Anda di halaman 1dari 16

ISOLASI DAN KARAKTERISASI STRUKTUR SERTA AKTIVITAS SITOTOKSIK

DARI EKSTRAK ETIL ASETAT DAUN Pometia Pinnata

MAKALAH SEMINAR PROPOSAL

Oleh:
YOAN DE NANDA HERRU
BP: 1720412001

PROGRAM MAGISTER
JURUSAN KIMIA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS ANDALAS
PADANG
2019
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Indonesia merupakan salah satu negara dengan hutan tropis terbesar di dunia, dimana memiliki
keaneka ragaman hayati yang begitu besar. Dari keanekaragaman hayati yang begitu besar ini
diharapkan Indonesia menjadi tempat dimana berkembangnya ilmu dalam bidang pengobatan
dan penemuan industri farmasi lainnya dimasa mendatang. Diperkirakan terdapat 1260 jenis
tumbuhan yang berkhasiat dan berpotensi sebagai obat-obatan. Senyawa-senyawa metabolit
sekunder yang terkandung di dalam tumbuhan ini beberapa diantaranya dapat bersifat sebagai
antioksidan, toksik dan lain-lain. Dan senyawa-senyawa metabolit sekunder ini juga berpotensi
digunakan sebagai zat warna, peambah aroma pada makanan, parfum dan juga sebagai
insektisida.[1]

Salah satu dari tumbuhan endemic di Indonesia yang dapat dijadikan sebagai obat-obatan
yaitu Matoa (Pometia pinnata). Matoa (Pometia pinnata) merupakan tanaman tropis yang
termasuk ke dalam famili Sapindaceae yang telah tersebar diseluruh daerah tropis, khusunya di
[2]
Indonesia . Tumbuhan ini awalnya merupakan tanaman endemik di Papua, namun telah
tersebar secara luas di seluruh Indonesia (jurnal efektifitas beberapa fraksi daun matoa. Dalam
penggunaan tradisionalnya, tumbuhan ini digunakan sebagai obat luka (jurnal efektifitas
[3]
beberapa fraksi daun matoa , obat demam dan keletihan, serta sebagai obat anti-infeksi dari
luka [4] dan juga ada yang menggunakannya sebaga pewarna kain batik [5].

Dari beberapa penelitian sebelumnya, telah dilaorkan bahwa tumbuhan ini memiliki
berbagai macam bioaktifitas lainnya seperti, antioksidan [2], antimikroba [3], pengobata anti-
HIV-1 [6] dan antihiperglikemik [7] dan juga sebagai [8]. Nilai LC50 dari Pometia pinnata yang
telah dilakukan oleh Neni Trimedona, didapatkan bahwa ekstrak heksana memiliki nilai LC 50
33,0958±4,5722 μg/mL, etil asetat 325,6117±0,0000 μg/mL, aseton 472,2877±3,2083 μg/mL,
metanol 721,7719±0,0000 μg/mL [8]. Bioaktifitas dari tumbuhan ini ditemukan karena terdapat
beberapa senyawa metabolit sekunder dari tumbuhan ini, seperti flavonoid, saponin, tannin [9],
α-glukosidase [2], triterpenoid [10],
Dalam beberapa penelitian telah dilakukan isolasi senyawa dari tumbuhan ini, contohnya
untuk kulit batang yang telah dilaporkan sebelumnya oleh Neni Trimedona, et, al pada 2015
melaporkan berhasil mengisolasi taraxerone yang merupakan senyawa triterpen pentasiklik [10].
Mohammad FV, et.al juga telah melaporkan bahwa mereka telah berhasil mengisolasi senyawa
triterpenoid saponin baru dengan nama pometi dan kaemferol 3-O-α-L-rhamnopiranosid dan 3-
O-[α-L-arabinofuranosil-(1→4)-α-L-rhamnopyranosyl-(1→2) - α- L -arabinopyranosyl]-
[11, 12]
hederagenin dari ekstrak methanol daun dan juga kulit batang Pometia pinnata Dalam
penelitian ini akan dilakukan isolasi dan penentuan struktur senyawa hasil isolasi dari ekstrak etil
asetat dari daun Pometia pinnata. dan juga nantinya akan dilakukan uji aktivitas sitotoksik dari
ekstrak daun Pometia pinnata.

1.2 Rumusan Masalah

Permasalahan yang akan dijawab melalui penelitian ini adalah:


a. Bagaimana profil fitokimia dari ekstrak etil asetat daun Pometia pinnata?
b. Senyawa apakah yang berhasil di isolasi dari Pometia pinnata ?
c. Bagaimana aktivitas sitotoksik dari ekstrak methanol, etil asetat dan heksan dari daun
Pometia pinnata?

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini, yaitu:


a. Mengisolasi senyawa metabolit sekunder dari ekstrak etil asetat daun Pometia pinnata
b. Menentukan nilai aktifitas sitotoksik atau LC50 dari ekstrak methanol, etil asetat dan heksana
daun Pometia pinnata.

1.4 Manfaat Penelitian

Dari hasil penelitian ini diharapkan:


a. Mengetahui aktivitas sitotoksik ekstrak metanol, etil asetat dan heksana daun Pometia
pinnata
b. Mengetahui senyawa metabolit sekunder yang diisolasi dari Pometia pinnata
BAB II

LANDASAN TEORI

2.1 Pometia pinnata


2.1.1 Klasifikasi umum

Pometia pinnata atau yang biasa disebut dengan Matoa merupakan tumbuhan yang termasuk
dalam family Sapindaceae. Klasifikasi tumbuhan ini secara umum yaitu:

Kingdom : Plantae

Divisi : Magnoliophyta

Kelas : Magnoliopsida

Ordo : Sapindales

Famili : Sapindaceae

Genus : Pometia

Spesies : Pometia pinnata


Gambar 1. Pometian pinnata

2.1.2 Morfologi dan Kegunaan Tumbuhan Pometia pinnata

Pometia pinnata merupakan tanaman khas Papua yang dapat ditemui di seluruh dataran
rendah hingga ketinggian ± 1200 mdpl. Tanaman ini juga dapat di temui di Maluku, Sulawesi,
Kalimantan dan Jawa. Selain di Indonesia tumbuhan ini juga dapat ditemukan di Malaysia dan
juga Papua New Guinea serta daerah tropis Australia. Tumbuhan ini sejenis dengan tumbuhan
rambutan (Sapindaceae).

Tumbuhan ini memiliki akar tunggang dengan warna coklat, dengan tinggi tumbuhan
hingga 20-40 m dengan ukuran batang hingga 1,8 m dengan bentuk silindris. Daun dari
tumbuhan ini pada saat muda memiliki warna merah cerah dan pada saat dewwasa berubah
menjadi hijau, dengan bentuk jorong dengan panjang 30-40 cm, lebar 8-15 cm. memiliki tulang
daun menyirip. Untuk buahnya, memiliki bentuk bulat atau melonjong dengan Panjang 5-6 cm
dengan warna kulit buah hijau, merah atau kuning, dengan daging buah lembek berwarna putih
kekuningan.[4]

Tumbuhan ini belum terlalu banyak digunakan dalam industri makanan. Namun oleh
penduduk di Manokwari, batang dari tanaman ini digunakan sebagai obat untuk luka, luka bakar
dan kecapaian [13]. Untuk daunnya biasa digunakan sebagai obat untuk infeksi mulut, sakit
pencernaan seperti diare, disentri, obstetric dan keluhan ginekologi lainnya. Dalam beberapa
penelitian, ekstrak metanol dari tanaman ini memiliki aktivitas antioksidan [10].

2.2 Tinjauan Kandungan senyawa Pometia pinnata

Dari beberapa penelitian laporan penelitian sebelumnya, senyawa-senyawa seperti saponin,


leucoanthocyanidin dan tannin[13], flavonoid[14], dimana salah satu jenis flavonoid yang
terdapat di dalamnya berupa proantosianidin A2[15] dan taraxerone [10].

Gambar 2. Struktur Proantosianidin A2

Gambar 3. Struktur taraxerone

2.3 Sitotoksik
Sitotoksik merupakan kemapuan dari suatu senyawa untuk merusak sel dari makhluk
hidup. Untuk menyatakan suatu senyawa apakah bersifat sebagai sitotoksik atau tidak dapat
dilihat dari nilai LC50 dari senyawa tersebut. Untuk ekstrak dengan LC50 dari 500 - 1000 µg / ml
adalah racun rendah, ekstrak dengan LC50 dari 100 -500 μg / ml bersifat toksik sedang,
sedangkan ekstrak dengan LC50 dari 0 - 100 µg / ml sangat beracun37, untuk dengan LC50 > 1000
µg / ml dianggap tidak beracun35, 36, 37

Uji sitotoksik merupakan salah satu metode alternatif yang digunakan untuk menguji
toksisitas dari suatu senyawa atau molekul. Salah satu metode pengujiannya yaitu berupa metode
Brine shrimp lethality test (BSLT). Metode ini menggunakan Artemia salina yang merupakan
salah satu jenis udang sebagai hewan ujinya. Metode BSLT ini biasa digunakan sebagai metode
skrining awal untuk penentuan bioaktifitas sitotoksik dari suatu senyawa atau molekul.

2.4 Metode Brine shrimp lethality test (BSLT)

Dalam penelitian ini digunakan A. salina sebagai hewan uji dalam uji BSLT. Metode ini
sudah lama digunakan seagai uji awal dalam mengetahui aktifitas sitotoksik dari seuatu ekstrak
atau senyawa dengan menhitung nilai lethality concentration (LC 50) dari suatu senyawa atau
molekul (brine shrimp lethality bioassay of selected gymnosperm and angiosperm species). Nilai
LC50 ini dapat diperoleh dengan menggunakan nilai regresi dari konsentrasi dan persentase
kematian dari sampel. Persentase kematian ini ditentukan dnegaan membandingkan rata-rata
larva uji dan larva udnag yang masih hidup.

Nilai robit dari sa,pel dapat ditentukan dengan mengkonversi persentase kematian
menggunakan tabel Nilai probit yang sesuai dengan Persentase kematian 36. Setelah digabungkan
sampel dengan hewan sampel uji dan didiamkan selama 24 jam, jumlah larva yang masih hidup
dihitung. Persentase dari mortalitas dihitung pada setiap konsentrasi. Data persen kematian
nantinya akan dianailsa denga menggunakan rumus:

uji−kontrol
% kematian = x 100%
kontrol

Dari nilai persen kematian ini nantnya akan dimasukkan ke dalam persamaan fungsi liniear, yaitu
Y = a + bX. Nilai Y yang digunakan adalah logaritma konsentrasi bahan toksik pada Y=5,
dimana nilai ini merupakan nilai probit dari 50% hewan uji. Untuk mendapatkan nilai LC 50 – 24
jam nantinya didapatkan dari anti log m, dimana nilai m = X. hal ini dapat dirumuskan sebagai
berikut.

LC50 – 24 jam = anti log m, dimana

5−a
m=X=
b

Keterangan :

Y : Nilai Probit Mortalitas

X : Logaritma konsentrasi bahan uji

a : Konstanta

b : Slope/ kemiringan

m : Nilai X pada Y = 5 .
BAB III

METODA PENELITIAN

3.1 Waktu Dan Tempat Penelitian

Penelitian ini telah dimulai dari bulan Maret 2018. Pengerjaan isolasi, pemurnian senyawa dan
uji aktivitas sitotoksik akan dilakukan di Laboratorium Kimia Organik Bahan Alam Jurusan
Kimia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Pengukuran data spektrum Ultraviolet
(UV), Fourier Transform Infared (FT-IR), Nuclear Magnetic Resonance (NMR), Spektrometer
Massa (MS) akan dilakukan Institut Teknologi Bandung dan pengujian aktivitas sitotoksik
dilaboratorium Kimia Organik Bahan Alam.

3.2 Peralatan Penelitian

Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah seperangkat alat distilasi. Untuk isolasi dan
pemurnian adalah Kolom Kromatografi Grafitasi (KKG), Chamber, Pipa Kapiler, Botol Vial,
Lampu UV (λ 254 nm dan 356 nm), pelat KLT, Melting Point (Stuart SMP 10) untuk menguji
titik leleh.

Peralatan yang digunakan untuk karakterisasi senyawa hasil isolasi adalah


Spektrofotometer Ultra Violet (UV), Fourier Transform Infared (FT-IR), Nuclear Magnetic
Resonance (NMR), dan Spektrometer Massa (MS).

Peralatan pengerjaan uji aktivitas sitotoksik digunakan container, mikropipet (Nichipet


Ex), lampu, aerator.

Alat pendukung lainnya yang digunakan pada penelitian ini adalah oven, desikator, alu,
lumpang, dan alat-alat gelas yang lazim digunakan di Laboratorium Kimia Organik Bahan Alam.

3.3 Bahan Kimia

Bahan kimia yang digunakan dalam penelitian ini adalah Pelarut (Heksana, Etil Asetat, dan
Metanol), Akuades, Aluminium Voil (avo), Kapas, Silika Gel 60 (0,063-0,200 mm/Merck).
Reagen yang digunakan untuk uji kandungan metabolite sekunder adalah Kloroform,
Akuades, Besi (Iii) Klorida, Raksa (Ii) Klorida, Kalium Iodida, Asam Sulfat Pekat, Anhidrida
Asetat, Natrium Hidroksida, Serbuk Magnesium, dan Amoniak.

Bahan untuk uji aktivitas sitotoksik adalah larva udang, air laut, dimethyl sulfoxide
(DMSO).

3.4 Tahapan Penelitian


Beberapa tahapan yang dilakukan dalam penelitian ini sebagai berikut :

- Uji kandungan metabolite sekunder fraksi heksana Daun tumbuhan Pometia pinnata Uji.
- Uji sitotoksik terhadap fraksi heksana.
- Isolasi dan Pemurnian fraksi heksana.
- Uji kemurnian senyawa hasil isolasi.
- Pengukuran data-data spektrum senyawa hasil isolasi.
- Penetapan struktur senyawa hasil isolasi
- Uji sitotoksik senyawa murni hasil isolasi.
3.4.1 Uji kandungan Metabolit Sekunder Fraksi Heksana dari Daun Tumbuhan Pometia
pinnata

Fraksi Heksana diambil beberapa mg kemudian dimasukkan kedalam tabung reaksi dan
dilarutkan dengan pelarut heksana.

Pengujian daun tumbuhan Pometia pinnata sebagai berikut :

3.4.1.1 Uji Flavonoid

Sebanyak 2 mL fraksi heksana yang telah dilarutkan dengan pelarut heksana dimasukkan
kedalam tabung reaksi, ditambahkan asam klorida pekat dan beberapa butir serbuk magnesium,
terbentuknya warna jingga sampai merah menunjukkan adanya flavonoid.
3.4.1.2 Uji Fenolik
Sebanyak 2 mL fraksi heksana yang telah dilarutkan dengan pelarut heksana dimasukkan
kedalam tabung reaksi, ditambah larutan besi (III) klorida dan diamati perubahan warna larutan.
Apabila larutan bewarna biru atau ungu menandakan positif mengandung senyawa fenolik.
3.4.1.3 Uji Saponin
Sebanyak 2 mL fraksi heksana yang telah dilarutkan dengan pelarut heksana. Apabila
terbentuknya busa yang tidak hilang (± 5 menit) setelah penambahan beberapa tetes asam klorida
pekat, menunjukkan adanya senyawa saponin.
3.4.1.4 Uji Triterpenoid dan Steroid (Lieberman Buchard)
Sebanyak 2 mL fraksi heksana yang telah dilarutkan dengan pelarut heksana diteteskan
pada lubang pelat tetes, ditambah asam sulfat pekat dan anhidrida asetat. Apabila larutan
bewarna merah atau ungu, menandakan sampel mempunyai senyawa triterpenoid dan apabila
terbentuk warna hijau atau hijau biru, menandakan sampel mengandung senyawa steroid.
3.4.1.5 Uji Alkaloid
Fraksi heksana dilarutkan dengan pelarut heksana ditambah ±5 mL kloroform. Campuran
ditambah kloroform amoniak, dipisahkan filtrat yang terbentuk dan ditambah dengan asam
sulfat. Lapisan asam dipisahkan dan ditambahkan pereaksi Meyer. Apabila timbul endapan
bewarna putih maka sampel mengandung alkaloid.
3.4.1.6 Uji Kumarin
Fraksi heksana dilarutkan dengan pelarut heksana, kemudian ditotolkan pada pelat KLT
menggunakan pipa kapiler dan dielusi dengan etil asetat 100% di dalam chamber. Pelat KLT
yang telah dielusi diamati dibawah sinar UV λ 356 nm dan terlihat adanya fluorisensi biru dan
setelah disemprot dengan basa, warna biru tersebut bertambah terang maka hal tersebut
menandakan adanya senyawa kumarin.

3.4.2 Uji Aktivitas Sitotoksik Menggunakan Metode Brine Shrimp Lethality Test (BSLT)6
3.4.2.1 Pembuatan Larutan Induk
Sebanyak 5 mg fraksi heksana dilarutkan dengan pelarut heksana dalam labu 50 mL
sampai tanda batas sehingga diperoleh konsentrasi 1000 µg/mL.

3.4.2.2 Pembuatan Larutan Uji


Larutan induk (1000 µg/mL) diencerkan lagi dengan menambahkan pelarut heksana
sehingga diperoleh konsentrasi 31,25, 62,5, 125, 250, 500 dan 1000 µg/mL.

3.4.2.3 Pembenihan Larva Udang


Air laut diletakkan di dalam kontainer gelas kecil yang terdiri dari dua bagian yakni gelap
dan terang serta dilengkapi dengan lampu, dan aerator. Telur udang dimasukkan ke dalam
bagian gelap kontainer dan dibiarkan selama 48 jam dan pada suhu 24-26oC42. Setelah 48 jam,
maka telur akan menetas menjadi larva (naupli) dan larva akan bergerak ke bagian kontainer
yang terang43. Larva inilah yang akan digunakan sebagai hewan percobaan pada uji sitotoksik
Brine Shrimp Lethality Test (BSLT).
3.4.2.4 Uji Bioaktivitas Sitotoksik
Masing – masing konsentrasi yakni 31,25, 62,5, 125, 250, 500 dan 1000 µg/mL
dimasukkan kedalam vial, dan dibiarkan hingga kering. Setelah fraksi mengering ditambahkan
50 µL DMSO hingga homogen44. Dimasukkan 10 ekor larva udang kedalam masing – masing
vial (31,25, 62,5, 125, 250, 500, 1000 µg/mL) dan ditambahkan air laut sebanyak 5 mL, serta
DMSO tanpa fraksi sebagai control negatif. Diletakkan masing – masing vial yang telah berisi
larva udang dibawah lampu dan didiamkan selama 24 jam. Kemudian hitung jumlah larva yang
mati pada setiap konsentrasi fraksi45 menggunakan pipet pastuer serta persentasi kematian pada
setiap konsentrasi dan control yang telah ditentukan46.
3.4.2.5 Penentuan LC50
Analisis data yang digunakan untuk menentukan nilai LC 50-24 jam adalah analisis Probit.
Data mortalitas (kematian) dianalisis secara statistik dihitung dengan menggunakan rumus
berikut ini36 :
uji−kontrol
% kematian = x 100%
kontrol

Hubungan nilai logaritma konsentrasi bahan toksik uji dan nilai Probit dari persentase
mortalitas hewan uji merupakan fungsi linear Y = a + bx. Nilai LC 50-24 diperoleh dari anti log
m, dimana m merupakan logaritma konsentrasi bahan toksik pada Y = 5, yaitu nilai Probit 50%
hewan uji, sehingga persamaan regresi menjadi

Persamaan regresi :
Y = a + bX
LC50-24 jam = anti log m, dimana :
5−a
m=
b
Keterangan :
Y : Nilai Probit Mortalitas
X : Logaritma konsentrasi bahan uji
a : Konstanta
b : Slope/ kemiringan
m : Nilai X pada Y = 5

3.4.3 Isolasi Fraksi Heksana dengan Kromatografi Kolom Gravitasi

Isolasi senyawa triterpenoid dari fraksi heksana dilakukan dengan kromatografi kolom
gravitasi. Sebelum dilakukan isolasi, dilakukan uji Kromatografi Lapis Tipis (KLT) terhadap
fraksi heksana. Uji KLT dilakukan dengan cara melarutkan fraksi heksana dengan pelarut
heksana. Larutan ini ditotolkan pada pelat KLT yang sudah diberi tanda batas bawah dan batas
atas dengan pensil. Penotolan ini dilakukan menggunakan pipa kapiler pada batas bawah pelat,
dan ditunggu hingga kering. Setelah itu dielusi dengan pelarut yang sesuai sampai tanda batas
atas dengan sistem naik di dalam chamber. Pengamatan hasil elusi (bercak noda) pada pelat KLT
diamati dibawah sinar lampu UV pada panjang gelombang 254 nm dan 365 nm. Pelat KLT
tersebut ditambah larutan asam sulfat pekat dengan cara dioleskan ke pelat KLT menggunakan
kapas dan dipanaskan diatas hot plate, kemudian diamati warna bercak noda yang muncul pada
pelat KLT. Berdasarkan hasil uji KLT tersebut, dapat ditentukan teknik pemisahan dan sistem
eluen yang digunakan dalam isolasi selanjutnya.

3.4.3.1 Preparasi kolom

Kolom yang telah bersih dan kering diletakkan pada posisi tegak menggunakan klem dan
standar. Pada bagian dasar kolom, dimasukkan kapas yang sudah dibasahi dengan pelarut
heksana dan dipadatkan. Kemudian dimasukkan pelarut heksana hingga sepertiga bagian kolom.
Sementara itu, silika gel yang telah diaktivasi pada suhu 110oC selama ± satu jam dibuat menjadi
bubur silika dengan cara mencampurkan silika gel dan pelarut heksana kedalam beaker gelas
kemudian diaduk menggunakan batang pengaduk bertujuan untuk menghomogenkan silika gel
dengan pelarut heksana sehingga terbentuk bubur silika. Pada saat bubur silika gel dimasukkan
ke dalam kolom, kran harus dibuka agar pelarut terus dialiri dan dinding kolom dipukul dengan
selang karet secara perlahan agar tidak ada rongga udara ketika silika memadat. Pelarut heksana
dimasukkan secara terus menerus ke dalam kolom yang sudah berisi silika, dialirkan. Setelah itu
kran kolom ditutup kembali dan didiamkan lebih kurang selama 24 jam sebelum digunakan
untuk pemisahan.

3.4.3.2 Preadsorpsi Sampel

Fraksi heksana ditimbang dan ditambah silika gel dengan perbandingan 1:1, digerus dalam
lumpang sampai homogen dan disimpan dalam desikator.
3.4.3.3 Proses Pemisahan

Sampel yang sudah dipreadsobsi dengan silika gel dimasukkan ke dalam kolom yang
sudah berisi bubur silika menggunakan corong kemudian dialiri dengan eluen heksana (100 %).
Kemudian dilanjutkan dengan pelarut heksana:etil asetat (10:0 – 0:10) dan etil setat:metanol
(10:0 – 0:10) dengan masing – masing setiap volume eluen yang ditambahkan yakni sebanyak
500 mL. Setiap perbandingan eluen dan kenaikan kepolaran sebesar 0.5 dari eluen sebelumnya.
Proses pengaliran eluen (elusi) serta pengaturan kecepatan alir kolom diatur sedemikian rupa
sehingga didapatkan kecepatan alirnya satu tetes per detik. Hasil elusi (eluat) ditampung dengan
botol vial 10 mL dan dikumpulkan.
Setiap eluat dilakukan uji KLT. Eluat dengan pola pemisahan yang sama digabung dan
dikelompokkan menjadi sub – subfraksi dan dilakukan uji KLT terhadap masing – masing fraksi
hasil gabungan serta uji sitotoksik. Berdasarkan uji tersebut, maka subfraksi yang aktif terhadap
aktivitas sitotoksik akan dilakukan pemisahan lebih lanjut.

3.4.4 Uji Kemurnian Senyawa Hasil Isolasi


Uji kemurnian senyawa hasil isolasi dapat ditentukan dengan cara sebagai berikut:
3.4.4.1 Pengujian dengan Metode KLT
Pengujian Senyawa murni hasil isolasi menggunakan metode kromatografi lapis tipis
(KLT) dapat dilakukan dengan dua cara yakni dengan mengelusi pelat KLT yang telah
ditotolkan senyawa berulang-ulang dengan pelarut yang sama, dan menggunakan variasi
komposisi eluen di dalam chamber. Pengamatan hasil elusi dilihat di bawah sinar lampu UV
( 234 nm dan 365 nm) dan setiap pelat setelah proses elusi dioles dengan asam sulfat 2N,
kemudian dipanaskan. Senyawa murni akan memberikan bercak noda tunggal meskipun
digunakan eluen dengan berbagai jenis kepolaran.
3.4.4.2 Pengukuran Titik Leleh
Senyawa hasil isolasi diambil secukupnya menggunakan pipa kapiler dan dimasukkan ke
dalam alat melting point (Stuart SMP 10) yang telah dinyalakan dan diatur suhunya. Kemudian
biarkan Suhu naik secara perlahan dan diamati senyawa uji melalui kaca pembesar. Pembacaan
titik leleh dilakukan pada saat senyawa mulai meleleh sampai meleleh keseluruhannya. Senyawa
yang murni akan menunjukkan range titik leleh yang tajam (1-2 °C).

3.4.5 Pengukuran Data-Data Spektrum Senyawa Hasil Isolasi


Pengukuran data spektrum terhadap senyawa hasil isolasi dikarekterisasi menggunakan
dengan Ultraviolet (UV), Fourier Transform Infared (FT-IR), Nuclear Magnetic Resonance
(NMR), Spektrometer Massa (MS).

3.4.6 Penetapan Struktur Senyawa Hasil Isolasi


Penetapan struktur senyawa hasil isolasi dengan cara elusidasi. Dimana senyawa hasil
isolasi ditentukan dengan cara menganalisis data spektrum ultraviolet untuk mengetahui ada atau
tidaknya ikatan rangkap berkonjugasi pada kerangka dasar struktur senyawa hasil isolasi. Data
spektrum inframerah untuk mengetahui gugus fungsi senyawa hasil isolasi. Data spektrum 1H-
NMR untuk mengetahui lingkungan kimia proton dan integrasinya. Data spektrum13C-NMR
untuk mengetahui lingkungan kimia karbon dan jumlah minimum karbon yang terdapat pada
senyawa hasil isolasi. Data spektrum Distortionless Enhancement by Polarization Transfer
(DEPT) untuk mengetahui jenis karbon apakah metil (CH3), metilen (CH2), metin (CH) atau
quaterner (C). Data spektrum Heteronuclear Single Quantum Correlation (HSQC) untuk
mengetahui korelasi antara proton dengan karbon yang berikatan. Data spectrum Heteronuclear
Multiple Bond Connectivity (HMBC) untuk mengetahui korelasi jarak antara dua atau tiga ikatan
dari proton terhadap karbon. Data spektrum1H -1H Correlation Spectroscopy (1H -1H COSY)
untuk mengetahui korelasi antara proton dengan proton yang lain (proton yang bertetangga).
Elusidasi struktur senyawa hasil isolasi juga dilakukan dengan membandingkan data – data
spektrum 1H-NMR dan 13C-NMR senyawa hasil isolasi dengan senyawa yang telah dilaporkan
sebagai rujukan24.

3.4.7 Uji Aktivitas Sitotoksik Senyawa Hasil Isolasi Menggunakan Metode Brine Shrimp
Lethality Test (BSLT)
3.4.7.1 Pembuatan Larutan Induk
Sebanyak 5 mg senyawa hasil isolasi dilarutkan dengan pelarut heksana dalam labu 50 mL
sampai tanda batas sehingga diperoleh konsentrasi 1000 µg/mL.

3.4.7.2 Pembuatan Larutan Uji

Larutan induk (1000 µg/mL) diencerkan lagi dengan menambahkan pelarut heksana
sehingga diperoleh konsentrasi 31,25, 62,5, 125, 250, 500 dan 1000 µg/mL.
3.4.7.3 Uji Sitotoksik

Masing – masing konsentrasi yakni 31,25, 62,5, 125, 250, 500 dan 1000 µg/mL
dimasukkan kedalam vial, dan dibiarkan hingga kering. Setelah fraksi mengering ditambahkan
50 µL DMSO hingga homogen44. Dimasukkan 10 ekor larva udang kedalam masing – masing
vial (31,25, 62,5, 125, 250, 500, 1000 µg/mL) dan ditambahkan air laut sebanyak 5 mL, serta
DMSO tanpa fraksi sebagai control negatif. Diletakkan masing – masing vial yang telah berisi
larva udang dibawah lampu dan didiamkan selama 24 jam. Kemudian hitung jumlah larva yang
mati pada setiap konsentrasi fraksi45 menggunakan pipet pastuer serta persentasi kematian pada
setiap konsentrasi dan control yang telah ditentukan46.
Daftar Pustaka

1. Yuhernita and Juniarti, ANALISIS SENYAWA METABOLIT SEKUNDER DARI EKSTRAK METANOL
DAUN SURIAN YANG BERPOTENSI SEBAGAI ANTIOKSIDAN. MAKARA, SAINS, 2011. 15.
2. Martiningsih, N.W., G.A.B. Widana, and P.L.P. Kristiyanti, SKRINING FITOKIMIA DAN UJI
AKTIVITAS ANTIOKSIDAN EKSTRAK ETANOL DAUNMATOA (Pometia pinnata) DENGAN METODE
DPPH. Prosiding Seminar Nasional MIPA 2016, 2016.
3. Lely, N., A.M. Ayu, and Adrimas, EFEKTIFITAS BEBERAPA FRAKSI DAUN MATOA (Pometia pinnata
J.R. Forst. & G. Forst.) SEBAGAI ANTIMIKROBA. Jurnal Ilmiah Bakti Farmasi, 2016.
4. Garuda, S.R. and S. Kadir, Buku Seri Matoa, ed. B.P.T.P. Papua. 2014: Balai Besar Pengkajian dan
Pengembangan Teknologi Pertanian Badan Penelitian dan pengembangan Pertanian
Kementerian Pertanian.
5. Haerudin, A. and Farida, LIMBAH SERUTAN KAYU MATOA (Pometia pinnata) SEBAGAI ZAT
WARNA ALAM PADA KAIN BATIK KATUN
Matoa (Pometia Pinnata) Wood Shavings as The Natural Color Substance of Cotton Fiber Batik. i n a m i k
a K e r a j i n a n d a n B a t i k ,, 2017.
6. Suedee, A., S. Tewtrakul, and P. Panichayupakaranant, Anti-HIV-1 integrase compound from
Pometia pinnata leaves. Pharm Biol, 2013. 51(10): p. 1256-61.
7. Mataputuna, S.P., J.A. Roronga, and J. Pontoh, Aktivitas Inhibitor α-Glukosidase Ekstrak Kulit
Batang Matoa (Pometia pinnata. Spp.) sebagai Agen Antihiperglikemik. JURNALMIPA UNSRAT
ONLINE, 2013.
8. Trimedona, N., et al., AKTIFITAS SITOTOKSIK EKSTRAK DAN SENYAWA HASIL ISOLASI DARI KULIT
BATANG MATOA (POMETIA PINNATA FORST & FORST). 2018.
9. Rahimah, E. Sayekti, and A. Jayuska, KARAKTERISASI SENYAWA FLAVONOID HASIL ISOLAT DARI
FRAKSI ETIL ASETAT DAUN MATOA (Pometia pinnata J.R.Forst &G.Forst). JKK, 2013.
10. Trimedona, N., et al., Isolation of triterpenoid from stem bark of Pometia pinnata, Forst & Forst.
Journal of Chemical and Pharmaceutical Research, 2015.
11. Mohammad, F.V., et al., A new triterpenoid saponin from the stem bark of Pometia pinnata.
Natural product communications, 2010. 5(2): p. 191-195.
12. Mohammad, F.V., et al., A new monodesmosidic triterpenoid saponin from the leaves of Pometia
pinnata. Natural product communications, 2012. 7(11): p. 1423-1426.
13. Faustina, F.C. and F. Santoso, EXTRACTION OF FRUIT PEELS OF POMETIA PINNATA AND ITS
ANTIOXIDANT AND ANTIMICROBIAL ACTIVITIES. Jurnal Pascapanen, 2014.
14. Sidoretno, W.M. and A. Fauzana, AKTIVITAS ANTIOKSIDAN DAUN MATOA (POMETIA PINNATA)
DENGAN VARIASI SUHU PENGERINGAN. Indonesia Natural Research Pharmaceutical Journal,
2018. 3.
15. Suedee, A., S. Tewtrakul, and P. Panichayupakaranant, A Validated Quantitative HPLC Method
for Proanthocyanidin A2 in Pometia pinnata Leaves. Global Journal of Botanical Science, 2017.

Anda mungkin juga menyukai