Anda di halaman 1dari 33

Fakultas Kedokteran

Universitas Muslim Indonesia Makassar, 11 Mei 2020


Blok Tumbuh Kembang dan Geriatri

LAPORAN PBL
MODUL 3
“JATUH”

Tutor :
dr. Andi Sitti Fahirah Arsal

DISUSUN OLEH:
KELOMPOK 04
HAERUL IKHSAN HAERMIANSYAH 11020150047
M. FARIZAN ATJO 11020160032
MOUDYANA LUKMAN 11020160077
MUHAMMAD AL-QIDHAM ALQIFARI M. 11020160087
JUMARTI IKA WULANDARI MZ 11020160093
A. ZIHNI AMALIA 11020160139
MASITHA 11020170002
RAHMI UTAMI 11020170024
WIDYA ISLAMIYAH TAHIR 11020170036
YEYEN ANUGRAH HARMIN 11020170037

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
2020
SKENARIO 2
Anamnesis : Seorang laki-laki umur 80 tahun dibawa ke RS dengan keluhan jatuh
terduduk akibat tidak sengaja berjalan di lantai basah yang baru saja habis di pel
di rumahnya. Keadaan ini baru saja terjadi sekitar 3 jam yang lalu. Setelah jatuh,
penderita langsung tidak dapat berdiri lagi karena ke 2 tungkainya lumpuh tetapi
kalau dicubit masih terasa sakit. 5 hari terakhir sebelum jatuh, penderita terdengar
batuk-batuk disertai lendir agak kental, kadang sesak napas, tetapi tidak demam
dan sulit sekali mengeluarkan lendir. Nafsu makan juga sangat menurun sejak 2
minggu terakhir. Buang air besar setelah jatuh belum pernah dan buang air kecil
tidak lancar. Riwayat penyakit kencing manis sejak 12 tahun dengan minum obat
Glimepirid 2 mg secara teratur, dan tekanan darah tinggi dengan obat Captopril 25
mg secara teratur disertai penyakit rematik. Penderita juga pernah mengalami
stroke 4 tahun lalu sehingga badan sebelah kanan agak lemah dibanding sebelah
kiri.
Pemeriksaan fisik : TD : 160/80 mmHg (HT GRADE 2), N: 88 x/menit, P: 30
x/menit, S: 36,7o C. Konjungtiva tampak anemis, sklera tidak ikterus. Pemeriksaan
Auskultasi Paru : terdengar bunyi ronkhi basah kasar di seluruh lapangan ke dua
paru. Jantung dalam batas normal. Pemeriksaan abdomen hepar & limpa tak
teraba, teraba massa pada daerah supra pubik, konsistensi kenyal, tidak nyeri
tekan. Kedua tungkai tidak dapat digerakkan, tampak tofus pada persendian MTP
1 kanan dan kiri. BB 40 kg & TB 169 cm.
Pemeriksaan penunjang : Pem. Lab didapatkan kadar Hb 10,1 gr%, Leukosit
13.700/mm3 GD puasa 128 mg/dl, GD2jamPP 269 mg/dl, ureum 60 mg/dL,
kreatinin 1,5 mg/dL, protein total 5,6 gr/dL, albumin 2,6 gr/dL, asam urat 9,5
mg/dL. Elektrolit natrium 129 mmoL/L, kalium 3,5 mmoL/L, klorida 91
mmoL/L. Pemeriksaan toraks foto : tampak perselubungan homogen pada medial
kedua lapangan paru.

KATA SULIT : -
KATA KUNCI :
- Laki laki 80 thn
- Jatuh terduduk
- Baru saja jatuh 3 jam yang lalu
- Penderita tidak dapat berdiri karena kedua tungkai lumpuh
- Ketika dicubit masih sakit
- 5 hari terakhir sebelum jatuh penderita batuk-batuk dengan lendir agak
kental
- Kadang sesak nafas tetapi tidak demam dan sulit mengeluarkan lendir
- Nafsu makan pasien menurun sejak 2 minggu terakhir
- Belum pernah BAB setelah jatuh dan BAK tidak lancar
- Riw. Penyakit kencing manis sejak 12 tahun dengan minum obat
Glimepirid 2mg secara teratur
- TD tinggi dengan obat captopril 25mg secara teratur
- Penyakit rematik
- Stroke 4 tahun lalu, badan sebelah kanan agak lemah dibanding kiri
-

INTERPRETASI BERDASARKAN SKENARIO


Pemeriksaan Fisik :
- Tekanan darah 160/80 mmHg  Hipertensi Grade 2 (Menurut JNC 7)
- Nadi 88 x/menit  Normal (60-100 x/menit)
- Pernapasan 30 x/menit  Takipneu, (normal :16-24x/menit)
- Suhu : 36.7 o C  Normal
- Berat Badan : 40 kg
- Tinggi Badan : 169 cm
- IMT : BB/TB2 = 40/(1.69)2 = 14,00  Underweight
- Paru : Bunyi ronki basah kasar diseluruh lapangan kedua
paru
- Abdomen : Hepar dan limpa tidak teraba, massa daerah
suprapubic konsistensi kenyal namun tidak nyeri
- Ekstremitas : Tampak tofus di persendian MTP I kanan dan kiri

Pemeriksaan laboratorium :
- Hb : 10,1 g%  menurun (Normal : 12-14 g% )
- WBC : 13.700/mm3  meningkat (Normal : 4.500-10.000)
- GDP : 128 mg/dl  meningkat (DM jika > 126 mg/dl)
- GD2PP : 269 mg/dl  meningkat (DM jika > 200 mg/dl)
- Protein total : 5,6 gr/dL  menurun (Normal : 6-8 gr/dl)
- Albumin : 2,6 gr/dL menurun (Normal : 3,5-5 gr/dl)
- Asam urat : 9,5 mg/dL  meningkat (Normal : 3-7 mg/dl)
- Ureum : 60 mg/dL meningkat (Normal : 10-50 mg/dl)
- Kreatinin : 1,5 mg/dL meningkat (Normal : 0,6-0,9 mg/dl)

DAFTAR MASALAH
1. Fraktur
2. Peneumonia
3. Benign Prostat Hiperplasi (BPH)
4. Diabetes Melitus tipe II
5. Hipertensi Grade II
6. Stroke
7. Gout
8. Malnutrisi
9. Anemia
10. Imbalance Elektrolit

PERTANYAAN :
1. Jelaskan faktor resiko yang dapat menyebabkan jatuh pada skenario !
2. Apakah hubungan riwayat penyakit dengan jatuh pada skenario ?
3. Mengapa kedua tungkai tidak dapat digerakkan namun masih terasa sakit
ketika dicubit ?
4. Apa komplikasi yang dapat terjadi pada skenario ?
5. Bagaimana skala prioritas berdasarkan skenario, tata laksanan, serta
pencegahan?
6. Bagaimana perspektif islam berdasarkan scenario?

JAWABAN PERTANYAAN :
1. Jelaskan faktor resiko yang dapat menyebabkan jatuh pada skenario
Untuk dapat memahami faktor resiko jatuh, maka harus dimengerti bahwa
stabilitas badan ditentukan atau dibentuk oleh :
A. SISTEM SENSORIK
Yang berperan di dalamnya adalah : visus ( penglihatan ), pendengaran,
fungsi vestibuler, dan proprioseptif. Semua gangguan atau perubahan pada
mata akan menimbulkan gangguan penglihatan. Semua penyakit telinga
akan menimbulkan gangguan pendengaran. Vertigo tipe perifer sering
terjadi pada lansia yang diduga karena adanya perubahan fungsi vertibuler
akibat proses menua. Neuropati perifer dan penyakit degenaritf leher akan
mengganggu fungsi proprioseptif. Gangguan sensorik tersebut
menyebabkan hampir sepertiga penderita lansia mengalami sensasi
abnormal pada saat dilakukan uji klinik.
1) SISTEM SARAF PUSAT ( SSP )
SSP akan memberikan respon motorik untuk mengantisipasi input
sensorik. Penyakit SSP seperti stroke, Parkinson, hidrosefalus tekanan
normal sering diderita oleh lansia dan menyebabkan gangguan gungsi SSP
sehingga berespon tidak baik terhadap input sensorik.
2) KOGNITIF
Pada beberapa penelitian, dementia diasosiasikan dengan meningkatnya
resiko jatuh.
3) MUSCULOSKELETAL
Faktor ini disebutkan oleh beberapa oleh beberapa peneliti merupakan
faktor yang benar – benar murni milik lansia yang berperan besar terhadap
terjadinya jatuh. Gangguan musculoskeletal menyebabkan gangguan gaya
berjalan ( gait ) dan ini berhubungan dengan proses menua yang fisiologis.
Gangguan gait yang terjadi akibat proses menua tersebut antara lain
disebabkan oleh :
 Kekakuan jarungan penghubung
 Berkurangnya masa otot
 Perlambatan massa otot
 Perlambatan konduksi saraf
 Penurunan visus / lapangan pandang
 Kerusakan proprioseptif

Yang kesemuanya menyebabkan :


 Penurunan range of motio ( ROM ) sendi
 Penurunan kekuatan otot, terutama menyebabkan kelemahan
ekstremias bawah
 Perpanjangan waktu reaksi
 Kerusakan persepsi dalam
 Peningkatan postural sway ( goyangan badan )

Semua perubahan tersebut mengakibatkan kelambanan gerak, langkah


pendek, penurunan irama, dan pelebaran bantuan basal. Kaki tidak dapat
menapak dengan kuat dan lebih cenderung gampang gouah. Perlambatan
reaksi mengakibatkan seorang lansia susah / terlambat mengantisipasi bila
terjadi gangguan seperti terpeleset, tersandung, kejadian tiba – tiba,
sehingga memudahkan jatuh.
Secara singkat faktor risiko jatuh pada lansia dibagi dalam dua golongan besar,
yaitu :
a. Faktor – faktor intrinik ( faktor dari dalam )
 Kondisi fisik dan neuropsikiatrik
 Penurunan visus dan pendengaran
 Perubahan neuro muskuler, gaya berjalan, dan refleks postural
karena proses menua
b. Faktor – faktor ekstrinsik ( faktor dari luar )
 Obat – obatan yang diminum
 Alat – alat bantu berjalan
 Lingkungan yang tidak mendukung ( berbahaya )

2. Apakah hubungan riwayat penyakit dengan jatuh pada skenario


 Hipertensi
Hipertensi pada lansia disebabkan oleh perubahan struktur pembuluh
darah akibat proses penuaan. Hipertensi yang tidak terkontrol akan menyebabkan
penurunan aliran darah ke otak sehingga terjadi hipoperfusi kronis. Hipoperfusi
kronis yang berlangsung lama akan menyebabkan iskemia dan membentuk lesi
pada substansia alba yang dapat terdeteksi oleh Magnetic Resosnance Imaging
(MRI). Substansia alba merupakan regio otak yang berperan dalam transmisi
potensial aksi dari sistem saraf pusat menuju perifer. Kerusakan pada area
substansia alba akan menyebabkan penurunan kontrol keseimbangan postural
pada lansia. Ketidakseimbangan postural pada lansia dapat menyebabkan
tingginya risiko jatuh dan tingginya angka mortaliltas serta morbiditas pada
kelompok tersebut. Lansia yang jatuh menunjukkan penurunan yang signifikan
dalam kekuatan otot yang dinamis di sekitar lutut dan sendi pergelangan kaki
dibandingkan dengan orang dewasa yang lebih tua tanpa riwayat jatuh. Gaya
berjalan, ketidakseimbangan postural, dan kelemahan otot telah diidentifikasikan
sebagai penyebab kedua untuk jatuh pada lansia.

Lansia dengan hipertensi mengalami penurunan kontrol keseimbangan dan


disertai dengan gejala pusing. Hal tersebut merupakan efek sistemik dari
hipertensi yang berasal dari kerusakan arteri dan sirkulasi mikro pada pusat
postural keseimbangan dalam sistem saraf pusat (SSP) yaitu otak kecil dan
cochleo-vestibular system. Kontrol tekanan darah, semakin menurun seiring
dengan meningkatnya usia seseorang. Penurunan tersebut diakibatkan oleh
menurunnya sensitivitas barorefleks, aliran darah otak, dan konservasi natrium
ginjal yang mengancam regulasi tekanan darah normal dan perfusi serebral.
 Malnutrisi

Status gizi yang kurang dapat ditandai dengan penurunan massa otot yang
merupakan penyebab langsung menurunnya kekuatan otot. Perubahan massa otot
terjadi karena gangguan pada sintesis dan degradasi protein, yang pada usia lanjut
proses ini diperngaruhi oleh wasting yaitu proses pemecahan protein sel
(hiperkatabolisme) untuk memenuhi kebutuhan asam amino bagi sintesis protein
dan metabolisme energi pada kondisi asupan kalori yang tidak adekuat dan
kondisi sakit, serta sarkopenia yakni penurunan massa otot dan kekuatan otot yang
berjalan paralel pada usia lanjut yang sehat. Defisiensi vitamin D merupakan salah
satu kekurangan gizi mikro. Hal tersebut dikarenakan vitamin D berperan dalam
pembentukkan massa dan kekuatan otot, dengan cara mempengaruhi metabolisme
sel otot melalui mediasi transkripsi gen, melalui jalur cepat yang tidak melibatkan
sintesis DNA, dan melalui varian alel reseptor vitamin D. Beberapa penelitian
menunjukkan bahwa vitamin D berperan dalam meningkatkan kekuatan otot,
fungsi otot, koordinasi neuromuskular, dan vitalitas secara umum sehingga
kecenderungan untuk jatuh karna ketidakseimbangan postural menurun.
Komponen muskuloskeletal yang berperan dalam keseimbangan postural
juga dipengaruhi oleh massa tulang. Massa tulang yang rendah dapat terjadi
karena kegagalan tulang untuk mencapai massa yang normal selama
perkembangannnya atau karna kehilangan massa tulang yang berlebihan. Faktor
faktor seperti kurangnya latihan fisik, asupan vitamin D dan kalsium yang buruk,
kebiasaan konsumsi alkohol dan rokok yang berlebihan, memberikan pengaruh
yang merugikan bagi massa mineral tulang. Lingkup gerak dan sendi menurun
dengan bertambahnya usia. Penurunan lingkup gerak dan sendi tersebut akan
mempengaruhi kemampuan seseorang untuk melaksanakan aktivitas.
Melemahkan kekuatan otot akibat inaktivitas, tidak digunakannya otot, dan
deconditioning dapat berperan pada terjadinya gangguan cara berjalan serta
kemampuan memperbaiki posisi setelah kehilangan keseimbangan.
 Diabetes Mellitus Tipe 2
Diabetes melitus menyebabkan komplikasi semakin lama durasi seseorang
mengidap DM maka meningkatkan terjadinya berbagai macam komplikasi baik
mikrovaskuler maupun makrovaskuler sehingga dapat menyebabkan terjadinya
penurunan pada sistem keseimbangan tubuh. Menurut Montana Chronic Disease
Prevention & Health Promotion Bureau fluktuasi atau penurunan glukosa darah
menempatkan seseorang dengan diabetes pada risiko untuk jatuh. Komplikasi
diabetes seperti neuropati ekstremitas bawah, penglihatan yang buruk, maupun
postural hipotensi juga meningkatkan risiko untuk jatuh. Demikian juga faktor-
faktor lain, termasuk obat-obatan diabetes, kekuatan dan keseimbangan tubuh,
bertambahnya usia, dan lingkungan tempat tinggal berperan terjadinya jatuh.
Penderita diabetes mengalami defisiensi insulin yang menghambat transfer
glukosa ke sel dalam jaringan tubuh yang menyebabkan sel kelaparan dan terjadi
peningkatan glukosa dalam darah. Hal ini menimbulkan hambatan dalam perfusi
ke jaringan otot yang akan mengakibatkan jaringan otot kurang mendapatkan
suplai oksigen dan nutrisi yang menyebabkan sel kekurangan bahan untuk
metabolisme, sehingga energi yang dihasilkan berkurang yang berdampak pada
timbulnya kelemahan dan lebih lanjut dapat mengakibatkan atrofi otot.
Kelemahan otot menimbulkan gangguan pada keseimbangan tubuh statis maupun
dinamis. Gangguan tersebut akan menyebabkan tubuh goyah dan labil sehingga
meningkatkan risiko jatuh dan fraktur.
Perubahan paling awal pada sistem visual yang terdeteksi akibat
diabetes terjadi di retina yaitu menyebabkan retinopati diabetes yang merupakan
hasil dari kerusakan pada pembuluh darah kecil dan neuron retina. Ini
menyebabkan saluran darah yang baru tumbuh diatas permukaan retina yang
disebut “neovascularization”. Saluran darah ini mudah pecah dan berdarah.Ini
menyebabkan pendarahan bagian belakang mata dan penglihatan yang kabur dan
gangguan refraksi cahaya sehingga informasi yang dikirim ke otak terganggu,
mengakibatkan gangguan untuk mempertahankan keseimbangan tubuh.
Hiperlikemia pada penderita diabetes juga mengakibatkan gangguan pada
sistem vestibular. Pada telinga bagian dalam terdapat organ labirin berfungsi
untuk menjaga keseimbangan, mendeteksi perubahan posisi, dan gerakan kepala.
Di dalam aparatus vestibularis mengandung endolimfa dan perilimfa juga
mengandung sel rambut yang dapat mengalami depolarisasi dan hiperpolarisasi
tergantung arah gerakan cairan.
Aparatus vestibularis berfungsi sebagai sistem keseimbangan yang terdiri
dari tiga buah canalis semisirkularis, dan organ otolit yaitu sacculus dan
utriculus. Pada pasien diabetes mengalami produksi berlebihan extracellular
matrix (ECM) pada jaringan penghubung antara utriculus dan sacculus.dan terjadi
metabolic stress. Akumulasi ECM yang berlebihan menyebabkan gangguan difusi
oksigen, nutrisi, dan sisa metabolisme. Sistem vestibular bersama-sama dengan
mata dan propioseptif membantu dalam mempertahankan keseimbangan fisik
tubuh atau ekuilibrium. Gangguan pada sistem vestibular dapat mengarah pada
pusing dan vertigo yang dapat mengganggu keseimbangan.
Neuropati diabetes memberi dampak pada sistem saraf menyebabkan
perlambatan hantaran saraf dan berkurangnya sensitivitas. Ini mengakibatkan
terjadinya mati rasa, kesemutan dan nyeri pada kaki, dan meningkatkan risiko
kerusakan pada kulit akibat hilangnya sensasi dan mengarah pada gangguan
sensorik termasuk kinestetik dan proprioseptif. Neuropati diabetes salah satu yang
menyebabkan kehilangan sensasi kinestetik dan proprioseptif yang memiliki
peranan penting dalam persepsi dan stabilitas. Akibatnya menyebabkan terjadinya
gangguan persepsi dan stabilitas tubuh mempertahankan posisi.
Diabetes merupakan faktor risiko utama untuk jatuh dipengaruhi oleh
penggunaan obat-obatan dalam jangka panjang, pola jalan yang buruk, dan
penurunan fungsi kognitif berhubungan antara diabetes dan jatuh.
 Stroke
Stroke adalah cedera vaskular akut pada otak dimana serangan terjadi secara
mendadak dan berat pada pembuluh-pembuluh darah otak yang mengakibatkan
kematian jaringan otak secara permanen. Stroke menimbulkan berbagai macam
problematika, diantaranya: (1) gangguan sensomotorik, (2) gangguan
kognitif/memori, (3) gangguan psikiatrik atau emosional. Salah satu problematik
yang paling mendasar pada pasien pasca stroke adalah adanya gangguan
sensomotorik. Gangguan sensomotorik pasca stroke mengakibatkan gangguan
keseimbangan termasuk kelemahan otot, penurunan fleksibilitas jaringan lunak,
serta gangguan kontrol motorik dan sensorik. Fungsi yang hilang akibat gangguan
kontrol motorik pada pasien pasca stroke mengakibatkan hilangnya koordinasi,
hilangnya kemampuan merasakan keseimbangan tubuh dan postur (kemampuan
untuk mempertahankan posisi tertentu).
Gangguan keseimbangan berdiri pada pasien pasca stroke berhubungan
dengan ketidakmampuan untuk mengatur perpindahan berat badan dan
kemampuan gerak otot yang menurun sehingga keseimbangan tubuh menurun.
Dengan adanya problematik tersebut menyebabkan pasien pasca stroke
mengalami gangguan dalam melakukan aktifitas fungsional. Pada pasien pasca
stroke adanya gangguan keseimbangan akan mengakibatkan mereka sulit dalam
melakukan aktivitas fisik.
 Gout

Gout atritis merupakan produk akhir dari metabolisme purin. Asam urat yang
beredar di dalam tubuh manusia akan diproduksi sendiri oleh tubuh. Gout adalah
bentuk umum dari atritis yang ditandai oleh deposisi monosodium urat MSU.
Monosodium urat MSU merupakan penumpukan kristal kedalam cairan sinovial.
Kekakuan dan sakit terus-menerus menyerang bagian sendi, kebanyakan pasien
dapat diobati dengan rutin menggunakan obat oral, namun serangan akut berulang
dapat terjadi karena kristal MSU telah berada di dalam sendi dan bisa
mengakibatkan kerusakan artikular.
Gout (pirai) merupakan kelompok penyakit heterogen sebagai akibat
deposisi kristal monosodium urat pada jaringan, akibat gangguan metabolism
berupa hiperurisemia. Manifestasi klinik deposisi urat meliputi artritis gout,
akumulasi kristal di jaringan yang merusak tulang (tofus), batu urat, dan nefropati
gout.

Tahapan gout ada 4 fase yaitu:


a. Tanpa gejala
Pada tahap ini terjadi kelebihan asam urat tetapi tidak menimbulkan gejala
klinik. Penderitan hiperurisemia ini harus di upayakan untuk menurunkan
kelebihan urat tersebut dengan mengubah pola makan atau gaya hidup.
b. Gout akut
Pada tahap ini gejalanya muncul tiba– tiba dan biasanya menyerang satu
atau beberapa persendian. Sakit yang di rasakan penderita sering di mulai
di malam hari, dan rasanya berdenyut-denyut atau nyeri seperti di tusuk
jarum. Persendian yang terserang meradang, merah, terasa panas dan
bengkak. Rasa sakit pada persendian tersebut mungkin dapat berkurang
dalam beberapa hari, tapi bisa muncul kembali pada interval yang tidak
menentu. Serangan susulan biasanya berlangsung lebih lama, pada
beberapa penderita berlanjut menjadi artritis gout yang kronis, sedang di
lain pihak banyak pula yang tidak akan mengalaminya lagi.
c. Interkritikal
Pada tahap ini penderita mengalami serangan asam urat yang berulang–
ulang tapi waktunya tidak menentu.
d. Kronis.
Pada tahap ini masa kristal asam urat (tofi) menumpuk di berbagai wilayah
jaringan lunak tubuh penderitanya. Penumpukan asam urat yang berakibat
peradangan sendi tersebut bisa juga di cetuskan oleh cidera ringan akibat
memakai sepatu yang tidak sesuai ukuran kaki, selain terlalu banyak
makan yang mengandung senyawa purin (misal jeroan), konsumsi alkohol,
tekanan batin (stress), karena infeksi atau efek samping penggunaan obat–
obat tertentu (diuretik).
 Pneumonia
Pneumonia merupakan salah satu infeksi yang sering ditemukan pada usia
lanjut. Terdapat lebih dari sejuta kasus pneumonia yang memerlukan perawatan di
Amerika Serikat, 600.000 kasus di antaranya pada pasien di atas 65 tahun.
Pneumonia pada usia lanjut berkaitan dengan meningkatnya morbiditas,
mortalitas, dan terganggunya status fungsional.
Usia lanjut mengalami berbagai perubahan fisiologis terkait proses
penuaan. Berbagai faktor menjadi penyebab meningkatnya kejadian pneumonia
pada usia lanjut, di antaranya perubahan sistem imun, baik sistem imun alami
maupun adaptif. Terjadi gangguan barier mekanik, aktivitas fagositik, imunitas
humoral dan sel T, serta penurunan fungsi sel natural killer, makrofag, dan
neutrofil. Hal ini juga diperberat dengan kondisi multipatologi yang sering
dialami seorang usia lanjut.
Pneumonia pada usia lanjut seringkali tidak menunjukkan gejala yang
jelas. Beberapa penelitian menunjukkan tidak selalu ditemukan demam ataupun
gejala pernapasan pada populasi ini. Penelitian terhadap pasien pneumonia
komunitas berusia 80 tahun ke atas tidak menemukan keluhan batuk sebagai
keluhan pasien saat masuk perawatan, sedangkan demam tidak didapatkan pada
32% pasien. Pada beberapa penelitian mendapatkan perubahan status mental
sebagai keluhan utama pada 26% pasien. Selain perubahan status mental atau
perilaku, usia lanjut bisa datang dengan keluhan jatuh, gangguan status
fungsional, penurunan kesadaran, kelemahan umum, anoreksia, dehidrasi atau
inkontinensia.

3. Mengapa kedua tungkai tidak dapat digerakkan namun masih terasa


sakit ketika dicubit?
Trauma medulla spinalis adalah suatu kerusakan fungsi neurologis yang
disebabkan seringkali oleh kecelakaan atau trauma. Apabila cedera itu mengenai
daerah L1-2 dan/atau di bawahnya maka dapat mengakibatkan hilangnya fungsi
motorik dan sensorik serta kehilangan fungsi defekasi dan berkemih. Trauma
medulla spinalis diklasifikasikan sebagai komplet : kehilangan sensasi dan fungsi
motorik volunter total, dan tidak komplet : campuran kehilangan sensasi dan
fungsi motorik volunteer.
Pada penampang transversal medulla spinalis, dapat dijumpai bagian
sentral yang berwarna lebih gelap (abu-abu) yang dikenal dengan istilah gray
matter. Gray matter adalah suatu area yang berbentuk seperti kupu-kupu atau
huruf H. Area ini mengandung badan sel neuron beserta percabangan dendritnya.
Di area ini terdapat banyak serat-serat saraf yang tidak berselubung myelin serta
banyak mengandung kapiler-kapiler darah. Hal inilah yang mengakibatkan area
ini berwarna menjadi lebih gelap.

Gray matter dapat dibagi kedalam 10 lamina atau 4 bagian, yaitu :


1. kornu anterior/dorsalis, yang mengandung serat saraf motorik, terdiri atas
lamina VIII, IX, dan bagian dari lamina VII.
2. Kornu posterior/ventralis, yang membawa serat serat saraf sensorik, terdiri atas
lamina I-IV.
Efek trauma terhadap tulang belakang bisa bisa berupa fraktur- dislokasi,
fraktur, dan dislokasi. Frekuensi relatif ketiga jenis tersebut adalah 3:1:1. Fraktur
tidak mempunyai tempat predileksi, tetapi dislokasi cenderung terjadi pada
tempat-tempat antara bagian yang sangat mobil dan bagian yang terfiksasi, seperti
vertebra C1-2, C5-6 dan T11-12. Dislokasi bisa ringan dan bersifat sementara atau
berat dan menetap. Tanpa kerusakan yang nyata pada tulang belakang, efek
traumatiknya bisa mengakibatkan lesi yang nyata di medulla spinalis.
Setiap segmen medula spinalis memiliki empat radix, sebuah radix ventralis dan
sebuah radix posterior pada sisi kiri dan sepasang di sisi kanan. Radix saraf ini
keluar dari kolumna vertebralis melalui foramina intervetebralis.
Pada spina servikalis, radix keluar melewati bagian atas kolumna
vertebralis, sedangkan pada segmen bawah T1 radix keluar melewati bagian
bawah korpus vertebralis. Radix ventralis berfungsi sebagai traktus motoris yang

keluar dari medula spinalis, sedangkan radix posterior bersifat sensoris terhadap
struktur superfisial dan profunda tubuh. Efek trauma yang tidak dapat langsung
bersangkutan dengan fraktur dan dislokasi, tetapi dapat menimbulkan lesi pada
medulla spinalis dikenal sebagai trauma tak langsung. Tergolong dalam trauma
tak langsung ini ialah whiplash (lecutan), jatuh terduduk atau dengan badan
berdiri, atau terlempar oleh gaya eksplosi bom.
Jadi berdasarkan skenario gejala klinis yang ditemukan Setelah jatuh,
penderita langsung tidak dapat berdiri lagi karena ke 2 tungkainya lumpuh tetapi
kalau dicubit masih terasa sakit.kemungkinan terjadinya lesi di medula spinalis
pars lumbar incomplete atau terjadinya lesi di radix ventralis.

4. Jelaskan komplikasi yang dapat terjadi berdasarkan skenario


Jatuh pada geriatri dapat menimbulkan beberapa komplikasi diantaranya:
1. Perlukaan (injury)
- Rusaknya jaringan lunak yang terasa sangat sakit berupa robek atau
tertariknya jaringan otot, robeknya arteri/vena
- Patah tulang (fraktur)
o Pelvis
o Femur
o Humerus
o Lengan bawah
o Tungkai bawah
o Kista
- Hematom subdural
2. Perawatan Rumah Sakit
- Komplikasi akibat tidak dapat bergerak (imobilisasi)
- Resiko penyakit – penyakit iatrogenic
3. Disabilitas
- Penurunan mobilitas yang berhubungan dengan perlukaan fisik
- Penurunan mobilitas akibat jatuh, kehilangan kepercayaan diri dan
pembatasan gerak
4. Resiko untuk dimasukkan dalam rumah perawatan ( nursing home)
5. Suddenly death

5. SKALA PRIORITAS
1. Fraktur
Fraktuk Kompresi Vertebrae
- Diagnosis
 Pemeriksaan radiologi (X-Ray) AP atau PA dan lateral
 CT-scan dilakukan apababila pemeriksaan radiografi tidak
mencapai kebutuhan diagnosis
 Pemeriksaan Laboratorium : Alkalin fosfat, Kalsium serum dan
fosfor serum.
 Pemeriksaan Lainnya :
1. Pemeriksaan mikroorganisme kultur dan tes sensitivitas:
dilakukan pada kondisi fraktur dengan komplikasi, pada kondisi
infeksi, maka biasanya didapatkan mikrooganisme penyebab
infeksi
2. Biopsi tulang dan otot: pada intinya pemeriksaan ini sama
dengan pemeriksaan di atas, tetapi lebih diindikasikan bila terjadi
infeksi
3. Elektromiografi: terdapat kerusakan konduksi saraf yang
diakibatkan fraktur
4. Artroskopi: didapatkan jaringan ikat yang rusak atau sobek
karena trauma yang berlebihan
5. Indium Imaging: pada pemeriksaan ini didapatkan adanya
infeksi pada tulang
6. MRI: menggambarkan semua kerusakan akibat fraktur
- Terapi
Terapi operatif hampir selalu dilakukan pada penderita fraktur baik
orang dewasa muda maupun pada orangtua karena
1) Perlu reduksi yang akurat dan stabil
2) Diperlukan mobilisasi yang cepat pada orang tua untuk mencegah
komplikasi
3) Tindakan operatif dilakukan pemasangan prosthesis moore

- Pencegahan dan Edukasi :


1) perawatan lantai yakni pembersihan dari ganggang yang menyebabkan
licin, serta terkena material yang licin seperti sabun ditambah material
yang licin yakni terpeleset bibir kloset keramik saat menumpukan kaki
untuk membersihkan kaki.
2) Teras memerlukan desain penutup atap yang dapat mencegah tampias
serta mengurangi kemungkinan terjadinya kebocoran. Teras juga sering
menjadi area transisi aktivitas yang mungkin berkenaan dengan air seperti
menyiram tanaman dan menjemur sehingga desain lantai teras perlu sebisa
mung- kin mengurangi kemungkinan air menggenang.

3) Penyediaan pegangan yang aman juga berpotensi mencegah kasus jatuh


pada kondisi berbahaya menjadi hanya hampir jatuh. Pertimbangan desain
yang sesuai dengan kebutuhan sehari-hari lansia dapat mengurangi ke-
mungkinan lansia menambahkan objek tidak permanen yang tidak
direncanakan dengan baik dan dapat menjadi pengganggu di area jalan.
2. Diabetes Melitus tipe II
Pasien pada skenario dapat dikatakan menderita DM tipe 2 tidak
terkontrol, karena pada skenario dikatakan pasien mengkonsumsi
glibenclamid 5mg secara teratur tapi pada hasil pemeriksaan GDP dan
GD2PP, hasilnya menunjukkan bahwa pasien mengalami hiperglikemi.
Untuk penanganan awal kita dapat melakukan koreksi dosis obat yang
diberikan sebelumnya kemudian jika tidak ada perubahan bias kita ganti
obatnya. Selain itu beberapa cara penanganan awal untuk pasien diabetes
melitus :
 lifestyle modification :
 Pengaturan makan
 Latihan
 Penyuluhan
 memberikan hyperglikemik lowering agents
1. Glinid : repaglinid dan nateglinid
2. Biguanid : metformin
3. -glucosidase inhibitor : acarbose
4. Thiazolidinedione : pioglitazone
5. Dpp - 4 inhib : vildagliptin, sitagliptin, saxagliptin
 Insulin
- Edukasi dan Pencegahan
 memberikan penjelasan mengania DM dan komplikasi yang akan
terjadi sampai kepada apa yang mesti dilakukan dan apa yang
tidak boleh dilakukan oleh penderita dan keluarganya. Pada
edukasi perlu dibuat komitmen antara dokter, penderita dan
keluarganya mengenai tujuan akhir terapi yang diberikan, bukan
hanya sekedar mengontrol gula darah tetapi juga mencegah
komplikasi dengan mengeliminir semua faktor resiko
atherosclerosis yang dimiliki oleh penderita dan sekaligus
menerapi komorbid yang ada.
 DM pada lanjut usia tidak akan berhasil bila tidak melakukan
langkah beriuktnya setelah diet, olahraga dan obat, yaitu
melakukan edukasi, evaluasi dan rehabilitasi pada penderita.

3. Hipertensi Grade II
- Diagnosis : Keadaan umum, tanda vital, EKG, USG, funduskopi
- Terapi
 Step 1: Obat pilihan pertama : diuretika, beta
blocker, Ca antagonis, ACE inhibitor
 Step 2: Alternatif yang bisa diberikan :Dosis obat
pertama dinaikkan. Diganti jenis lain dari obat
pilihan pertama.Ditambah obat ke –2 jenis lain,
dapat berupa diuretika , betablocker,Ca-
antagonis,Alpa-blocker, clonidin, reserphin,
vasodilator
 Step 3 : Alternatif yang bisa ditempuh obat ke-2
diganti dengan obat ke-3 jenis lain
 Step 4 : Alternatif pemberian obat ditambah obat
ke-3 dan ke-4. Re-evaluasi dan konsultasi follow up
untuk mempertahankan terapi jangka panjang
memerlukan interaksi dan komunikasi yang baik
antara pasien dan petugas kesehatan ( perawat,
dokter ) dengan cara pemberian pendidikan
kesehatan.
 Terapi tanpa Obat
Terapi tanpa obat digunakan sebagai tindakan
untuk hipertensi ringan dan sebagai tindakan
suportif pada hipertensi sedang dan berat. Terapi
tanpa obat ini meliputi :
- Diet
Diet yang dianjurkan untuk penderita hipertensi
adalah
Restriksi garam secara moderat dari 10 gr/hr
menjadi 5 gr/hr
Diet rendah kolesterol dan rendah asam lemak
jenuh
- Penurunan berat badan
- Penurunan asupan etanol
- Menghentikan merokok
- Latihan Fisik

4. Pneumonia
- Assesment : Etiologi : kuman banal, kuman TB, jamur
- Diagnosis : cek sputum, BTA 3X, kultur sputum

- Terapi :
 perbaiki keadaan umum dan tanda vital
 injeksi ceftriaxone 2gr/24 jam intra vena
 pemberian antibiotic
- Edukasi dan Pencegahan
 Menjelaskan kepada pasien dan keluarga pasien mengenai keadaan
pasien tentang pembatasan aktivitas kegiatan sehari-harinya supaya
keluarga membantu bila pasien tidak dapat melakukan aktivitasnya
secara mandiri
 Menjelaskan kepada pasien dan keluarga pasien agar pasien tidak
terlalu banyak melakukan aktivitas yang dapat meningkatkan beban
kerja jantung
 Menjelaskan kepada pasien dan keluarga pasien untuk merubah
posisi tidur miring ke kanan dan kiri setiap 2 jam sekali untuk
mengurangi risiko terjadinya luka di punggung

5. Stroke
- Diagnosis
Untuk membedakan jenis stroke iskemik dengan stroke perdarahan
dilakukan pemeriksaan radiologi CT-Scan kepala. Pada stroke hemoragik
akan terlihat adanya gambaran hiperdens, sedangkan pada stroke iskemik
akan terlihat adanya gambaran hipoden.
- Terapi
Stabilitas pasien dengan tindakan ABC (Airway, breathing, Circulation) -
Pertimbangkan intubasi bila kesadaran stupor atau koma atau gagal napas
19 - Pasang jalur infus intravena dengan larutan salin normal 0,9 %
dengan kecepatan 20 ml/jam, jangan memakai cairan hipotonis seperti
dekstrosa 5 % dalam air dan salin 0, 45 %, karena dapat memperhebat
edema otak - Berikan oksigen 2-4 liter/menit melalui kanul hidung -
Jangan memberikan makanan atau minuman lewat mulut - Buat rekaman
elektrokardiogram (EKG) dan lakukan foto rontgen toraks - Ambil sampel
untuk pemeriksaan darah: pemeriksaan darah perifer lengkap dan
trombosit, kimia darah (glukosa, elektrolit, ureum, dan kreatinin), masa
protrombin, dan masa tromboplastin parsial - Jika ada indikasi, lakukan
tes-tes berikut: kadar alkohol, fungsi hati, gas darah arteri, dan skrining
toksikologi - Tegakkan diagnosis berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan
fisik - CT Scan atau resonansi magnetik bila alat tersedia
- Edukasi dan Pencegahan
 Untuk itu perlu dilakukan upaya mengurangi terjadinya stroke
dengan mengkonsumsi gizi yang seimbang seperti: perbanyak
makan sayur, buah-buahan segar, protein rendah lemak dan kaya
serat yang sangat bermanfaat untuk pembuluh darah
 lakukan olahraga teratur, dengan berolahraga teratur dapat
mengontrol berat badan serta mengurangi resiko terjadinya
stroke

6. Benign Prostat Hiperplasi (BPH)


- Diagnosis
a. Pemeriksaan Fisik
b. Pemeriksaan Laboratorium Sedimen urine diperiksa untuk mencari
kemungkinan adanya proses infeksi atau inflamasi pada saluran kemih.
c. Pencitraan Foto polos
d. Pemeriksaan IVP

- Terapi
Penatalaksanaan Terapi spesifik berupa observasi pada penderita gejala
ringan hingga operasi pada penderita dengan gejala berat.
 Watchful waiting Penderita dengan BPH yang simptomatis tidak
selalu mengalami progresi keluhan, beberapa mengalami
perbaikan spontan. Watchful waiting merupakan
penatalaksanaan terbaik untuk penderita BPH dengan nilai IPSS
0-7.
 Medikamentosa Tujuan terapi medikamentosa adalah berusaha
untuk mengurangi resistensi otot polos prostat sebagai komponen
dinamik penyebab obstruksi infravesika dengan obat-obatan
penghambat adrenergic alfa (adrenergic alfa blocker) dan
mengurangi volume prostat sebagai komponen statik dengan cara
menurunkan kadar hormone testosterone/dihidrotestosteron
(DHT) melalui penghambat 5αreduktase. Selain kedua cara
diatas, sekarang banyak dipakai terapi menggunakan fitofarmaka
yang mekanisme kerjanya masih belum jelas.
 Tindakan operatif dilakukan apabila BPH dengan komplikasi
(retensi urin yang menetap atau berulang, inkontinensia
overflow, ISK berulang, adanya batu buli atau divertikel, dilatasi
saluran kemih bagian atas akibat obstruksi dengan atau tanpa
insufisiensi ginjal), BPH yang gagal dengan terapi
medikamentosa atau BPH dengan skor IPSS berat.

- Edukasi dan pencegahan


 Menghindari konsumsi obat-obatan yang dapat menimbulkan
retensi urin, seperti anti-histamin dan dekongestan, kecuali atas anjuran
dokter. Pasien harus selalu memberitahukan adanya riwayat benign
prostatic hyperplasia sebelum dokter memberikan obat tertentu.
 Mengurangi konsumsi cairan, terutama beberapa jam sebelum
tidur.
 Mengurangi konsumsi minuman yang dapat memicu diuresis
seperti kafein dan alkohol.
 Membiasakan diri untuk miksi ganda, yaitu menunggu beberapa
saat setelah berkemih dan mencoba mulai berkemih kembali.
 Menghindari kebiasaan mengejan saat miksi.
 Pasien dengan benign prostatic hyperplasia sering menggunakan
obat herbal, akan tetapi obat-obat tersebut sering kali tidak menunjukkan
manfaat dan tidak disarankan

7. Anemia
Pada anemia defisiensi besi, dosis biasa adalah pengganti ferrous
sulfat, 325 mg (65 mg elemental zat besi) per hari, atau ferrous glukonat,
325 mg (38 mg elemental zat besi) per hari. Dosis rendah terapi besi,
dengan 15 mg besi elemental per hari sebagai ferrous glukonate cair, efektif
mengoreksi hemoglobin dan konsentrasi feritin dengan sedikit efek samping
gastrointestinal dibandingkan dosis tinggi besi. Pengobatan biasanya
berlangsung selama enam bulan untuk memenuhi persediaan besi. Bagi
orang-orang yang gagal untuk merespon terapi zat besi oral, pengobatan
parenteral dengan besi dekstran atau sukrosa besi. Dosis tinggi terapi oral
(cyanocobalamin, 1 sampai 2 mg per hari) untuk mengobati kekurangan
vitamin B12 efektif dan ditoleransi dengan baik. Anemia defisiensi folat
harus diterapi dengan asam folat, 1 mg per hari. Pengobatan yang efektif
anemia gizi ditandai oleh retikulositosis dalam waktu satu minggu, diikuti
dengan peningkatan lebih bertahap di tingkat hemoglobin.
Pengobatan anemia penyakit kronis, anemia penyakit ginjal kronis,
dan anemia yang tidak diketahui penyebabnya akan lebih sulit. Pengobatan
awal dan lebih disukai adalah Pengelolaan yang optimal dari penyakit
kronis akan meminimalkan peradangan dan mengurangi penekanan sumsum
tulang. Kebanyakan anemi pada orang tua yang ringan dan tidak
memerlukan intervensi lebih lanjut. Ketika anemia berat (kadar hemoglobin
kurang dari 10 g per dL [100 g per L]), gejala yang mengetahui pengobatan
tambahan sering berkembang. Dua pilihan untuk mengobati anemia berat
adalah transfusi darah dan Erythropoiesis-stimulating agents, yang keduanya
memiliki keterbatasan yang signifikan. Transfusi darah memberikan
bantuan langsung dari gejala umum, termasuk dispnea, kelelahan,
dan pusing. Risiko transfusi meliputi volume overload, kelebihan zat besi,
infeksi, dan reaksi akutuntuk memperbaiki gangguan yang mendasarinya. 

8. Imbalance Elektrolit
Terapi Cairan Penatalaksanaan terapi cairan meliputi dua bagian dasar
yaitu ;
 Resusitasi cairan
Ditujukan untuk menggantikan kehilangan akut cairan tubuh, sehingga
seringkali dapat menyebabkan syok.
 Terapi rumatan
Bertujuan untuk memelihara keseimbangan cairan tub uh dan nutrisi
yang diperlukan oleh tubuh
 Mengganti kehilangan air dan elektrolit yang normal melaui
urine, IWL, dan feses
 Membuat agar hemodinamik agar tetap dalam keadaan stabil
 Pada penggantian cairan, maka jenis cairan yang digunakan
didasarkan pada : ~ Cairan pemeliharaan ( jumlah cairan yang
dibutuhkan selama 24 jam )
~ Cairan defisit ( jumlah kekurangan cairan yang terjadi )
 Terapi cairan Rumatan Kristaloid Koloid Elektrolit Nutrisi
Resusitas
~ Caitran pengganti ( replacement )
~ Sekuestrasi ( cairan third space )
~ Pengganti darah yang hilang
~ Pengganti cairan yang hilang melalui fistel, maag slang dan
drainase Untuk mengganti cairan tubuh yang hilang dapat
dilakukan penghitungan untuk menghitung berapa besarnya
cairan yang hilang tersebut : Refraktometer
~Defisit cairan : BD plasma – 1,025 x BB x 4 ml Ket. BD
plasma = 0,001 Dari serum Na+
~air yang hilang : 0,6 Berat Badan x BB (Plasma Natrium – 1 )
Ket. Plasma Na = 140

9. Rheumatoid Arthritis
- Diagnosis
Berikut adalah kriteria ARA (American Rheumatism Association) yang
direvisi tahun 1987 yang masih dapat digunakan dalam mendiagnosis RA:
1. Kaku pagi hari pada sendi dan sekitarnya, sekurang-kurangnya selama 1
jam sebelum perbaikan maksimal.
2. Pembengkakan jaringan lunak atau persendian (arthritis) pada 3 daerah
sendi atau lebih secara bersamaan.
3. Artritis pada persendian tangan sekurang-kurangnya terjadi satu
pembengkakan persendian tangan yaitu PIP (proximal interphalangeal),
MCP (metacarpophalangeal), atau pergelangan tangan.
4. Artritis simetris, keterlibatan sendi yang sama pada kedua belah sisi
misalnya PIP (proximal interphalangeal), MCP (metacarpophalangeal),
atau MTP (metatarsophalangeal).
5. Nodul rheumatoid, yaitu nodul subkutan pada penonjolan tulang atau
permukaan ekstensor atau daerah juksta artikuler.
6. Rheumatoid Factor serum positif
7. Perubahan gambaran radiologis yang khas pada RA pada sendi tangan
atau pergelangan tangan yaitu erosi atau dekalsifikasi tulang pada sendi
yang terlibat.

- Terapi
1. NSAID (Nonsteroidal Anti-Inflammatory Drug) Diberikan sejak awal
untuk menangani nyeri sendi akibat inflamasi. NSAID yang dapat
diberikan atara lain: aspirin, ibuprofen, naproksen, piroksikam, dikofenak,
dan sebagainya. Namun NSAID tidak melindungi kerusakan tulang rawan
sendi dan tulang dari proses destruksi.
2. DMARD (Disease-Modifying Antirheumatic Drug) Digunakan untuk
melindungi sendi (tulang dan kartilago) dari proses destruksi oleh
Rheumatoid Arthritis. Contoh obat DMARD yaitu: hidroksiklorokuin,
metotreksat, sulfasalazine, garam emas, penisilamin, dan asatioprin.
DMARD dapat diberikan tunggal maupun kombinasi (Putra dkk,2013).
3. Kortikosteroid Diberikan kortikosteroid dosis rendah setara prednison
5-7,5mg/hari sebagai “bridge” terapi untuk mengurangi keluhan pasien
sambil menunggu efek DMARDs yang baru muncul setelah 4-16 minggu.
4. Pembedahan Jika segala pengobatan di atas tidak memberikan hasil
yang diharapkan, maka dapat dipertimbangkan pembedahan yang bersifat
ortopedi, contohnya sinovektomi, arthrodesis, total hip replacement, dan
sebagainya.

- Edukasi dan Pencegahan


 Membiasakan berjemur di bawah sinar matahari pagi untuk
mengurangi risiko peradangan oleh RA.
 Melakukan peregangan setiap pagi untuk memperkuat otot
sendi. Gerakan-gerakan yang dapat dilakukan antara lain,
jongkok-bangun, menarik kaki ke belakang pantat, ataupun
gerakan untuk melatih otot lainnya. Bila mungkin, aerobik juga
dapat dilakukan atau senam taichi.
 Menjaga berat badan.
 Mengonsumsi makanan kaya kalsium seperti almond, kacang
polong, jeruk, bayam, buncis, sarden, yoghurt, dan susu skim.
Selain itu vitamin A,C, D, E juga sebagai antioksidan yang
mampu mencegah inflamasi akibat radikal bebas.
 Memenuhi kebutuhan air tubuh. Cairan synovial atau cairan
pelumas pada sendi juga terdiri dari air.

10. Malnutrisi
- Diet Garam Rendah:
Membantu menghilangkan retensi garam atau air dalam jaringan tubuh dan
menurunkan tekanan darah pada pasien hipertensi
Bahan Makanan yang dianjurkan adalah sebagai berikut:
a. Sumber Karbohidrat: beras, kentang, singkong, terigu, tapioca, hunkwe,
gula
b. Sumber protein hewani: Daging dan ikan maksimal 100 g sehari
c. Sumber protein nabati: Semua kacang-kacangan dan hasilnya yang
diolah dan dimasak tanpa garam dapur.
d. Sayuran: Semua sayuran segar
e. Buah-buahan: buah-buahan segar
f. Lemak: Minyak goreng, margarin, dan mentega tanpa garam.
g. Minuman: teh, kopi

- Diet Penyakit Diabetes Melitus


Membantu pasien memperbaiki kebiasaan makan dan olahraga untuk
mendapatkan control metabolic yang baik
Bahan makanan yang dianjurkan untuk diet Diabetes Melitus adalah sebagai
berikut:
a. Sumber karbohidrat kompleks, seperti nasi, roti, mi, kentang, singkong,
ubi, dan sagu
b. Sumber protein rendah lemak, seperti ikan, ayam tanpa kulit, susu skim,
tempe, tahu, dan kacang-kacangan
c. Sumber lemak dalam batas jumlah terbatas yaitu bentuk makanan yang
mudah dicerna. Makanan terutama diolah dengan cara dipanggang,
dikukus, direbus dan dibakar.
- Diet Rematik
Mencapai dan mempertahankan status gizi optimal serta menurunkan kadar
asam urat dalam darah dan urin.
Pengelompokan Bahan makanan menurut kadar purin dan anjuran makan
a. Kelompok 1: Kandungan Purin tinggi (100-1000 mg purin/100 g bahan
makanan) sebaiknya dihindari. Otak, hati, jantung, ginjal, jeroan, ekstrak
daging/kaldu, bebek, ikan sardine, makarel, remis, kerang.
b. Kelompok 2: Kandungan purin sedang yaitu daging sapi dan ikan, ayam,
udang, kacang kering, dan hasil olah
c. Kelompok 3: Kandungan purin rendah yaitu nasi, ubi, singkong, jagung,
roti, mie, bihun, tepung beras, kue kering, pudding, susu, keju, telur,
lemak dan minyak, gula, sayuran dan buah-buahan

- Pencegahan dan Edukasi


1. Menjelaskan kepada pasien bahwa penyakitnya disebabkan oleh
proses degenerativepada pembuluh darah sehingga menyebabkan
peningkatan tekanan darah
2. Menjelaskan kepada pasien diperlukan pemeriksaan lebih lanjut
berupa pemeriksaan laboratorium untuk kadar gula darah, lemak dan
kolesterol, serta asam urat untuk mengetahui adakah kemungkinan
faktor risiko lain yang menyebabkan penyakit jantung yang diderita.
3. Menyarankan pada pasien untuk mengurangi aktivitas / pekerjaan
jika nyeri bertambah berat dan memperbanyak istirahat.
4. Menjelaskan pada pasien untuk mengurangi konsumsi makanan yang
asin dan mengandung MSG (penyedap rasa).
5. Edukasi untuk rutin kontrol ke dokter dan minum obat antihipertensi
secara teratur.
6. Edukasi Psikologis: Pemberian edukasi psikologis untuk penderita
hipertensi meliputi :
- Tehnik Biofeedback
Biofeedback adalah suatu tehnik yang dipakai untuk
menunjukkan pada subyek tanda-tanda mengenai keadaan tubuh
yang secara sadar oleh subyek dianggap tidak normal. Penerapan
biofeedback terutama dipakai untuk mengatasi gangguan somatik
seperti nyeri kepala dan migrain, juga untuk gangguan psikologis
seperti kecemasan dan ketegangan.
- Tehnik relaksasi
Relaksasi adalah suatu prosedur atau tehnik yang bertujuan
untuk mengurangi ketegangan atau kecemasan, dengan cara
melatih penderita untuk dapat belajar membuat otot-otot dalam
tubuh menjadi rileks
- Pendidikan Kesehatan ( Penyuluhan )
Tujuan pendidikan kesehatan yaitu untuk meningkatkan
pengetahuan pasien tentang penyakit hipertensi dan
pengelolaannya sehingga pasien dapat mempertahankan hidupnya
dan mencegah komplikasi lebih lanjut.

7. Apa perspektif islam sesuai skenario?

QS. Al-Isra : 23-24


‫ا‬U‫ ُدهُ َمٓا أَ ۡو ِكاَل هُ َم‬U‫ َر أَ َح‬Uَ‫دَكَ ۡٱل ِكب‬U‫ك أَاَّل ت َۡعبُد ُٓو ْا إِٓاَّل إِيَّاهُ َوبِ ۡٱل ٰ َولِد َۡي ِن إِ ۡح ٰ َسنً ۚا إِ َّما يَ ۡبلُغ ََّن ِعن‬
َ ُّ‫ض ٰى َرب‬ َ َ‫۞ َوق‬
‫ ِة‬U‫ذ ِّل ِمنَ ٱلر َّۡح َم‬Uُّ U‫ا َح ٱل‬UUَ‫ض لَهُ َما َجن‬ ۡ ِ‫ٱخف‬ ۡ ‫ َو‬٢٣  ‫ف َواَل ت َۡنهَ ۡرهُ َما َوقُل لَّهُ َما قَ ۡواٗل َك ِر ٗيما‬ ّ ٖ ُ‫فَاَل تَقُل لَّهُ َمٓا أ‬
َ ‫َوقُل رَّبِّ ۡٱر َحمۡ هُ َما َك َما َربَّيَانِي‬
ٗ ‫ص ِغ‬
٢٤  ‫يرا‬
Artinya:
“Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia
dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika
salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam
pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya
perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada
mereka perkataan yang mulia.Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua
dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah: "Wahai Tuhanku, kasihilah mereka
keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil".

DAFTAR PUSTAKA

1. Kejadian Jatuh Pada Usia Lanjut. 2017. Universitas Sumatra Utara:


Fakultas Kedokteran
2. Pramita, Indah. 2017. Pengaruh Latihan Stabilisasi Postural Terhadap
Keseimbangan Statis Dan Dinamis Pada Pasien Pasca Stroke. Jurnal
Kesehatan Terpadu Universitas Udhayana. Bali
3. Andani, Febrian. 2016. Hubungan Tingkat Pengetahuan Tentang Pola
Makan Terhadap Sikap Pencegahan Kekambuhan Artritis Gout Di
Posyandu Lansia Bagas Waras Kartasura. Fakultas Ilmu Kesehatan
Universitas Muhammadiyah Surakarta.
4. Kaparang K, Penyakit Kaum Bangsawan, Jakarta, PT Etika Media
Utama, 2007.
5. Firestein GS, Budd RC, Harris ED, Rudy S, Sergen JS. (eds) Kelley’s
Textbook of Rheumatology, 8th ed. W.B Saunders, Philadelphia. 2009.
6. Guyton, Arthur, C. Hall, John, E. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi
9. Jakarta : EGC; 1997.
7. Adams RD, Victor M, Ropper AH. Disease of Spinal Cord in Principles
of Neurology, 7th ed. McGraw-Hill, New York, 2001.
8. Martono, Hadi.2016. Buku Ajar Boedhi Darmojo Geriatri (Ilmu
Kesehatan Usia Lanjut).Edisis 5.Hal 184. Jakarta: Badan Penerbit FKUI
9. Satyanegara. 2010. Ilmu Bedah Saraf Edisi IV. Jakarta: Gramedia. Hal.
402-403
10. Buku Ajar Boedhi-Darmojo geriatric, Edisi 5. Badan penerbit
Fakultas Kedoteran universitas Indonesia, Jakarta. hal 529-530
11. Faqih, Daeng M dkk. 2013. Panduan Klinis Bagi Dokter Di Fasilitas
Pelayanan Kesehatan Primer Edisi I. Jakarta: IDI. Hal. 251-252. 475-
479.
12. Buku Ajar Boedhi-Darmojo geriatric, Edisi 5. Badan penerbit fakultas
kedoteran universitas Indonesia, Jakarta. hal 548-549
13. Vaughan, Asbury.2013. General Opthalmologi Edisi 17.Jakarta:
Penerbit Fakultas Kedoteran Universitas Indonesia. Hal 157
14. Boedhi-Darmojo. 2010. Buku ajar Geriatri (ilmu kesehatan usia
lanjut).Edisi 4. Jakarta : Balai penerbit FK UI. hal 185-189
15. Risiko Jatuh di Teras dan Kamar Mandi Rumah Lansia, Studi Kasus:
Yogyakarta. Stefani Natalia Sabatini. 2016
16. Konsensus Perhimpunan Hipertensi Indonesia 2009 : Penatalaksanaan
hipertensi pada keadaan khusus: Hipertensi pada usia lanjut,
Perhimpunan Hipertensi Indonesia (Ina SH), Jakarta, 2009
17. Adnan HM. Diagnosis arthritis rheumatoid dan perbandingannya
arthritisarthritis lain. Kongres Nasional I, Ikatan Reumatologi
Indonesia, Semarang
18. Penuntun Diet. Instalasi Gizi Perjan RS. Dr. Cipto Mangunkusumo dan
Asosiasi Dietisien Indonesia. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
19. Martono, H.Hadi, Pranarka Kris. Geriatri ilmu kesehatan usia lanjut
Edisi 5, Jakarta : Balai penerbit FKUI, 2014. Hal 180-181
20. Shen S, He T, Chu J, Jin H, Chen X. Uncontrolled hypertension and
orthostatic hypotension in relation to standing balance in elderly
hypertensive patients. Dovepress. 2015; (10):897–906.
21. Modir R, Gardener H, Wright CB. Blood Pressure and White Matter
Hyperintensity Volume - A Review of the Relationship and
Implications for Stroke Prediction and Prevention. Eur Neurol Rev
[Internet]. 2012[diakses tanggal 6 Mei 2020]; 7(3):174.
22. Acar S, Demirbüken İ, Algun C, Malkoc M, Tekin N. Is Hypertension
A Risk Factor For Poor Balance Control In Elderly Adults. J Phys Ther
Sci. 2015; 27(1):901–4.
23. Noohu MM, Dey AB, Hussain ME. Relevance of balance measurement
tools and balance training for fall prevention in older adults. J Clin
Gerontol Geriatr [Internet]. Elsevier Taiwan LLC; 2014[diakses tanggal
6 Mei 2020]; 5(2):31–5.
24. Setiati S, Laksmi P. Gangguan Keseimbangan, Jatuh, dan Fraktur.
Dalam: Sudoyo A, Setiyohadi B, editors. Ilmu Penyakit Dalam. Edisi
ke-5. Jakarta: Internal Publishing; 2009. hlm. 812.
25. Abrahamová D, Hlavacka F. Age-related changes of human balance
during quiet stance. Physiol Res. 2008; 57(6):957–64.
26. Fatmah. Gizi Usia Lanjut. Jakarta: Erlangga; 2010.
27. Mauk, K.L. (2010) Gerontological nursing competencies for care (2nd
ed). Sudbury: Janes and Barlett Publisher.
28. D’Silva L.J, James Lin, HinrichStaecker, Susan L. Whitney, Patricia M.
Kluding. (2016) Impactof Diabetic Complications on Balance and
Falls: Contribution of the Vestibular System. Phys Ther.;96:400–409.
29. Roman de Mettelinge T, Cambier D, Calders P, Van Den Noortgate N,
et al (2013). Understanding the Relationship between Type 2 Diabetes
Mellitus and Falls in Older Adults: A Prospective Cohort Study.
Journal of pone PLoS ONE 8(6):e67055. doi:10.1371.

Anda mungkin juga menyukai