Anda di halaman 1dari 12

FishtecH ± Jurnal Teknologi Hasil Perikanan

ISSN: 2302-6936 (Print), (Online, http://ejournal.unsri.ac.id/index.php/fishtech)


Vol. 6, No.1: 80-91, Mei 2017

Pengaruh Variasi Suhu Terhadap Mutu Abon Ikan Ekonomis Rendah


Selama Penyimpanan
The Effect of Temperature Variations on Quality Changes of Low Economic Shredded Fish during Storage
Yolanda Cicilia Br. Karo, Rodiana Nopianti*, Shanti Dwita Lestari
Program Studi Teknologi Hasil Perikanan
Fakultas Pertanian Universitas Sriwijaya, Indralaya, Ogan Ilir 30662 Sumatera Selatan
Telp./Fax. (0711) 580934
*)
Penulis untuk korespondensi: nopi_81@yahoo.com

ABSTRACT
The purpose of the research was to know effect of variations temperature on changes in quality
of low economic shredded fish during storage. This research used Randomized Block Design (RBD)
and Factorial Randomized Block Design (FRBD) with two factors treatments and two replications.
The factors were the storage temperatures (40 ºC, 50 ºC, and 60 ºC) and storage time (7, 14, 21, and 28
days). The parameters in this research included chemical and sensory characteristics. The results
showed the interaction between storage with storage temperature were significant effect on the water
activity, total plate count, total yeast and moulds, appearance, and odor. Based on the analysis of
variance (p >0.05) shows that differences storage temperatures (40 ºC, 50 ºC, and 60 ºC) diGQ·W JLYH
significant effect on moisture, fat, protein, and carbohydrate content during 28 days storage while there
was significant effect on ash content. Based on sensory test, appearance, odor, flavor, color, and
texture scores were range 7; that means the product is still accepted by panelists.
Keywords: Quality change, shredded fish, storage, temperatures

ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan menentukan perubahan mutu selama penyimpanan dengan berbagai
variasi suhu terhadap karakteristik kimia dan sensoris abon ikan motan dan ikan palau. Penelitian ini
menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) dan Rancangan Acak Kelompok Faktorial (RAKF)
dengan dua faktor dan dua kali pengulangan. Faktor perlakuan terdiri dari suhu penyimpanan (40 ºC,
50 ºC, dan 60 ºC) dan waktu penyimpanan (7, 14, 21, dan 28 hari). Parameter yang diamati yaitu
karakteristik kimia dan sensoris. Hasil penelitian menunjukkan interaksi antara suhu penyimpanan dan
lama penyimpanan tidak berpengaruh nyata terhadap nilai aw (water activity) dan total mikroba,
sedangkan terhadap parameter kenampakan dan aroma pada sensori berpengaruh nyata. Berdasarkan
hasil analisa sidik ragam (p >0,05) menunjukkan bahwa perlakuan suhu penyimpanan 40 ºC; 50 ºC; dan
60 ºC tidak berpengaruh nyata terhadap kadar air, kadar lemak, kadar protein dan kadar karbohidrat
abon ikan motan dan ikan palau selama penyimpanan 28 hari, sedangkan terhadap kadar abu
berpengaruh nyata. Berdasarkan pengujian sensoris, rata-rata skor kenampakan, aroma, rasa dan tekstur
adalah berkisar 7, yang artinya masih dapat diterima oleh panelis.
Kata kunci: : Abon ikan, ikan motan, ikan palau, perubahan mutu, suhu penyimpanan

PENDAHULUAN jenis ikan yang kurang diminati oleh


masyarakat padahal memiliki nilai gizi yang
Sumatera Selatan merupakan salah satu
tinggi, yaitu ikan palau (Osteochilus vittatus) dan
provinsi yang mempunyai perairan umum
ikan motan (Thynnichthys thynnoides).
yang cukup luas, yaitu berupa sungai, rawa,
Ikan tersebut memiliki nilai jual yang
danau, lebak, maupun dataran rendah lainnya
lebih rendah dibandingkan dengan ikan yang
yang tergenang air. Potensi sumberdaya
lainnya. Bila produksi berlimpah, maka
hayati perairan umum cukup besar yang mana
banyak ikan yang dijual dengan harga yang
sektor perikanan merupakan salah satu
sangat murah bahkan banyak yang dibuang
penyumbang terbesar terhadap protein
karena selama ini ikan-ikan tersebut hanya
hewani yang dikonsumsi oleh masyarakat
dijual dalam bentuk utuh dan tidak ada
Sumatera Selatan, namun masih ada beberapa
proses pengolahan untuk dijadikan produk
Jurnal Teknologi Hasil Perikanan, Vol. 6 No. 1 Tahun 2017 81

makanan yang bernilai ekonomis tinggi dan masa penyimpanan yang dipengaruhi oleh
umur simpan yang panjang. Untuk itu, perlu berbagai suhu penyimpanan. Oleh karena itu,
dilakukan upaya pemanfaatan produk supaya peneliti tertarik untuk mengamati perubahan
ikan-ikan tersebut tidak hanya sekedar dijual mutu abon ikan ekonomis rendah dengan
dalam bentuk utuh dan murah, tetapi juga perlakuan berbagai suhu selama
bisa dijual dalam bentuk produk olahan yang penyimpanan.
memiliki nilai ekonomi tinggi. Menurut penelitian Tridiyani (2012),
Salah satu produk olahan yang tentang pendugaan umur simpan abon ikan
dimaksud diatas adalah abon ikan. Abon marlin dengan kemasan vakum dan non
merupakan makanan yang biasanya dibuat vakum pada berbagai suhu penyimpanan
dari daging sapi atau ayam yang diolah bahwa konsumen bisa menyimpan abon ikan
menjadi produk kering siap dimakan. Abon marlin pada suhu ruang sekitar 28 °C. Maka
ikan adalah produk olahan hasil perikanan dari itu peneliti tertarik untuk mengetahui
yang dibuat dari daging ikan melalui secara ilmiah perubahan mutu abon ikan
kombinasi proses pengolahan yaitu proses ekonomis rendah dengan perlakuan berbagai
pengukusan, penggilingan dan penggorengan suhu penyimpanan (40 °C, 50 °C, dan 60 °C)
dengan penambahan bahan pembantu dan yang lebih tinggi selama penyimpanan.
bahan penyedap (Karyono et al. 1982). Tujuan penelitian ini adalah
Penambahan bumbu-bumbu pada pengolahan menentukan pengaruh variasi suhu
abon ikan bertujuan meningkatkan cita rasa dan penyimpanan terhadap perubahan mutu abon
memperpanjang masa simpan. ikan ekonomis rendah selama penyimpanan.
Sejauh ini ikan yang dibuat abon dan
diteliti kandungan gizinya yaitu ikan yang BAHAN DAN METODE
sudah memiliki nilai ekonomi tinggi seperti Bahan dan Alat
penelitian abon ikan gabus (Tsaniyatul 2012), Bahan baku utama yang digunakan
dan ikan pari (Millah 2010). Pada penelitian dalam penelitian ini adalah ikan motan
ini menggunakan ikan ekonomis rendah yaitu (Thynnichthys thynnoides) dan ikan palau
ikan palau dan ikan motan. Ikan palau (Osteochilus vittatus) yang didapatkan di pasar
(Osteochilus vittatus) dan ikan motan Indralaya, Ogan Ilir. Bahan-bahan lain yang
(Thynnichthys thynnoides) merupakan ikan digunakan adalah santan kelapa, gula, garam,
ekonomis rendah yang memiliki nilai jual bawang merah, bawang putih, lengkuas,
yang lebih rendah dibandingkan dengan ikan ketumbar, cabai merah, daun salam, sereh, air
yang lainnya. galon dan minyak untuk menggoreng. Bahan
Selama penyimpanan, abon ikan akan kimia yang digunakan untuk analisa yaitu,
tetap mengalami penurunan mutu akibat K2SO4, HgO, H2SO4, akuades, NaOH,
adanya perubahan kimia dan fisika yang H3BO3, HCl, heksana, larutan BFP, garam
terjadi pada abon selama penyimpanan. fisiologis, PCA, PDA, dan tablet Kjeldahl.
Sudarmadji et al. (2003) menyatakan bahwa Alat yang digunakan pada penelitian ini
selama penyimpanan, produk pangan yang adalah spinner, autoklaf, blender, baskom,
mengandung lemak atau minyak biasanya beaker glass, cawan petri, cawan porselen,
akan mengalami proses ketengikan selama desikator, erlenmeyer, gelas ukur, hot plate
proses penyimpanan. kondensor, labu Kjedahl, labu ukur, labu
Menurut Herawati (2008), menyatakan takar, labu lemak, muffle furnace, oven,
terdapat enam faktor utama yang pengaduk, plastik polipropilen, plastik
mengakibatkan terjadinya penurunan mutu stomacher, polipipet tetes, pipet volumetrik,
atau kerusakan pada produk pangan, yaitu pisau, soxhlet, tabung reaksi, talenan,
massa oksigen, uap air, cahaya, waterbath, tabung cuver, dan timbangan
mikroorganisme, kompresi atau bantingan analitik.
dan bahan kimia toksik atau off flavor. Oleh
karena itu perlu dilakukan kajian untuk Metode Penelitian
mengetahui tingkat ketahanan produk selama Penelitian ini terdiri dari empat
tahapan, yaitu pembuatan abon ikan

Karo et al.: Pengaruh variasi suhu terhadap mutu abon


82 Karo et al.: Pengaruh variasi suhu terhadap mutu abon

ekonomis rendah, analisa kimia awal, (Tabel 1), sedangkan berdasarkan hasil
pengamatan perubahan mutu abon ikan penelitian nilai kadar air awal abon ikan
ekonomis rendah pada berbagai suhu motan dan abon ikan palau sebelum
penyimpanan dan analisa kimia akhir. perlakuan suhu dan penyimpanan adalah
Rancangan percobaan yang digunakan dalam 4,25% dan 3,75%. Hal ini menunjukkan
penelitian yaitu rancangan acak kelompok bahwa kadar air abon ikan motan dan abon
nonfaktorial (RAK) untuk analisis kimia akhir ikan palau mengalami penurunan setelah
(Kadar air, Kadar abu, Kadar protein dan dilakukan penyimpanan dengan berbagai
Kadar lemak) dan rancangan acak kelompok suhu. Hal ini didukung penelitian Meirahma
faktorial (RAKF) untuk analisis pengamatan (2014), bahwa kadar air abon ikan patin
perubahan mutu selama penyimpanan (Aw, dengan perlakuan waktu pemasakan presto
Angka lempeng total dan Kapang Khamir). dan pengeringan oven lebih rendah
Masing-masing perlakuan diulang sebanyak dibandingkan dengan pengeringan non-oven.
dua kali. Perlakuan yang digunakan pada Penurunan kandungan air dipengaruhi oleh
rancangan acak kelompok nonfaktorial proses pengolahan yakni pada tahap
(RAK) adalah Suhu Penyimpanan dan penggorengan, dikarenakan air yang terdapat
perlakuan yang digunakan pada rancangan dalam bahan menguap atau keluar sewaktu
acak kelompok factorial (RAKF) adalah suhu bahan digoreng. Hal ini disebabkan air bebas
penyimpanan dan waktu penyimpanan: yang terdapat dalam bahan langsung
Faktor 1: Suhu Penyimpanan diuapkan oleh panas wajan dan minyak
T1 = 40 °C sebagai media perantara sehingga sebagian air
T2 = 50 °C bebas yang terdapat dalam jaringan bahan dapat
T3 = 60 °C menguap atau berkurang (Sundari et al. 2015).
Faktor 2: Waktu Penyimpanan
H0 = Tanpa Penyimpanan (0 hari) Tabel 1.Kadar air abon ikan.
H1 = Penyimpanan 7 hari Kadar Kadar Air Akhir
Bahan SNI
H2 = Penyimpanan 14 hari Air (%)
Abon Baku* **
Awal 40 50 60
H3 = Penyimpanan 21 hari (%)
(%) (%)
°C °C °C
H4 = Penyimpanan 28 hari Ikan
Motan 4,25 1 0,75 1 80,02
Maks.
Parameter Pengamatan Ikan 7
Parameter dan pengujian yang 3,75 2 1,75 1 77,46
Palau
digunakan pada penelitian ini meliputi: Sumber: *=Panggabean 2015; **= SNI 01-3707-1995
analisis proksimat (analisis kadar air, kadar
abu, kadar protein, kadar lemak dan kadar Berdasarkan hasil analisa sidik ragam
karbohidrat), analisa aw (water activity), analisa menunjukan bahwa perlakuan suhu
mikrobiologi, dan uji organoleptik penyimpanan 40 °C, 50 °C, dan 60 °C tidak
(penampakan, warna, rasa, bau, dan tekstur). berpengaruh nyata terhadap kadar air abon
ikan motan dan ikan palau dipenyimpanan
Analisa Data hari ke 28 dengan taraf 5%. Jika
Data yang peroleh dianalisis sidik dibandingkan dengan SNI Abon 01-3707-
ragam untuk mengetahui pengaruh 1995 kadar air pada abon adalah maksimal
perlakuan. Apabila berpengaruh nyata, maka 7%, hal ini menunjukkan bahwa abon ikan
dilakukan uji beda nyata pada taraf uji 5%. motan dan ikan palau masih memenuhu
standar.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kadar Abu
Kadar Air Hasil analisis kadar abu awal sampel
Menurut Panggabean (2015), kadar air abon ikan motan sebesar 4,45% dan ikan
yang dihasilkan ikan motan segar dan ikan palau sebesar 3,75% (Tabel 2), sedangkan
palau segar adalah 80,02% dan 77,46% setelah dilakukan perlakuan suhu kadar abu

Jurnal Teknologi Hasil Perikanan, Vol. 6 No. 1 Tahun 2017


Jurnal Teknologi Hasil Perikanan, Vol. 6 No. 1 Tahun 2017 83

ikan motan dan abon ikan palau mengalami 60 °C) yaitu 14,79% dan terendah pada
peningkatan berkisar 5%-10,77% dan 6,25%- perlakuan T1 (40 °C) yaitu 11,52%. Menurut
11,6%. Tingginya kadar abu pada setiap Panggabean (2015), kadar protein pada ikan
perlakuan diduga adanya pengaruh dari motan segar dan ikan palau segar adalah
kandungan kadar abu dalam bahan bdasar 10,91% dan 11,65% dan hasil analisis kadar
pembuatan abon yaitu pemberian bumbu- protein awal sampel abon ikan motan
bumbu sehingga akan berpengaruh terhadap sebesar 12,87% dan ikan palau sebesar
produk akhir. Berdasarkan hasil analisa sidik 12,81%, sedangkan setelah dilakukan
ragam menunjukan bahwa perlakuan suhu perlakuan suhu kadar protein abon ikan
penyimpanan 40 °C, 50 °C, dan 60 °C motan dan ikan palau mengalami peningkatan
berpengaruh nyata terhadap kadar abu abon berkisar 10,41%-14,86% dan 11,52%-
ikan motan dan ikan palau sehingga dilakukan 14,79%.
uji lanjut BNJ (0,05). Menurut Bahalwan (2011),
Perlakuan T3 yaitu abon ikan palau meningkatnya kadar protein disebabkan
dengan perlakuan suhu 60 °C berbeda nyata karena menurunnya kadar air yang terdapat
terhadap perlakuan suhu 40 °C dan 50 °C. pada produk. Mengurangi kadar air bahan
Perlakuan T3 yaitu abon ikan palau dengan pangan akan meningkatkan senyawa seperti
perlakuan suhu 60 °C berbeda nyata terhadap protein dan lemak. Dengan menurunnya
perlakuan suhu 40 °C dan 50 °C. Abon ikan kadar air dalam abon ikan, maka kadar
motan dengan perlakuan suhu 60 °C protein akan meningkat. Kadar air
merupakan kadar abu paling rendah berbanding terbalik dengan kadar protein,
dibandingkan dengan perlakuan lain. Tinggi sesuai juga dengan yang dikemukakan oleh
rendahnya nilai kadar abu pada bahan pangan Hadiwiyoto (1993), bahwa semakin tinggi
yang digoreng tergantung dari lama dan suhu kadar air dari suatu bahan pangan yang
penggorengan. Kenaikan kadar abu pada dihasilkan maka protein akan semakin rendah
bahan pangan yang digoreng diduga karena miogen dan protein larut dalam air
disebabkan oleh suhu tinggi sehingga begitu sebaliknya. Hal ini sangat mendukung
kandungan air banyak hilang (Sundari et al. hasil yang didapat pada masing-masing
2015). Berdasarkan SNI (1995), menetapkan perlakuan pada penelitian ini. Berdasarkan
kadar abu untuk abon maksimal 7% sehingga hasil analisa sidik ragam menunjukan bahwa
abon ikan motan dan abon ikan palau yang perlakuan suhu penyimpanan 40 °C; 50 °C;
disimpan selama 28 hari dengan perlakuan dan 60 °C tidak berpengaruh nyata terhadap
berbagai suhu masih memenuhi standar. kadar protein abon ikan motan dan ikan
palau. Berdasarkan SNI (1995), menetapkan
Tabel 2. Kadar abu abon ikan. kadar protein untuk abon minimal 15%,
Kadar
Kadar AbuAkhir (%) Bahan
sehingga abon ikan motan dan abon ikan
Abu SNI** palau yang disimpan selama 28 hari dengan
Abon Baku*
awal 40 60 (%) perlakuan berbagai suhu tidak memenuhi
oC 50 oC oC (%)
(%)
Ikan standar.
4,5 10b 10,77b 5a 3,13
Motan Maks.
Ikan 7 Kadar Lemak
3,75 11,4b 11,6b 6,25a 1,35
Palau
Sumber: *=Panggabean 2015; **=SNI 01-3707-1995 Hasil analisis menunjukkan bahwa nilai
tertinggi kadar lemak pada abon ikan motan
adalah perlakuan T1 (40 °C) yaitu 24,43%
Kadar Protein dan terendah pada perlakuan T2 (50 °C)
Kadar protein abon ikan motan 23,85%; sedangkan nilai tertinggi kadar lemak
tertinggi terdapat pada perlakuan T3 (Suhu pada abon ikan palau adalah perlakuan T3
60 °C) yaitu 14,86% dan terendah pada (60 °C) yaitu 21,28% dan terendah pada
perlakuan T1 (Suhu 40 °C) yaitu 10,41% perlakuan T1 (40 °C) yaitu 20,7% (Tabel 4).
(Tabel 3), sedangkan kadar protein ikan palau Hasil pengamatan selama penyimpanan hari
tertinggi terdapat pada perlakuan T3 (Suhu ke-0 sampai hari ke-28 terhadap kadar lemak

Karo et al.: Pengaruh variasi suhu terhadap mutu abon


84 Karo et al.: Pengaruh variasi suhu terhadap mutu abon

abon ikan motan dan abon ikan palau mengalami fluktuasi hingga penyimpanan hari
cenderung mengalami peningkatan. ke-28. Pada akhir penyimpanan 28 hari
Menurut penelitian Panggabean (2015), dengan suhu 40 °C, 50 °C, dan 60 °C, abon
kadar lemak ikan motan segar 3,67% dan ikan ikan motan menunjukan pada akhir
palau 6,96% dan hasil analisis kadar lemak penyimpanan nilai aw 0,26; 0,27; dan 0,24;
awal abon ikan motan sebesar 16,99% dan sedangkan abon ikan palau masing-masing
abon ikan palau sebesar 18.35%. Peningkatan memiliki nilai aw 0,37; 0,3; dan 0,27 pada
kadar lemak selama penyimpanan ini diduga akhir penyimpanan. Nilai aw pada kedua jenis
adanya reaksi oksidasi lemak pada abon ikan ikan tersebut masih dikatakan aman. Hal ini
motan dan abon ikan palau. Peningkatan didukung oleh Lebuza (1982) yang
lemak selama penyimpanan sebagai akibat menyatakan bahwa produk dikatakan tidak
terbentuknya senyawa hasil pemecahan aman pada selang aw sekitar 0,7-0,75 dan di
peroskida lipida menjadi senyawa dengan atas selang tersebut karena mikroorganisme
rantai karbon yang lebih pendek seperti berbahaya dapat tumbuh dan produk menjadi
malonaldehid (Ketaren 1986). racun. Jamur dapat tumbuh pada produk
dengan nilai aw 0,6-0,7. Menurut Saenab et al.
Tabel 4. Kadar lemak abon ikan. (2010), bahan yang mempunyai aktivitas air
Kadar Kadar lemak akhir Bahan 0,7 atau pada kelembaban relatif dibawah
lemak (%) Baku SNI** 70% sudah dianggap cukup baik dan tahan
Abon
awal 40
50 °C
60 * (%) selama penyimpanan.
(%) °C oC (%)
Ikan
16,99 24,43 23,85 24,3 3,67
Motan Min. 0.6 T1
Ikan 15 T2
18,35 20,7 20,91 21,28 6,69 0.5
Palau T3
0.41
0.4 0.3
Nilai aw

Sumber: *= Panggabean 2015; **=SNI 01-3707-1995


0.25 0.27
0.3 0.25
0.23 0.22 0.21 0.26
Berdasarkan hasil analisa sidik ragam 0.2 0.22 0.21 0.24
menunjukan bahwa perlakuan suhu 0.19
0.1
penyimpanan 40 °C; 50 °C; dan 60 °C tidak 0
berpengaruh nyata terhadap kadar lemak H0 H1 H2 H3 H4
abon ikan motan selama penyimpanan 28 Waktu Penyimpanan
hari, Sedangkan berdasarkan hasil analisa (a)
sidik ragam menunjukan bahwa perlakuan 0.6 0.52 T1
suhu penyimpanan 40 °C; 50 °C; dan 60 °C 0.5
T2
tidak berpengaruh nyata terhadap kadar T3 0.34 0.37
0.4
Nilai aw

lemak abon ikan palau selama penyimpanan 0.3 0.26


0.3 0.23 0.3
28 hari. SNI (1995) menetapkan kadar lemak 0.24
0.22 0.27
0.2
untuk abon maksimal 30% sehingga abon 0.2 0.16 0.2
0.1
ikan motan dan abon ikan palau yang
0
disimpan selama 28 hari masih memenuhi H1 H0 H2 H3 H4
syarat BSN (1995). Waktu Penyimpanan
(b)
Perubahan Mutu Abon Ikan Motan dan Gambar 1. Grafik perubahan nilai aw abon: (a) ikan
Ikan Palau yang Dikemas Non Vakum motan; (b) ikan palau.
pada Berbagai Suhu
Aktivitas air (aw) Hal ini didukung oleh hasil analisa sidik
Hasil pengukuran nilai aw abon ikan ragam dengan tingkat kepercaayaan 95%
yang dikemas secara non vakum pada menunjukkan bahwa perlakuan waktu
berbagai suhu disajikan pada Gambar 1. penyimpanan berpengaruh nyata terhadap aw
Berdasarkan data tersebut dapat dilihat abon ikan motan dan ikan palau, sedangkan
bahwa nilai aw abon ikan cenderung perlakuan suhu penyimpanan hanya

Jurnal Teknologi Hasil Perikanan, Vol. 6 No. 1 Tahun 2017


Jurnal Teknologi Hasil Perikanan, Vol. 6 No. 1 Tahun 2017 85

berpengaruh nyata terhadap aw abon ikan vakum dan non vakum. Nilai angka lempeng
palau. Aw abon ikan motan mengalami total selama penyimpanan 60 hari dengan
penurunan pada 3 minggu pertama suhu 35 °C; 40 °C; dan 45 °C mengalami
penyimpanan, kemundian naik di minggu ke- peningkatan baik yang dikemas vakum
4. Hasil uji lanjut BNJ menunjukkan bahwa maupun yang dikemas non vakum.
abon ikan motan dengan perlakuan waktu 6
penyimpanan H0 berbeda nyata terhadap T1

Log Total Mikrobia


5
perlakuan H1, H2, dan H3 yang mengalami T2
4

(CFU/mL)
T3
fluktuasi. Kenaikan aw abon ikan diduga
3 2,47
berkaitan erat dengan bahan kemasan dan 2,45 2,16
1,69
2 2,38 1,92 1,65
kondisi udara di lingkungan tempat 1,90 1,25 1,52
1 2 1,42
penyimpanan produk. Dalam penelitian ini 0,89
0
digunakan bahan kemasan dari plastik jenis H0 H1 H2 H3 H4
polipropilene. Leksono (1989) menyatakan Waktu Penyimpanan
bahwa polipropilene adalah plastik yang (a)
sangat ringan, kuat terhadap kikisan dan lebih
6
kaku, lebih tahan terhadap asam dan basa, 5,23 T1
5
kuat dan juga mempunyai ketahanan fisik T2
yang lebih besar terhadap uap air. Log Total Mikroba 4 4,37
T3
(CFU/mL)
Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa 3 2,25 2,33
perlakuan suhu dan waktu penyimpanan 2 2,32 1,90
1,55
berpengaruh nyata terhadap nilai aw abon 2,0 1,93 1,67 1,54
1 1,51 1,50
ikan palau, sehingga dilakukan uji lanjut BNJ.
Hasil uji lanjut BNJ menunjukkan bahwa 0
H0 H1 H2 H3 H4
perlakuan suhu berbeda nyata terhadap nilai Waktu Penyimpanan
aw abon ikan palau. Perlakuan waktu (b)
penyimpanan H0 berbeda nyata dengan Gambar 2. Nilai angka lempeng total abon: (a) ikan
waktu penyimpanan H1 sampai dengan H4. motan; (b) ikan palau.
Perlakuan penyimpanan H0 merupakan
perlakuan tanpa suhu dan waktu dimana Berdasarkan SNI 01-3707-1995 (BSN
memiliki nilai aw tertinggi dibandingkan 1995) persyaratan angka lempeng total (ALT)
perlakuan H1, H2, H3, dan H4 yang untuk abon adalah tidak lebih dari
mengalami fluktuasi. Namun suhu dan lama 5x104 koloni/g atau 50.000 koloni/g. Hal ini
penyimpanan tidak memiliki interaksi. Reaksi menunjukkan bahwa abon ikan motan dan
oksidasi lemak yang terjadi akibat abon ikan palau hasil penelitian masih masih
meningkatnya suhu dan lama penyimpanan layak dikonsumsi sampai hari ke-28 sesuai
dapat melepaskan air terikat menjadi air dengan ketentuan Standar Nasional
bebas, sehingga nilai aw produk mengalami Indonesia. Walaupun nilai aw dan kadar air
fluktuasi (Winarno 1997). Robertson (1992) rendah, jumlah mikroba mengalami fluktuasi
dalam Arpah (2007) menyatakan bahwa selama penyimpanan. Hal ini diduga karena
makanan akan mengalami kerusakan apabila ada golongan bakteri fakultatif anaerob atau
menyerap uap air yang berlebihan. fakultatif aerob yang dapat hidup dengan atau
tanpa adanya oksigen (Hadiwiyoto 1993).
Angka lempeng total Hasil analisa sidik ragam dengan
Nilai angka lempeng total abon dapat tingkat kepercaayaan 95% menunjukkan
dilihat pada Gambar 2. Total mikroba pada bahwa suhu penyimpanan 40 °C; 50 °C; dan
abon ikan motan dan ikan palau selama 60 °C dan waktu penyimpanan selama 28 hari
penyimpanan mengalami fluktuasi. Hasil serta interaksi kedua nya memberi
pengamatan ini bertolak belakang dengan berpengaruh nyata terhadap angka lempeng
penelitian Tridiyani (2012), tentang total (ALT) abon ikan motan dan ikan palau,
perubahan mutu abon ikan marlin kemasan sehingga dilakukan uji lanjut BNJ (0,05).

Karo et al.: Pengaruh variasi suhu terhadap mutu abon


86 Karo et al.: Pengaruh variasi suhu terhadap mutu abon

Suhu penyimpanan berpengaruh terhadap Kapang Khamir


nilai angka lempeng total (ALT) abon ikan Total kapang dan khamir abon ikan
motan dan ikan palau. Hal ini diduga suhu motan dan abon ikan palau selama
merupakan faktor ekstrinsik penting yang penyimpanan dengan berbagai suhu dapat
menentukan pertumbuhan mikroba. dilihat pada Gambar 3. Total kapang dan
Pertumbuhan mikroba dibagi menjadi tiga khamir pada abon ikan motan dan ikan palau
kelompok berdasarkan suhu yaitu psikofilik, selama penyimpanan mengalami kenaikan.
mesofilik dan termofilik. Sebagian besar Total kapang dan khamir abon ikan motan dan
bakteri mempunyai pertumbuhan antara 45² ikan palau pada awal penyimpanan masing-
55 °C dan disebut golongan bakteri masing adalah 6,3×102 koloni/g dan
thermofilik. Beberapa bakteri mempunyai 8,0×102 koloni/g. Pada pengamatan hari
suhu pertumbuhannya antara 20²45 °C terakhir yaitu hari ke-28 total pertumbuhan
disebut golongan bakteri mesofilik, dan koloni kapang dan khamir pada abon ikan
lainnya mempunyai suhu pertumbuhan motan dan ikan palau semakin meningkat
dibawah 20 °C disebut bakteri psikrofilik kisaran masing-masing 2,6×104 koloni/g dan
(Muchtadi 1989). Waktu penyimpanan 2,7×104 koloni/g.
berpengaruh nyata terhadap nilai angka
lempeng total. Jumlah mikroba mengalami 3
Log Total Kapang Khamir 2,39 2,42
fluktuasi selama penyimpanan. Hal ini terkait 2.5
2,022,28 2,40
1,98
dengan ketersediaan nutrient dan kebutuhan 2,39
2 1,87 2 2,24
(CFU/g)

senyawa metabolit yang digunakan dalam 1,79 1,83 1,99


1.5
pertumbuhan mikroba. T1
1 T2
Berdasarkan hasil sidik ragam T3
0.5
menunjukkan bahwa interaksi antara suhu
penyimpanan dan waktu penyimpanan abon 0
H0 H1 H2 H3 H4
ikan motan terbaik yaitu pada perlakuan suhu Waktu Penyimpanan
60 °C dengan 21 hari penyimpanan, (a)
kemudian perlakuan terbaik berikutnya yaitu 3
2,38 2,44
perlakuan suhu 50 °C dengan waktu
Log Total Kapang Khamir

2.5 2,12
penyimpanan 21 hari. Kedua perlakuan 2,21 2,26 2,39
2 1,95 2,13 2,22
terbaik ini tidak berbeda nyata sehingga 2,03 2,20
(CFU/g)

1,93
selama penyimpanan 21 hari dengan suhu 1.5 1,9
T1
50 °C dan 60 °C nilai angka lempeng total 1 T2
pada abon ikan motan mengalami penurunan 0.5 T3
setelah hari ke-14. 0
Berdasarkan hasil sidik ragam H0 H1 H2 H3 H4
Waktu Penyimpanan
menunjukkan bahwa interaksi antara suhu (b)
penyimpanan dan waktu penyimpanan Gambar 3. Total kapang dan khamir abon: (a) ikan
terbaik abon ikan palau yaitu pada perlakuan motan, (b) ikan palau.
suhu 50 °C dengan 28 hari penyimpanan,
Hasil analisa sidik ragam dengan
kemudian perlakuan terbaik berikutnya yaitu
tingkat kepercaayaan 95% menunjukkan
perlakuan suhu 40 °C dengan lama
bahwa waktu penyimpanan selama 28 hari
penyimpanan 21 hari. Kedua perlakuan
memberi berpengaruh nyata terhadap kapang
terbaik ini tidak berbeda nyata sehingga
khamir abon ikan motan dan ikan palau,
selama penyimpanan ke-28 dengan suhu
sedangkan perlakuan suhu penyimpanan
50 °C merupakan nilai angka lempeng total
hanya memberi berpengaruh nyata terhadap
terendah selama penyimpanan abon ikan
kapang khamir abon ikan palau sehingga
palau dan pada suhu 40 °C selama
dilakukan uji lanjut BNJ (0,05). Namun
penyimpanan 21 hari merupakan nilai angka
interaksi antara keduanya berpengaruh tidak
lempeng total terendah abon ikan palau.
nyata.

Jurnal Teknologi Hasil Perikanan, Vol. 6 No. 1 Tahun 2017


Jurnal Teknologi Hasil Perikanan, Vol. 6 No. 1 Tahun 2017 87

Jumlah kapang khamir abon ikan karena nilai X2 hitung < X2 tabel. Hasil uji
motan berpengaruh nyata terhadap waktu Kruskal-Wallis pada uji mutu hedonik
penyimpanan, setiap perlakuan waktu menunjukkan bahwa suhu 40 °C, 50 °C, dan
penyimpanan berbeda nyata terhadap jumlah 60 °C tidak berpengaruh nyata terhadap
kapang khamir. Pada abon ikan palau kenampakan abon ikan motan yang disimpan
perlakuan waktu penyimpanan H0 dan H1 selama 28 hari, hal tersebut diduga karena
berbeda nyata dengan perlakuan waktu penilaian panelis tidak berbeda signifikan
penyimpanan H2, H3, dan H4 terhadap berkisar 4,3-4,6. Pada score sheet menunjukkan
jumlah kapang khamir. Hal ini diduga bahwa kenampakan abon ikan motan selama
semakin lama abon disimpan maka 28 hari yaitu rata-rata penilaian 5 yang berarti
pertumbuhan kapang khamir akan semakin masih netral.
meningkat. Selama penyimpanan aktivitas air 8
meningkat oleh karena adanya uap air yang 40 °C

Nilai Organoleptik
masuk melalui plastik sehingga kapang 50 °C
6
60 °C
semakin mudah tumbuh dan berkembang
4
dengan kadar air yang cukup.
Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa 2
perlakuan suhu hanya berpengaruh terhadap
jumlah kapang khamir abon ikan palau. 0
0 7 14 21 28
Perlakuan suhu T2 (50 °C) berbeda nyata Waktu Penyimpanan (hari)
terhadap perlakuan suhu T3 (60 °C) dan T1 Gambar 4. Diagram rata-rata penilaian kenampakan
(40 °C). Namun perlakuan T1 dan T3 tidak abon ikan motan.
berbeda nyata. Hal ini diduga pada perlakuan
8 bb 40 oC
T2 merupakan faktor ekstrinsik yang cocok
Nilai Organoleptik

a 50 oC
untuk pertumbuhan kapang khamir. Suhu 6 60 oC
optimum pertumbuhan kapang khamir yaitu
25-30 °C, tapi beberapa dapat tumbuh pada 4
suhu 35-37 °C atau lebih tinggi. 2
Kapang khamir membutuhkan aw
0
minimum untuk pertumbuhannya adalah 0 7 14 21 28
sebesar 0,6²0,7 (Winarno 1997). Pada abon Waktu Penyimpanan (Hari)
yang disimpan selama 28 hari diperoleh aw Gambar 5. Diagram rata-rata penilaian kenampakan
<0,6. Hal ini menunjukkan bahwa abon abon ikan palau.
tersebut masih aman untuk dikonsumsi. Jika
dibandingkan dengan SNI Abon 01-3707- Hasil uji Kruskal-Wallis dengan tingkat
1995 kandungan cemaran mikroba pada abon kepercayaan 95% menunjukkan bahwa
berdasarkan angka lempeng total (total plate terdapat perbedaan pada sampel pada waktu
count) adalah maksimal 5 x 104 koloni/g, hal penyimpanan hari ke-21 karena nilai X2
ini menunjukkan bahwa abon tersebut masih hitung > X2 tabel, untuk menganalisis
aman untuk dikonsumsi. perbedaan rerata peringkat terhadap
kenampakan dilakukan uji lanjut
Uji Organoleptik perbandingan. Pada waktu penyimpanan hari
Kenampakan ke-21 berdasarkan hasil uji Kruskal-Wallis
Hasil penilaian rata-rata kenampakan pada uji mutu hedonik menunjukkan bahwa
abon ikan motan dan ikan palau selama suhu 60 °C berbeda nyata terhadap
penyimpanan menunjukkan perubahan, kenampakan abon ikan motan pada suhu
sebagaimana disajikan pada Gambar 4 dan 40 °C dan 50 °C. Hal tersebut dapat dilihat
Gambar 5. Hasil uji Kruskal-Wallis dengan berdasarkan penilaian panelis bahwa
tingkat kepercayaan 95% menunjukkan kenampakan abon pada suhu 60 °C memiliki
bahwa tidak terdapat perbedaan pada sampel nilai lebih rendah dibandingkan penilaian
pada waktu penyimpanan selama hari ke-28 panelis terhadap kenampakan abon ikan

Karo et al.: Pengaruh variasi suhu terhadap mutu abon


88 Karo et al.: Pengaruh variasi suhu terhadap mutu abon

palau dengan perlakuan suhu 40 °C dan perbedaan rerata peringkat terhadap aroma
50 °C; berdasarkan score sheet kenampakan dilakukan uji lanjut perbandingan. Hasil uji
abon memiliki nilai rata-rata 7 yang berarti Kruskal-Wallis pada uji mutu hedonik
warna abon ikan palau coklat terang dan agak menunjukkan bahwa abon ikan palau pada
homogen. hari ke-0 yang dengan perlakuan suhu 60 °C
berbeda nyata terhadap aroma abon ikan
Aroma palau pada suhu 40 °C dan 50 °C, dimana
Rata-rata penilaian aroma pada abon pada suhu 60 °C memiliki penilaian yang
ikan motan dan ikan palau dapat dilihat pada lebih rendah dibandingkan perlakuan suhu
Gambar 6 dan Gambar 7. lainnya. Rata-rata penilaian panelis terhadap
8 40 oC
aroma adalah 7, yang artinya aroma khas ikan
50 oC dominan, agak aroma khas bumbu.
Nilai Organoleptik

6 60 oC Sedangkan Hasil uji Kruskal-Wallis pada uji


mutu hedonik menunjukkan bahwa abon
4
ikan motan dengan perlakuan suhu 60 °C
2 berbeda nyata terhadap abon ikan palau pada
suhu 40 °C dan 50 °C selama penyimpanan
0 hari ke-14 namun penilaian panelis
0 7 14 21 28 tidakberbeda signifikan yaitu rata-rata 7 yang
Waktu Penyimpanan (Hari)
Gambar 6. Grafik rata-rata penilaian aroma abon ikan berarti aroma khas ikan dominan, agak aroma
motan. khas bumbu. Hasil uji Kruskal-Wallis pada uji
mutu hedonik menunjukkan bahwa aroma
Hasil uji Kruskal-Wallis dengan tingkat abon ikan palau dengan perlakuan perlakuan
kepercaayaan 95% menunjukkan bahwa pada suhu 40 °C berbeda nyata terhadap suhu 50
suhu penyimpanan selama 28 hari tidak °C dan 60 °C, sedangkan aroma abon ikan
memiliki perbedaan pada sampel karena nilai palau dengan perlakuan suhu 50 °C tidak
X2 hitung > X2 tabel. Hasil uji Kruskal-Wallis berbeda nyata terhadap aroma abon ikan
pada uji mutu hedonik menunjukkan bahwa palau dengan perlakuan suhu 60 °C pada hari
abon ikan motan pada dengan perlakuan ke-21 dan ke-28, dan rata-rata penilaian
suhu 40 °C, 50 °C, dan 60 °C tidak berbeda panelis adalah 7 yaitu aroma khas ikan
nyata terhadap aroma abon ikan motan dominan, agak aroma khas bumbu.
selama penyimpanan 28 hari, dan rata-rata
penilaian panelis adalah 7 yaitu aroma khas Rasa
ikan dominan, agak aroma khas bumbu. Hasil rata-rata penilaian rasa abon ikan
motan dan ikan palau dapat dilihat pada
8 bb bb ba a
a
b Gambar 8 dan Gambar 9.
a a a
40 oC Hasil penilaian rata-rata rasa abon ikan
Nilai Organoleptik

6
50 oC motan menunjukkan bahwa semakin lama
4 60 oC
penyimpanan dengan perlakuan berbagai
2 suhu, penilaian panelis terhadap rasa abon
ikan motan mengalami perubahan yang tidak
0 terlalu signifikan. Hal tersebut dapat dilihat
0 7 14 21 28
Waktu Penyimpanan (Hari) berdasarkan hasil uji Kruskal-Wallis. Hasil uji
Gambar 7. Grafik rata-rata penilaian aroma abon ikan Kruskal-Wallis dengan tingkat kepercayaan
palau. 95% menunjukkan bahwa tidak terdapat
perbedaan selama penyimpanan arena nilai X2
Hasil uji Kruskal-Wallis dengan tingkat hitung < X2 tabel. Selama penyimpanan hari
kepercaayaan 95% menunjukkan bahwa pada ke-28, hasil uji pada uji mutu hedonik
penyimpanan hari ke-0, ke-14, ke-21 dan hari menunjukkan bahwa aroma abon ikan motan
ke-28 terdapat perbedaan pada sampel karena dengan perlakuan suhu 40 °C, 50 °C, dan
nilai X2 hitung > X2 tabel, menganalisis 60 °C tidak memberi pengaruh nyata

Jurnal Teknologi Hasil Perikanan, Vol. 6 No. 1 Tahun 2017


Jurnal Teknologi Hasil Perikanan, Vol. 6 No. 1 Tahun 2017 89

terhadap penilaian aroma abon ikan motan. Wallis pada uji mutu hedonik menunjukkan
Hal tersebut berdasarkan penilaian panelis bahwa rasa abon ikan palau dengan perlakuan
yang bersifat stabil sampai hari ke-28 yaitu suhu 60 oC. berbeda nyata dengan abon ikan
rata-rata 7 yang berarti rasa khas ikan palau dengan perlakuan suhu 40 °C dan
dominan. 50 °C pada hari ke-7. Hal tersebut dapat
Gambar 8. Grafik rata-rata penilaian rasa abon ikan dilihat berdasarkan penilaian panelis terhadap
motan. aroma dengan suhu 60 °C memiliki nilai
8 paling rendah dibandingkan dengan
perlakuan lain, namun rata-rata peringkat rasa
Nilai Organoleptik

6 40 oC
abon ikan palau masih 7, yang berdasarkan
50 oC
4 60 oC
score sheet memiliki rasa ikan khas dominan.
Hasil uji Kruskal-Wallis pada uji mutu
2 hedonik menunjukkan bahwa rasa abon ikan
0 palau dengan perlakuan suhu 60 °C dan
0 7 14 21 28 50 °C berbeda nyata dengan abon ikan palau
Waktu Penyimpanan (Hari) dengan perlakuan suhu 40 °C pada hari
8 bb bb ba ke-28. Hal tersebut dapat dilihat berdasarkan
7
a a a 40 oC penilaian panelis terhadap aroma dengan
50 oC suhu 40 °C memiliki nilai paling tinggi
Nilai Organoleptik

6
60 oC
5 dibandingkan dengan perlakuan lain, namun
4 rata-rata peringkat rasa abon ikan palau masih
3 7, yang berdasarkan score sheet memiliki rasa
2
1
ikan khas dominan.
0
0 7 14 21 28 Tekstur
Waktu Peyimpanan (Hari)
Hasil penilaian rata-rata penampakan
Gambar 9. Grafik rata-rata penilaian rasa abon ikan
palau. abon ikan motan dan abon ikan palau selama
penyimpanan 28 hari menunjukkan
Hasil rata-rata penilaian panelis perubahan, sebagaimana disajikan pada
terhadap rasa abon ikan palau selama Gambar 10 dan Gambar 11.
penyimpanan dengan berbagai suhu 8
mengalami perubahan namun tidak terlalu
6 40 oC
Nilai Organoleptik

signifikan. Berdasarkan hasil uji Kruskal-


50 oC
Wallis dengan tingkat kepercayaan 95% 4 60 oC
menunjukkan bahwa terdapat perbedaan
pada sampel pada hari ke-14 sampai dengan 2
hari ke-28 karena nilai X2 hitung > X2 tabel, 0
untuk menganalisis perbedaan rerata 0 7 14 21
Waktu Penyimpanan (Hari)
28
peringkat terhadap rasa dilakukan uji lanjut Gambar 10. Grafik rata-rata penilaian tekstur abon
perbandingan. Pada hari ke-14, hasil uji ikan motan.
Kruskal-Wallis pada uji mutu hedonik
menunjukkan bahwa rasa abon ikan palau Hasil rata-rata penilaian panelis
dengan perlakuan suhu 60 °C berbeda nyata terhadap tekstur abon ikan motan selama
dengan abon ikan palau dengan perlakuan penyimpanan dengan berbagai suhu
suhu 40 °C dan 50 °C. Hal tersebut dapat mengalami perubahan namun tidak terlalu
dilihat pada penilaian panelis bahwa rasa signifikan. Berdasarkan hasil uji Kruskal-
abon ikan palau dengan perlakuan suhu Wallis dengan tingkat kepercayaan 95%
60 °C memiliki nilai rata-rata peringkat yang menunjukkan bahwa tidak terdapat
lebih rendah dibandingkan penilaian panelis perbedaan pada sampel pada hari ke-0 sampai
terhadap abon ikan palau dengan perlakuan dengan hari ke-28 karena nilai X2 hitung < X2
suhu 40 °C dan 50 °C. Hasil uji Kruskal- tabel. Pada uji mutu hedonik menunjukkan

Karo et al.: Pengaruh variasi suhu terhadap mutu abon


90 Karo et al.: Pengaruh variasi suhu terhadap mutu abon

bahwa abon ikan motan dengan perlakuan peringkat yang lebih rendah dibandingkan
suhu 40 °C, 50 °C dan 60 °C tidak penilaian panelis terhadap abon ikan palau
berpengaruh nyata terhadap tekstur abon dengan perlakuan suhu 40 °C dan 50 °C.
ikan motan selama penyimpanan. Namun
berdasarkan penilaian panelis terhadap
KESIMPULAN
tekstur abon ikan pada hari ke-0 sampai
dengan hari ke-28 rata-rata 7, yang artinya Perlakuan suhu penyimpanan pada
tekstur abon yang dihasilkan adalah berbulir abon ikan motan dan abon ikan palau
agak kasar dan kurang kering. berpengaruh nyata terhadap nilai aktivitas air
(aw), jumlah mikrobiologi (angka lempeng
8 bb total dan kapang khamir). Perlakuan berbagai
a 40 oC
Nilai Organoleptik

6 50 oC
suhu pada abon ikan motan tidak
60 oC berpengaruh nyata terhadap nilai
4
organoleptik kenampakan, aroma, rasa dan
2 tekstur. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
perlakuan suhu penyimpanan berpengaruh
0
0 7 14 21 28
nyata terhadap nilai kadar abu, namun tidak
Waktu Penyimpanan (Hari) berpengaruh nyata terhadap nilai gizi lainnya
Gambar 11. Grafik rata-rata penilaian tekstur abon seperti kadar air, kadar lemak, kadar protein
ikan palau. serta kadar larbohidrat. Hasil uji mikrobiologi
Angka lempeng total dan kapang khamir
Hasil rata-rata penilaian panelis menunjukkan bahwa abon ikan motan dan
terhadap tekstur abon ikan palau abon ikan palau selama penyimpanan dengan
menunjukkan bahwa selama penyimpanan berbagai suhu tidak lebih dari 5x104 koloni/g
penilaian panelis mengalami perubahan. atau 50.000 koloni/g sehingga produk abon
Dimana pada perlakuan suhu 40 °C dan ikan motan dan abon ikan palau masih aman
50 °C penilaian panelis terhadap tekstur abon untuk di konsumsi. Hasil organoleptik
ikan palau meningkat, akan tetapi pada menunjukkan rata-rata nilai kenampakan,
perlakuan suhu 60 °C cenderung mengalami rasa, aroma, tekstur, dan warna abon ikan
penurunan, namun perubahan yang terjadi motan dan abon ikan palau dengan perlakuan
tidak terlalu signifikan. Hal tersebut dapat berbagai suhu memiliki rata-rata peringkat
diamati berdasarkan nilai organoleptik pada adalah 7 dan masih dapat diterima panelis.
awal pengamatan hari ke-0 rata-rata penilaian
adalah 7, dan pada pengamatan hari terakhir
hari ke-28 rata-rata penilaian panelis adalah 7, DAFTAR PUSTAKA
yang artinya bahwa tekstur abon ikan palau Andarwulan N, Kusnandar F, dan
berbulir agak kasar dan kurang kering. Hasil D. Herawati. 2011. Analisis Pangan.
uji Kruskal-Wallis dengan tingkat Jakarta: Dian Rakyat.
kepercaayaan 95% menunjukkan bahwa Arpah. 2007. Penetapan Kadaluawarsa Pangan.
terdapat perbedaan pada sampel pada hari Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian,
ke-21 karena nilai X2 hitung < X2 tabel Institut Pertanian Bogor.
sehingga perlu dilakukan uji lanjut [BSN] Badan Standardisasi Nasional. 1995.
perbandingan. Pada hari ke-21 hasil uji Standar Mutu Abon. SNI 01-3707-1995.
Kruskal-Wallis pada uji mutu hedonik Jakarta.
menunjukkan bahwa tekstur abon ikan palau Hadiwiyoto S. 1993. Teknologi Pengolahan Hasil
dengan perlakuan suhu 60 °C berbeda nyata Perikanan Jilid I. Yogyakarta: Liberty.
dengan abon ikan palau dengan perlakuan Herawati H. 2008. Penentuan umur simpan
suhu 40 °C dan 50 °C. Hal tersebut dapat produk pangan. Jurnal Penelitian dan
dilihat pada penilaian panelis bahwa tekstur Pengembangan Pertanian 27(4): 124-130.
abon ikan palau dengan perlakuan suhu 60 ° Karyono dan Wachid. 1982. Petunjuk Praktek
C memiliki nilai rata-rata Penanganan dan Pengolahan Ikan. Jakarta:

Jurnal Teknologi Hasil Perikanan, Vol. 6 No. 1 Tahun 2017


Jurnal Teknologi Hasil Perikanan, Vol. 6 No. 1 Tahun 2017 91

Departemen Pendidikan dan Panggabean JD. 2015. Analisis komponen


Kebudayaan. asam lemak dari ikan palau (Osteochilus
Ketaren S. 1986. Minyak dan Lemak Pangan. vittatus), ikan lampam (Barbodes
Jakarta: UI Press. schwanenfeldii) dan ikan motan
Labuza TP dan Schmidl MK. 1982. (Thynnichthys thynnoides). Skripsi. (Tidak
Accelerated shelf life testing of foods. dipublikasikan). Indralaya: Universitas
Food Technology 39(9): 57-62. Sriwijaya.
Leksono T dan Syahrul. 2001. Studi mutu Said A. 2007. Penelitian beberapa aspek
dan penerimaan konsumen terhadap biologi ikan serandang (Channa
abon ikan. Jurnal Natur Indonesia 3(2): pleurophthalmus) di DAS Musi, Sumatera
178-184. Selatan. Neptunus 14(1): 15-23.
Meirahma I. 2014. Karakteristik kimia, Sari D. 2009. Abon ikan marlin kaya DHA
mikrobiologi, dan sensori abon ikan dan Omega 3. http://www.detikfood.com/
patin (Pangasius pangasius) utuh dengan read/2009/08/18/191124/1185209/48
perlakuan pemasakan presto dan 2/abon-ikan-marlin-kaya-dha-dan-omega-3
pengeringan oven. Skripsi. (Tidak [12 November 2015].
dipublikasikan). Indralaya: Universitas Soediaoetama AD. 1996. Ilmu Gizi untuk Profesi
Sriwijaya. dan Mahasiswa. Jakarta: Dian Rakyat.
Millah F. 2010. Produksi abon ikan pari Tridiyani A. 2012. Perubahan mutu abon ikan
(rayfish) penentuan kualitas abon. marlin (Istiophorus sp.) kemasan vakum-
Skripsi. (Tidak dipublikasikan). non vakum pada berbagai suhu
Surabaya: Institut Teknologi Sepuluh penyimpanan dan pendugaan umur
Nopember. simpan. Skripsi. (Tidak dipublikasikan).
Bogor: Institut Pertanian Bogor.

Karo et al.: Pengaruh variasi suhu terhadap mutu abon

Anda mungkin juga menyukai