Anda di halaman 1dari 15

LAPORAN PRAKTIKUM BIOFISIKA

“Perambatan Bunyi Melalui Tulang Tengkorak”

Disusun Oleh :
Aga Widyantoro NI 18312244008
Pendidikan IPA D 2018

JURUSAN PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN ALAM


FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
APRIL, 2021
A. Judul
Perambatan bunyi melalui tulang tengkorak
B. Tujuan
1. Menerangkan mekanisme perambatan bunyi melalui tulang tengkorak dengan
menggunakan garpu tala.
2. Menerangkan faktor-faktor yang mempengaruhi perambatan bunyi melalui tulang
tengkorak dengan menggunakan garpu tala.
C. Dasar Teori
Telinga manusia merupakan organ pendengaran yang menangkap dan
merubah bunyi berupa energi mekanis menjadi elektris secara efisien dan diteruskan
ke otak untuk disadari serta dimengerti. Sebagai sistem organ pendengaran, telinga
dibagi menjadi sistem organ pendengaran perifer dan sentral (Puguh, 2009). Jadi, bisa
dikatakan bahwa telinga berfungsi untuk mengubah gelombang suara menjadi impuls
yang kemudian akan dijalarkan ke pusat pendengaran di otak.
Telinga manusia mampu mendengar suara dengan frekuensi dari 20 Hz sampai
20.000 Hz. Namun yang paling sensitif adalah antara 1000 – 4.000 Hz. Suara pria
dalam percakapan normalnya sekitar 120 Hz sedangkan wanita mencapai 250 Hz
(Gabriel, 1996).
Berdasarkan Lili (2012), telinga terdiri atas tiga bagian dasar, yaitu telinga
bagian luar, telinga bagian tengah, dan telinga bagian dalam. Setiap bagian telinga
bekerja dengan tugas khusus untuk mendeteksi dan menginterpretasikan bunyi.
Penjelasan setiap bagian adalah sebagai berikut :
1. Telinga luar
Telinga luar terdiri dari pinna (telinga), meatus akustikus eksterna dan
membran timpani (eardrum). Pinna adalah struktur menonjol yang merupakan
kartilago terbalut kulit. Fungsi utamanya adalah mengumpulkan dan
menghubungkan suara menuju meatus akustikus eksterna. Meatus akustikus
eksterna. selain sebagai tempat penyimpanan serumen, juga berfungsi untuk
meningkatkan sensitivitas telinga dalam 3000 Hz – 4000 Hz. Saluran ini memiliki
panjang sekitar 2,5 cm. Gendang telinga atau membran timpani, memiliki
ketebalan sekitar 0,1 cm dan luas sekitar 65mm2. Gendang ini menyalurkan
getaran di udara ke tulang-tulang kecil telinga tengah.
Membran timpani berada pada perbatasan telinga luar dan tengah. Area
tekanan tinggi dan rendah pada gelombang suara akan menyebabkan membran
timpani bergetar ke dalam dan keluar. Supaya membran tersebut dapat secara bebas
bergerak kedua arah, tekanan udara istirahat pada kedua sisi membran timpani
harus sama. Membran sebelah luar terekspos pada tekanan atmosfer yang melewati
meatus akustikus eksterna sedangkan bagian dalam menghadapi tekanan atmosfer
dari tuba eustachius yang menghubungkan telinga tengah ke faring. Secara normal,
tuba ini tertutup tetapi dapat dibuka dengan gerakan menguap, mengunyah dan
menelan.
2. Telinga tengah
Telinga tengah terdiri dari 3 buah tulang (ossicle) yaitu malleus, incus dan
stapes. Malleus menempel pada membran timpani sedangkan stapes menempel
pada oval window yang merupakan gerbang menuju koklea yang berisi cairan.
Suara yang masuk 99,9 % mengalami refleksi dan hanya 0,1 % saja yang di
transmisi/diteruskan. Pada frekuensi kurang dari 400 Hz membran timpani bersifat
“per” sedangkan pada frekuensi 4.000 Hz membran timpani akan menegang
3. Telinga dalam
Bagian ini mengandung struktur spiral yang dikenal cochlea, berisikan cairan.
Ukuran cochlea sangat kecil berkisar 3 cm panjang, terdiri dari 3 ruangan yaitu:
ruangan vestibular merupakan tempat berakhirnya oval window; ductus cochlearis
dan ruangan timpani berhubungan dengan atap spiral. Pada cochlea terdapat 8000
konduktor yang berhubungan dengan otak melalui saraf pendengaran (Campbell,
2004).
Proses pendengaran melibatkan telinga luar, gendang telinga, osikel dan
koklea. Pendengaran terjadi karena gelombang suara yang masuk diubah menjadi
getaran cairan di dalam telinga dan diikuti dengan pergerakan sel rambut di koklea.
Selanjutnya getaran tersebut akan diterima sebagai potensial aksi di dendrit dan
disambungkan dengan saraf pendengaran. Mekanisme penjalaran impuls suara
melalui telinga dapat dilihat pada gambar 1 (Katrin, 2020).

Gambar 1. Mekanisme penjalaran impuls


Sumber : (Katrin, 2020).
Berdasarkan Diana (2020), ada tiga macam gangguan pendengaran yang dapat
dialami oleh manusia berdasarkan transmisi gelombang suara yang diterima oleh
telinga yaitu tuli konduksi, tuli sensorineural dan tuli campuran.
1. Tuli Konduksi
Kondisi pada tuli konduksi, telinga bagian luar dan tengah mengalami
gangguan sehingga hantaran gelombang suara tidak mencapai telinga bagian dalam
dengan baik. Penderita akan mengalami kesulitan untuk mendengar suara dengan
nada rendah dan yang dibisikkan pada jarak 5 meter bila dilakukan suatu tes
pendengaran.
2. Tuli sensorineural
Gangguan pendengaran jenis sensorineural terjadi karena adanya masalah di
telinga dalam bisa juga disebabkan karena adanya masalah fungsi pada saraf
pendengaran. Salah satu yang menjadi penyebabnya adalah karena mengalami
paparan bising yang terus menerus antara delapan hingga sepuluh tahun. Keadaan
tuli sensorineural muncul bertahap. Dari tes audiometri didapat peningkatan
ambang dengar dengan frekuensi 4000 Hertz dan terus mengalami kenaikan
ambang dengar menjadi permanen dengan intensitas 3000 hingga 6000 Hertz bila
terus terpapar suara bising
3. Tuli campuran
Pada gangguan pendengaran campuran adalah gabungan antara gangguan
pendengaran jenis konduktif dan gangguan pendengaran jenis sensorineural.
Kondisi pada gangguan pendengaran ini bisa diawali dengan masalah pada
transmisi bunyi yang kemudian menjadi sensorineural pada kondisi lebih lanjut.
Bisa juga kondisinya berbalik, dimana terjadi gangguan sensorineural dan berlanjut
menjadi gangguan konduksi. Tidak menutup kemungkinan penderita mengalami
gangguan ini secara bersamaan seperti mengalami benturan kepala yang hebat
sehingga telinga dalam dan telinga tengah mengalami cedera
Salah satu uji/tes yang dapat dilakukan terhadap fungsi pendengaran adalah tes
penala/garpu tala. Tes ini bertujuan untuk menilai ada tidaknya gangguan
pendengaran (tuli/hearing loss) dan membedakan tuli hantaran (conductive hearing
loss) dan tuli sensorineural (sensorineural hearing loss). Ada 2 prinsip utama pada uji
menggunakan garputala, yaitu telinga dalam lebih sensitif terhadap hantaran suara
oleh udara di bandingkan oleh tulang dan bila ada gangguan pada hantaran suara oleh
udara, telinga yang terganggu akan lebih sensitif terhadap hantaran oleh tulang,
disebut tuli hantaran murni (Novi, 2019).
Tes penala meliputi tes rinne, tes weber, dan tes swabach
1. Tes Rinne
Tes Rinne berguna untuk membandingkan hantaran udara dan hantaran tulang,
sehingga membantu menegakkan diagnosis tuli hantaran (conductive hearing loss).
Untuk menilai hantaran udara, ujung lengan panjang garputala yang sudah
digetarkan dipasang 1 inci di depan meatus auditorius eksternus, kemudian pasien
ditanya apabila sudah tidak mendengar, garpu tala dipindah ke processus mastoidea
(Novi, 2019).

Gambar 2. Tes Rinne


Sumber : (Novi, 2019).
Tes rinne positif apabila suara dari konduksi udara lebih keras dibandingkan
konduksi tulang sehingga dikatakan tidak ada tuli hantaran. Tes rinne negatif
apabila suara dari konduksi tulang lebih keras yang menunjukkan adanya tuli
hantaran total atau tuli sensorineural total (suara garputala ditransmisikan melalui
konduksi tulang tengkorak dan diterima oleh telinga kontralateral (Novi, 2019).
2. Tes Weber
Tes Weber dilakukan setelah tes Rinne, bertujuan untuk membedakan tuli
hantaran dan tuli sensorineural. - Garputala yang sudah digetarkan diletakkan di
verteks atau di tengah dahi. - Pasien ditanya “suara terdengar sama keras atau lebih
keras di satu sisi (kiri atau kanan)”. Apabila suara terdengar sama keras di telinga
kiri dan kanan, maka dapat dikatakan tidak ada lateralisasi atau kondisi telinga
normal. Apabila suara terdengar lebih keras di satu sisi berarti dapat dikatakan ada
lateralisasi (Novi, 2019).
3. Tes Swabach
Tes ini dilakukan dengan memberikan instruksi pada pasien, bahwa nanti
pemeriksa akan menggetarkan garputala dan menempelkan di belakang telinga
pasien (processus mastoideus). Saat pasien sudah tidak mendengar bunyi, diminta
memberi tahu pemeriksa misalnya dengan mengangkat tangan segera saat tidak
mendengar bunyi. Lalu garpu tala digetarkan. Tangkai garpu tala diletakkan pada
prosesus mastoideus penderita sampai tidak terdengar bunyi, kemudian tangkai
garputala segera dipindahkan pada prosesus mastoideus telinga pemeriksa yang
pendengarannya normal. Bila pemeriksa masih dapat mendengar disebut
Schwabach memendek (tuli hantaran). Bila pemeriksa tidak dapat mendengar,
pemeriksaan diulang dengan cara sebaliknya, yaitu garpu tala diletakkan pada
prosesus mastoideus pemeriksa lebih dulu. Bila penderita masih dapat mendengar
bunyi disebut Schwabach memanjang (tuli sensorineural). Bila pasien dan
pemeriksa hasilnya sama, disebut Schwabach sama dengan ketentuan pemeriksa
normal (Novie, 2019).
Berikut adalah tabel interpretasi tes rinne, swabach, dan weber :

Tabel 1. Interpretasi hasil tes


Sumber : (Novi, 2019).
D. Metodologi
1. Alat dan Bahan
a. Kapas
b. Garpu tala 112-870 Hz
c. Arloji/jam yang bersuara
d. Mistar
e. Stop watch
2. Langkah Kerja
a. Kegiatan 1
b. Kegiatan 2

c. Kegiatan 3
E. Data Hasil
1. Kegiatan 1
Naracoba Telinga Kanan Telinga Kiri

Jarak Bunyi Jarak Bunyi Jarak Bunyi Jarak Bunyi


Pergi (cm) Datang (cm) Pergi (cm) Datang (cm)

1 64 80 65 46

90 82 50 60

98 85 52 50

2 72 82 80 70

60 110 68 62

64 100 78 78

3 54 30 60 85

37 36 90 76

39 37 75 72
2. Kegiatan 2
Naracoba Telinga Kanan Telinga Kiri

t di atas t di samping t di atas t di samping


kepala (s) telinga (s) kepala (s) telinga (s)

1 12 4 9 16

13 6 11 11

11 10 10 20
2 11 16 6 25

10 19 6 25

9 24 8 27

3 16 16 14 10

12 16 12 9

11 18 8 10
3. Kegiatan 3
Naracoba Telinga Kanan Ditutup Telinga Kiri Ditutup

Kanan Kiri Kanan Kiri

1 + - - +

+ - - +

+ - - +

2 + - - +

+ - - +

+ - - +

3 + - - +

+ - - +

+ - - +
Keterangan :
(-) = Tidak terdengar nyaring
(+) = Terdengar nyaring

F. Analisis Data
1. Kegiatan 1
a. Naracoba 1
1) Telinga Kanan
a) Rata - rata jarak bunyi pergi
Σ𝑙
𝑙 = 𝑛
64+90+98
𝑙 = 3
𝑙 = 84 𝑐𝑚
b) Rata - rata jarak bunyi datang
Σ𝑙
𝑙 = 𝑛
80+82+85
𝑙 = 3
𝑙 = 82, 33 𝑐𝑚
2) Telinga Kiri
a) Rata - rata jarak bunyi pergi
Σ𝑙
𝑙 = 𝑛
65+50+52
𝑙 = 3
𝑙 = 55, 67 𝑐𝑚
b) Rata - rata jarak bunyi datang
Σ𝑙
𝑙 = 𝑛
46+60+50
𝑙 = 3
𝑙 = 52 𝑐𝑚
b. Naracoba 2
1) Telinga Kanan
a) Rata - rata jarak bunyi pergi
Σ𝑙
𝑙 = 𝑛
72+60+64
𝑙 = 3
𝑙 = 65, 33 𝑐𝑚
b) Rata - rata jarak bunyi datang
Σ𝑙
𝑙 = 𝑛
82+110+100
𝑙 = 3
𝑙 = 97, 33 𝑐𝑚
2) Telinga Kiri
a) Rata - rata jarak bunyi pergi
Σ𝑙
𝑙 = 𝑛
80+68+78
𝑙 = 3
𝑙 = 75, 33 𝑐𝑚
b) Rata - rata jarak bunyi datang
Σ𝑙
𝑙 = 𝑛
70+62+78
𝑙 = 3
𝑙 = 70 𝑐𝑚
c. Naracoba 3
1) Telinga Kanan
a) Rata - rata jarak bunyi pergi
Σ𝑙
𝑙 = 𝑛
54+37+39
𝑙 = 3
𝑙 = 43, 33 𝑐𝑚
b) Rata - rata jarak bunyi datang
Σ𝑙
𝑙 = 𝑛
30+36+37
𝑙 = 3
𝑙 = 34, 33 𝑐𝑚
2) Telinga Kiri
a) Rata - rata jarak bunyi pergi
Σ𝑙
𝑙 = 𝑛
60+90+75
𝑙 = 3
𝑙 = 75 𝑐𝑚
b) Rata - rata jarak bunyi datang
Σ𝑙
𝑙 = 𝑛
85+76+72
𝑙 = 3
𝑙 = 77, 67 𝑐𝑚
2. Kegiatan 2
a. Naracoba 1
1) Telinga Kanan
a) Rata - rata t di atas kepala
Σ𝑡
𝑡 = 𝑛
12+13+11
𝑡 = 3
𝑡 = 12 𝑠
b) Rata - rata t disamping telinga
Σ𝑡
𝑡 = 𝑛
4+6+10
𝑡 = 3
𝑡 = 6, 67 𝑠
2) Telinga Kiri
a) Rata - rata t di atas kepala
Σ𝑡
𝑡 = 𝑛
9+11+10
𝑡 = 3
𝑡 = 10 𝑠
b) Rata - rata t disamping telinga
Σ𝑡
𝑡 = 𝑛
16+11+20
𝑡 = 3
𝑡 = 15, 67 𝑠
b. Naracoba 2
1) Telinga Kanan
a) Rata - rata t di atas kepala
Σ𝑡
𝑡 = 𝑛
11+10+9
𝑡 = 3
𝑡 = 10 𝑠
b) Rata - rata t disamping telinga
Σ𝑡
𝑡 = 𝑛
16+19+24
𝑡 = 3
𝑡 = 19, 67 𝑠
2) Telinga Kiri
a) Rata - rata t di atas kepala
Σ𝑡
𝑡 = 𝑛
6+6+8
𝑡 = 3
𝑡 = 6, 67 𝑠
b) Rata - rata t disamping telinga
Σ𝑡
𝑡 = 𝑛
25+25+27
𝑡 = 3
𝑡 = 25, 67 𝑠
c. Naracoba 3
1) Telinga Kanan
a) Rata - rata t di atas kepala
Σ𝑡
𝑡 = 𝑛
16+12+11
𝑡 = 3
𝑡 = 13 𝑠
b) Rata - rata t disamping telinga
Σ𝑡
𝑡 = 𝑛
16+16+18
𝑡 = 3
𝑡 = 16, 67 𝑠
2) Telinga Kiri
a) Rata - rata t di atas kepala
Σ𝑡
𝑡 = 𝑛
14+12+8
𝑡 = 3
𝑡 = 11, 33 𝑠
b) Rata - rata t disamping telinga
Σ𝑡
𝑡 = 𝑛
10+9+10
𝑡 = 3
𝑡 = 9, 67 𝑠
G. Pembahasan
Praktikum dengan judul “Perambatan Bunyi Melalui Tulang Tengkorak” ini
bertujuan untuk menerangkan mekanisme perambatan bunyi melalui tulang tengkorak
dengan menggunakan garpu tala dan menerangkan faktor-faktor yang mempengaruhi
perambatan bunyi melalui tulang tengkorak dengan menggunakan garpu tala.
Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan, dapat dibagi fokus pembahasan
sesuai dengan kegiatan sebagai berikut:
1. Kegiatan 1
Kegiatan 1 bertujuan untuk menguji ketajaman telinga naracoba. Praktikum ini
dilakukan dengan menutup salah satu telinga naracoba menggunakan kapas,
menyuruh naracoba untuk menutup mata agar lebih fokus kepada penerimaan
suara, lalu memasang arloji di dekat telinga yang tidak ditutup kapas dan jauhkan
sampai naracoba tidak mendengar lagi. Langkah selanjutnya adalah mencatat
jarak antara arloji dengan telinga. Kemudian, mendekatkan arloji kembali sampai
suara kembali terdengar serta mengukur jarak lagi antara arloji dengan telinga.
Berdasarkan pengulangan pengambilan data terhadap jarak, ditemukan rata -
rata jarak sebagai berikut

Naracoba Telinga Kanan Telinga Kiri

Rata - Rata Rata - Rata Jarak Rata - Rata Jarak Rata - Rata Jarak
Jarak Bunyi Bunyi Datang Bunyi Pergi (cm) Bunyi Datang
Pergi (cm) (cm) (cm)

1 84 82,33 55,67 52

2 65,33 97,33 75,33 70

3 43,33 34,33 75 77,67

Tingkat kepekaan berbanding lurus dengan jarak. Artinya semakin besar nilai
jarak maka semakin besar nilai kepekaan telinga atau semakin jauh jarak bunyi
yang didengar, maka semakin peka telinga. Berdasarkan hasil analisis didapatkan
naracoba dengan telinga kanan paling peka dan paling tidak peka berturut - turut
adalah naracoba 1 dan naracoba 3. Sementara itu, pada telinga kiri naracoba
dengan telinga paling tidak peka adalah naracoba 1. Terdapat kerancuan data
untuk menentukan naracoba mana yang memiliki telinga kiri paling peka. Pada
naracoba 3 memiliki nilai rata - rata jarak bunyi datang yang lebih tinggi
dibandingkan rata - rata jarak bunyi pergi, padahal seharusnya apabila meninjau
langkah kerja, jarak rata - rata bunyi datung lebih kecil dari jarak rata - rata bunyi
pergi. Apabila data yang rancu tersebut dihilangkan/diabaikan, maka naracoba
dengan telinga kiri paling peka adalah naracoba 2. Kerancuan data yang sama
juga ditemukan pada telinga kanan naracoba 2, namun kerancuan tersebut
diabaikan karena data naracoba 1 dan 3 sudah pasti. Adapun kesalahan ini dapat
dikarenakan faktor kesalahan praktikan dalam mengukur jarak dan kondisi yang
tidak benar - benar hening sehingga praktikan tidak fokus dalam menangkap
bunyi.
2. Kegiatan 2
Kegiatan 2 (tes rinne) ini bertujuan untuk mengetahui apakah terdapat tuli
sensorineural dan tuli konduktif pada naracoba. Kegiatan ini dilakukan dengan
memposisikan garpu tala di atas kepala lalu digetarkan dan mencatat waktu dari
mulai naracoba mendengarkan sampai tidak terdengar lagi. Ulangi langkah ini
dengan memindah posisi di depan telinga kanan dan kiri.
Berdasarkan praktikum yang dilakukan, didapatkan data rata rata waktu
mendengar masing - masing naracoba sebagai berikut :

Narac Telinga Kanan Telinga Kiri


oba
t Di Atas t Di Hasil Tes t Di Atas t Di Hasil Tes
Kepala (s) Samping Rinne Kepala (s) Samping Rinne
Telinga (s) Telinga (s)

1 12 6,67 - 10 15,67 +

2 10 19,67 + 6,67 25,67 +

3 13 16,67 + 11,33 9,67 -

Nilai tes rinne dikatakan positif apabila lama waktu suara yang terdengar di
samping telinga lebih lama daripada lama waktu suara yang terdengar di atas
kepala. Hal ini dikarenakan waktu konduksi tulang lebih pendek daripada waktu
konduksi udara. Pada telinga kanan, naracoba 1 mendapatkan hasil tes rinne
negatif (-) yang artinya naracoba 1 memiliki tuli hantaran. Naracoba 2 dan 3
mendapatkan nilai tes rinne positif (+), namun waktu rata - rata konduksi tulang
kurang dari 45 s dan waktu rata - rata konduksi udara kurang dari 85-90 s
sehingga bisa dikatakan naracoba 2 dan 3 menderita tuli sensorineural. Pada
telinga kiri, ditemukan bahwa naracoba 1 dan 2 mendapatkan hasil nilai tes rinne
positif (+), namun waktu rata - rata konduksi tulang kurang dari 45 s dan waktu
rata - rata konduksi udara kurang dari 85-90 s sehingga bisa dikatakan naracoba 1
dan 2 menderita tuli sensorineural. Sementara naracoba 3 menderita tuli hantaran
karena mendapatkan hasil tes rinne negatif (-)
3. Kegiatan 3
Kegiatan ini (tes weber) berfungsi untuk menentukan ada tidaknya lateralisasi
pada telinga. Lateralisasi adalah kondisi apabila bunyi penala terdengar lebih
keras pada salah satu telinga disebut Weber lateralisasi ke telinga tersebut. Bila
tidak dapat dibedakan ke arah telinga mana bunyi terdengar lebih keras disebut
tidak ada lateralisasi (Hafiz, 2017). Berdasarkan tabel data hasil kegiatan 3,
ditemukan bahwa semua naracoba merasakan bunyi yang nyaring pada telinga
yang ditutup baik telinga kanan atau kiri sehingga dapat dikatakan bahwa semua
naracoba tidak ada lateralisasi karena tidak dapat dibedakan ke arah mana bunyi
terdengar lebih keras. Pada telinga yang ditutup terdengar lebih keras karena
tidak semua gelombang suara yang masuk ke dalam telinga akan ditransmisikan,
sebagian dipantulkan kembali, sehingga ketika telinga ditutup maka suara yang
dipantulkan akan kembali masuk ke dalam telinga yang mengakibatkan suara
yang didengar lebih keras.
Suara garpu tala yang diletakkan di atas kepala dapat terdengar di telinga
karena adanya getaran yang merambat melalui tulang tengkorak. Ketika garpu tala
digetarkan, maka akan tercipta suatu bunyi nyaring. Konsep bunyi adalah bunyi dapat
didengar apabila ada perantara rambat yang pada konteks ini, medium
rambat/perantara rambatnya merupakan tulang tengkorak. Gelombang bunyi tersebut
dapat merambat ke koklea dikarenakan tertanamnya koklea dalam labirin tulang
pada kavitas tulang belakang. Bunyi tersebut kemudian diteruskan sampai ke otak.
Sementara itu faktor perambatan suara dapat berupa faktor internal dan eksternal.
Faktor internal dapat berupa kerusakan pada organ pendengaran pada telinga ataupun
faktor usia dan faktor eksternal dapat berupa banyaknya sumber bunyi yang masuk ke
telinga sehingga sumber suara yang ingin kita dengar tidak maksimal dapat didengar
dan frekuensi sumber bunyi.
H. Kesimpulan
Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa :
1. Bunyi dapat merambat dari sumber suara melalui tulang yang kemudian menuju
koklea karena tertanamnya koklea pada labirin kavitas tulang belakang yang
kemudian bunyi ini di teruskan ke pusat pendengaran di otak.
2. Faktor - faktor yang mempengaruhi perambatan bunyi garpu tala pada tengkorak
dapat berupa faktor internal (kerusakan organ telinga dan usia) dan faktor
eksternal (kebisingan tempat dan frekuensi sumber suara).

I. Daftar Pustaka
Campbell. 2004. Biologi. Jakarta : Erlangga.
Diana, dkk. 2020. Gangguan Tuli Sensorineural Akibat Paparan Bising Kereta Api
pada Penduduk di Sekitar Perlintasan Rel Turirejo Lawang. Jurnal Kesehatan
Lingkungan. Diunduh melalui e-journal.unair.ac.id pada 23 April 2021 pukul
20:33 WIB.
Gabriel. 1996. Fisika Kedokteran. Jakarta : Buku Kedokteran EGC.
Hafiz, dkk. 2017. Indera Khusus (THT). Padang : Universitas Andalas.
Katrin, Roosita, dkk. 2020. Fisiologi Manusia. Bandung : IPB Press.
Lili, Irawati. 2012. Fisika Medik Proses Pendengaran. Majalah Kedokteran Andalas
No.2 Vol. 36. Diunduh melalui jurnalmka.fk.unand.ac.id pada 23 April 2021
pukul 20:11 WIB.
Novi, Primadewi, dkk. 2019. Buku Manual Keterampilan Klinik Topik Pemeriksaan
Dasar Telinga Hidung Tenggorok. Surakarta : UNS.
Puguh, S. N. 2009. Anatomi dan Fisiologi Pendengaran Perifer. Jurnal THT-KL Vol.2
No.2. Diunduh melalui journal.unair.ac.id pada 23 April 2021 pukul 19:56
WIB.
J. Jawaban Pertanyaan
1. Tes rinne dikatakan negatif apabila waktu konduksi tulang lebih lama daripada
waktu konduksi udara. Tes rinne dikatakan positif apabila waktu konduksi
tulang lebih sebentar/cepat daripada waktu konduksi udara.
2. Laterilasi kanan terjadi apabila pada telinga kanan yang ditutup terdegnar
suara yang lebih nyaring daripada ketika telinga kiri ditutup. Lateralisasi kiri
sebaliknya.

Anda mungkin juga menyukai