Anda di halaman 1dari 42

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA


BLOK TUMBUH KEMBANG & GERIATRI Makassar, 28 April 2021

LAPORAN TUTORIAL MODUL 2


“MALNUTRISI ENERGI PROTEIN”
SKENARIO 1

Dosen Pembimbing : Dr. dr. Sri Wahyu, M.Kes.


Disusun Oleh :
Kelompok 4A
Zulfianti Tamsil 11020180001
Nidaul Khairy Nurfan 11020180017
Nur Azizah 11020180021
Nia Anggreni 11020180031
Nurul Ismijrianti 11020180042
Rahmatul Atika Jamal 11020180047
Safira Nurfabirra Dwiyanti 11020180062
Agung Muhajir 11020180068
Safira Ananda Marendengi 11020180077
Tasya Fitri Ramadanti 11020180089

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
MAKASSAR

1
2021

SKENARIO 1

Seorang bayi perempuan, umur 5 bulan, dibawa ibunya ke Puskesmas dengan


keluhan berak encer dengan frekuensi > 3 kali sehari bercampur darah sejak 1
bulan yang lalu. Riwayat pemberian makan: ASI diberikan sampai usia 3 bulan,
selanjutnya diberi susu formula sampai sekarang. Riwayat kelahiran: BBL 2900 g,
PBL 47 cm, LK 34 cm. Pada pemeriksaan fisik didapatkan: BB 3200 g, PB 50
cm, LK 37 cm. Anak tampak pucat. Tampak adanya wasting dan baggy pants.
Daerah sekitar anus tampak berwarna kemerahan. Derajat Dehidrasi tampak mata
cekung, mukosa kering, turgor kulit kembali lambat dan anak tampak haus. Kadar
Hb 7 g/dl. Status imunisasi Hep B0, Polio1 dan BCG.

KATA/KALIMAT SULIT

1. Wasting : suatu keadaan kekurangan gizi akut yang banyak terdapat di


daerah social ekonomi rendah yang disebabkan oleh asupan nutrisi
inadekuat dan penyakit
2. Baggy pants : kulit pada pantat terlihat kering dan keriput

KATA/KALIMAT KUNCI

1. Bayi perempuan umur 5 bulan

2. Keluhan berak encer dengan frekuensi > 3 kali sehari bercampur darah
sejak 1 bulan yang lalu

3. ASI diberikan sampai usia 3 bulan, selanjutnya diberi susu formula sampai
sekarang

4. Riwayat kelahiran: BBL 2900 g, PBL 47 cm, LK 34 cm

5. Pemeriksaan fisik didapatkan: BB 3200 g, PB 50 cm, LK 37 cm

6. Anak tampak pucat

2
7. Adanya wasting dan baggy pants

8. Daerah sekitar anus tampak berwarna kemerahan

9. Derajat Dehidrasi tampak mata cekung, mukosa kering, turgor kulit


kembali lambat dan anak tampak haus

10. Kadar Hb 7 g/dl. Status imunisasi Hep B0, Polio1 dan BCG.

PERTANYAAN

1. Bagaimana interpretasi hasil pemeriksaan berdasarkan skenario?


2. Jelaskan definisi dari malnutrisi energi protein!
3. Apa etiologi dari keluhan berak encer berdasarkan skenario?
4. Bagaimana hubungan tidak di berikannya asi eksklusif terhadap malnutrisi
pada bayi sesuai skenario?
5. Bagaimana status imunisasi sesuai skenario?
6. Bagaimana langkah diagnosis dan tatalaksana sesuai skenario?
7. Apa diagnosis banding berdasarkan skenario?
8. Bagaimana komplikasi dan edukasi yang sesuai dengan skenario?
9. Apa perspektif islam berdasarkan skenario?

PEMBAHASAN

1. Interpretasi Hasil Pemeriksaan Berdasarkan Skenario


A. Pertumbuhan

3
a. BB 3,2 Kg (gizi kurang)

Gambar 1. Grafik BB Perempuan

b. PB 50 cm (sangat pendek)

Gambar 2. Grafik PB Perempuan


c. LK 37 cm (mikrosefali)

Gambar 3. Grafik LK Perempuan


B. Derajat dehidrasi
Berdasarkan skenario derajat dehidrasi pada anak adalah dehidrasi derajat
sedang dengan tanda tampak mata cekung, mukosa kering, turgor kulit
kembali lambat dan anak tampak haus.

Ringan Sedang Berat


Kesadaran Baik, sadar Gelisah, rewel Lesu, tidak
umum sadar
Detak jantung Normal Normal/takikardi Takikardi
ringan
Pernapasan Normal Meningkat Meningkat
Tekanan darah Normal Normal Hipotensi
Mata cekung Normal Cekung Cekung
Mukosa Lembab Kering Sangat kering
Turgor kulit Kembali cepat Kembali sangat
lambat

4
Rasa haus Minum biasa, Haus, ingin Malas minum
tidak haus minum banyak atau tidak bisa
minum
Tabel 1. Derajat Dehidrasi

C. Kadar hemoglobin
Pada skenario dikatakan bahwa kadar hb pada anak adalah 7 g/dl
dimana hasil ini terbilang rendah karena kadar hb normal pada anak adalah
9,5-13 g/dl.

2. Malnutrisi Energi Protein


Malnutrisi adalah suatu keadaan di mana tubuh mengalami gangguan
terhadap absorbsi, pencernaan, dan penggunaan zat gizi untuk pertumbuhan,
perkembangan dan aktivitas.Malnutrisi merupakan kekurangan konsumsi
pangan secara relatif atau absolute untuk periode tertentu.
Malnutrisi adalah keadaan dimana tubuh tidak mendapat asupan gizi
yang cukup, malnutrisi dapat juga disebut keadaaan yang disebabkan oleh
ketidakseimbangan di antara pengambilan makanan dengan kebutuhan gizi
untuk mempertahankan kesehatan. Ini bisa terjadi karena asupan makan terlalu
sedikit ataupun pengambilan makanan yang tidak seimbang. Selain itu,
kekurangan gizi dalam tubuh juga berakibat terjadinya malabsorpsi makanan
atau kegagalan metabolik.
WHO dalam Medscape (2014) mendefinisikan malnutrisi sebagai
ketidakseimbangan seluler antara suplai nutrisi dan energi dan kebutuhan tubuh
untuk pertumbuhan, pertahanan, dan fungsi-fungsi spesifik lainnya. Malnutrisi
merupakan faktor resiko yang paling utama untuk penyakit dan kematian pada
anak, dengan menyebabkan lebih dari setengah kematian anak di dunia. Jenis
yang paling banyak menyebabkan penyakit, khususnya di negara berkembang,
adalah malnutrisi protein-energi (PEM).

KLASIFIKASI

5
Kurang Energi Protein (KEP)
Penyebab KEP dapat dibagi kepada dua penyebab yaitu malnutrisi primer
dan malnutrisi sekunder.KEP primer disebabkan oleh asupan protein dan / atau
kalori yang tidak adekuat atau ketika protein yang dicerna memiliki kualitas
yang buruk sehingga 1 atau lebih asam amino esensial menjadi faktor pembatas
dalam pemeliharaan metabolisme normal KEP sekunder disebabkan oleh
penyakit atau cedera. Penyakit akut dan cedera meningkatkan kebutuhan tubuh
untuk substrat protein dan energi dan merusak pencernaan, penyerapan, dan
penyerapan nutrisi ini dengan berbagai cara. Akibatnya, KEP sekunder
biasanya muncul dari berbagai faktor. Penyakit dan cedera juga umumnya
menginduksi anoreksia, sehingga faktor primer dan sekunder sering bertindak
bersama untuk menciptakan KEP dalam pengaturan penyakit.
Penyebab paling umum dari KEP sekunder adalah peningkatan hebat
dalam katabolisme protein dan pengeluaran energi yang terjadi sebagai akibat
dari respon inflamasi sistemik. Kekurangan gizi protein sekunder yang terjadi
dalam konteks penyakit yang mendasari sering hasil dari trias asupan energi
menurun, malabsorpsi, dan stresor katabolik. Hampir semua penyakit kronis
dan / atau kritis dapat mencetuskan malnutrisi energi protein, tetapi di antara
yang paling umum adalah kanker, HIV / AIDS, tuberkulosis, penyakit radang
usus, penyakit ginjal kronis, penyakit hati kronis, dan penyakit rematik. Pasien
dengan malnutrisi energi protein dimanifestasikan dengan penurunan berat
badan dan peningkatan metabolisme, disertai dengan berbagai derajat
pengecilan otot, penipisan simpanan lemak, berkurangnya kapasitas
kardiorespirasi, penipisan kulit, hipotermia, imunodefisiensi, dan apati. Tanda-
tanda yang paling jelas dari KEP sekunder meliputi: (1) menipisnya jaringan
lemak subkutan di lengan, dinding dada, bahu, atau daerah metacarpal; (2)
terbuang otot paha depan dan deltoideus; dan (3) edema pergelangan kaki atau
sakral.
Secara klinis, KEP dapat dibagikan kepada tiga tipe yaitu, kwashiorkor,
marasmus, dan marasmik-kwashiorkor. Marasmus terjadi karena pengambilan
energi yang tidak cukup sementara kwashiorkor terjadi terutamanya karena

6
pengambilan protein yang tidak cukup. Sementara tipe marasmik kwashiorkor
yaitu gabungan diantara gejala marasmus dan kwashiorkor
Klasifikasi KEP menurut WHO 1999

Klasifikasi
Malnutrisi Sedang Malnutrisi Berat
Edema Tanpa edema Dengan edema
BB/TB -3SD s/d -2 SD < -3 SD
TB/U -3SD s/d -2 SD < -3 SD
Tabel 2. Klasifikasi Malnutrisi

Secara klinis, KEP dapat dibagikan kepada tiga tipe yaitu, kwashiorkor,
marasmus, dan marasmik-kwashiorkor.
1. Marasmus (Atrofi infantile, kelemahan, insufisiensi nutrisi bayi
(athrepesia))
Marasmus terjadi karena pengambilan energi yang tidak cukup
2. Malnutrisi protein (Malnutrisi protein-kalori (PCM), kwashiorkor)
Kwashiorkor merupakan sindroma klinis akibat dari malnutri
protein berat (MEP berat) dan masukan kalori tidak cukup.
kwashiorkor terjadi terutamanya karena pengambilan protein yang
tidak cukup.
3. Marasmik-Kwashiorkor
Gambaran klinis merupakan campuran dari beberapa gejala klinik
kwashiorkor dan marasmus. Makanan sehari-hari tidak cukup
mengandung protein dan juga energi untuk pertumbuhan yang
normal. Pada penderita demikian disamping menurunnya berat
badan < 60% dari normal memperlihatkan tanda-tanda
kwashiorkor, seperti edema, kelainan rambut, kelainan kulit,
sedangkan kelainan biokimiawi terlihat pula

Dalam FAO (2011) disebutkan bahwa ada 2 tipe malnutrisi :

7
1. Protein Energy Malnutrition (PEM) = malnutrisi yang disebabkan
oleh defisiensi beberapa atau semua nutrient baik makronutrien
atau mikronutrien.
2. Micronutrient Deficiency Disease (MDD’S) = malnutrisi yang
terjadi sebagai hasil dari defisiensi mikronutrien spesifik (vitamin
atau mineral tertentu)

Penyabab langsung :
1. Kurangnya Asupan Makanan: kurangnya asupan makanan sendiri
dapat disebabkan oleh kurangnya jumlah makanan yang diberikan,
kurangnya kualitas makanan yang diberikandan cara pemberian
makanan yang salah.
2. Adanya Penyakit: terutama penyakit infeksi, mempengaruhi
jumlah asupan makanan dan penggunaan nutrient oleh tubuh.
Infeksi apapun dapat memperburuk keadaan gizi, malnutrisi
walaupun masih ringan mempunyai pengaruh negatifpada daya
tahan tubuh terhadap infeksi.

Penyebab tidak langsung:


1. Kurangnya Ketahanan Pangan Keluarga: keterbatasan keluarga
untuk menghasilkan atau mendapatkan makanan. Penyakit
kemiskinan malnutrisi merupakan problem bagi golongan bawah
masyarakat tersebut.
2. Kualitas Perawatan Ibu Dan Anak.
3. Buruknya Pelayanan Kesehatan.
4. Sanitasi Lingkungan Yang Kurang.
5. Faktor Keadaan Penduduk.
A. Marasmus
Secara garis besar sebab-sebab marasmus ialah sebagai berikut :

8
1. Pemasukan kalori yang tidak cukup. Marasmus terjadi akibat
masukan kalori yang sedikit, pemberian makanan yang tidak sesuai
dengan yang dianjurkan akibat dari ketidak tahuan orang tua si anak.
2. Kebiasaan makan yang tidak tepat. Seperti mereka yang mempunyai
hubungan orang tua-anak terganggu.
3. Kelainan metabolik. Misalnya: renal asidosis, idiopathic
hypercalcemia,galactosemia, lactose intolerance.
4. Malformasi kongenital. Misalnya: penyakit jantung bawaan,
penyakit Hirschprung, deformitas palatum, palatoschizis,
micrognathia, stenosispilorus, hiatus hernia, hidrosefalus, cystic
fibrosis pankreas.
B. Kwashiorkor
Penyebab terjadinya kwashiorkor adalah inadekuatnya intake protein yang
berlangsung kronis. Faktor yang dapat menyebabkan kwashiorkor antara
lain :
1. Pola makan Protein (dan asam amino) adalah zat yang sangat
dibutuhkan anak untuk tumbuh dan berkembang. Meskipun intake
makanan mengandung kalori yang cukup, tidak semua makanan
mengandung protein/asam amino yang memadai. Bayi yang masih
menyusui umumnya mendapatkan protein dari ASI yang diberikan
ibunya, namun bagi yang tidak memperoleh ASI protein dari
sumber-sumber lain (susu, telur, keju, tahu dan lain-lain) sangatlah
dibutuhkan. Kurangnya pengetahuan ibu mengenai keseimbangan
nutrisi anak berperan penting terhadap terjadi kwashiorkhor,
terutama pada masa peralihan ASI kemakanan pengganti ASI.
2. Faktor sosial. Hidup di negara dengan tingkat kepadatan penduduk
yang tinggi, keadaan sosial dan politik tidak stabil ataupun adanya
pantangan untuk menggunakan makanan tertentu dan sudah
berlangsung turun-turun dapat menjadi hal yang menyebabkan
terjadinya kwashiorkor.

9
3. Faktor ekonomi. Kemiskinan keluarga/ penghasilan yang rendah
yang tidak dapat memenuhi kebutuhan berakibat pada keseimbangan
nutrisi anak tidak terpenuhi, saat dimana ibunya pun tidak dapat
mencukupi kebutuhan proteinnya.
4. Faktor infeksi dan penyakit lain. Telah lama diketahui bahwa adanya
interaksi sinergis antara MEP dan infeksi. Infeksi derajat apapun
dapat memperburuk keadaan gizi. Dan sebaliknya MEP,walaupun
dalam derajat ringan akan menurunkan imunitas tubuh terhadap
infeksi.
C. Marasmic – Kwashiorkor
Penyebab marasmic – kwashiorkor dapat dibagi menjadi dua penyebab yaitu
malnutrisi primer dan malnutrisi sekunder. Malnutrisi primer adalah
keadaan kurang gizi yang disebabkan oleh asupan protein maupun energi
yang tidak adekuat. Malnutrisi sekunder adalah malnutrisi yang terjadi
karena kebutuhan yang meningkat, menurunnya absorbsi dan/atau
peningkatankehilangan protein maupun energi dari tubuh.

3. Etiologi Keluhan Berak Encer


Diare adalah Berak encer atau suatu kondisi dimana seseorang buang air
besar dengan konsistensi lembek atau cair, bahkan dapat berupa air saja dan
frekuensinya lebih sering dari biasanya (tiga kali atau lebih) dalam satu hari.
Mekanisme dasar yang menyebabkan diare ialah yang pertama gangguan
osmotik, akibat terdapatnya makanan atau zat yang tidak dapat diserap akan
menyebabkan tekanan osmotik dalam rongga usus meninggi, sehingga terjadi
pergeseran air dan elektrolit kedalam rongga usus, isi rongga usus yang
berlebihan ini akan merangsang usus untuk mengeluarkannya sehingga timbul
diare. Gangguan motilitas usus juga merupakan salah satu dari timbulnya berak
encer (diare) dimana terjadinya hiperperistaltik akan mengakibatkan
berkurangnya kesempatan usus untuk menyerap makanan sehingga timbul
diare.

10
Akibat dari diare akan terjadi beberapa hal seperti kehilangan air
(dehidrasi) dimana dehidrasi terjadi karena kehilangan air (output) lebih
banyak dari masukan (input).
Terjadinya defisiensi nutrient berlangsung maka akan terjadi deplesi
cadangan nutrient pada jaringan tubuh dan selanjutnya kadar dalam darah akan
menurun. Hal ini akan mengakibatkan tidak cukupnya nutrient tersebut di
tingkat seluler sehingga fungsi sel terganggu misalnya sintesis protein,
pembentukan dan penggunan energi, proteksi terhadap oksidasi atau tidak
mampu menjalankan fungsi normal lainnya. Bila berlangsung terus maka
gangguan fungsi sel ini akan menimbulkan masalah pada fungsi jaringan atau
organ yang bermanifestasi secara fisik seperti gangguan pertumbuhan, serta
kemunculan tanda dan gejala klinis spesifik yang berkaitan dengan nutrient
tertentu misal baggy pants, wasting, dan lain-lain yang kadang-kadang
irreversible.
Secara umum penyakit diare disebabkan oleh:
a. Infeksi (kuman-kuman penyakit) seperti; bakteri, virus, parasite
Kuman-kuman penyebab diare biasanya menyebar melalui
makanan/minuman yang tercemar ataukontak langsung dengan
tinja penderita (feces oral). Siklus penyebaran penyakit diare
dapat melalui:
1) Feces atau tinja
2) Flies atau lalat
3) Food atau makanan
4) Fomites atau peralatan makanan
5) Finger atau tangan (jari tangan)
Dibawah ini beberapa contoh perilaku terjadinya penyebaran
kuman yang menyebabkan penyakit diare:
1) Tidak memberikan ASI (Air Susu Ibu) secara esklusif
(ASI eksklusif) sampai 6 bulan kepada bayi atau
memberikan MP ASI terlalu dini. Memberi MP ASI
terlalu dini mempercepat bayi kontak terhadap kuman

11
2) Menggunakan botol susu terbukti meningkatkan risiko
terkena penyakit diare karena sangat sulit membersihkan
botol dan juga kualitas air dibeberapa wilayah Indonesia
juga sudah terkontaminasi kuman-kuman penyakit seperti
bakteri E. Coli
3) Menyimpan makanan pada suhu kamar dan tidak ditutup
dengan baik
4) Minum air/menggunakan air yang tercemar
5) Tidak mencuci tangan setelah BAB, membersihkan BAB
anak
6) Membuang tinja (termasuk tinja bayi) sembarangan.
b. Penurunan daya tahan tubuh
1) Tidak memberikan ASI kepada bayi sampai usia 2 tahun
(atau lebih). Di dalam ASI terdapat antibodi yang dapat
melindungi bayi dari kuman penyakit
2) Kurang gizi/malnutrisi terutama anak yang kurang gizi
buruk akan mudah terkena diare
3) Imunodefisiensi/Imunosupresi, terinfeksi oleh virus
(seperti campak, AIDS)
c. Faktor lingkungan dan perilaku
Penyakit diare adalah penyakit yang berbasis lingkungan
yang faktor utama dari kontaminasi air atau tinja berakumulasi
dengan perilaku manusia yang tidak sehat.
Berdasarkan skenario, etiologi atau penyebab diare yang
dialami oleh bayi tersebut antara lain disebabkan penurunan daya
tahan tubuh yaitu tidak diberikannya ASI ekslusif pada bayi
selama 6 bulan, dan malnutrisi.
4. Hubungan ASI Eksklusif terhadap Malnutrisi pada Bayi
ASI merupakan makanan pertama, utama dan terbaik bagi bayi, yang
bersifat alamiah. ASI mengandung berbagai zat gizi yang dibutuhkan dalam
proses pertumbuhan dan perkembangan bayi. ASI memberikan semua energi

12
dan gizi (nutrisi) yang dibutuhkan oleh bayi selama 6 bulan pertama setelah
kelahirannya.
Bayi yang diberi ASI lebih kebal terhadap penyakit ketimbang bayi yang
tidak memperoleh ASI. Ketika ibu tertular penyakit melalui makanan, seperti
gastroentritis atau polio, maka antibodi ibu terhadap penyakit akan diberikan
kepada bayi melalui ASI. Selain itu ASI juga memiliki beberapa manfaat yang
tidak dimiliki dari makanan lain yaitu sebagai makanan tunggal untuk
memenuhi semua kebutuhan pertumbuhan bayi sampai berusia 6 bulan. ASI
meningkatkan daya tahan tubuh karena mengandung berbagai zat anti-
kekebalan sehingga akan lebih jarang sakit, mengurangi terjadinya mencret,
sakit telinga, dan infeksi saluran pernapasan dan melindungi dari se- rangan
alergi.
Pemberian ASI eksklusif adalah bayi hanya diberi ASI saja selama 6
bulan, tanpa tambahan cairan lain seperti susu formula, jeruk, madu, air teh,
dan air putih, serta tanpa tambahan makanan padat. Pemberian ASI eksklusif
dapat mengurangi tingkat kematian bayi yang dikarenakan berbagai penyakit
yang menimpanya, seperti diare, radang paru-paru, dan gizi buruk. Apabila
status gizi baik, maka dapat mengurangi tingkat kematian bayi.
Riwayat pemberian ASI eksklusif yang tidak dilaksanakan dengan baik
akan menyebabkan bayi rentan kurang gizi. Manfaat ASI akan sangat
meningkat bila bayi hanya diberi ASI saja selama 6 bulan pertama
kehidupannya. Pemberian makanan padat/tambahan yang terlalu dini dapat
mengganggu pemberian ASI eksklusif serta meningkatkan angka kesakitan
pada bayi.
ASI lebih unggul dibandingkan makanan lain untuk bayi seperti susu
formula, karena kandungan protein pada ASI lebih rendah dibandingkan pada
susu sapi sehingga tidak memberatkan kerja ginjal, jenis proteinnya pun mudah
dicerna. Selain itu, ASI mengandung lemak dalam bentuk asam amino esensial,
asam lemak jenuh, trigliserida rantai sedang, dan kolesterol dalam jumlah yang
mencukupi kebutuhan bayi.

13
Menurut Roesli (2010) protein ASI yng utama adalah whey, sedangkan
protein susu sapi yang utama adalah kasein. Jumlah protein whey lebih banyak
dari kasein dalam protein. Hal ini tentu menguntungkan bayi, karena whey
lebih mudah dicerna dibandingkasein.
Kandungan pada ASI tersebut yang membuat ASI akan lebih mudah
dicerna dan diserap oleh tubuh bayi, karena ASI tidak akan memberatkan kerja
usus, lambung dan ginjal yang belum berfungsi baik pada bayi baru lahir, serta
menghasilkan pertumbuhan fisik yang optimum hal ini sejalan dengan
pernyataan bahwa bayi yang diberi ASI eksklusif mempunyai status gizi yang
lebih baik. Kandungan protein dalam kolostrum akan mudah diserap oleh usus
bayi karena mengandung protein jenis whey dimana protein ini juga bagus
sebagai obat pencahar bagi bayi.
Ada beberapa resiko yang diakibatkan dari mengkonsumsi susu formula
pada bayi yaitu, pelarut yang tidak tepat, apabila terlalu encer berisiko gizi
kurang dan apabila terlalu kental dapat menyebabkan dehidrasi dan membebani
ginjal bayi. Susu formula juga mudah terkontaminasi
Salah satu faktor pencetus terjadinya diare adalah tidak terlaksananya
pemberian ASI eksklusif dengan baik. Pemberian makanan pendamping atau
pengganti asi dengan susu formula memiliki kelemahan salah satunya rentan.
Setiap bayi memiliki penerimaan yang berbeda untuk setiap merek susu
formula. Selain itu faktor yang lebih penting lagi perilaku ibu tentang cara
penyajian susu yang tidak sesuai dengan kemasan merek susu tersebut. Usus
bayi sulit untuk mencerna susu formula merek tertentu, dan penggunaan susu
botol yang tidak sesuai dengan kebersihan dalam pemberian susu formula.
Maka resiko pemberian susu formula dapat menyebabkan penderita diare lebih
besar daripada bayi yang di beri ASI Eksklusif secara penuh dan kemungkinan
kejadian diare lebih banyak dan rentan mengalami dehidrasi dan komplikasi
lainnya yang dapat merujuk pada malnutrisi ataupun kematian.

5. Status Imunisasi Berdasarkan Skenario

14
Imunisasi merupakan cara yang paling efesien dan efektif untuk
mencegah beberapa penyakit menular. Program imunisasi nasional telah
berhasil menurunkan angka kematian dan kesakitan untuk penyakit infeksi
yang dapat dicegah dengan imunisasi. Program Pengembangan Imunisasi
(PPI) dilaksanakan di Indonesia sejak tahun 1979. Tujuan akhir program
imunisasi ini adalah eradikasi polio, eliminasi tetanus neonatorum, reduksi
campak, peningkatan mutu pelaynan imunisasi, menetapkan standar
pemberian suntikan yang aman dan keamanan pengelolaan limbah tajam.
Cakupan imunisasi di Indonesia pada tahun 1996/1997 telah melampaui 90%
untuk imunisasi BCG, DTP dan polio dasar.

Pada skenario anak berusia 5 Bulan dan hanya mendapatkan vaksin


polio yg hanya 1 kali pemberian dan BCG. Dari jadwal imunisasi Ikatan
Dokter Anak Indonesia, anak tersebut seharusnya sudah diberikan Vaksin
Hepatitis B 1-4, Polio 1-3, BCG, DPT 1-3, Hib 1-3, PCV 1-2, dan Rotavirus

15
1-2. Imunisasi termasuk dalam kebutuhan dasar anak yaitu Asuh. Untuk
memenuhi kebutuhan dasar tersebut maka anak harus diberikan imunisasi
untuk melindungi anak dari penyakit agar anak dapat tumbuh dan
berkembang secara normal.

6. Langkah Diagnosis dan Tatalaksana


LANGKAH DIAGNOSIS
A. Anamnesis

1. keluhan BB sangat kurus dan tidak ada selera makan


2. Diet (pola makan)/kebiasaan makan sebelum sakit
3. Riwayat pemberian ASI
4. Asupan makanan dan minuman yang dikonsumsi beberapa hari
terakhir
5. Hilangnya nafsu makan
6. Kontak dengan pasien campak atau tuberkulosis paru
7. Pernah sakit campak dalam 3 bulan terakhir
8. Batuk kronik
9. Kejadian dan penyebab kematian saudara kandung
10. Berat badan lahir
11. Riwayat tumbuh kembang: duduk, berdiri, bicara dan lain-lain
12. Riwayat imunisasi
13. Apakah ditimbang setiap bulan
14. Lingkungan keluarga (untuk memahami latar belakang sosial anak)
15. Diketahui atau tersangka infeksi HIV

B. Pemeriksaan Fisis
1. Apakah anak tampak sangat kurus, adakah edema pada kedua
punggung kaki.
Tentukan status gizi dengan menggunakan BB/TB-PB

16
2. Tanda dehidrasi: tampak haus, mata cekung, turgor buruk (hati-hati
menentukan status dehidrasi pada gizi buruk).
3. Adakah tanda syok (tangan dingin, capillary refill time yang lambat,
nadi
lemah dan cepat), kesadaran menurun.
4. Demam (suhu aksilar ≥ 37.5° C) atau hipotermi (suhu aksilar < 35.5°
C).
5. Frekuensi dan tipe pernapasan
6. Pneumonia atau gagal jantung
7. Sangat pucat
8. Pembesaran hati dan ikterus
9. Adakah perut kembung, bising usus melemah/meninggi, tanda asites,
atau
adanya suara seperti pukulan pada permukaan air (abdominal splash)

C. Pemeriksaan Penunjang
1. Antropometri
2. Apusan Darah
3. HB
4. Urin dan feses

17
D. Alur pemeriksaan anak dengan gizi buruk

Gambar 4. Alur Pemeriksaan Anak dengan Gizi Buruk

TATALAKSANA

Tata laksana MEP berat ditata laksana melalui 3 fase (stabilisasi, transisi
dan rehabilitasi) dengan 10 langkah tindakan seperti pada tabel di bawah ini:

18
Gambar 6. Cara Membuat ReSoMal

Gambar 7. Komposisi F75, F100, dan F135

Gambar 8. Komposisi Larutan

Gambar 9. Kebutuhan Energi, Protein, dan Cairan Sesuai Fase Tatalaksana Gizi

19
Buruk
Medikamentosa

a. Pengobatan gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit


 Rehidrasi secara oral dengan Resomal, secara parenteral hanya
pada dehidrasi berat atau syok
 Atasi/cegah hipoglikemi
 Atasi gangguan elektrolit
 Atasi/cegah hipotermi
b. Antibiotika
 Bila tidak jelas ada infeksi, berikan kotrimoksasol selama 5 hari
 Bila infeksi nyata: ampisilin IV selama 2 hari, dilanjutkan dengan
oral sampai 7 hari,ditambah dengan gentamisin IM selama 7 hari
 Atasi penyakit penyerta yang ada sesuai pedoman
c. Vitamin A (dosis sesuai usia, yaitu <6 bulan : 50.000 SI, 6-12 bulan :
100.000 SI, >1 tahun : 200.000 SI) pada awal perawatan dan hari ke-15
atau sebelum pulang
d. Multivitamin-mineral, khusus asam folat hari pertama 5 mg, selanjutnya 1
mg per hari.
e. Suportif / Dietetik
 Oral (enteral)
 Gizi kurang: kebutuhan energi dihitung sesuai RDA untuk umur
TB (height-age) dikalikan berat badan ideal
 Gizi buruk : lihat Tabel 5
 Intravena (parenteral) : hanya atas indikasi tepat.

Pemantauan

a. Kriteria sembuh : BB/TB > - 2 SD


b. Tumbuh kembang
 Memantau status gizi secara rutin dan berkala
 Memantau perkembangan psikomotor

20
Langkah Promotif/Preventif

Malnutrisi energi protein merupakan masalah gizi yang multifaktorial. Tindakan


pencegahan bertujuan untuk mengurangi insidens dan menurunkan angka
kematian. Oleh karena ada beberapa faktor yang menjadi penyebab timbulnya
masalah tersebut, maka untuk mencegahnya dapat dilakukan beberapa langkah,
antara lain:

a. Pola makan
Penyuluhan pada masyarakat mengenai gizi seimbang (perbandingan
jumlah karbohidrat, lemak, protein, vitamin dan mineral berdasarkan umur
dan berat badan)
b. Pemantauan tumbuh kembang dan penentuan status gizi secara berkala
(sebulan sekali pada tahun pertama)
c. Faktor social
Mencari kemungkinan adanya pantangan untuk menggunakan bahan
makanan tertentu yang sudah berlangsung secara turun-temurun dan dapat
menyebabkan terjadinya MEP.
d. Faktor ekonomi
Dalam World Food Conference di Roma tahun 1974 telah dikemukakan
bahwa meningkatnya jumlah penduduk yang cepat tanpa diimbangi
dengan bertambahnya persediaan bahan makanan setempat yang memadai
merupakan sebab utama krisis pangan, sedangkan kemiskinan penduduk
merupakan akibat lanjutannya. Ditekankan pula perlunya bahan makanan
yang bergizi baik di samping kuantitasnya.
e. Faktor infeksi
Telah lama diketahui adanya interaksi sinergis antara MEP dan infeksi.
Infeksi derajat apapun dapat memperburuk keadaan status gizi. MEP,
walaupun dalam derajat ringan, menurunkan daya tahan tubuh terhadap
infeksi.

7. Diagnosis Banding

21
A. Kurang Energi Protein (KEP)
Definisi
WHO mendefinisikan kekurangan gizi sebagai ketidakseimbangan sel
antara pasokan nutrisi dan energi dan kebutuhan bagi tubuh seseorang untuk
pertumbuhan, pemeliharaan, dan fungsi tertentu.
Menurut Depkes RI (1997), Kurang Energi Protein (KEP) adalah
suatu keadaan yang disebabkan oleh rendahnya konsumsi energi dan protein
dalam makanan sehari-hari sehingga tidak memenuhi angka kecukupan gizi
(AKG). Sedangkan pada tahun 1999, Depkes RI mendefinisikan Kurang
Energi Protein (KEP) sebagai keadaan kurang gizi akibat konsumsi pangan
tidak cukup mengandung energi dan protein serta karena gangguan
kesehatan.
Epidemiologi
Masalah gizi yang utama di Indonesia adalah kurang energi protein
(KEP), kekurangan vitamin A (KVA), anemia gizi besi serta gangguan
akibat kekurangan Yodium (GAKY). Dari keempat masalah gizi tersebut,
KEP merupakan penyebab kesakitan dan juga sekaligus penyebab kematian
(Depkes RI, 1997).
KEP adalah salah satu masalah gizi utama yang banyak dijumpai pada
balita di Indonesia maupun negara-negara berkembang lainnya. KEP
berdampak terhadap pertumbuhan, perkembangan intelektual dan
produktivitas antara 20-30%, selain itu juga berdampak langsung terhadap
kesakitan dan kematian.
Usia dibawah lima tahun (balita) terutama pada usia 1-3 tahun
merupakan masa pertumbuhan yang cepat (growth spurt), baik fisik maupun
otak. Sehingga memerlukan kebutuhan gizi yang paling banyak
dibandingkan pada masa-masa berikutnya. pada masa ini anak sering
mengalami kesulitan makan, apabila kebutuhan nutrisi tidak ditangani
dengan baik maka akan mudah terjadi kekurangan energi protein (KEP).
Menurut data WHO tahun 2002, penyebab kematian balita urutan
pertama disebabkan gizi buruk dengan angka 54%. Sedangkan menurut

22
Depkes RI (2005) balita dengan gizi kurang buruk sebesar 25,82% pada
tahun 2002 dan meningkat menjadi 28,17% pada tahun 2003.
Secara nasional sudah terjadi penurunan prevalensi kurang gizi (berat
badan menurut umur) pada balita dari 18,4 % tahun 2007 menjadi 17,9 %
tahun 2010. Penurunan terjadi pada prevalensi gizi buruk yaitu dari 5,4 %
pada tahun 2007 menjadi 4,9 % tahun 2010. Tidak terjadi penurunan pada
prevalensi gizi kurang, yaitu tetap 13,0%. Penurunan juga terjadi pada
prevalensi anak kurus, dimana prevalensi balita sangat kurus menurun dari
13,6% tahun 2007 menjadi 13,3% tahun 2010. Walaupun secara nasional
terjadi penurunan prevalensi masalah gizi pada balita, tetapi masih terdapat
kesenjangan antar provinsi. Terdapat 18 provinsi yang memiliki prevalensi
gizi kurang dan buruk diatas prevalensi nasional, yang berkisar antara 18,5
persen di provinsi Banten sampai 30,5 persen di provinsi Nusa Tenggara
Barat; dan Sulawesi Selatan menempati urutan ke-9.
Masalah KEP (Kekurangan Energi dan Protein) di Sulawesi Selatan
masih menjadi masalah gizi utama yang perlu mendapatkan perhatian yang
lebih serius. Menurut hasil Susenas tahun 2003 prevalensi gizi kurang
tingkat nasional adalah 19,19% dan gizi buruk 8,31%. Hasil Survei Gizi
Mikro tingkat Sulawesi Selatan Tahun 2006 menunjukkan balita yang
menderita gizi kurang 24,4% dan gizi buruk 9,6% (Dinas Kesehatan
Provinsi Sulawesi Selatan).
Etiologi
Penyebab langsung dari KEP adalah defisiensi kalori maupun protein,
yang berarti kurangnya konsumsi makanan yang mengandung kalori
maupun protein, hambatan utilisasi zat gizi. Adanya penyakit infeksi dan
investasi cacing dapat memberikan hambatan absorpsi dan hambatan
utilisasi zat-zat gizi yang menjadi dasar timbulnya KEP. Penyebab langsung
KEP dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Penyakit infeksi
Penyakit infeksi yang dapat menyebabkan KEP yaitu cacar air, batuk
rejang, TBC, malaria, diare, dan cacing, misalnya cacing Ascaris

23
lumbricoides dapat memberikan hambatan absorbsi dan hambatan
utilisasi zat-zat gizi yang dapat menurunkan daya tahan tubuh yang
semakin lama dan tidak diperhatikan akan merupakan dasar
timbulnya KEP.
2. Konsumsi makanan
KEP sering dijumpai pada anak usia 6 bulan hingga 5 tahun dimana
pada usia tersebut tubuh memerlukan zat gizi yang sangat tinggi,
sehingga apabila kebutuhan zat gizi tidak terpenuhi maka tubuh akan
menggunakan cadangan zat gizi yang ada di dalam tubuh, yang
berakibat semakin lama cadangan semakin habis dan akan
menyebabkan terjadinya kekurangan yang menimbulkan perubahan
pada gejala klinis.
3. Kebutuhan energi
Kebutuhan energi tiap anak berbeda-beda. Hal ini ditentukan oleh
metabolisme basal tubuh, umur, aktivitas, fisik, suhu, lingkungan
serta kesehatannya. Energi yang dibutuhan seseorang tergantung
pada beberapa faktor, yaitu jenis kelamin, umur, aktivitas fisik, dan
kondisi psikologis.
4. Kebutuhan protein
Protein merupakan zat gizi penting karena erat hubungannya dengan
kehidupan.
5. Tingkat pendidikan dan pengetahuan ibu
Pendidikan orangtua merupakan salah satu faktor yang penting
dalam tumbuh dan kembang anak, karena dengan pendidikan yang
baik maka orangtua dapat menerima segala informasi dari luar
terutama tentang cara pengasuhan anak yang baik. Seorang ibu
dengan pendidikan yang tinggi akan dapat merencanakan menu
makan yang sehat dan bergizi bagi dirinya dan keluarganya.
Pengetahuan ibu tentang cara memperlakukan bahan pangan dalam
pengolahan dengan tujuan membersihkan kotoran, tetapi sering kali

24
dilakukan berlebihan sehingga merusak dan mengurangi zat gizi
yang dikandungnya.
6. Tingkat pendapatan dan pekerjaan orangtua
Pendapatan keluarga yang memadai akan menunjang tumbuh
kembang anak, karena orangtua dapat menyediakan semua
kebutuhan anak baik yang primer seperti makanan maupun yang
sekunder.
Tingkat pendapatan juga ikut menentukan jenis pangan apa yang
akan dibeli. Keluarga yang pendapatannya rendah membelanjakan
sebagian besar untuk serealia, sedangkan keluarga dengan
pendapatan yang tinggi cenderung membelanjakan sebagian besar
untuk hasil olah susu. Jadi, penghasilan merupakan faktor penting
bagi kuantitas dan kualitas makanan. Antara penghasilan dan gizi
jelas ada hubungan yang menguntungkan. Pengaruh peningkatan
penghasilan terhadap perbaikan kesehatan dan kondisi keluarga lain
yang mengadakan interaksi dengan status gizi yang berlaku hampir
universal.
7. Besar anggota keluarga
Jumlah anak yang banyak pada keluarga yang keadaan sosial
ekonominya cukup akan mengakibatkan berkurangnya perhatian dan
kasih sayang yang diterima anak, lebih-lebih kalau jarak anak terlalu
dekat. Adapun pada keluarga dengan keadaan sosial ekonomi yang
kurang, jumlah anak yang banyak akan mengakibatkan kurangnya
kasih sayang dan perhatian pada anak, juga kebutuhan primer seperti
makanan, sandang, papan tidak terpenuhi Penyebab tidak langsung
dari KEP ada beberapa hal yang dominan, antara lain pendapatan
yang rendah sehingga daya beli terhadap makanan terutama
makanan berprotein rendah.
Penyebab tidak langsung yang lain adalah ekonomi negara, jika
ekonomi negara mengalami krisis moneter akan menyebabkan
kenaikan harga barang, termasuk bahan makanan sumber energi dan

25
protein seperti beras, ayam, daging, dan telur. Penyebab lain yang
berpengaruh terhadap defisiensi konsumsi makanan berenergi dan
berprotein adalah rendahnya pendidikan umum dan pendidikan gizi
sehingga kurang adanya pemahaman peranan zat gizi bagi manusia.
Atau mungkin dengan adanya produksi pangan yang tidak
mencukupi kebutuhan, jumlah anak yang terlalu banyak, kondisi
higiene yang kurang baik, sistem perdagangan dan distribusi yang
tidak lancar serta tidak merata.

Patofisiologi

Terjadinya KEP bermula dari kondisi status social ekonomi rendah,


pengetahuan kurang asupan kurang, adanya penyakit dan sistem dukungan
social yang tidak memadai. Hal ini akan menyebabkan terjadinya defisit
protein ataupun defisit energi. Defisit protein akan mengakibatkan
peningkatan katabolisme lemak dan protein cadangan sehingga jika terjadi
berulang akan mengalami kehilangan cadangan selain itu akan
mnegakibatkan defisiensi asam amino esensial dan berdampak pada
gangguan sintesis sel, gangguan sistesis sel akan berakibat pada gangguan
perkembangan motorik dan social mental dan gangguan perkembangan fisik
serta adanya gangguan pada sintesis sel darah merah yang akhirnya
menyebabkan terjadinya anemia dan gangguan imunitas sehingga anak akan
mudah terserang penyakit infeksi seperti diare, bronchitis dan
bronkopnumonia.

Mekanisme defisit energi juga akan menyebabkan pemecahan protein


dan lemak cadangan secara berlebih sehingga anak akan mengalami
hipopriteinemia yang dapat berdampak odema dan hilangnya integritas
kulit. Defisit energi juga akan mengakibatkan defisiensi energi fisik yang
selanjutnya akan berdampak pada hipoalbuminuria dan munculnya gejala
gejala seperti odema, sembab, cengeng, apatis selain itu juga mudah terkena
penyakit infeksi.

26
Gejala klinis

Kekurangan Energi Protein (KEP)


berat secara klinis terdapat 3 tipe yaitu
kwashiorkor, marasmus dan
marasmik kwashiorkor. KEP
ringan atau sedang disertai edema
yang bukan karena penyakit lain
disebut KEP berat tipe kwashiorkor.
Berikut ini 3 tipe KEP berat:

1. Marasmus
Marasmus terjadi akibat kekurangan kalori protein berat dan kronis,
yang terutama terjadi selama setahun pertama kehidupan dan
ditandai dengan berkurangnya lemak di bawah otot dan kulit.
Biasanya disebabkan karena masukan makanan yang sangat kurang,
pembawaan lahir, keterlambatan pemberian makanan tambahan,
penyapihan mendadak, formula pengganti ASI terlalu encer dan
tidak higienes atau sering terkena infeksi.

Gambar 10. Penderita Marasmus


Adapun gejala marasmus antara lain:
a. Berat badan sangat kurang
b. Terlihat sangat kurus, hingga tulang terbungkus kulit
c. Wajah seperti orangtua
d. Cengeng dan rewel

27
e. Perut cekung
f. Jaringan lemak sangat sedikit bahkan
sampai tidak ada
g. Tekanan darah dan detak jantung serta
pernapasan kurang
h. Kulit berkeriput
i. Edema (-)
j. Muscle wasting/atrofi otot
k. Baggy pant

2. Kwashiorkor
Kwashiorkor adalah suatu keadaan kekurangan protein. Kwashiorkor
dapat disebabkan karena diare kronik, malabsorpsi protein,
hilangnya protein melalui air kemih (sindrom nefrotik), infeksi
menahun, luka bakar, dan penyakit hati.

Gambar 11. Penderita Kwashiorkor


Adapun gejalanya :
a. Pertumbuhan terganggu
b. Rambut mudah dicabut, tampak kusam kering, halus, jarang, dan
berubah warna (rambut jagung)
c. Pitting edema
d. Perlemakan hepar

28
e. Pandangan mata sayu
Tanda yang khas adalah adanya edema (bengkak) pada seluruh
tubuh sehingga tampak gemuk, wajah anak membulat dan sembab (moon
face) terutama pada bagian wajah, bengkak terutama pada punggung kaki
dan bila ditekan akan meninggalkan bekas seperti lubang, otot mengecil
dan menyebabkan lengan atas kurus sehingga ukuran Lingkar Lengan
Atas LLA-nya kurang dari 14 cm, anak menjadi rewel dan apatis perut
yang membesar juga sering ditemukan akibat dari timbunan cairan pada
rongga perut salah satu gejala kemungkinan menderita "busung lapar".

3. Gabungan Marasmus dan Kwashiorkor


Gambaran klinis merupakan campuran dari beberapa gejala klinis
kwashiorkor dan marasmus, dengan BB/U <60% baku median
WHO-NCHS disertai edema yang tidak mencolok.

Tatalaksana

Penatalaksanaan Gizi pada Kekurangan Energi Protein (KEP)

Gambar 12. Penatalaksanaan Gizi pada KEP

29
Tata laksana diet pada balita KEP berat/gizi buruk ditujukan untuk memberikan
makanan tinggi energi, tinggi protein serta cukup vitamin dan mineral secara
bertahap, guna mencapai status gizi optimal. Ada 4 kegiatan penting dalam tata
laksana diet, yaitu pemberian diet, pemantauan dan evaluasi, penyuluhan gizi,
serta tindak lanjut.

1. Pemberian Diet

Pemberian diet pada KEP berat/gizi buruk harus memenuhi syarat sebagai berikut:

a. Melalui 3 periode yaitu periode stabilisasi, periode transisi, dan periode


rehabilitasi.
b. Kebutuhan energi mulai dari 80 sampai 200 kalori per kg BB/hari.
c. Kebutuhan protein mulai dari 1 sampai 6 gram per kg BB/hari.
d. Pemberian suplementasi vitamin dan mineral bila ada defisiensi atau
pemberian bahan makanan sumber mineral tertentu, sebagai berikut :

Bahan makanan sumber mineral khusus :

 Sumber Zn : daging sapi, hati, makanan laut, kacang tanah, telur ayam
 Sumber Cuprum : tiram, daging, hati
 Sumber Mangan : beras, kacang tanah, kedelai
 Sumber Magnesium : daun seledri, bubuk coklat, kacang-kacangan,
bayam,
 Sumber Kalium : jus tomat, pisang, kacang-kacangan, kentang, apel,
alpukat, bayam, daging tanpa lemak.
e. Jumlah cairan 130-200 ml per kg BB/hari, bila terdapat edema dikurangi.
f. Cara pemberian : per oral atau lewat pipa nasogastrik (NGT).
g. Porsi makanan kecil dan frekuensi makan sering.
h. Makanan fase stabilisasi hipoosmolar/isoosmolar dan rendah laktosa dan
rendah serat.
i. Meneruskan pemberian ASI.
j. Membedakan jenis makanan berdasarkan berat badan, yaitu:

30
k. BB<7 kg diberikan kembali makanan bayi dan BB >7 kg dapat langsung
diberikan makanan anak secara bertahap.
l. Mempertimbangkan hasil anamnesis riwayat gizi.

2. Evaluasi dan Pemantauan Pemberian Diet

a. BB sekali seminggu: Bila tidak naik, kaji penyebab antara lain: masukkan
zat gizi tidak adekuat, defisiensi zat tertentu, misalnya iodium, adanya
infeksi, adanya masalah psikologis.
b. Pemeriksaan laboratorium: Hb, Gula darah, feses (adanya cacing), dan
urin
c. Masukan zat gizi: bila kurang, modifikasi diet sesuai selera
d. Kejadian diare: gunakan formula rendah atau bebas laktosa dan
hiperosmolar, misal: susu rendah laktosa, tempe, dan tepung-tepungan
e. Kejadian hipoglikemi: beri minum air guila atau makan setiap 2 jam

3. Penyuluhan Gizi di Rumah Sakit

a. Menggunakan leaflet khusus yang berisi: jumlah, jenis, dan frekuensi


pemberian makanan
b. Selalu memberikan contoh menu
c. Mempromposikan ASI
d. Memperhatikan riwayat gizi
e. Mempertimbangkan sosial-ekonomi keluarga
f. Memberikan demonstrasi atau praktek memasak makanan balita untuik ibu

4. Tindak lanjut

a. Merujuk ke puskesmas
b. Merencanakan dan mengikuti kunjungan rumah
c. Merencanakan pemberdayaan keluarga

Pada proses pengobatan KEP berat terdapat 3 fase, adalah fase stabilisasi, fase
transisi dan fase rehabilitasi. Petugas kesehatan harus trampil memilih langkah

31
mana yang cocok untuk setiap fase. Tatalaksana ini digunakan baik pada penderita
kwashiorkor, marasmus maupun marasmik-kwarshiorkor.

1. Tahap Penyesuaian

Tujuannya adalah menyesuaikan kemampuan pasien menerima makanan hingga


ia mampu menerima diet tinggi energi dan tingi protein (TETP). Tahap
penyesuaian ini dapat berlangsung singkat, adalah selama 1-2 minggu atau lebih
lama, bergantung pada kemampuan pasien untuk menerima dan mencerna
makanan. Jika berat badan pasien kurang dari 7 kg, makanan yang diberikan
berupa makanan bayi. Makanan utama adalah formula yang dimodifikasi. Contoh:
susu rendah laktosa +2,5-5% glukosa +2% tepung. Secara berangsur ditambahkan
makanan lumat dan makanan lembek. Bila ada, berikan ASI. Jika berat badan
pasien 7 kg atau lebih, makanan diberikan seperti

makanan untuk anak di atas 1 tahun. Pemberian makanan dimulai dengan


makanan cair, kemudian makanan lunak dan makanan biasa, dengan ketentuan
sebagai berikut:

a. Pemberian energi dimulai dengan 50 kkal/kg berat badan sehari.

b. Jumlah cairan 200 ml/kg berat badan sehari.

c. Sumber protein utama adalah susu yang diberikan secara bertahap dengan
keenceran 1/3, 2/3, dan 3/3, masing-masing tahap selama 2-3 hari. Untuk
meningkatkan energi ditambahkan 5% glukosa

d. Makanan diberikan dalam porsi kecil dan sering, adalah 8-10 kali sehari tiap 2-
3 jam.

Bila konsumsi per-oral tidak mencukupi, perlu diberi tambahan makanan lewat
pipa (per-sonde).

2. Tahap Penyembuhan

32
Bila nafsu makan dan toleransi terhadap makanan bertambah baik, secara
berangsur, tiap 1-2 hari, pemberian makanan ditingkatkan hingga konsumsi
mencapai 150-200 kkal/kg berat badan sehari dan 2-5 gram protein/kg berat badan
sehari.

3. Tahap Lanjutan

Sebelum pasien dipulangkan, hendaknya ia sudah dibiasakan memperoleh


makanan biasa yang bukan merupakan diet TETP. Kepada orang tua hendaknya
diberikan penyuluhan kesehatan dan gizi, khususnya tentang mengatur makanan,
memilih bahan makanan, dan mengolahnya sesuai dengan kemampuan daya
belinya. Suplementasi zat gizi yang mungkin diperlukan adalah :

a. Glukosa biasanya secara intravena diberikan bila terdapat tandatanda


hipoglikemia.

b. KCl, sesuai dengan kebutuhan, diberikan bila ada hipokalemia.

c. Mg, berupa MgSO4 50%, diberikan secara intra muskuler bila terdapat
hipomagnesimia.

d. Vitamin A diberikan sebagai pencegahan sebanyak 200.000 SI peroral atau


100.000 SI secara intra muskuler. Bila terdapat xeroftalmia,vitamin A diberikan
dengan dosis total 50.000 SI/kg berat badan dan dosismaksimal 400.000 SI.

e. Vitamin B dan vitamin C dapat diberikan secara suntikan per-oral. Zatbesi (Fe)
dan asam folat diberikan bila terdapat anemia yang biasanyamenyertai KKP berat

Pencegahan

a. Pencegahan Tingkat Pertama (Primary Prevention)


Pencegahan tingkat pertama mencakup promosi kesehatan dan perlindungan
khusus dapat dilakukan dengan cara memberikan penyuluhan kepada masyarakat
terhadap hal-hal yang dapat mencegah terjadinya kekurangan gizi. Tindakan yang
termasuk dalam pencegahan tingkat pertama :
1) Hanya memberikan ASI saja kepada bayi sejak lahir sampai umur 6 bulan.

33
2) Memberikan MP-ASI setelah umur 6 bulan.
3) Menyusui diteruskan sampai umur 2 tahun.
4) Menggunakan garam beryodium
5) Memberikan suplemen gizi (kapsul vitamin A, tablet Fe) kepada anak balita.
6) Pemberian imunisasi dasar lengkap.

b. Pencegahan Tingkat Kedua (Secondary Prevention)


Pencegahan tingkat kedua lebih ditujukan pada kegiatan skrining kesehatan
dan deteksi dini untuk menemukan kasus gizi kurang di dalam populasi.
Pencegahan tingkat kedua bertujuan untuk menghentikan perkembangan kasus
gizi kurang menuju suatu perkembangan ke arah kerusakan atau ketidakmampuan.
Tindakan yang termasuk dalam pencegahan tingkat kedua :
1) Pemberian makanan tambahan pemulihan (MP-ASI) kepada balita gakin
yang berat badannya tidak naik atau gizi kurang.
2) Deteksi dini (penemuan kasus baru gizi kurang) melalui bulan penimbangan
balita di posyandu.
3) Pelaksanaan pemantauan wilayah setempat gizi (PWS-Gizi).
4) Pelaksanaan sistem kewaspadaan dini kejadian luar biasa gizi buruk.
5) Pemantauan Status Gizi (PSG)

c. Pencegahan Tingkat Ketiga (Tertiary Prevention)


Pencegahan tingkat ketiga ditujukan untuk membatasi atau menghalangi
ketidakmampuan, kondisi atau gangguan sehingga tidak berkembang ke arah
lanjut yang membutuhkan perawatan intensif. Pencegahan tingkat ketiga juga
mencakup pembatasan terhadap segala ketidakmampuan dengan menyediakan
rehabilitasi saat masalah gizi sudah terjadi dan menimbulkan kerusakan. Tindakan
yang termasuk dalam pencegahan tingkat ketiga :
1) Konseling kepada ibu-ibu yang anaknya mempunyai gangguan
pertumbuhan.
2) Meningkatkan pengetahuan dan keterampilan ibu dalam memberikan
asuhan gizi kepada anak.

34
3) Menangani kasus gizi buruk dengan perawatan puskesmas dan rumah sakit.
4) Pemberdayaan keluarga untuk menerapkan perilaku sadar gizi.
5) Melakukan pencegahan meluasnya kasus dengan koordinasi lintas program
dan lintas sektor dengan cara memberikan bantuan pangan, pengobatan
penyakit, penyediaan air bersih, dan memberikan penyuluhan gizi.

Prognosis

Prognosis untuk anak stunting umumnya tetap buruk karena fisiknya dan defisit
kognitif yang mereka derita sebagian besar terbawa bersama mereka sepanjang
hidup. Anak-anak yang pulih dari episode malnutrisi akut yang parah tetap lebih
rentan terhadap episode lebih lanjut selama beberapa bulan ke depan ; mereka
dengan penyakit yang mendasari seperti HIV atau tuberkulosis tetap beresiko
yang meningkat secara signifikan. Tingkat kesembuhan terbaik pada malnutrisi
akut berat

program pengobatan mencapai puncaknya sekitar 90%, dengan sekitar 4


sampai 5% kematian. Angka kematian jauh lebih tinggi, sekitar 35%, pada
anak-anak yang membutuhkan dirawat di rumah sakit. Episode wasting parah
yang tidak diobati membawa sekitar 10 hingga 20% risiko kematian per bulan.
Meskipun banyak anak akan pulih secara spontan, sebagian besar tidak akan
pernah kembali ke status gizi awal dan sepenuhnya berkembang.

8. Komplikasi dan Edukasi


KOMPLIKASI
A. Dehidrasi
Dehidrasi meliputi dehidrasi ringan, sedang dan berat. Dehidrasi
ringan terdapat tanda atau lebih dari keadaan umumnya baik, mata
terlihat normal, rasa hausnya normal, minum biasa dan turgor kulit
kembali cepat. Dehidrasi sedang keadaan umumnya terlihat gelisah
dan rewel, mata terlihat cekung, haus dan merasa ingin minum banyak
dan turgor kulitnya kembali lambat. Sedangkan dehidrasi berat

35
keadaan umumnya terlihat lesu, lunglai atau tidak sadar, mata terlihat
cekung, dan turgor kulitnya kembali sangat lambat > 2 detik. Pada
diare, pengeluaran cairan melebihi pemasukannya sehingga akan
terjadi defisit cairan tubuh yang dapat menyebabkan dehidrasi.
Berdasarkan derajat dehidrasi maka diare dapat dibagi menjadi diare
tanpa dehidrasi, diare dehidrasi ringan sedang dan diare dehidrasi
berat. Secara umum dehidrasi bermanifestasi sebagai rasa haus yang
meningkat, berkurangnya jumlah buang air kecil dengan warna urin
gelap, tidak mampu berkeringat, dan perubahan ortostatik.
B. Hiponatremia
Hiponatremia terjadi pada anak yang hanya minum air putih saja atau
hanya mengandung sedikit garam, ini sering terjadi pada anak yang
mengalami infeksi shigella dan malnutrisi berat dengan edema.
C. Hipokalemia
Hipokalemia terjadi karena kurangnya kalium (K) selama rehidrasi
yang menyebakan terjadinya hipokalemia ditandai dengan kelemahan
otot, peristaltik usus berkurang, gangguan fungsi ginjal, dan aritmia.
D. Gangguan elektrolit
Penderita dengan diare cair mengeluarkan tinja yang mengandung
sejumlah ion natrium, klorida, kalsium dan bikarbonat sehingga
mengalami gangguan elektrolit yang sering berupa hipokalemia,
hiponatremia.
E. Gangguan keseimbangan asam basa
Pada saat diare, sejumlah besar bikarbonat yang hilang melalui tinja
bisa menyebabkan asidosis metabolik. Hal ini dapat terjadi dengan
cepat pada keadaan hipovolemi, ginjal gagal melakukan kompensasi
kehilangan basa akibat aliran darah ke ginjal berkurang serta produksi
asam laktat yang berlebihan ketika penderita jatuh pada keadaan syok
hipovolemik. Gambaran utama asidosis metabolik meliputi
konsentrasi bikarbonat serum berkurang (<10 mmol/l), pH arteri
menurun (<7,10), nafas cepat dan dalam, adanya muntah.

36
F. Syok hipovolemik
Pada diare akut dengan dehidrasi berat, volume darah berkurang
sehingga dapat terjadi dampak negatif pada bayi dan anak–anak antara
lain syok hipovolemik. Syok hipovolemik ditandai dengan adanya
denyut jantung menjadi cepat, denyut nadi cepat, tidak kuat angkat,
tekanan darah menurun, pasien lemah, kesadaran menurun, dan
diuresis berkurang.
G. Gagal ginjal akut
Fungsi ginjal menurun karena terjadi hipoperfusi ginjal yang
disebabkan oleh hipovolemia atau menurunnya volume sirkulasi atau
aliran darah ke ginjal.
H. Malnutrisi
Infeksi yang berkepanjangan, terutama pada diare persisten, dapat
menyebabkan penurunan asupan nutrisi, penurunan fungsi absorpsi
usus, dan peningkatan katabolisme sehingga menyebabkan proses
tumbuh kembang anak terhambat yang pada akhirnya dapat
menurunkan kualitas hidup anak di masa depan.
I. Kematian
Tidak sedikit penyakit diare pada anak dapat berujung pada kematian.
Hal ini disebabkan karena keterlambatan dalam penanganan karena
sebagian besar kasus yang dibawa ke pelayanan kesehatan sudah jatuh
pada keadaan syok hipovolemi akibat dehidrasi berat.

PENCEGAHAN YANG SESUAI DENGAN SKENARIO

A. Malnutrisi kalori protein dapat dicegah dengan menyelesaikan


beberapa masalah sosial ekonomi seperti pengentasan kemiskinan,
meningkatkan daya beli penduduk dan menyediakan pendidikan gizi.
Ini adalah konsekuensi dari tidak hanya asupan makanan yang tidak
memadai tetapi juga kondisi kehidupan yang buruk, lingkungan yang
tidak higienis dan kurangnya perawatan kesehatan. Pencegahan
malnutrisi pada balita juga harus dimulai sejak janin masih berada

37
dalam kandungan karena pertumbuhan dan perkembangan pada masa
bayi dan balita tidak bisa terlepas dari pertumbuhan dan
perkembangan janin dalam rahim. Pencegahan dapat dimulai dengan
menjaga asupan ibu hamil selalu tercukupi sejak awal kehamilan.
B. Pemberian ASI Eksklusif
Setelah janin dilahirkan, pencegahan malnutrisi dilakukan dengan
memberikan ASI eksklusif yaitu pemberian ASI saja selama 6 bulan
berturut-turut. Apabila pemberian ASI eksklusif tidak memungkinkan
karena berbagai alasan, maka bisa diganti atau ditambah dengan susu
formula. Namun sebaiknya diusahakan tetap memberikan ASI
eksklusif. Setelah usia bayi mencapai 6 bulan, selain ASI bayi harus
segera diberikan makanan pendamping ASI secara bertahap,
disesuaikan dengan umur bayi. Pemberian ASI tetap dilanjutkan
sampai usia dua tahun.
C. Imunisasi
Harus diberikan secara rutin sejak usia 0 bulan. Imunisasi yang rutin
dan lengkap akan mencegah bayi terserang penyakit infeksi. Imunisasi
dasar lengkap adalah imunisasi yang sesuai dengan program
pemerintah. Imunisasi juga harus diulang supaya status kekebalan
bayi tetap optimal. Selain imunisasi, bayi juga harus mendapatkan
suplementasi vitamin A karena kadar vitamin A dalam ASI tidak
tinggi, tidak bisa mencukupi kebutuhan. Pemerintah sudah membuat
program suplementasi vitamin A yang diberikan setiap bulan Februari
dan Agustus.
D. Pemberian Makanan Tambahan
Di masyarakat pedesaan, terutama anak-anak diberi makan oleh ibu
dalam waktu lama dan makanan tambahan yang penting untuk
mencegah PCM tidak diberikan pada usia yang tepat. Kadang-kadang
bahkan ketika makanan tambahan diberikan kepada bayi; mereka
tidak memadai dan mungkin tidak mengandung cukup protein dan
kalori. Di India, pemberian makanan tambahan yang diprogram telah

38
beroperasi selama beberapa tahun terakhir. Anak-anak prasekolah
diberikan suplemen makanan setiap hari yang berkontribusi signifikan
terhadap asupan protein dan energi. Saat ini, upaya sedang dilakukan
untuk meningkatkan kepadatan kalori dari makanan tambahan
sehingga dapat memberikan energi yang cukup selain protein. Institut
Gizi Nasional, Hyderabad, dan banyak Sekolah Tinggi Ilmu
Pengetahuan Rumah di India telah mengembangkan beberapa resep
nutrisi yang didasarkan pada makanan yang tersedia secara lokal
seperti sereal dan kacang-kacangan. Untuk menambah kalori dalam
resep tambahan ini, sedikit lemak juga dibutuhkan. Malting biji-bijian
dan persiapan makanan kaya amilase dari gandum atau jagung sangat
membantu dalam mengurangi sebagian besar campuran sereal.
Persiapan menyapih makanan seperti itu di tingkat rumah
menggunakan sumber daya yang tersedia secara lokal tentu akan
membantu dalam mencegah PCM sampai batas tertentu.
E. Pendidikan Gizi
Pendidikan gizi adalah salah satu langkah paling penting untuk
mencegah malnutrisi energi protein. Pemberian susu botol umumnya
dilakukan di banyak komunitas. Namun, banyak ibu yang tidak
memiliki pengetahuan tentang tindakan pencegahan yang harus
diambil dengan menggunakan metode menyusui bayi ini. Botol dan
puting susu tidak dicuci dengan benar setelah setiap kali pemberian
dan terkadang susu tetap berada dalam botol untuk waktu yang lama
memungkinkan pertumbuhan organisme patogen. Kondisi tidak
higienis ini menyebabkan diare dan gangguan lainnya. Faktor utama
yang menyebabkan malnutrisi adalah suplementasi yang tertunda dan
makanan penyapihan yang tidak memadai. Ibu harus disarankan untuk
memberikan suplemen berdasarkan sereal, kacang-kacangan dan
minyak. Selain itu, sayuran dan buah tumbuk juga harus dimasukkan
dalam makanan anak-anak. Petugas kesehatan harus memberi nasihat
tentang kualitas dan kuantitas makanan yang dibutuhkan oleh anak

39
dan harus memeriksa grafik pertumbuhan anak untuk menilai
kecukupan gizi.

9. Perspektif Islam
Dalam hadits lain yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad panjang:
"Sesungguhnya di dalam surga sudah ada yang akan menyempurnakan
penyusuannya, dan juga termasuk Shiddiq (jujur)." (HR. Ahmad - Kitab:
Musnad penduduk Kufah, Bab: Hadits Al Barra` bin 'Azib Radliyallahu ta'ala'
anhu)

Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman :

َ‫فَ ُكلُوْ ا ِم َّما َرزَ قَ ُك ُم هّٰللا ُ َح ٰلاًل طَيِّبًا ۖ  َّوا ْش ُكرُوْ ا نِ ْع َمتَ هّٰللا ِ اِ ْن ُك ْنـتُ ْم اِيَّاهُ تَ ْعبُ ُدوْ ن‬

Artinya : "Maka makanlah yang halal lagi baik dari rezeki yang telah diberikan
Allah kepadamu; dan syukurilah nikmat Allah, jika kamu hanya menyembah
kepada-Nya." (QS. An-Nahl 16: Ayat 114).

Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman :

ٗ‫الشــي ْٰط ِن ۗ اِنَّه‬ ۤ


َّ ‫ت‬ ِ ‫ض َح ٰلاًل طَيِّبًا ۖ  َّواَل تَتَّبِعُوْ ا ُخطُ ٰو‬
ِ ْ‫ٰيا َ يُّهَا النَّا سُ ُكلُوْ ا ِم َّما فِى ااْل َ ر‬
‫لَـ ُك ْم َع ُد ٌّو ُّمبِي ٌْن‬
Artinya : "Wahai manusia! Makanlah dari (makanan) yang halal dan baik yang
terdapat di bumi dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan.
Sungguh, setan itu musuh yang nyata bagimu." (QS. Al-Baqarah 2: Ayat 168).

40
DAFTAR PUSTAKA

1. Kementerian Kesehatan RI. Standar Antropometri Penilaian Status Gizi


Anak.Jakarta: Direktorat Bina Gizi; 2011.
2. Nelson, WE.2007. Malnutrition.In Nelson WE.(ed) Mitchel Nelson Text
Book of Pediactrics 5thed. WB Saunders Co. Philadelphia & London.
3. Mason, J. B. (2015). Nutritional principles and assessment of the
gastroenterology patient. Sleisenger and Fordtran’s gastrointestinal and liver
disease (Tenth Edition). Elsevier Inc.
4. Manary, M. J., & Trehan, I. (2016). Chapter 215: Protein-Energy
Malnutrition. Goldman-Cecil Medicine, 2-Volume Set (Twenty Fifth
Edition). Elsevier Inc.
5. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2010. Riskesdas Tahun 2010
6. Dirjen Bina Kesehatan Masyarakat. 2000. Tatalaksana Rumah Sakit pada
Penderita Gizi Buruk
7. Kementerian Kesehatan R.I. 2011.Bagan Tatalaksanaan Balita Gizi Buruk.
Direktorat Jenderal Kesehatan Masyarakat Direktorat Gizi Masyarakat,
Jakarta.
8. Scrhimsaw, N, S, Viteri, F, E 2010, INCAP Studies Of Kwashiorkor and
Marasmus, Food and Nutrition Bulletin vol. 3rd no.1, The United State
University, USA.
9. Faradila, Preputri A, dkk. 2012. Kekurangan Energi Protein (KEP). Makassar
: Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin Makassar.
10. Maria I. Hubungan Pemberian ASI Eksklusif Dengan Status Gizi Bayi Usi 6-
12 Bulan di Polindes Patranrejo Berbek Nganjuk. Hosp Majapahit [Internet].
2016;8(1):9–20. Available from:
http://ejurnalp2m.poltekkesmajapahit.ac.id/index.php/HM/article/view/115/1
61
11. Puspitasari S, Pujiastuti W, Sit S, Kes M. Hubungan Pemberian Asi Eksklusif
Terhadap Status Gizipada Bayi Usia 7-8 Bulan Di Wilayah Puskesmas
Tlogomulyo,Kabupaten Temanggung Tahun 2014. Kebidanan. 2015;4(8):62–

41
9.
12. Trisnawati Y, Nanda R. Jurnal Cakrawala Kesehatan , Vol. IX, No.01,
Agustus 2018 40. 2018;IX(01):40–9.
13. Nelson. Ilmu Kesehatan Anak Esensial. Edisi 6. EGC:Jakarta. Hal : 127
14. WHO. Child Growth Standards.
15. The Royal Children’s Hospital Melbourne. 2020. Clinical Practice
Guidelines.
16. Chernecky CC, Berger BJ. Hemoglobin (HB, Hgb). In: Chernecky CC,
Berger BJ, eds. Laboratory Tests and Diagnostic Procedures. 6th ed.
Philadelphia, PA: Elsevier; 2013:621-623
17. Kementrian Kesehatan RI. Panduan Sosialisasi Tatalaksana Diare Balita.
2011. 15-16 p.
18. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia Direktorat Jendral Bina Gizi Dan
Kesehatan Ibu Dan Anak. 2011. Bagian Anak Tatalaksana Gizi Buruk. Buku
I dan II
19. Maredante, Karen,J.Nellson. Ilmu Kesehatan Anak Esensial. Ed ke-6.
Saunder
20. Sari Pediatri. Jadwal Imunisasi Anak Umur 0-18 tahun Rekomendasi Ikatan
Dokter Anak Indonesia Tahun 2020. Vol. 22, No. 4, Desember 2020
21. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Direktorat Jenderal Bina Gizi
Kesehatan Ibu dan Anak . Direktorat Bina Gizi. 2011. Bagan Tatalaksana
Anak Gizi Buruk Buku I Edisi Keenam Edisi Revisi. Jakarta : Departemen
Kesehatan

42

Anda mungkin juga menyukai