Anda di halaman 1dari 38

PRESENTASI KASUS

TUMOR COLON

Disusun Untuk Memenuhi Sebagian Syarat Program Kepaniteraan Klinik Bagian


Ilmu Radiologi Fakultas Kedokteran Dan Ilmu Kesehatan
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Diajukan Kepada:
dr. Kus Budayatiningrum, Sp. Rad

Disusun Oleh:
Rendi kurniawan
20120310155

BAGIAN ILMU RADIOLOGI RSUD SETJONEGORO WONOSOBO


FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
2017

20
HALAMAN PENGESAHAN

TUMOR COLON

Telah dipresentasikan pada tanggal:


20 Juni 2017
Bertempat di RSUD Setjonegoro Wonosobo

Disusun oleh:
Rendy Kurniawan
20120310155

Disahkan dan disetujui oleh:


Dokter Pembimbing Kepaniteraan Klinik Bagian Ilmu Radiologi
RSUD KRT Setjonegoro Wonosobo

dr. Kus Budayatiningrum, Sp.Rad

21
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr.Wb
Puji syukur atas kehadirat Allah SWT atas segala limpahan nikmat,
petunjuk dan kemudahan yang telah diberikan, sehingga penulis dapat
menyelesaikan presentasi kasus “TUMOR COLON”.
Presus ini terwujud atas bimbingan serta pengarahan dari berbagai pihak.
Untuk itu, dalam kesempatan ini penulis menyampaikan rasa terima kasih yang
tak ternilai kepada:
1. dr. Kus Budayatiningrum, Sp.Rad selaku dosen pembimbing bagian
Ilmu Radiologi RSUD KRT Setjonegoro Wonosobo yang telah
mengarahkan dan membimbing dalam menjalani stase Ilmu Radiologi
serta dalam penyusunan presus ini.
2. dr. Anies Indra Kusyati, Sp.Rad selaku dokter bagian Radiologi RSUD
KRT Setjonegoro Wonosobo yang telah mengarahkan dan memberi
ilmu dalam menjalani stase Ilmu Radiologi serta dalam penyusunan
presus ini.
3. Perawat bagian instalasi radiologi RSUD Setjonegoro Wonosobo.
4. Rekan-rekan Co-Assistensiatas bantuan dan kerjasamanya.
5. Dan seluruh pihak-pihak terkait yang membantu penyelesaian Presus
ini yang tidak dapat disebutkan satu per satu.
Dalam penyusunan presentasi kasus ini, penulis menyadari masih terdapat
banyak kekurangan, untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran membangun
demi kesempurnaan penyusunan presus di masa yang akan datang.

Wassalamu’alaikum Wr.Wb

Wonosobo, 20 Juni 2017

Rendy Kurniawan

22
BAB I
STATUS PASIEN

A. IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. AP
Tgl lahir/ Umur : 15 Mey 1945/ 46 tahun
Jenis Kelamin : Laki laki
Alamat : Jaraksari, Wonosobo
Tanggal masuk RS : 8 Juni 2017

B. ANAMNESIS
Keluhan utama :
Pasien datang ke RSUD KRT Setjonegoro dengan keluhan nyeri pada
perut dan mengalami bembesaran pada abdomen.
Riwayat Penyakit Sekarang:
Pasien datang ke RS dengan keluhan sesak napas dan merasakan
rasa tidak nyaman pada perutnya, dan merasa perut membesar, keluhan
yang lain disangkal.

Riwayat Penyakit Dahulu:


Pasien mengaku tidak pernah mengalami hal serupa, Riwayat
penyakit lain seperti diabetes melitus, hipertensi dan asma disangkal,
demikian pula tidak ada riwayat trauma pada abdomen.

Riwayat penyakit keluarga :


Tidak ada anggota keluarga yang memiliki keluhan yang sama
dengan pasien. Tidak ada anggota keluarga yang menderita penyakit
ginjal, hipertensi, jantung, asma, maupun diabetes mellitus.

23
Riwayat Sosial dan Personal :
Pasien berprofesi sebagai petani. Aktivitas keseharian pasien
kebanyakan dalam posisi membungkuk. Pasien mengaku jarang
meluangkan waktu secara khusus untuk  berolahraga. Pasien merokok
tetapi menyangkal minum minuman beralkohol.

C. PEMERIKSAAN FISIK
 Kesadaran : Compos Mentis
 Keadaan Umum : Kesan sakit ringan
 GCS : E4V5M6
 Tanda Vital
Tekanan Darah : 118/57 Pernapasan : 18 x /menit
Nadi : 77 x / menit Suhu : 36,9°C
 Kepala : Mesosefal
 Mata : konjungtiva pucat -/-, sklera ikterus -/-, refleks
pupil -/- isokor, edema palpebra -/-
 THT :
o Telinga : sekret -/-, hiperemis -/-
o Hidung : sekret (-), hiperemis (-), nafas cuping hidung (+)
o Mulut : mukosa bibir kering (-), sianosis (-)
o Lidah : papil atrofi (-)
o Tenggorokan : tonsil T1/T1, faring hiperemis (-)
 Leher : simetris, pembesaran limfonodi (-), pembesaran
tyroid (-)
 Thorax :
o Cor
Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak,
Palpasi : Ictus cordis kuat angkat di ICS V, 2 cm ke medial
linea midclavicularis sinistra.
Perkusi : DBN

24
Auskultasi : BJ I-II reguler, bising (-), gallop (-)
Pulmo
Inspeksi : simetris statis dinamis, retraksi dinding dada (-)
Palpasi : vokal fremitus : Normal Normal
Perkusi : DBN
Auskultasi : vesikuler (+) normal, ronki (-), wheezing (-)
 Abdomen
Inspeksi : Tampak adanya sedikit pembesaran
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Perkusi : redup di semua kuadran abdomen
Palpasi : Distensi (+)
 Ekstermitas : Akral dingin (-/-), edema (-/-)

D. PEMERIKSAAN LAB
Pemeriksaan Laboratorium
Parameter Result Unit Remark Reference Range
Hemoglobin 11,4 g/dl L (11,7-15,5)
Leukosit 8,4 10³/ul ( 3,6-11,0)
Eusinofil 2,7 % (2,00-4,00)
Basofil 0,40 % (0,1)
Netrofil 65,00 % (50-70)
Limfosit 30,20 % (25-40)
Monosit 5,40 % (2-8)
Hematokrit 33 % L (35-47)
Eritrosit 4,0 10⁶/ul L (4,40-5,90)
MCV 92 Fl (80-100)
MCH 30 Fl (26-34)
MCHC 32 g/dL (32-36)
Trombosit 251 10³/ul (150-400)
GDS 123 mg/dl (70-150)
Ureum 45 mg/dl (<50)
Creatinin 0,45 mg/dl (0,40-0,90)
Albumin 2,90 mg/dl L (3,8-5,3)
Trigliserida 89 mg/dl (70,0-140,0)
SGOT 44,0 U/L (0-50)
SGPT 26,0 U/L (0-50)

25
E. PEMERIKSAAN RADIOLOGI
A. Colon In Loop (CIL) (10-06-2017)
BNO : udara dalam usus baik, delatasi usus (-), foecal material (+),
floating sign (+), tampa osteofit di VTh 12-VL 4
Colon In Loop : tampak kontras masuk melalui anus mengisi rectum,
rectosigmoid, colon desenden, colon transversum,
hingga colon ascendens, passe kontras relatif lancar .
Colon : Kaliber colon normal, tampak gambaran filing defect yg menetap
di colon sigmoid 1/3 distal.
Kesan : massa intraluminer di colon sigmoid 1/3 distal, ascites,
spondylosis thorakolumbales.

Tambahan pemeriksaan pada foto thorax

A. Foto Thorax PA (06-09-2017)

26
Cor : suspek membesar
Pulmo : corakan bronko faskuler kasar, diaphragma & sinus dbn
Kesan : cor : suspect cardiomegali
Paru : aspect tenang

F. DIAGNOSIS KERJA
- Tumor colon
- Kardiomegali

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

27
A. DEFINISI
Sel tumor ialah sel tubuh yang mengalami transformasi dan tumbuh secara
autonom lepas dari kendali pertumbuhan sel normal sehingga sel ini berbeda
dari sel normal dalam bentuk dan strukturnya.1,2

Tumor adalah suatu benjolan atau struktur yang menempati area tertentu
pada tubuh, dan merupakan neoplasma yang dapat bersifat jinak atau ganas.1

Kanker adalah pertumbuhan sel abnormal yang cenderung menyerang


jaringan disekitarnya dan menyebar ke organ tubuh lain yang letaknya jauh
(Corwin,2009) Kanker kolon adalah pertumbuhan sel yang bersifat ganas yang
tumbuh pada kolon dan menginvasi jaringan sekitarnya (Tambayong, 2000)
bahwa kanker kolon adalah suatu pertumbuhan tumor yang bersifat ganas dan
merusak sel DNA dan jaringan sehat disekitar kolon (usus besar).1,2

B. ANATOMI DAN FISIOLOGI


Anatomi :

Saluran gastrointestinal berawal di rongga mulut, dan berlanjut ke


esofagus dan lambung. Makanan disimpan sementara di lambung sampai
disalurkan ke usus halus. Usus halus dibagi menjadi tiga bagian: duodenum,
yeyunum dan ileum. Pencernaan dan penyerapan makanan berlangsung
terutama di usus halus. Dari usus halus, makanan kemudian masuk ke usus
besar yang terdiri dari kolon dan rektum. Organ tambahan pada sistem ini
adalah hati, pankreas, kandung empedu, dan apendiks. Seluruh saluran cerna
terdiri dari beberapa lapisan jaringan: lapisan mukosa (untuk fungsi sekresi)
yang terletak paling dalam; lapisan jaringan ikat submukosa; lapisan otot
polos sirkular dan longitudinal yang disebut muskularis eksterna; dan
membran serosa yang terletak paling luar yang disebut lapisan peritoneum
(atau adventisial). Lapisan ini dihubungkan satu sama lain secara fisik dan
melalui hubungan saraf. 3,4

Fisiologi :

28
Makanan mulai dicerna di mulut proses mengunyah, penghancuran
makanan oleh gigi, metabolisme dibantu oleh ptyalin (produk kelenjar saliva),
esofagus jika dalam keadaan istirahat berbentuk tabung dan akan
mengembang bila dilalui oleh cairan atau makanan, esofagus menembus
diafragma yang mempunyai spincter Cordia yang membantu mendorong
makanan. Lambung jika dalam keadaan kosong berbentuk gepeng,
pencernaan di lambung dibantu oleh HCl dan pepsin untuk pencernaan
protein renin dan pencernaan susu. Fungsi motorik lambung terdiri atas
penyimpanan, pencampuran, dan pengosongan cimus (makanan yang
bercampur dengan sekret lambung) ke dalam duodenum. Usus halus
mempunyai dua fungsi utama yaitu pencernaan dan absorbsi bahan-bahan
nutrisi dan air. Dan usus besar mempunyai berbagai fungsi yang semuanya
berkaitan dengan proses akhir isi usus. Fungsi usus besar yang paling penting
adalah mengabsorbsi air dan elektrolit yang sudah hampir lengkap pada kolon
bagian kanan. Kolon sigmoid berfungsi sebagai reservoir yang menampung
massa faeces yang sudah dehidrasi sampai defekasi berlangsung.1,2,3

C. FAKTOR RESIKO
Polip

Kepentingan utama dari polip bahwa telah diketahui potensial untuk


menjadi kanker kolorektal. Evolusi dari kanker itu sendiri merupakan sebuah
proses yang bertahap, dimana proses dimulai dari hiperplasia sel mukosa,
adenoma formation, perkembangan dari displasia menuju transformasi maligna
dan invasif kanker. Aktifasi onkogen, inaktifasi tumor supresi gen, dan
kromosomal deletion memungkinkan perkembangan dari formasi adenoma,
perkembangan dan peningkatan displasia dan invasif karsinoma.4,5

Ada tiga kelompok utama gen yang terlibat dalam regulasi pertumbuhan
sel yaitu proto-onkogen, gen penekan tumor (Tumor Suppresor Gene = TSG), dan
gen gatekeeper. Proto-onkogen menstimulasi dan meregulasi pertumbuhan dan
pembelahan sel. TSG menghambat pertumbuhan sel atau menginduksi apoptosis

29
(kematian sel yang terprogram). Kelompok gen ini dikenal sebagai anti-onkogen,
karena berfungsi melakukan kontrol negatif (penekanan) pada pertumbuhan sel.
Gen p53 merupakan salah satu dari TSG yang menyandi protein dengan berat
molekul 53 kDa. Gen p53 juga berfungsi mendeteksi kerusakan DNA,
menginduksi reparasi DNA. Gen gatekeeper berfungsi mempertahankan integritas
genomik dengan mendeteksi kesalahan pada genom dan memperbaikinya. Mutasi
pada gen-gen ini karena berbagai faktor membuka peluang terbentuknya kanker.4,5

Pada keadaan normal, pertumbuhan sel akan terjadi sesuai dengan


kebutuhan melalui siklus sel normal yang dikendalikan secara terpadu oleh fungsi
proto-onkogen, TSG, dan gen gatekeeper secara seimbang. Jika terjadi
ketidakseimbangan fungsi ketiga gen ini, atau salah satu tidak berfungsi dengan
baik karena mutasi, maka keadaan ini akan menyebabkan penyimpangan siklus
sel. Pertumbuhan sel tidak normal pada proses terbentuknya kanker dapat terjadi
melalui tiga mekanisme, yaitu perpendekan waktu siklus sel, sehingga akan
menghasilkan lebih banyak sel dalam satuan waktu, penurunan jumlah kematian
sel akibat gangguan proses apoptosis, dan masuknya kembali populasi sel yang
tidak aktif berproliferasi ke dalam siklus proliferasi. Gabungan mutasi dari ketiga
kelompok gen ini akan menyebabkan kelainan siklus sel, yang sering terjadi
adalah mutasi gen yang berperan dalam mekanisme kontrol sehingga tidak
berfungsi baik, akibatnya sel akan berkembang tanpa kontrol (yang sering terjadi
pada manusia adalah mutasi gen p53). Akhirnya akan terjadi pertumbuhan sel
yang tidak diperlukan, tanpa kendali dan karsinogenesis dimulai. 5

Secara histologi polip diklasifikasikan sebagai neoplastik dan non


neoplastik. Non neoplastik polip tidak berpotensi maligna, yang termasuk polip
non neoplastik yaitu polip hiperplastik, mukous retention polip, hamartoma
(juvenile polip), limfoid aggregate dan inflamatory polip.3,4,5

30
Gambar 4 : Adenoma Carcinoma Sequences

Neoplastik polip atau adenomatous polip berpotensial berdegenerasi


maligna ; dan berdasarkan WHO diklasifikasikan sebagai tubular adenoma,
tubulovillous adenoma dan villous adenoma. Tujuh puluh persen dari polip berupa
adenomatous, dimana 75%-85% tubular adenoma, 10%-25% tubulovillous

2,3
adenoma dan villous adenoma dibawah 5%.

Gambar 5 : Adenomatous Polip

Displasia dapat dikategorikan menjadi low atau high grade. Enam persen
dari adenomatous polip berupa high grade displasia dan 5% didalamnya berupa
invasif karsinoma pada saat terdiagnosa. Potensi malignansi dari adenoma
berkorelasi dengan besarnya polip, tingkat displasia, dan umur. Polip yang
diameternya lebih besar dari 1 cm, berdisplasia berat dan secara histologi
tergolong sebagai villous adenoma dihubungkan dengan risiko tinggi untuk
menjadi kanker kolorektal. 6,7

Polip yang berukuran kecil (<1 cm) tidak berhubungan dengan


meningkatnya timbulnya kanker kolorektal. Insiden dari kanker meningkat dari
2,5-4 fold jika polip lebih besar dari 1 cm, dan 5-7 fold pada pasien yang
mempunyai multipel polip.7

31
Dari penelitian didapatkan bahwa polip yang lebih besar dari 1 cm jika tidak
ditangani menunjukkan risiko menjadi kanker sebesar 2,5% pada 5 tahun, 8%
pada 10 tahun dan 24% pada 20 tahun. Waktu yang dibutuhkan untuk menjadi
malignansi tergantung beratnya derajat displasia. Tiga koma lima tahun untuk
displasia sedang dan 11,5 tahun untuk atypia ringan.

Gambar 6 : Polip Neoplastik. (A) tubular adenoma, (B) villous adenoma, (C)
tubulovillous adenoma, (D) karsinoma pada tangkai tubular adenoma, (E)
karsinoma invasif yang muncul dari sebuah villous adenoma.7,8

B. Idiopathic Inflammatory Bowel Disease

1. Ulseratif Kolitis

32
Ulseratif kolitis merupakan faktor risiko yang jelas untuk kanker kolon
sekitar 1% dari pasien yang memiliki riwayat kronik ulseratif kolitis. Risiko
perkembangan kanker pada pasien ini berbanding terbalik pada usia terkena
kolitis dan berbanding lurus dengan keterlibatan dan keaktifan dari ulseratif
kolitis. Risiko kumulatif adalah 2% pada 10 tahun, 8% pada 20 tahun, dan 18%
pada 30 tahun. Pendekatan yang direkomendasikan untuk seseorang dengan risiko
tinggi dari kanker kolorektal pada ulseratif kolitis dengan mengunakan
kolonoskopi untuk menentukan kebutuhan akan total proktokolektomi pada pasien
dengan kolitis yang durasinya lebih dari 8 tahun. Strategi yang digunakan
berdasarkan asumsi bahwa lesi displasia bisa dideteksi sebelum terbentuknya
invasif kanker. Sebuah studi prospektif menyimpulkan bahwa kolektomi yang
dilakukan dengan segera sangat esensial untuk semua pasien yang didiagnosa
dengan displasia yang berhubungan dengan massa atau lesi, yang paling penting
dari analisa mendemonstrasikan bahwa diagnosis displasia tidak menyingkirkan
adanya invasif kanker. Diagnosis dari displasia mempunyai masalah tersendiri
pada pengumpulan sampling spesimen dan variasi perbedaan pendapat antara para
ahli patologi anatomi. 9

2. Penyakit Crohnis

Pasien yang menderita penyakit crohns mempunyai risiko tinggi untuk


menderita kanker kolorektal tetapi masih kurang jika dibandingkan dengan
ulseratif kolitis.10

Gambar 7 : Ulseratif Colitis

33
Keseluruhan insiden dari kanker yang muncul pada penyakit crohn¶s
sekitar 20%. Pasien dengan striktur kolon mempunyai insiden yang tinggi dari
adenokarsinoma pada tempat yang terjadi fibrosis. Adenokarsinoma meningkat
pada tempat strikturoplasty menjadikan sebuah biopsy dari dinding intestinal
harus dilakukan pada saat melakukan strikturoplasty. Telah dilaporkan juga
bahwa squamous sel kanker dan adenokarsinoma meningkat pada fistula kronik
pasien dengan crohnis disease.10,11

Gambar 8 : Penyakit Crohnis

3. Faktor Genetik

Sekitar 15% dari seluruh kanker kolon muncul pada pasien dengan riwayat
kanker kolorektal pada keluarga terdekat. Seseorang dengan keluarga terdekat
yang mempunyai kanker kolorektal mempunyai kemungkinan untuk menderita
kanker kolorektal dua kali lebih tinggi bila dibandingkan dengan seseorang yang
tidak memiliki riwayat kanker kolorektal pada keluarganya.12,13

34
4. Diet

Masyarakat yang diet tinggi lemak, tinggi kalori, daging dan diet rendah
serat berkemungkinan besar untuk menderita kanker kolorektal pada kebanyakan
penelitian, meskipun terdapat juga penelitian yang tidak menunjukkan adanya
hubungan antara serat dan kanker kolorektal.12

Ada dua hipotesis yang menjelaskan mekanisme hubungan antara diet dan
resiko kanker kolorektal. Teori pertama adalah pengakumulasian bukti
epidemiologi untuk asosiasi antara resistensi insulin dengan adenoma dan kanker
kolorektal. Mekanismenya adalah menkonsumsi diet yang berenergi tinggi
mengakibatkan perkembangan resistensi insulin diikuti dengan peningkatan level
insulin, trigliserida dan asam lemak tak jenuh pada sirkulasi. Faktor sirkulasi ini
mengarah pada sel epitel kolon untuk menstimulus proliferasi dan juga
memperlihatkan interaksi oksigen reaktif. Pemaparan jangka panjang hal tersebut
dapat meningkatkan pembentukan kanker kolorektal. Hipotesis kedua adalah
identifikasi berkelanjutan dari agen yang secara signifikan menghambat
karsinogenesis kolon secara experimental. Dari pengamatan tersebut dapat
disimpulkan mekanismenya, yaitu hilangnya fungsi pertahanan lokal epitel
disebabkan kegagalan diferensiasi dari daerah yang lemah akibat terpapar toksin
yang tak dapat dikenali dan adanya respon inflamasi fokal, karakteristik ini

35
didapat dari bukti teraktifasinya enzim COX-2 dan stres oksidatif dengan lepasnya
mediator oksigen reaktif. Hasil dari proliferasi fokal dan mutagenesis dapat
meningkatkan resiko terjadinya adenoma dan aberrant crypt foci. Proses ini dapat
dihambat dengan (a) demulsi yang dapat memperbaiki permukaan lumen kolon;
(b) agen anti-inflamasi; atau (c) anti-oksidan. Kedua mekanisme tersebut,
misalnya resistensi insulin yang berperan melalui tubuh dan kegagalan pertahanan
fokal epitel yang berperan secara lokal, dapat menjelaskan hubungan antara diet
dan resiko kanker kolorektal.13

5. Gaya Hidup

Pria dan wanita yang merokok kurang dari 20 tahun mempunyai risiko tiga
kali untuk memiliki adenokarsinoma yang kecil, tapi tidak untuk yang besar.
Sedangkan merokok lebih dari 20 tahun berhubungan dengan risiko dua setengah
kali untuk menderita adenoma yang berukuran besar. 14,15

Diperkirakan 5000-7000 kematian karena kanker kolorektal di Amerika


dihubungkan dengan pemakaian rokok. Pemakaian alkohol juga menunjukkan
hubungan dengan meningkatnya risiko kanker kolorektal.15

Pada berbagai penelitian telah menunjukkan hubungan antara aktifitas,


obesitas dan asupan energi dengan kanker kolorektal. Pada percobaan terhadap
hewan, pembatasan asupan energi telah menurunkan perkembangan dari kanker.
Interaksi antara obesitas dan aktifitas fisik menunjukkan penekanan pada aktifitas
prostaglandin intestinal, yang berhubungan dengan risiko kanker kolorektal. The
Nurses Health Study telah menunjukkan hubungan yang berkebalikan antara
aktifitas fisik dengan terjadinya adenoma, yang dapat diartikan bahwa penurunan
aktifitas fisik akan meningkatkan risiko terjadinya adenoma.16,17

36
6. Usia

Proporsi dari semua kanker pada orang usia lanjut ( 65 thn) pria dan
wanita adalah 61% dan 56%. Frekuensi kanker pada pria berusia lanjut hampir 7
kali (2158 per 100.000 orang per tahun) dan pada wanita berusia lanjut sekitar 4
kali (1192 per 100.000 orang per tahun) bila dibandingkan dengan orang yang
berusia lebih muda (30-64 thn). Sekitar setengah dari kanker yang terdiagnosa
pada pria yang berusia lanjut adalah kanker prostat (451 per 100.000), kanker
paru-paru (118 per 100.000) dan kanker kolon (176 per 100.000). Sekitar 48%
kanker yang terdiagnosa pada wanita yang berusia lanjut adalah kanker payudara
(248 per 100.000), kanker kolon (133 per 100.000), kanker paru paru (118 per
100.000) dan kanker lambung (75 per 100.000). 17

Usia merupakan faktor paling relevan yang mempengaruhi risiko kanker


kolorektal pada sebagian besar populasi. Risiko dari kanker kolorektal meningkat
bersamaan dengan usia, terutama pada pria dan wanita berusia 50 tahun atau
lebih, dan hanya 3% dari kanker kolorektal muncul pada orang dengan usia
dibawah 40 tahun. Lima puluh lima persen kanker terdapat pada usia 65 tahun,
angka insiden 19 per 100.000 populasi yang berumur kurang dari 65 tahun, dan
337 per 100.000 pada orang yang berusia lebih dari 65 tahun. 17,18

Di Amerika seseorang mempunyai risiko untuk terkena kanker kolorektal


sebesar 5%. Sedangkan kelompok terbesar dengan peningkatan risiko kanker
kolorektal adalah pada usia diatas 40 tahun. Seseorang dengan usia dibawah
empat puluh tahun hanya memiliki kemungkinan menderita kanker kolorektal
kurang dari 10%. Dari tahun 2000-2003, rata-rata usia saat terdiagnosa menderita
kanker kolorektal pada usia 71 tahun. Insidensi berdasarkan usia dibawah 20
tahun sebesar 0,0%, 20-34 tahun sebesar 0,9%, 35-44 tahun sebesar 3,5%, 45-54
tahun sebesar 10,9%, 55-64 tahun sebesar 17,6%, 65-74 tahun sebesar 25,9%, 75-
84 tahun sebesar 28,8%, dan > 85 sebesar 12,3%.18

Pada kebanyakan kasus kanker terdapat variasi geografik pada insiden


yang ditemukan pada usia lanjut yang mencerminkan perbedaan sosial ekonomi,

37
terutama antara Negara berkembang dan Negara maju. Bila di Negara maju angka
kejadian penyakit ini meningkat tajam setelah seseorang berusia 50 tahun dan
hanya 3 persen di bawah 40 tahun, di Indonesia berdasarkan data Bagian Patologi
Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia menunjukkan persentase
yang lebih tinggi yakni 35,25%. 18,19

Proporsi dari orang yang berusia lanjut telah meningkat di berbagai


Negara beberapa dekade terakhir, dan akan terus meningkat lebih jauh beberapa
tahun mendatang. Tingkat harapan hidup di Indonesia pada saat kelahiran
diperkirakan adalah 67,86 tahun untuk pria dan wanita. Peningkatan usia harapan
hidup yang ada beserta populasi Indonesia yang menduduki peringkat 4 dunia
akan menjadikan Indonesia pada tahun 1990-2025 akan mempunyai jumlah usia
lanjut paling tinggi di dunia. Meningkatnya jumlah orang yang berusia lebih tua
akan menambahkan beban ganda pada penyakit, dengan umumnya penyakit yang
menular di satu sisi, dan meningkatnya prevalansi penyakit yang tidak menular di
sisi lainnya. Kanker pada usia lanjut di masa-masa yang akan datang merupakan
masalah yang perlu ditangani dengan serius dikarenakan perubahan populasi
penduduk dengan kelompok usia lanjut yang semakin banyak. Oleh karena itu
sangat perlunya penggalakan penelitian mengenai pencegahan kanker dan
perencanaan terapi pada orang yang berusia lanjut.20

38
D. PATOFISIOLOGI
Umumnya tumor kolorektal adalah adenokarsinoma yang berkembang dari
polyp adenoma. Insidensi tumor dari kolon kanan meningkat, meskipun umumnya
masih terjadi di rektum dan kolon sigmoid. Pertumbuhan tumor secara tipikal
tidak terdeteksi, menimbulkan beberapa gejala. Pada saat timbul gejala, penyakit
mungkin sudah menyebar kedalam lapisan lebih dalam dari jaringan usus dan
oragan-organ yang berdekatan. Kanker kolorektal menyebar dengan perluasan
langsung ke sekeliling permukaan usus, submukosa, dan dinding luar usus.
Struktur yang berdekatan, seperti hepar, kurvatura mayor lambung, duodenum,
usus halus, pankreas, limpa, saluran genitourinary, dan dinding abdominal juga
dapat dikenai oleh perluasan. Metastasis ke kelenjar getah bening regional sering
berasal dari penyebaran tumor. Tanda ini tidak selalu terjadi, bisa saja kelenjar
yang jauh sudah dikenai namun kelenjar regional masih normal (Way, 1994). Sel-
sel kanker dari tumor primer dapat juga menyebar melalui sistem limpatik atau
sistem sirkulasi ke area sekunder seperti hepar, paru-paru, otak, tulang, dan ginjal.
3Penyemaian ́ dari tumor ke area lain dari rongga peritoneal dapat terjadi bila
tumor meluas melalui serosa atau selama pemotongan pembedahan.21,22

Awalnya sebagai nodul, kanker usus sering tanpa gejala hingga tahap
lanjut. Karena pola pertumbuhan lamban, 5 sampai 15 tahun sebelum muncul
gejala.21

Kanker kolon dan rectum terutama (95%) adenokarsinoma (muncul dari


lapisan epitel usus) dimulai sebagai polip jinak tetapi dapat menjadi ganas dan
menyusup serta merusak jaringan normal serta meluas ke dalam struktur
sekitarnya. Sel kanker dapat terlepas dari tumor primer dan menyebar ke dalam
tubuh yang lain (paling sering ke hati).22,23

39
E. KLASIFIKASI
Klasifikasi karsinoma kolorektal menurut WHO, adalah sebagai berikut:
a. Adenokarsinoma
Sebagian besar (98%) kanker di usus besar adalah adenokarsinoma. Kanker
ini merupakan salah satu tantangan besar bagi profesi kedokteran, karena kanker
ini hampir selalu timbul di polip adenomatosa yang secara umum dapat
disembuhkan dengan reseksi.24
b. Adenosquamous karsinoma
Adenosquamous karsinoma yaitu suatu karsinoma yang terdiri dari
komponen glandular dan squamous. Adenosquamous merupakan jenis tumor yang
jarang ditemukan.25,26
c. Mucinous adenokarsinoma
Istilah “mucinosa” berarti bahwa sesuatu yang memiliki banyak lendir.
Diklasifikasikan mucinous adenokarsinoma jika lebih dari 50% lesi terdiri dari
musin.26,27
d. Signet ring cell carcinoma
e. Squamous cell carcinoma
f. Undifferentiated carcinoma
Merupakan jenis yang paling ganas memiliki berbagai gambaran
histopatologis sehingga tidak dikenali lagi asal selnya. 27
g. Medullary carcinoma
Sel berbentuk bulat dengan inti vesikuler dan anak inti jelas diantaranya sel-
sel terdapat sel radang limfosit yang tidak menginfiltrasi tapi mendesak
gambarannya seperti ganas namun prognosisnya lebih baik.28
4. Stadium
Klasifikasi karsinoma ini pertama kali diajukan oleh Dukes pada tahun 1930
(Sjamsuhidajat, 2004). Klasifikasi Dukes dibagi berdasarkan dalamnya infiltrasi
karsinoma ke dinding usus.29,30

40
Gambar 3. Stadium pada kanker kolorektal

F. DIAGNOSIS
Diagnosa karsinoma kolorektal ditegakkan berdasarkan anamnesis,
pemeriksaan fisik pemeriksaan abdomen dan rectal, prosedur diagnostik paling
pentng untuk kanker kolon adalah pengujian darah samar, enema barium,
proktosigmoidoskopi,dan kolonoskopi. Pemeriksaan ini sebaiknya dilakukan
setiap tiga tahun untuk usia 40 tahun keatas. Sebanyak 60% kasus dari kanker
kolorektal dapat diidentifikasi dengan sigmoideskopi dengan biopsi atau apusan
sitologi. 30,31

G. PEMERIKSAAN
Biopsi

Konfirmasi adanya malignansi dengan pemeriksaan biopsi sangat penting.


Jika terdapat sebuah obstruksi sehingga tidak memungkinkan dilakukannya biopsi
maka sikat sitologi akan sangat berguna.7,8,9

Carcinoembrionik Antigen (CEA) Screening

CEA adalah sebuah glikoprotein yang terdapat pada permukaan sel yang
masuk ke dalam peredaran darah, dan digunakan sebagai marker serologi untuk
memonitor status kanker kolorektal dan untuk mendeteksi rekurensi dini dan

41
metastase ke hepar. CEA terlalu insensitif dan nonspesifik untuk bisa digunakan
sebagai screening kanker kolorektal. Meningkatnya nilai CEA serum,
bagaimanapun berhubungan dengan beberapa parameter. Tingginya nilai CEA
berhubungan dengan tumor grade 1 dan 2, stadium lanjut dari penyakit dan
kehadiran metastase ke organ dalam. Meskipun konsentrasi CEA serum
merupakan faktor prognostik independen. Nilai CEA serum baru dapat dikatakan
bermakna pada monitoring berkelanjutan setelah pembedahan. 10,11

Meskipun keterbatasan spesifitas dan sensifitas dari tes CEA, namun tes
ini sering diusulkan untuk mengenali adanya rekurensi dini. Tes CEA sebelum
operasi sangat berguna sebagai faktor prognosa dan apakah tumor primer
berhubungan dengan meningkatnya nilai CEA. Peningkatan nilai CEA preoperatif
berguna untuk identifikasi awal dari metatase karena sel tumor yang bermetastase
sering mengakibatkan naiknya nilai CEA. 12,13

Tes Occult Blood

Phenol yang tidak berwarna di dalam guaic gum akan dirubah menjadi
berwarna biru oleh oksidasi. Reaksi ini menandakan adanya peroksidase katalis,
oksidase menjadi sempurna dengan adanya katalis, contohnya hemoglobin. Tetapi
sayangnya terdapat berbagai katalis di dalam diet. Seperti contohnya daging
merah, oleh karena itu diperlukan perhatian khusus untuk menghindari hal ini. Tes
ini akan mendeteksi 20 mg hb/gr feses. Tes imunofluorosensi dari occult blood
mengubah hb menjadi porphirin berfluorosensi, yang akan mendeteksi 5-10 mg
hb/gr feses, Hasil false negatif dari tes ini sangat tinggi. Terdapat berbagai
masalah yang perlu dicermati dalam menggunakan tes occult blood untuk
screening, karena semua sumber perdarahan akan menghasilkan hasil positif.
Kanker mungkin hanya akan berdarah secara intermitten atau tidak berdarah sama
sekali, dan akan menghasilkan tes yang false negatif. Proses pengolahan,
manipulasi diet, aspirin, jumlah tes, interval tes adalah faktor yang akan
mempengaruhi keakuratan dari tes occult blood tersebut. Efek langsung dari tes
occult blood dalam menurunkan mortalitas dari berbagai sebab masih belum jelas

42
dan efikasi dari tes ini sebagai screening kanker kolorektal masih memerlukan
evaluasi lebih lanjut.14,15

Foto Polos Abdomen

Foto polos abdomen merupakan pemeriksaan awal untuk melakukan


pemeriksaan barium enema. Apabila pada pemeriksaan foto polos abdomen
ditemukan tanda-tanda perforasi, maka pemeriksaan barium enema merupakan
kontra indikasi.16,17

Foto polos abdomen sedapat mungkin dibuat pada posisi tegak dengan
sinar horizontal. Posisi supine perlu untuk melihat distribusi gas, sedangkan di
sikap tegak untuk melihat batas udara-air dan letak obstruksi karena massa.18,19

Foto Polos Abdomen menjadi salah satu alat bantu dalam mendiagnosis
terjadinya gangguan pada abdomen. Pemeriksaan radiologis merupakan
pemeriksaan penunjang untuk pertimbangan dalam memperkirakan pasien dengan
abdomen akut.20,21,22

Foto polos abdomen dapat dilakukan dalam 3 posisi, yaitu :21,22

 Supine (tidur terlentang).


 Left dicubitus (LLD) (tidur miring ke kiri).

 Duduk/setengah duduk, bisa juga dengan berdiri bila memungkinkan.

Barium Enema

Tehnik yang sering digunakan adalah dengan memakai double kontras


barium enema, yang sensitifitasnya mencapai 90% dalam mendeteksi polip yang
berukuran >1 cm. Tehnik ini jika digunakan bersama-sama fleksibel
sigmoidoskopi merupakan cara yang hemat biaya sebagai alternatif pengganti
kolonoskopi untuk pasien yang tidak dapat mentoleransi kolonoskopi, atau
digunakan sebagai pemantauan jangka panjang pada pasien yang mempunyai

43
riwayat polip atau kanker yang telah di eksisi. Risiko perforasi dengan
menggunakan barium enema sangat rendah, yaitu sebesar 0,02 %. Jika terdapat
kemungkinan perforasi, maka sebuah kontras larut air harus digunakan daripada
barium enema. Barium peritonitis merupakan komplikasi yang sangat serius yang
dapat mengakibatkan berbagai infeksi dan peritoneal fibrosis. T etapi sayangnya
sebuah kontras larut air tidak dapat menunjukkan detail yang penting untuk
menunjukkan lesi kecil pada mukosa kolon. 23,24

Persiapan Penderita dalam Pemeriksaan Colon in Loop

1 Mengubah pola makanan penderita

Makanan hendaknya mempunyai konsistensi lunak, low residue, dan tidak


mengandung lemak. Ini dimaksudkan untuk mengurangi terjadinya bongkahan-
bongkahan tinja yang keras.24

2 Minum sebanyak-banyaknya

Oleh karena penyerapan air di saluran cernaterbanyak di kolon, maka pemberian


minum ini dapat menjaga tinja agar tetap lembek. Untuk menjaga kebutuhan
kalori dan keseimbangan elektrolit dapat diberikan oral enteral feeding berupa
bubuk yang dilarutkan dalam air. 24

3 Pemberian Pencahar

Apabila kedua hal di atas dijalankan dengan benar, maka pemberian


pencahar hanyalah sebagai pelengkap saja. Pada beberapa keadaan, seperti : orang
tua, rawat baring yang lama, dan sembelit kronis, pencahar ini mutlak diberikan.

44
Sebaliknya dipilih pencahar yang mempunyai sifat-sifat sebagai berikut :

- Melembekkan tinja dan meningkatkan peristaltis

Gambar 9 : Gambaran colon in loop

← -  Mempunyai cita rasa yang enak

← -  Mempunyai kemasan yang menarik Umumnya


pemakaian pencahar hanyalah bersifat sementara, walaupun demikian
harus tetap diwaspadai terjadinya kebiasaan memakai laxative (laxative
habits). Magnesium sulfat dapat diberikan sebagai alternatif dan
memberikan hasil yang cukup baik dalam 6-8 jam setelah pemakaian.
Pengalaman menunjukkan salah satu kegagalan persiapan disebabkan
keengganan penderita untuk memakan pencahar oleh karena tidak
mempunyai sifat-sifat tadi.25,26

← Teknik pemeriksaan

Tahap pengisian

Di sini terjadi pengisian larutan barium ke dalam lumen kolon. Sampai


bagian kolon manakah pengisian tersebut sangat bergantung pada panjang
pendeknya kolon itu sendiri. Umumnya dapat dikatakan cukup bila sudah
mencapai fleksura lienalis atau pertengahan kolon transversum. Bagian kolon

45
yang belum terisi dapat diisi dengan merubah posisi penderita dari telentang
(supine) menjadi miring kanan (right decubitus).26

Tahap pelapisan

Dengan menunggu 1-2 menit dapat diberikan kesempatan pada larutan


barium untuk melapisi (coating) mukosa kolon.26,27

Tahap pengosongan

Setelah diyakini mukosa kolon terlapisi sempurna, maka sisa larutan


barium dalam lumen kolon perlu dibuang sebanyak yang dapat dikeluarkan
kembali. Caranya dengan memiringkan penderita ke kiri (left decubitus) dan
menegakkan meja pemeriksaan (upright).28

Tahap pengembangan

Di sini dilakukan pemompaan udara ke dalam lumen kolon. Usahakan


jangan sampai terjadi pengembangan yang berlebihan (overdistention) karena
akan timbul hal-hal yang tidak diingini.29,30

Tahap pemotretan

Setelah seluruh kolon mengembang sempurna, maka dilakukan pemotretan


atau eksposun radiografik. Posisi penderita saat pemotretan tergantung pada
bentuk kolonnya atau kelainan yang ditemukan. Hal yang sama juga berlaku
untuk jumlah film yang dipakai.31

Lama pemeriksaan

Dianjurkan lama pemeriksaan tidak melebihi 5 menit. Makin lama


pemeriksaan itu berlangsung, kemungkinan terjadinya kerak-kerak barium di
sepanjang kolon makin besar.31

Gambaran Karsinoma Kolon dengan Colon in Loop Karsinoma kolon secara


radiologi member gambaran :

46
← -  Penonjolan ke dalam lumen (protruded lession) Bentuk klasik
tipe ini adalah polip. Polip dapat bertangkai (pedunculated) dan tidak bertangkai
(sessile). Dinding kolon seringkali masih baik.2,3

← -  Kerancuan dinding kolon (colonic wall deformity)Dapat bersifat


simetris (napkin ring) atau asimetris (apple core). Lumen kolon sempit dan
irregular. Kerap kali hal ini sulit dibedakan dengan colitis Crohn.3

- Kekakuan dinding kolon (rigidity colonic wall)Bersifat segmental, terkadang


mukosa masih baik. Lumen kolon dapat tidak menyempit. Bentuk ini sukar
dibedakan dengan colitis ulseratif. 3,4

Endoskopi

Tes tersebut diindikasikan untuk menilai seluruh mukosa kolon karena 3%


dari pasien mempunyai synchronous kanker dan berkemungkinan untuk
mempunyai polip premaligna.4

Gambar : metode pemeriksaan endoscopy tumor kolon

Gambar : karsinoma kolon yang dilihat dengan pemeriksaan endoskopi

merupakan indikasi untuk dilakukannya kolonoskopi, karena meskipun kecil (<10


mm), adenoma yang berada di distal kolon biasanya berhubungan dengan
neoplasma yang letaknya proksimal pada 6-10% pasien.5

47
Kolonoskopi

Kolonoskopi dapat digunakan untuk menunjukan gambaran seluruh


mukosa kolon dan rectum. Sebuah standar kolonoskopi panjangnya dapat
mencapai 160 cm. Kolonoskopi merupakan cara yang paling akurat untuk dapat
menunjukkan polip dengan ukuran kurang dari 1 cm dan keakuratan dari
pemeriksaan kolonoskopi sebesar 94%, lebih baik daripada barium enema yang
keakuratannya hanya sebesar 67%. Sebuah kolonoskopi juga dapat digunakan
untuk biopsi, polipektomi, mengontrol perdarahan dan dilatasi dari striktur.
Kolonoskopi merupakan prosedur yang sangat aman dimana komplikasi utama
(perdarahan, komplikasi anestesi dan perforasi) hanya muncul kurang dari 0,2%
pada pasien. Kolonoskopi merupakan cara yang sangat berguna untuk
mendiagnosis dan manajemen dari inflammatory bowel disease, non akut
divertikulitis, sigmoid volvulus, gastrointestinal bleeding, megakolon non toksik,
striktur kolon dan neoplasma. Komplikasi lebih sering terjadi pada kolonoskopi
terapi daripada diagnostik kolonoskopi, perdarahan merupakan komplikasi utama
dari kolonoskopi terapeutik, sedangkan perforasi merupakan komplikasi utama
dari kolonoskopi diagnostic.5,6

Gambar : Metode pemeriksaan kolonoskopi

48
Imaging Tehnik

MRI, CT scan, transrectal ultrasound merupakan bagian dari tehnik


imaging yang digunakan untuk evaluasi, staging dan tindak lanjut pasien dengan
kanker kolon, tetapi tehnik ini bukan merupakan screening tes.7,8

CT scan

CT scan dapat mengevaluasi abdominal cavity dari pasien kanker kolon


pre operatif. CT scan bisa mendeteksi metastase ke hepar, kelenjar adrenal,
ovarium, kelenjar limfa dan organ lainnya di pelvis. CT scan sangat berguna
untuk mendeteksi rekurensi pada pasien dengan nilai CEA yang meningkat
setelah pembedahan kanker kolon. Sensitifitas CT scan mencapai 55%. CT scan
memegang peranan penting pada pasien dengan kanker kolon karena sulitnya
dalam menentukan stage dari lesi sebelum tindakan operasi. Pelvic CT scan dapat
mengidentifikasi invasi tumor ke dinding usus dengan akurasi mencapai 90 %,

19
dan mendeteksi pembesaran kelanjar getah bening >1 cm pada 75% pasien.
Penggunaan CT dengan kontras dari abdomen dan pelvis dapat mengidentifikasi
metastase pada hepar dan daerah intraperitoneal.7,8,9

Gambar 8 : CT scan pelvis menunjukkan adanya tumor kolon yang sudah


metastasis pada hepar dan daerah intraperitoneal

49
Gambar 9 : CT scan pelvis yang menunjukkan adanya karsinoma kolon

MRI

MRI lebih spesifik untuk tumor pada hepar daripada CT scan dan sering
digunakan pada klarifikasi lesi yang tak teridentifikasi dengan menggunakan CT
scan. Karena sensifitasnya yang lebih tinggi daripada CT scan, MRI dipergunakan
untuk mengidentifikasikan metastasis ke hepar.8,9

Gambar : MRI dari karsinoma kolon

Endoskopi UltraSound (EUS)

EUS secara signifikan menguatkan penilaian preoperatif dari kedalaman


invasi tumor, terlebih untuk tumor rektal. Keakurasian dari EUS sebesar 95%,
70% untuk CT dan 60% untuk digital rektal examination. Pada kanker rektal,

50
kombinasi pemakaian EUS untuk melihat adanya tumor dan digital rektal
examination untuk menilai mobilitas tumor seharusnya dapat meningkatkan
ketepatan rencana dalam terapi pembedahan dan menentukan pasien yang telah
mendapatkan keuntungan dari preoperatif kemoradiasi. Transrektal biopsi dari
kelenjar limfa perirektal bisa dilakukan di bawah bimbingan EUS.10,11

H. PENATALAKSANAAN
Pembedahan

Pembedahan adalah satu satunya cara yang telah secara luas diterima sebagai
penanganan kuratif untuk kanker kolorektal. Pembedahan kuratif harus
mengeksisi dengan batas yang luas dan maksimal regional lymphadenektomi
sementara mempertahankan fungsi dari kolon sebisanya. Untuk lesi diatas rektum,
reseksi tumor dengan minimum margin 5 cm bebas tumor. Pendekatan
laparaskopik kolektomi telah dihubungkan dan dibandingkan dengan tehnik bedah
terbuka pada beberapa randomized trial. Subtotal kolektomi dengan
ileoproktostomi dapat digunakan pada pasien kolon kanker yang potensial kurabel
dan dengan adenoma yang tersebar pada kolon atau pada pasien dengan riwayat
keluarga menderita kanker kolorektal. Eksisi tumor yang berada pada kolon kanan
harus mengikutsertakan cabang dari arteri media kolika sebagaimana juga seluruh
arteri ileokolika dan arteri kolika kanan. Eksisi tumor pada hepatik flexure atau
splenic flexure harus mengikutsertakan seluruh arteri media kolika. Permanen
kolostomi pada penderita kanker yang berada pada rektal bagian bawah dan
tengah harus dihindari dengan adanya tehnik pembedahan terbaru secara stapling.
Tumor yang menyebabkan obstruksi pada kolon kanan biasanya ditangani dengan
reseksi primer dan anastomosis. Tumor yang menyebabkan obstruksi pada kolon
kiri dapat ditangani dengan dekompresi. Tumor yang menyebabkan perforasi
membutuhkan eksisi dari tumor primer dan proksimal kolostomi, diikuti dengan
reanastomosis dan closure dari kolostomi.12,13,14

Terapi Radiasi

Terapi radiasi merupakan penanganan kanker dengan menggunakan x- ray


berenergi tinggi untuk membunuh sel kanker. Terdapat dua cara pemberian terapi
radiasi, yaitu dengan eksternal radiasi dan internal radiasi. Pemilihan cara radiasi

51
diberikan tergantung pada tipe dan stadium dari kanker.15,16

Eksternal radiasi (external beam therapy) merupakan penanganan dimana


radiasi tingkat tinggi secara tepat diarahkan pada sel kanker. Sejak radiasi
digunakan untuk membunuh sel kanker, maka dibutuhkan pelindung khusus untuk
melindungi jaringan yang sehat disekitarnya. Terapi radiasi tidak menyakitkan
dan pemberian radiasi hanya berlangsung beberapa menit.15

Internal radiasi (brachytherapy, implant radiation) menggunakan radiasi yang


diberikan ke dalam tubuh sedekat mungkin pada sel kanker. Substansi yang
menghasilkan radiasi disebut radioisotop, bisa dimasukkan dengan cara oral,
parenteral atau implant langsung pada tumor. Internal radiasi memberikan tingkat
radiasi yang lebih tinggi dengan waktu yang relatif singkat bila dibandingkan
dengan eksternal radiasi, dan beberapa penanganan internal radiasi secara
sementara menetap didalam tubuh.16

52
BAB III
PEMBAHASAN
Berdasarkan hasil pemeriksaan pasien antara lain menunjukkan adanya
pembengkakan, nyeri, rasa tidaknyaman pada abdomen, dan mengeluh kan. Tidak
ada keluhan lain, Riwayat penyakit dahulu dan riwayat penyakit keluarga
disangkal.
1. Dari anamnesis pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang
didapatkan adanya kesamaan dengan teori dan pemeriksaan yang
dilakukan.
2. Dari pemeriksaan radiologi dan teori yang didapatkan adanya
kesamaan Dimana pada tumor kolon akan terlihat gambaran
penonjolan ke dalam lumen, kerancuan dinding kolon, dan kekauan
dinding kolon. Kontras yang dipakai biasanya yaitu barium enema
dengan lama pemeriksaan lima menit. Dari hasil pemeriksaan
radiologi ditemukan filing difect pada 1/3 distal, yang menunjukan
adanya masa di colon sigmoid, perkiraan masa yg terlihat pada
gambaran radiologi, masa pada stage II.
3. Dari anamnesis didapatkan kesamaan dengan teori seperti keluhan
sesak napas dan merasakan rasa tidak nyaman pada perutnya, dan merasa
perut membesar.

4. Di klinik sehari-hari metode pemeriksaan yang sering dipakai ialah


dari anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang
dengan menggunakan metode Colon in loop. Metode pemeriksaa
yang lebih canggih dapat dipakai untuk melihat adanya metastasis,
misalnya dengan CT scan dan MRI.

53
BAB IV
KESIMPULAN

Diagnosis tumor kolon dapat ditegakkan dari anamnesis, pemeriksaan fisik,


dan pemeriksaan penunjang diantaranya BNO dan CIL, Dari hasil pemeriksaan
radiologi ditemukan filing difect pada 1/3 distal pada colon sigmoid, yang
menunjukan adanya masa di colon, dapat disimpulkan bahwa pasien di diagnosis
sementara dengan tumor colon. Dapat juga dilakukan pemeriksaan tambahan
seperti CT-scan dan MRI untuk menegakan diagnosis.

54
DAFTAR PUSTAKA

1. De jong W, Sjamsuhidajat R. Buku Ajar Ilmu Penyakit Bedah Edisi 2: Bab 35 Usus
Halus, Apendiks, Kolon, dan Rektum. Jakarta: EGC. 2005.
2. Halpert, RD. Gastrointestinal Imaging 3rd ed: Chapter 7 Colon and Rectum.
Philadelphia: Mosby Elsevier. 2006. 261-300.
3. Rasad, Sjahriar. Radiologi Diagnostik Edisi 2: Traktus Digestivus dan Biliaris.
Jakarta: EGC. 2005. 256-268
4. Gontar Alamsyah Siregar. Deteksi dini dan penatalaksanaan karsinoma kolon,
2007.
5. Colorectal Cancer Center of Cedars-Sinai Hospital (2010) Treatments for Sigmoid
6. Price, Sylvia A & LM Wilson. 2005. Patofisiologi : Konsep Klinis Proses-
proses Penyakit. Edisi 6. EGC, Jakarta
7. Sutadi, Sri Maryani. 2003. Sirosis Hepatis. Fakultas Kedokteran, USU.
8. Bontrager, 2001., Tex Book of Radiographic Positioning and Related
Anatomy, Edisi ke-5, Mosby Inc, St. Louis, Amerika.
9. Billinger, Philip W, Merrils Atlas of Radiographic position and Radiologic
Procedures volume II – Eight Edition, The Mosby Company, St. Loius,
Toronto. London, 1999.

55
10. Cohen A M, Minsky B D, Schilsky R L. 1997.Cancers of the
gastrointestinal tract. In: Devita V T, Hellman S, Roseberg S A: Cancer
th
principles & practice of oncology 5 edition. Page: 1166-1185.

11. Dixon M F. 1994. Sistem pencernaan. Dalam: Underwood, J C E:


Patologi umum dan sistematik edisi 2. Jakarta: EGC. Halaman: 463-464.

12. Drebin J A, Neiderhuber J E. 1993. Current therapy in oncology.


Missouri: Mosby-Year Book, Inc. Page: 429.

13. Eroschenko, V P. 2001. Sistem pencernaan: usus halus dan usus besar.
Dalam: Atlas histologi di fiore dengan korelasi fungsional. Jakarta: EGC.
Halaman: 205.

14. Gontar Alamsyah Siregar. 2007. Deteksi dini dan penatalaksanaan kanker
usus besar.
http://www.usu.ac.id/id/files/pidato/ppgb/2007/ppgb2007gontarasiregar.
pdf 5 Mei 2008

15. Guyton A C, Hall J E.1996. Fisiologi gastrointestinal. Dalam: Buku ajar


fisiologi kedokteran. Jakarta: EGC. Halaman: 1008-1009, 1034, 1049-
1050.

16. Harnawatiaj. 2008. Kanker kolorektal.


http://harnawatiaj.wordpress.com/2008/03/ 09/kanker-kolorektal/ 21 April
2008

17. Ikhsanuddin Ahmad Harahap. 2004. Perawatan pasien dengan kolostomi


pada penderita cancer colorectal.
http://library.usu.ac.id/download/fk/04006072.pdf 9 Mei 2008

18. John Pieter. 1997. Usus halus, appendiks, kolon dan anorektum. Dalam: R.
Sjamsuhidajat, Wim de Jong: Buku ajar ilmu bedah. Jakarta: EGC.
Halaman: 893, 895.

th
19. Juan Rosai. 1996. Ackerman’s surgical pathology volume two B. 8
edition. Missouri: Mosby-Year Book, Inc. Page: 775.

20. Junguiera L C, Carneiro J, Kelley R O.1995. Histologi dasar adisi ke-8.


Jakarta: EGC. Halaman: 309-310.

56
21. Kumar V, Cotran R S, Robbins S L. 2004. Buku ajar patologi volume 1.
Edisi 7. 2004. Jakarta: EGC. Halaman: 200.

22. Leeson C R, Leeson T S, Paparo A A. 1990. Buku ajar histologi edisi V.


Jakarta: EGC. Halaman: 369.

23. R. Sjamsuhidajat, Wim de Jong. 2003. Buku ajar ilmu bedah. Edisi 2.
Jakarta: EGC. Halaman: 661-663.

24. R. Sjamsuhidajat. 2006. Adenokarsinoma kolorektal. Jakarta:


Perhimpunan Onkologi Indonesia dan IKABDI. Halaman: 1, 10, 15.

25. Rama Diananda. 2007. Kanker Usus Besar. Dalam: Mengenal seluk-beluk
kanker. Yogyakarta: Katahati. Halaman: 133-147.

26. S. Soekamto Martoprawiro, Soeparman, Rahmad Gunawan. 1995. Traktus


gastrointestinalis. Dalam: Robbins, Kumar: Buku ajar patologi II edisi 4.
Jakarta: EGC. Halaman: 290-291.

27. Schwartz S I. 1995. kolon, rectum dan anus. Dalam: Intisari prinsip-
prinsip ilmu bedah. Edisi 6. Jakarta: EGC. Halaman: 432.

28. Setiadi. 2007. Sistem pencernaan makanan. Dalam: Anatomi & fisiologi
manusia. Yogyakarta: Graha Ilmu. Halaman: 87-88.

29. Si Chun Ming. 1992. Adenocarcinoma and other malignant epithelial


tumors of the intestine. In: Si Chun Ming, Harvey Goldman: Pathology of
the gastrointestinal tract. Philadelphia: WB. Saunders, Inc. Page: 830-831.

30. Surja Widjaja. 1973. Susunan pencernaan. Dalam: Sutisna Hirmawan:


Patologi. Jakarta: F.K.U.I. Halaman: 216.

nd
31. Tortora G J. 1980. Principle of human anatomy 2 edition. New York:
Harper & Row. Page: 575-578.

57

Anda mungkin juga menyukai