Anda di halaman 1dari 32

1

REFERAT

ILMU PENYAKIT TELINGA HIDUNG DAN TENGGOROK

RHINITIS ALERGI DAN DAMPAKNYA PADA ASMA

Oleh:

Kadek Herma Abinanda 19710111

Liya Triyuliani 19710126

RUMAH SAKIT UMUM DR.WAHIDIN SUDIROHUSODO


MOJOKERTO
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS WIJAYA KUSUMA
SURABAYA
2020
2

LEMBAR PENGESAHAN SMF THT-KL

RHINITIS ALERGI DAN DAMPAKNYA PADA ASMA

Oleh:

Kadek Herma Abinanda 19710111

Liya Triyuliani 19710126

Referat ini telah diujikan dan dipresentasikan di depan dokter pembimbing SMF
THT-KL kepaniteraan klinik RSU Dr Wahidin Sudiro Husodo kota Mojokerto
pada:

Hari :

Tanggal :

Mengetahui,

Dokter Pembimbing

dr. Tutut Sriwilujeng Sp. THT-KL


3

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadiran Tuhan Yang Maha Esa karena atas karuniaMu
kami dapat menyelesaikan referat yang berjudul “rhinitis alergi dan dampaknya
pada asma” sesuai dengan waktu yang ditentukan. Referat ini dibuat berdasarkan
data dan informasi serta pengetahuan yang diperoleh selama kepanitraan klinik
di SMF THT-KL

Kami mengucapkan terima kasih kepada dr.Tutut Sriwilujeng Sp. THT-


KL selaku dosen pembimbing serta semua teman sejawat yang turut membantu
dalam penyusunan referat hingga selesai.

Kami menyadari referat ini masih banyak kekurangan, sehingga kritik


dan saran yang membangun sangat kami harapkan demi kesempurnaan refrat ini.
Semoga dapat bermanfaat bagi para pembaca

Mojokerto, Februari 2020

Penyusun
4

Daftar Isi

Halaman
Judul …...…………………………………………………………... 1
Halaman Pengesahan ..………..……………....….……………........2
Kata pengantar...................................................................................3
Daftar Isi ………………………………………………………….......4

BAB I PENDAHULUAN
Latar Belakang.…………….……………….……… 5
BAB II Tinjauan Pustaka........................................................8
BAB III Kesimpulan................................................................31
Daftar Pustaka ...................................................................32
5

BAB 1

PENDAHULUAN

Rhinitis didefinisikan sebagai suatu kondisi inflamasi yang melibatkan


mukosa hidung. Gejala-gejala rhinitis meliputi sumbatan pada
hidung,hiperirratabilitas dan hipersekresi. Rhinitis bisa disebabkan oleh
bermacam-macam kondisi yang berbeda-beda alergi maupun non-alergi.
Insidensi rhinitis terlihat meningkat di kawasan eropa tepatnya setelah revolusi
industri. Satu dari lima orang Amerika diperkirakan menderita rhinitis (Widodo,
2015).
Asma dan rinitis dahulu merupakan dua entitas yang berbeda secara
anatomis, histologis dan tatalaksana secara aspek klinis namun kedua regio ini
merupakan satu kesatuan saluran napas. Penyakit yang mengenai satu bagian
saluran napas biasanya mengenai bagian lainnya juga.
United Airway Disease (UAD) memiliki hipotesis bahwa inflamasi
saluran napas atas dan bawah keduanya merupakan manifestasi dari suatu proses
peradangan pada saluran napas dan hipotesis ini didukung oleh bukti-bukti yang
timbul dari hubungan sistemik dari saluran napas atas dan bawah. World Health
Organization (WHO) mengeluarkan pedoman berjudul Allergic Rhinitis and it’s
impact on Asthma (ARIA) tahun 2001 yang berisi gambaran komprehensif
tentang patofisiologi, diagnosis dan terapi rinitis alergi pada pasien asma
(Widodo, 2015).

Penelitian di Amerika Serikat (AS) tahun 2006 dilaporkan sekitar 20-


40% pasien rinitis alergi menderita asma dan sebaliknya 30-90% pasien asma
memiliki gejala rinitis alergi sebelumnya.4 Rinitis alergi dijumpai pada 19-38%
penderita asma, jauh lebih tinggi jika dibandingkan dengan masyarakat luas
yang hanya 3-5% (Sundaru, 2014).
Data dari Poliklinik Subbagian Alergi Imunologi Telinga, Hidung dan
Tenggorok (THT) Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) tahun 2012
didapatkan 1,16% penderita rinitis alergi disertai asma sedangkan data dari
Poliklinik Subbagian Alergi Imunologi Ilmu Penyakit Dalam (IPD) RSCM
6

tahun 2012 didapatkan 17,65% penderita asma disertai rinitis alergi. Alergi
pada saluran pernapasan adalah alergi yang sering terjadi pada semua penduduk
di seluruh dunia. Studi epidemiologi yang diperoleh dari berbagai negara
menunjukan prevalens alergi pada saluran pernapasan sekitar 15-30% (Sundaru,
2014).
7

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi dan fisiologi saluran napas

Anatomi saluran napas dari hidung sampai ke alveoli berbeda.


Rongga hidung digambarkan sebagai ruangan yang kaku, dibatasi oleh
tulang–tulang wajah, dan perubahan saluran napas disebabkan oleh
perubahan ketebalan jaringan mukosa. Mukosa hidung banyak
mengandung pembuluh darah yang membentuk sinusoid. Pembuluh
darah ini dipengaruhi oleh system saraf di sekitar rongga hidung
sehingga mudah melebar dan menyempit. Sebaliknya bronkus dan
cabang-cabangnya mempunyai cincin kartilago yang tidak lengkap dan
dilengkapi oleh otot polos. Makin ke distal kartilago ini makin kecil,
akhirnya hilang pada bronkiolus (Widodo, 2015).
Fungsi saluran napas manusia dibagi menjadi dua bagian, yaitu
sebagai penghantar dan pertukaran udara. Hidung dan saluran napas atas
merupakan pertahanan pertama sistem pernapasan melawan partikel di
udara dan iritan
8

Gambar 1. Anatomi saluran napas

2.2 ASMA
2.2.1 Definisi
Asma adalah gangguan inflamasi kronik jalan napas yang
melibatkan berbagai sel inflamasi dan elemennya yang berhubungan
dengan hipereaktivitas bronkus, sehingga menyebabkan episodik
berulang berupa mengi, sesak napas, rasa berat di dadadan batuk
terutama malam atau dini hari, episodik perburukan tersebut berkaitan
dengan luasnya peradangan, variabilitas, beratnya obstruksi jalan napas
yang bersifat reversibel baik spontan maupun dengan pengobatan.=
(PDPI, 2015).
Menurut Global Initiation of Asthma (GINA) tahun 2018, asma
merupakan penyakit yang bersifat heterogen, yang biasanya
dikarakteristikan oleh inflamasi saluran napas kronik, ditentukan melalui
riwayat gejala respiratorik seperti mengi, sesak nafas, dada terasa
terhimpit (chest tightness), dan batuk yang bervariasi dari waktu dan
9

intensitasnya bersamaan dengan keterbatasan aliran nafas ekspirasi yang


bervariasi (GINA, 2018). Faktor risiko dalam hal ini dapat dibagi
menjadi faktor yang mempengaruhi berkembangnya asma yaitu
(1) faktor pejamu (host factor) terutama genetik (genetik atopi, genetik
hipereaktivitas bronkus, genetik asma), obesitas dan jenis kelamin,
(2) faktor pencetus merupakan faktor lingkungan yang mempengaruhi
terjadinya perburukan atau timbulnya eksaserbasi asma. Faktor pejamu
dan faktor lingkungan merupakan faktor yang mempengaruhi
berkembangnya atau terjadinya asma.
Mekanisme yang terjadi sebenarnya sangat kompleks dan saling
interaksi antara gen, faktor lingkungan dan dipengaruhi pula oleh
berbagai aspek perkembangan lainnya seperti imun, waktu pertama kali
terpajan infeksi serta kondisi lain yang mempengaruhi secara tidak
langsung seperti ras, etnik, sosial ekonomi dan lain-lain.
Terjadinya asma harus dipengaruhi oleh kedua faktor yaitu
genetik dan lingkungan yang mendukung. Berbagai rangsangan/stimuli
termasuk dalamfaktor pencetus yaitu alergen, infeksi virus pernapasan,
sensitisasi lingkungan kerja, asap rokok (aktif, pasif), polusi udara,
perubahan iklim, aktivitas, makanan, bumbu penyedap, diit, obat-obatan
dan ekspresi emosional yang berlebihan.
Faktor-faktor lain yang dapat menyebabkan eksaserbasi asma
adalah rhinitis, sinusitis bakteri, poliposis, menstruasi, gastro esophageal
reflux diasease (GERD) dan kehamilan (PDPI, 2015).
2.2.2 Klasifikasi Asma
Dahulu, asma diklasifikasikan menjadi 2 jenis, yaitu asma alergik
(ekstrinsik) dan asma non-alergik (instrinsik). Namun karena tidak
mudah dalam praktek klinis untuk membaginya dan seringkali pasien
mempunyai kedua sifat alergik dan non-alergik, McConnel dan Holgate
membagi asma menjadi 3 kategori yaitu asma ekstrinsik, asma intrinsic
dan asma yang berkaitan dengan penyakit paru obstruktif kronik
(Sundaru, 2014).
10

Berdasarkan temuan demografi, klinis dan karakteritsik


patofisiologi dari asma, GINA membagi asma menjadi beberapa
fenotipe, antara lain : (GINA, 2016).
 Asma Alergik (Allergic Asthma)
Fenotipe asma yang paling mudah dikenali, sering muncul
pada usia kanak-kanak dan berhubungan dengan riwayat dahulu
atau riwayat keluarga penyakit alergi seperti eczema, rhinitis
alergi, alergi makanan atau obat-obatan. Pada pemeriksaan
sputum ditemukan inflamasi eosinofilik pada saluran nafas. Pada
pasien ini membaik dengan pemberian kortikosteroid inhalasi.
 Asma Non-Alergik (Non-allergic Asthma)
Beberapa orang menderita asma yang tidak berhubungan
dengan alergi. Pada temuan sputum, neutrofilik, eosinofilik atau
beberapa sel inflamatori lainnya. Pasien dengan fenotipe ini
memiliki respon lebih rendah dengan kortikosteroid inhalasi.
 Asma Onset Lambar (Late-onset Asthma)
Pada beberapa orang, terutama wanita, asma dapat
muncul pertama kali pada masa dewasa. Biasanya non-alergik,
dan terkadang membutuhkan kortikosteroid inhalasi dengan dosis
lebih tinggi dan relative refrakter pada pengobatan kortikosteroid.
 Asma dengan Keterbatasan Aliran Nafas Tetap (Asthma with
Fixed Airflow Limitation)
Pada fenotipe ini, beberapa pasien mengalami keterbatasn
aliran nafas tetap diperkirakan karena terjadinya remodelling
pada dinding saluran nafas.
 Asma Pada Obesitas (Asthma with Obesity)
Beberapa pasien obesitas dengan asma mengalami gejala
asma yang prominen dan sedikit inflamasi eosinofilik pada jalur
nafas (GINA, 2016).

Selain itu, pada saat serangan, asma juga diklasikasikan


berdasarkan derajat ringan beratnya serangan tersebut.
11

Tabel 1. Klasifikasi Derajat Beratnya Serangan Asma (Sundaru, 2014).

2.2.3 Patofisiologi Asma


Obstruksi saluran nafas pada asma merupakan kombinasi spasme
otot bronkus, sumbatan mucus, edema dan inflamasi dari dinding
bronkus. Obstruksi memberat saat ekspirasi karena secara fisiologis,
saluran nafas menyempit pada fase tersebut. Akibatnya, udara distal
tempat terjadinya obstruksi terjebark dan tidak bias dikeluarkan.
Berikutnya, akan terkadi peningkatan volume residu, kapasitas residu
fungsional (KRF) dan pasien akan bernapas pada volume yang tinggi
mendekati kapasitas total paru (KPT) (Sundaru, 2014).
Gangguan yang berupa obstruksi saluran napas dapat dinilai
secara objektif dengan FEV1 (forced expiratory volum in 1 second) atau
FVC (force vital capacity). Penyempitan saluran napas dapat terjadi pada
saluran napas yang besar, sedang, maupun kecil. Gejala mengi
menandakan adanya penyempitan di saluran napas besar, sedangkan
pada saluran napas yang kecil gejala batuk dan sesak lebih dominan
dibanding mengi (Sundaru, 2014).
Penyempitan saluran napas ternyata tidak merata di seluruh
bagian paru. Ada daerah-daerah yang kurang mendapat ventilasi,
sehingga darah kapiler yang melalui daerah tersebut mengalami
hipoksemia. Penurunan PaO2 mungkin merupakan kelainan pada asma
12

sub-klinis. Untuk mengatasi kekurangan oksigen, tubuh melakukan


hiperventilasi agar kebutuhan oksigen terpenuhi, tetapi akibatnya
pengeluaran CO2 menjadi berlebihan sehingga PaCO2 menurun yang
kemudian menimbulkan alkalosis respiratorik (Sundaru, 2014).
Pada serangan asma yang lebih berat lagi banyak saluran napas
dan alveolus tertutup oleh mukus sehingga tidak memungkinkan lagi
terjadinya pertukaran gas. Hal ini menyebabkan hipoksemia dan kerja
otot-otot napas bertambah berat sehingga terjadi peningkatan produksi
CO2. Peningkatan produksi CO2 yang disertai dengan penurunan
ventilasi alveolus menyebabkan retensi CO2 (hiperkapnia) dan terjadi
asidosis respiratorik atau gagal napas. Hipoksemia yang berlangsung
lama menyebabkan asidosis metabolik dan konstriksi pembuluh darah
paru yang kemudian menyebabkan shunting yaitu peredaran darah tanpa
melalui unit pertukaran gas yang baik, yang berakibat perburukan
hiperkapnia. Dengan demikian penyempitan saluran napas pada asma,
akan menimbulkan hal-hal sebagai berikut:
1). Gangguan ventilasi berupa hipoventilasi.
2). Ketidakseimbangan ventilasi perfusi dimana distribusi
ventilasi tidak setara dengan sirkulasi darah paru.
3). Gangguan difusi gas di tingkat alveolus. Ketiga faktor tersebut
menyebabkan hipoksemia, hiperkapnia, serta asidosis
respiratorik pada tahap yang sangat lanjut (Sundaru, 2014).
2.2.4 Diagnosis Asma
2.2.4.1. Anamnesis
Kriteria diagnosis asma berdasarkan anamnesis adalah sebagai
berikut: (Sundaru, 2014).
1. Terdapat gejala saluran napas yang khas meliputi mengi, sesak napas,
rasa tertekan pada dada, batuk
a. Pasien asma mempunyai lebih dari satu gejala ini ( mengi, sesak
napas, batuk, dada seperti tertekan)
b. Gejala dapat terjadi bervariasi dalam hal waktu dan intensitas
13

c. Gejala biasanya lebih sering terjadi dan lebih berat pada malam
hari dan pada saat bangun tidur
d. Gejala sering dipicu olahraga, pada saat tertawa, alergen, atau
udara dingin
e. Gejala sering muncul dan lebih berat bila disertai dengan infeksi
virus
2. Terdapat keterbatasan aliran udara ekspirasi
a. Variabilitas fungsi paru yang besar DAN keterbatasan aliran
udara, makin besar variasi / makin sering, makin sering kemungkinan
 Terdapat penurunan FEV1 ( forced expiratory volum in 1
second), sehingga rasio FEV1/FVC (force vital capacity)
berkurang
 Nilai normal FEV1/FVC > 0,75-0,80 pada dewasa dan > 0,90
pada anak.
b. Uji reversibilitas bronkhus positif
 Terdapat variasi fungsi paru yang lebih besar dibandingkan
orang normal, misalnya
1. FEV1 meningkat lebih dari 12% dan 200 ml ( pada anak >
12% nilai prediksi) setelah inhalasi dengan
bronchodilator. Hal ini disebut sebagai uji reversibilitas
bronkhus positif.
2. Rata-rata variasi diurnal PEF (peak expiratory flow) atau
arus puncak ekspirasi > 10% ( pada anak > 13%)
3. FEV1 meningkat lebih dari 12% dan 200 ml ( pada anak >
12% nilai prediksi) setelah 4 minggu pemberian anti
inflamasi (diluar infeksi saluran napas)
 Semakin besar variasi dan semakin sering gejala muncul lebih
meyakinkan untuk menegakkan diagnosis asma
 Pemeriksaan ulang diperlukan pada saat gejala muncul pada
pagi hari atau setelah pemberian bronchodilator
 Reversibilitas bronchodilator akan hilang pada saat
eksaserbasi dengan gejala yang berat atau akibat infeksi virus.
14

Apabila tidak terdapat resersibilitas dengan pemberian


bronchodilator pada saat pemeriksaan pertama, maka langkah
selanjutnya tergantung kepentingan klinis dan ketersediaan
pemeriksaan lain (Sundaru, 2014).

Tabel 2. Kriteria Diagnosis Asma untuk Dewasa, Remaja, Anak 6-11 tahun
(GINA, 2016).

2.2.4.2 Pemeriksaan Fisik


Pemeriksaan pada pasien asma seringkali normal. Abnormalitas
yang paling sering adalah wheezing ekspiratorik pada auskultasi, tetapi
kadang tidak terdengar atau hanya terdengar pada ekspirasi yang kuat
yang dipaksa. Wheezing juga tidak bisa ditemukan pada asma
eksaserbasi berat, karena penurunan aliran udara yang sangat hebat
(silent chest), akan tetapi biasanya tanda- tanda patologis lain muncul.
Wheezing juga bisa ditemukan pada disfungsi jalan napas atas, missal
pada PPOK, infeksi saluran napas, trakeomalasia, atau korpus alienum.
15

Crakles atau wheezing inspiratorik bukan karakteristik asma. Perlu juga


dilakukkan pemeriksaan hidung untuk menemukan adanya rhinitis atau
polip nasal (GINA, 2016).
2.2.4.3 Pemeriksaan Penunjang
1. Spirometri
Fungsi normal paru diukur dengan spirometri. Forced
expiratoryvolume in 1 second (FEV1) lebih dipercaya daripada peak
expiratory flow (PEF). Jika PEF dilakukan, maka alat yang sama
harus digunakan tiap saat pemeriksaan, karena perbedaan sebesar
20% bisa terjadi bila dilakukan perubahan ukuran atau alat (GINA,
2016).
Penurunan FEV1 dapat juga ditemukan pada penyakit paru
lain, atau penggunaan spirometri yang tidak tepat, akan tetapi
penurunan rasio FEV1/FVC manandakan adanya hambatan aliran
jalan napas. Rasio FEV1/FVC normal adalah 0,75-0,80 dan kadang
0,90 pada anak-anak, dan nilai di bawah batas normal tersebut
menandakan adanya hambatan aliran udara (GINA, 2016).
Variabilitas adalah perbaikan atau perburukan gejala dan
fungsi paru. Variabilitas berlebihan dapat ditemukan dari waktu ke
waktu dalam satu hari (variasi diurnal), dan dari hari ke hari,
musiman atau dari sebuah tes reversibilitas. Reversibilitas adalah
perbaikan FEV1 atau penurunan FEV1 > 12% dan > 200 ml dari
batas dasar, atau jika spirometri tidak ada, perubahan PEF minimal
sebesar 20% dapat diterima sebagai asma. Akan tetapi jika FEV1
tetap dalam batas normal saat pasien sedang mengalami gejala asma,
maka kemungkinannya kecil bahwa penyakitnya adalah asma.
Pengukuran FEV1 dan PEF dilakukan sebelum terapi dengan
bronchodilator (GINA, 2016).
2. Tes provokasi bronkus
Pemeriksaan ini dilakukan untuk uji hiperresponsivitas jalan
napas. Pemeriksaan ini dilakukan dengan latihan inhalasi metakolin
dan histamine, hiperventilasi eukapnik volunter atau mannitol
16

inhalasi. Tes ini cukup sensitif untuk diagnosis asma tapi kurang
spesifik karena bisa juga disebabkan oaleh penyakit lain seperti
rhinitis alergika, fibrosis kistik, dysplasia bronkhopulmoner, dan
PPOK. Jadi bila hasil negatif pada pasien yang tidak mengkonsumsi
ICS dapat mengekslusi asma akan tetapi hasil positif tidak selalu
menandakan bahwa pasien menderita asma, sehingga anamnesis
perlu diperhatikan (GINA, 2016).
3. Tes alergi
Riwayat atopi meningkatkan probabilitas pasien dengan
gejala pernapasan menderita asma alergika tetapi hal ini tidak
spesifik. Riwayat atopi dapat diperiksa dengan skin prick test dan
pemeriksaan IgE serum. Skin prick tes dengan bahan yang mudah
ditemukan di lingkungan sekitaradalah tes yang cepat, murah, dan
sensitif jika dikerjakan dengan benar (GINA, 2016).
4. Ekshalasi Nitrit Oksida
Fractional concentration of exhaled nitric oxide (FENO)
dapatdiperiksa di beberapa tempat. FENO dapat meningkat pada
asma eosinofilik dan pada keadaan non asma misalnya rhinitis alergi
dan belum dipastikan bermanfaat untuk diagnosis asma. FENO
menurun pada perokok dan saat terjadi bronkhokonstriksi, dan
meningkat jika terjadi infeksi pernapasan yang disebabkan oleh virus.
Kadar FENO > 50 ppb terkait dengan respons jangka waktu yang
singkat terhadap ICS. Saat ini pemeriksaan FENO belum
direkomendasikan (GINA, 2016).

2.3 Rinitis Alergi

2.3.1 Definisi dan Klasifikasi

Rinitis alergi (RA) adalah reaksi inflamasi pada mukosa hidung


yang diperantarai oleh IgE2 . Gejala khas rinitis alergi ditandai dengan
hidung tersumbat, bersin-bersin dan ingus yang encer. Rinitis alergi
merupakan penyakit multifaktorial yang diinduksi interaksi gen
17

lingkungan. Untuk menimbulkan reaksi alergi harus dipenuhi 2 faktor,


yaitu adanya sensitivitas terhadap suatu alergn (atopi) yang biasanya
bersifat herediter dan adanya kontak ulang dengan alergen tersebut.
Contoh alergen tersebut antara lain serbuk bunga, bulu hewan maupun
debu rumah14 . Klasifikasi Rinitis Alergi Dahulu rinitis alergi dibedakan
dalam 2 macam berdasarkan sifat berlangsungnya, yaitu: (Ghanie, 2017)

1. Rinitis alergi musiman (seasonal, hay fever, polinosis)

2. Rinitis alergi sepanjang tahun (perenial)

Gejala keduanya hampir sama, hanya berbeda dalam sifat


berlangsungnya. Saat ini digunakan klasifikasi rinitis alergi berdasarkan
rekomendasi dari WHO Initiative ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact
on Asthma) tahun 2000, yaitu berdasarkan sifat berlangsungnya dibagi
menjadi :

1. Intermiten (kadang-kadang): bila gejala kurang dari 4


hari/minggu atau kurang dari 4 minggu.

2. Persisten/menetap bila gejala lebih dari 4 hari/minggu dan atau


lebih dari 4 minggu.

Sedangkan untuk tingkat berat ringannya penyakit, rinitis alergi


dibagi menjadi:

1. Ringan, bila tidak ditemukan gangguan tidur, gangguan


aktifitas harian, bersantai, berolahraga, belajar, bekerja dan hal-hal lain
yang mengganggu.

2. Sedang atau berat bila terdapat satu atau lebih dari gangguan
tersebut diata

2.3.2 Derajat rinitis alergi


18

Derajat penyakit dinilai darifrekuensi, lama keluhan, berat


keluhan serta efeknya terhadap kualitas hidup. Klasifikasi rinitis alergi
menurut WHO ARIA 2001 berdasarkan sifat berlangsungnya dibagi
menjadi: (Okubo, 2016).
1. Rinitis alergi intermiten ringan bila gejala ditemukan kurang dari 4
hari dalam seminggu atau kurang dari 4 minggu dan tidak didapatkan
gangguan dan aktivitas harian.
2. Rinitis alergi intermiten sedang-berat bila gejala ditemukan kurang
dari 4 hari dalam seminggu atau kurang dari 4 minggu dan
didapatkan gangguan dan aktivitas harian.
3. Rinitis alergi persisten ringan bila gejala ditemukan lebih dari 4 hari
dalam seminggu dan lebih dari 4 minggu dan tidak didapatkan
gangguan dan aktivitas harian.
4. Rinitis alergi persisten sedang-berat bila gejala ditemukan lebih dari
4 hari dalam seminggu dan lebih dari 4 minggu dan didapatkan
gangguan dan aktivitas harian.

2.3.3 Gejala Klinis

Gejala klinis rinitis alergi yang khas ialah terdapatnya serangan


bersin yang berulang. Bersin merupakan gejala normal, yang merupakan
mekanisme fisiologik, yaitu proses pembersihan diri (self cleaning
process). Bersin dianggap patologik, bila terjadinya lebih dari lima kali
setiap serangan, terutama merupakan gejala pada reaksi alergi fase cepat
dan kadang-kadang pada reaksi alergi fase lambat sebagai akibat
pelepasan histamin. Gejala lain ialah keluar ingus (rinore) yang encer
dan banyak, hidung tersumbat, hidung dan mata gatal, yang
kadangkadang disertai dengan banyak air mata keluar (lakrimasi). Sering
kali gejala yang timbul tidak lengkap, terutama pada anak. Kadang-
kadang keluhan hidung tersumbat merupakan keluhan utama atau satu-
satunya gejala yang diutarakan oleh pasien. Gejala spesifik lain ialah
terdapatnya bayangan gelap di daerah bawah mata yang terjadi karena
stasis vena sekunder akibat obstruksi hidung. Gejala ini disebut allergic
19

shiner. Selain dari itu menggosok-gosok hidung karena gatal dengan


punggung hidung, keadaan ini disebut sebagai allergic salute (Tamay Z,
et al., 2017).

2.3.4 Patofisiologi

Reaksi alergi ter6diri dari 2 fase yaitu Immediate Phase Allergic


Reaction atau Reaksi Alergi Fase Cepat (RAFC) yang berlangsung sejak
kontak dengan alergen sampai 1 jam setelahnya dan Late Phase Allergic
Reaction atau Reaksi Alergi Fase Lambat (RAFL) yang berlangsung 2-4
jam dengan puncak 6-8 jam (fase hiper-reaktifitas) setelah pemaparan
dan dapat berlangsung sampai 24-48 jam (Mullol, 2015).

Pada kontak pertama dengan alergen atau tahap sensitisasi,


makrofag atau monosit yang berperan sebagai sel penyaji (Antigen
Presenting Cell/APC) akan menangkap alergen yang menempel di
permukaan mukosa hidung. Setelah diproses, antigen akan membentuk
fragmen pendek peptida dan bergabung dengan molekul HLA kelas II
membentuk komplek peptida MHC kelas II ( Major Histocompatibility
Complex) yang kemudian dipresentasikan pada sel T helper (Th0).
Kemudian sel penyaji akan melepas sitokin seperti interleukin 1 (IL-1)
yang akan mengaktifkan Th0 utuk berproliferasi menjadi Th1 dan Th2.
Th2 akan 9 menghasilkan berbagai sitokin seperti IL-3, IL-4, IL-5, dan
IL-13. IL-4 dan IL-13 dapat diikat oleh reseptornya dipemukaan sel
limfosit B, sehingga limfosit B menjadi aktif dan akan memproduksi
imunoglobulin E (IgE). IgE di sirkulasi darah akan masuk ke jaringan
dan di ikat oleh reseptor IgE di permukaan sel mastosit atau basofil (sel
mediator) sehingga kedua sel ini menjadi aktif. Proses ini disebut
sensitisasi yang menghasilkan sel mediator yang tersensitisasi. Bila
mukosa yang sudah tersensitisasi terpapar dengan alergen yang sama,
maka kedua rantai IgE akan mengikat alergen spesifik dan terjadi
degranulasi (pecahnya dinding sel) mastosit dan basofil dengan akibat
terlepasnya mediator kimia yang sudah terbentuk (Preformed Mediator)
20

tertama histamin. Selain histamin juga dikeluarkan Newly Formed


Mediators antara lain prostaglandin D2 (PGD2), Leukotrien D4 (LT D4),
Leukotrien C4 (LT D4), bradikinin, Platelet Activating Factor (PAF) dan
berbagai sitokin (IL-3, IL-4, IL-5, IL-6, GM-CSF (Granulocyte
Macrophage Colony Stimulating Factor). Inilah yang disebut sebagai
reaksi alergi fase cepat . Histamin akan merangsang reseptor H1 pada
ujung syaraf vidianus sehingga menimbulkan rasa gatal pada hidung dan
bersin-bersin. Histamin juga akan menyebabkan kelenjar mukosa dan sel
goblet mengalami hipersekresi dan permeabilitas kapiler meningakt
sehingga terjadi rinore. Gejala ini adalah hidung tersumbat akibat
vasodilatasi sinusoid. Selain histamin merangsang ujung syaraf vidianus,
juga mnyebabkan rangsangan pada mukosa hidung sehingga terjadi
pengeluaran Inter Cellular Adhesion Molecule 1 (ICAM 1) (Mullol,
2015).

Pada RAFC, sel mastosit juga akan melepaskan molekul


kemotaktik yang menyebabkan akumulasi sel eosinofil dan netrofil di
jaringan target. Gejala akan berlanjut dan mencapai puncakk 6-8 jam
setelah pemaparan. Pada RAFL ini ditandai dengan penambahan jenis
dan jumlah sel inflamasi seperti eosinofil, limfosit, netrofil, basofil dan
mastosit di mukosa hidung serta peningkatan sitokin seperti IL-3, IL-4,
IL-5 dan Granulocyte Macrophage Colony Stimulating Factor (GM-
CSF) dan Inter Cellular Adhesion Molecule (ICAM 1) pada sekret
hidung. Timbulnya gejala hiperaktif atau hiperresponsif hidung adalah
akibat peranan eosinofil dengan mediator inflamasi dari granulnya
seperti Eosinophilic Cationic Protein (ECP), Eosinophilic Derived
Protein (EDP), Major Basic Protein (MBP) dan Eosinophilic Peroxidase
(EPO). Pada fase ini, selain faktor spesifik (alergen), iritasi oleh faktor
non spesifik memperberat gejala seperti asap rokok, bau yang
merangsang, perubahan cuaca dan kelembaban udara yang tinggi
(Mullol, 2015).
21

2.3.5 Diagnosis rinitis alergi

2.3.5.1 Anamnesis
Riwayat klinis penyakit sangat penting untuk mendiagnosis rinitis
alergi, mengukur tingkat beratnya penyakit serta respons pengobatan.
Anamnesis dimulai dengan menanyakan riwayat penyakit secara umum
dan dilanjutkan dengan pertanyaan-pertanyaan yang lebih spesifik
meliputi gejala di hidung termasuk keterangan mengenai tempat tinggal,
tempat kerja dan pekerjaan pasien. Gejala-gejalas rinitis alergi yang perlu
ditanyakan adalah bersin berulang dengan frekuensi lebih dari 5 kali
setiap kali serangan, rinore, hidung tersumbat baik menetap atau hilang
timbul, rasa gatal dihidung, tenggorok, daerah langit-langit atau telinga,
mata gatal, berair atau kemerahan, penurunan atau hilangnya ketajaman
penciuman (hiposmia/anosmia)dan terdapat ingus di belakang hidung
(post nasal drip/PND). Ditanyakan juga adakah variasi diurnal (serangan
yang memburuk pada pagi sampai siang hari dan membaik saat malam
hari), frekuensi serangan, beratnya penyakit, lamanya sakit, intermiten
atau persisten dan pengaruh terhadap kualitas hidup (Bousquet, 2016).
Manifestasi penyakit alergi lain sebelum atau bersamaan dengan
rinitis, seperti asma, dermatitis atopi di keluarga, urtikaria dan alergi
makanan. Ditanyakan juga riwayat atopi keluarga apakah ada anggota
keluarga dari ayah atau ibu yang pernah menderita salah satu penyakit
alergi tersebut diatas, faktor pemicu timbulnya gejala, lingkungan
dirumah, tempat kerja, sekolah, kegemaran atau hobi yang dapat memicu
timbulnya gejala. Riwayat pengobatan dan hasil ditanyakan apakah
efektifitas obat yang dipergunakan sebelumnya dan macam pengobatan
yang sudah diterima serta bagaimana kepatuhan penderita (Bousquet,
2016).
22

2.3.5.2 Pemeriksaan fisis


Rinoskopi anterior menggunakan spekulum hidung dan lampu
kepala. Gambaran pemeriksaan hidung pada rinitis intermiten ringan
biasanya dalam batas normal. Pada rinitis yang menetap, maka gambaran
klasik pada hidung yaitu terdapat edema konka inferior/media yang
diliputi sekret encer bening serta mukosa pucat. Perhatikan keadaan
anatomi hidung lainnya seperti septum nasi dan kemungkinan terdapat
ssspolip nasi. Pemeriksaan nasoendoskopi (bila fasilitas tersedia) dapat
melihat kelainan patologi hidung dan sinus yang sering tak terlihat pada
pemeriksaan rinoskopi anterior, adakah gambaran konka bulosa atau
polip nasi kecil di meatus medius dan keadaan kompleks osteomeatal
(Gambar 4) (Bousquet, 2016).

Gambar 2. Gambaran rinoskopi anterior

2.3.5.3Pemeriksaan penunjang
Pemerikaan penunjang untuk menegakkan diagnosis dipertimbangkan
sesuai dengan fasilitas yang ada, antara lain: (Bousquet, 2016).
a. Uji cukit kulit (skin prick tests)
Uji cukit kulit dengan menggunakan ekstrak alergen merupakan
alat diagnostik terbaik yang membuktikan telah terjadinya fase sensitisasi
oleh alergen tertentu pada seseorang individu. Hasil yang positif
menunjukan reaksi hipersensitifitas tipe 1.
23

Uji ini mudah dilakukan untuk mengetahui jenis alergen


penyebab alergi. Pemeriksaan ini dapat ditoleransi oleh sebagian
penderita termasuk anak-anak. Uji ini mempunyai sensitifitas dan
spesifisitas yang tinggi. Dalam satu kali pemeriksaan dapat puluhan
alergen dikerjakan (Krouse, 2016).
Terdapat uji di kulit selain uji tusuk kulit yaitu uji gores, uji
tempel (patch test), uji suntik intrakutan dan skin endpoint titration
(SET).Uji gores kekurangannya adalah dikhawatirkan alergen yang
digoreskan tidak jelas dosisnya atau terlalu tinggi sehingga akurasi dan
keamanannya diragukan.Uji tempel berguna untuk hipersensifitas tipe
lambat dan lebih cocok untuk dermatitis kontak.
Uji suntik intrakutan (pengenceran tunggal) memiliki sensitifitas
dan spesifisitas yang tinggi. Negatif palsu dapat dicegah namun dapat
terjadi positif palsu. Uji ini sering menimbulkan reaksi sistemik
(anafilaktik) baik bersifat alergenik maupun neurogenik (rasa nyeri
suntik). Uji ini biayanya mahal, maka dianjurkan jika uji cukit kulit
hasilnya negatif. Skin Endpoint Titration merupakan uji suntik intrakutan
dengan pengeceran berganda. Uji ini berguna untuk menentukan
ssensitifitas seorang pasien dan menentukan pengenceran ekstrak awal
imunoterapi.
b. Hitung jenis darah tepi
c. Pemeriksaan sitologi atau histologi sekret dari mukosa hidung, jika
diperlukan untuk evaluasi respons terhadap pengobatan atau melihat
perubahan morfologi.
d. Pemeriksaan IgE serum total
Kadar IgE serum total meningkat didapatkan pada 60% penderita
rinitis alergi dan 75% penderita asma. Kadar lgE normal tidak
menyingkirkan rinitis alergi, kadar dapat meningkat pada infeksi parasit,
penyakit kulit dan menurun pada keadaan imunodefisiensi. Pemeriksaan
ini masih dipakai sebagai pemeriksaan penyaring tetapi tidak untuk
diagnostik.
24

e. Pemeriksaan IgE serum spesifik


Pemeriksaan ini dilakukan apabila pemeriksaan penunjang
diagnosis rinitis alergi seperti uji cukit kulit selalu menghasilkan hasil
negatif tapi dengan gejala klinis yang positif, sejak ditemukan teknik
Radio Allergo Sorbent Test (RAST) pada tahun 1967, teknik
pemeriksaan lgE serum spesifik disempurnakan dengan komputerisasi
sehingga pemeriksaan menjadi lebih efektif dan sensitif tanpa kehilangan
spesifitasnya dengan waktu pemeriksaan lebih singkat dari 2-3 hari
menjadi kurang dari 3 jam.
f. Uji provokasi hidung (nasal challenge test)
Dilakukan dengan cara menempelkan atau menyemprotkan
sejumlah kecil alergen pada mukosa inferior hidung. Uji ini dapat diikuti
reaksi sistemik seperti serangan asma atau reaksi sistemik lainnya.
g. Foto polos sinus paranasal/Computed Tomography (CT) scan/Magnetic
Resonance Imaging (MRI)
Dilakukan bila ada indikasi keterlibatan sinus paranasal seperti adakah
komplikasi rinosinusitis, menilai respons terhadap terapi dan jika
direncanakan tindakan operasi.
h. Uji fungsi mukosiliar (Nasal mucociliary function, Ciliary beat
frequency (CBF), Electron microscopy).
i. Peak Nasal Inspiratory Flow Meter
(PNIFM) merupakan alat untuk mengukur derajat sumbatan
hidung dengan mengukur kecepatan aliran udara melalui hidung pada
saat inspirasi maksimal. Alat ini cukup sederhana, berukuran kecil dan
ringan, mudah digunanakan. Selain itu juga mudah untuk dibawa-bawa
dan sering digunakan untuk monitoring penderita rinitis alergi sehari-hari
di rumah atau dimanapun penderita berada. Alat ini juga memberikan
informasi yang akurat terhadap sumbatan hidung dan respons terhadap
pengobatan.
Keterbatasan alat ini yaitu hanya dapat mengukur kecepatan
aliran udara sedangkan tekanan transnasal bergantung pada usaha (effort)
pasien pada saat inspirasi maksimal (Ameli F, et al., 2015).
25

Cara kerja alat ini ialah pada saat pasien menarik napas melalui
hidung sehingga udara akan tertarik melalui skala meter, kursor pada
skala bergerak sepanjang skala untuk menunjukan kecepatan inhalasi.
Angka kecepatan aliran udara dapat dinilai dengan melihat posisi kursor
di skala yang tertera. Nilai normal pada orang Eropa yang ditetapkan
dengan alat ini adalah antara 100-300 liter/menit, dengan keakuratan 10
persen. Akan tetapi nilai normal untuk orang Indonesia khususnya,
belum ada ketetapannya saat ini.

2.3. 6 Penatalaksanaan
a. Medikamentosa
Penatalaksanaan dengan medikamentosa bertujuan untuk
mengatasi faktor etiologi dan sumbatan hidung dengan cara
memperkecil ukuran konka. Sinus venosus akan mengalami
pengisian pada kasus pembesaran konka akut. Pemberian
dekongestan topikal dapat mengurangi pembesaran konka. Terapi
medikamentosa lain yang dapat diberikan antara lain
kortikosteroid,sel mast stabilizer, antihistamin, dan imunoterapi
(Ellwood,2015).
Pemberian dekongestan baik secara lokal maupun
sistemik efektif dalam mengobati sumbatan hidung karena
hipertropi konka, namun penggunaan dekongestan sistemik oral
dapat menimbulkan efek samping berupa palpitasi dan kesulitan
tidur.
Penggunaandekongestan topikal dalam jangka waktu
panjang dapat menyebabkan terjadinya rinitis medikamentosa
(rebound nasal congestion) dan takifilaksis.
Pemberian kortikosteroid juga efektif dalam mengobati
sumbatan hidung, namun dapat menyebabkan terjadinya hidung
berdarah, krusta dan mukosa hidung mengering. Kortikosteroid
juga dapat mengurangi hiperresponsif saluran respirasi dan
26

menekan terjadinya perdarahan tetapi proses mekanisme dan


target seluler belum dapat diketahui.
b. Operatif
c. Jaringan ikat telah terbentuk pada kasus kronik. Hal ini
disebabkan oleh proses inflamasi kronik yang tidak dapat
tertangani oleh terapi medikamentosa setelah 2 bulan
pengobatan. Tindakan operatif atau pembedahan sangat
dianjurkan apabila hal tersebut terjadi.
Teknik pembedahan reduksi konka secara garis besar terbagi
atas dua kelompok yaitu turbinoplasty dan turbinectomy.
Turbinopasty adalah teknik reduksi konka yang
mempertahankan agar mukosa hidung tetap utuh, sedangkan
turbinektomi adalah teknik reduksi konka yang memotong
bagian konka yang mengalami pembesaran. Teknik reduksi
konka yang menjadi pilihan saat ini adalah teknik
turbinoplasty dengan menggunakan teknik mikrodebrider dan
teknik termal seperti dengan radiofrekuensi atau koblasi.
Keunggulan dari teknik pembedahan reduksi
konkaradiofrekunsi adalah mukosa tetap utuh, dapat
dilakukan dalam anastesi lokal dan suhu panas yang
dihasilkan pada lapisan submukosa berkisar antara 60-90°C.
Tujuan utama dilakukannya tindakan operatif ini yaitu untuk
menghilangkan sumbatan hidung dan mempertahankan fungsi
fisiologis hidung.
Teknik pembedahan yang ideal memang tidak ada, setiap
teknik memiliki keunggulan dan kelemahan seperti adanya
kompilkasi jangka pendek dan panjang. Komplikasi jangka
panjang yaitu perdarahan dan rinitis atropi.
2.4 Mekanisme hubungan rinitis alergi dan asma
Rinitis alergi dapat memiliki komorbiditas dengan beberapa
penyakit, seperti konjungtivitis, sinusitis, faringitis, otitis media, dan
asma. Rinitis alergi merupakan faktor risiko terjadinya asma. Keduanya
27

merupakan penyakit inflamasi saluran pernapasan dengan perantara IgE,


seringkali disebut sebagai “united airway disease”. Asma memiliki
karakteristik obstruktif pada bronkus dapat diperberat dengan rinitis
alergi. Hubungan antara keduanya dikaitkan dengan beberapa teori,
seperti aliran mediator inflamasi dengan adanya post-nasal drip dan
aliran sistemik dari mukosa hidung menuju bronkus dan paru. Histamin
17 dan prostaglandin D2 sebagai mediator inflamasi rinitis alergi
berperan dalam vasodilatasi mukosa dan kontriksi otot polos bronkus,
sehingga menyebabkan penyempitan dari saluran napas. Hipersekresi
mukus terjadi pada saluran pernapasan atas dan bawah. Penyakit
inflamasi pada rinitis alergi dan assma memiliki gambaran histopatologis
yang sama, begitu pula dengan kondisi eosinofilia yang terjadi di kedua
lokasi yaitu saluran pernapasan atas dan bawah (Ellwood,2015).
Rinitis alergi dan asma merupakan manifestasi dari proses
inflamasi di sistem saluran napas yang berkelanjutan (Continous Airway
System). Perubahan yang terjadi pada hidung akibat allergen
menyebabkan respons nonspesifik terhadap otot-otot bronkus. Penyakit
alergi dapat menimbulkan kehilangan sebagian atau seluruh fungsi
hidung. Pernapasan dengan mulut karena hidung tersumbat yang
disebabkan oleh edema jaringan dan sekret yang menyumbat, akan
meningkatkan kemungkinan terjadinya serangan asma karena kegiatan
jasmani, perbaikan fungsi hidung dapat memperbaiki gejala asma.
Refleks nasobronkial yaitu refleks sentral yang berasal dari ujung saraf
sensorik berjalan menuju susunan saraf pusat melalui saraf trigeminus,
masuk ke serabut eferen lewat saraf vagus, menimbulkan kontraksi otot
polos saluran napas, saraf yang hiperresponsif dapat meningkatkan
refleks nasobronkial sehingga menimbulkan gejala klinis pada saluran
napas bawah. Secara histologirinitis dan asma menunjukan gambaran
inflamasi kronik dengan peningkatan jumlah eosinofil disertai dengan
peningkatan limfosit, sel plasma dan sel mast. Stroma pada hidung dan
bronkus mengalami edema yang khas (Ellwood,2015).
28

Meskipun terdapat bukti-bukti bahwa rinitis alergi mempengaruhi


asma tetapi mekanisme yang menghubungkan disfungsi saluran napas
atas dan bawah masih dalam perdebatan, berbagai teori diajukan untuk
menerangkan hubungan rinitis dan asma antara lain : (Ellwood,2015).
1. Refleks nasobronkial
Setiap inflamasi pada hidung terdapatefek yang terjadi bersamaan
di daerah bronkus. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Fontanari
dkk. yang memberikan stimulus pada hidung dengan air sangat
dingin (es) didapatkan meningkatnya tahanan dari tracheobronchial
tree dan paru, sehingga tidak respons terhadap anestesi topikal dan
bronkodilator inhalasi.
2. Drainase post nasal bahan-bahan inflamasi atau mediator dari hidung
ke saluran napas bawah. Penelitian Huxley dkk. melakukan
percobaan dengan memberikan marker atau label pada sekret hidung
penderita rinitis alergi didapatkan peningkatan jumlah bahan-bahan
inflamasi hidung tersebut di organ paru (terjadi aspirasi paru).
3. Absorpsi sel-sel inflamasi atau mediator-mediator dari hidung ke
sirkulasi sistemik dan akhirnya ke bronkus dan paru.
4. Efek tidak langsung dari pernapasan melalui mulut akibat obstruksi
hidung menurunkan fungsi penyaringan, pelembaban dan
penghangatan udara di hidung. Udara yang kering dan banyak
mengandung alergen langsung masuk melalui mulut dan menempel
di saluran napas bawah (bronkus dan paru).
Hipotesis UAD menyatakan bahwa setiap proses penyakit yang
mempengaruhi saluran napas atas kemungkinan akan mempengaruhi
saluran napas bawah begitupun sebaliknya baik secara langsung dan
tidak langsung. Hal ini membuktikan bahwa rinitis dan alergi merupakan
manifestasi dari satu sindrom dalam dua bagian dari saluran napas. Pada
derajat ringan rinitis dapat terjadi, derajat sedang rinitis dan
hiperresponsif saluran napas terjadi dan pada derajat berat maka rinitis
dan asma dapat terjadi bersamaan. Manifestasi penyakit di saluran napas
29

atas dan bawah dihubungkan melalui respons inflamasi sistemik.


Hipotesis ini berlaku tidak hanya pada alergi tetapi juga non alergi.
30

BAB III

KESIMPULAN

Rhinitis didefinisikan sebagai suatu kondisi inflamasi yang melibatkan


mukosa hidung. Gejala-gejala rhinitis meliputi sumbatan pada
hidung,hiperirratabilitas dan hipersekresi. Rhinitis bisa disebabkan oleh
bermacam-macam kondisi yang berbeda-beda alergi maupun non-alergi.
Insidensi rhinitis terlihat meningkat di kawasan eropa tepatnya setelah revolusi
industri. Satu dari lima orang Amerika diperkirakan menderita rhinitis.
Asma dan rinitis dahulu merupakan dua entitas yang berbeda secara
anatomis, histologis dan tatalaksana secara aspek klinis namun kedua regio ini
merupakan satu kesatuan saluran napas. Penyakit yang mengenai satu bagian
saluran napas biasanya mengenai bagian lainnya juga.

Rinitis alergi dapat memiliki komorbiditas dengan beberapa penyakit,


seperti konjungtivitis, sinusitis, faringitis, otitis media, dan asma. Rinitis alergi
merupakan faktor risiko terjadinya asma. Keduanya merupakan penyakit
inflamasi saluran pernapasan dengan perantara IgE, seringkali disebut sebagai
“united airway disease”. Asma memiliki karakteristik obstruktif pada bronkus
dapat diperberat dengan rinitis alergi. Hubungan antara keduanya dikaitkan
dengan beberapa teori, seperti aliran mediator inflamasi dengan adanya post-
nasal drip dan aliran sistemik dari mukosa hidung menuju bronkus dan paru.
31

DAFTAR PUSTAKA

Ameli F, Brocchetti F, et al. Adenoidal hypertrophy and allergic rhinitis: Is there


an inverse relationship?. American Journal Rhinol Allergy 2015.27.3854.

Bousquet J., et al. 2016. Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma (ARIA)
Guidelines 2016 Revision. The Journal of Allergy and Clinical
Immunology.Hal 950-958.

Ellwood, P., Asher, M., Beasley, R., Clayton, T., Stewart, A. 2015. ISAAC
International Study of Asthma and Allergies in Childhood Phase Three
Manual. New Zealand: ISAAC International Data Centre

Ghanie, Abla. 2017. Penatalaksanaan Rhinitis Alergi Terkini (Temu Ilmiah


Akbar Lustrum IX Dies Natalis ke-45 FK Unsri). Palembang: Fakultas
Kedokteran Universitas Sriwijaya.

Global Initiative for Asthma (GINA). (2016). Global Strategy for Asthma
Management and Prevention.

GINA.Global Initiative for Asthma. Global strategy for asthma and prevention.
2018.

Krouse JH. Immunology and Allergy. In: Lee KJ, Essential Otolaryngology
Head and Neck Surgery, 11th ed, McGraw-Hill Company, USA, 2016;
1022-9

Mullol J, Bachert C, Bousquet J. Management of persistent allergic rinitis:


evidenced based treatment with levocetirizine. Ther Clin Risk
Management. 2015;1(4):26571.
32

Okubo K, et al. 2016. Japanese Guideline for Allergic Rhinitis. Allergology


International. Hal 171-189.

Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Asma, pedoman diagnosis dan


penatalaksanaan di Indonesia. Jakarta; Balai Penerbit FKUI. 2015.

Sundaru H, Sukamto. Asma bronkial. Dalam: Setiati S, Alwi I, Sudoyo AW,


Simadibrata M, Setiyohadi B, Syam AF, penyunting. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam. Jilid I, Edisi VI. Jakarta. Internal Publishing,
2014.h.478-88.

Tamay Z, et al. (2017). Prevalence and risk factors for allergic rhintis allergy in
primary school children. Turkey: International Journal of Pediatric
Otorhinolaryngology. Hal 463-471

Widodo, Pujo. 2015. Hubungan antara Rinitis Alergi dengan Faktor-Faktor


Risiko yang Mempengaruhi pada Siswa SLTP Kota Semarang Usia 13-
14 Tahun dengan Mempergunakan Kuesioner International Study of
Asthma and Allergies in Childhood (ISAAC). Semarang: Fakultas
Kedokteran Universitas Diponegoro. Hal 11-15

Anda mungkin juga menyukai