Anda di halaman 1dari 2

NAMA : DESCY KUSUMA WARDHANI

NIM : 01031381823118
MK : PEREKONOMIAN INDONESIA (B)
PERTUMBUHAN EKONOMI DI INDONESIA
DARI DULU HINGGA SEKARANG
Kala Soeharto naik menjadi presiden di saat kondisi ekonomi dan politik yang
sedang tidak baik. BPS mencatat pada 1965 ekonomi Indonesia hanya tumbuh sebesar
1,08 persen. Ekonomi Indonesia selama kurun waktu 1960-1965 hanya tumbuh rata-
rata dua persen. Periode 1966-1973 dapat dikatakan sebagai tahun transisi ekonomi.
Pada tahun-tahun tersebut, Soeharto mengambil kebijakan untuk memperbaiki
keadaan ekonomi yang tengah merosot. Salah satunya mengatasi hiperinflasi. Hal
tersebut terlihat dari laju pertumbuhan ekonomi.
Ekonomi pada 1966 hanya tumbuh sebesar 2,79 persen. Setahun berikutnya
turun menjadi 1,38 persen. Usaha perbaikan ekonomi tersebut terlihat sejak 1968.
Pertumbuhan ekonomi melambung ke level 10,91 persen pada 1968. Pengendalian
inflasi pun terlihat berjalan baik. BPS mencatat inflasi turun drastis menjadi 9,86
persen pada awal Pelita I pada 1969. Naiknya harga minyak dunia membuat ekspor
migas Indonesia meningkat dari US$1,61 miliar pada 1973 menjadi US$7,44 miliar
pada 1978. Dampak lain, sektor pertambangan dan penggalian lantas menjadi
lapangan usaha ketiga penyumbang PDB pada 1973. Sektor pertambangan dan
penggalian pun terus tumbuh seiring ditemukannya ladang minyak baru dan naiknya
permintaan minyak dunia. Puncaknya pada 1983, nilai ekspor migas mencapai
US$16,14 miliar. Angka tersebut menjadikan sektor ini menguasai lebih dari 70
persen ekspor Indonesia saat itu. Mulai menurunnya harga minyak dunia membuat
pemerintahan Soeharto mengubah arah ekonomi.
Pada pertengahan 1983 kebijakan untuk mengembangkan sektor ekspor
nonmigas pun dilakukan. Selain itu, pemerintah juga mendevaluasi rupiah sebesar 38
persen. Hal itu dilakukan untuk meningkatkan daya saing perekonomian. Alhasil,
penyokong perekonomian pun secara perlahan beralih ke sektor nonmigas. Di
antaranya ialah industri pengolahan dan sektor perbankan, dalam buku Kesan Para
Sahabat tentang Widjojo Nitisastro. PDB sektor Industri pengolahan meningkat 581
persen, dari Rp9,9 triliun pada 1983 menjadi Rp67,44 triliun pada 1993. Sedangkan
sektor keuangan, real estate, dan jasa perusahaan naik 385 persen dari Rp4,71 triliun
pada 1983 menjadi Rp22,87 triliun pada 1993. Patut dicatat, sektor industri
pengolahan pada tahun 1984 adalah penyumbang ketiga terbesar PDB. Rekor itu
adalah yang pertama kalinya. Semenjak itulah sektor ini menjadi penyumbang utama
PDB hingga saat ini. Krisis ekonomi global yang bermula pada 1997 dan carut
marutnya politik di dalam negeri membuat Soeharto akhirnya mundur pada 21 Mei
1998. BJ Habibie yang sebelumnya bertindak sebagai wakil presiden pun naik
menggantikan Soeharto. Habibie tak membuat banyak perubahan pada kebijakan yang
menentukan arah PDB. Ia hanya sebentar menjabat sebagai presiden. Pada tahun
pertamanya tersebut, pertumbuhan ekonomi terjun bebas menjadi minus 13,31 persen.
Kondisi tersebut turut dipengaruhi krisis nilai tukar yang membuat rupiah
terdepresiasi dari Rp3.633 pada Juli 1997 menjadi Rp15.100 pada Mei 1998. Pada
tahun keduanya, dengan berbagai perbaikan regulasi, Habibie mencatatkan
pertumbuhan ekonomi sebesar 0,79 persen pada 1999. Melalui pemilihan umum
(pemilu), KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) naik menjadi presiden pada 1999.
Pertumbuhan ekonomi di era Gus Dur mulai kembali positif. Pada tahun pertamanya,
tercatat pertumbuhan ekonomi sebesar 4,92 persen pada 2000. Namun pada tahun
berikutnya pertumbuhan ekonomi turun menjadi 3,64 persen. Indikator pengeluaran
konsumsi rumah tangga pada era Gus Dur naik dari Rp856,80 triliun pada 2000
menjadi Rp1.039,65 triliun pada 2001. Hal ini terlihat jelas dari industri penopang
pertumbuhan, yaitu pengolahan (27,65%) dan perdagangan, hotel dan restoran
(16,20%). Meskipun begitu, kepemimpinan Gus Dur di bidang ekonomi kurang
efektif. Lemahnya kerja tim ekonomi dan buruknya hubungan dengan IMF membuat
Gus Dur dimakzulkan pada pertengahan 2001. Wakil Presiden Megawati
Soekarnoputri naik menggantikannya.
Pemerintahan era Megawati cukup berhasil melakukan stabilisasi ekonomi.
Terlihat dari laju pertumbuhan ekonomi yang menunjukkan tren naik. Secara berturut-
turut, pertumbuhan ekonomi dari 2002 sebesar 4,5 persen naik menjadi 4,78 persen
pada 2003 dan 5,03 persen pada 2004. Industri pengolahan semakin berkembang di
era Megawati. Selama tiga tahun kalender, PDB industri tersebut selalu mencapai
kisaran Rp400 triliun. Menjadi sektor penyumbang PDB terbesar menurut lapangan
usaha. Presiden berikutnya, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), cukup baik dalam
menjaga pertumbuhan ekonomi. Selama 10 tahun masa kepemimpinannya,
pertumbuhan ekonomi melaju di kisaran lima hingga enam persen. Pencapaian
terendah terjadi pada 2009 dengan pertumbuhan ekonomi 4,63 persen. Kondisi pada
2009 tersebut dipengaruhi tekanan ekonomi global yang berdampak pada pelemahan
rupiah yang mencapai puncaknya pada kuartal akhir 2008. Hal tersebut
mengakibatkan stabilitas moneter dan sistem keuangan pada kuartal pertama 2009
masih mengalami tekanan berat, ekspor barang dan jasa juga mengalami kontraksi
yang cukup dalam.
Industri pengolahan masih menjadi kontributor terbesar untuk PDB di masa
itu. Kritik ekonomi untuk SBY selama menjabat ialah gagal membangun jaringan
infrastruktur. Anggaran infrastruktur pada masa SBY kurang dari empat persen dari
APBN. Sementara, anggaran cukup besar untuk pos subsidi energi. Pada APBN 2015,
pemerintahan SBY menganggarkan Rp344,70 triliun untuk subsidi energi.
Penambahan anggaran infrastruktur dilakukan presiden berikutnya, Jokowi. Pada
pemerintahan Jokowi, sektor konstruksi terus menunjukkan tren meningkat. Selain itu
PDB juga didukung sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan; industri pengolahan;
serta perdagangan besar dan eceran. Ekonomi di era Jokowi berkisar di angka lima
persen. Pertumbuhan ekonomi tercatat 4,90 persen pada 2015. Tahun-tahun
berikutnya, angka tersebut tidak naik terlalu signifikan. Tercatat pertumbuhan
ekonomi pada 2016 5,03 persen dan 2017 sebesar 5,07 persen. Berdasarkan angka,
pertumbuhan ekonomi di era Jokowi memang terlihat lebih rendah dibandingkan era
Soeharto. Namun perlu dicatat, masa kepemimpinan Jokowi baru berlangsung empat
tahun dan belum bisa dibandingkan dengan era kepemimpinan sebelumnya. Selain itu,
di era Soeharto, pertumbuhan ekonomi juga tidak selalu stabil. Hanya sekali
pertumbuhan mencapai dua digit, belum sampai 12 persen. Tepatnya pada 1968
sebesar 10,92 persen. Faktor yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi di tiap era
berbeda-beda tergantung kebijakan sang presiden. Soeharto membuka keran investasi
asing dan terbantu oleh meningkatnya harga minyak dunia. Ia pun memanfaatkan
migas sebagai penopang ekonomi di saat Indonesia berperan sebagai eksportir minyak
mentah. Namun, ketika harga minyak dunia turun, Soeharto memutuskan untuk mulai
beralih ke sektor nonmigas. Ada pula masanya pertumbuhan ekonomi berada di
bawah tekanan IMF sebagai pemberi dana untuk perbaikan perekonomian negara
seperti di era Habibie. Sedangkan pada era SBY, lebih mengambil jalan aman dengan
melakukan stabilisasi makroekonomi dan politik dengan subsidi energi yang besar.

Anda mungkin juga menyukai