juta orang di negara tropis dan

subtropis terinfeksi penyakit filariasis limfatik, dengan hampir 25

juta laki-laki menderita penyakit kelamin dan 15 juta menderita

elephantiasis pada tungkai (WHO, 2018). Sebanyak 90% kasus

disebabkan oleh parasit Wuchereria bancrofti (Chakraborty,

Gurusamy, Zawieja, & Muthuchamy, 2013). Asia Tenggara

menduduki 60% dari seluruh kasus Filariasis Limfatik seluruh

dunia (Kemenkes RI, 2018).

Gambar 2.1. Distribusi Negara Endemis Filariasis Limfatik di


Seluruh Dunia (WHO, 2018)
Hingga tahun 2018, terdapat 236 kabupaten/ kota di seluruh

Indonesia yang terdata debagai daerah endemis filariasis. Papua

menjadi provinsi dengan jumlah kabupaten/kota endemis filariasis

terbanyak, dengan 23 kabupaten/kota endemis. Provinsi Nusa

Tenggara Timur menempati urutan kedua dengan 18 kabupaten/

kota endemis filariasis. Guna mengatasi hal tersebut, pemerintah

Indonesia melaksanakan Pemberian Obat Pencegahan Massal

(POPM) filariasis yang hingga saat ini dilakukan di 131

kabupaten/kota daerah endemis filariasis (Kemenkes RI, 2019).

Gambar 2.2. Peta Penyebaran Filariasis Limfatik di Indonesia (Subdit


Filariasis dan Kecacingan, 2018)

d) Etiologi Filariasis

Filariasis disebabkan oleh tiga spesies parasit cacing filaria

yaitu Wuchereria bancrofti, Brugia malayi, dan Brugia timori yang

ditransmisikan oleh nyamuk Anopheles, Culex, Aedes, Mansonia,

dan Ochlerotatus, bergantung pada kondisi geografis dan keunikan


biologis setiap spesies (Rajasekaran dkk., 2018) dan (Famakinde,

2018). Terdapat 23 spesies nyamuk dari genus Anopheles, Culex,

Mansonia, dan Armigeres sebagai vektor filariasis. Vektor utama

merupakan nyamuk Anopheles faaruti dan Anopheles punctulatus.

Spesies genus Anopheles berperan sebagai vektor malaria dan

vektor filariasis. Nyamuk Culex quinquefasciatus adalah vektor

parasit di daerah perkotaan. Pada daerah pedesaan, vektornya

terdiri dari nyamuk Anopheles atau nyamuk Aedes (Kemenkes RI,

2019).

e) Patogenesis Filariasis

Gambar 2.3. Patogenesis Filariasis Limfatik (Nutman, 2013)


Terjadi proliferasi endotel dan jaringan ikat sehingga

merusak fungsi limfa. Kerusakan pertama yang terjadi pada limfa

dikarenakan dilatasi pembuluh limfa oleh mediator yang

dikeluarkan cacing parasit yang menyebabkan kerusakan yang

secara berangsur terhadap kontraktilitas sistem limfa (Babu &

Nutman, 2014). Saat kerusakan pada sistem limfa berlanjut, rentan

terjadi stasis limfatik pada pembuluh yang terdilatasi karena

ketidakmampuan katup searah. Terjadi penurunan kemampuan

mengalirkan cairan limfe diikuti dengan peningkatan tekanan

hidrostatik (Chakraborty dkk., 2013). Peningkatan ini

menimbulkan edema jaringan dan membuat kulit rentan akan

infeksi bakteri dan jamur (Babu & Nutman, 2014). Edema jaringan

menyebabkan Reticulo Endothelial System (RES) tidak dapat

melakukan fagositosis bakteri. Infeksi sekunder oleh bakteri

menyebabkan dermato-lymphangio-adenitis. Frekuensi

lymphangio-adenitis yang tinggi menimbukan lymphedema yang

nantinya akan berkembang menjadi hydrocele dan elephantiasis

(Chakraborty dkk., 2013). Terdapat 4 faktor yang mempengaruhi

onset dan progresi patogenesis filariasis limfatik, yakni cacing

dewasa yang berinfestasi, respon inflamasi yang terjadi, infeksi

sekunder oleh bakteri, dan mikrofilaria (Bennuru & Nutman,

2009).
Terjadi penurunan kemampuan mengairkan cairan limfe

yang menyebabkan tekanan hidrostatik meningkat dan

menimbulkan edema jaringan. Edema jaringan meningkatkan

kerentanan kulit terhadap infeksi bakteri dan jamur dengan sel

Reticulo Endothelial System (RES) tidak dapat melakukan

fagositosis terhadap bakteri (Arsin, 2016).

Perubahan yang muncul selanjutnya yakni; edema berotot

dengan pengerasan jaringan, hiperpigmentasi dan hiperkeratosis

dengan wart-like protuberantia, lapisan kulit mati, dan fissura kulit

yang membuka jalan bagi mikroorganisme masuk ke dalam limfa.

Infeksi pada manusia menunjukkan aktivitas sel T yang berkurang,

yang berdampak pada timbulnya limfangitis dan perilimfangitis

pada pasien dengan gejala klinis aku maupun kronik. Sitokin

inflamasi berperan dalam respon infeksi tersebut. Sitokin seperti

IL-1, IL-6, TNF-α and GM-CSF mengalami peningkatan pada

cairan limfa (Chakraborty et al., 2013)

f) Penularan Filariasis
Penyakit dapat menular apabila terdapat 5 unsur yaitu;

sumber penular, parasit, vektor, faktor lingkungan, dan kerentanan

manusia (Masrizal, 2012). Pada filariasis limfatik, nyamuk yang

menggigit penderita akan membawa mikrofilaria yang akan

melepas selubung tubuhnya dan bergerak menuju otot dada

nyamuk. Larva berkembang dari L1 hingga menjadi larva


infeksius L3 dalam 12-14 hari. Ketika nyamuk yang di dalam

tubuhnya terdapat L3 menggigit manusia, maka mikrofilaria akan

menyebabkan infeksi di dalam tubuh manusia. Setelah L3 masuk

ke dalam pembuluh limfe di dalam tubuh manusia, L3 tumbuh

menjadi cacing dewasa dan memperbanyak diri.

Gambar 2.4. Siklus Cacing Wuchereria Brancofti (CDC, 2018)

Kemungkinan infeksi karena satu gigitan sangat kecil.

Cacing dewasa dapat hidup bertahun-tahun, dan memungkinkan

tumbuhnya lebih banyak mikrofilaria dalam darah (Malcolm K.

Jones and Donald P. McManus, 2018). Kumpulan cacing dewasa

inilah yang akan menyumbat pembuluh limfe dan menyebabkan

pembengkakan kelenjar limfe (Rajasekaran dkk., 2018).

g) Morfologi Microfilaria

1) Wuchereria bancrofti

- Mikrofilaria
Ukuran mikrofilaria ini memiliki panjang 230-300 μm dan

lebar 7,5-10 μm. Tubuhnya berselubung (sheath) dengan inti

sama besar, halus, dan teratur tanpa inti tambahan (nukleus

terminalis) di ujung belakang tubuh. Ujung depannya tumpul

sedangkan ujung belakangnya runcing (Kemenkes RI, 2014).

Gambar 2.5. Mikrofilaria Wuchereria bancrofti (CDC, 2018)

- Dewasa

Fase dewasa cacing ini berbentuk seperti benang dengan

warna putih kekuningan dengan mempertahankan lapisan

kutikula yang halus. Cacing betinanya memiliki panjang ±

89 mm dengan lebar ±0.24 mm sedangkan cacing jantan

panjangnya ± 40 mm dengan lebar ±0,1 mm. Pada cacing

betina, ujung belakang tubuh berubah tumpul, sedangkan pada

cacing jantan ujung belakang tubuh melengkung ke ventral


dengan 2 kutikula. Perbandingan cephalic space yakni

panjang: lebar = 1:1 (Kemenkes RI, 2014).

Gambar 2.6. Cacing dewasa Wuchereria bancrofti, kiri: jantan,


kanan: betina (CDC, 2014)
2) Brugia malayi

- Mikrofilaria

Mikrofilaria Brugia malayi memilki panjang 170-260 μm

dengan lebar ± 6 μm. Sama halnya dengan Wuchereria

bancrofti, cacing ini juga mmeiliki selubung dengan ujung

posterior runcing. Ujung anterior tumpul dengan 2 stylet (alat

pengebor). Inti tubuh tidak teratur dan kasar dilengkapi dengan

2 nukleus terminalis. Perbandingan cephalic space yakni

panjang: lebar = 2:1.


Gambar 2.7. Mikrofilaria Brugia malayi (CDC, 2019)

- Dewasa

Cacing dewasanya berbentuk seperti benang halus dengan

warna putih kekuningan. Cacing ini berukuran lebih kecil

dibanding Wuchereria bancrofti dengan cacing dewasa betina

memiliki panjang ± 160 μm dan lebar ± 55 μm, sedangkan

cacing jantan memiliki panjang ± 90 μm dan lebar ± 25 μm.

Cacing jantan memiliki sepasang papila besar di depan kloaka

dan di belakang, serta memiliki sepasang spikula dengan

panjang berbeda.

3) Brugia timori

- Mikrofilaria

Mikrofilaria cacing Brugia timori memiliki selubung

dengan ukuran ± 310 μm. Mikrofilaria dari Brugia timori

berbeda dengan Brugia malayi dengan cephalic space lebih

panjang, selubung yang tidak menyerap pewarnaan Giemsa,

dan nukleus berjumlah lebih banyak.


Gambar 2.8. Mikrofilaria Brugia timori (CDC, 2019)

2. Nyamuk Culex

a) Klasifikasi Nyamuk Culex

Klasifikasi nyamuk Culex adalah sebagai berikut (ITIS, 1823)

Kingdom : Animalia

Filum : Arthropoda

Kelas : Hexapoda

Ordo : Diptera

Subordo : Nematocera

Famili : Culicidae

Genus : Culex

Spesies nyamuk Culex adalah nyamuk dengan persebaran

paling besar di seluruh dunia (Bhattacharya & Basu, 2016). Culex

dikenal sebagai nyamuk oportunis yang mendapat makanan dari

manusia dan hewan. Perilaku tersebut meningkatkan potensi

nyamuk Culex untuk membawa penyakit dari hewan sehingga

menjadi ancaman terhadap kesehatan masyarakat. Salah satu


kelompok penting dari genus Culex adalah Culex pipiens yang

terdiri dari 6 jenis, yakni Cx. quinquefasciatus Say, Cx. pallens

Coquillet, Cx. australicus Dobrotworsky & Drummond, Cx.

globocoxitus Dobrotworsky, Cx. pipiens Linneaus and Cx.

molestus Forskll (Zittra dkk., 2016). Diantara semuanya, Culex

quinquefasciatus adalah yang paling banyak persebarannya dan

dapat ditemukan di hampir semua jenis air termasuk genangan air,

septic tank, lubang berisi air, dan area dengan polusi air (Correia,

Barbosa, Oliveira, & Albuquerque, 2012).

b) Distribusi Nyamuk Culex

Nyamuk Culex quenquifasciatus adalah jenis nyamuk sub

tropis dan muncul di setiap daerah zoogeographical. Namun, Culex

tidak dapat ditemukan di daerah bersuhu ekstrem di belahan bumi

utara.

Gambar 2.9. Distribusi Nyamuk Culex quinquefasciatus di dunia


(Stephanie Hill, 2013)
c) Bionomik Nyamuk Culex

Bionomik mencakup tentang penyebaran,

perkembangbiakan, umur, perilaku, populasi, kepatan musim, dan

beragam faktor lingkungan baik fisik (matahari, arus air,

kelembaban, musim), kimiawi (pH, kadar garam), maupun

lingkungan biologik (vegetasi, tumbuhan, ganggang) seekor

nyamuk. Nyamuk membutukan 3 macam tempat kehidupan, yang

terangkum dalam bionomik mengenai pembahasan tempat

istirahat, tempat memperoleh umpan/darah yang berkaitan dengan

perilaku menggigit, serta tempat perkembangbiakan.

1) Tempat Istirahat (Resting Places)

Nyamuk beristirahat dalam 2 waktu, yakni selama

waktu menunggu proses perkembangan telur, dan

istirahat sementara saat mencari darah. Nyamuk lebih

menyukai hinggap di tempat dekat tanah, teduh, dan

lembab untuk beristirahat. Jangka istiarahat nyamuk

berkisar antara 2-3 hari dimulai sesaat setelah

menggigit mangsanya. Setiap nyamuk memiliki

kebiasaan istirahat yang berbeda. Nyamuk Culex

disebut sebagai nyamuk rumahan karena suka

beristirahat di dalam rumah (Bhattacharya & Basu,

2016).

2) Perilaku Menggigit (Biting Pattern)


Nyamuk Culex memiliki sifat antropofilik dan

zoofilik dengan sasaran utama binatang peliharaan dan

ternak seperti unggas, kerbau, sapi, dan kambing.

Nyamuk Culex menghisap darah mangsanya di malam

hari mulai sesudah terbenamnya matahari hingga

sebelum matahari terbit. Circardian Biting Pattern dari

nyamuk Culex quinquefasciatus menunjukkan puncak

pada pukul 18.00-20.00. Karena karakteristik tersebut,

nyamuk Culex disebut sebagai nyamuk nocturnal

(Bhattacharya & Basu, 2016).

Kepadatan nyamuk Culex didefinisikan sebanyak

5.25 ekor/orang/jam di dalam rumah dan 5.65

ekor/orang/jam di luar rumah. Hal ini diartikan bahwa

dalam 1 jam, 5-6 nyamuk menggigit manusia yang

berada baik di dalam maupun di luar rumah (Dinkes

Kab. Pekalongan, 2011). Nyamuk mendapatkan

mangsanya dengan beragam mekanisme. Nyamuk

mampu mendeteksi karbon dioksida yang dihembuskan

oleh mangsa dan merasakan adanya bahan kimia tubuh

seperti keringat dan asam laktat. Setiap orang memiliki

kecenderungan berbeda akan kemungkinan gigitan

nyamuk. Reaksi gigitan yang ditimbulkan juga

bervariasi satu sama lain. Nyamuk terbang lebih dekat


dengan target gelap dan akan segera menyuntikkan air

liur ke kulit mangsa (Sa & Sallum, 2013).

3) Tempat Perkembangbiakan (Breeding Places)

Nyamuk Culex biasanya menggunakan sembarang

tempat seperti genangan air, selokan terbuka, maupun

empang ikan untuk kepentingan berkembang biak.

Larva nyamuk biasa ditemukan dalam air tercemar yang

letaknya jauh dari rumah. Culex menampati permukaan

terbuka lebar, terlindung dari sinar matahari, gelap,

serta berisi air tawar yang jernih dan tenang. Tempat

perindukan nyamuk Culex adalah genangan air yang

sering dijumpai pada tempat penampungan air, ruas

bambu, maupun pohon berlubang. Kehidupan larva

nyamuk Culex optimal pada genangan air yang

terlindung dari sinar matahari langung yang berada

diantara tanaman homogen seperti pada perkebunan

salak, kapulaga, dll. Selain itu, nyamuk Culex sering

ditemukan di daerah pantai, pegunungan, maupun

persawahan. Di dalam rumah, nyamuk Culex bisa

ditemukan pada tempat penampungan air seperti ember,

tempayan, bak mandi, gentong, dll. Sementara, di

sekitar rumah, nyamuk tinggal dalam genangan air pada

bekas pot, kaleng, botol, maupun drum bekas yang


terisi genangan air hujan. Kepadatan nyamuk

dipengaruhi oleh musim. Pada musim kemarau,

kepadatan ini meningkat karena aliran air di pinggir

sungan relatif lambat yang memungkinkan adanya

genangan (Karlekar & Andrew, 2016).

d) Siklus Hidup dan Morfologi Nyamuk Culex

Nyamuk Culex quinquefasciatus merupakan hewan dengan

metamorfosis holometabola (sempurna) dalam perkembangan

hidupnya. Semua fase hidup memiliki identifikasi berbeda baik

berdasarkan morfologi, sifat, cara hidup, maupun tempat hidupnya.

Daur hidup nyamuk terdiri dari 4 tahapan yakni telur, larva, pupa,

dan dewasa. Siklus hidup ini berlangsung selama 10-12 hari

dipengaruhi oleh kualitas makanan, kondisi air, suhu, kelembaban

udara (Wibowo, 2010). Berikut adalah karakteristik dari masing-

masing tahap perkembangan nyamuk Culex:

Gambar 2.10. Fase Perkembangan Nyamuk Culex sp; A. Telur; B.


Larva; C. Pupa; D. Dewasa (Haseman, 1923)
1) Telur

Telur nyamuk Culex quinquefasciatus akan menetas

menjadi larva melalui 4 tahap (instar). Telur nyamuk

Culex quinquefasciatus berukuran 0.5-0.8 mm,

berwarna hitam, berbentuk oval memanjang, dengan

permukaan poligonal. Nyamuk betina dapat

menghasilkan 100-400 butir telur yang bisa bertahan

selama 6 bulan. Telurnya diletakkan di atas permukaan

air dan saling berlekatan sehingga membentuk rakit

(Soebaktiningsih, 2015). Lama waktu penetasan sangat

dipengaruhi oleh suhu lingkungan sekitar (Karlekar &

Andrew, 2016). Pada suhu 30° C telur dapat menetas

dalam 1-3 hari, namun pada suhu yang lebih rendah

seperti suhu 16° C membutuhkan waktu yang lebih

lama, yakni dalam 7 hari.

G
ambar 2.11. Telur nyamuk Culex quinquefasciatus
(Anonim, 2002)
2) Larva
Larva nyamuk Culex quinquefasciatus memiliki

sifon/ corong udara langsing dan pekten dan

mempunyai lebih dari satu kelompok rambut (hair tuft).

Larva akan berenang ke permukaan air dan

memunculkan sifonnya dengan membentuk posisi

menggantung apabila hendak bernapas. Dalam waktu 7-

8 hari, larva akan berganti kulit sebanyak 4 kali hingga

mencapai panjang ± 10 mm. Proses ini berlangsung di

dalam lingkungan berair (akuatik). Larva mampu

berkembang hingga menetas dan dewasa dalam keadaan

optimal selama 7-14 hari (Wu, Hu, Zhao, Tian, & Xue,

2014).

Gambar 2.12. Larva Nyamuk Culex quinquefasciatus


(Rahmi, 2009)
3) Pupa

Pupa adalah tahapan terakhir perkembangan

nyamuk di dalam air. Pada tahapan ini, bentuk pupa

adalah bengkok dengan kepala-dada melebihi ukuran


perut. Pupa bernapas dengan sepasang respiratory

trumpets. Fase ini berlangsung cepat, hanya dalam 2-5

hari, dan dapat diperpanjang hingga 10 hari pada suhu

yang lebih rendah dari suhu ruangan (Astuti, 2011).

Pupa tidak dapat bertahan di bawah suhu 10° C.

Tahapan ini merupakan fase tanpa makan dan sangat

sensitif terhadap pergerakan air. Apabila terdapat

pergerakan air yang mengganggu, pupa akan bergerak

cepat untuk menyelam dan kembali ke permukaan air

dengan posisi menggantungkan diri menggunakan

sifonnya. Gerakan dalam pupa dan terpaan udara

merobek kulit pupa yang biasa disebut sebagai

penetasan (eksklosi). Selanjutnya, nyamuk keluar dari

pupal tegument bagian belakang (Wu dkk., 2014).

Gambar 2.14. Pupa Culex quinquefasciatus (Matsumura,


1985)

4) Dewasa
Culex dewasa berwarna hitam-belang putih, kepala

berwarna hitam dengan putih pada ujung. Pada dada

terdapat 2 garis putih berbentuk kurva (Astuti, 2011).

Pada bentuk dewasa, nyamuk Culex quinquefasciatus

memiliki tubuh kecoklatan dengan proboscis dan sayap

gelap dan sisik yang pucat. Di sekitar sisik, terdapat

warna emas keperakan. Femur pada kaki belakang

berwana pucat, dan seluruh kaki berwarna gelap kecuali

bagian sendi. Setelah keluar dari pupa, nyamuk jantan

dan betina akan kawin dan menghisap darah dalam 24-

36 jam (Bhattacharya & Basu, 2016).

3. Pengendalian Vektor

a) Definisi

Berdasarkan Permenkes RI No. 374 tahun 2010,

Pengendalian vektor adalah upaya mengurangi atau melenyapkan

faktor risiko artropoda yang dapat menjadi sumber penular suatu

penyakit. Pengendalian vektor ditujukan untuk menurunkan

populasi vektor serendah mungkin sehingga nantinya

meminimalisir risiko penularan penyakit dan menghindari kontak

dengan vektor untuk mencegah penularan penyakit.

b) Metode Pengendalian Vektor

Metode pengendalian vektor dibagi menjadi 3 metode

yakni Pengendalian Fisik dan Mekanik, Biologis, dan Kimia.


Pengendalian Nyamuk Culex. Pengendalian Fisik dan Mekanik

Nyamuk Culex dilakukan melalui upaya mencegah, mengurangi,

dan menghilangkan habitat perkembangbiakan dan populasi

vektor. Upaya ini dilakukan dengan mengubur kaleng atau tempat

sejenis yang dapat menampung air hujan, membersihkan

lingkungan yang berpotensi menjadi sarang, seperti bilahan bambu,

penggunaan kelambu nyamuk di malam hari, pemakaian baju

lengan panjang, maupun pemasangan kawat. Pengendalian

Biologis dilakukan dengan pemanfaatan predator dan penggunaan

bioteknologi. Predator berperan sebagai musuh vektor seperti

predator pemakan jentik; ikan. Bioteknologi ditujukan untuk

mengendalikan vektor, seperti manipulasi gen dengan penggunaan

vektor jantan mandul. Sementara pengendalian menggunakan

pestisida kimia seperti penggunaan kelambu berinsektisida,

larvasida, dll. Pestisida ini akan disemprotkan pada tempat istirahat

dan tempat menggigit vektor untuk membunuh nyamuk dewasa.

Repelen serangga adalah segala agen organic maupun

kimiawi yang membuat kondisi noxious pada kulit manusia pada

jarak 4 cm sehingga membuat serangga enggan untuk hinggap dan

menggigit. Insektisida adalah agen organik maupun kimiawi yang

membunuh serangga, biasanya dengan kandungan neurotoksin di

dalamnya. Beberapa repelen merupakan insektisida, seperti

permethrin dan pireteroid sintetis (Diaz, 2016). Repelen dapat


diproduksi dari bahan kimia maupun tumbuh-tumbuhan. Contoh

repelen kimia adalah DEET dan picaridin. Contoh repelen

berbahan dasar tumbuhan adalah geranium, bunga krisan, dan

lantana. Repelen yang ideal memiliki 12 karakteristik meliputi

dianggap efektif terhadap beragam jenis serangga, dapat digunakan

pada kulit tanpa efek samping, tidak merusak pakaian, dapat

digunakan bersamaan dengan sunscreen, tidak berbau menyengat,

tidak meninggalkan minyak pada kulit, tetap bertahan meskipun

diusap keringat maupun dicuci, stabil secara kimiawi, harga

terjangkau, tidak beracun, tidak berdampak terhadap plastik, dan

durasi perlindungan cukup efektif (Diaz, 2016).

4. Kenikir Marigold

a) Klasifikasi

Klasifikasi kenikir marigold (Tagetes erecta L.) adalah sebagai

berikut (Hisayat, 2011)

Kingdom : Plantae

Divisi : Spermatophyla

Sub divisi : Angiospermae

Kelas : Dicolyledonae

Bangsa : Asterales

Suku : Composite

Marga : Tagetes

Jenis : Tagetes erecta


Gambar 2.15. Tumbuhan Tagetes erecta L. (Priyanka dkk., 2013)

b) Morfologi

Akar tumbuhan kenikir marigold adalah akar tunggang.

Akar ini berwarna putih kekuningan serta memiliki rambut akar

yang berguna untuk mengambil nutrisi serta air yang terdapat di

dalam tanah. Tumbuhan ini tumbuh tegak ke atas dengan tinggi

berkisar 0,6 m - 1,3 m (Sukarman dan Chumaidi, 2010).

Pertulangan daun kenikir marigold marigold berjenis menyirip,

berbentuk lanset, dengan tepi beringgit dan ujung meruncing.

Bunga kenikir marigold dapat tumbuh dengan diameter hingga

7,5 – 10 cm. Bunga marigold memiliki bentuk yang menyerupai

cawan serta memiliki warna mencolok yaitu oranye dan kuning

cerah. Bunga memiliki organ bunga yang lengkap yaitu putik dan

benang sari (Winarto, 2010).


c) Karakteristik

Kenikir marigold (Tagetes erecta L) merupakan tumbuhan

asal Amerika Tengah yang dapat dijumpai pada negara tropis di

Asia Tenggara, termasuk di Indonesia. Tumbuhan kenikir marigold

yang dijumpai di Indonesia terdiri dari kenikir marigold lokal

(Cosmos sulphureus) dan kenikir marigold (Tagetes erecta L.)

(Arini et al., 2015).

Kenikir marigold dikenal masyarakat lokal sebagai tanaman

hias dengan warna kuning hingga oranye. Karena kandungan

karotenoid yang dimilikinya, kenikir marigold juga dimanfaatkan

sebagai pewarna alami. Di Indonesia, bunga ini dibudidayakan

oleh masyarakat Tabanan, Bali untuk digunakan dalam upacara

keagamaan masyarakat setempat (Aristyanti et al., 2017).

d) Kandungan

Kenikir marigold merupakan salah suatu tanaman obat

yang dapat digunakan dalam pengobatan tradisional maupun

menyembukan berbagai penyakit. Berbagai bagian dari tanaman

ini dapat digunakan untuk antimikrobial, antioksidan, insektisida

hepatoprotekif, larvasidal, dan musquitocidal activity (Priyanka

dkk., 2013). Contoh dari bagian tanaman Tagetes erecta L. yang

dapat digunakan adalah daun. Daun kenikir marigold ini dapat

digunakan sebagai antiseptik pada kasus ginjal, nyeri otot dan

dapat diaplikasikan pada penyakit karbunkle. Selain daun, bunga


kenikir marigold juga dapat digunakan untuk demam, penyakit

lambung dan juga mata (Khulbe, 2015).

Kandungan utama yang terdapat pada Tagetes erecta L. adalah

flavonoid dan karotenoid (Neeru Vasudeva, 2012). Tanaman

kenikir marigold memiliki beberapa kandungan aktif yaitu

thiopenes, flavonoids, carotenoids dan triterpeniods

(Khulbe,2015). Selain itu, kenikir marigold juga dapat

mengandung saponin, tagetiin, terthienyl, flavoxanthin, polifenol,

tannin dan minyak atsiri yang bersifat penolak serangga

(Rusmartini, et al., 2018).

Pada bagian daun dan bunga juga terdapat komponen bioaktif

yang memiliki efek biosid dan dapat digunakan sebagai repelen

seperti terthienyl dan pyrethrin yang terkandung di Terpenoid.

Terpenoid dapat digunakan dengan cara menghambat sinyal saraf,

metabolisme dan pergerakan nyamuk (Baskoro Tu dkk., 2018).

Selain itu, kandungan thiopene yang banyak terdapat pada akar dan

bunga memiliki sifat larvasidal yang dapat digunakan untuk

membunuh larva nyamuk (Priyanka dkk., 2013). Kandungan

kenikir marigold bervariasi pada setiap bagian bunganya, meliputi

mahkota, daun, dan batang. Mahkota bunga kenikir marigold

mengandung monoterpenoid piperiton keton, d-limonene,

piperiton, aromadendrene, mirsen, terpinolen, linalool, tagetone,

dan terpinen. Daun kenikir marigold mengandung geraniol, mentol,


indol, dipentin, tageton, dan geranil asetat. Batang bunga kenikir

marigold mengandung tageton, piperitone, linalol, indol, mentol,

geraniol, dan dihidrotagenon.

5. Ekstraksi

a) Definisi

Ekstraksi merupakan metode pemisahan komponen/ zat

aktif yang terkandung dalam tanaman menggunakan pelarut

selektif. Pada proses ekstraksi, pelarut akan berampur dengan zat-

zat yang terkandung dalam tanaman dan menyatu dengan polaritas

yang sama (Pandey & Tripathi, 2014). Ekstraksi bertujuan untuk

memisahkan metabolit tumbuhan yang dapat larut, dan

meninggalkan zat yang tidak dapat larut/ residu (Azwanida NN,

2015).

b) Metode

1) Maserasi

Maserasi adalah teknik yang digunakan pada pembuatan bir

dan telah diadopsi dalam penelitian tumbuhan yang bermanfaat

dalam bidang kedokteran. Maserasi dilakukan dengan

merendam tumbuhan dalam suatu wadah tertutup berisi pelarut

yang didiamkan dalam suhu ruangan minimal dalam waktu 3

hari. Proses ini dilakukan untuk melunakkan dan

menghancurkan dinding sel tumbuhan sehingga mampu


mengeluarkan bahan kimia alami didalamnya. Setelah 3 hari,

diperas dengan metode filtrasi (Azwanida NN, 2015).

2) Perkolasi

Metode ini paling sering digunakan untuk mengekstrak

bahan aktif untuk cairan maupun tinktur. Metode ini

menggunakan suatu alat bernama perkolator. Bahan padat

dilembabkan dengan suatu pelarut selama 4 jam pada wadah

tertutup. Pelarut ditambahkan untuk membentuk lapisan

dangkal, dan selanjutnya dimaserasi dalam perkolator tertutup

selama 24 jam (Pandey & Tripathi, 2014).

3) Dekoksi

Metode ini hanya digunakan untuk mengekstrak zat yang

stabil terhadap panas seperti akar dan kulit kayu. Hasil akhir

dekoksi biasanya bersifat lebih berminyak dibanding hasil

akhir maserasi (Azwanida NN, 2015).

6. Pelarut

a) Definisi

Pelarut adalah sebuah zat kimia yang digunakan untuk

melarutkan atau mengencerkan bahan lain (ILO, 2014). Selain itu,

pelarut juga dapat digunakan untuk mengekstraksi suatu tanaman.

Dalam hal ini, pelarut merupakan hal yang penting untuk

mendapatkan ekstraksi kandungan yang ada di tanaman (Arifianti,

2014).
Pelarut memiliki prinsip like dissolve like. Prinsip ini

menjelaskan bahwa pelarut polar akan melarutkan senyawa polar

juga sebaiknya pelarut nonpolar akan melarutkan senyawa non

polar [ CITATION Sur16 \l 1033 ].

b) Jenis Pelarut

1) Pelarut Senyawa Polar Protik

Pelarut ini terdiri dari molekul dengan sifat polar dan

memiliki formula R-OH (Rahayu, 2017). Pelarut ini memiliki

sifat polar dan mudah larut dalam air. Pelarut ini dapat

melarutkan berbagai senyawa polar lainnya. Contoh dari

pelarut polar adalah etanol, metanol,butanol dan air [ CITATION

Lek18 \l 1033 ].

- Metanol

Metanol merupakan senyawa kimia yang memiliki

rumus kimia CH3OH. Metanol memiliki kepolaran yang

rendah (Zulharmitta,Elrika & Rivai, 2010). Jika sebuah zat

memiliki kepolaran rendah maka zat tersebut dapat melarutkan

semua zat baik bersifat polar maupun non polar. Maka dari itu,

methanol merupakan pelarut yang universal. Metanol dapat

menarik zat seperti alkaloid, saponin dan flavonoid dari

tanaman (Astarina,Astuti & Warditiani , 2013).

- Etanol
Etanol memiliki rumus kimia C2H5OH dan merupakan

zat yang mudah menguap dan terbakar (Zulharmitta,Elrika &

Rivai, 2010). Etil-alkohol atau yang biasa disebut etanol

merupakan salah satu alkohol yang paling sering digunakan

dalam kehidupan sehari – hari. Etanol sering digunakan

sebagai pelarut dalam farmasi atau industri makanan atau

minuman karena sifatnya yang tidak beracun [ CITATION

Ang17 \l 1033 ].

2) Pelarut Senyawa Non Polar

Pelarut non polar adalah senyawa yang dapat melarutkan

senyawa non polar dan tidak larut dalam air (Rahayu, 2017).

Senyawa non polar yang hanya dapat larut jika menggunakan

pelarut non polar seperti eter, kloroform, dan n- heksana

[ CITATION Lek18 \l 1033 ].

B. Kerangka Teori
C. Kerangka Konsep

D. Hipotesis
Hipotesis dari Karya Tulis Ilmiah ini adalah

Ho: tidak terdapat perbedaan daya tolak antara kelompok kontrol dengan

kelompok perlakuan.

H1: terdapat perbedaan daya tolak antara kelompok kontrol dengan

kelompok perlakuan.
BAB III
Metode Penelitian
A. Desain Penelitian
Penelitian ini menggunakan rancangan eksperimental sederhana

(post-test only control group design). Gambaran desain penelitian adalah

sebagai berikut;

Gambar 3.1. Desain Penelitian

Keterangan:

R : Randomisasi P4: Perlakuan 4 (pelarut 16%)

A : Aklimatisasi P5 : Perlakuan 5 (pelarut 32%)

K+ : Kontrol Positif (DEET O0 : Waktu 10 menit jam ke-0

13%) O1 : Waktu 5 menit jam ke-1

K- : Kontrol Negatif (losion O2 : Waktu 5 menit jam ke-2

tanpa bahan aktif) O3 : Waktu 5 menit jam ke-3

P1: Perlakuan 1 (pelarut 2%) O4 : Waktu 5 menit jam ke-4

P2: Perlakuan 2 (pelarut 4%) O5 : Waktu 5 menit jam ke-5

P3: Perlakuan 3 (pelarut 8%) O6 : Waktu 5 menit jam ke-6


B. Lokasi dan Waktu

Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Parasitologi dan

Farmakologi FKIK UMY dan dilakukan dalam kurun waktu 1 bulan pada

Oktober 2020.

C. Subjek Penelitian

1. Populasi

Populasi yang dipakai untuk penelitian ini adalah nyamuk Culex

quinquefasciatus.

2. Sampel

Sampel penelitian adalah nyamuk Culex quinquefasciatus betina

dewasa pasca kawin dengan umur 1 minggu. Jumlah nyamuk yang

diperlukan dalam setiap sangkar adalah 25 ekor. Banyaknya repetisi

yang akan dilakukan pada setiap kelompok perlakuan adalah 3 kali,

dengan 7 kelompok perlakuan, sehingga dibutuhkan 525 nyamuk.

Karakteristik sampel dalam penelitian ini meliputi:

a) Inklusi
1) Nyamuk Culex quinquefasciatus dewasa betina pasca
kawin usia 2-3 hari yang dapat terbang
2) Nyamuk Culex quinquefasciatus yang telah dipuasakan
dalam 24 jam
b) Eksklusi
1) Nyamuk Culex quinquefasciatus yang mati sebelum
diberikan perlakuan
D. Variabel Penelitian

1. Variabel Bebas

Sejumlah konsentrasi ekstrak etanol bunga kenikir marigold (Tagetes

erecta L.) dengan konsentrasi 2%, 4% 8%, 16%, dan 32%.

2. Variabel Terikat

RT50 RT90 dan RC50 RC90.

3. Variabel Pengganggu

a) Suhu, kelembaban, dan cahaya ruangan:

Pada penelitian ini, uji akan dilakukan pada suhu ruangan

pada 27-30 ° C dengan kelembaban udara 99-100 %, dan

pencahayaan 60-65 lux.

b) Waktu penggigitan nyamuk

Sesuai dengan karakteristik waktu mengggit nyamuk Culex

quinquefasciatus, penelitian dilakukan pada malam hari setelah

matahari tenggelam yakni mulai pukul 18.00-24.00.

c) Kondisi lapar/ tidaknya nyamuk

Perlakuan dilakukan setelah nyamuk dipuasakan dalam

kurun 24 jam atau 1 hari untuk memastikan bahwa nyamuk dalam

kondisi lapar untuk keperluan uji repelen.

E. Definisi Operasional
1. Ekstrak etanol bunga kenikir (Tagetes erecta L.) adalah ekstrak

etanol yang diperoleh dari hasil maserasi yang menghasilkan ekstrak

pekat, kemudian dilakukan pengenceran dengan pelarut losion hingga

menghasilkan konsentrasi 2%, 4%, 8%, 16%, dan 32% dengan rumus

V1M1 = V2M2
Keterangan:

V1 : volume larutan sebelum pengenceran

M1 : molaritas larutan sebelum pengenceran

V2 : volume larutan sebelum pengenceran

M2 : molaritas larutan sebelum pengenceran


2. Losion yang dipakai dalam penelitian ini adalah losion repelen dari

bunga kenikir (Tagetes erecta L.) dengan konsentrasi 2%, 4%, 8%,

16%, dan 32%.

3. Nyamuk Culex quinquefasciatus betina dewasa adalah nyamuk Culex

quinquefasciatus yang siap untuk bertelur.

4. Daya tolak merupakan persentase jumlah nyamuk yang tidak

menggigit hewan coba per jumlah nyamuk uji yang dirumuskan

sebagai berikut

jumlahnyamuk yang tidak menggigit


X 100 %
jumlah nyamuk uji

5. Repellent Concentration (RC) 50-90 adalah konsentrasi bahan dari

ekstrak etanol bunga kenikir yang mempunyai daya tolak terhadap

nyamuk uji sebesar 50-90%

6. Repellent Time (RT) 50-90 adalah jangka waktu repelen yang

digunakan dan masih dapat menolak nyamuk uji

F. Instrumen Penelitian

1. Alat

a) Lemari Pengering untuk pengeringan kelopak bunga kenikir


b) Blender untuk menghaluskan kelopak bunga yang telah

dikeringkan

c) Timbangan untuk menimbang bahan uji

d) Kertas Saring untuk menyaring rendaman bunga kenikir dalam

etanol 96%

e) Pengaduk untuk mencampurkan bahan hingga homogen

f) Pemanas Air untuk memanaskan bahan hingga didapati

konsistensi yang diinginkan

g) Cawan Porcelain untuk wadah pemanasan losion ekstrak bunga

kenikir

h) Pipet untuk meneteskan pelarut dan membantu mengoleskan

repelen

i) Wadah untuk menampung losion

j) 7 buah kurungan nyamuk berukuran 35x35x35 cm sebagai

ruang uji nyamuk

k) 7 buah kurungan marmut berukuran 387 cm2, tingi 17,18 cm

l) Alat cukur untuk mencukur rambut marmut sebagai lokasi oles

repelen

m) Tabung makanan sebagai wadah larutan gula 10%

n) Aspirator untuk menyedot dan memindahkan nyamuk ke dalam

kurungan

o) Stopwatch untuk menghitung waktu uji gigitan nyamuk


p) Handschoen untuk alat perlindungan diri terhadap zat kimia

dan hewan uji

2. Bahan

a) Kelopak bunga kenikir marigold 1 kg (Tagetes erecta L.)

b) Etanol 96% sebanyak 5.0 L

c) Setil alcohol, asam stearate, lanolin, gliserin, metal paraben,

trietanolamin

d) Latutan gula 10%

e) Repelen berbahan dasar DEET dengan merek dagang Soffel

3. Hewan Uji

Penelitian ini menggunakan Nyamuk Culex quinquefasciatus

betina telah kawin usia 2-3 hari sejumlah 525 ekor dan 7 ekor marmut

betina (Cavia porcellus) seberat 300-350 gr usia 4-6 minggu sebanyak

7 ekor.

I. Prosedur Penelitian

1. Tahap Persiapan

a) Persiapan Instrumen

Mempersiapkan instrumen yang dibutuhkan sesuai yang

tertera diatas.

b) Penyediaan nyamuk Culex quinquefasciatus


Nyamuk Culex quinquefasciatus yang digunakan adalah

nyamuk betina dewasa. Larva nyamuk ini didapatkan dari hasil

rearing di Laboratorium Parasitologi FKIK UMY. Lalu, nyamuk

diberi makan larutan gula 10%. Sehari sebelum dilakukan

penelitian, nyamuk dipuasakan terlebih dahulu.

c) Penyediaan ekstrak bunga kenikir (Tagetes erecta L.) konsentrasi

2%, 4%, 8%, 16%, dan 32%

Bunga kenikir didapatkan dari kawasan pertanian yang

berlokasi di Ambarawa dan selanjutnya diidentifikasi di

Laboratorium Farmasi FKIK UMY.

1) Bunga kenikir dikeringkan dalam lemari pengering selama

kurang lebih 48 jam atau 1 – 2 hari hingga mudah

dipatahkan.

2) Bunga yang sudah kering ditimbang sebanyak 1 kilogram dan

dan dihaluskan hingga menjadi serbuk menggunakan blender.

3) Serbuk bunga kenikir yang sudah jadi ditambahkan larutan

etanol 96% dengan perbandingan 1:7 dan di aduk selama

kurang lebih 30 menit agar tercampur dengan rata.

4) Serbuk bunga yang telah dicampur dengan etanol direndam

dan didiamkan selama 5 hari dengan tetap dilakukan

pengadukan setiap harinya.


5) Setelah 5 hari, rendaman disaring menggunakan kertas saring

dan filtrat dipanaskan dengan vacum rotary evaporator 40 ℃

hingga menguap dan terbentuk hasil filtrat kental.

d) Pembuatan losion ekstrak etanol bunga kenikir

1) Siapkan bahan A yang terdiri atas setil alcohol, asam stearate,

dan lanolin serta bahan B yaitu gliserin, metal paraben, dan

trietanolamin.

2) Timbang kebutuhan bahan A dan bahan B secukupnya.

3) Masukkan bahan A kedalam cawan porcelain kemudian

dipanaskan diatas pemanas air hingga mencapai suhu 75℃.

4) Larutkan bahan B dalam aquadest panas hingga mencapai suhu

75℃.

5) Campurkan bahan B kedalam bahan A sembari diaduk hingga

homogen dan mencapai suhu 40℃.

6) Tambahkan ekstrak kemudian diaduk kembali hingga

homogen.

e) Pengenceran konsentrasi ekstrak etanol bunga kenikir

Konsentrasi ekstrak bunga kenikir marigold yang

digunakan adalah 2%, 4%, 8%, 16%, 32%. Ekstrak kental

didapatkan dengan metode maserasi dan diencerkan hingga

didapatkan konsentrasi tersebut. Pengenceran ekstrak mahkota

bunga kenikir marigold (Tagetes erecta L.) menggunakan rumus

pengenceran: V1M1 = V2M2


Keterangan:

V1 : volume larutan sebelum pengenceran

M1 : molaritas larutan sebelum pengenceran

V2 : volume larutan sebelum pengenceran

M2 : molaritas larutan sebelum pengenceran

2. Tahap Perlakuan
a) Pembagian Kelompok Penelitian

Penelitian ini terdiri dari berbagai 7 kelompok yang terbagi dalam

2 kelompok kontrol dan 5 kelompok perlakuan yaitu :


1) Kelompok kontrol positif , yaitu kelompok yang diolesi oleh

repelen berbahan DEET dkonsentrasi 13% dengan merek

dagang Soffell.

2) Kelompok kontrol negatif, yaitu kelompok dengan losion

tanpa bahan aktif

3) Kelompok perlakuan, yaitu kelompok yang diolesi dengan

ekstrak etanol bunga kenikir marigold dengan konsentrasi 2

%, 4%, 8%, 16%, dan 32% . Marmut diolesi ekstrak etanol

bunga kenikir marigold di bagian yang telah dicukur.

b) Pelaksanaan
Nyamuk uji dibiarkan dalam kondisi lapar selama 24 jam

dengan 25 nyamuk diletakkan di dalam setiap kurungan. Marmut

uji yang telah dicukur dioleskan dengan gel anti nyamuk dengan

beragam konsentrasi berbeda dan dimasukkan ke dalam kurungan

masing-masing.

Marmut I-V diolesi losion repelen daun kenikir(Tagetes

erecta L.)dengan konsentrasi dan marmut VI sebagai kontrol

positif diolesi losion berbahan aktif DEET 13% serta marmut VII

sebagai kontrol negatif diolesi losion tanpa bahan aktif. Losion

dioleskan di kulit marmut yang telah dicukur dengan ukuran 5 x 5

cm sebanyak 2 ml dengan tangan menggunakan handscoen.

Setelah diolesi losion, marmut dimasukkan ke dalam sangkar

marmut agar tidak bergerak dan dimasukkan kedalam sangkar

nyamuk yang sudah diisi dengan 25 ekor nyamuk Culex


quinquefasciatus betina. Pengamatan dilakukan setiap 5 menit pada

jam ke-0, 1, 2, 3, 4, dan 5. Percobaan diulang sebanyak 3 kali.

Efektivitas ekstrak etanol bunga kenikir marigold (Tagetes

erecta L.) sebagai repelen terhadap nyamuk Culex

quinquefasciatus dapat dilihat dengan menggunakan beberapa

parameter berikut:

1) Jumlah nyamuk yang hinggap dan menggigit bagian

marmut yang dicukur pada kelompok perlakuan selama

5 menit pada jam ke 0, 1, 2, 3, 4, dan 5.

2) Melihat hasil RC50, RC90, RT50 dan RT90 dari hasil

setiap konsentrasi ekstrak.

J. Analisis Data
Uji analisis Probit digunakan untuk menentukan nilai RT50-90 dan
RC50-90. Uji One Way Anova untuk mengetahui signifikansi perbedaan
kelompok perlakuan dengan kelompok kontrol.

K. Etika Penelitian
Penelitian ini telah dinyatakan layak etik oleh Komisi Etik Fakultas

Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UMY dengan No.

90/PSK/Akd.2019.2020/191211/FKIKUMY.
L. Alur Jalannya Penelitian

Bagan Alur Penelitian


BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil

Uji efektivitas ekstrak etanol bunga kenikir marigold (Tagetes erecta L.)

terhadap nyamuk Culex quinquefasciatus dilakukan dengan metode rancangan

eksperimental sederhana (posttest only control group design). Terdapat 7

kelompok perlakuan dengan punggung marmot yang telah dicukur sebagai

hewan uji. Setiap kelompok perlakuan diolesi losion ekstrak etanol bunga

kenikir marigold (Tagetes erecta L.) dengan konsentrasi 25, 4%, 8%, 16%, dan

32%. Kelompok perlakuan Kontrol Positif diolesi losion berbahan dasar DEET

13% dengan merek dagang Soffel dank Kontrol Negatif diolesi losion tanpa

bahan dasar aktif. Pengamatan dilakukan terhadap jumlah nyamuk yang hinggap

selama 5 menit pertama tiap jam selama 5 jam setelah perlakuan. Percobaan

diulang selama 3 kali dalam hari yang berbeda.

Penilaian terhadap aktivitas repelen dilakukan dengan pengukuran daya tolak

losion ekstrak etanol bunga kenikir marigold (Tagetes erecta L.) berbagai

konsentrasi terhadap nyamuk Culex quinquefasciatus yang hinggap. Hasil

penelitian didapatkan rata-rata daya tolak Nyamuk Culex quinquefasciatus

berdasar perlakuan dan terhadap waktu sebagai berikut

Tabel 4.1

Rata-rata Daya Tolak Nyamuk Culex quinquefasciatus Berdasarkan

Perlakuan

Perlakuan Daya Tolak (%) Std. Deviation


pelarut 2% 80,00 6,29
pelarut 4% 82,44 6,00
pelarut 8% 85,11 4,51
pelarut 16% 97,78 2,82
pelarut 32% 99,11 1,71
Kontrol Positif 100,00 0,00
Kontrol Negatif 76,67 9,13

Tabel 4. Kadar Hambat Minimal (KHM) ekstrak cabai merah


(Capsicum annuum L.) terhadap bakteri Klebsiella pneumoniae
Percobaan KHM Klebsiella pneumoniae KHM Klebsiella
ke- strain lokal (%) pneumoniae ATCC 33495

1 25% 25%

2 25% 25%

3 25% 25%

Rerata 25% 25%

Tabel 4. Menunjukkan bahwa ekstrak cabai merah (Capsicum annuum L.)

dapat menghambat pertumbuhan Klebsiella pneumoniae pada konsentrasi 25%

yang ditunjukkan dengan pertumbuhan koloni bakteri dalam jumlah sedikit pada

media agar darah, tetapi tidak terdapat perbedaan konsentrasi Kadar Hambat

Minimal ekstrak cabai merah (Capsicum annuum L.) terhadap bakteri Klebsiella

pneumoniae strain lokal maupun Klebsiella pneumoniae ATCC 33495. Hal ini

menunjukkan bahwa hipotesis 1 dan 2 diterima, namun hipotesis 3 ditolak.

B. Pembahasan

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kadar Hambat minimal (KHM) ekstrak

cabai merah (Capsium annuum L.) terhadap bakteri Klebsiella pneumoniae

sebesar 25%. Hal ini membuktikan bahwa ekstrak cabai merah (Capsicum
annuum L.) memiliki daya antibakteri terhadap Klebsiella pneumoniae, baik

strain lokal maupun strain ATCC 33495.

Cabai merah memiliki efek bakteriotatik maupun bakteriosida yang berasal

dari senyawa kapsaisin, flavonoid, alkaloid.

1. Kapsaisin merupakan turunan dari terpenoid. Golongan terpenoid

merupakan metabolit sekunder yang memiliki potensi sebagai antimikroba

dan antiprotozoa. Mekanisme kerja kapsiasin dalam membunuh bakteri

dengan mengganggu sintesis membran sel bakteri, sehingga dengan

kacaunya struktur membran sel maka sel menjadi permeabel,

menyebabkan isi sitoplasma keluar dari sel. Kondisi tersebut tentu akan

membuat bakteri tidak bertahan lama sehingga akhirnya mati (Nursanty

and Zumaidar, 2010; Sari and Ismardianita, 2018).

2. Flavonoid merupakan salah satu anggota senyawa metabolit sekunder

yang paling banyak terdapat pada tumbuhan (Rajalakshmi dan S.

Narasimhan, 1985). Menurut Sapara, (2016) flavonoid juga berperan

sebagai antibakteri dengan mekanisme kerja merusak permeabilitas

dinding sel bakteri, dan menghambat metabolisme energi sehingga

penggunaan oksigen pada bakteri terhambat. Jika metabolisme energi

terhambat maka biosintesis makromolekuler juga terhambat menyebabkan

bakteri tidak dapat berkembang.


3. Senyawa alkaloid bekerja dengan mengganggu peptidoglikan dari bakteri

sehingga lapisan dinding sel bakteri tidak dapat terbentuk secara utuh dan

seiring berjalannya waktu akan mati (Syafriana et al., 2019).

Hal tersebut sesuai dengan penelitian yang pernah dilakukan sebelumnya

dimana memiliki hasil konsentrasi yang berbeda beda setiap jenis bakteri. Sari

and Ismardianita., (2018) meneliti ekstrak cabai rawit (Capsicum Frustecens L.)

dapat menghambat bakteri Streptococcus Sp. dengan dosis efektif 40% dan

Tiandora et al., (2017) ekstrak cabai merah keriting (Capsicum annuum L.) dapat

menghambat bakteri streptococcus viridans dengan konsentrasi 0,11%.

Kemampuan bahan dalam menghambat pertumbuhan bakteri dapat

dipengaruhi oleh sifat dinding sel bakteri tersebut. Pada penelitian ini Klebsiella

pneumoniae baik strain lokal maupun ATCC 33495 bersifat gram negatif yang

memiliki struktur dinding sel yang kompleks dan mengandung komponen lipid

yang banyak sehingga ketahanan terhadap antibakteri dengan konsentrasi yang

sama (Khunaifi, 2010).

Klebsiella pneumoniae merupakan bakteri yang sering berkaitan dengan

masalah medis yaitu dapat menyebabkan terjadinya penyakit infeksi saluran

nafas yaitu pneumonia. Berdasarkan hasil penelitian ini membuktikan bahwa

cabai merah (Capsicum annuum L.) dapat menjadi salah satu obat alternatif atau

bahan herbal yang memiliki kemampuan menghambat pertumbuhan bakteri

Klebsiella pneumoniae. Diharapkan penelitian mengenai ekstrak cabai sebagai

antibakteri dapat dikembangkan lebih lanjut dengan metode yang berbeda

hingga dapat di aplikasikan pada manusia.


C. Kelemahan Penelitian

1. Aspek kontaminasi bakteri tidak dapat dihindari pada saat tabung

dimasukkan ke dalam inkubator.

2. Konsentrasi Kadar Hambat Minimal dengan Dilusi cair sulit ditentukan

dikarena ekstrak cabai merah terlalu pekat sehingga kekeruhan akibat

pertumbuhan bakteri sulit ditentukan, sehingga perlu dilakukan kultur

pada media agar darah untuk memastikan ada atau tidaknya pertumbuhan

bakteri.
Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental untuk mengetahui efektivitas

losion ekstrak etanol bunga kenikir marigold (Tagetes erecta L.) sebagai repelen

terhadap nyamuk Culex quinquefasciatus dengan metode posttest conly control

group design. Penelitian ini terdiri dari 7 kelompok dengan menggunakan

punggung marmot uji sebagaimana yang dijelaskan pada bab III mengenai metode

penelitian. Kelompok perlakuan masing-masing diolesi losion ekstrak etanol

bunga kenikir marigold (Tagetes erecta L.) dengan konsentrasi 2%, 4%, 8 %,

16%, 32%, Sebagai kontrol positif digunakan DEET konsentrasi 13% bermerek

dagang Soffel , dan kontrol negative diolesi losion tanpa konsentrasi ekstrak

etanol bunga kenikir. Pengamatan terhadap jumlah nyamuk yang menggigit

dilakukan selama 5 menit pertama selama 5 jam setelah perlakuan. Percobaan

diulang sebanyak 3 kali.

Aktivitas repelen diukur dari kemampuan daya tolak losion ekstrak etanol bunga

kenikir marigold (Tagetes erecta L.) berbagai konsentrasi yang dioleskan pada

punggung marmot uji yang telah dicukur rambutnya terhadap gigitan nyamuk

Culex quinquefasciatus, dan hasilnya didapatkan rata-rata jumlah nyamuk yang

menggigit pada setiap waktu pengamatan sebagai berikut.

Dari tabel tersebut, dapat diketahui bahwa pada .. jam pertama pemaparan losion

ekstrak etanol bunga kenikir marigold (Tagetes erecta L.) konsentrasi 16% dan

32% dinilai efektif ….


Penelitian ini juga mengamati rata-rata jumlah nyamuk yang menggigit pada

kelompok control positif, yang dilakukan dengan penggunaan DEET 13% dengan

merek dagang Soffel. Pada pengamatan ja m ke 0,1,2,3, 4, hingga 5 tidak

ditemukan nyamuk yang hinggap pada punggung marmot uji. Hal ini

membuktikan “Soffel” mempunyai efek repelen yang kuat meskipun telah

dipaparkan cukup lama (.. menit). Dari data tersebut, menunjukkan efek repelen

Soffel menyerupai losion ekstrak etanol bunga kenikir marigold (Tagetes erecta

L.) konsentrasi 32% …

Perjalanan daya repelen pada tiap satuan waktu pengamatan ditunjukkan pada

grafik berikut.

Dengan melihat table dan grafik… dapat diketahui bahwa jumlah nyamuk yang

menggigit pada losion ekstrak etanol bunga kenikir marigold (Tagetes erecta L.)

konsentrasi 32% dan … lebih sedikit dibandingkan control positif dampai

dengana khri pengamatan (5 jam). Daya tolak losion ekstrak etanol bunga kenikir

marigold akan semakin berkurang jika konsentrasi semakin rendah, dikarenakan

kadar kandungan zat flavonoid an saponin yang punya sifat penolak nyamuk ….

Sehingga nyamuk tidak mau hinggap dan menggigit. Dengan berkurangnya

konsentrasi, maka kandungan flavpnoid dan saponin akan semakin sedikit.


Untuk membuktikan apakah losion ekstrak etanol bunga kenikir marigold

(Tagetes erecta L.) efektif sebagai repelen , maka dilakukan analisis probit untuk

menentukan RC50, RC 90, RT50, dan RT90.

B. Pembahasan

Hasil analisis probit berikut memperlihatkan data RTx (waktu yang diperlukan

untuk membuat nyamuk uji tidak hinggal dan menggigit) dan RCx (konsentrasi

yang diperluka untuk membuat nyamuk uji tidak hinggap dan menggigit)

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah dilakukan,

dapat disimpulkan bahwa :

1. Ekstrak cabai merah (Capsicum annuum L.) efektif menghambat

bakteri Klebsiella pneumoniae.

2. Dosis efektif ekstrak cabai merah (Capsicm annuum L.) yang

diperlukan untuk menghambat bakteri Klebsiella pneumoniae adalah

25%.

3. Tidak terdapat perbedaan efektivitas ekstrak cabai merah (Capsicum

annuum L.) terhadap bakteri Klebsiella pneumoniae strain lokal dan

Klebsiella pneumoniae ATCC 22495.


B. Saran

1. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui efektivitas

ekstrak cabai merah (Capsicum annuum L.) terhadap bakteri Klebseilla

pneumonia dengan metode in vivo.

2. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui efektivitas

ekstrak cabai merah (Capsicum annuum L.) terhadap bakteri patogen

lainnya.

3. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui zat apa yang

terkandung dalam ekstrak cabai merah (Capsicum annuum L.) yang

berperan sebagai antibakteri.

4. Penelitian ini dapat dikembangkan lagi agar cabai merah dapat menjadi

alternatif pengobatan obat herbal yang diharapkan dapat diambil

manfaatnya bagi masyarakat.

Anda mungkin juga menyukai