Anda di halaman 1dari 29

LAPORAN AKHIR PRAKTEK KERJA LAPANGAN

“PELAYANAN KEFARMASIAN“
DI APOTEK ALIFIA BOJONEGORO

Dosen Pembimbing :
Romadhiyana Kisno Saputri,S.Gz.,M.BIOMED.

Disusun oleh :
Muhammad Khadirin (1120170061)

PROGRAM STUDI FARMASI


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS NAHDLATUL ULAMA SUNAN GIRI
BOJONEGORO
2020/2021

1
LAPORAN AKHIR PRAKTEK KERJA LAPANGAN

“PELAYANAN KEFARMASIAN“
DI APOTEK ALIFIA BOJONEGORO
Laporan ini disusun untuk memenuhi persyaratan memperoleh gelar Sarjana pada
Program Studi S1 Farmasi Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Nahdlatul Ulama
Sunan Giri Bojonegoro
Oleh:

Muhammad Khadirin (1120170061)

Disetujui oleh
Dosen Pembimbing PKL

Romadhiyana Kisno Saputri,S.Gz.,M.BIOMED.

Kepala Kaprodi S1 Farmasi Apoteker Penanggung jawab


Apotek Alifia

Nawafila februyani,M.Si Siti Mastiah

2
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena
dengan rahmat, karunia, serta taufik dan hidayah-Nya kami dapat melaksanakan
Praktek Kerja lapangan (PKL) di Apotek dengan baik dan lancar.
Praktek kerja lapangan S1 Farmasi UNIVERSITAS NAHDLATUL
ULAMA SUNAN GIRI BOJONEGORO ini berlangsung pada tanggal 10
Agustus hingga 10 September 2020. Penyelenggaraan ini dalam rangka
memberikan bekal pengetahuan, keterampilan, dan pengalaman dalam pengolahan
apotek kepada mahasiswa serta meningkatkan kemampuan dalam mengabdikan
profesinya kepada masyarakat.
Alhamdulillah praktek kerja lapangan ini dapat di laksanakan dengan baik
dan lancar tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak pada kesempatan ini
penyusun mengucapkan banyak-banyak terimakasih kepada:
1. Bapak Dr.H.M Ridlwan Hambali,Lc Selaku Rektor Universitas Nahdlatul
Ulama Sunan Giri Bojonegoro
2. Ibu Ainu Zuhriyah,S.Kep,Ns,M.Pd, Selaku Dekan Fakultas Ilmu
Kesehatan Universitas Nahdlatul Ulama Sunan Giri Bojonegoro
3. Ibu Nawafila februyani,M.Si selaku Kepala Program Studi S1 Farmasi
Universitas Nahdlatul Ulama Sunan Giri Bojonegoro
4. Romadhiyana Kisno Saputri,S.Gz.,M.BIOMED. selaku pembimbing
laporan yang telah memberi pengarahan dalam menyusun laporan PKL.
5. Ibu Siti Mastiah selaku pemilik sarana apotek yang telah memberi materi
serta arahan selama dilaksanakannya PKL.
6. Segenap karyawati Apotek Alifia yang telah membantu dan membimbing
selama PKL berlangsung.
7. Kedua orang tua kami yang senantiasa mendoakan dan memberikan
nasehat serta dorongan sehingga penulis dapat menyelesaikan Praktek
Kerja Lapangan (PKL).
8. Semua pihak yang tidak dapat kami sebutkan satu demi satu yang telah
membantu dalam pelaksanaan dan penyusunan laporan PKL ini.

Kami menyadari bahwa laporan ini masih banyak kekurangannya. Oleh


karena itu segala saran dan kritik demi kesempurnaan  sangat kami  harapkan.

3
Semoga laporan ini bisa bermanfaat bagi pembacanya dan semua pihak yang
membutuhkan dalam peningkatan wawasan keterampilan dalam pengolahan
apotek.

Bojonegoro, 25 Oktober 2020

Penulis

4
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ........................................................................................ i
Kata Pengantar ................................................................................................. ii
Daftar Isi............................................................................................................ v
BAB I PENDAHULUAN.................................................................................. 7
1.1 Latar Belakang........................................................................... 7
1.2 Sejarah Apotek di Indonesia…………………………………... 8
1.3 Tujuan Praktek Kerja Lapangan................................................. 10
1.4 Waktu dan Tempat Praktek Kerja Lapangan…………………. 10
BAB II TINJAUAN PUSTAKA.........................................................................11
2.1. Pengertian Standar Pelayanan Kefarmasian…………………… 11
2.2. Pengertian Apotek…………………………………………….. 11
2.3. Landasan Hukum Apotek……………………………………… 12
2.4 Tujuan Apotek…………………………………………………. 14
2.5  Tugas Dan Fungsi Apotek……………………………………. . 14
2.6 Pelayanan Kefarmasian Di Apotek……………………………. 15
2.7   Pengelolaan Sediaan Farmasi Di Apotek……………………… 16
2.8 Penggolongan Obat Menurut Undang-Undang………………... 20
2.8.1 Obat Bebas……………………………………………….. 19
2.8.2 Obat Bebas Terbatas……………………………………... 19
2.8.3 Obat Keras Dan Psikotropika……………………………. 19
2.8.4 Obat Narkotika…………………………………………… 20
2.9 Obat Wajib Apotek…………………………………………….. 21
2.10 Obat Generik………………………………………………… 22

BAB III PEMBAHASAN……………………………………………………. 23


BAB IV PENUTUP………………………………………………………….. 26

4.1 Kesimpulan……………………………………………………. 26
4.2 Saran…………………………………………………………… 26

Daftar Pustaka…………………………………………………………………. 27
Lampiran………………………………………………………………………

5
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Apotek sebagai salah satu sarana pelayanan kesehatan yang memiliki
peranan penting dalam meningkatkan kesehatan masyarakat, harus mampu
menjalankan fungsinya dalam memberikan pelayanan kefarmasian dengan baik,
yang berorientasi langsung dalam proses penggunaan obat pada pasien. Selain
menyediakan dan menyalurkan obat serta perbekalan farmasi, apotek juga
merupakan sarana penyampaian informasi mengenai obat atau persediaan farmasi
secara baik dan tepat, sehingga dapat tercapai peningkatan kesehatan masyarakat
yang optimal dan mendukung penyelenggaraan pembangunan kesehatan
(KEPMENKES, 2002).
Semua aspek dalam pekerjaan kefarmasian tersebut dapat disebut juga sebagai
pelayanan kefarmasian. Dimana suatu sistem pelayanan kesehatan dikatakan baik,
bila struktur dan fungsi pelayanan kesehatan dapat menghasilkan pelayanan
kesehatan yang memenuhi persyaratan sebagai berikut, yaitu : tersedia, adil dan
merata, tercapai, terjangkau, dapat diterima, wajar, efektif, efisien, menyeluruh,
terpadu, berkelanjutan, bermutu, dan berkesinambungan (Azwar, 1996).
Pelayanan kefarmasian semula berfokus pada pengelolaan obat sebagai
commodity menjadi pelayanan yang komprehensif yang bertujuan untuk
meningkatkan kualitas hidup pasien. Namun seiring berjalannya waktu dan
semakin mudahnya informasi tentang obat yang diperoleh oleh masyarakat, maka
saat ini terjadi perubahan paradigma pelayanan kefarmasian dari drug oriented
menjadi patient oriented yang mengacu pada pharmaceutical care yang
mengharuskan pharmacist untuk meningkatkan kemampuan berinteraksi dengan
pasien maupun dengan tenaga kesehatan lainnya. Selain itu seorang farmasi juga
harus mengetahui mengenai sistem manajemen di apotek (KEPMENKES, 2004).
Apotek memiliki dua fungsi yaitu sebagai bentuk unit pelayanan kesehatan
apotek yang menyediakan baik obat-obatan maupun alat kesehatan yang
dibutuhkan oleh masyarakat.

6
Menurut Keputusan MenKes RI No.1332/MenKes/SK/X/2002 tentang
Ketentuan dan Tata Cara Pemberian Izin Apotek, memberikan batasan tentang
Apotek yaitu suatu tempat penyaluran pembekalan farmasi kepada masyarakat.
Dalam hal ini pembekalan farmasi yang dimaksud adalah obat, obat asli indonesia
(obat tradisional), alat kesehatan dan kosmetik.
Farmasis adalah tenaga ahli yang mempunyai kewenangan dibidang
kefarmasian melalui keahlian yang diperolehnya selama pendidikan tinggi
kefarmasian. Sifat kewenangan yang berlandaskan ilmu pengetahuan memberikan
otoritas dalam berbagai aspek obat atau profesi kefarmasian yang tidak dimiliki
oleh tenaga kesehatan yang dikelompokan profesi, telah diakui secara univesal.
Lingkup pekerjaannya meliputi semua aspek tentang obat, melalui penyediaan
bahan baku obat dalam arti luas, membuat sediaan jadinya sampai dengan
pelayanan kepada pemakaian obat atau pasien.

1.2 Sejarah Apotek Di Indonesia

Farmasi sebagai profesi di Indonesia sebenarnya relatif masih muda dan


baru dapat berkembang secara berarti setelah masa kemerdekaan. Pada zaman
penjajahan, baik pada masa pemerintahan Hindia Belanda maupun masa
pendudukan Jepang, kefarmasian di Indonesia pertumbuhannya sangat lambat,
dan profesi ini belum dikenal secara luas oleh masyarakat. Sampai proklamasi
kemerdekaan Republik Indonesia, para tenaga farmasi Indonesia pada umumnya
masih terdiri dari asisten apoteker dengan jumlah yang sangat sedikit. Tenaga
apoteker pada masa penjajahan umumnya berasal dari Denmark, Austria, Jerman
dan Belanda. Namun, semasa perang kemerdekaan, kefarmasian di Indonesia
mencatat sejarah yang sangat berarti, yakni dengan didirikannya Perguruan Tinggi
Farmasi di Klaten pada tahun 1946 dan di Bandung tahun 1947. Lembaga
Pendidikan Tinggi Farmasi yang didirikan pada masa perang kemerdekaan ini
mempunyai andil yang besar bagi perkembangan sejarah kefarmasian pada masa -
masa selanjutnya. Dewasa ini kefarmasian di Indonesia telah tumbuh dan
berkembang dalam dimensi yang cukup luas dan mantap. Industri farmasi di
Indonesia dengan dukungan teknologi yang cukup luas dan mantap. Industri
farmasi di Indonesia dengan dukungan teknologi yang cukup modern telah

7
mampu memproduksi obat dalam jumlah yang besar dengan jaringan distribusi
yang cukup luas. Sebagian besar, sekitar 90% kebutuhan obat nasional telah dapat
dipenuhi oleh industri farmasi dalam negeri (KEPMENKES, 1963).

Pada saat awal mulanya muncul kefarmasian, berbagai aspek dan


perkembangan ilmu kefarmasian didasarkan urutan sejarah farmasi yang
seharusnya dimulai dari zaman pra sejarah, zaman Babylonia-Assyria, zaman
Mesir kuno, zaman Yunani kuno dan zaman abad pertengahan. Namun kali ini
hanya membahas bagaimana sejarahnya farmasi yang berkembang di Indonesia.
Mula – mula dari periode zaman penjajahan sampai perang kemerdekaan,
kemudian setelah perang kemerdekaan sampai tahun 1958 serta pada periode
tahun 1958 – 1967.

1. Periode Zaman Penjajahan sampai Perang Kemerdekaan Tonggak sejarah


kefarmasian di Indonesia pada umumnya diawali dengan pendidikan asisten
apoteker semasa pemerintahan Hindia Belanda.

2. Periode Setelah Perang Kemerdekaan Sampai dengan Tahun 1958 Pada periode
ini jumlah tenaga farmasi, terutama tenaga asisten apoteker mulai bertambah
jumlah yang relatif lebih besar. Pada tahun 1950 di Jakarta dibuka sekolah asisten
apoteker Negeri (Republik) yang pertama , dengan jangka waktu pendidikan
selama dua tahun. Lulusan angkatan pertama sekolah asisten apoteker ini tercatat
sekitar 30 orang, sementara itu jumlah apoteker juga mengalami peningkatan, baik
yang berasal dari pendidikan di luar negeri maupun lulusan dari dalam negeri.

3. Periode Tahun 1958 sampai dengan 1967 Pada periode ini meskipun untuk
memproduksi obat telah banyak dirintis, dalam kenyataannya industri-industri
farmasi menghadapi hambatan dan kesulitan yang cukup berat, antara lain
kekurangan devisa dan terjadinya sistem penjatahan bahan baku obat sehingga
industri yang dapat bertahan hanyalah industri yang memperoleh bagian jatah atau
mereka yang mempunyai relasi dengan luar negeri. Pada periode ini, terutama
antara tahun 1960 – 1965, karena kesulitan devisa dan keadaan ekonomi yang
suram, industri farmasi dalam negeri hanya dapat berproduksi sekitar 30% dari
kapasitas produksinya. Oleh karena itu, penyediaan obat menjadi sangat terbatas

8
dan sebagian besar berasal dari impor. Sementara itu karena pengawasan belum
dapat dilakukan dengan baik banyak terjadi kasus bahan baku maupun obat jadi
yang tidak memenuhi persyaratan standar. Sekitar tahun 1960-1965, beberapa
peraturan perundang undangan yang penting dan berkaitan dengan kefarmasian
yang dikeluarkan oleh pemerintah antara lain :

a) Undang-undang Nomor 9 tahun 1960 tentang Pokok-pokok Kesehatan


b) Undang-undang Nomor 10 tahun 1961 tentang barang
c) Undang-undang Nomor 7 tahun 1963 tentang Tenaga Kesehatan, dan
d) Peraturan Pemerintah Nomor 26 tahun 1965 tentang Apotek. Pada periode
ini pula ada hal penting yang patut dicatat dalam sejarah kefarmasian di
Indonesia, yakni berakhirnya apotek dokter dan apotek darurat.

Dengan Surat Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 33148/Kab/176


tanggal 8 Juni 1962, antara lain ditetapkan :

a) Tidak dikeluarkan lagi izin baru untuk pembukaan apotek-dokter, dan


b) Semua izin apotek-dokter dinyatakan tidak berlaku lagi sejak tanggal 1
Januari 1963.

Sedangkan berakhirnya apotek darurat ditetapkan dengan Surat Keputusan


Menteri Kesehatan Nomor 770/Ph/63/b tanggal 29 Oktober 1963 yang isinya
antara lain :

a) Tidak dikeluarkan lagi izin baru untuk pembukaan apotek darurat,


b) Semua izin apotek darurat Ibukota Daerah Tingkat I dinyatakan tidak
berlaku lagi sejak tanggal 1Februari 1964, dan
c) Semua izin apotek darurat di ibukota Daerah Tingkat II dan kota-kota
lainnya dinyatakan tidak berlaku lagi sejak tanggal 1 Mei 1964.Pada tahun
1963, sebagai realisasi Undang-undang Pokok Kesehatan telah dibentuk
Lembaga Farmasi Nasional (Surat Keputusan Menteri Kesehatan Nomor
39521/Kab/199 tanggal 11 Juli 1963).

9
1.3 Tujuan Praktek Kerja Lapangan
1. Mengetahui strategi pengadaan, pengelolaan obat, dan pelayanan
pembekalan farmasi di Apotek Alifia Bojonegoro.
2. Mengetahui pelaksanaan pelayanan kefarmasian khususnya konsultasi dan
konseling di Apotek Alifia Bojonegoro
3. Mengetahui permasalahan-permasalahan yang terjadi di Apotek Alifia
Bojonegoro, untuk dijadikan gambaran dan pembelajaran bagi mahasiswa
dalam menghadapi dinamika lapangan kerja kemudian hari.

1.4 Waktu dan Tempat Praktek Kerja Lapangan


Praktek Kerja Lapangan (PKL) dilaksanakan pada tanggal 10 Agustus -10
September 2020 di Apotek Alifia Bojonegoro.Waktu pelaksanaan PKL
dilakukan mulai hari Senin – Jumat waktunya sehari adalah 7 jam kerja
dengan sistem pergantian shift.

10
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pengertian Standar Pelayanan Kefarmasian

Standar Pelayanan Kefarmasian adalah tolak ukur yang dipergunakan sebagai


pedoman bagi tenaga kefarmasian dalam menyelenggarakan pelayanan
kefarmasian. Pelayanan Kefarmasian di Apotek meliputi 2 (dua) kegiatan, yaitu
kegiatan yang bersifat manajerial berupa pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat
Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai dan pelayanan farmasi klinik. Kegiatan
tersebut harus didukung oleh sumber daya manusia, sarana dan prasarana.
Pengaturan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek bertujuan untuk:

a) meningkatkan mutu Pelayanan Kefarmasian;


b) menjamin kepastian hukum bagi tenaga kefarmasian; dan
c) melindungi pasien dan masyarakat dari penggunaan Obat yang tidak
rasional dalam rangka keselamatan pasien ( patient safety).

Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek meliputi standar pengelolaan Sediaan


Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai dan pelayanan farmasi
klinik.

2.2. Pengertian Apotek

Apotek merupakan salah satu sarana pelayanan kesehatan maka dalam


pelayanannya harus mengutamakan kepentingan masyarakat yaitu menyediakan,
menyiapkan dan menyerahkan perbekalan farmasi yang bermutu baik dan
keabsahannya. Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
Nomor 9 tahun 2017 Tentang Apotek, apotek adalah sarana pelayanan
kefarmasian tempat dilakukan praktek kefarmasian oleh Apoteker. Sedangkan
yang dimaksud dengan Pelayanan Kefarmasian adalah suatu pelayanan langsung
dan bertanggung jawab kepada pasien yang berkaitan dengan sediaan farmasi
dengan maksud mencapai hasil yang pasti untuk meningkatkan mutu kehidupan
pasien (PERMENKES No. 35 Tahun 2016).

11
Menurut peraturan Pemerintan Republik Indonesia Nomor 51 Tahun 2009,
Pekerjaan Kefarmasian adalah pembuatan termasuk pengendalian mutu Sediaan
Farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan pendistribusi atau
penyalurannya obat, pengelolaan obat, pelayanan obat atas resep dokter,
pelayanan informasi obat, serta pengembangan obat, bahan obat dan obat
tradisional. Sediaan Farmasi yang dimaksud adalah obat, bahan obat, obat
tradisional dan kosmetika. Dalam pengelolaannya apotek harus dikelola oleh
apoteker, yang telah mengucapkan sumpah jabatan yang telah memperoleh Surat
Izin Apotek (SIA) dari Dinas Kesehatan setempat.

2.3. Landasan Hukum Apotek

Apotek merupakan salah satu sarana pelayanan kesehatan yang diatur dalam:

a. Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2014 Tentang Tenaga


Kesehatan

b. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2016


Tentang Standar Pelayanan Kefarmasian Di Apotek.

c. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2017


Tentang Apotek.

d. Peraturan Pemerintan Nomor 51 Tahun 2009 Tentang Pekerjaan Kefarmasian.

e. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2016


Tentang Registrasi, Izin Praktik, dan Izin Kerja Tenaga Kefarmasian.

f. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2014


Tentang Penggolongan Narkotika.

g. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2015


Tentang Penggolongan Psikotropika.

h. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2015


Tentang Peredaran, Penyimpanan, Pemusnahan, dan Pelaporan Narkotika.

12
i. Keputusan Menteri Kesehatan No. 347/MenKes/SK/VII/1990 tentang Obat
Wajib Apotek, berisi Daftar Obat Wajib Apotek No. 1.

j. Keputusan Menteri Kesehatan No. 924/Menkes /Per/X /1993 tentang Daftar


Obat Wajib Apotek No. 2.

k. Keputusan Menteri Kesehatan No. 1176/Menkes/SK/X/1999 tentang Daftar


Obat Wajib Apotek No. 3.

2.4 Tujuan apotek

Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 9


Tahun 2017, tujuan apotek adalah sebagai berikut:

a. Meningkatkan kualitas pelayanan kefarmasian diapotek.

b. Memberikan perlindungan pasien dan masyarakat dalam memperoleh


pelayanan kefarmasian di apotek.

c. Menjamin kepastian hukum bagi tenaga kefarmasian dalam memberikan


pelayanan kefarmasian di apotek (Permenkes RI No.9/2017).

2.5 Tugas dan Fungsi Apotek

Tugas dan fungsi apotek menurut Peraturan Pemerintah No. 51 tahun 2009
sebagai berikut :

a. Tempat pengabdian profesi apoteker yang telah mengucapkan sumpah


jabatan.

b. Sarana yang digunakan untuk melakukan Pekerjaan Kefarmasian.

c. Sarana yang digunakan untuk memproduksi dan distribusi sediaan farmasi


antara lain obat, bahan baku obat, obat tradisional, dan kosmetika.

d. Sarana pembuatan dan pengendalian mutu sediaan farmasi, pengamanan,


pengadaan, penyimpanan dan pendistribusi atau penyaluran obat, pengelolaan
obat, pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan informasi obat, serta
pengembangan obat, bahan obat dan obat tradisional.

13
2.6 Pelayanan Kefarmasian Di Apotek

Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek menurut Keputusan Menteri


Kesehatan Republik Indonesia No. 1027/MENKES/SK/IX/2004 adalah sebagai
berikut:

1. Pengelolahan sumber daya

a. Sumber daya manusia Sesuai ketentuan perundangan yang berlaku


apotek harus dikelola oleh seorang apoteker yang profesional. Dalam
pengelolahan apoteker senantiasa harus memiliki kemampuan
menyediakan dan memberikan pelayanan yang baik, mengambil
keputusan yang tepat, kemampuan berkomunikasi antar profesi,
menempatkan diri sebagai pimpinan dalam situasi multidisipliner,
kemampuan mengelola SDM secara efektif, selalu belajar sepanjang
karier, dan membantu memberi pendidikan dan memberi peluang untuk
meningkatkan pengetahuan (Kemenkes RI. No 1027/2004).

b. Sarana dan prasarana Apotek berlokasi pada daerah yang dengan mudah
dikenali oleh masyarakat. Pada halaman terdapat papan petunjuk yang
dengan jelas tertulis kata apotek. Apotek harus dapat dengan mudah
diakses oleh anggota masyarakat. Pelayanan produk kefarmasian
diberikan pada tempat yang terpisah dari aktivitas pelayanan dan
penjualan produk lainnya, hal ini berguna untuk menunjukan intergritas
dan kualitas produk serta mengurangi resiko kesalahan penyerahan.
Masyarakat harus diberi akses secara langsung dan mudah oleh
apoteker untuk memperoleh informasi dan konseling. Lingkungan
apotek harus dijaga kebersihannya. Apotek harus bebas dari hewan
pengerat, serangga atau pest. Apotek memiliki suplai listrik yang
konstan, terutama untuk lemari pendingin. Apotek harus memiliki:

1) Ruang tunggu yang nyaman bagi pasien

2) Tempat untuk mendisplai informasi bagi pasien, termasuk penempatan


brosur atau materi informasi

14
3) Ruangan tertutup untuk konseling bagi pasien yang dilengkapi dengan
meja dan kursi serta lemari untuk menyimpan catatan medikasi pasien

4) Ruang racikan

5) Keranjang sampah yang tersedia untuk staf maupun pasien. Perabotan


apotek harus tertata rapi, lengkap dengan rak-rak penyimpanan obat dan
barang-barang lain yang tersusun dengan rapi, terlindungi dari debu,
kelembaban dan cahaya yang berlebihan serta diletakkan pada kondisi
ruangan dengan temperatur yang telah ditetapkan (Kemenkes RI. No
1027/2004).

2.7 Pengelolaan Sediaan Farmasi Di Apotek

Pengelolaan sebagai proses yang dimaksud untuk mencapai suatu tujuan


tertentu yang dilakukan secara efektif dan efisien. Tujuannya adalah agar
tersedianya seluruh pembekalan farmasi di apotek dengan mutu yang baik, jenis
dan jumlah yang sesuai kebutuhan pelayanan kefarmasian bagi masyarakat yang
membutuhkan. Pengelolaan di apotek meliputi pengelolaan terhadap obat dan
pembekalan farmasi, pengelolaan terhadap resep, dan pengelolaan terhadap
sumber daya (Permenkes, 2002).

1. Perencanaan
Dalam membuat perencanaan pengadaan Sediaan Farmasi, Alat
Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai perlu diperhatikan pola
penyakit, pola konsumsi, budaya dan kemampuan masyarakat. Tujuan dari
perencanaan adalah agar proses pengadaan obat atau perbekalan farmasi
yang ada di apotek menjadi lebih efektif dan efisien sesuai dengan
anggaran yang tersedia.
2. Pengadaan
Suatu proses kegiatan yang bertujuan agar tersedia sediaan farmasi
dengan jumlah dan jenis yang cukup sesuai dengan kebutuhan pelayanan.
Pengadaan yang efektif merupakan suatu proses yang mengatur berbagai

15
cara, teknik dan kebijakan yang ada untuk membuat suatu keputusan
tentang obat-obatan yang akan diadakan, baik jumlah maupun sumbernya.
3. Penerimaan
Merupakan kegiatan untuk menerima perbekalan farmasi yang
telah diadakan sesuai dengan aturan kefarmasian, melalui pembelian
langsung, tender, konsinyasi atau sumbangan. Penerimaan adalah kegiatan
untuk menjamin kesesuaian jenis, spesifikasi, jumlah, mutu, waktu
penyerahan dan harga yang tertera dalam kontrak/pesanan. Penerimaan
merupakan kegiatan verifikasi penerimaan/penolakan, dokumentasi dan
penyerahan yang dilakukan dengan menggunakan "checklist" yang sudah
disiapkan untuk masing-masing jenis produk.
4. Penyimpanan
Penyimpanan adalah suatu kegiatan menata dan memelihara
dengan cara menempatkan sediaan farmasi dan alat kesehatan yang
diterima pada tempat yang dinilai aman dari pencurian dan gangguan fisik
yang dapat merusak mutu obat. Penyimpanan harus menjamin stabilitas
dan keamanan sediaan farmasi dan alat kesehatan. Metode penyimpanan
dapat dilakukan berdasarkan kelas terapi, Untuk meminimalisir kesalahan
penyerahan obat direkomendasikan penyimpanan berdasarkan kelas terapi
yang dikombinasi dengan bentuk sediaan dan alfabetis. Apoteker harus
rnemperhatikan obat-obat yang harus disimpan secara khusus seperti
narkotika, psikotropika, obat yang memerlukan suhu tertentu, obat yang
mudah terbakar, sitostatik dan reagensia. Selain itu apoteker juga perlu
melakukan pengawasan mutu terhadap sediaan farmasi dan alat kesehatan
yang diterima dan disimpan sehingga terjamin mutu, keamanan dan
kemanfaatan sediaan farmasi dan alat kesehatan.
5. Pendistribusian
Pendistribusian adalah kegiatan menyalurkan atau menyerahkan
sediaan farmasi dan alat kesehatan dari tempat penyimpanan sampai
kepada unit pelayanan pasien.
6. Pemusnahan

16
Sediaan farmasi yang sudah tidak memenuhi syarat sesuai standar
yang ditetapkan harus dimusnahkan. Penghapusan dan Pemusnahan
sediaan farmasi harus dilaksanakan dengan cara yang baik dan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundangan yang berlaku. Prosedur
pemusnahan obat hendaklah dibuat yang mencakup pencegahan
pencemaran di lingkungan dan mencegah jatuhnya obat tersebut di
kalangan orang yang tidak berwenang. Sediaan farmasi yang akan
dimusnahkan supaya disimpan terpisah dan dibuat daftar yang mencakup
jumlah dan identitas produk. Penghapusan dan pemusnahan obat baik yang
dilakukan sendiri maupun oleh pihak lain harus di dokumentasikan sesuai
dengan ketentuan dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
7. Pengendalian
Pengendalian persediaan dimaksudkan untuk membantu
pengelolaan perbekalan (supply) sediaan farmasi dan alat kesehatan agar
mempunyai persediaan dalam jenis dan jumlah yang cukup sekaligus
menghindari kekosongan dan menumpuknya persediaan. Pengendalian
persediaan yaitu upaya mempertahankan tingkat persediaan pada suatu
tingkat tertentu dengan mengendalikan arus barang yang masuk melalui
pengaturan sistem pesanan atau pengadaan (scheduled inventory dan
perpetual inventory), penyimpanan dan pengeluaran untuk memastikan
persediaan efektif dan efisien atau tidak terjadi kelebihan dan kekurangan,
kerusakan, kedaluarsa, dan kehilangan serta pengembalian pesanan
sediaan farmasi. Pengendalian persediaan dilakukan menggunakan kartu
stok baik dengan cara manual atau elektronik. Kartu stok sekurang-
kurangnya memuat nama Obat, tanggal kedaluwarsa, jumlah pemasukan,
jumlah pengeluaran dan sisa persediaan.
8. Penarikan kembali sediaan farmasi
Penarikan kembali (recall) dapat dilakukan atas permintaan
produsen atau instruksi instansi pemerintah yang berwenang. Tindakan
penarikan kembali hendaklah dilakukan segera setelah diterima
permintaan instruksi untuk penarikan kembali. Untuk penarikan kembali
sediaan farmasi yang mengandung risiko besar terhadap kesehatan,

17
hendaklah dilakukan penarikan sampai tingkat konsumen. Apabila
ditemukan sediaan farmasi tidak memenuhi persyaratan, hendaklah
disimpan terpisah dari sediaan farmasi lain dan diberi penandaan tidak
untuk dijual untuk menghindari kekeliruan. Pelaksanaan penarikan
kembali agar didukung oleh sistem dokumentasi yang memadai.
9. Pelaporan dan Pencatatan
Pencatatan dilakukan pada setiap proses pengelolaan Sediaan
Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai meliputi
pengadaan (surat pesanan, faktur), penyimpanan (kartu stock), penyerahan
(nota atau struck penjualan) dan pencatatan lainnya disesuaikan dengan
kebutuhan. Pelaporan terdiri dari pelaporan internal dan eksternal.
Pelaporan internal merupakan pelaporan yang digunakan untuk kebutuhan
manajemen Apotek, meliputi keuangan, barang dan laporan lainnya.
Pelaporan eksternal merupakan pelaporan yang dibuat untuk memenuhi
kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang undangan
meliputi pelaporan narkotika (menggunakan Formulir 3 sebagaimana
terlampir), psikotropika (menggunakan Formulir 4
sebagaimana terlampir) dan pelaporan lainnya.
10. Monitoring dan Evaluasi
Monitoring dan evaluasi merupakan tahapan untuk mengamati dan
menilai keberhasilan atau kesesuaian pelaksanaan Cara Pelayanan
Kefarmasian yang Baik disuatu pelayanan kefarmasian.

2.8 Penggolongan Obat Menurut Undang-Undang

Untuk menjaga keamanan penggunaan obat oleh masyarakat, maka


pemerintah menggolongkan obat menjadi beberapa bagian, yaitu:

2.8.1. Obat Bebas

Obat bebas adalah obat yang dijual bebas di pasaran dan dapat
dibeli tanpa resep dokter. Tanda khusus pada kemasan dan etiket obat
bebas adalah lingkaran hijau dengan garis tepi berwarna hitam. Contoh :
Parasetamol (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2006).

18
2.8.2. Obat Bebas Terbatas

Obat bebas terbatas adalah obat yang sebenarnya termasuk obat


keras tetapi masih dapat dijual atau dibeli bebas tanpa resep dokter, dan
disertai dengan tanda peringatan. Tanda khusus pada kemasan dan etiket
obat bebas terbatas adalah lingkaran biru dengan garis tepi berwarna
hitam. Contoh : CTM (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2006).

2.8.3. Obat Keras Dan Obat Psikotropika

Obat keras adalah obat yang hanya dapat dibeli di apotek dengan
resep dokter. Tanda khusus pada kemasan dan etiket adalah huruf K dalam
lingkaran merah dengan garis tepi berwarna hitam. Contoh : Asam
Mefenamat. Obat psikotropika adalah obat keras baik alamiah maupun
sintetis bukan narkotik, yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh
selektif pada susunan saraf pusat yang menyebabkan perubahan khas pada
aktivitas mental dan perilaku. Contoh : Diazepam, Phenobarbital
(Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2006).

2.8.4. Obat Narkotika

Obat narkotika adalah obat yang berasal dari tanaman atau bukan
tanaman baik sintetis maupun semi sintetis yang dapat menyebabkan
penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai
menghilangkan rasa nyeri dan menimbulkan ketergantungan. Contoh :
Morfin, Petidin (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2006). Obat
narkotika ditandai dengan simbol palang medali atau palang swastika.

2.9. Obat Wajib Apotek

Menurut Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.


347/MENKES/SK/VII/1990 tentang Obat Wajib Apotek, menerangkan bahwa
obat wajib apotek (OWA) adalah obat keras yang dapat diserahkan tanpa resep
dokter oleh apoteker kepada pasien di apotek. Peraturan mengenai obat wajib
apotek dibuat untuk meningkatkan kemampuan masyarakat dalam menolong
dirinya sendiri guna mengatasi masalah kesehatan dan peningkatan pengobatan

19
sendiri secara tepat, aman dan rasional (Menteri Kesehatan Republik Indonesia,
1990).

Obat yang dapat diserahkan tanpa resep dokter harus memenuhi kriteria
(Menteri Kesehatan Republik Indonesia, 1993):

1. Tidak di kontra indikasikan pada wanita hamil, anak dibawah usia 2


tahun, dan orang tua diatas 65 tahun.

2. Pengobatan sendiri dengan obat dimaksud tidak memberikan risiko akan


kelanjutan penyakit.

3. Penggunaan tidak memerlukan cara dan atau alat khusus yang harus
dilakukan oleh tenaga kesehatan.

4. Penggunaannya diperlukan untuk penyakit yang prevalensinya tinggi di


Indonesia.

5. Obat dimaksud memiliki rasio khasiat keamanan yang dapat di


pertanggungjawabkan untuk pengobatan sendiri.

Dalam melayani pasien yang memerlukan OWA, Apoteker di apotek


diwajibkan untuk (Menteri Kesehatan Republik Indonesia, 1993b) :

1. Memenuhi ketentuan dan batasan tiap jenis obat per pasien yang
disebutkan dalam OWA yang bersangkutan.

2. Membuat catatan pasien serta obat yang telah diserahkan.

3. Memberikan informasi, meliputi dosis dan aturan pakainya, kontra


indikasi, efek samping dan lain-lain yang perlu diperhatikan oleh
pasien.

20
2.10 Obat Generik

Obat generik adalah obat dengan nama resmi Internasional Non


Proprietary Name (INN) yang ditetapkan dalam Farmakope Indonesia atau buku
standar lainnya untuk zat berkhasiat yang dikandungnya (Menteri Kesehatan
Republik Indonesia, 2010).

21
BAB III

PEMBAHASAN

3.1 Waktu dan Tempat

Praktek Kerja Lapangan (PKL) dilaksanakan selama kurang lebih satu


bulan yaitu pada tanggal 10 Agustus -10 September 2020 di Apotek Alifia
Bojonegoro. Pelakasanaan PKL setiap hari Senin - Jum’at dengan shift yang
di bagi menjadi 2 shift. Shift pagi dimulai pukul 07.00 WIB – 14.00 WIB.
Sedangkan shift siang dimulai pada pukul 14.00 WIB – 21.00 WIB.

3.2 Pelaksanaan Pkl

Apotek adalah suatu tempat tertentu dimana dilakukan pekerjaan kefarmasian


yaitu penyauran obat, alat kesehatan dan perbelakalan farmasi yang dibutuhkan
masyarakat serta membantu pemerintah dalam pengawasan dan pengendalian obat
yang beredar di masyarakat.
Kegiatan yang dilakukan selama mengikuti praktek meliputi berbagai
pembelajaran mengenai pengelolaan apotek, pelayanan obat kepada pasien,
pemberian KIE kepada pasien dan perbekalan kesehatan lainnya. Salah satu
kendala tersebut adalah kurangnya pengetahuan mengenai nama-nama obat
beserta letak penyimpanannya. Karena setiap pasien menginginkan pelayanan
yang cepat sehingga setiap pekerja dituntut untuk dapat bekerja dengan cepat dan
tepat. Pada awalnya mengalami kesulitan untuk mengikuti arus bekerja secara
cepat karena belum terbiasa dengan nama-nama obat beserta tata letak masing-
masing obat. Namun dengan berjalanya waktu kesulitan itu dapat teratasi setelah
beberapa hari peserta melakukan PKL. Selama menjalankan PKL di Apotek
Alifia di peroleh gambaran bahwa apotek merupakan suatu tempat dimana
dilakukannya pekerjaan kefarmasian dan mula awal sebagai perbekalan farmasi
yang dipimpin oleh AA, dimana didalamnya terdapat struktur yang kompleks
yang saling berhubungan. Pengadaan barang di Apotek Alifia dilakukan dengan
mempertimbangkan dari segi ekonomis, jenis barang dan pemasaran.

22
Sistem pengadaan barang berdasarkan dari stok obat yang tinggal sedikit atau
sudah kosong dan kemudian di catat di dalam buku defekta. Sistem pemesanan
obat dilihat dari buku defekta kemudian di tulis di dalam surat pesanan (SP) dan
selanjutnya dikirim ke PBF. Buku defecta adalah buku yang digunakan untuk
mencatat barang atau obat yang harus dipesan untuk memenuhi kebutuhan
ketersediaan barang atau obat, buku defacta memuat tentang stok barang/obat
yang sudah kosong dan barang yang tinggal beberapa stok persediaannya.
Pengadaan barang di Apotek Alifia dapat melakukan pemesanan sendiri, yaitu
pemesanan secara langsung melalui via Watshap atau sales masing-masing PBF dan SP
akan menyusul setelah barang datang. Sales yang mengantarkan barang sesuai
dengan surat pesanan dengan membawa faktur ke Apotek Alifia, Penerimaan
barang dilakukan oleh pagawai Apotek atau asisten apoteker dengan memeriksa
kualitas dan kuantitas barang, tanggal kadaluwarsa, nomor batch dan bila barang
yang diterima jumlahnya tidak sesuai dengan pesanan, maka harus segera
dikonfirmasi dengan distributor yang bersangkutan, kemudian mengecek faktur
yang diberikan oleh sales PBF. Faktur adalah sebuah perincian pengiriman barang
yang mencatat daftar barang, harga, dan hal-hal lain yang biasanya terkait dengan
pembayaran. Setelah barang diterima lalu disimpan sesuai dengan prosedur
penyimpanan.
Penataan obat di Apotek Alifia yaitu berdasarkan Abjad, sediaan, golongan,
dan kandungan obat. Hal ini dilakukan untuk mempermudah pengambilan serta
pengecekan obat. Pembayaran di Apotek Alifia dilakukan secara tunai. Pencatatan
uang di apotek Alifia dilakukan setiap pergantian sift, penjualan barang/obat
setiap hari di tulis di buku besar/buku penjualan terhadap semua barang atau obat
yang terjual. Pelayanan yang diberikan oleh Apotek Alifia dengan melakukan
pelayanan disaat penjualan yang diberikan secara langsung dengan keramahan
dalam menyambut pembeli atau pasien, pemberian KIE kepada pasien juga biasa
dilakukan bersamaan dengan penyerahan obat kepada pasien yaitu dengan
berbagai informasi dan cara penggunaan obat tersebut. Konsultasi obat yang
sering dilakukan kepada pasien meliputi cara pemakaian obat, aturan pakai obat,
indikasi obat, frekuensi penggunaan obat, serta informasi lainnya yang
mendukung pelayanan kefarmasian tersebut. Sistem pengaturan obat di apotek

23
alifia yaitu Sistem pengaturan obat di etalase berdasarkan sistem FIFO yaitu
barang yang pertama masuk dijual terlebih dahulu dan FEFO yaitu barang yang
perkiraan terlebih dahulu waktu kadaluarsanya. Obat-obat yang memerlukan
kondisi penyimpanan pada suhu yang dingin disimpan dalam kulkas, misalnya:
suppositoria agar terjaga stabilitasnya. Penyimpanan pesediaan barang/obat di
Apotek Alifia diperuntukan bagi obat yang pergerakannya cepat (fast moving)
yaitu obat dan bahan obat yang paling banyak dan cepat terjual serta sering
digunakan. Untuk Obat Generik disusun secara alphabetis. Obat Bebas, Obat
Paten, Obat non Narkotik dan Obat lain yang tidak memerlukan kondisi
penyimpanan tertentu, disusun secara alphabetis, juga dibedakan berdasarkan
bentuk sediaannya, kandungan dan jenis penyakit yang disusun di rak obat.
Pemberian KIE obat yang diberikan kepada pasien di Apotek Alifia antara lain :
obat terbatas, obat bebas terbatas, obat wajib apotik (OWA), jamu atau obat-
obatan herbal.
Pelaksanaan Praktek Kerja Lapangan di Apotek telah memberikan ilmu
pengetahuan dan pengalaman terhadap mahasiswa khususnya dalam pelayanan
obat kepada pasien, selain itu juga melatih mahasiswa tentang bagaimana
melayani pasien dengan baik dan juga memberikan KIE obat kepada pasien yang
baik dan dimengerti. Dengan pelaksanaan Praktek Kerja Lapangan di apotek ini
dapat mempersiapkan para calon farmasis di tengah masyarakat dalam
menghadapi dunia kerja sehingga mereka siap melaksanakan tugas dan tanggung
jawabnya yang baik.

24
BAB IV

PENUTUP

3.1. Kesimpulan
1. Pengelompokan/penataan obat merupakan hal yang penting dan harus
dilakukan agar efektifitas dan efisiensi. Pengelompokan/penataan obat
di Apotek Alifia disusun berdasarkan alphabet, kandungan obat,
bentuk sediaan dan diagnosa penyakit.
2. Proses pengelolaan di Apotek Alifia bidang kefarmasian meliputi
perencanaan kebutuhan obat, penyimpanan obat, pendistribusian obat,
serta pelayanan informasi obat.
3. pemberian KIE di Apotek Alifia biasa dilakukan bersamaan dengan
penyerahan obat kepada pasien, dan didampingi oleh Asisten
Apoteker.
1.2. Saran
Saran yang dapat diberikan berdasarkan Praktik Kerja Lapangan
(PKL) di Apotek Alifia yaitu Perlu sekat rak antar abjadt nama obat
tempat penyimpanan obat yang lebih baik lagi agar lebih cepat dan lebih
mempermudah lagi dalam pengambilan obat, dan menyediakan tempat
tunggu yang lebih nyaman dan memadai kepada pasien/pembeli di apotek.

25
DAFTAR PUSTAKA

Azwar, Azrul. (1996). Menjaga Mutu Pelayanan Kesehatan.


Jakarta: Sinar Harapan.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. (2006). Pedoman
Penggunaan Obat Bebas dan Obat Bebas Terbatas.
Jakarta.
Menteri Kersehatan Republik Indonesia. (2002). Keputusan
Menteri
KesehatanRepublikIndonesiaNomor1332/MENKES/SK/X
/2002 Tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri
Kesehatan RI Nomor. 922/MENKES/ PER/X/1993
Tentang Ketentuan dan Tata Cara Pemberian Izin Apotik.
Jakarta.
Menteri Kersehatan Republik Indonesia. (2004). Keputusan
Menteri
KesehatanRepublikIndonesiaNomor1027/MENKES/SK/I
X/2004TentangStandarPelayananKefarmasian di Apotek.
Jakarta.
Menteri Kersehatan Republik Indonesia. (1990). Keputusan
Menteri KesehatanNomor 347/MENKES/SK/VII/1990
Tentang Obat Wajib Apotik. Jakarta.
Menteri Kesehatan Republik Indonesia. (2016). Peraturan Menteri
KesehatanRepublik Indonesia Nomor 35 Tahun 2016
Tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Kesehatan
Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Standar Pelayanan
Kefarmasian Di Apotek. Jakarta.
Menteri Kesehatan Republik Indonesia. (2017). Peraturan Menteri
Kesehatan Republik Indonesia Nomor 9 tahun 2017
Tentang Apotek. Jakarta.
Menteri Kesehatan Republik Indonesia. (2015). Peraturan Menteri
Kesehatan Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2015
Tentang Peredaran, Penyimpanan, Pemusnahan, Dan

26
Pelaporan Narkotika, Psikotropika, Dan Prekursor
Farmasi. Jakarta.

27
LAMPIRAN

Lampiran 1 rak penyimpanan obat di etalase

Lampiran 2 rak penyimpanan obat di etalase Lampiran 3 penulisan obat terjual

Lampiran 4 penulisan di buku stok Lampiran 5 pengecekan obat dating

28
Lampiran 6 Penulisan obat masuk Lampiran 7 Penulisan pemesanan obat

Lampiran 8 pemberian KIE kepada pembeli Lamp. 9 menulis masuk di bok stok

29

Anda mungkin juga menyukai