Anda di halaman 1dari 26

MAKALAH

TASAWUF IRFANI
Disusun untuk memenuhi tugas
Mata Kuliah: Akhlak Tasawuf
Dosen Pembimbing:FITRAH SUGIARTO ,M.Th. I

Anggota Kelompok:
1. M. Akbar (190503004)
2. Sesa Mia Audenada (190503006)
3. Oktisifa Fauzia (190503005)

KELAS A
PROGRAM STUDI PARIWISATA SYARIAH
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
UNEVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) MATARAM
2020

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadiran Allah SWT. atas limpahan rahmah dan anugrah-Nya,
sehingga kami dapat menyelesaikan makalah tentang Tasawuf Irfani ini. Sholawat dan
salam semoga senantiasa tercurahkan kepada junjungan Nabi besar kita, Nabi
Muhammad SAW. yang telah menunjukan jalan yang lurus kepada kita semua, yaitu
jalan yang lurus berupa ajaran agama islam yang sempurna dan menjadi anugrah
terbesar bagi seluruh alam semesta.
Kami pun juga menyadari bahwa dalam pembuatan makalah ini masih banyak
terdapat kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kami mengharapkan
kritik dan saran demi perbaikan makalah yang kami buat pada masa yang akan datang,
mengingat tidak ada yang sempurna tampa ada saran yang membangun.
Kami juga mengucapkan terima kasih yang sebesar besarnya kepada semua pihak
yang telah membantu kami dalam menyusun makalah ini. Mudah mudahan makalah
sederhana ini dapat dipahami oleh semua orang khususnya para pembaca. Kami mohon
maaf yang sebesar besarnya jika terdapat kata-kata yang kurang berkenan.

Mataram, ..............2020

Kelompok 8

ii
DAFTAR ISI
COVER..................................................................................................................i
KATA PENGANTAR.........................................................................................ii
DAFTAR ISI.......................................................................................................iii
BAB I: PENDAHULUAN...................................................................................1

BAB II: PEMBAHASAN


A. Pengertian Tasawuf Irfani....................................................................4
B. Sejarah Perkembngan Tasawuf Irfani..................................................5
C. Tokoh-Tokoh Tasawuf Irfani..............................................................8
D. Ajaran-ajaran Para Tokoh Tasawuf Irfani.........................................11

BAB III: PENUTUP


A. Kesimpulan .......................................................................................22
B. Saran .................................................................................................22

iii
BAB I

PENDAHULUAN

Tasawuf merupakan ajaran kerohanian Islam dan merupakan pengembangan


dari akhlak Islam. Tasawuf menurut Al-Taftazani adalah pandangan hidup dan jalan
khusus yang dilalui oleh manusia atau calon sufi untuk memperoleh kesempurnaan
akhlak, makrifat, dan untuk mencapai kebahagiaan rohani. Ibrahim Hilal, sejalan
dengan Al-Taftazani, memhaami tasawuf sebagai pandangan hidup yang berorientasi
pada ibadah, serta bersifat asketis terhadap kemewahan dunia demi mencapai
keluhuran budi pekerti dan demi mencapai makrifat.

Tasawuf pada dasarnya mengajarkan dan membimbing manusia agar dekat


dengan Allah SWT. atau berada sedekat mungkin di sisi Allah SWT. kesadaran dekat
dengan Allah SWT. melalui komunikasi yang terus menerus antara roh manusia
dengan Tuhan. Kesadaran keberadan dekat dengan Allah SWT. itu dapat mengambil
bentuk pesatuan (secara rohani) atau dalam istilah tasawuf disebut ittihad, unity of
existencen yang dalam bahasa jawa dikenal dengan istilah “manunggaling kawulo-
gusti”

Dalam bentuknya yang sempurna, tasawuf menurut Al-Taftazani memiliki


lima ciri sebagai berikut: peningkatan moral, peleburan diri kedalam realitas mutlak,
pengetahuan intuitif langsung, ketenangan dan kebahagiaan, penggunaan simbol-
simbol dalam mengungkapakan seuatu.

Mengajarkan dua hal pokok. Pertama, adalah tangga-tangga menuju Tuhan.


Dalam terminologi sufistik, tangga-tangga ini dinamai “maqamat” yang secara harfah
berarti kedudukan atau tingkatan. Maksudnya, kedudukan antara manusia dengan
Tuhan. Seorang calon sufi, kata Ibnu Khaldu, akan berusaha mendaki dan terus
mendaki, naik dari satu tingkatan ke tingkatan lain hingga dia mencapai penyatuan
(tauhid) dan makrifat. Kedua, adalah pengalaman-pengalaman rohani yang ditemui
para sufi dalam perjalanan meraka menuju Allah. Pengalaman-pengalaman ini dalam
terminologi sufi dinamai “al-ahwal.” Ahwal menunjuk pada pengalaman-pengalaman
rohani sufi seperti rasa takut, penuh harap, dan senang kepada Allah SWT.

Para ahli mengakui bahwa kata tasawuf tidak di temukan dalam Al-Qur’an.
Kata tasawuf muncul dan dikenal di kalangan masyarakat Islam sekitar awal abad ke-2

1
H. pada waktu itu, terminologi sufi menunjuk kepada orang-orang yang memusatkan
perhatian pada ibadah dan amal sholeh, serta menjauhkan diri kemewahan dunia.
Menurut Afifi , orang pertama yang mendapat gelar sufi adalah Abu Hasyim Al-kufi.

Dalam berbagai literatur tasawuf dikemukakan tentang asal-usul kata tasawuf,


yaitu shafa (bersih atau bening), shaff (barisan), ahl al-shuffah (ahli suffah), shuf (bulu
kasar). Dari empat teori ini, shuf (bulu kasar) dianggap paling tepat baik dilihat dari
segi bahasa maupun dari kenyataan historis. Dari segi bahasa, hanya kata Shuf yang
dapat dibentuk menjadi sufi. Sementara dari segi kenyataan historis, sebutan sufi pada
awal mulanya, memang menunjuk pada orang-orang yang mengenakan pakaian bulu
kasar sebagai protes dan lawan terhadapa kalangan istana yang mengenakan pakaian
sutera.

Tasawuf mengajarkan dan membimbing manusia agar dekat dengan Allah.


Tasawuf dalam hadis dapat kita jumpai dalam kehidupan rohani Nabi Muhammad
SAW. mereka biasanya membagi kehidupan Nabi Muhammad SAW. dalam dua fase,
yaitu fase sebelum kenabian dan fase setelah kenabian. Sebelum kenabian Nabi
Muhammad SAW. biasanya menyendiri (berkhalwat di gua Hira). Terutama di bulan
suci Ramadhan. Beliau mencoba melepaskan diri dari hiruk-pikik kehidupan dan
melakukan perenungan untuk memperoleh kebenaran. Kebiasaan Nabi Muhammad
SAW. bertahannus di hua Hira ini memberi inspirasi kepada kaum sufi untuk
melakukan pengasingan diri dalam sementara waktu yang dalam terminologi sufistik
dikenal dengan sebutan uzlah. Menurut Al-Ghazali, seperti yang dikutip Taftazani,
tujuan uzlah tidak lain kecuali memusatkan diri untuk beribadah, berpikir, dan
berdzikir, seperti bermunajab kepada Allah SWT. Sedangkan pada masa kenabian,
banyak hal dari kehidupan Nabi Muhammad SAW. yang dijadikan sumber rujukan
atau referensi bagi kaaum sufi. Diantaranya adalah kehidupan Nabi Muhammad SAW.
yang sangat asketis, menjauhkan diri dari kemewahan dunia. Ibadah Nabi Muhammad
SAW. yang sangat intens juga menjadi sumber pengajaran bagi kaum sufi. Dalam
hadis riwayat Aisya yang sangat populer disebutkan bahwa Nabi Muhammad SAW.
Melaksanakan sholat malam hingga kakinya bengkak-bengkak. Ketika ditanya
mengapa hal itu dilkukan, Nabi Muhammad SAW. menjawab “tidaklah aku suka
menjadi hamba yang penuh rasa syukur kepada Allah SWT.” Diceritakan pula bahwa
Nabi Muhammad SAW. selalu beritikaf pada sepulu hari yang terakhir bulan suci
Ramadhan sampai wafat.

2
Disamping ibadah, akhlak Nabi Muhammad SAW. yang luhur dan mulia juga
menjadi rujukan kaum sufi. Dalam Al-Qur’an, Allah SWT. memuji Nabi Muhammad
SAW. sebagai pribadi yang benar-benar agung. Beliau juga disebut sebagai suri
tauladan yang baik (uswah hasanah) bagi orang yang beriman kepada Allah SWT. dan
hari akhir. Keluhuran budi pekerti seperti diperlihatkan oleh Nabi Muhammad SAW.
merupakan salah satu yang ingin dicapai dari ajaran tasawuf Islam.

3
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Tasawuf Irfani


Tasawuf irfani adalah tasawuf yang berusaha menyingkap hakikat kebenaran
atau makrifat diperoleh dengan tidak melalui logika atau pembelajaran ataupun
pemikiran, tetapi melalui pemberian Tuhan secara langsung. Secara bahasa, kata irfan
berasal dari bahasa Arab yang merupakan bentuk masdar dari arafa semakna dengan
makrifah, atau dalam istilah Yunani disebut gnosis, yaitu pengetahuan tentang sesuatu
yang diperoleh melalui berfikir (tafakkur) dan kontemplasi (tadabbur). Dalam bahasa
Arab, makrifah berbeda dengan ilmu. Kalau makrifah dihasilkan melalui
keterhubungan langsung dengan objek pengetahuan dalam artian subjek mengalami
keterhubungan dengan objek. Sementara ilmu dihasiilkan melalui transformasi (naql).
Ataupun rasionalitas (aql). Menurut Alparslan keduanya berbeda karena lahir dari
instrumen batin yang berbeda juga, jika ilmu dihasilkan dari akal, sedangkan makrifah
dihasilkan dari hati (qalb). Sementara itu irfan secara teoritis memfokuskan
perhatiannya pada masalah wujud (ontologi), mendiskusikan manusia serta Tuhan
maupun alam semesta. Dengan sendirinya, bagian ini menyerupai teosofi (falsafah
Illahi) yang juga memberika penjelasan tentang wujud. Seperti halnya filsafat, bagian
ini mendefinisikan berbagai prinsip dan masalahnya. Namu, jika filsafat hanya
mendasakan argumennya pada prinsip_prinsip rasional, irfan mendasarkan diri pada
ketersibakan mistik yang kemudian di terjemahkan dalam bahasa rasional untuk
menjelaskannya.
Di samping ada tasawuf yang membahas moralitas yang terukur, seperti
kejujuran, keikhlasan, dan perkataan yang benar, yang dinamakan tasawuf akhlaki,
ada juga tasawuf yang mempunyai tingkatan yang lebih tinggi lagi yaitu tasawuf
irfani. Tasawuf ifani tidak hanya membahas soal keikhlasan dalam hubungan antar-
manusia, tetapi lebih jauh menetapkan bahwa apa yang kita lakukan sesungguhnya
tidak perna kita lakukan. Inilah tingkat ikhas yang paling tinggi.1
1
Solehah Muclas, Tasawuf Irfani, http://kamiluszaman.blog./, 1 Maret 2020.

4
Menurut Muthahhari, irfan terdiri dari dua aspek, yaitu:
1. Aspek praktis
Aspek praktis adalah bagian yang mendiskusikan hubungan antara manusia
dengan alam dan antara hubungan manusia dengann Tuhan. Dalam hal ini, irfan
praktis menjelaskan berbagai kewajiban yang muncul sebaga konsekuensi logis
dari adanya hubungan-hubungan tersebut yang harus dilakukan manusia.
Misalnya, bahwa orang yanngg ingin mengenal Tuhan harus menempuh
perjalanan spritual lewat tahapan tahapan tertentu (maqam) dan kondisi-kondisi
batin tertentu (hal). Sebab, bagi kaum irfan, mengenal Tuhan berarti mengenal
keesaan-Nya, mengenal keesaan-Nya berarti memahami bahwa Dia adalah satu-
satunya wujud yang benar benar ada, karena keberadaan sesuatu selain-Nya hanya
ilusi belaka. Pemahaman ini, menurut kaum sufi tidak dapat dicapai lewat
pemikiran rasional melainkan dengan membersihkan hati dan melakukan
perjalanan spiritual, dimana setelah mencapai tingkatan tertentu seseorang tidak
akan melihat sesuatu yang lain kecuali hanya Allah SWT.
2. Aspek teoritis
Aspek teoritis irfan mendiskusikan hakikat semesta, manusia dan Tuhan,
sehingga irfan teoritis mempunyai kesamaan dengan fisafat yang juga
mendiskusikan tentang hakikat semesta.2 .
B. Sejarah Perkembangannya
perkembangan tasawuf irfani, secara umum terbagi ke dalam lima, yaitu:
1. Fase Pembibitan
Fase ini terjadi pada abat ke-1 H. Pada masa ini apa yang disebut irfan baru
ada dalam bentuk laku zuhud (aksestisme). Kenyataan ini, menurut Thabathai,
karena para tokoh irfan yang dikenal sebagai orang-orang suci tidak berbicara
tentang irfan secara terbuka, meski mengakui bahwa mereka dididik dalam
spiritualitas oleh Rasul atau para sahabat. Kararkter askestisme periode ini adalah:
a) Berdasarkan ajaran Al-Qur’an dan sunah, yakni menjauhi hal-hal duniawi
demi meraih pahala dan menjaga diri dari neraka.
b) Bersifat praktis, tampa ada perhatian untuk menyusun teori atau praktek-
prakek yang dilakukan.
c) Motivasi zuhudnya adalah rasa takut, yakni rasa takut yang muncul dari
landasan amal keagamaan secara sungguh-sungguh.
2
A khudori Sholeh, “Mencermani Epistemologi Sufi”, Epistem Irfan, hlm. 2-3.

5
2. Fase Kelahiran
Fase ini terjadi pada abat ke-2 H. Pada masa ini, beberapa tokoh irfan mulai
berbicara terbuka tentang irfan. Karya-karya tentang irfan juga mulai ditulis,
diawali Ri’ayat Huquq Allah karya Hasan Basri (642-728 M) yang dianggap
sebagai tulisan pertama tentang irfan, kemudian diikuti Mishbah al-Syari’ah karya
Fudlail ibnu Iyadl (w. 803 M). Lalu askestisme juga berubah, jika awalnya
dilakukan atas dasar takut dan mengharap pahala, dalam periode ini di tangan
Rabiah Al-Adawiyah (w. 801 M), zuhud dilakukan atas dasar cintah kepada Allah
SWT. bebas dari rasa takut atau mendapat pahala. Menurut Nicholson, zuhud ini
adalah model perilaku irfan yang paling dini atau irfan periode awal.
3. Fase Pertumbuhan
Fase ini terjadi pada abat ke-3 sampai ke-4 H. Sejak awal abat ke-3 H, para
tokoh irfan mulai menaru perhatian terhadap hal-hal yang berkaitan dengan jiwa
dan tingkah laku, sehingga irfan menjadi ilmu moral keagamaan (akhlaq).
Pembahasan masalah ini lebih lanjut mendorong mereka untuk membahas
pengetahuan tentang intuitif berikut sarana dan metodenya, tentang Dzat Tuhan
dan hubungan-Nya dengan manusia atau hubungan manusia dengan-Nya, yan
disusul perbincangan tentang fana, khususnya oleh Abu Yazid Al-Bustami (w. 877
M) dan hulul (imanensi Tuhan dalam manusia) oleh Abu Manshur AL-Hallaj
(858-913 M). Dari perbincangan-perbincangan seperti ini kemudian tumbuh
pengetahuan irfan, seperti al-Lum’ah fi al-Thasawuf yang ditulis Abu Nashr Sarraj
Al-Thusi (w. 988 M) dan Quthb al-Qulub karya Abu Thalib Al-Makki (w. 996
M). Bersamaan dengan itu, sejumlah toko irfan seperti Sirri Al-Saqhati (w. 910
M), Abu Said Al-Kharraz (w. 895 M), dan Junaid Al-Baghdadi (w. 910 M), juga
mempunyai banyak murid. Menurut Taftazani, inilah cika bakal bagi terbentuknya
tarikat-tarikat sufi dalam Islam, dimana sang murid menempuh pelajaran dasarnya
secara formal daam suatu majlis, dalam tarikat ini, sang murid mempelajari tata
tertib irfan, teori dan prakteknya.
Dengan demikian, pada fase ini, irfan telah mengkaji soal moral, tingkah laku
dan peningkatanya, pengenalan intuitif langsung pada Tuhan, kefanaan dalam
realitas mutlak, dan pencapaian kebahagiaan, disamping pengunaan simbol-
simbol dalam pengungkapan hakikat realitas-realitas yang dicapai irfan, seperti
yang dilakukan Dzun Al-Nun Al-Misri (796-861). Meski demikian,
kecenderungan umum fase ini pada psiko-moral, belum pada tingkat metafisis.

6
Ide-ide metafisis yang belum terungkap secara jelas. Karena itu, Nicholson
menyatakan dari segi teoritis dan praktis, kaum arif fase ini telah merancang suatu
sistem yang sempurna tentang irfan. Akan tetapi, mereka bukan filosof dan mereka
sedikit menaruh perhatian terhadap problem-problem metafisika.
4. Fase Puncak
Fase ini terjadi pada abat ke-5 H. Pada periode ini, irfan mencapai masa
gemilang. Banyak pribadi besar yang lahir dan menulis tentang irfan, seperti Said
Abu Khair (w. 1048 M) yan menulis Ruba’iyat, Ibn Utsman Al-Hujwiri (w. 1077
M) yang menulis Kasyf al-Mahjub,dan Abdullah Al-Anshari (w. 1088 M) yang
munulis Munazil al-Sa’irin, salah sau buku terpenting dalam irfan, puncaknya Al-
Ghazali (w. 1111 M) yang menulis Ihya Ulum Al-Din yang menyelaraskan
tasawuf dan fiqh (irfan dan bayani). Menurut Nicholson dan TJ. De Boer, di
tangan Al-Ghazali, irfan menjadi jalan yang jelas karakternya untuk mencapai
pengenalan serta kefanaan dalam tauhid dan kebahagiaan.
5. Fase Spesikasi
Fase ini terjadi abat ke-6 dan ke-7 H. Berkat pengaruh al-Ghazali yang besar,
irfan semakin menjadi yang dikenal dan bekembang dalam masyarakat Islam. Ini
memberi peluang bagi tokoh sufi untuk mengembangkan tarikat-tarikat dalam
rangka mendidik murid mereka, seperti yang dilakukan Al-Rifai (w. 1174 M),
Abdul al-Qadir Al-Jailani (w. 1253 M), Abu al-Syadlili (w. 1258 M), Abu Abbas
Al-Mursi (w. 1287 M), dan Ibnu Athaillah Al-Iskandari (w. 1309 M). Namun,
bersamaan dengan itu muncul pula tokoh-tokoh yang berusaha memadukan irfan
dengan filsafat, khususnya neo-platonisme, sehingga melahirkan filsafat iluminatif
atau irfan teoritis, seperti yang dilakuan oleh Suhrawardi (w. 1191 M) lewat
karyanya yang terkenal yaitu Hikma al-Isyraq, Ibnu Arabi (w. 1240 M), Umar Ibn
Faridl (w. 1234 M), dan Ibn Sab’in Al-Mursi (w. 1270 M). Mereka banyak
memiliki teori mendalam tentang jiwa, moral, wujud, dan pengetahuan, wujud dan
lainya yang sana bernilai bagi kajian irfan dan filsafat berikutnya. Bahkan, jika
tokoh sebelumnya menulis tentang bagaimana persiapan menerima pengetahuan,
menurut Mahdi H. Yadzi, Suhrawardi, dan Ibn Arabi di atas justru mempelopori
penulisan pengalaman mistis yangg disebut pengetahuan irfan.
Dengan demikian pada fase ini secara epistemologis irfan telah terpecah
(terspesifikasi) dalam dua aliran yaitu irfan suni (cenderum pada perilaku praktis
atau etika dalam bentuk tarikat-tarikat) dan irfan teoritis (didominasi pemikiran

7
filsafat). Disamping itu, dalam pandangan Al-Jabiri, ditambah aliraan kebatinan
yang didimonasi aspek mistis.
6. Fase kemunduran
Fase ini terjadi pada abad ke-8 H. Sejak abad itu, irfan suni tidak mengalami
perkembangan berarti, bahkan justru mengalami kemunduran. Para tokohnya lebih
cenderum pada pemberian komentar dan ikhtisar atas karya tokoh-tokoh terdahulu
dan lebih menekankan bentuk ritus dan formalisme, yang terkadang mendorong
mereka menyimpang dari substansi ajaranya sendiri. Para pengikut semakin
bertambah, tetapi disana tidak muncul pribadi unggul yang mencapai kedudukan
rohaniyah terhormat seperti para pendahulunya. Meski demikian, irfan teoritis
yang umunnya ada dikalangan syiah dan bersatu dengan pemikiran filsafat tetap
berkembang pesat. Di tanah air sendiri pemikiran wahdat al-wujud Ibn Arabi yang
termaksud irfan teoritis dikembangakan oleh tko-tokoh antara lain, Hamza Fansuri
(w. 1590 M) dan Syamsudi Sumatrani (w. 1639 M) yang dikenal dengan ajaran
“martabat tujuh”.3
C. Tokoh-tokoh tasawuf irfani
1. Rabi’ah Al-Adawiyah
Nama lengkapnya adalah Rabi’ah bin Ismail Al-Adawiyah Al-Bashriyah Al-
Qaisiyah. Dia diperkirakan lahir pada tahun 95 H/713 M atau 99 H/717 M di suatu
perkampungan dekat kota Bashrah (Irak) dan wafat di kota itu pada tahun 185
H/801 M. Dia dilahiran sebagai putri keempat dari keluarga yang sangat miskin.
Karena dia putri keempat, orang tuanya menamakannya Rabi,ah. Kedua
orangtuanya meninggal ketika dia masih kecil. Konon pada saat terjadinya
bencana perang di Bashrah, dia dilarikan penjahat dan dijual kepada keluarga atik
dari suku Qais Banu Adwah. Pada keluarga ini dia bekerja keras, tetapi akhirnya
dibebaskan lantaran tuannya melihat cahaya yang memancar di atas kepala
Rabi’ah Al-Adawiyah dan menerangi seluruh raungan rumah pada saat dia
beribadah.
Setelah dimerdekakan tuanya, Rabi’ah Al-Adawiyah hidup menyendiri
menjalani kehidupan sebagai seorang zahidah dan sufiah. Dia menjalani sisa
hidupnya hanya dengan ibadah dalam rangka mendekatkan diri keada Allah SWT.
sebagai kekasihnya. Dia memperbanyak tobat dan menjauhi hidup duniawi. Dia
hidup dalam kemiskinan dan menolak segala bantuan materi yang diberikan orang
3
Ibid., hlm. 4-7.

8
kepadanya. Bahkan, dalam doanya dia tidak pernah meminta hal-hal yang bersifat
materi dari Allah SWT.
Pendapat ini dipersoalkan oleh Badawi, bahwa menurutnya Rabi’ah Al-
Adawiyah sebelum bertobat pernah menjalani kehidupan duniawi. Untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya Rabi’ah Al-Adawiyah tidak mendapatkan jalan
lain, kecuali menjadi penyanyi dan penari sehingga begitu terbenam dalam
kehidupan duniawi. Alasan Badawi untu menguatkan pendapatnya adalah intesitas
tobat Rabi’ah Al-Adawiyah sendiri. Menurut Badawi, tidak mungkin iman dan
kecintaan Rabi’ah Al-Adawiyah kepada Allah SWT. begitu ekstremnya, kecuali
jika dia pernah sedemikian jauh di dalam menjalani dan mencintai kehidupan
duniawinya.
2. Dzun Al-Nun Al-Misri
Dzun Al Nun Al-Misri adalah nama julukan bagi seorang sufi yang tinggal
disekitar pertengahan abat ke-3 H. Nama lengkapnya Abu Al-Faidh Tsauban bin
Ibrahim. Dia dilahirkan di Ikhmim, dataran tinggi Mesir, pada tahun 180 H/796 M
dan meninggal pada tahun 246 H/856 M. Julukan Dzun Al-Nun diberikan
diberikan kepadanya sehubungan dengan berbaagai kekeramatan yang diberi Allah
SWT. kepadanya. Diantaranya, dia pernah mengeluarkan seorang anak dari perut
buaya dalam keadaan selamat di sungai Nil atas permintaan ibu dari anak tersebut.
Asal mula Dzun Al-Nun Al-Misri tidak tidak banyak diketahui, tetapi
riwayatnya sebagai seorang sufi banyak diutarakan. Dalam perjalanan hidupnya
yang berpindah dari suatu tempat ke tempat lain. Dia pernah menjelajahi berbagai
daerah di Mesir, mengunjungi Bait Al-Maqdis, Baghdad, Mekah, Hijaz, Syiria,
Pegunungan Lebanon, Anthokiah, dan Lembah Kan,an. Hal ini menyebabkan dia
memperoleh pengalaman yang banyak dan mendalam. Dia hidup pada masa
munculnya sejumlah ulama terkemuka dalam bidang ilmu fiqh, ilmu hadis, dan
guru sufi sehingga dapat berhubungan dan mengambil pelajaran dari mereka. Di
pernah mengikuti pengajian imam Ahmad bin Hambal. Dia mengambil riwayat
hadis dari imam Malik, Al-Laits, dan lain-lainya. Adapun yang pernah mengambil
riwayat darinya, antara lain Al-Hasan bin Mush’ib An-Nakha’iy. Gurunya dalam
bidang tasawuf adalah Syaqran Al-Abd atau Israfil Al-Magribi. Ini memungkinkan
baginya unttuk menjaddi seorang yang alim, baik dalam ilmu syariat maupun
tasawuf.

9
Sebelum Dzun Al-Nun Al-Misri, sudah ada sejumlah guru sufi, tetapi dia
adalah orang pertama yang memberi tafsiran terhadap isyarat-isyarat tasawuf. Dia
merupakan orang pertama di Mesir yang berbicara tentang ahwal dan maqamat
para wali dan orang pertama yang memberi definisi tauhid dengan pengertian yng
bercorak sufistik. Dia mempunyai pengaruh besar terhadap pembentukan
pemikiran tasawuf. Tidaklah mengherankan kalau sejumlah penulis menyebutnya
sebagai salah satu seorang peletak dasar-dasar tasawuf.
Pendapat tersebut cukup beralasan mengingat Dzun Al-Nun Al-Misri hidup
pada masa awal pertumbuhan ilmu tasawuf. Lagi pula, dia seorang sufi
pengembara yang memiliki kemampuan dan keberanian untuk menyatakan
pendapatnya. Keberanian itu yang menyebabkannya harus berhadapan dengan
golongan protes yang disertai dengan tuduhan zindik. Akibatnya dia perna
dipanggil menghadap Khalifah Al-Mutawakkil. Akan tetapi dia dibebaskan dan
dipulangkan ke Mesir dengan penuh kehormatan. Kedudukanya sebagai wali
diakui secara umum tatkala dia meninggalkan dunia yang fana ini.
3. Abu Yazid Al-Busthami
Nama lengkapnya Abu Yazid Thaifur bin Isa bin Surusyan Al-Bustami, lahir
di daerah Bustam. Keluarga Abu Yazid termasuk keluarga yang berada di
daerahnya, tetapi dia lebih memilih hidup sederhana. Perjalanan Abu Yazid Al-
Bustami untuk menjadi seorang sufi memerlukan waktu puluhan tahun. Dalam
menjalani kehidupan zuhud, selama 13 tahun Abu Yazid mengembara di gurun-
gurun pasir di Syam, hanya sedikit tidur, makan, dan minum.
4. Abu Manshur Al-Hallaj
Nama lengkapnya adalah Abu Al-Mughits Al-Husain bin Manshur bin
Muhammad Al-Baidhawi, lahir di Baida, sebuah kota kecil diwilayah Persia, pada
tahun 244 H/855 M. Dia tumbuh dewasa di kota Wasit, dekat Baghdad. Pada usia
16 tahun, dia belajar pada seorang sufi terkenal saat itu, yaitu Sahl bin Abdullah
At-Tusturi di Ahwaz. Dua tahun kemudian, di pergi ke Basrah dan berguru pada
‘Amr Al-Makki yang juga seorang sufi, dan pada tahun 878 M. Dia masuk ke kota
Baghdad dan belajatr kepada Junaid. Setelah itu dia pergi mengembara dari satu
negeri ke negeri lain, menambah pengetahuan dan pengalaman dalam ilmu
tasawuf. Dia diberi gelar Al-Hallaj karena penghidupanya yang diperoleh dari
meminta wol.

10
Dalam semua perjalanan dan pengembaraannya ke berbagai kawasan Islam,
seperti Khuarasan, Ahwaz, India, Turkistan, dan Mekah, Abu Manshur Al-Hallaj
mendapatkan banyak pengikut. Dia kemudian kembali ke Bagdad pada tahun 296
M/909 M. Di Bagdad, pengikutnya semakin bertambah banyak karena kecaman-
kecamannya terhadap kebrobrokan pemerintah yang berkuasa pada waktu itu.
Secara kebetulan dia bersahabat dengan kepala rumah tangga istana, Nashr al-
Qusyairi yang mengingatkan sistem tata usaha yang baik, pemerintahan yang
bersih.
Abu Manshur Al-Hallaj selalu mendorong sahabatnya melakukan perbaikan
dalam pemerintahan dan selalu melontarkan kritik terhadap penyelewengan-
penyelewengan yang terjadi. Gagasan “pemerintahan yang bersih” dari Nashr al-
Qusyairi dan Abu Manshur Al-Hallaj ini jelas berbahaya bagi karena Khalifah
boleh dikatakan tidak memiliki kekuasaan yang nyata dan hanya merupakan
lambang saja. Pada waktu yang sama, aliran-aliran keagamaan dan tasawuf
tumbuh dengan subur. Pemerintah sangat khawatir terhdap keamanan-keamanan
yang sangat keras dan pengaruh sufi kedalam struktur politik. Oleh karena itu
ucapan al-hallaj “anna al-haqq” yang konon tidak bisa dimaafkan ulama fiqh dan
diangga sebagai ucapan kemurtadan, dijadikan alasan untuk menangkap dan
memenjarakannya. Setahun kemudian, dia dapat meloloskn diri dari penjara berkat
pertolongan sopir penjara. Tapi empat tahun kemudian, dia tertangkap kembali di
kota Sus.
Selama dipenjara selama delapan tahun, Abu Manshur Al-Hallaj dihukum
gantung. Sebelum digantun, dia dicambuk seribu kali tampa mengadu kesakitan,
lalu dipenggal kepalanya. Akan tetepi sebelum dipancung dia meminta waktu
untuk mengerjakaan sholat dua rakaat. Setelah selesai sholat, kedua kaki dan
tangannya dipotong, badannya digulung dalam tikar bambu lalu dibakar dan
abunya di buang ke sungai, sedangkan kepalanya di bawa ke Khurasan untuk
dipertontongkan. Abu Manshur Al-Hallaj wafat pada tahun 922 M.
Kematian tragisnya tampak seperti dongeng, tidak membuat gentar para
pengikutnya. Ajarannya masih tetap berkembang, terbukti satu abad setelah
kematiannya, di Irak ada 4.000 orang yang menamakan diri Hallajiya. Di sisi lain
pengaruhnya sangat besaar terhadap pengikutnya. Dia dianggap mempunyai
hubungan dengan gerakan Qaramitah.
D. Ajaran-Ajaran Para Tokoh Tasawuf Irfani

11
1. Ajaran Tasawuf Rabi’ah Al-Adawiyah
Rabi,ah Al-Adawiyah tercatat dalam perkembangan mistisme dalam Islam
sebagai peletak dasar tasawuf berdasarkan cinta kepada Allah SWT. Sementara
generasi sebelumnya merintis aliran asketisme dalam islam berdasarkan rasa takut
dan pengharapan kepada Allah SWT. Rabi’ah Al-Adawiyah pula yang pertama-
tama mengajuan pengertian rasa tulus ikhlas dengan cinta yang berdasarkan
permintaan ganti dari Allah. Sikap dan pandangan Rabi’ah Al-Adawiyah tentang
cinta dipahami dari kata-katanya, baik yang langsung maupun yang disandaran
kepadanya. Al-Qusyairi meriwayatkan bahwa ketika bermunajat, Rabi’ah Al-
Adawiyah menyataan doanya, “Tuhanku, akankah Kau bakar qalbu yang
mencintai-Mu oleh api neraka?” tiba-tiba terdengar suara, “Kami tidak akan
melakukan itu. Janganlah engkau berburuk sangka kepada Kami.”
Di antara syair cinta Rabi’ah Al-Adawiyah yang paling mashur adalah: “aku
mencintai-Mu dengan dua cinta, cinta karena diriku dan karena diri-Mu. Cinta
karena diriku adalah keadaan senangtiasa mengingatkan-Mu, cinta karena diri-Mu
adalah keadaanku mengungkapkan tabir sehingga Engkau kulihat. Baik ini
maupun untuk itu, pujian bukanlah bagiku.”
Untuk memperjelas pengertian al-hubb yang diajukan Rabi’ah Al-Adawiyah,
yaitu hub al-hawa dan hub anta ahl lahu. Abu Thalib Al-Makiy dalam Qut Al-
Qulub sebagaimana dijelaskan Badawi yang memberian penafsiran bahwa makna
hub al-hawa adalah rasa cinta yang timbul dari nikmat-nikmat dan kebaikan yang
diberikan Allah SWT. Adapun yang dimaksud nikmat-nikmat adalah nikmat
materil, tida bersifat spiritual karena hubb disini bersifat hubb indrawi. Walupun
demikian, hub al-hawa yang diajukan Rabi’ah Al-Adawiyah ini tida berubah-
ubah, tidak bertambah dan tidak berkurang karena bertambah dan berkurangnya
nikmat. Sebab, Rabi’ah Al-Adawiyah tidak memandang nikmat itu sendiri, tetapi
memandang sesuatu dibalik nikmat. Adapun al-hubb anta ahl lahu adalah cinta
yang tidak didorong kesenangan indrawi, tetapi didorong Dzat yang mencintai.
Cinta yang kedua ini tidak mengharapkan balasan apa-apa. Kewajiban-keajiban
yang dijalankan Rabi’ah Al-Adawiyah timbul karena perasaan cinta kepada Dzat
yang dicintai.
Sementara itu, Al-Ghazali memberikan ulasan tentang syair Rabi’ah Al-
Adawiyah sebagai berikut, “Mungkin yang Rabi’ah Al-Adawiyah maksudkan
dengan cinta karena dirinya adalah cinta kepada Allah SWT. karena kebaikan dan

12
karunia-Nya di dunia ini, sedangkan cinta kepada-Nya adalah karena Dia layak
dicintai keindahan dan keagungan-Nya yang tersingkap kepadanya. Cinta yang
kedua merupakan cinta yang paling luhur dan mendalam serta merupakan
kelezatan melihat keindahan Tuhan. Hal ini seperti disabdakan dalam hadis qudsi,
“bagi hamba-hamba-Ku yang sholeh, Aku menyiapkan apa yang tida terlihat mata,
tidak terdengar telinga, dan tidak berbesit di qalbu manusia.”
Cinta Rabi’ah Al-Adawiyah kepada Allah begitu mendalam dan memenuhi
seluruh relung hatinya sehingga membuatnya hadir bersama Tuhan. Hal ini seperti
terungkap dalam syairnya. “Kujadikan kau teman berbincang dalam qalbu.
Tubuhku biar berbincang dengan temanku. Dengan temanku tubuhku
bercengkrama selalu. Dalam qalbu terpancang selalu kekasih cintaku.”
Bagi manusia yang mempunyai cinta kepada Allah SWT. yang tidak ikhlas,
Rabi’ah Al-Adawiyah selalu mengatakan. “Dalam batin, kepada-Nya engkau
durhaka, tetapi dalam lahir kau nyatakan cinta. Sungguh aneh gejala ini. Andaikan
cinta-Mu memang tulus dan sejati tentu yang Dia perintahkan kau taati, sebab
pecinta selalu patuh dan bakti pada yang dicintai.”
Dalam kesempatan bermunajat, Rabi’ah Al-Adawiyah sering menyampaikan,
“Wahai Tuhanku, tenggelmkaan aku dalam mencintai-Mu, sehingga tida ada yang
menyibukkan aku selain dari-Mu. Ya Tuhan, bintang di langit telah gemerlapan,
mata telah bertiduran, pinti-pintu istana telah dikunci dan tiap pecinta telah
menyendiri dengan yang dicintai, dan inilah aku berada di hadirat-Mu.”
Ketika fajar menyingsing Rabi’ah Al-Adawiyah berkata, “Tuhanku telah
berlalu dan siang telah siap menampakan diri. Aku gelisa, apakah amalanku
Engkau terima hingga aku merasa bahagia, ataukah Engkau tolak sehingga aku
merasa sedih. Demi kemahakuasaan-Mu, inilah yang akan aku lakukan selama
Engkau beri aku hayat, sekiranya Engkau usir aku dari depan pintu-Mu, aku tidak
akan pergi karena cintaku pada-Mu telah memenuhi hatiku.”
2. Ajaran-Ajaran Tasawuf Dzun Al-Nun Al-Misri
a. Pengertian Makrifat Menurut Dzun Al-Nun Al-Misri
Dzun Al-Nun Al-Misri adalah pelopor paham makrifat. Penilaian ini sangat
tepat karena berdasarkan riwayat Al-Qathfi dan Al-Mas’udi yang kemudian
dianalisis Nicholson dan Abd Al-Qadir dalam falsafah Ash-shufiyyah fi al-
Islam, Dzun Al-Nun Al-Misri berhasil memperkenalkan corak baru tentang
makrifat dalam bidang sufisme Islam, antara lain:

13
1) Dia membedakan antara “makrifat shufiyah” dengan makrifat aqliyah”.
Apabila yang pertama menggunakan pendekatan qalbu yang biasa
digunakan para sufi, yang kedua menggunakan pendekatan akal yang biasa
digunakan para teolog.
2) Makrifat sebenarnnya adalah musyahadah qalbiyah (penyaksian hati)
sebab makrifat merupakan fitrah dalam hati manusia sejak masa azali.
3) Teori-teori makrifat dzun an al-nun al-misri menyerupai gnosisme ala
neoplatonik. Teori-teorinya itu dianggap sebagai jembatan menuju teori-
teori wahda asy-syuhud dan ittihad. Dia pun dipandang sebagai orang yang
pertama kali memasukan unsur falsafah dalam tasawuf.
Pandangan Dzun Al-Nun Al-Misri tentang makrifat pada mulanya sulit
diterima kalangan teolog sehingga dia dianggap sebagai orang-orang zindik.
Oleh karena itu, dia ditangkap Khalifah, tetapi akhirnya dibebaskan. Berikut
ini pandanganya tentang makrifat:
1) Sesungguhnya makrifat yang hakiki bukanlah ilmu tentang keesaan Tuhan,
sebagaimana yang dipercaya oleh orang-orang mukmin, bukan pula ilmu-
ilmu burhan dan nazhar milik para hakim, mutakalimin, dan ahli balagha,
melainkan makrifat terhadap keesaan Tuhan yang khusus dimiliki para wali
Allah. Sebab, mereka adalah orang yang menyaksikan Allah SWT. dengan
hatinya sehingga terbukalah baginya apa yang tidak dibukakan untuk
hamba-hamba-Nya yang lain.
2) Makrifat yang sebenarya adalah Allah SWT. menyinari hatimu dengan
makrifat yang murni, seperti matahari yang tidak bisa dilihat dengan
cahayanya. Salah seorang yang senangtiasa mendekat kepada Allah SWT.
merasa hilang dirinya, lebur dalam kekuasaanya. Dia merasa sebagai
hamba yang berbicara dengan ilmu yang diletakan AllahSWT. pada lidah
mereka, dia melihat denga penglihatan Allah SWT. dan berbuat dengan
oerbuatan Allah SWT.
Kedua pandangan Dzun Al-Nun Al-Misri ini menjelaskan bahwa makrifat
kepada Allah SWT. tidak dapat ditempuh melalui pendekatan akal dan
pembuktian-pembuktian, tetapi dengan jalan makrifat batin, yaitu Tuhan
menyinari hati hati manusia dan menjaganya dari ketercemasan, sehingga
semua yang ada di dunia ini tidak mempunyai arti lagi, melaui pendekatan ini,
sifat-sifat rendah manusia perlahan-lahan terangkat ke atas dan selanjutnya dia

14
menyandang sifat-sifat luhur, seperti yang dimiliki Tuhan, sampai akhirnya dia
sepenuhnya hidup di dalam-Nya dan melalui dirinya. Dzun Al-Nun Al-Misri
membagi pengetahuan tentang tuhan menjadi tiga macam, yaitu:
1) Pengetahuan untuk seluruh muslim.
2) Pengetahuan khusus untuk para filsuf dan ulama.
3) Pengetahuan khusus untuk para wali Allah.
Menurut Harun Nasution, pengetahuan jenis pertama dan kedua belum
dimasukkan kedalam kategori pengetahuan hakiki tentang Tuhan. Keduanya
belum disebut sebagai makrifat, tetapi disebut dengan ilmu, sedangkan
pengetahuan ketiga baru disebut sebagai makrifat. Dari ketiga macam
pengetahuan tentang Tuhan tersebut, jelaslah bahwa pengetahuan tingkat
auliyallah adalah yang paling tinggi tingkatanya karena mereka mencapai
tingkat musyahadah. Para ulama dan filsuf tidak bisa mencapai maqam ini
sebab mereka masih menggunakan akal untuk mengetahui Tuhan, dan karena
akal mempunyai keterbatasan dan kelemahan.
Dalam perjalanan rohani, Dzun Al-Nun Al-Misri mempunyai sistematika
tertentu tentang jalan menuju tingkat makrifat. Dari teks-teks ajarannya, Abdu
Al-Hamid Mahmud mencoba menggambarkan sistematika Dzun Al-Nun Al-
Misri sebagai berikut:
1) Ketika ditanya tentang siapa sebenarnya oang bodoh itu, dia menjawab,
“orang yang tidak mengenal jalan menuju Allah dan tidak ada usaha untuk
mengenal-Nya.
2) Dia mengatakan bahwa jalan itu ada dua macam, yaitu thariq al-inabah,
dan thariq al-ihtiba, tidak mensyaratkan apa-apa pada seseorang. Ini
urusan Allah semata.
3) Disisi lain dia menyatakan bahwa manusia itu ada dua macam, yaitu darij
dan wasil. Darij adalah berjalan menuju jalan iman. Sedangkan wasil
adalah yang berjalan (melayang) di atas kekuatan makrifat.
Menurut pengalamannya, sebelum sampai pada maqam al-ma,rifat, dia
melihat Tuhan melalui tanda-tanda kebesaran-Nya. Yang terdapat di alam
semesta. Suatu ungkapan puitisnya menyebutkan, “... Ya Rabbi, aku
mengenalmu melalui bukti-bukti karya-Mu dan tindakan-Mu. Tolonglah daku,
ya Rabbi, dalam mencari rida-Mu dengan ridaku dengan semangat Engkau
dalam kecintaan-Mu, dengan kesentosaan dan niat teguh.”

15
Ketika ditanya tentang cara memperoleh makrifat, Dzun Al-Nun Al-Misri
menjawab, “Aku mengenal Tuhan dengan (bantuan) Tuhan, kalau bukan
karena bantuan-Nya, aku tidak mungkin mengenalnya.”
Ungkapan itu menunjukan bahwa makrifat tidak diperoleh begitu saja, tetapi
merupakan pemberian-Nya.
Adapun tanda-tanda seorang arif, menurut Dzun Al-Nun Al-Misri adalah
sebagai berikut:
1) Cahaya makrifat tidak memadamkan cahaya kewara’annya.
2) Dia tidak berkeyakinan bahwa ilmu batin merusak hukum lahir.
3) Banyaknya nikmat Tuhan tidak mendorongnya menghancurkan tirai-tirai
larangan Tuhan.
Paparan Al-Misri ini menunjukkan bahwa seseorang arif yang sempurna
selalu melaksanakan perintah Allah SWT, terikat hanya kepadanya, senantiasa
bersamanya dalam kondisi apapun, dan semakin dekat serta menyatu
kepadanya.
b. Pandangan Dzu Al-Nun Al-Misri tentang Maqamat dan Ahwal
Pandangan Dzun Al-Nun Al-Misri tentang maqamat adalah pada bebrapa
hal saja, yaitu at-taubah, ash-shabr, at-tawakal, dan ar-rida. Dalam Dairat Al-
Ma’rifat Al-Islamiyyah terdapat keterangan berasal dari Dzun Al-Nun Al-
Misri yang menjelaskan bahwa simbol-simbol zuhud adalah sedikit cita-cita,
mencintai kefakiran, dan memiliki rasa cukup yang disertai dengan kesabaran,
kendati demikian, dapat dikatakan bahwa jumlah maqam yang disebut Dzun
Al-Nun Al-Misri lebih sedikit dibandingkan dengan apa yang dikemukakan
sejumlah penulis sesudahnya.
Menurut Dzun Al-Nun Al-Misri, ada dua macam tobat, yaitu tobat awam
dan tobat hawas . Orang awam berobat karena kelalaian (dari mengingat
Tuhan). Dalam ungkapan lain, ia mengatakan bahwa sesuatu yang dianggap
sebagai kebaikan oleh Al-Abrar dianggap sebagai dosa oleh Al-Muqarrabin.
Pandangan ini mirip dengan pernyataan Al-Junaidi yang mengatakan bahwa
tobat adalah “ engkau melupakan dosamu” pada tahap ini, orang-orang yang
mendambakan hakikat tidak lagi mengingat dosa mereka karena terkalahkan
oleh perhatian yang tertuju pada kebesaran Tuhan dan zikir yang
berkesinambungan.

16
Lebih lanjut Dzun Al-Nun Al-Misri membagi tobat menjadi tiga tingkatan,
yaitu:
1) Orang bertobat dari dosa dan keburukannya;
2) Orang yang bertobat dari kelalaian dan kealfaan mengingat Tuhan;
3) Orang yang bertaubat karena memandang kebaikan dan ketaatannya.

Pembagian tobat atas tiga tingkatan agaknya tidak harus dilihat sebagai
keterangan yang bertentangan dengan pembagian yang telah disebutkan. Pada
pembagiaan ini, Dzun Al-Nun Al-Misri membagi lagi orang khawas menjadi
dua bagian sehingga jenis tobat dibedakan atas tiga macam. Perkembangan
pemikiran itu boleh juga merupakan salah satu refleksi dari proses pencairan
hakikat oleh seorang sufi yang mengalami tahapan secara gradual.

Keterangan Dzun Al-Nun Al-Misri tentang maqam ash-shabr


dikemukakan dalam bentuk kepingan dialog dari sebuah riwayat. Suatu ketika
ia menjenguk orang yang sakit. Ketika orang sakit merintih, dia berkata,”
Tidak termasuk cinta yang benar orang yang tidak sabar dalam menghadapi
cobaan Tuhan,” Orang sakit itu kemudian setimpal,” Tidak benar pula cintanya
orang yang merasakan kenikmatan dari suatu cobaan.”

Berikut ini sebuah contoh ucapannya ketika kedua tangan dan haknya
dibelenggu sambil dibawa ke hadapan penguasa disaksikan oleh orang banyak.
Ia berkata,” Ini adalah salah satu pemberian Tuhan dan karunia-Nya. Semua
perbuatan tuhan merupakan nikmat dan kebaikan.

Berkenaan dengan maqam at-tawakkal, dia mendefinisikannya berhenti


memikirkan diri sendiri dan merasa memiliki daya dan kekuatan. Intinya
adalah penyerahan diri sepenuhnya kepada Allah SWT. disertai perasaan tidak
memiliki kekuatan. Hilangnya daya dan kekuatan seolah-olah mengandung arti
pasif atau”mati”. Ungkapan seperti ini dikemukakan oleh Abu Ya’qub An-
Nahruji bahwa at-tawakkal adalah kematian jiwa tatkala ia kehilangan
peluang baik menyangkut urusan dunia atau akhirat.

Ketika ditanya tentang ar-ridha, Dzun Al-Nun Al-Misri menjawab bahwa


ar-ridha adalah kegembiraan hati menyambut ketentuan Tuhan bgainya.
Pendapat ini sejalan dengan pendapat Al-Qannad bahwa ar-ridha adalah
ketenangan hati dengan berlakunya ketentuan Tuhan. Kedua pendapat ini pada

17
dasarnya menunjukkan makna yang sama. Perbedaannya hanya terletak pada
pemilihan kata. Dzun Al-Nun Al-Misri memilih kata surur al-qaib untuk
ketenangan hati, sedangkan Al-Qannad memilih kata sukun al-qaib.

Berkenaan dengan ahwal, Al-Misri menjadikan muhabbah (cinta kepada


Tuhan) sebagai urutan pertama dari empat ruang lingkup pembahasaan tentang
tasawuf. Sebab, tanda-tanda orang-orang yang mencintai Allah SWT. adalah
mengikuti kekasih-Nya, yaitu Nabi Muhammad SAW. Dalam hal akhlak,
perbuatan, segala perintah, dan sunnah-Nya. Artinya, orang-orang yang
mencintai Allah SWT, senantiasa mengikuti sunnah Rasul, tidak mengabaikan
syariat. Untuk memberikan pemahaman yang lebih jauh tentang mahabbah
bagi orang yang ingin mengetahuinya dengan memerinci unsur-unsurnya, ia
menhatakan bahwa ada tiga simbol mahabbah, yaitu ridha terhadap hal-hal
yang tidak disenangi, berprasangka baik terhadap sesuatu yang belum
diketahui, dan berlaku baik dalam menentukan pilihan dan terhadap hal-hal
yang diperingatkan.

Dalam salah satu do’anya, Dzun Al-Nun Al-Misri berkata, “Ya Allah,
sesungguhnya rahmat-Mu yang luas lebih kami dambakan dari pada amal yang
kami lakukan dan kami lebih mengharapkan ampunan-Mu dari pada siksa-
Mu.”

3. Ajaran Tasawuf Abu Yazid Al-Bustami


Ajaran tasawuf terpenting Abu Yazid Al-Bustami adalah fana dan baqa. Dari
segi bahasa fana yang berarti musnah atau lenyap. Dan dari segi istilah tasawuf,
fana adakalanya diartikan sebagai keadaan moral yang luhur. Pencapaian Abu
Yazid Al-Bustami ke tahap fana setelah meninggalkan segala keinginan selain
keinginan kepada Allah SWT. seperti tampak dalam ceritanya, “setelah Allah
SWT. menyaksikan kesucian hatiku yang terdalam, maka aku mendengar puas
dari-Nya. Mintalah kepadaku semua yang kau inginkan, kata-nya, engkaulah yang
aku inginkan, jawabku. Karena engkau lebih utama daripada anugerah, lebih besar
daripada kemurahan, dan melalui engkau aku mendapatkan kepuasan dalam
dirimu”
Dalam menerangkan kaitan antara fana dan baqa, Al-Qusyairi menyatakan,

18
“Barang siapa meninggalkan perbuatan-perbuatan tercela, dia sedang fana dari
syahwatnya. Tatkala fana dari syahwatnya, dia baqa dalam niat dan keikhlasa
ibadah; barang siapa yang hatinya zuhud dari keduniaan, dia sedang fana dari
keinginannya, berarti pula sedang baqa dalam ketulusan ibadahnya”
Ittihad adalah tahapan selanjutnya yang dialami seorang sufi setalah melalui
tahapan fana dan baqa. Akan tetapi literatur klasik, pembahasan tentang ittihad ini
tidak ditemukan. Apakah pertimbangan keselamatan jiwa ataukah ajaran ini sangat
sulit dipraktikan masih perlu pembahasan, dan merupakan pertanyaan yang sangat
baik untuk dianalisis lebih lanjut. Dalam paparan Harun Nasution, ittihad adalah
satu tingkatkan seorang sufi telah merasa dirinya bersatu dengan Tuhan, satu
tingkatkan ketika yang mencintai dan yang dicintai telah menjadi satu, sehingga
salah satu dari mereka dapat memanggil yang satu lagi dengan kata-kata, Hai aku.
Dengan mengutip A.R Al-Baidawi, Harun Nasution menjelaskan bahwa dalam
ittihad, yang dilihat ada hanya satu wujud, sungguh pun ada dua wujud yang
berpisah satu dari yang lain. Karena yang dilihat dan dirasakan hanya satu wujud,
dalam ittihad bias terjadi pertukaran antara yang mencintai dan yang dicintai, atau
tegasnya antara sufi dan Tuhan.
Dengan fananya, Abu Yazid Al-Bustami meninggalkan dirinya dan pergi
kehadirat Tuhan. Dia telah berada dekat pada Tuhan dapat dilihat dari syatahat
yang diucapkannya. Syatahat adalah ucapan-ucapan yang dikeluarkan oleh serang
sufi ketika dia mulai berada di pintu gerbang ittihad. Ucapan-ucapan yang
demikian belum pernah di dengar dari sufi sebelum Abu Yazid, umpamanya “aku
tidak heran terhadap cintaku pada-mu karena aku hanyalah hamba yang hina,
tetapi aku heran terhadap cinta-Mu padaku, karena Engkau adalah Raja
Mahakuasa.”
4. Ajaran Tasawuf Abu Manshur Al-Hallaj
Di antara ajaran tasawuf Abu Manshur Al-Hallaj yang paling terkenal adalah
al-kulul dan wahdat asy-syuhud yang kemudian melahirkan paham wihdat al-
wujud (kesatuan wujud) yang di kembangkan Ibnu Arabi. Abu Manshur Al-Hallaj
memang pernah mengaku bersatu dengan Tuhan (hulul). Kata al-hulul,
berdasarkan pengertian bahasa berarti menempati suatu tempat. Adapun menurut
istilah ilmu tasawuf, al-hulul berarti paham yang mengatakan bahwa Tuahan
memilih tubuh-tubuh manusia tertentu untuk mengambil tempat di dalamanya
setelah sifat-sifat kemanusiaan yang ada dalam tubuh itu dilenyapkan.

19
Al-Hallaj berpendapat bahwa dalam diri manusia terdapat sifat-sifat ketuhanan, dia
mentakwilkan ayat:
ٓ
f۟ ‫َوإِ ْذ قُ ْلنَا لِ ْل َم ٰلَئِ َك ِة ٱ ْس ُجد‬
َ ِ‫ا إِٓاَّل إِ ْبل‬f۟‫ُوا ِل َءا َد َم فَ َس َجد ُٓو‬
َ‫يس أَبَ ٰى َوٱ ْستَ ْكبَ َر َو َكانَ ِمنَ ْٱل ٰ َكفِ ِرين‬
Artinya:
“Dan ingatlah ketika kami berfirman kepada para malaikat, sujudlah kamu kepada
Adam. Maka mereka pun sujud, kecuali iblis, ia menolak dan menyombongkan
diri dan ia termaksud golongan yang kafir.” (Q.S Al-Baqarah: 34)
Pada ayat di atas Allah SWT. memberi peritah kepada malaikat utuk sujud
kepada Adam. Karena yan berhak untuk diberi sujud hanya Allah SWT. Abu
Manshur Al-Hallaj memahami bahwa dalam diri Nabi Adam sebenarnya ada
unsur ketuhanan. Dia berpendapat demikian karena sebelum menjadikan mahluk,
Tuhan melihat Dzat-Nya dan ia pun cinta kepada Dzat-Nya, cinta yang tidak dapat
di sifatkan, dan cinta inilah yang menjadikan sebab wujud dan sebab dari yang
banyak ini. Ia mengeluarkan sesuatu dari tiada dalam bentuk copy dirinya yang
mempunyai segala sifat dan nama. Bentuk copi ini adalah Nabi Adam. Pada diri
Nabi Adam-lah, Allah SWT muncul.
Teori di atas tampak dalam syairnya, “Maha suci Dzat yang kemanusiaanya
membuka rahasia ke Tuhanannya yang gemilang, kemudian kelihatan bagi
mahluk-Nya dengan nyata. Dalam bentuk manusia yang makan dan minum”
Melalui syair di atas, tampaknya Abu Mansyur Al-Hallaj memperlihatkan bahwa
Tuhan mempunyai dua sifat dasar, sifat ketuhanaan-Nya (lahut).
Dan sifat kemanusiaan (nasut). Jika nasut Allah SWT. mengandung tabiat seperti
manusia yang terdiri atas roh dan jasad, lahir tidak dapat bersatu dengan manusia ,
kecuali dengan setelah cara menempati tubuh setelah sifat-sifat kemanusiaanya
hilang, seperti yang terjadi pada diri Nabi Isa.
Oleh karena itu, Abu Mansur Al-Hallaj mengatakan dalam syairnya, “Jiwamu
di satukan dengan jiwaku sebagaimana anggur disatukan dengan air suci. Dan jika
ada sesuatu yang menyentuh engkau, ia menyentuh aku pula, dan ketika itu dalam
tiap bal engkau adalah aku. Aku adalah ia yang kucintai dan ia yang kucintai
adalah aku, kami adalah dua jiwa yang bertempat dalam satu tubuh. Jika engkau
lihat aku, engkau lihat ia, dan jika engkau lihat ia engkau lihat kami.”
Berdasarkan syair tersebut, dapat dipahami bahwa persatuan antara Tuhan dan
manusia dapat terjadi dengan mengambil bentuk hulul. Agar bersatu, manusia ha

20
rus menghilangkan sifat-sifat kemanusiaannya. Setelah sifat-sifat kemanusiaannya
hilang dan hanya tinggal ada dalam dirinya, di situlah Tuhan dapat mengambil
tempat dalam dirinya, dan ketika itu roh Tuhan dan roh manusia bersatu dalam
tubuh manusia.
Menurut Abu Manshur Al-Hallaj, pada hulul terkandung kefanaan total
kehendak manusia dalam kehendak Illahi sehingga setiap kehendaknya adalah
kehendak Tuhan, demikian juga tindakannya. Pada pihak lain, Abu Manshur Al-
Hallaj mengatakan, “Barang siapa yang mengira bahwa ketuhanan berpadu jadi
satu dengan kemanusiaan ataupun kemanusiaan berpadu dengan ketuhanan,
kafirlah ia. Sebab, Allah SWT. mandiri dalam Dzat maupun sifatnya dari Dzat dan
sifat mahluk. Dia tidak sekali-kali menyerupai mahluknya dan merekapun tida
sekali-kali menyerupainya.”
Dengan demikian, Abu Manshur Al-Hallaj sebenarnya tidak mengakui dirinya
Tuhan dan juga tidak sama dengan Tuhan, seperti terlihat dalam syairnya:
Artinya: “Aku adalah rahasia yang mahabenar dan bukanlah yang mahabesar itu
aku, aku hanya satu dari yang benar maka bedakanlah antara kami.”
Dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa hulul yang terjadi pada Abu Manshur
Al-Hallaj tidaklah real karena member pengertian secara jelas adanya perbedaan
antara hamba dan Tuhan. Dengan demikian, hulul yang terjadi hanya kesadaran
psikis yang berlangsung pada kondisi fana’, atau menurut ungkapannya, sekedar
terlebarnya nasud dalam lahut, atau dapat dikatakan antara keduanya tetap ada
perbedaan, seperti dalam syairnya, air tidak dapat menjadi anggur meskipun
keduanya telah bercampur.4

4
Rosihon Anwar, Akhlak Tasawuf, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2010), hlm. 253-274.

21
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Dari pembahasan makalah ini dapat disimpulkan bahwa, di samping ada
tasawuf yang membahas tentang moralitas yang terukur, seperti kejujuran, keikhlasan,
dan perkataan yang benar, yang dinamakan tasawuf akhlaki. Ada juga tasawuf yang
mempunyai tingkatan yang lebih tinggi lagi, yaitu tasawuf irfani. tasawuf irfani tidak
hanya membahas soal keikhlasan dalam hubungan antar-manusia, tetapi lebuh jauh
menetapkan bahwa apa yang kita lakukan sesungguhnya tidak pernah kita lakukan.
Inilah tingkat ikhlas yang paling tinggi.
Inti dari tasawuf irfani adalah pendekatan yang intens seorang hamba dengan Tuhan
dengan sedekat-dekatnya dan menutup ruang hatinya untuk selain-Nya. Orang yang
makrifat kepada Allah SWT. adalah orang benar-benar mengenal Allah SWT. melalui
dzauq dan kasyf (ketersingkapan). Irfan terbagi menjadi dua yaitu, irfan praktis dan
irfan teoritis.
Terdapat beberapa tokoh yang termaksud tokoh tasawuf irfani. Diantaranya,
Rabi’ah Al-Adawiyah yang tercatat dalam perkembangan mistisme sebagai peletak
dasar tasawuf berdasarkan cinta (mahabbah) kepada Allah SWT. Dzun Al-Nun Al-
Misri yang terkenal sebagai pelopor paham makrifat. Abu Yazid Al-Bustami dengan
ajaran tasawuf terpentingnya adalah fana dan baqa. Abu Manshur Al-Hallaj dengan

22
ajaran tasawufnya yang paling terkenal adalah al-hulul dan wahda asy-syuhud yang
kemudian melahirkan paham wihdad al-wujud (kesatuan wujud) yang kemudia
dikembangkan oleh Ibn Arabi.
B. Saran
Setelah kita mengetahui dan memahami tentang tasawuf irfani dan tokoh-tokoh
tasawuf irfani serta konsep ajarannya, sepatutnya kita mengambil nilai positif dari hal-
hal tersebut. Melakukan pendekatan hanya semata-mata ingin mendapatkan ridha
Allah SWT. dan melaksanakan sesuatu hanya berlandaskan hukum-hukum Allah
SWT. Sehingga kita bisa lebih mendekatkan diri kepada Allah SWT. dan tidak
terlalaikan oleh kenikmatan dunia yang bersifat sementara.

DAFTAR PUSTAKA

Solehah Muclas, Tasawuf Irfani, http://kamiluszaman.blog./, 1 Maret 2020.


A khudori Sholeh, “Mencermani Epistemologi Sufi”, Epistem Irfan.
Rosihon Anwar, Akhlak Tasawuf, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2010).

23

Anda mungkin juga menyukai