Anda di halaman 1dari 36

REFERAT

TRAUMA MEDULLA SPINALIS

Dokter Pembimbing

dr. Maria Inggrid, Sp.S

Disusun oleh

Philippe Christian

112019039

KEPANITERAAN ILMU PENYAKIT SARAF

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA


WACANA

PERIODE 8 FEBRUARI 2021 – 13 MARET 2021

RUMAH SAKIT HUSADA

JAKARTA
A. Pendahuluan

Medula spinalis merupakan satu kumpulan saraf-saraf yang terhubung

ke susunan saraf pusat yang berjalan sepanjang kanalis spinalis yang dibentuk

oleh tulang vertebra. Ketika terjadi kerusakan pada medula spinalis, masukan

sensoris, gerakan dari bagian tertentu dari tubuh dan fungsi involunter seperti

pernapasan dapat terganggu atau hilang sama sekali. Ketika gangguan

sementara ataupun permanen terjadi akibat dari kerusakan pada medula

spinalis, kondisi ini disebut sebagai cedera medula spinalis. Trauma medula

spinalis adalah cedera pada tulang belakang baik langsung maupun tidak

langsung, yang menyebabkan lesi di medula spinalis sehingga menimbulkan

gangguan neurologis, dapat menyebabkan kecacatan atau kematian.1

Trauma medulla spinalis yang merupakan komplikasi dari trauma

pada tulang belakang, adalah kejadian yang tidak jarang kita jumpai di

poliklinik maupun bangsal neurologi. Trauma medulla spinalis merupakan

75% penyebab dari paraplegia , yang kita jumpai di bagian neurologi.

Penyebab trauma antara lain : jatuh dari pohon, jatuh dari tebing, kecelakaan

lalu-lintas, terjun ke dalam air yang dangkal, luka tembak dan sebagainya.1

B. Epidemiologi

Trauma medulla spinalis adalah masalah kesehatan mayor yang

mempengaruhi 150.000 orang di Amerika Serikat, dengan perkiraan 10.000

trauma baru yang terjadi setiap tahun. Kejadian ini lebih dominan pada pria

usia muda sekitar lebih dari 75% dari seluruh trauma.1


Pada usia 45-an fraktur banyak terjadi pada pria di bandingkan pada

wanita karena olahraga, pekerjaan, dan kecelakaan bermotor. Tetapi

belakangan ini wanita lebih banyak dibandingkan pria karena faktor

osteoporosis yang di asosiasikan dengan perubahan hormonal (menopause). 1

C. Anatomi Medula Spinalis dan Dermatom

Medulla Spinalis merupakan bagian dari Susunan Syaraf Pusat.

Terbentang dari foramen magnum sampai dengan L1. Medula spinalis terletak

di canalis vertebralis, dan dibungkus oleh tiga meninges yaitu duramater,

arakhnoid dan piamater. Syaraf Spinal dilindungi oleh tulang vertebra,

ligament, meningen spinal dan juga cairan LCS (liquor cerebro spinal). LCS

mengelilingi medulla spinalis di dalam ruang subarachnoid. Bagian superior

dimulai dari bagian foramen magnum pada tengkorak, tempat bergabungnya

dengan medulla oblongata. Medula spinalis berakhir di inferior di region

lumbal. Dibawah medulla spinalis menipis menjadi konus medularis dari

ujungnya yang merupakan lanjutan piamater, yaitu fillum terminale yang

berjalan kebawah dan melekat dibagian belakang os coccygea. Akar syaraf

lumbal dan sakral terkumpul yang disebut dengan Cauda Equina. Setiap

pasangan syaraf keluar melalui foramen intervertebral.  Syaraf Spinal

dilindungi oleh tulang vertebra dan ligamen dan juga oleh meningen spinal

dan LCS (liquor cerebrospinal).2-4

3
Gambar 1. Anatomi Medula spinalis2

Disepanjang medulla spinalis melekat 31 pasang saraf spinal melalui radix

anterior atau radix motorik dan radix posterior atau radix sensorik.

Masing-masing radix melekat pada medulla spinalis melalui fila

radikularia yang membentang disepanjang segmen-segmen medulla

spinalis yang sesuai. Masing-masing radix saraf memiliki sebuah ganglion

radix posterior, yaitu sel-sel yang membentuk serabut saraf pusat dan tepi.

31 pasang saraf spinal diantaranya yaitu : 2-4

a. 8   pasang syaraf servikal,

b. 12 pasang syaraf torakal,

c. 5   pasang syaraf lumbal,

d. 5   pasang syaraf sakral dan

e. 1   pasang syaraf koksigeal.

4
Gambar 2. 31 pasang saraf spinal.2

Struktur medulla spinalis terdiri dari substansi abu abu (substansia grisea)

yang dikelilingi substansia putih (substansia alba). Pada potongan

melintang, substansia grisea terlihat seperti hurup H dengan kolumna atau

kornu anterior atau posterior substansia grisea yang dihubungkan dengan

commisura grisea yang tipis. Didalamnya terdapat canalis centralis yang

kecil. Keluar dari medula spinalis merupakan akar ventral dan dorsal dari

syaraf spinal. Substansi grisea mengandung badan sel dan dendrit dan

neuron efferen, akson tak bermyelin, syaraf sensoris dan motoris dan

5
akson terminal dari neuron. Bagian Posterior sebagai input atau afferent,

anterior sebagai Output atau efferent, comissura grisea untuk refleks silang

dan substansi alba merupakan kumpulan serat syaraf bermyelin. Fungsi

medula spinalis :2-4

a. Pusat gerakan otot tubuh terbesar yaitu dikornu motorik atau kornu

ventralis.

b. Mengurus kegiatan refleks spinalis dan refleks tungkai, Refleks

merupakan respon bawah sadar terhadap adanya suatu stimulus internal

ataupun eksternal untuk mempertahankan keadaan seimbang dari tubuh.

Refleks yang melibatkan otot rangka disebut dengan refleks somatis dan

refleks yang melibatkan otot polos, otot jantung atau kelenjar disebut

refleks otonom atau visceral.

c. Menghantarkan rangsangan koordinasi otot dan sendi menuju

cerebellum.

d. Mengadakan komunikasi antara otak dengan semua bagian tubuh.

6
Fungsi lengkung refleks : 2-4

a. Reseptor: penerima rangsang.

b. Aferen: sel saraf yang mengantarkan impuls dari reseptor ke sistem

saraf pusat (ke pusat refleks).

c. Pusat refleks : area di sistem saraf pusat (di medula spinalis: substansia

grisea), tempat terjadinya sinap (hubungan antara neuron dengan neuron

dimana terjadi pemindahan atau penerusan impuls).

7
d. Eferen: sel saraf yang membawa impuls dari pusat refleks ke sel efektor.

Bila sel efektornya berupa otot, maka eferen disebut juga neuron motorik

(sel saraf atau penggerak).

e. Efektor: sel tubuh yang memberikan jawaban terakhir sebagai jawaban

refleks. Dapat berupa sel otot (otot jantung, otot polos atau otot rangka),

sel kelenjar.

D. Dermatom

Berkaitan dengan masukan sensorik, setiap daerah spesifik di

tubuh yang dipersarafi oleh saraf spinal tertentu yang disebut area

dermatom. Saraf spinal juga membawa serat-serat yang bercabang untuk

mempersarafi organ-organ dalam, dan kadang-kadang nyeri yang berasal

dari salah satu organ tersebut dialihkan ke dermatom yang dipersarafi oleh

saraf spinal yang sama.5

8
Gambar 4. Standard Neurological Clasification of Spinal Cord Injury5

E. Etiologi

Penyebab penyakit medulla spinalis baik intrinsic ataupun ekstrinsik6

Diturunkan
Paraplegia spastic herediter
Congenital
Disrafisme
Malformasi Arnold-chairi
Trauma
Fraktur atau dislokasi vertebra
Prostrusi diskus
Infeksi
Abses epidural
Abses tuberculosis dan penyakit pott vertebra
Sifilis
HIV
Paraparesis spastic tropis
Inflamasi
Sklerosis multiple

9
Mielitis transversa pasca infeksi virus
Sarkoidosis
Spondilitis
Neoplasma
Metastasis vertebra yang menekan medulla spinalis
Tumor instrinsik benigna- neurofibroma-meningioma
Tumor medulla spinalis ekstrinsik-ependioma, glioma
Metabolic
Degenerasi campuran subakut
Kompresi akibat paget
Degeneratif
Pada medulla spinalis-penyakit neuron motorik
Pada vertebra-spondilosis dengan kompresi medulla spinalis

F. Klasifikasi

Klasifikasi menurut American Spinal Injury Association:5

Grade A Hilangnya seluruh fungsi morotik


dan sensorik dibawah tingkat lesi
Grade B Hilangnya seluruh fungsi motorik
dan sebagian fungsi sensorik di
bawah tingkat lesi.
Grade C Fungsi motorik intak tetapi
dengan kekuatan di bawah 3.
Grade D Fungsi motorik intak dengan
kekuatan motorik di atas atau
sama dengan 3.

Grade E Fungsi motorik dan sensorik


normal.

Penilaian terhadap gangguan motorik dan sensorik dipergunakan Frankel

Score.5,7

Frankel Score A kehilangan fingsi motorik dan sensorik


lengkap
(complete loss).
Frankel Score B Fungsi motorik hilang, fungsi sensorik
utuh.
Frankel Score C Fungsi motorik ada tetapi secara

10
praktis tidak berguna (dapat
menggerakkan tungkai tetapi
tidak dapat berjalan).
Frankel Score D Fungsi motorik terganggu (dapat
berjalan tetapi tidak dengan normal
”gait”).
Frankel Score E Tidak terdapat gangguan neurologik.

G. Skala kerusakan berdasarkan American spinal injury

association/International medical society of Paraplegia (IMSOP)5

Grade Tipe Gangguan spinalis

ASA/IMSOP
A Komplit Tidak ada fungsi

sensorik dan motorik

sampai S4-5
B Inkomplit Fungsi sensorik masih

baik tapi fungsi motorik

terganggu sampai

segmen sacral S4-5


C Inkomplit Fungsi motoik

terganggu dibawah

level, tapi otot-otot

motorik utama masih

11
punya kekuatan < 3
D Inkomplit Fungsi motorik

terganggu dibawah

level, otot-otot motorik

utamanya punya

kekuatan > 3
E Normal Fungsi sensorik dan

motorik normal

Sedangkan lesi pada medula spinalis menurut ASIA resived 2000, terbagi

atas :5

a. Paraplegi : Suatu gangguan atau hilangnya fungsi motorik atau dan

sensorik karena kerusakan pada segment thoraco-lumbo-sacral.

b. Quadriplegi : Suatu gangguan atau hilangnya fungsi motorik atau dan

sensorik karena kerusakan pada segment cervikal.

Spesifik Level5,8

1. C1 – C2 : Quadriplegia, kemampuan bernafas (-).

2. C3 – C4 : Quadriplegia, fungsi N. Phrenicus (-), kemampuan bernafas

hilang.

3. C5 – C6 : Quadriplegia, hanya ada gerak kasar lengan.

4. C6 – C7 : Quadriplegia, gerak biceps (+), gerak triceps (-).

12
5. C7 – C8 : Quadriplegia, gerak triceps (+), gerak intrinsic lengan (-).

6. Th1 – L1-2 : Paraplegia, fungsi lengan (+), gerak intercostalis tertentu

(-), fungsi tungkai (-), fungsi seksual (-).

7. Di bawah L2: Termasuk LMN, fungsi sensorik (-), bladder & bowel (-),

fungsi seksual tergantung radiks yang rusak.

Sindrom cedera medulla spinalis menurut ASIA, yaitu :5,8

Nama Sindroma Pola dari lesi saraf Kerusakan


Central cord syndrome Cedera pada posisi Menyebar ke daerah sacral.

sentral dan sebagian Kelemahan otot ekstremitas

pada daerah lateral. atas dan ekstremitas bawah

Dapat sering terjadi jarang terjadi pada ekstremitas

pada daerah servikal bawah


Brown- Sequard Anterior dan Kehilangan ipsilateral

Syndrome posterior proprioseptiv dan kehilangan

hemisection dari fungsi motorik.

medulla spinalis atau

cedera akan

menghasilkan

medulla spinalis

unilateral
Anterior cord syndrome Kerusakan pada Kehilangan funsgsi motorik

anterior dari daerah dan sensorik secara komplit.

putih dan abu- abu

13
medulla spinalis
Posterior cord syndrome Kerusakan pada Kerusakan proprioseptiv

anterior dari daerah diskriminasi dan getaran.

putih dan abu- abu Funsgis motor juga terganggu

medulla spinalis
Cauda equine syndrome Kerusakan pada Kerusakan sensori dan lumpuh

saraf lumbal atau flaccid pada ekstremitas bawah

sacral samapi ujung dan kontrol berkemih dan

medulla spinalis defekasi.

H. Patofisiologi

Trauma pada tulang belakang dapat menimbulkan fraktur atau dislokasi.

Tetapi sewaktu-waktu tidak tampak ada kelainan tulang belakang yang jelas,

namun penderita menunjukkan kelainan neurologic yang nyata. Fraktur

tulang belakang bias berupa fraktur corpus vertebra (misanya fraktur

kompressi korpus vertebra), fraktur pada lamina, pedikel, dan pada prosesus

transverses. Bersama-sama dengan patahnya tulang belakang, ligamentum

longitudinalis posterior dan duramater dapat ikut sobek: bahkan kepingan

tulang belakang ini dapat menusuk canalis vertebralis dan menimbulkan

sobekan atau laserasi pada medulla spinalis. Kepingan tulang ini dapat ula

terselip di antara duramater dan kolumna vertebralis dan menimbulkan

penekanan atau kompresi pada medulla spinalis. Arteri dan vena yang

melayani medulla spinalis dapat ikut terputus, misalnya arteria radikularis

magna (adam kiwicz) yang jalannya bersama-sama dengan radiks saraf

spinalis thorakal bagian bawah atau lumbal bagian atas. Keadaan ini akan

14
menimbulkan deficit sensorimotorik pada dermatom dan miotom yang

bersangkutan.1,9,10,11

Keadaan tersebut dapat pula menimbulkan hematoma ekstrameduler

traumatic yang menekan pada medulla spinalis. Fraktur tulang belakang dapat

terjadi di semua tempat di sepanjang kolumna vertebra tetapi lebih sering

terjadi di daerah servikal bagian bawah dan di daerah lumbal bagian atas.

Pada dislokasi akan tampak bahwa kanalis vertebralis di daerah dislokasi

tersebut menjadi sempit, keadaan ini akan menimbulkan penekanan atau

kompressi pada medulla spinalis atau radiks saraf spinalis.1,9,10,11

I. Manifestasi trauma medulla spinalis

Lesi trauma medulla spinalis akibat trauma pada tulang belakang

dapat berupa1,9,10,11 :

1. Komosio medulla spinalis

Yaitu kelainan pada medulla spinalis yang bersifat sementara akibat

trauma yang sembuh seteah beberapa jam atau beberapa hari tanpa

meninggalkan gejala sisa. Kerusakan reversible yang mendasari komosio

medulla spinalis, beruapa edema, perdarahan perivaskuler kecil-kecil dan

infark di sekitar pembuluh darah. Pada inspeksi makroskopis, medulla

spinalis tampak utuh. Lesi reversibel ini biasanya disebabkan trauma tidak

langsung.

2. Kontusio medulla spinalis

15
Lesi ini sering dijumpai sebagai akibat fraktur atau dislokasi tulang

belakang atau dapat juga akibat hiperekstensi, hiperflexi atau rotasi tulang

belakang tanpa adanya kelainan tulang belakang pada pemeriksaan foto

rontgen. Pada keadaan ini terdapat perdarahan interstitial dalam substansi

medulla spinalis dengan tanpa tampak ada terputusnya kontinuitas medulla

spinalis dan piameter. Kerusakan yang timbul bersifat permanen dan

meninggalkan gejala-gejala sisa.

Pungsi lumbal dalam stadium permulaan dapat memperlihatkan likuor

yang bercampur sedikit dengan darah dengan test quekenstedt yang positif.

Kontusio medulla spinalis merupakan manifestasi terbanyak dari trauma

medulla spinalis

3. Laserasio medulla spinalis

Pada keadaan ini medulla spinalis menjadi robek. Ini biasanya disebabkan

trauma langsung misalnya kena peluru, tertusuk benda tajam atau fragmen

tulang. Pada pungsu lumbal ditemukan likuor yang bercampur banyak

darah.

4. Kompressi medulla spinalis

Keadaan ini dapat disebabkan oleh dislokasi tulang belakang, hematom

ekstramedullar traumatic dan dapat pula oleh karena medulla spinalis itu

tertekan kepingan tulang belakang yang patah dan terselip diantara

duramater dan kolumna vertebralis. Pada pungsi lumbal ditemukan

sindrom froin, yaitu likuor yang berwarna xantokrom, quekenstedt yang

16
negative atau memperlihatkan stop parsial, kadar protein dalam likuor

yang meningkat dengan jumlah sel /mm3 yang normal.

5. Hematomielia kita temukan hematom di medulla spinalis. Hematom ini

biasanya berbentuk lonjong dan berkedudukan di substansia grisea.

Trauma yang menimbulkannya dapat berupa trauma gerak lecut, jatuh dari

tempat yang tinggi dengan sikap badan berdiri, jatuh terduduk, terlempar

karena eksploitasi atau pula karena fraktur atau dislokasi tulang belakang.

Hiperekstensi, hiperflexi, dislokasi, fraktur dan trauma gerak lecut, dapat

mengakibatkan tertariknya radiks saraf spinalis sehingga timbul gejala

nyeri radikular spontan yang bersifat hiperparatia. Keadaan ini disebut

neuralgia radikularis traumatic yang bersifat reversibel. Pada trauma

whisplash keadaan ini sering mengenai radiks C5-7. Radiks saraf spinalis

dapat pula terputus sehingga menimbulkan defisit sensorik dan motorik

yang bersifat radikular.

J. Gejala klinik

Gejala-gejala trauma medulla spinalis bergantung pada komplit atau

tidak komplitnya lesi dan juga tingginya lesi tersebut. Lesi yang mengenai

separuh segmen kiri atau kanan medulla spinalis akan menimbulkan sindrom

brown sequard. Hematomieli menimbulkan gejala-gejala siringiomieli,

sedang lesi yang komplit akan menimbulkan paralisis atau anastesi total

dibawah tempat lesi. Bila lesi komplit itu berada di daerah torakalis, kita akan

mendapatkan paraplegia dengan gangguan sensibilitas di bawah lesi.

Sehingga bila lesi komplit itu berada di daerah servikal maka akan timbul

17
tetraplegia dengan anastesi dibawah lesi. Di samping itu aka nada pula

gangguan vegetative. Lesi di daerah servikal bagian atas yaitu C1-C4

merupakan keadaan yang sangat berbahaya karena timbulnya paralisis pada

nervus frenikus. Ini akan menyebabkan lumpuhnya otot-otot diafragma

sehingga dapat menimbulkan kematian dengan cepat. Lesi di daerah di daerah

C8-T1 dapat disertai adanya gejala sindrom horner. Lesi di daerah konus

medularis, disamping konus, sering kali pula kauda equine ikut terkena

sehingga di samping gejala-gejala paraplegia/paraparesis, gangguan

sensibilitas dan vegetative, aka nada juga tanda laseque yang positif. Lesi

dapat juga hanya mengenai kauda equine sehingga menimbulkan gejala

gangguan motorik dan sensorik yang bersifat perifer dengan tanda laseque

yang positif

K. Penegakkan Diagnosis

A. Anamnesis9,10,11

1. Keluhan utama : Keluhan yang membawa pasien untuk berobat.


Kebanyakan kasus cedera medulla spinal datang dengan keluhan kelemahan
pada ektremitas. Tanyakan keluhan sudah berapa lama dirasakan.

2. RPS :

a. Kaji keluhan kelemahan : Lokasi kelemahan (bagian sktremitas mana saja)


paraplegia tau quadriplegi, kelmahan timbulnya tiba-tiba atau perlahan-lahan,
gejala semakin parah atau tidak, timbul setelah makan atau tidak, obat-obatan
yang digunakan utnuk mengurangi gejala, hasil pengobatan. 8,9,10

18
b. Kaji keluhan tambahan : Nyeri (lokasi, terus menerus atau hilang timbul,
nyeri menjalar atau tidak, kapan nyeri bertambah, kapan nyeri berkurang.
Kesemutan, sesak, nyeri pada perut, keluhan BAK (inkontinensia atau retensi
urin), BAB (konstipasi). Hilangnya sensasi rasa. Gangguan fungsi seksual.

c. Tanya sebelumnya apakah pernah alami gejala yang sama, kegiatan sehari-
hari (angkat yang berat-berat). Pola BAK dan BAB sebelum sakit.

3. RPD : Riwayat trauma sebelumnya, riwayat kelainan tulang belakang,


riwayat DM, HT, Alergi, Low back pain, osteoporosis, osteoarthritis, riwayat
TBC.

4. RPK : Riwayat kelainan tulang belakang, osteoporosis, TBC.

B. Pemeriksaan Fisik9,10,11

Pemeriksaan awal dimulai dengan penilaian kondisi jalan nafas,


pernafasan dan sirkulasi darah. Pada kasus cedera, sangat penting
diperiksa keadaan jalan nafas dan pernafasannya karena pada trauma C1-
C4.

1. Inspeksi : Inspeksi adalah pemeriksaan secara visual tentang kondisi serta


kemampuan gerak dan fungsinya. Apakah ada oedem pada anggota gerak,
pengecilan otot ( atropi ), warna, dan kondisi kulit sekitarnya, kemampuan
beraktifitas, alat bantu yang digunakan untuk beraktifitas, posisi pasien,
dll.
2. Palpasi : Palpasi adalah pemeriksaan terhadap anggota gerak dengan
menggunakan tangan dan membedakan antara kedua anggota gerak yang
kanan dan kiri. Palpasi dilakukan terutama pada kulit dan subcutaneus
untuk mengetahui temperatur, oedem, spasme, dan lain sebagainya.
3. Pemeriksaan Fungsi Gerak : Dalam hal ini meliputi fungsi gerak aktif,
gerak pasif, dan gerak isometrik. Pada pemeriksaan ini umumnya pada
pasien ditemukan adanya rasa nyeri, keterbatasan gerak, kelemahan otot,
dan sebagainya.

19
4. Pemeriksaan Fungsional : Dalam pemeriksaan fungsional meliputi
kemampuan pasien dalam beraktifitas baik itu posisioning miring kanan-
kiri ( setiap 2 jam ), transfer dari tidur ke duduk, dari tempat tidur ke kursi
roda, dan sebaliknya.
5. Pemeriksaan Khusus
1) Kekuatan Otot : Pengukuran ini digunakan untuk melihat kekuatan otot
dari keempat anggota gerak tubuh. Dan dilakukan dengan menggunakan
metode manual muscle testing ( MMT ).
2) ROM ( Lingkup Gerak Sendi ) : Pemeriksaan ROM dilakukan dengan
menggunakan goniometer dan dituliskan dengan menggunakan metode
ISOM (International Standar Of Measurement ).
3) Pemeriksaan Nyeri dengan VAS ( Visual Analog Scale ) : VAS
merupakan salah satu metode pengukuran nyeri yang dapat digunakan
untuk menilai tingkat nyeri yang dirasakan oleh pasien. Pasien diminta
untuk menunjukan letak nyeri yang dirasakan pada garis yang berukuran
10 cm, dimana pada ujung sebelah kiri (nilai 0) tidak ada nyeri, dan pada
ujung sebelah kanan ( nilai 10 ) nyeri sekali.
4) Pemeriksaan Sensoris : Pemeriksaan ini dilakukan untuk menentukan
sensori level. Sensori level adalah batas paling kaudal dari segment
medula spinalis yang fungsi sensorisnya normal. Tes ini terdiri dari 28 tes
area dermatom yang diperiksa dengan menggunakan tes tajam tumpul dan
sentuhan sinar, dengan kriteria penilaiannya sebagai berikut :
Nilai 0 : tidak ada dapat merasakan (absent ).
Nilai 1 : merasakan sebagian ( impaired ) dan hiperaestesia.
Nilai 2 : dapat merasakan secara normal.
NT ( not testable ) : diberikan pada pasien yang tidak dapat merasakan
karena tidak sadarkan diri.

5) Pemeriksaan Motorik : Pemeriksaan ini dilakukan untuk menentukan


motorik levelnya. Motorik level adalah batas paling kaudal dari segment
medula spinalis yang fungsi motoriknya normal. Identifikasi kerusakan

20
motorik lebih sulit, karena menyangkut innervasi dari beberapa otot. Tidak
adanya innervasi, berarti pada otot tersebut terjadi kelemahan atau
kelumpuhan. Pemeriksaan kekuatan otot tersebut bisa menggunakan
pemeriksaan dengan Manual Muscle Test (MMT), dengan skala penilaian
sebagai berikut : Nilai Huruf Skala Definisi :

0 (Zero) : Tidak ditemukan kontraksi dengan palpasi.

1 ( Tr ) Trace : Ada kontraksi tetapi tidak ada gerakan

2 ( P) Poor : Gerakan dengan ROM penuh, tidak dapat melawan gravitasi.

3 (F) Fair : Gerakan penuh melawan gravitasi

4 (G) Good : Gerakan ROM penuh dan dapat melawan tahanan.

5 (N) Normal : Gerakan ROM penuh dan dapat melawan tahanan


maksimal.

Pada pemeriksaan motorik dengan menggunakan manual muscle testing


ini biasanya dilakukan pada daerah myotom, antara lain :

C 5 : Fleksi siku ( m. biceps, m. brachialis )

C 6 : Ekstensi pergelangan tangan ( m. ekstensor carpi radialis longus dan


brevis )

C 7 : Ekstensi siku ( m. triceps )

C8 : Fleksi digitorum profundus jari tengah (m. fleksor digitorum


profundus)

Th 1 : Abduksi digiti minimi (m. abduktor digiti minimi )

L 2 : Fleksi hip ( m. iliopsoas )

21
L 3 : Ekstensi knee ( m. Quadriceps )

L 4 : Dorso fleksi ankle (m. tibialis anterior )

L 5 : Ekstensi ibu jari kaki (m. ekstensor hallucis longus )

S 1 : Plantar fleksi ankle (m. gastrocnemius, m. soleus )

C. Pemeriksaan Penunjang9,10,11

1. Laboratorium :
a. Osteocalsin : Suatu protein tulang yang disekresi oleh osteoblast.
b. B-cross lap : parameter untuk proses rosorpsi (penyerapan tulang) untuk
mengetahui fungsi osteoklas.
c. Elektrolit : kalsium total.
d. Darah lengkap : Hb, HT, Leukosit, trombosit.
e. Kimia darah : Gula darah 2 jam pp, gula darah puasa.
e. Vit D
f. Kalsitonin.
1. Foto Polos Vertebra. Merupakan langkah awal untuk mendeteksi
kelainan-kelainan yang melibatkan medula spinalis, kolumna vertebralis
dan jaringan di sekitarnya. Pada trauma servikal digunakan foto AP,
lateral, dan odontoid. Pada cedera torakal dan lumbal, digunakan foto AP
dan Lateral. Foto polos posisi antero-posterior dan lateral pada daerah
yang diperkirakan mengalami trauma akan memperlihatkan adanya fraktur
dan mungkin disertai dengan dislokasi. Pada trauma daerah servikal foto
dengan posisi mulut terbuka dapat membantu dalam memeriksa adanya
kemungkinan fraktur vertebra C1-C2.
2. CT-scan Vertebra : Dapat melihat struktur tulang, dan kanalis spinalis
dalam potongan aksial. CT-Scan merupakan pilihan utama untuk
mendeteksi cedera fraktur pada tulang belakang. 8,9,10

22
3. MRI Vertebra : MRI dapat memperlihatkan seluruh struktur internal
medula spinalis dalam sekali pemeriksaan serta untuk melihat jaringan
lunak.
4. Pungsi Lumbal : Berguna pada fase akut trauma medula spinalis.
Sedikit peningkatan tekanan likuor serebrospinalis dan adanya blokade
pada tindakan Queckenstedt menggambarkan beratnya derajat edema
medula spinalis, tetapi perlu diingat tindakan pungsi lumbal ini harus
dilakukan dengan hati-hati, karena posisi fleksi tulang belakang dapat
memperberat dislokasi yang telah terjadi. Dan antefleksi pada vertebra
servikal harus dihindari bila diperkirakan terjadi trauma pada daerah
vertebra servikalis tersebut.
5. Mielografi : Mielografi dianjurkan pada penderita yang telah sembuh
dari trauma pada daerah lumbal, sebab sering terjadi herniasi diskus
intervertebralis.
D. Diagnosis9,10,11
A. Cedera medulla spinalis
Dalam menegakkan diagnosis pada Cedera medulla spinalis, dilakukan
anamnesis yang lengkap, dimana keluhan dan riwayat adanya trauma
atau kelainan tulang belakang ataupun adanya osteoporosis merupakan
resiko terjadinya cedera medulla spinalis. Selain itu dilakukan
pemeriksaan fisik yang lengkap, dan penunjang yang sesuai untuk
menegaggakan diagnosis. Dengan menggunakan panduan American
Spinal Scale Neurologi dapat menegakkan diagnosis, dan dapat
menegakkan diagnose sementara bila hasil pemeriksaan penunjang
belum keluar. 8,9,10
Apabila medulla spinalis tiba-tiba mengalami cedera, maka aka nada 3
kelainan yang muncul yaitu : 8,9,10
1. Semua pergerakan volunteer dibawah lesi hilang secara mendadak
dan bersifat permanen, sedangkan reflex fisiologis bisa menghilang
atau meningkat.
2. Sensasi sensorik reflex fisiologis bisa menghilang atau meningkat.

23
3. Terjadi gangguan fungsi otonom.
Cedera medulla spinalis dapat menghasilkan satu atau lebih tanda-
tanda klinis dibawah ini yaitu : 8,9,10
1. Nyeri menjalar
2. Kelumpuhan atau hilangnya pergerakan atau adanya kelemahan
3. Hilangnya sensasi rasa
4. Hilangnya kemampuan peristaltic usus.
5. Spasme otot atau bangkitan reflex yang meningkat
6. Perubahan fungsi seksual.

E. Penatalaksanaan1,9,10,11

Sebelumnya perlu dikemukakan bahwa prognosis lesi medulla spinalis,

(kecuali komosio medulla spinalis) adalah buruk , oleh karena daya regenerasi

regenarasi serabut-serabur saraf di medulla spinalis sangat sedikit. Pada

pengobatan lesi medulla spinalis akibat trauma terdapat dua kemungkinan

yaitu :

1. Tindakan pembedahan

2. Pengobatan konservatif

1. Pembedahan

Pembedahan dimaksudkan untuk mengadakan dekompresi, kadang-

kadang untuk maksud fiksasi vertebra dan juga bila mungkin reposisi

suatu dislokasi.

Indikasi untuk melakukan tindakan pembedahan ialah :

24
1. Bila terdapat halangan pada jalan likour serebrospinalis, yang

dapat diketahui dengan percobaan quekenstedt pada pungsi lumbal.

2. Adanya pecahan-pecahan tulang yang masuk dalam kanalis

vertebralis.

3. Adanya fraktur terbuka (komplikata

4. Bila gejala-gejala bertambah hebat secara progresif

Tindakan pembedahan jarang dilakukan bila tidak terdapat indikasi

yng tersebut di atas. Atau bila waktu trauma sudah lebih dari 2

bulan.

2. Pengobatan konservatif

Dalam keadaan ini diutamakan adalah perawatan dan fisioterapi

1. Untuk kelainan postural reduction

Untuk ini diperlukan tempat tidur alas keras, kasur yang lunak dan

elastic dan ganjal kaki. Untuk daerah lumbal, dan daerah servikal

di butuhkan bantal servikal. Pada subluksasio di daerah servikal

dapat dipertimbangkan untuk melakukan traksi dengan lis glisson,

dan pemasangan gips di sekeliling leher.

2. Harus dicegah supaya lesi yang telah ada jangan bertambah besar

misalnya penderita jangan diangkat tanpa perhatian khusus

terhadap kelainan tulangnya/frakturnya, badannya jangan

dibungkukkan, terutama pada hari-hari pertama. Juga pengambilan

foto rontgen harus secara hati-hati dan hendaknya dilakukan di

tempat tidur penderita.

25
3. Harus dicegah komplikasi yang mungkin timbul seperti dekubitus,

infeksi saluran kencing yang dahulu sering merupakan penyebab

kematian penderita, osteoporosis karena badan kurang bergerak

sehingga kalsium tulang akan melarut, terjadinya batu ginjal oleh

kalsium yang melarut tadi keluar melalui air kencing yang kurang

lancer dan adanya infeksi saluran air kencing. Komplikasi lain

yang mungkin akan timbul adalah kontraktur.

Penatalaksanaan Pra-Rumah Sakit9,10,11

Penatalaksanaan TMS dimulai segera setelah terjadinya trauma.

Berbagai studi memperlihatkan pentingnya penatalaksanaan prarumah

sakit dalam menentukan prognosis pemulihan neurologis pasien TMS.

Evaluasi

Fase evaluasi meliputi observasi primer dan sekunder. Observasi

primer terdiri atas:

A: Airway maintenance dengan kontrol pada vertebra spinal

B: Breathing dan ventilasi

C: Circulation dengan kontrol perdarahan

D: Disabilitas (status neurologis)

E: Exposure/environmental control

Klasifikasi trauma medula spinalis komplet atau inkomplet serta

level trauma dapat diketahui melalui pemeriksaan motorik dan sensorik.

Pemeriksaan motorik dilakukan secara cepat dengan meminta pasien

26
menggenggam tangan pemeriksa dan melakukan dorsofleksi. Fungsi

autonom dinilai dengan melihat ada tidaknya retensi urin, priapismus, atau

hilang tidaknya tonus sfingterani. Temperatur kulit yang hangat dan

adanya flushing menunjukkan hilangnya tonus vaskuler simpatis di bawah

level trauma.

Penatalaksanaan Gawat Darurat Stabilisasi vertebra9,10,11

Instabilitas vertebra berisiko merusak saraf. Vertebra servikal dapat

diimobilisasi sementara menggunakan hard cervical collar dan meletakkan

bantal pasir pada kedua sisi kepala. Bila terdapat abnormalitas struktur

vertebra, tujuan penatalaksanaan adalah realignment dan fi ksasi segmen

bersangkutan. Indikasi operasi meliputi fraktur tidak stabil, fraktur yang

tidak dapat direduksi dengan traksi, gross spinal misalignment, kompresi

medula spinalis pada trauma inkomplet, penurunan status neurologis, dan

instabilitas menetap pada manajemen konservatif.

Medikamentosa9,10,11

Selain faktor mekanik yang merusak fungsi medula spinalis,

perfusi jaringan dan oksigenasi juga mempengaruhi luasnya kerusakan

akibat stres mekanik. Proses lain yang terjadi di daerah trauma dapat

berupa edema, perdarahan, degenerasi akson, demielinisasi, juga dapat

mengubah bioenergetik seluler. Pada tingkat seluler, terjadi peningkatan

kadar asam amino eksitatorik, glutamat, produksi radikal bebas, opioid

endogen serta habisnya cadangan ATPyang pada akhirnya menyebabkan

kematian sel. Bertambahnya pemahaman fisiologi trauma medula spinalis

27
akan menambah pilihan terapi farmakologi. Terapi farmakologi, seperti

kortikosteroid, 21-amino steroid, antagonis reseptor opioid, gangliosida,

thyrotropin releasing hormone (TRH),antioksidan, kalsium, termasuk

golongan imunomodulator, sedang diteliti; semuanya memberikan hasil

baik namun sampai saat ini baru kortikosteroid yang secara klinis

bermakna.

Terapi kerusakan primer

Trauma medula spinalis paling sering menimbulkan syok

neurogenik yang berhubungan dengan beratnya trauma dan level

kerusakan yang terjadi. Pada awalnya, akan terjadi peningkatan tekanan

darah, detak jantung serta nadi, dan kadar atekolamin yang tinggi, diikuti

oleh hipotensi serta bradikardia. Terapi lebih ditujukan untuk mencegah

hipoperfusi sistemik yang akan memperparah kerusakan medula spinalis,

menggunakan vasopresor; namun, penggunaan vasopresor ini harus

diimbangi dengan pemantauan status cairan karena penggunaan vasopresor

yang berlebihan justru akan membuat vasokonstriksi perifer yang akan

menurunkan aliran darah ke perifer.

Terapi kerusakan sekunder9,10,11

Merupakan sasaran terapi berikutnya karena hal ini akan

memperburuk keluaran (outcome) apabila tidak dilakukan intervensi

farmakologis yang tepat mengingat patofisiologi yang sangat variatif.

Kortikosteroid

28
Steroid berfungsi menstabilkan membran, menghambat oksidasi

lipid, mensupresi edema vasogenik dengan memperbaiki sawar darah

medula spinalis, menghambat pelepasan endorfin dari hipofisis, dan

menghambat respons radang. Penggunaannya dimulai tahun 1960 sebagai

antiinflamasi dan antiedema. Metilprednisolon menjadi pilihan dibanding

steroid lain karena kadar antioksidannya, dapat menembus membrane sel

saraf lebih cepat, lebih efektif menetralkan factor komplemen yang

beredar, inhibisi peroksidasi lipid, prevensi iskemia pascatrauma, inhibisi

degradasi neurofi lamen, menetralkan penumpukan ion kalsium, serta

inhibisi prostaglandin dan tromboksan. Studi NASCIS I (The National

Acute Spinal Cord Injury Study) menyarankan dosis tinggi sebesar 30

mg/kgBB sebagai pencegahan peroksidasi lipid, diberikan sesegera

mungkin setelahtrauma karena distribusi metilprednisolon akan terhalang

oleh kerusakan pembuluh darah medula spinalis pada mekanisme

kerusakan sekunder. Penelitian NASCIS II membandingkan

metilprednisolon dosis 30 mg/kgBB bolus IV selama 15 menit dilanjutkan

dengan 5,4mg/kgBB/jam secara infuse selama 23 jam berikutnya dengan

nalokson (antireseptor opioid) 5,4 mg/kgBB bolus IV, dilanjutkan dengan

4 mg/kgBB/jam secara infus selama 23 jam. Hasilnya, metilprednisolon

lebih baik dan dapat digunakan sampai jeda 8 jam pascatrauma. Pada

NASCIS III, metilprednisolon dosis yang sama diberikan secara infus

sampai 48 jam ternyata memberikan keluaran lebih baik dibanding

pemberian 24 jam. Selain itu, dicoba pula tirilazad mesilat (TM), yakni

29
inhibitor peroksidasi lipid nonglukokortikoid, dan ternyata tidak lebih baik

disbanding metilprednisolon. Terapi ini masih kontroversial; studi terbaru

mengatakan belum ada studi kelas 1 dan 2 yang mendasari terapi ini, serta

ditemukan efek samping berupa perdarahan lambung, infeksi, sepsis,

meningkatkan lama perawatan di intensive care unit (ICU),dan kematian.

21-Aminosteroid (Lazaroid)

21-aminosteroids atau U-74600F (tirilazad mesilat [TM]) bekerja

dengan mengurangi proses peroksidasi lipid melalui perantaraan vitamin

E. Efek lainnya adalah mengurangi enzim hidroksi peroksidase serta

menstabilkan membran sel, namun penggunaannya masih belum terbukti

menghasilkan keluaran yang lebih baik.

GM-1 Gangliosid

Merupakan asam sialat yang mengandung glikolipid pada

membran sel. Glikolipid ini berperan meningkatkan neuronal Sprout dan

transmisi sinaptik. Monosialotetraheksosilgangliosid (GM-1 gangliosid)

memiliki fungsi faktor pertumbuhan neurit, menstimulasi pertumbuhan sel

saraf, serta meregulasi protein kinase C untuk mencegah kerusakan sel

saraf pascaiskemia. Pada percobaan, dilakukan terapi 72 jam pascatrauma

dan dimulai dengan dosis 100 mg/hari. Studi terbaru menyatakan masih

kurang bukti ilmiah terkait obat ini.

Antagonis opioid

Opioid endogen memperparah kerusakan sekunder. Penggunaan

nalokson sebagai antagonis opioid pada NASCIS II menunjukkan hasil

30
tidak lebih baik disbanding metilprednison. Penggunaan obat satu

golongan namun beda titik tangkap, Yaitu golongan antagonis reseptor

kappa (seperti dinorfin dan norbinaltorfimin) pada hewan coba berhasil

baik; diduga berefek pada perbaikan sirkulasi pembuluh darah,

pengurangan influx kalsium, peningkatan kadar magnesium, serta

modulasi pelepasan asam amino eksitatorik. Namun, belum dilakukan uji

klinis lanjutan. Opioid endogen akan menginhibisi sistem dopaminergik

dan depresi sistem kardiovaskuler. Pemberian antagonis opioid dapat

mencegah hipotensi sehingga mikrosirkulasi medula spinalis membaik.

Thyrotropin-Releasing Hormone (TRH) dan Analog TRH

Thyrotropin-releasing hormone ( TRH) adalah tripeptida yang mempunyai

fungsi melawan faktor-faktor pengganggu, seperti opioid endogen, platelet

activating factor, peptidoleukotrien, dan asam amino eksitatorik, sehingga

akan menguatkan aliran darah spinalis, memperbaiki keseimbangan

elektrolit dan mencegah degradasi lipid. Pemberian thyrotropin-releasing

hormone intravena bolus 0,2 mg/kgBB diikuti 0,2 mg/kgBB/jam infus

sampai 6 jam, dikatakan memberikan hasil baik, terutama perbaikan

motorik dan sensorik sampai 4 bulan setelah injury.

Penyekat Kanal Kalsium

Peranan kalsium pada kematian sel melalui mekanisme efek

neurotoksik, vasospasme arteri, blokade kanal natrium serta NMDA dan

AMPA; obat yang dipakai adalah nimodipin, golongan lainnya adalah

benzamil dan bepridil merupakan antagonis ion kalsium dan natrium.

31
Nimodipin adalah golongan penyekat kanal kalsium dihidropiridin, sering

dipakai pada kasus stroke, memiliki fungsi blokade kanal ion kalsium

sehingga mencegah akumulasi ion kalsium intrasel terutama pada dinding

sel endotel pembuluh darah, oleh karena itu dianggap dapat mencegah

vasospasme dan iskemi post trauma, dibuktikan dengan efeknya pada

aliran darah di percobaan laboratorium; namun klinis masih belum terbukti

mampu meningkatkan keluaran pascatrauma karena diduga ada

keterlibatan kanal ion lain. Influks kalsium terjadi dalam hitungan detik

pascatrauma sehingga jendela terapeutiknya sempit; beberapa studi

menunjukkan bahwa peningkatan dosis justru malah memperjelek aliran

darah regional menyebabkan hipoperfusi dan iskemia. Karena itu, dosis

terapeutiknya juga sempit dan penggunaannya selektif.

Magnesium

Gangguan homeostasis magnesium terjadi pada trauma sekunder.

Pada tikus dengan onset 30 menit pascatrauma, dosis tinggi MgSO 600

mg/kgBB mempunyai efek baik dengan evaluasi somatosensory evoked

potential dan mempunyai efek mencegah peroksidase lipid, namun untuk

memastikan efek pada kondisi klinis sesungguhnya masih dibutuhkan

serangkaian uji klinis pada manusia.

Penyekat Kanal Natrium

Selain kalsium didapatkan penumpukan ion natrium intrasel

pascatrauma. Efek obat ini adalah sebagai anestesi lokal, antiaritmia, dan

antikonvulsi dengan tujuan melindungi sel pascatrauma. Studi in vivo

32
menggunakan tetrodotoksin dan golongan lain, seperti QX314, masih

belum menunjukkan efek yang diharapkan, begitu pula penggunaan riluzol

oleh Schwartz dan Fehlings masih belum menghasilkan perbaikan klinis.

Modulasi metabolisme asam arakidonat

Perubahan asam arakhidonat menjadi tromboksan, prostaglandin,

dan leukotrien akan berefek menurunkan aliran darah, agregasi trombosit

sehingga menimbulkan iskemia. Obat yang dapat memblokade enzim

COX dianggap dapat bermanfaat. Prostasiklin yang merupakan hasil

metabolisme asam arakidonat memiliki efek berbeda, yaitu vasodilatasi

dan menghambat agregasi trombosit. Penggunaan naloxon digabung

dengan indomethacin dan prostasiklin yang dimulai 1 jam pascatrauma

memiliki efek lebih meng untungkan dibandingkan dengan naloxon

sendiri. Studi lain menggunakan ibuprofen, meclofenamat (NSAID dan

COX-inhibitor) dengan prostasiklin analog (iloprost) me nunjukkan

manfaat terhadap aliran darah.

Strategi pengobatan lain

Antagonis serotonin yang bekerja pada reseptor 5HT-1 dan 5HT-2

dalam percobaan memberikan efek cukup baik, begitu pula dengan

penggunaan neurotrophic growth factor; antibodi inhibitor degenerasi

aksonal telah dicobakan begitu pula dengan transplantasi sel saraf,

semuanya memberikan hasil baik sebatas percobaan. Target berikut yang

lebih penting adalah memotong jalur apoptosis yang dicetuskan oleh

kaspase, seperti inhibitor kaspase-3 serta antiapoptosis protein (BCl-2).

33
Takrolimus (FK56) dapat dipakai sebagai imunomodulator yang ber fungsi

sebagai promotor regenerasi akson.

F. Prognosis

Pasien dengan cedera medula spinalis komplet hanya mempunyai


harapan untuk sembuh kurang dari 5%. Jika kelumpuhan total telah terjadi
selama 72 jam, maka peluang untuk sembuh menjadi tidak ada. Jika sebagian
fungsi sensorik masih ada, maka pasien mempunyai kesempatan untuk dapat
berjalan kembali sebesar 50%. Secara umum, 90% penderita cedera medula
spinalis dapat sembuh dan mandiri. Penyebab kematian utama adalah
komplikasi disabilitas neurologik yaitu : pneumonia, emboli paru, septikemia,
dan gagal ginjal. 9,10,11

34
DAFTAR PUSTAKA

1. Markam S. Penuntun neurologi. Banten ; Binapura Aksara pubhlisher.

2015.

2. Waxman S. Clinical Neuroanatomy. Edisi ke-26. America : The McGraw-

Hill Company; 2010

3. Snell RS. Neuroanatomi klinik : pendahuluan dan susunan saraf pusat.

Edisi ke-7. Jakarta : EGC; 2007.h.1-16.

4. Snell RS. Anatomi Klinis : berdasarkan system. Jakarta : EGC; 2002; h.

537-532.

5. ASIA. Spinal cord injury. 13 Januari 2008. Diunduh dari :

http://sci.rutgers.edu. 2008.

6. Ginsberg L. Lectures notes : neurology. Edisi ke-8. Surabaya : Erlangga;

2007

7. Ridvan A. Assessment of Spinal Cord Injury-History: Deparment of

medicine dan rehabilitation liv hospital. Turkey ; ASIA ; 2015

8. Consortium Member Organizations and Steering Committee

Representatives. Early Acute Management in Adults with Spinal Cord

Injury: A Clinical Practice Guideline for Health-Care Professionals. The

Journal Of Spinal Cord Medicine. Vol. 31. 2006.

9. Gondowirjaya Y. Trauma medulla spinalis : patobiologi dan tatalaksana

medikamentosa. Bali; Continuing medical education; CDK-219/vol.41

no.8 th. 2014

35
10. Muresanu D. Spinal cord injuries clinical assessment. New

pharmacological approach ini brain and spinal cord neuroprotection and

neuro recovery treatment. Romania. University medicine and pharmacy.

11. Hadley M. clinical assessment following acute cervical and spinal cord

injury; Birmingham; congres neurological surgeons;72:40-53:2013

36

Anda mungkin juga menyukai