Tugas 1 Pengembangan Lahan
Tugas 1 Pengembangan Lahan
i
Pembahasan ................................................................................. 159
Simpulan ....................................................................................... 175
Daftar Pustaka .............................................................................. 177
SUB TOPIK 10 PERATURAN KONSOLIDASI LAHAN ...................... 178
Deskripsi Umum ............................................................................ 179
Pembahasan ................................................................................. 180
Simpulan ....................................................................................... 193
Daftar Pustaka .............................................................................. 194
SUB TOPIK 11 STANDAR PERUMAHAN .......................................... 195
Deskripsi Umum ............................................................................ 196
Pembahasan ................................................................................. 196
Simpulan ....................................................................................... 212
Daftar Pustaka .............................................................................. 214
ii
DAFTAR GAMBAR
iii
Gambar 7.5 Contoh Taman Kecamatan ............................................. 124
Gambar 7.6 Pola Tanam Hutan Kota Strata 2 .................................... 124
Gambar 7.7 Contoh Tata Letak Jalur Hijau Jalan ............................... 124
Gambar 7.8 Contoh Pemanfaatan Vegetasi RTH di Bawah Jalan Layang
............................................................................................................. 127
Gambar 7.9 Contoh Penanaman Vegatasi pada RTH Smepadan Pantai
............................................................................................................. 128
Gambar 7.10 Contoh Pola Penanaman pada RTH Pemakaman ........ 129
Gambar 7.11 Tahapan Penyediaan dan Perancanaan RTH Publik ..... 129
Gambar 7.12 Peran Masyarakat, Swasta, dan Badan Hukum dalam
Penyediaan RTH.................................................................................. 129
Gambar 7.13 Tahapan Penataan RTHKP ........................................... 131
Gambar 7.14 Teknis Penyediaan RTHKP ........................................... 132
Gambar 7.15 Tahapan Identifikasi Kebutuhan Ruang Terbuka pada
Rumah Susun ...................................................................................... 132
Gambar 7.16 Tahapan Perencanaan Fasilitas Ruang Terbuka ........... 135
Gambar 8.1 Alur Proses Penyelenggaraan Sistem Informasi Industri
Nasional ............................................................................................... 144
Gambar 8.2 Tahapan Pembangunan Kawasan Industri ...................... 144
Gambar 8.3 Prosedur Pembebasan Lahan ......................................... 149
Gambar 8.4 Aspek Dalam Pengelolaan Kawasan Industri .................. 149
Gambar 8.5 Ketentuan Lokadi dan Pemanfaatan Kawasn Industri Tiap
Klasifikasi Industri ................................................................................ 152
Gambar 8.4 Aspek Dalam Pengelolaan Kawasan Industri .................. 149
Gambar 9.1 Bagian Kasiba, Lisiba, dan Lisiba yang Berdiri Sendiri .... 160
Gambar 9.2 Timeline Tenggat Waktu dan Capaian Kegiatan
Kasiba,Lisiba, dan Lisiba yang Berdiri Sendiri .................................... 162
Gambar 9.3 Tata Cara Penetapan Lokasi Kasiba dan Penyediaan Tanah
Kasiba .................................................................................................. 164
Gambar 9.4 Persyaratan Penetapan Lokasi Kasiba ............................ 167
Gambar 9.5 Kriteria Penetapan Lokasi Kasiba .................................... 168
Gambar 9.6 Tata Cara Penunjukan Badan Pengelola dan Penyelenggara
............................................................................................................. 171
Gambar 10.1 Alur Persiapan Pengadaan Tanah ................................. 181
Gambar 10.2 Alur Pelaksanaan Pengadaan Tanah............................. 182
Gambar 10.3 Alur Perencanaan Konsolidasi Tanah ............................ 181
Gambar 10.4 Alur Kerja Pelaksanaan Konsolidasi Tanah ................... 185
Gambar 10.5 Alur Pelmbangunan Konsolidasi Tanah ......................... 186
Gambar 10.6 Diagram Transmigrasi .................................................... 190
Gambar 10.7 Peta Konsolidasi Tanah di Painan Utara dan Painan Timur
............................................................................................................. 190
Gambar 10.8 Suasana Banjir yang Terdapat di Kampur Aur ............... 192
Gambar 11.1 Penampang Melintang Potongan Jalan ......................... 202
iv
DAFTAR TABEL
Tabel 6.6 Ketentuan Kebutuhan Air Non Domestik Kategori V ............ 111
Tabel 6.7 Data Jumlah Murid Sekolah Dasar di DKI Jakarta ............... 111
Tabel 7.1 Kebutuhan Ruang Terbuka pada Rumah Susun yang Harus
Disediakan ........................................................................................... 133
Tabel 7.2 Fasilitas Ruang Terbuka, Taman, dan Tempat Olahraga .... 134
Tabel 8.1 Klasifikasi Infrastruktur Kawasan Industri............................. 141
Tabel 8.2 Klasifikasi Data Kawasan Industri dalam Pengembangan
Kawasan Industri ................................................................................. 143
Tabel 8.3 Kriteria Perusahaan Kawasan Industri yang Menerima Fasilitas
Industri ................................................................................................. 145
Tabel 8.4 Bentuk Perizinan Kawasan Industri...................................... 145
Tabel 8.5 Kriteria Lokasi Kawasan Industri .......................................... 147
Tabel 8.6 Dokumen Persiapan Pengembangan Kawasan Industri ...... 148
Tabel 8.7 Jenis Pekerjaan Dalam Tahap Pembangunan ..................... 149
Tabel 8.8 Strategi Kebijakan Pemanfaatan Kawasan Industri Kabupaten
Karawang ............................................................................................. 151
Tabel 8.9 Ringkasan Ketentuan Kawasn Peruntukan Industri ............. 153
Tabel 8.10 Keterangan Lanjutan Kawasan Peruntukan Industri .......... 154
v
Tabel 9.1 Batasan Jumlah Unit Hunian yang Dapat Dibangun pada
Kasiba, Lisiba, dan Lisiba yang Berdiri Sendiri .................................... 160
Tabel 9.2 Daftar Rencana yang Pelri Disusun dan Dipertanggung
Jawabkan pada Tahap Perencanaan .................................................. 161
Tabel 9.3 Tahap Pelaksanaan Pembangunan pada Kasiba, Lisiba, dan
Lisiba yang Berdiri Sendiri ................................................................... 162
Tabel 9.4 Tabel Perbedaan Prosedur Pelaporan Perkembangan Kegiatan
............................................................................................................. 163
Tabel 8.9 Ringkasan Ketentuan Kawasn Peruntukan Industri ............. 153
Tabel 8.10 Keterangan Lanjutan Kawasan Peruntukan Industri .......... 154
Tabel 10.1 Kriteria Perencanaan Konsolidasi Tanah ........................... 184
Tabel 10.2 Tugas Tim Koordinasi dan Tim Perencana/Pelaksana ...... 187
Tabel 10.3 Hak dan Kewajiban Peserta Konsolidasi Tanah ................ 188
Tabel 11.1 Fasilitas Pemerintahan dan Pelayanan Umum .................. 198
Tabel 11.2 Fasilitas Pendidikan ........................................................... 199
vi
DESKRIPSI UMUM
2
berdasarkan beberapa asas, yaitu asas keterpaduan, asas
keberdayagunaan dan keberhasilgunaan, asas keserasian, keselarasan,
dan keseimbangan, asas kebudayaan, asas berkelanjutan, asas
kebersamaan dan kemitraan, asas kepastian hukum dan keadilan, asas
perlindungan kepentingan umum, asas keterbukaan, dan asas
akuntabilitas. Dalam peraturan ini juga disebutkan terkait tujuan penataan
ruang kota, yaitu guna mewujudkan tata ruang yang menghadirkan rasa
aman, nyaman, produktif, efektif, efisien, berkelanjutan, dan berwawasan
lingkungan yang berbasiskan aspek perdagangan, jasa dan industri kreatif
yang bertaraf nasional.
Peraturan Daerah Kota Bandung Nomor 11 Tahun 2015 adalah
peraturan yang membahas tentang Rencana Detail Tata Ruang Kota
Bandung periode 2015-2035. Rencana Detail Tata Ruang Kota (RDTRK)
mempunyai peranan sebagai penyelaras kebijakan penataan ruang wilayah
dan kota pada setiap Sub Wilayah Kota (SWK), acuan bagi pemerintah dan
masyarakat untuk mengarahkan lokasi kegiatan dan menyusun program
pembangunan yang berkaitan dengan pemanfaatan ruang kota, dan
pedoman untuk memberikan perizinan pemanfaatan ruang kota. Lingkup
wilayah RDTRK Bandung meliputi 8 SWK yaitu Bojonegara, Cibeunying,
Tegalega, Karees, Arcamanik, Ujungberung, Kordon, dan Gedebage yang
mencakup sejumlah kecamatan. Selain itu, peraturan tersebut membahas
mengenai peraturan zonasi (PZ) yang berperan dalam pengendalian
pemanfaatan ruang.
PEMBAHASAN
3
Gambar 1.1 Pelaksanaan Penataan Ruang
Sumber : Adaptasi dari Undang - Undang No.26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang
Pemanfaatan Ruang
Pelaksanaan program pemanfaatan ruang merupakan aktivitas
pembangunan berupa pengembangan penatagunaan tanah, air, udara, dan
sumber daya alam lainnya yang dilaksanakan oleh baik pemerintah maupun
masyarakat untuk mewujudkan rencana tata ruang. Dalam penyusunan
program pemanfaatan ruang dilakukan berdasarkan rencana tata ruang
dengan dilengkapi perkiraan pembiayaan serta kebutuhan sarana dan
prasarana di wilayah tersebut. Hak prioritas dalam penatagunaan tanah
yang direncanakan untuk pembangunan prasarana dan sarana serta ruang
yang berfungsi lindung diberikan kepada pemerintah dan pemerintah
daerah.
4
Pengendalian Pemanfaatan Ruang
Pengendalian pemanfaatan ruang dimaksudkan agar pemanfaatan
ruang yang dilakukan sesuai dengan rencana tata ruang yang berlaku.
Pengendalian tersebut dilakukan melalui penetapan peraturan zonasi,
perizinan yang terkait dengan pemanfaatan ruang, pemberian insentif dan
disinsentif, serta pengenaan sanksi. Peraturan zonasi merupakan
ketentuan-ketentuan yang mengatur pemanfaatan ruang yang disusun
untuk setiap zona peruntukan sesuai dengan rinci tata ruang.
5
Perencanaan Tata Ruang Wilayah
Rencana Tata ruang Wilayah merupakan arahan kebijakan dan
strategi pemanfaatan ruang wilayah negara yang dijadikan acuan untuk
perencanaan pada jangka panjang. Pada perencanaan tata ruang terbagi
menjadi tiga yaitu Nasional, Provinsi, dan Kabupaten/Kota.
Kepemilikan Tanah
Status kepemilikan atas tanah di Indonesia memiliki sejarah dan
memiliki kaitan yang sangat erat dengan era kolonial Belanda. Setelah
dibentuknya Undang-undang Pokok Agraria No. 5 Tahun 1960 (UUPA) hal-
hal yang terkait mengenai status kepemilikan tanah, kebijakan-kebijakan
pemerintah saat era kolonial Belanda sudah tidak berlaku lagi. Bukti
kepemilikan tanah harus tertuang di dalam sertifikat yang dikeluarkan oleh
Badan Pertanahan Nasional (BPN). Pada Tanah yang memiliki sertifikat
status dari tanahnya sudah pasti memiliki kepastian hukum, tetapi status
dari tanah ini juga memiliki daya jual yang tinggi jika dibandingkan dengan
tanah-tanah yang tidak mempunyai status atau sertifikat.
6
kemakmuran rakyat dengan memperhatikan hak-hak rakyat atas tanah, lalu
fungsi sosial hak atas tanah, dan batas maksimal kepemilikan tanah
khususnya pada tanah pertanian sebagai upaya untuk mencegah adanya
pemusatan penguasaan tanah dan penelantaran tanah. Agar hal-hal yang
tidak diinginkan seperti kasus sengketa pada tanah dan kerusakan pada
tanah perlu adanya aturan hukum yang akan mendukung terwujudnya
pemanfaatan dan penggunaan tanah.
7
Jika, panitia pembebasan lahan telah selesai menetapkan
keputusan mengenai besar dan bentuk ganti rugi dan keputusan tersebut
telah disampaikan kepada semua pihak yang bersangkutan,lalu pihak yang
memerlukan lahan dan para pemegang hak atas lahan memberitahukan
kepada panitia pembebasan lahan tentang persetujuan atau penolakan
atas penentuan besar atau bentuk ganti rugi yang telah ditetapkan.
Setelah tercapai kesepakatan antara kedua pihak yang
bersangkutan mengenai besar ganti rugi, maka selanjutnya dilakukan
pembayaran ganti rugi yang langsung dilakukan antara pihak yang
memerlukan lahan kepada pihak yang berhak. Secara bersamaan
dilakukan juga penyerahan hak atas tanah secara tertulis dihadapan
sekurang-kurangnya empat orang anggota panitia pembebasan lahan yang
diantaranya adalah Kepala Desa dan Camat yang bersangkutan.
Bukti pembayaran ganti rugi dan pelepasan hak dilakukan dibuat dalam
daftar secara kolektif dalam rangkap delapan.
Setelah pemberian ganti rugi, kemudian pihak yang memerlukan
lahan tersebut diharuskan mengajukan permohonan sesuatu hak atas
tanah kepada pejabat yang berkepentingan seperti yang dimaksudkan
dalam peraturan Menteri dalam negeri No. 6 tahun 1972. Permohonan
tersebut harus disertai dengan surat-surat bukti pernyataan pelepasan hak
dan pembayaran ganti ruginya yang selanjutnya harus diselesaikan oleh
Kepala Sub Direktorat Agraria Kabupaten/Kotamadya sesuai dengan
ketentuan yang ada di Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 5 tahun 1973.
8
atau memperluas lahan pada lokasi sekitar dari yang dimohon atau
mengganti dengan lahan lain dalam wilayah KBU sebagai ruang terbuka
hijau permanen; 2) menerapkan rekayasa teknis; dan 3) menerapkan
rekayasa vegetatif untuk memperbaiki kondisi fungsi hidrologis kawasan.
Desa/Kelurahan dengan KWT aktual yang melebihi batas KWT
maksimal wajib memulihkan kondisi fungsi hidrologis dengan memperkecil
lahan terbangun sehingga KWTa lebih kecil atau sama dengan KWT
maksimal, melalui kegiatan : 1) revitalisasi kawasan; 2) pembangunan
kembali kawasan; dan 3) konsolidasi lahan
9
Pelanggaran
Pelanggaran yang terjadi dalam pemanfaatan ruang di Kawasan
Bandung Utara akan disanksi atau diberi peringatan sesuai dengan
ketentuan perundang-undangan yang telah ada.
Pendahuluan
Keberadaan ruang yang terbatas di Kota Bandung mengakibatkan
diperlukannya penataan ruang untuk memaksimalkan penggunaan ruang
tersebut. Penataan ruang juga harus disesuaikan dengan guna lahan dan
aturan-aturan yang dibuat. Rencana Tata Ruang Wilayah Kota (RTRWK)
berfungsi untuk memberikan arahan lokasi pembangunan atau kegiatan
dan menyusun terkait program pembangunan agar sesuai dengan RTRWK
yang berlaku.
Fungsi-fungsi RTRWK
Dalam peraturan daerah Kota Bandung ini dijelaskan mengenai
fungsi dan kedudukan dari Rencana Tata Ruang Wilayah dan Kota. Fungsi
dari RTRWK adalah untuk menjadi penyelaras dari kebijakan penataan
ruang Nasional, Provinsi, dan Kota. Selain itu, RTRWK juga berfungsi
sebagai acuan yang digunakan bagi Pemerintah, Pemerintah Provinsi,
Pemerintah Daerah, dan masyakarat untuk mengarahkan lokasi kegiatan
dan menyusun program pembangunan yang memiliki keterkaitan dengan
pemanfaat dari ruang kota.
Kedudukan RTRWK
RTWK juga memiliki kedudukan. Kedudukan RTRWK yang
dijelaskan dalam peraturan daerah ini adalah sebagai pedoman bagi
penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah atau
disingkat RPJMD, pedoman bagi pemanfaatan-pemanfaatan ruang dan
pengendalian pemanfaatan ruang kota, pedoman dalam perwujudan
keterpaduan, keterkaitan, dan keseimbangan antar sektor, daerah, dan
pemangku kepentingan, pedoman untuk penetapan lokasi dan fungsi ruang
untuk investasi, dan pedoman untuk penataan ruang kawasan strategis
kota.
Wilayah Perencanaan
RTRWK wilayah Kota Bandung ini tentu memiliki batasan wilayah
perencanaannya. Dalam peraturan daerah tersebut lingkup wilayah
RTRWK mencakup seluruh wilayah daratan yang memiliki luas lebih kurang
17.000 Ha beserta ruang udara di atasnya dan ruang di dalam bumi yang
dalam letak geografis berada pada 6° 50’ 38” - 6° 58’ 50” Lintang Selatan
dan 107° 33’ 34” - 107° 43’ 50” Bujur Timur. Pada bagian Utara berbatasan
dengan Kabupaten Bandung Barat dan Kabupaten Bandung, pada bagian
Timur dan Selatan berbatasan dengan Kabupaten Bandung, dan pada
10
sebelah Barat berbatasan dengan Kota Cimahi dan Kabupaten Bandung
Barat.
11
sebaran fungsi kegiatan pusat-pusat pelayanan dengan fungsi dan
kapasitas jaringan jalan.
12
perumahan kepadatan rendah di Kecamatan Cidadap, Ujung Berung,
Gedebage, Cinambo, dan Panyileukan.
13
keseimbangan antar sektor, SWK, dan antar pemangku kepentingan.
Terlebih lagi, RDTRK dapat menjadi pedoman untuk penetapan lokasi dan
fungsi ruang untuk investasi dan penataan ruang kawasan strategis kota.
Lingkup wilayah perencanaan RDTRK meliputi batas yang
ditentukan menurut aspek administratifnya mencakup seluruh wilayah
daratan kota seluas kurang lebih 17.000 hektar beserta ruang udara di
atasnya dan ruang di dalam bumi. Wilayah perencanaan dan tujuan
penataan RDTRK meliputi 8 SWK Bandung yang masing-masing terdiri dari
sejumlah kecamatan. Wilayah tersebut yaitu SWK Bojonegara, Cibeunying,
Tegalega, Karees, Arcamanik, Ujungberung, Kordon, dan Gedebage. Peta
SWK Bandung dapat dilihat pada gambar di bawah ini.
Rencana pola ruang meliputi dua zona yaitu zona lindung dan zona
budidaya. Pada bagian ini akan dibahas studi kasus mengenai ketentuan
penggunaan lahan yang mengacu pada rencana pola ruang khususnya di
wilayah SWK Cibeunying sesuai yang tercantum di dalam RDTRK.
14
ruang zona perdagangan dan jasa. Berikut merupakan peta pola ruang di
sekitar Jl.Ir.H.Juanda SWK Cibeunying.
Gambar 1.4 Peta Pola Ruang di Sekitar Ir. H. Juanda SWK Cibeunying
15
Peraturan Zonasi (PZ)
Peraturan Zonasi
(PZ) terkait
penggunaan lahan
Gambar 1.5 Poin Besar Bahasan Peraturan Zonasi terkait Penggunaan Lahan
Sumber: Hasil Analisis dan Adaptasi Peraturan Zonasi Kota Bandung, 2020
16
Lantai Bangunan (KLB), Koefisien Dasar Hijau (KDH), Koefisien Tapak
Basement (KTB), dan Ketinggian Bangunan (KB).
Tata Bangunan
Tata bangunan dalam pemanfaatan ruang meliputi lahan
perencanaan, tata bangunan gedung, pemanfaatan ruang di atas
permukaan air, pemanfaatan ruang sempadan sungai dan waduk/situ, dan
pemanfaatan ruang di bawah jalur tegangan tinggi. Tata bangunan gedung
dapat dijabarkan lebih lanjut menjadi Garis Sempadan Bangunan (GSB),
jarak bebas bangunan, ramp, bangunan di bawah permukaan tanah,
bangunan layang, dan tinggi bangunan.Dalam perencanaan suatu lahan
harus mengikuti ketentuan seperti ketentuan planologis, pertimbangan
arsitektur kota dan lingkungan, ketentuan khusus tentang peluang ekspansi
bangunan, dan penyediaan sarana umum kota.
Prasarana Minimal
Prasarana minimal meliputi fasilitas umum dan sosial, prasarana
parkir, dan prasarana minimal lainnya.
Ketentuan Khusus
Ketentuan khusus pada PZ meliputi Kawasan Bandung Utara, zona
Ruang Terbuka Hijau (RTH) kawasan pelestarian alam, zona perumahan
(Kode:R), zona perdagangan dan jasa (Kode:K), zona industri dan
pergudangan (Kode:I), zona wisata buatan (Kode:W), zona eks-
perkantoran/ pemerintahan Kota Bandung, zona perdagangan dan jasa di
kawasan pemerintahan/Perkantoran Gedung Sate, kawasan strategis kota
berdasarkan sudut kepentingan ekonomi, dan kegiatan pembangunan yang
dibiayai pemerintah.
SIMPULAN
17
Peraturan Pemerintah No.16 tahun 2004 tentang Penatagunaan Tanah.
Koefisien Wilayah Terbangun maksimal, ketentuan untuk desa/kelurahan
dengan KWT aktual yang telah mencapai KWT maksimal maupun
melebihinya, arahan mengenai zonasi Kawasan Bandung Utara, dan sanksi
terhadap pelanggaran dalam pemanfaatan ruang Kawasan Bandung Utara
diatur pada Peraturan Gubernur Nomor 58 Tahun 2011 Tentang Perubahan
Atas Peraturan Gubernur Jawa Barat Nomor 21 Tahun 2009 Tentang
Petunjuk Pelaksanaan Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 1
Tahun 2008 Tentang Pengendalian Pemanfaatan Ruang Kawasan
Bandung Utara. Selain itu mengenai Rencana Tata Ruang Wilayah di Kota
Bandung diatur pada Peraturan Daerah Kota Bandung Nomor 18 tahun
2011 serta mengenai Rencana Detail Tata Ruang Kota (RDTRK) dan
Peraturan Zonasi (PZ) Kota Bandung diatur pada Peraturan Daerah Kota
Bandung Nomor 11 Tahun 2015.
18
DAFTAR PUSTAKA
19
DESKRIPSI UMUM
Seperti dalam penggunaannya, jual beli tanah diatur juga lewat
berbagai macam peraturan perundang-undangan.
Kitab Undang-undang hukum perdata membahas mengenai dasar
dalam dalam transaksi jual beli tanah, serta definisi jual beli tanah
tersebut. Selajutnya terdapat undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960
tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria yang memuat hal general
mengenai tanah. namun dalam tulisan ini hanya diambil satu poin
pembahasan terkait Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) yang tugasnya
dibahas lebih rinci dalam Undang - undang nomor 24 tahun 1997 tentang
pendaftaran tanah
Selanjutnya dalam Peraturan menteri agraria nomor 14 tahun
1961 tentang permintaan dan pemberian izin pemindahan hak atas
tanah akan dijelaskan prosedur rinci terkait jual beli tanah. Mulai dari
dokumen yang dibutuhkan, alur rinci jual beli, hingga aktor yang terlibat
dalam kegiatan jual beli tanah
Terakhir dalam Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2016
tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Pengalihan Tanah
dan/atau Bangunan menjelaskan mengenai ketentuan-ketentuan terkait
pajak terhadap penghasilan dari pengalihan tanah dan/atau bangunan.
Ketentuan tersebut meliputi penjelasan definisi penghasilan yang
dimaksud, badan atau perseorangan yang dikenai dan dikecualikan dalam
pajak, besaran pajak berdasarkan jenis pengalihan, serta ketentuan nilai
dari pengalihan tanah dan/atau bangunan tersebut. Pada bagian akhir
dijelaskan juga terkait prosedur dan alur dalam pembayaran pajak tersebut
PEMBAHASAN
2.1 Ketentuan dan Prosedur Jual Beli Tanah
Dalam jual beli tanah, tidak ada hukum yang secara khusus
membahas mengenai urutan langkah-langkah (prosedur) jual beli tanah,
namun hukum yang ada secara tersirat menyertakan ketentuan mengenai
hal-hal yang wajib dilakukan apabila melakukan jual beli tanah. Maka dari
itu, untuk memperjelas alur pembahasan mengenai ketentuan dan prosedur
jual beli tanah, dibuatlah urutan pembahasan sebagai berikut:
Kitab Undang- UU No. 5 PP No. 24 Permen
undang Hukum Tahun 1960 Tahun 1997 Agraria No. 14
Perdata Tahun 1961
Gambar 2.1. Alur Pembahasan Ketentuan dan Prosedur Jual Beli Tanah
21
Dimana Kitab Undang-Undang Hukum Perdata akan membahas
mengenai hukum jual-beli secara umum, dilanjutkan dengan Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1960 yang membahas mengenai perbedaan
transaksi jual beli tanah dengan transaksi jual beli pada umumnya disertai
dengan ketentuan khusus pada jual beli tanah, kemudian dilanjutkan
dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1997 yang disertai dengan
prosedur jual beli tanah untuk memperjelas konteks pendaftaran tanah
dalam transaksi jual beli tanah, dan pembahasan akan diakhiri dengan
Peraturan Menteri Nomor 14 Tahun 1961 yang menjelaskan tentang
pemindahan hak atas tanah dalam konteks jual beli tanah.
2.1.1 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Dalam transaksi jual-beli tanah, hukum yang mendasari transaksi
tersebut sama dengan transaksi jual-beli pada umumnya, yang mana di atur
pada Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Pasal 1458 yang menyatakan
bahwa “Jual beli dianggap telah terjadi antara kedua belah pihak, segera
setelah orang-orang itu mencapai kesepakatan tentang barang tertentu
beserta harganya, meskipun barang itu belum diserahkan dan harganya
belum dibayar.”. KUH Perdata ini menunjukkan dalam transaksi jual-beli
(tanah), harus ada persetujuan antara penjual dan pembeli dimana pihak
pembeli akan membayar sebanyak harga yang telah disepakati dalam
persetujuan tersebut. Adapun di dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata Pasal 506, tanah termasuk benda yang tidak bergerak sehingga
yang berpindah dalam transaksi jual-beli tanah adalah hak kepemilikan atas
tanah tersebut. Dan transaksi ini dinyatakan sah apabila memenuhi
ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Pasal 1320 yang mana
pasal tersebut menyatakakan supaya terjadi persetujuan yang sah terdapat
empat syarat yang perlu dipenuhi, yakni:
1. Kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya;
2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
3. Suatu pokok persoalan tertentu;
4. Suatu sebab yang tidak terlarang.
Sedangkan hal yang membuat transaksi batal menurut Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata Pasal 1321 adalah karena kekhilafan dan
diperoleh dengan paksaan atau penipuan.
2.1.2 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar
Pokok-pokok Agraria
Adapun hal yang membedakan transaksi jual-beli tanah dengan
transaksi jual-beli pada umumnya adalah, transaksi jual-beli tanah menurut
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 yang dimaksudkan untuk
memindahkan hak milik, akan diatur pada Peraturan Pemerintah dimana
pada transaksi jual-beli tanah itu sendiri, dimana penjual dan pembeli perlu
dibimbing oleh PPAT (Pejabat Pembuat Akta Tanah).
2.1.3 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran
Tanah
Prosedur jual beli tanah menurut Sidianthi (2010) dapat disimpulkan
menjadi tiga tahap:
22
• Pembeli dan Penjual Menghadap PPAT
Sebagaimana yang telah dijelaskan pada bagian Persyaratan
Dasar Jual Beli Tanah sebelumnya, dalam transaksi jual beli tanah,
baik pembeli dan penjual perlu dibimbing oleh PPAT. Maka dari itu,
untuk melakukan transaksi jual beli tanah, perlu dilakukan di
hadapan PPAT, dimana hal tersebut diperuntukkan supaya
memenuhi syarat terang (Sidianthi, 2010), yakni perbuatan tersebut
tidak lakukan secara sembunyi-sembunyi. Di hadapan PPAT pula,
pihak-pihak yang bersangkutan menandatangani akta jual beli,
dimana akta tersebut menjadi bukti nyata pemindahan hak dari
penjual kepada pembeli.
• PPAT Mengawasi Transaksi Jual Beli Tanah antara Pembeli dan
Penjual
PPAT harus dengan teliti memastikan bahwa penjual berhak
atas tanah yang akan dijualnya dan pembeli berhak atas tanah yang
akan dibelinya serta tanah yang diperjualbelikan adalah tanah yang
boleh diperjualbelikan dan tidak dalam sengketa. Tidak hanya itu,
PPAT juga harus memastikan kedudukan penjual. Kedudukan
penjual disini adalah kedudukan penjual sebagai individu, keluarga,
dan ataupun masih dalam perwalian. Hal ini disebabkan, tiap-tiap
kedudukan yang telah disinggung di atas, memiliki persyaratan yang
berbeda-beda dalam transaksi jual beli tanah baik sebagai penjual
atau pembeli.
• PPAT Menyerahkan Akta dan Dokumen-dokumen kepada
Kantor Pertanahan
Setelah memastikan transaksi jual beli tanah terlaksana
dengan semestinya, PPAT akan meminta sertifikat hak atas tanah
yang diperjualbelikan, bukti identitas, dan kelengkapan lainnya dari
penjual dan pembeli. Hal ini dilakukan supaya PPAT dapat
menyampaikan akta beserta dokumen-dokumen yang besangkutan
kepada Kantor Petanahan, sesuai dengan ketentuan Pasal 40 Ayat
(1) dari Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997. Dimana dalam
proses tersebut, diharapkan PPAT sudah menyerahkan akta dan
dokumen-dokumen yang bersangkutan selambat-lambatnya 7 hari
semenjak akta jual beli tersebut ditandatangani, sehingga kantor
pertanahan dapat mencoret nama penjual yang tertera dan
mengganti nama pembeli pada sertifikat tanah yang diperjualbelikan.
2.1.4. Peraturan Menteri Agraria Nomor 14 Tahun 1961 tentang
Permintaan dan Pemberian Izin Pemindahan Hak Atas Tanah
Prosedur pemindahan hak atas tanah hasil jual beli dibahas pada
Permen Agraria Nomor 14 Tahun 1961, dimana pada pasal 1 ayat 1
menyatakan bahwa “Pemindahan hak” ialah jual-beli, yang termasuk
pelelangan di muka-umum, penukaran, penghibahan, pemberian dengan
wasiat, pemberian menurut adapt dan perbuatan lain yang dimaksudkan
untuk mengalihkan sesuatu hak atas tanah kepada fihak lain. Dilanjutkan
oleh pasal 1 ayat 2, dijelaskan bahwa “Hak atas tanah”, ialah: hak milik,hak
23
guna-bangunan, dan hak guna-usaha, yang bukan untuk perusahaan
kebun besar.
Penjelasan terkait aktor atau subjek yang terlibat dalam pemindahan
hak ini ada pada pasal 1 ayat 3 dan 4 yang menyatakan bahwa “Pejabat
pembuat akta tanah” ialah pejabat yang disebut dalam pasal 19 Peraturan
Pemerintah No. 10 tahun 1961, serta “Instansi pemberi izin” ialah pejabat
yang mempunyai wewenang untuk memberi keputusan tentang permintaan
izin pemindahan hak milik, hak guna-bangunan dan hak guna-usaha,
sebagai yang disebut dalam Keputusan Menteri Agraria No. SK
112/Ka/1961.
Berikut ini adalah prosedur pemindahan hak atas tanah yang dibuat
berdasarkan peraturan menteri agraria no 14 tahun 1961:
24
2.2 PAJAK JUAL BELI TANAH
2.2.1 Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2016 tentang Pajak
Penghasilan atas Penghasilan dari Pengalihan Tanah dan/atau
Bangunan
Pengalihan ke BUMN/BUMD 0%
25
keagamanaan , badan pendidikan, badan sosial termasuk yayasan,
koperasi atau orang pribadi yang menjalankan usaha mikro dan
kecil, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan peraturan mentri
keuangan. Sepnjangg hibah tersebut tidak ada hubungan dengan
usaha, pekerjaan, kepmilikan atau penguasaan atar pihak-pihak
bersangkutan
3. Pengalihan harta berupa tanah dan/atau bangunan karena waris
4. Badan yang melakukan pengalihan harta berupa tanah dan/atau
bangunan dalam rangka penggabungan, peleburan, atau
pemekaran usaha yang ditetapkan menteri keuangan untuk
menggunakan nilai buku
5. Orang pribadi atau badan yang melakukan pengalihan harta berupa
bangunan dalam rangka melaksanakan perjanjian bangun guna
serah, bangun serah guna, atau pemanfaatan barang miliki negara
berupa tanah dan/atau bangunan; atau
6. Orang pribadi atau badan yang tidak termasuk subjek pajak yang
melakukan pengalihan harta berupa tanah dan/atau bangunan.
Terkait mekanisme dan alur pembayaran pajak Penghasilan atas
Penghasilan dari Pengalihan Tanah dan/atau Bangunan dapat dilihat
melalui flowchart dibawah ini.
STUDI KASUS
3.1 Tata Cara Pembayaran Bea Perolehan Hak atas Tanah dan/atau
Bangunan (BPHTB) di Kabupaten Buleleng
Mengingat pentingnya tanah yang terbatas dan bermanfaat untuk
kehidupan, maka sudah sewajarnya jika orang pribadi atau badan hukum
yang mendapatkan nilai ekonomis serta manfaat dari tanah dan atau
bangunan karena adanya perolehan hak atas tanah dan atau bangunan
dikenakan pajak oleh negara. Pajak yang dimaksud adalah Bea Perolehan
Hak atas Tanah dan atau Bangunan (BPHTB). Adapun tata cara
pembayaran BPHTB di Kabupaten Buleleng menurut Pemerintah
Kabupaten Buleleng (2013) adalah sebagai berikut:
26
1. Wajib Pajak
Selaku Penerima Hak merupakan pihak yang memiliki
kewajiban membayar BPHTB terutang atas perolehan hak atas
tanah dan / atau bangunan.
2. Dinas Pendapatan Daerah Kabupaten Buleleng
Merupakan pihak yang menyiapkan Surat Setoran Pajak
Daerah (SSPD) BPHTB, Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang
Bayar (SKPDKB), Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar
Tambahan (SKPDKBT), dan Surat Tagihan Pajak Daerah (STPD)
sebagai dasar bagi Wajib Pajak dalam membayar BPHTB terutang.
3. Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) / Notaris.
Merupakan pihak yang menerima Surat Setoran Pajak
Daerah (SSPD) BPHTB dari Wajib Pajak dan membantu melakukan
penghitungannya serta melaporkan setiap tanggal 10 bulan yang
bersangkutan ke Dinas Pendapatan Daerah Kabupaten Buleleng.
4. Bendahara Penerima Dinas Pendapatan Kabupaten Buleleng
Merupakan pihak yang menerima pembayaran BPHTB terutang
dari Wajib Pajak. Dalam Prosedur ini Bendahara Penerima yang
ditunjuk berwenang untuk:
• Menerima pembayaran BPHTB terutang dari Wajib Pajak
• Memeriksa kelengkapan pengisian SSPD BPHTB
• Mengembalikan SSPD BPHTB yang pengisiannya tidak
lengkap/kurang
• Menandatangani SSPD BPHTB yang telah lengkap
pengisiannya
Adapun tata cara yang sudah dikemas menjadi flowchart adalah
sebagai berikut:
27
Gambar 2.4. Tata Cara Pembayaran BPHTB Kabupaten Buleleng
Sumber: Bulelengkap.go.id (2013)
3.2 Peranan Lebih Lanjut PPAT
Pada alur diatas dijelaskan tata cara pembayaran BPHTB di Kabupaten
Buleleng. Namun, belum dijelaskan lebih lanjut mengenai peranan
PPAT/Notaris dalam pemungutan pajak BPHTB. Adapun peranan lebih
lanjut PPAT/Notaris dalam pemungutan pajak BPHTB menurut Ariyanti
(2006):
28
1. Menjalin kerja sama dengan Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan
Bangunan (KPPBB), di mana terkadang KPPBB tidak mengetahui
kejadian ataupun peristiwa yang harus dikenakan BPHTB, sehingga
PPAT/Notaris hadir sebagai salah satu pejabat yang membantu
pelaksanaan pemungutan pajak BPHTB.
2. PPAT/Notaris berperan dalam membantu Wajib Pajak menghitung
besarnya BPHTB agar Wajib Pajak dapat segera melunasi pajak
BPHTB yang terutang.
3. PPAT/Notaris bertugas menandatangani akta otentik setelah pajak
BPHTB tersebut dibayar lunas oleh Wajib Pajak. Pejabat Pembuat
Akta Tanah/Notaris hanya dapat menandatangani akta pemindahan
hak atas tanah dan atau bangunan setelah Wajib Pajak
menyerahkan bukti pembayaran pajak. Apabila dilanggar, maka
PPAT/Notaris dikenakan sanksi administrasi berupa denda sebesar
Rp 5.000.000,00 (lima juta rupiah).
4. PPAT/Notaris mempunyai kewajiban untuk membuat pelaporan atau
pemberitahuan perolehan hak atas tanah dan atau bangunan
berdasarkan ketentuan yang berlaku. Dalam PP No. 34 Tahun 1997
ditentukan bahwa PPAT/Notaris harus melaporkan perolehan hak
atas tanah dan atau bangunan setiap bulan.
5. PPAT/Notaris bertugas menyetorkan Surat Setoran Bea (SSB). Bukti
setoran digunakan sebagai alat untuk Balik Nama hak atas tanah
dan bangunan.
SIMPULAN
Jual beli tanah didasari hukum yang sama dengan transaksi jual beli
pada umumnya yakni diatur pada kitab Undang-Undang hukum perdata.
Adapun aktor yang terlibat antara lain Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT)
yang disebutkan dalam Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960 tentang
Peraturan dasar Pokok-pokok agraria dan tugasnya diatur lebih rinci dalam
Undang Undang Nomor 24 tahun 1997 tentang pendaftaran tanah,
kemudian Pemohon yang mengajukan izin, kepala kantor pendaftaran
tanah (KKPT) dan instansi pemberi izin meliputi kepala agraria daerah,
kepala pengawas agraria kepala inspeksi agraria dan menteri agraria, yang
dijelaskan dalam peraturan menteri agraria nomor 14 tahun 1961. Lebih
lanjut peraturan tersebut juga mengatur prosedur pemindahan hak atas
tanah yang didalamnya termasuk jual beli tanah. Selanjutnya, penghasilan
dari jual beli tanah juga termasuk dalam salah satu objek dari pajak
penghasilan yang dijelaskan dalam peraturan pemerintah nomor 34 tahun
2016 tentang pajak penghasilan atas penghasilan dari pengalihan hak atas
tanah dan/atau bangunan.
29
DAFTAR PUSTAKA
1. Kitab Undang-undang Hukum Perdata diakses dari
https://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=
&ved=2ahUKEwjWgPWQ0YTsAhUe8XMBHaiOBGoQFjAAegQIAxAB&
url=https%3A%2F%2Fjdih.kemnaker.go.id%2Fdata_puu%2Fperaturan
_file_kuhperdata.pdf&usg=AOvVaw3Tn1-mlrN7MTp1UIG2eADy, pada
3 September 2020
2. Peraturan Menteri Agraria Nomor 14 Tahun 1961 tentang Permintaan
dan Pemberian Izin Pemindahan Hak Atas Tanah diakses dari
https://jdih.atrbpn.go.id/#Menu2, pada 3 September 2020
3. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran
Tanah diakses dari
https://peraturan.go.id/peraturan/index.html?PeraturanSearch%5Bjenis_perat
uran_id%5D=11e449f368aacfa0a20b313231373330&PeraturanSearch%5Bn
omor%5D=24&PeraturanSearch%5Btahun%5D=1997&PeraturanSearch%5B
tentang%5D=, pada 3 September 2020
4. Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2016 tentang Pajak
Penghasilan dari Pengalihan Tanah dan/atau Bangunan diakses dari
https://peraturan.go.id/peraturan/index.html?PeraturanSearch%5Bjenis_perat
uran_id%5D=11e449f368aacfa0a20b313231373330&PeraturanSearch%5Bn
omor%5D=34&PeraturanSearch%5Btahun%5D=2016&PeraturanSearch%5B
tentang%5D=, pada 3 September 2020
5. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-
pokok Agraria diakses dari
https://peraturan.go.id/peraturan/index.html?PeraturanSearch%5Bjenis_perat
uran_id%5D=11e449f35c25e4d0b18e313231373039&PeraturanSearch%5B
nomor%5D=5&PeraturanSearch%5Btahun%5D=1960&PeraturanSearch%5B
tentang%5D=, pada 28 Agustus 2020
30
DESKRIPSI UMUM
32
penyederhanaan perizinan dan non perizinan lewat integrasi elektronik
menggunakan PTSP.
Peraturan Presiden Nomor 30 Tahun 2015 membahas tentang
pendanaan pengadaan tanah bagi kepentingan umum dan dokumen yang
harus ada dalam pengadaan tanah.
Peraturan Menteri ATR Nomor 5 Tahun 2012 tentang Petunjuk
Teknis Pelaksanaan Pengadaan Tanah membahas dan mengatur
tentang tanggung jawab Lembaga pertahanan (BPN RI) yang meliputi
tahapan pelaksanaan pengadaan tanah dan tahapan penyerahan hasil
pengadaan tanah.
Peraturan Menteri ATR Nomor 5 Tahun 2015 tentang Izin Lokasi
membahas tentang perizinan yang dilakukan oleh perusahaan untuk
memperoleh tanah yang diperlukan dalam rangka penanaman modal,
Sedangkan Peraturan Badan Koordinasi Penanaman Modal RI
Nomor 1 Tahun 2020 Tentang Pedoman Pelaksanaan Pelayanan
Perizinan Berusaha Terintegrasi Secara Elektronik menjelaskan
tahapan dalam menggunakan Perizinan Berusaha Terintegrasi secara
Elektronik bagi Pelaku Usaha yang ingin membuat usaha baru.
33
PEMBAHASAN
Hak atas
No. Subjek Jangka Waktu Terjadinya
Tanah
34
Hak atas
No. Subjek Jangka Waktu Terjadinya
Tanah
35
Hak atas
No. Subjek Jangka Waktu Terjadinya
Tanah
36
3. UU Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi
Pembangunan Untuk Kepentingan Umum
Perencanaan
Perencanaan Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum
didasarkan atas Rencana Tata Ruang Wilayah dan prioritas
pembangunan yang tercantum dalam Rencana Pembangunan Jangka
Menengah, Rencana Strategis, Rencana Kerja Pemerintah Instansi
yang bersangkutan.
Persiapan
Instansi yang memerlukan tanah bersama pemerintah provinsi
berdasarkan dokumen perencanaan Pengadaan Tanah melaksanakan
pemberitahuan rencana pembangunan, pendataan awal lokasi rencana
pembangunan, dan konsultasi publik rencana pembangunan.
Pelaksanaan
Pelaksanaan pengadaan tanah meliputi inventarisasi dan
identifikasi penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan
tanah; penilaian Ganti Kerugian; musyawarah penetapan Ganti
Kerugian; pemberian Ganti Kerugian; dan pelepasan tanah Instansi.
Penyerahan Hasil
Lembaga Pertanahan menyerahkan hasil Pengadaan Tanah
kepada Instansi yang memerlukan tanah setelah pemberian Ganti
Kerugian kepada Pihak yang Berhak dan Pelepasan Hak telah
dilaksanakan; dan/atau pemberian Ganti Kerugian telah di titipkan di
pengadilan negeri.
37
secara adil. Kegiatan penatagunaan tanah hanya dapat dilakukan dan
ditingkatkan pelaksanaannya di kawasan lindung dan budidaya sesuai
dengan arahan pada RTRW kabupaten / kota terbaru sesuai dengan
jangka waktu yang ditetapkan. Selain itu, kegiatan penatagunaan tanah
harus mengikuti pedoman, standar, dan kriteria teknis yang diatur oleh
Pemerintah Kabupaten/ Kota sesuai kondisi setiap daerah.
Penggunaan dan pemanfaatan tanah oleh pemegang hak wajib
mengikuti ketentuan peraturan perundang-undangan dan dilakukan
secara optimal.
Kebijakan penatagunaan tanah merupakan bagian dari
pelaksanaan penatagunaan tanah yang diselenggarakan terhadap
bidang-bidang tanah yang sudah ada haknya, tanah negara, dan tanah
ulayat sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Secara
umum, aktivitas yang terkait dengan penatagunaan tanah tidak boleh
mengganggu fungsi lingkungan dan pemanfaatan tanah serta
memperhatikan hak masyarakat, Secara rinci, ada beberapa hal
penting yang perlu diperhatikan dalam penatagunaan tanah, antara lain
penetapan RTRW tidak mempengaruhi status hubungan hukum atas
tanah, penyelesaian administrasi pertanahan dilaksanakan apabila
pemegang hak / kuasa atas tanah memenuhi syarat penggunaan tanah,
tanah pada kawasan lindung selain hutan yang belum ada hak atas
tanahnya dapat diberikan hak atas tanah, dan tanah timbul atau hasil
reklamasi dikuasai langsung oleh Negara.
Selain melalui kebijakan, kegiatan penatagunaan tanah juga
dilakukan melalui penyelenggaraan penatagunaan tanah yang
dilakukan melalui inventarisasi, perimbangan supply and demand, dan
penetapan pola penyesuaian fungsi tanah sesuai RTRW. Pelaksanaan
inventarisasi penatagunaan tanah meliputi pengumpulan, pengolahan,
penyajian, penyediaan, dan pelayanan data berupa peta dan informasi.
Terkait kegiatan penetapan perimbangan antara ketersediaan dan
kebutuhan, kegiatan ini dilakukan melalui penyajian neraca perubahan
dan kesesuaian penggunaan dan pemanfaatan tanah serta penyajian
dan penetapan prioritas ketersediaan tanah pada RTRW. Terakhir,
pelaksanaan pola penyesuaian fungsi tanah dilakukan melalui
penataan kembali, upaya kemitraan, dan penyerahan dan pelepasan
hak atas tanah sesuai ketentuan perundang-undangan. Penyesuaian
tersebut dilakukan dengan mempertimbangkan kebijakan
penatagunaan tanah, hak-hak pemilik tanah, investasi pembangunan
sarana dan prasarana, dan evaluasi tanah.
Kegiatan penatagunaan tanah ini juga perlu dikawal melalui
pembinaan dan pengendalian penatagunaan tanah yang dilakukan oleh
Pemerintah. Adapun kegiatan pembinaan dilakukan dengan cara
pemberian pedoman, bimbingan, pelatihan, dan arahan, sedangkan
pengendalian dilakukan melalui kegiatan pengawasan dan penertiban.
Selain itu, pemberian insentif dan disinsentif juga dapat dilakukan
dalam kegiatan pembinaan dan pengendalian penatagunaan tanah
sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.
38
Penguasaan
Objek tanah Penggunaan dan
penatagunaan pemanfaatan
tanah tanah
Perimbangan
Penertiban Pengendalian PENATAGUNAAN Penyelenggaraan ketersediaan dan
TANAH kebutuhan
Penetapan pola
penyesuaian
Pengawasan berdasarkan RTRW
Pembinaan
Pemberian pedoman,
Insentif dan disinsentif bimbingan, pelatihan, dan
arahan
39
pemilik bangunan gedung tersebut dalam pengajuan Izin Mendirikan
Bangunan (IMB) gedung untuk selanjutnya ditetapkan oleh Pemerintah
Daerah (Pemda). Apabila pemilik hendak mengubah fungsi dan
klasifikasi gedung, mereka perlu mengajukan permohonan izin baru
yang diikuti dengan pemenuhan persyaratan administratif dan teknis
yang telah ditentukan. Perubahan fungsi dan klasifikasi tersebut
ditetapkan oleh Pemda melalui IMB gedung.
Setiap bangunan gedung yang hendak dibangun wajib memenuhi
dua jenis persyaratan, yaitu persyaratan administratif dan teknis.
Persyaratan administratif yang perlu dipenuhi mencakup status hak
atas tanah dan/atau izin pemanfaatan, status kepemilikan, dan IMB
gedung. Setiap bangunan gedung yang hendak dibangun harus
memiliki status kepemilikan tanah yang jelas, baik milik sendiri maupun
orang lain. Selain itu, kepemilikan bangunan gedung juga perlu
dibuktikan dengan surat bukti kepemilikan yang dikeluarkan oleh
Pemda maupun Pemerintah. Terkait IMB gedung, Pemda berwenang
untuk mengeluarkan izin. Saat hendak mendirikan bangunan gedung,
Pemda wajib memberikan surat keterangan rencana kabupaten/kota di
lokasi pembangunan yang mengatur fungsi, ketinggian maksimum,
jumlah lantai di bawah permukaan tanah dan KTB, garis sempadan dan
jarak bebas, KDB maksimum, KLB maksimum, KTB maksimum, KDH
minimum, jaringan utilitas kota, dan ketentuan khusus yang berlaku di
lokasi pembangunan apabila diperlukan. Selanjutnya, pemohon wajib
mempersiapkan kelengkapan berupa tanda bukti status kepemilikan
hak atas tanah / pemanfaatan tanah, data pemilik bangunan gedung,
rencana teknis bangunan gedung, dan hasil AMDAL (khusus bangunan
gedung yang berdampak penting bagi lingkungan) saat hendak
mengajukan IMB gedung kepada Pemda.
40
Pemberdayaan
Pengaturan Pengawasan
BANGUNAN
GEDUNG
Pembangunan
Pelaksana
gugatan Pemberi Pelestarian
Pembongkaran
masukan
41
komitmen izin usaha dan pemenuhan komitmen izin komersial atau
operasional. Keempat, pelaku usaha melakukan pembayaran biaya
(PNBP atau Pajak/Retribusi Daerah). Kelima, Lembaga OSS
melakukan fasilitasi kepada pelaku usaha (terutama UMKM) untuk
mendapatkan perizinan berusaha melalui Sistem OSS. Dan yang
keenam, kementerian, lembaga, pemerintah daerah melakukan
pengawasan atas pemenuhan komitmen izin usaha dan pemenuhan
komitmen izin komersial atau operasional, pembayaran, dan
pelaksanaannya.
Untuk lebih memahami proses pelaksanaan perizinan dapat dilihat
pada diagram berikut. Diagram pertama menjelaskan proses
pelaksanaan perizinan berusaha melalui OSS pada daerah yang belum
memiliki RDTR. Diagram kedua menjelaskan proses pelaksanaan
perizinan berusaha melalui OSS pada daerah yang sudah memiliki
RDTR.
Gambar 3.4. Perizinan Berusaha pada Daerah yang Belum Memiliki RDTR
Sumber: Hasil Analisis PP No. 24 Tahun 2018, 2020
42
Gambar 3.5. Perizinan Berusaha pada Daerah yang Sudah Memiliki RDTR
Sumber: Hasil Analisis PP No. 24 Tahun 2018, 2020
43
f. Jenis, persyaratan teknis, mekanisme penelusuran posisi dokumen
pada setiap proses, biaya, dan waktu pelayanan.
g. Tata cara layanan pengaduan.
44
Gambar 3.5. Tahapan Pelaksanaan Pengadaan Tanah
Sumber: Hasil Analisis Permen ATR No. 5 Tahun 2012, 2020
Penyiapan Pelaksanaan
Ketua pelaksana pengadaan tanah membentuk satuan tugas
pelaksana pengadaan tanah yang beranggotakan 1 ketua dan
paling kurang 2 anggota yang memiliki tugas yang membidangi
inventarisasi dan identifikasi data fisik penguasaan, pemilikan,
penggunaan dan pemanfaatan tanah selanjutnya disebut Satgas A
dan untuk data pihak yang berhak dan objek pengadaan tanah
elanjutnya disebut Satgas B.
Inventarisasi & Identifikasi
Pelaksana pengadaan tanah bersama Satgas melakukan
pemberitahuan kepada pihak yang berhak melalui lurah/kepala
desa atau nama lain secara langung dengan cara sosialisasi, tatap
muka, atau surat pemberitahuan.
Setelah pemberitahuan secara langsung, selanjutnya Satgas
melakukan inventarisasi dan identifikasi. Satgas A melaksanakan
pengukuran batas keliling lokasi; pengukuran bidang per bidang;
menghitung, menggambar bidang per bidang dan batas keliling;
dan pemetaan bidang per bidang dan batas keliling bidang tanah.
Sedangkan, Satgas B membuat data dalam bentuk normative yang
memuat identitas pihak yang berhak; letak, luas, dan status/jenis
hak; luas dan jenis bangunan; jenis penggunaan; tanam tumbuh
dan benda lain yang berkaitan dengan tanah; dan pembebanan ha
katas tanah atau fiducia.
Penetapan Nilai
Pelaksanaan pengadaan jasa penilai dilakukan dengan seleksi
sederhana/seleksi umum dengan jangka waktu paling lama 30 hari
kerja. Apabila dalam jangka waktu tersebut tidak dapat
dilaksanakan, ketua pelaksana pengadaan tanah akan menunjuk
penilai public yang sudah memperoleh izin dari Menteri Keuangan
untuk memberikan jasa penilaian.
Penilai bertugas untuk menilai besarnya ganti kerugian bidang
per bidang tanah yang meliputi tanah; ruang atas tanah dan bawah
tanah; bangunan; tanaman; benda yang berkaitan dengan tanah;
dan kerugian lain yang dapat dinilai.
Musyawarah Penetapan Bentuk Ganti Kerugian
45
Musyawarah dilakukan secara langsung untuk menetapkan
bentuk ganti kerugian berdasarkan hasil penialian ganti kerugian.
Bentuk ganti kerugian dapat berupa uang, tanah pengganti,
permukiman Kembali, kepemilikan saham, atau bentuk lain yang
disetujui oleh kedua belah pihak.
Pemberian Ganti Kerugian
Pemberian ganti kerugian dalam bentuk uang dilakukan melalui
jasa perbankan atau pemberian secara tunai yang disepakati
antara pihak yang berhak. Pemberian ganti kerugian dalam bentuk
tanah pengganti, instansi yang memerlukan tanah menyediakan
tanah pengganti paling lama 6 bulan sejak penetapan bentuk ganti
kerugian oleh pelaksana pengadaan tanah. Pemberian ganti
kerugian dalam bentuk permukiman Kembali, instansi yang
memerlukan tanah menyediakan permukiman kembali paling lama
1 tahun sejak penetapan bentuk ganti kerugian oleh pelaksana
pengadaan tanah. Pemberian ganti kerugian dalam bentuk
kepemilikan saham diberikan berdasarkan kesepakatan antar pihak
yang berhak dengan Badan Usaha Milik Negara yang berbentuk
perusahaan terbuka dan mendapat penugasan khusu dari
pemerintah, paling lama 3 bulan sejak penetapan bentuk ganti
kerugian oleh pelaksana pengadaan tanah. Pemberian ganti
kerugian dalam bentuk lain dilakukan atas dasar kesepakatan
dalam musyawarah ganti kerugian atau berdasarkan putusan
pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap dengan besar
nilainya sama dengan nilai ganti kerugian dalam bentuk uang.
Pelepasan Objek Pengadaan Tanah
Pelepasan hak objek pengadaan tanah dibuat Berita Acara
Daftar Pelepasan Hak Objek Pengadaan Tanah yang merupakan
milik atau dikuasai Pemerintah/Badan Usaha Milik Negara/Badan
Usaha Milik Daerah.
Pemutusan Hubungan Hukum
Pada saat pemberian ganti kerugian dan pelepasan hak telah
dilaksanakan di hadapan kepala kantor pertahanan setempat,
kepemilikan atau hak atas tanah dari pihak yang berhak menjadi
hapus dan alat bukti haknya dinyatakan tidak berlaku dan tanahnya
menjadi tanah yang dikuasai langsung oleh negara.
Pendokumentasian
Pendokumentasian peta bidang, daftar normatif, dan data
administrasi pengadaan tanah disimpan, didokumentasikan dan
diarsipkan oleh kepala kantor pertanahan setempat. Data tersebut
dapat disimpan dalam bentuk data elektronik.
2. Penyerahan Hasil Pengadaan Tanah
Ketua pelaksana pengadaan tanah membuat dokumen dalam
rangkap 2, yaitu dokumen asli untuk kelengkapan permohonan
sertifikat hak atas tanah dan fotokopi yang dilegalisir oleh pelaksana
pengadaan tanah, untuk instansi yang memerlukan tanah dengan
waktu paling lama 7 hari kerja setelah pelaksanaan pengadaan tanah
selesai.
46
10. Peraturan Menteri ATR Nomor 5 Tahun 2015 tentang Izin Lokasi
Izin lokasi termasuk hal wajib bagi perusahaan yang telah
mendapatkan persetujuan terkait penanaman modalnya. Pemohon izin
lokasi tidak diperkenankan untuk melakukan kegiatan perolehan tanah
sebelum izin lokasi telah didapatkan. Untuk mengetahui lebih lanjut
terkait izin lokasi, maka pembahasan dari Permen ATR No. 5 Tahun
2015 ini, akan terfokus pada beberapa substansi, yaitu objek izin lokasi,
jangka waktu izin lokasi serta hak dan kewajiban pemegang izin lokasi.
Objek izin lokasi adalah tanah yang menurut Rencana Tata Ruang
Wilayah memang peruntukannya sesuai dengan rencana penanaman
modal yang akan dilaksanakan oleh perusahaan yang bersangkutan.
Setiap perusahaan yang akan menanamkan modalnya memiliki
batasan maksimal lahan yang dapat dibebaskan sesuai dengan
rencana penggunaannya. Tabel dibawah ini menginformasikan batasan
penguasaan lahan bagi setiap perusahaan yang akan menanamkan
modalnya.
1. Kawasan perumahan
400 4.000
permukiman
3. Kawasan Industri
400 4.000
4. Perkebunan tebu
60.000 150.000
47
6. Tambak di pulau jawa
100 1000
Perlu diketahui bahwa, jika di provinsi Papua dan Papua Barat, luas
maksimal penguasaan tanah satu provinsi menjadi dua kali lebih besar,
Kemudian ketentuan diatas tidak berlaku bagi BUMN, BUMD, badan
usaha yang seluruh atau sebagian sahamnya dikuasai pemerintah
pusat maupun daerah, serta badan usaha yang sudah Go Public. Dan
khusus untuk Kawasan industri, jika tanah yang dibutuhkan masih
kurang, maka pihak perusahaan dapat mengajukan penguasaan tanah
kembali dengan persetujuan Kementerian ATR/BPN.
Jangka waktu izin lokasi adalah tiga tahun, dan dapat diperpanjang
lagi selama satu tahun dengan syarat perolehan lahan sudah mencapai
lebih dari atau sama dengan 50 %. Jika perolehan lahan dibawah 50%,
maka izin lokasi tidak bisa diperpanjang lagi dan tanah yang diperoleh
dapat dilepaskan ke perusahaan atau pihak lain yang memenuhi syarat.
Selanjutnya jika selama perpanjangan satu tahun, perusahaan tidak
dapat memperoleh semua lahan yang direncanakannya, maka dapat
melakukan pembangunan dengan cara penyesuaian satu bidang
kesatuan lahan. Terakhir jika sudah memperoleh lahan, maka
pemegang izin lokasi wajib mendaftarkan tanahnya ke BPN setempat.
Pemegang izin lokasi memiliki hak untuk melakukan pembebasan
lahan yang sesuai pada areal izin lokasi, dan terbebas dari kepentingan
pihak lain. Cara pembebasan lahan tersebut harus sesuai dengan
peraturan yang berlaku. Selain hak, pemegang izin lokasi juga memiliki
kewajiban untuk menghormati kepentingan-kepentingan pihak lain atas
tanah yang belum dibebaskan, serta tidak menutup atau mengurangi
aksesibilitas masyarakat di sekitar lokasi, dan selalu melindungi
kepentingan umum. Jika tanah selesai dibebaskan, maka pemegang
izin lokasi dapat memanfaatkan sesuai dengan rencana penanaman
modalnya.
48
(2) penerbitan NIB;
(3) Izin Usaha;
(4) Izin Komersial atau Operasional;
(5) perizinan terkait Prasarana;
(6) Kantor Perwakilan; dan
(7) layanan lainnya terkait Perizinan Berusaha.
Dalam pembahasan berikut, akan diuraikan lebih rinci terkait izin
usaha, dan izin komersial atau operasional khususnya dalam
pemenuhan komitmennya serta perizinan terkait Prasarana yaitu
diantaranya izin lokasi, izin lingkungan, IMB, dan SLF khusus bagi
pelaku usaha yang wajib memenuhi komitmen izin usaha seperti tabel
di bawah ini.
49
Tabel 3.3. Tipe Izin yang Memerlukan Pemenuhan Komitmen Izin Usaha dan
Komersial atau Operasional
Tipe 2: Dengan
Belum berlaku efektif ✓
persyaratan teknis
Tipe 3: Dengan
Belum berlaku efektif ✓
persyaratan biaya
Tipe 4: Dengan
persyaratan teknis dan Belum berlaku efektif ✓
biaya
50
Gambar 3.6. Flowchart Pemenuhan Komitmen Izin Usaha dan
Komersial atau Operasional
Sumber: Adaptasi dari Peraturan Badan Koordinasi Penanaman
Modal RI No. 1 Tahun 2020
51
KESIMPULAN
52
DAFTAR PUSTAKA
2. Peraturan Menteri ATR No. 5 Tahun 2015 tentang Izin Lokasi. Diakses
dari https://peraturan.bpk.go.id/Home/Details/104060/permen-
agrariakepala-bpn-no-5-tahun-2015 pada 6 September 2020.
53
10. UU No. 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung. Diakses dari
https://www.hukumonline.com/pusatdata/detail/12622/undangundang-
nomor-28-tahun-2002 pada 31 Agustus 2020
54
DESKRIPSI UMUM
Dokumen ini membahas tentang peraturan yang berkaitan dengan
konstruksi fisik bangunan, baik undang-undang maupun standar fisik
bangunan tersebut. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang
Bangunan Gedung membahas tentang fungsi bangunan gedung yaitu
fungsi hunian, keagamaan, usaha, sosial dan budaya, dan khusus;
persyaratan bangunan gedung yaitu persyaratan peruntukan dan
intensitas bangunan gedung, arsitektur bangunan gedung, dan
pengendalian dampak lingkungan serta melihat pula keselamatan,
kesehatan, kenyamanan, dan kemudahan; penyelenggaraan bangunan
gedung, peran masyarakat, pembinaan, sanksi, dan ketentuan peralihan
bangunan gedung.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 36 Tahun
2005 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 28
Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung mengatur hal-hal yang bersifat
pokok dan normatif terkait penyelenggaraan bangunan gedung yang
ketentuan pelaksanaannya akan diatur lebih lanjut pada peraturan
perundang-undangan lain, seperti peraturan presiden, peraturan menteri,
standarisasi nasional, maupun peraturan daerah dengan tetap
mempertimbangkan ketentuan dalam peraturan perundang-undangan.
Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 29/PRT/M/2006 tentang
Pedoman Persyaratan Teknis Bangunan Gedung merupakan pedoman
teknis yang dijadikan acuan dalam mengatur dan mengendalikan
penyelenggaraan bangunan gedung dalam rangka proses perizinan
pelaksanaan dan pemanfaatan bangunan, juga pemeriksaan kelaikan
fungsi bangunan gedung. Pedoman teknis ini juga dijadikan sebagai
pedoman demi terwujudnya bangunan gedung yang sesuai dengan fungsi
yang telah ditetapkan dan juga memenuhi persyaratan teknis.
Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat
Nomor 27/PRT/M/2018 tentang Sertifikat Laik Fungsi Bangunan
Gedung merupakan peraturan yang membahas definisi dan pengertian
Sertifikat Laik Fungsi (SLF) Bangunan Gedung, pemeriksaan,
persyaratan, dan tata cara untuk menerbitkan, mendapatkan, dan
memperpanjang Sertifikat Laik Fungsi (SLF) Bangunan Gedung tersebut.
SNI 1726:2012 tentang Tata Cara Perencanaan Ketahanan Gempa
Untuk Struktur Bangunan Gedung dan Non Gedung membahas tata
cara perencanaan ketahanan gempa untuk struktur bangunan gedung dan
non gedung. Fisik bangunan diperhatikan segi kebencanaannya supaya
menghindari risiko dari bencana. Pada peraturan ini ketahanan gempa
dibahas pada jenis bangunan gedung maupun non gedung, yang masih
tergolong bangunan umum. Peraturan Daerah Kota Bandung Nomor 05
Tahun 2010 tentang Bangunan Gedung merupakan peraturan yang
mengatur ketentuan tentang bangunan gedung meliputi fungsi, klasifikasi,
persyaratan, penyelenggaraan, peran masyarakat, pembinaan,
penyelidikan, dan sanksi dalam penyelenggaraan bangunan gedung.
56
PEMBAHASAN
1. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung
Undang-Undang Republik Indonesia No. 28 Tahun 2002 mengatur
ketentuan tentang bangunan gedung yang meliputi fungsi, persyaratan,
penyelenggaraan, peran masyarakat, pembinaan, sanksi, dan aturan
peralihan. Pengaturan bangunan gedung memiliki tujuan untuk dapat
mewujudkan bangunan gedung yang fungsional dan sesuai dengan
tatanan bangunan gedung yang serasi dan selaras dengan
lingkungannya, tertib dalam penyelenggaraannya yang dapat menjamin
keandalan teknis bangunan gedung dari sisi keselamatan, kesehatan,
kenyamanan, dan kemudahan, serta memastikan hukum dalam
penyelenggaraan bangunan gedung.
Fungsi bangunan gedung memiliki peruntukan lokasi yang telah
diatur dalam Perda tentang RTRW Kabupaten/Kota. Hal tersebut
ditetapkan oleh Perda dan harus tercantum dalam Izin Mendirikan
Bangunan (IMB). Jika terdapat perubahan suatu fungsi bangunan gedung
maka harus mendapatkan persetujuan dan ketetapan kembali oleh
Pemerintah Daerah.
Tabel 1. Jenis Bangunan Gedung Berdasarkan Fungsi
Fungsi Bangunan Gedung Jenis Bangunan Gedung
Rumah tinggal tunggal atau deret, rumah
Fungsi hunian
susun, dan rumah tinggal sementara.
Masjid, gereja, pura, wihara, dan
Fungsi keagamaan
kelenteng.
Perkantoran, perdagangan, perindustrian,
Fungsi usaha perhotelan, wisata dan rekreasi, terminal,
dan penyimpanan.
Pendidikan, kebudayaan, pelayanan
Fungsi sosial dan budaya kesehatan, laboratorium, dan pelayanan
umum.
Reaktor nuklir, instalasi pertahanan dan
Fungsi khusus keamanan, dan bangunan sejenis yang
diputuskan oleh menteri.
Sumber: Adaptasi dari UU No. 28 Tahun 2002
57
Tabel 2. Persyaratan Tata Bangunan
Klasifikasi Persyaratan Syarat
58
Klasifikasi Persyaratan Syarat
Kemudahan
a. Tersedianya fasil.itas dan aksesibilitas
yang mudah, aman, dan nyaman
termasuk bagi penyandang cacat dan
lanjut usia dan fasilitas yang cukup.
b. Menyediakan pintu dan/atau koridor
antar ruang.
c. Penyediaan tangga, ram, dan sejenisnya
serta lift dan/atau tangga berjalan dalam
bangunan gedung.
d. Akses evakuasi dalam keadaan darurat.
Sumber: Adaptasi dari UU No. 28 Tahun 2002
59
atas tanah, dan/atau izin pemanfaatan dari pemegang hak atas tanah,
status kepemilikan bangunan gedung, dan izin mendirikan bangunan
gedung) dan persyaratan teknis yang sesuai dengan jenis-jenis bangunan
gedung, seperti bangunan gedung adat, bangunan gedung semi
permanen, bangunan gedung darurat, dan bangunan gedung yang
dibangun pada daerah lokasi bencana ditetapkan oleh pemerintah daerah
sesuai kondisi sosial dan budaya setempat.
Tabel 4. Persyaratan Administratif dan Teknis Bangunan gedung
Bangunan Gedung Bentuk Pertimbangan
60
No Pelaksanaan Konstruksi Pengawasan Konstruksi
Pelaksanaan konstruksi
4.
(menerapkan prinsip-prinsip K3).
Pemeriksaan kelaikan fungsi bangunan
Kegiatan pemeriksaan akhir gedung (pemeriksaan kesesuaian fungsi,
(pemeriksaan hasil akhir pekerjaan persyaratan tata bangunan, keselamatan,
5. konstruksi bangunan gedung
kesehatan, kenyamanan, dan kemudahan,
terhadap kesesuaian dengan
terhadap izin mendirikan bangunan
dokumen pelaksanaan).
gedung yang telah diberikan).
61
Gambar 1. Alur Pembangunan Bangunan Gedung
Sumber: Adaptasi dari Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 36 Tahun 2005
tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-undang No. 28 Tahun 2002 tentang Bangunan
Gedung
62
Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 29/PRT/M/2006
merupakan pedoman teknis yang dijadikan acuan dalam mengatur dan
mengendalikan penyelenggaraan bangunan gedung dalam rangka
proses perizinan pelaksanaan dan pemanfaatan bangunan, juga
pemeriksaan kelaikan fungsi bangunan gedung. Pedoman teknis ini juga
dijadikan sebagai pedoman demi terwujudnya bangunan gedung yang
sesuai dengan fungsi yang ditetapkan juga memenuhi persyaratan teknis,
yaitu meliputi persyaratan peruntukan dan intensitas bangunan, arsitektur
dan lingkungan, serta keandalan bangunan. Setiap bangunan gedung
harus memenuhi persyaratan fungsi utama bangunan, dimana fungsi
bangunan gedung ini terbagi menjadi fungsi hunian, fungsi keagamaan,
fungsi usaha, fungsi sosial dan budaya, fungsi khusus, dan satu bangunan
dengan lebih dari satu fungsi.
Pada awalnya fungsi bangunan gedung akan diusulkan oleh calon
pemilik bangunan gedung yang berbentuk rencana teknis bangunan
gedung. Dimana usulan ini tidak boleh bertentangan dengan peruntukan
lokasi yang sudah diatur di dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW)
Kabupaten/Kota dan/atau Rencana Teknis Ruang Kota (RTRK). Setelah
itu akan dilakukan penetapan fungsi oleh pemerintah daerah pada saat
proses pemberian Izin Mendirikan Bangunan (IMB). Fungsi bangunan
gedung dapat diklasifikasikan menjadi beberapa kelompok yang
ditentukan berdasarkan fungsi yang digunakan dalam perencanaan,
pelaksanaan, ataupun perubahan yang diperlukan pada bangunan
gedung. Berikut merupakan pembagian klas-klas bangunan berdasarkan
peruntukkan bangunan tersebut.
Tabel 6. Pembagian Klas-klas Bangunan
No Klas Bangunan Peruntukkan Bangunan
1. Klas 1 -Bangunan Gedung Hunian Tunggal
-Rumah Asrama atau Kost, Rumah Tamu,
dan Sejenisnya
63
No Klas Bangunan Peruntukkan Bangunan
10. Klas 10 Bangunan Gedung atau Struktur yang
Merupakan Sarana atau Prasarana
Bangunan Gedung yang Dibangun Secara
Terpisah
11. Klas 11 Bangunan - Bangunan yang Tidak
Diklasifikasikan Khusus
13. Klas 13
Klasifikasi Jamak
Sumber: Sumber: Adaptasi dari Permen PU No. 29/PRT/M/2006 tentang Pedoman
Persyaratan Teknis Bangunan Gedung
64
1. Persyaratan Tata Bangunan dan Lingkungan
a. Peruntukan lokasi dan intensitas bangunan gedung
b. Arsitektur bangunan gedung
Bangunan gedung perlu memperhatikan keseimbangan,
keserasian dan keselarasan dengan lingkungan bangunan gedung
dengan memperhatikan:
• Penyediaan Ruang Terbuka Hijau Pekarangan (RTHP) yang
syarat ketentuannya ditetapkan dalam rencana tata ruang dan
tata bangunan berupa Garis Sempadan Bangunan (GSB),
Koefisien Dasar Bangunan (KDB), Koefisien Daerah Hijau
(KDH), Koefisien Lantai Bangunan (KLB), serta parkir dan
ketetapan lainnya
• Persyaratan ruang sempadan bangunan gedung
• Persyaratan tapak basemen bangunan terhadap lingkungan
• Daerah Hijau Bangunan (DHB)
• Tata tanaman
• Sistem sirkulasi dan fasilitas parkir
• Penempatan pertandaan
• Pencahayaan ruang luar bangunan gedung
c. Pengendalian dampak lingkungan
d. Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan (RTBL)
e. Pembangunan bangunan gedung di atas dan/atau di bawah
tanah, air, dan/atau prasarana atau sarana umum
2. Persyaratan Keandalan Bangunan Gedung
Persyaratan mengenai keandalan bangunan gedung disajikan melalui
tabel berikut.
Tabel 7. Persyaratan Keandalan Bangunan Gedung
Aspek Syarat Teknis Persyaratan
- Struktur Bangunan Gedung
- Pembebanan pada Bangunan
Kemampuan Bangunan Gedung
Gedung Terhadap Muatan - Struktur Atas dan Bawah Bangunan
Gedung
- Keandalan Bangunan Gedung
- Sistem Proteksi Pasif
- Sistem Proteksi Aktif
- Jalan Keluar dan Aksesibilitas untuk
Keselamatan Pemadam Kebakaran
Kemampuan Bangunan
Bangunan - Pencahayaan Darurat, Tanda Arah
Gedung Terhadap Bahaya
Keluar, Sistem Peringatan Bahaya
Kebakaran
- Komunikasi Dalam Gedung
- Instalasi Bahan Bakar Gas
- Manajemen Penanggulangan
Kebakaran
Persyaratan Kemampuan
Bangunan Gedung - Instalasi Proteksi Petir
Terhadap Bahaya Petir dan - Sistem Kelistrikan
Bahaya Kelistrikan
Kesehatan Sistem Penghawaan - Ventilasi
65
Aspek Syarat Teknis Persyaratan
Bangunan - Mempunyai Pencahayaan Alami
Sistem Pencahayaan
dan/atau Buatan, serta Darurat
- Plambing Dalam Bangunan Gedung
- Instalasi Gas Medik
Sistem Sanitasi - Penyaluran Air Hujan
- Fasilitasi Sanitasi Dalam Bangunan
Gedung
- Aman Bagi Kesehatan Pengguna
Gedung dan Tidak Menimbulkan
Penggunaan Bahan Dampak Negatif terhadap
Bangunan Gedung Lingkungan
- Tidak Mengandung Bahan-bahan
Berbahaya atau Beracun
Kenyamanan Ruang Gerak - Kenyamanan Ruang Gerak dan
dalam Bangunan Gedung Hubungan Antarruang
Kenyamanan Kondisi
- Kenyamanan Termal Dalam Ruang
Udara dalam Ruang
Kenyamanan
Bangunan Kenyamanan Pandangan - Kenyamanan Pandangan (Visual)
Kenyamanan Terhadap
- Getaran
Tingkat Getaran dan
- Kebisingan
Kebisingan
- Kemudahan Hubungan Horisontal
dan Vertikal Dalam Bangunan
Hubungan Ke, Dari, dan Di
Gedung Sarana Evakuasi
Dalam Bangunan Gedung
Kemudahan Aksesibilitas Bagi Penyandang
Bangunan Cacat dan Lansia
Kelengkapan Prasarana - Menyediakan Kelengkapan
dan Sarana Pemanfaatan Prasarana dan Sarana Pemanfaatan
Bangunan Gedung Bangunan Gedung
Sumber: Adaptasi dari Permen PU No. 29/PRT/M/2006 tentang Pedoman
Persyaratan Teknis Bangunan Gedung
66
maka harus memperhatikan kompleksitas dan ketinggian bangunan
gedung. Sedangkan untuk memenuhi tata cara pemeriksaan kelaikan
fungsi gedung dan tata cara penerbitan SLF harus memperhatikan
bagaimana kondisi bangunan gedung tersebut.
Tabel 8. Penggolongan Bangunan Gedung
Penggolongan Bangunan Jenis Bangunan
Kompleksitas dan Ketinggian Bangunan gedung sederhana 1 lantai
Bangunan Bangunan gedung sederhana 2 lantai
Bangunan gedung tidak sederhana dan khusus
hingga 5 lantai
Bangunan gedung tidak sederhana dan khusus
hingga lebih dari 5 lantai
Kondisi Bangunan Gedung Bangunan gedung baru
Bangunan gedung yang sudah ada (existing)
Sumber: Permen PUPR RI No.27/PRT/M/2018 tentang Sertifikat Laik Fungsi Bangunan
Gedung
Tabel 9. Pihak Pemeriksa Kelaikan Fungsi Bangunan Gedung
Jenis bangunan Gedung Pihak Pemeriksa
Bangunan gedung sederhana 1 lantai Penyedia Jasa Pengawas Konstruksi
atau Manajemen Konstruksi
Bangunan gedung sederhana 2 lantai
Bangunan gedung tidak sederhana dan
khusus hingga 5 lantai
Bangunan gedung tidak sederhana dan
khusus hingga lebih dari 5 lantai
Bangunan gedung baru Penyedia Jasa Pengkaji Teknis
Bangunan gedung yang sudah ada (existing)
Bangunan gedung baru berupa rumah tinggal Tim Teknis dari Perangkat Daerah
dan rumah deret Penyelenggara SLF
Bangunan gedung yang sudah ada (existing)
berupa rumah tinggal dan rumah deret
Sumber: Permen PUPR RI No.27/PRT/M/2018 tentang Sertifikat Laik Fungsi Bangunan
Gedung
67
pintu yang bertugas untuk memeriksa kelengkapan dokumen, melakukan
pendataan, dan menyerahkan hasil rekomendasi kepada pemohon.
Selanjutnya, dokumen tersebut akan diserahkan kepada perangkat
daerah penyelenggara bangunan gedung yang bertugas untuk
memeriksa kesesuaian dan kebenaran dokumen permohonan SLF. Lalu,
dilakukan pengesahan hasil rekomendasi dan dokumen SLF yang
dilanjutkan dengan pemutakhiran data.
Adapun dana yang harus dipersiapkan oleh pemohon SLF adalah
dana yang dialokasikan untuk biaya pemeriksaan yang dilakukan oleh
jasa pengkaji teknis, biaya pengkajian atau pengubahsuasanaan
bangunan gedung sesuai dengan rekomendasi kelaikan fungsi bangunan
gedung, dan biaya untuk menyiapkan kelengkapan dokumen.
5. SNI 1726:2012 tentang Tata Cara Perencanaan Ketahanan Gempa
Untuk Struktur Bangunan Gedung dan Non Gedung
Dalam pembangunan suatu bangunan, perlu diperhatikan segi
kebencanaan guna menghindari resiko dari bencana. Fisik bangunan,
khususnya struktur dari suatu bangunan merupakan hal yang krusial
dalam perencanaan preventif dari bencana gempa. SNI 1726:2012
membahas persyaratan minimal perencanaan ketahanan gempa untuk
struktur bangunan. Terdapat 4 kategori risiko struktur bangunan gedung
dan non gedung.
Tabel 10. Kategori Risiko Struktur Bangunan
Kategori Keterangan
Kategori 1 Bangunan yang memiliki risiko rendah terhadap jiwa manusia apabila
terjadi kegagalan.
Kategori 2 Semua bangunan gedung dan struktur lain yang tidak termasuk pada
kategori 1,3, dan 4.
Kategori 3 Bangunan yang memiliki risiko tinggi terhadap jiwa manusia atau terhadap
dampak ekonomi yang besar apabila terjadi kegagalan.
68
Gambar 3. Skema Tata Cara Perencanaan Ketahanan Gempa Untuk Struktur Bangunan
Sumber: SNI 1726:2012 tentang Tata Cara Perencanaan Ketahanan Gempa
Untuk Struktur Bangunan Gedung dan Non Gedung
69
Struktur bangunan non gedung merupakan semua sistem
struktur bukan gedung yang memikul beban gravitasi dan perlu
diamankan terhadap pengaruh gempa. Struktur bangunan non
gedung yang diletakkan di tanah atau menumpu pada struktur lainnya
harus direncanakan untuk memikul gaya lateral. Oleh karena itu, pada
bangunan non gedung yang tidak menyerupai gedung harus
memperhitungkan karakteristik dinamiknya, mempertimbangkan ketentuan
prosedur gaya lateral ekivalen, prosedur analisis ragam, prosedur analisis
respons riwayat waktu linier, prosedur analisis respons riwayat non linier,
atau prosedur yang diharuskan oleh dokumen referensi yang spesifik
untuk bangunan tersebut. Perlu diperhatikan, bahwa pada kedua
prosedur tersebut yang ditetapkan pada standar ini tidak berlaku untuk
bangunan dengan sistem struktur yang tidak umum atau masih
membutuhkan pembuktian lebih terhadap kelayakannya. Untuk jenis
struktur bangunan tersebut, harus menggunakan standar dan pedoman
perencanaan yang terkait. Dalam hal ini, diperlukan keterlibatan tenaga
ahli bidang rekayasa struktur dan geoteknik.
6. Peraturan Daerah Kota Bandung Nomor 05 Tahun 2010 tentang
Bangunan Gedung
Peraturan daerah ini bertujuan untuk mewujudkan bangunan
gedung yang sesuai dengan tata bangunan dan juga lingkungan
sekitarnya di daerah Kota Bandung. Peraturan ini juga bertujuan untuk
mewujudkan tata tertib penyelenggaraan bangunan gedung yang
menjamin teknis bangunan dalam aspek keselamatan, kesehatan, dan
kemudahan. Selain itu, Peraturan ini juga bertujuan untuk mewujudkan
kepastian hukum dalam penyelenggaraan bangunan gedung. Peraturan
daerah ini juga mengatur ketentuan tentang bangunan gedung, meliputi
fungsi, klasifikasi, persyaratan, penyelenggaraan, peran masyarakat,
pembinaan, penyelidikan, dan sanksi.
Setiap bangunan gedung harus memenuhi Persyaratan
Bangunan Gedung, seperti persyaratan administratif dan persyaratan
teknis sesuai dengan fungsi dan klasifikasi bangunan gedung.
Persyaratan administratif bangunan gedung meliputi bukti hak atas tanah
dan Izin Mendirikan Bangunan (IMB). Persyaratan administratif dan
persyaratan teknis untuk bangunan gedung adat, bangunan gedung semi
permanen, bangunan gedung darurat, dan bangunan gedung yang
dibangun pada daerah lokasi bencana ditetapkan oleh pemerintah daerah
sesuai kondisi sosial dan budaya setempat.
Setiap bangunan gedung harus memenuhi persyaratan
administratif. Status kepemilikan tanah harus jelas, jika tanah merupakan
milik pihak lain diperlukan izin pemanfaatan tanah dalam bentuk
perjanjian tertulis antara pemegang hak atas tanah atau pemilik tanah
dengan pemilik bangunan gedung. Kegiatan pendataan dan pendaftaran
untuk bangunan gedung yang telah berdiri dilakukan bersamaan dengan
proses pengesahan surat keterangan laik fungsi bangunan gedung atau
proses IMB apabila terjadi perubahan dan/atau penambahan bangunan
gedung.
70
Selain itu, terdapat Persyaratan Tata Bangunan. Pembangunan
dan pemanfaatan bangunan gedung harus sesuai dengan peruntukan
lokasi/kawasan yang diatur dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW),
Rencana Detail Tata Ruang (RDTR), Rencana Teknik Ruang Kota (RTRK)
dan/atau Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan (RTBL). Saat
peruntukan suatu wilayah belum ditetapkan walikota, maka pemohon
dapat menerbitkan persetujuan membangun gedung selama tidak
berlawanan dengan ketentuan yang berlaku dan segera menyusun
RDTR, peraturan bangunan setempat, dan RTBL berdasarkan RTRW.
Pembangunan bangunan gedung dapat dibangun walaupun tidak sesuai
peruntukannya. Hal tersebut dapat terjadi karena ada beberapa cara yang
dapat dilakukan untuk mendapatkan persetujuan Walikota. Peruntukkan
tersebut yaitu:
1. Pembangunan bangunan gedung diatas jalan umum, saluran, atau
sarana lain.
2. Pembangunan bangunan gedung dibawah tanah yang melintasi
sarana dan prasarana jaringan kota.
3. Pembangunan bangunan gedung dibawah atau diatas air.
4. Pembangunan bangunan gedung pada daerah hantaran udara
(transmisi) tegangan tinggi.
Bangunan gedung yang didirikan harus memenuhi persyaratan
intensitas bangunan meliputi persyaratan kepadatan dan persyaratan
ketinggian bangunan gedung berdasarkan RTRW, RDTR, RTBL, dan
peraturan bangunan setempat. Kepadatan bangunan meliputi ketentuan
tentang Koefisien Dasar Bangunan (KDB), yang dibedakan dalam
tingkatan KDB padat, sedang, dan renggang. Ketinggian bangunan
meliputi ketentuan tentang Jumlah Lantai Bangunan (JLB) dan Koefisien
Lantai Bangunan (KLB) yang dibedakan dalam tingkatan KLB tinggi,
sedang, dan rendah. Untuk bangunan yang ditetapkan sebagai bangunan
gedung yang dilestarikan dapat menggunakan KDB dan KLB sebelumnya,
sepanjang tidak mengalami perubahan.
Selanjutnya, dalam peraturan ini dibahas juga terkait Perencanaan
Teknis. Perencanaan bangunan satu lantai dengan luas kurang dari lima
puluh meter persegi dapat dilakukan oleh orang yang tidak memiliki
sertifikat khusus. Perencanaan bangunan yang memiliki jumlah sampai
dengan dua lantai dapat dilakukan oleh ahli yang telah memiliki kualifikasi
bekerja sebagai perencana. Perencanaan bangunan dengan jumlah lantai
lebih dari dua dapat dilakukan oleh badan hukum profesional atau
profesional lain yang memiliki kualifikasi di bidangnya. Dalam
perencanaan suatu gedung harus disertai perencanaan tapak
menyeluruh yang mencakup rencana tata letak bangunan gedung,
rencana sirkulasi kendaraan, orang dan barang, pola parkir, pola
penghijauan, ruang terbuka, serta sarana dan prasarana lingkungan
dengan standar yang ada.
Salah satu Studi Kasus atau permasalahan yang ada di Kota
Bandung terkait peraturan ini adalah Hotel Pullman yang berlokasi di
depan Gedung Sate di Jalan Diponogoro, Kota Bandung. Gedung
tersebut menyalahi izin mendirikan bangunan atau IMB yang sudah
71
diberikan pemerintah daerah. Pembangunan Hotel Pullman melanggar
Perda Nomor 5 Tahun 2010 tentang Bangunan Gedung. Atas kesalahan
tersebut, pihak hotel mendapat denda sebesar 41 milliar rupiah dengan
total uang tunai senilai 28 milliar dan sisanya berupa fasilitas umum dan
fasilitas sosial.
Hal tersebut juga terjadi di daerah Kawasan Bandung Utara.
Sebuah rumah disegel oleh Satpol PP Kota Bandung dikarenakan pemilik
tidak mengantongi Izin Mendirikan Bangunan (IMB). Pemilik bangunan
mendirikan bangunan di sepadan sungai serta membuang bahan bekas
bangunan ke sungai. Pemilik bangunan melanggar Perda Nomor 5 Tahun
2010 tentang Bangunan Gedung dan Perda Nomor 11 Tahun 2005
tentang Kebersihan, Ketertiban, Keindahan (K3).
Selain berbagai permasalahan yang terjadi di atas, ada beberapa
peninjauan yang perlu ditangani lebih lanjut terkait penyelenggaraan
pembangunan Bangunan Gedung Hijau, khususnya di Kota Bandung.
Dalam konteks perencanaan gedung baru atau penambahan bangunan
gedung, dikenakan persyaratan Bangunan Gedung Hijau sesuai dengan
Peraturan Walikota Bandung Nomor 1023 Tahun 2016. Pada peraturan
ini diatur persyaratan dan fungsi Bangunan Gedung Hijau pada
pembangunan gedung baru atau penambahan gedung, seperti luasan
bangunan gedung yang memuat luas paling sedikit 5.000 meter persegi.
Mengingat Bangunan Gedung Hijau mempunyai karakteristik
khusus dalam pembangunan dan penyelenggaraannya, maka dapat
ditinjau pula persyaratan wajib yang melengkapi fungsi teknis dan non
teknis bangunan yang harus dilengkapi ruang bawah tanah ini.
Persyaratan wajib tersebut, meliputi efisiensi energi, efisiensi air,
SPB/BMS, pengelolaan kualitas udara dalam ruang, dan pengelolaan
lahan. Setiap persyaratan wajib tersebut menjelaskan berbagai
persyaratan dan perhitungan yang lebih detail terkait konsep efisiensi
dan pengeloaan Bangunan Gedung Hijau. Adapun sketsa kasar yang
dibuat oleh kami melalui software SketchUp untuk memperlihatkan bentuk
dan tampak Bangunan Gedung Hijau yang dimaksud oleh regulasi ini
pada skala 1:1000.
72
Gambar 5. Sketsa Bangunan Gedung Hijau I
Sumber: Hasil Analisis dan Adaptasi Peraturan Walikota Bandung Nomor 1023
Tahun 2016 tentang Bangunan Gedung Hijau
73
SIMPULAN
Kontruksi fisik bangunan gedung mencakup beberapa bahasan, seperti
fungsi bangunan, persyaratan tata bangunan, dan persyaratan keandalan
bangunan gedung yang tercantum pada Undang-Undang Nomor 28
Tahun 2002 dan juga peraturan pelaksanannya yang tertuang pada
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2005.
Selain itu, terdapat pedoman persyaratan teknis mengenai bangunan
gedung yang mencakup beberapa bahasan terkait ketentuan bangunan
gedung yang diatur dalam Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor
29/PRT/M/2006. Selain itu, pemberlakuan Sertifikat Laik Fungsi (SLF)
bangunan gedung bertujuan agar bangunan gedung tersebut dapat
dimanfaatkan melaului pemenuhan persyaratan, dokumen dan tata cara
penerbitan SLF seperti yang tertera pada Peraturan Menteri PUPR RI
No.27/PRT/M/2018. Segi kebencanaan pada suatu fisik bangunan juga
perlu ditinjau seperti yang tercantum pada SNI 1726:2012 yang mencakup
tata cara perencanaan ketahanan gempa untuk struktur bangunan gedung
dan non gedung. Selain itu, setiap bangunan gedung yang ada di Kota
Bandung harus memenuhi Peraturan Daerah Kota Bandung Nomor 05
Tahun 2010. Bangunan gedung tersebut harus memenuhi persyaratan
yang ada baik secara administratif maupun teknis.
74
DAFTAR PUSTAKA
1. Peraturan Daerah Kota Bandung Nomor 05 Tahun 2010 tentang
Bangunan Gedung diakses dari
http://ditjenpp.kemenkumham.go.id/files/ld/2010/KotaBandung-
2010-5.pdf, pada 12 September 2020
2. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 29/PRT/M/2006
tentang Pedoman Persyaratan Teknis Bangunan Gedung diakses
dari https://betterwork.org/wp-content/uploads/2017/09/782-2-per-
29_men_2006.pdf, pada 10 September 2020
3. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Nomor
27/PRT/M/2018 tentang Sertifikat Laik Fungsi Bangunan Gedung
diakses dari
http://ditjenpp.kemenkumham.go.id/arsip/bn/2018/bn1757-2018.pdf,
pada 11 September 2020
4. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2005
tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 28 Tahun
2002 tentang Bangunan Gedung diakses dari
https://jdih.kemenkeu.go.id/fullText/2005/36TAHUN2005PP.htm,
pada 12 September 2020
5. Peraturan Walikota Bandung Nomor 1023 Tahun 2016 tentang
Bangunan Gedung Hijau diakses dari
file:///C:/Users/Acer/Downloads/Perwal%201023%20BGH%20Band
ung.pdf, pada 12 September 2020
6. SNI 1726:2012 tentang Tata Cara Perencanaan Ketahanan Gempa
Untuk Struktur Bangunan Gedung dan Non Gedung diakses dari
http://sni.litbang.pu.go.id/index.php?r=/sni/new/sni/detail/id/608,
pada 10 September 2020
7. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung
diakses dari
https://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&c
d=&ved=2ahUKEwj539efv_rAhUDXSsKHbApD8sQFjAAegQIAhAB
&url=http%3A%2F%2Fwww.bpkp.go.id%2Fuu%2Ffiledownload%2
F2%2F41%2F313.bpkp&usg=AOvVaw3VnPMztW-LPpzu32qLj51s,
pada 10 September 2020
75
DESKRIPSI UMUM
77
Peraturan Menteri Perumahan Rakyat No. 10 Tahun 2012
tentang Penyelenggaraan Perumahan dan Kawasan Permukiman
Dengan Hunian Berimbang mengatur tentang persyaratan lokasi dan
komposisi; perencanaan, pembangunan dan pengendalian; tanggung
jawab pemerintah dan pemerintah daerah; serta insentif dan disinsentif
dalam penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman dengan
hunian berimbang. Peraturan Menteri Perumahan Rakyat No. 10 Tahun
2012 mengalami beberapa penyesuaian yang diatur dalam Peraturan
Menteri Perumahan Rakyat No. 7 Tahun 2013 tentang Perubahan
Peraturan Menteri Perumahan Rakyat No. 10 Tahun 2012 tentang
Penyelenggaraan Perumahan dan Kawasan Permukiman Dengan
Hunian Berimbang . Penyesuaian tersebut meliputi komposisi hunian
berimbang, ketentuan terkait perencanaan, dan penambahan ketentuan
pengawasan penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman
dengan hunian berimbang.
PEMBAHASAN
78
Gambar 1. Kegiatan pembinaan dalam penyelenggaraan perumahan dan
kawasan permukiman
Sumber : Adaptasi dari UU RI No.1 Tahun 2011
79
Dalam hal Penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman
yang dilakukan oleh pemerintah, peran masyarakat juga turut
dilibatkan. Peran masyarakat yang dimaksud adalah sebagai berikut:
a. penyusunan rencana pembangunan perumahan dan kawasan
permukiman;
b. pelaksanaan pembangunan perumahan dan kawasan
permukiman;
c. pemanfaatan perumahan dan kawasan permukiman;
d. pemeliharaan dan perbaikan perumahan dan kawasan
permukiman; dan/atau
e. pengendalian penyelenggaraan perumahan dan kawasan
permukiman;
f. membentuk forum pengembangan perumahan dan kawasan
permukiman.
80
keluarga, serta penunjang pelaksanaan tugas sewa, atau sewa-
pejabat dan/atau pegawai negeri. beli.
81
Selanjutnya, penyelenggaraan rumah susun dilakukan oleh
pemerintah sesuai dengan tingkat kewenangannya dengan melibatkan
peran masyarakat. Peran Masyarakat yaitu dengan memberikan
masukan dalam penyusunan rencana, pelaksanaan, pemanfaatan,
pemeliharaan dan perbaikan, pengawasan dan pengendalian
penyelenggaraan rumah susun dan lingkungannya. Larangan pada
dokumen ini yaitu melaran pelaku pembangunan membuat Perjanjian
Pengikatan Jual Beli yang tidak sesuai dengan yang dipasarkan apalagi
tidak memenuhi syarat pasti. Setiap orang juga dilarang merusak,
membahayakan, mengalihkan peruntukan, fungsi dan pemanfaatan
rumah susun. Pelanggaran yang terjadi akan dikenakan pidana mulai
dari penjara hingga denda yang berbeda. Pidana tidak hanya
ditetapkan pada pengurusnya, melainkan juga badan hukum dengan
pencabutan izin usaha hingga status badan hukum.
Gubernur
Bupati/walikota
Pemangku
kepentingan
Gambar 3. Bagan pelaksana pembinaan penyelenggaraan perumahan dan
kawasan permukiman
sumber : Adaptasi dari Peraturan Pemerintah No. 88 Tahun 2014
Pembinaan penyelenggaraan perumahan dan kawasan
permukiman sendiri dilakukan terhadap 4 aspek, yaitu :
I. Perencanaan Perencanaan program dan kegiatan
ditetapkan dalam rencana pembangunan jangka panjang (20
tahun), menengah (5 tahun) dan tahunan (1 tahun).
82
II. Pengaturan Pembinaan pengaturan dilakukan terhadap
aspek - aspek yang terbagi menjadi 2 bidang, yaitu:
83
kepentingan dalam penyelenggaraan perumahan dan
kawasan permukiman.
5. Penelitian dan pengembangan Dengan tujuan
menganalisis pelaksanaan kebijakan di bidang perumahan
dan kawasan permukiman; menghasilkan teknologi
perumahan dan kawasan permukiman; dan memberikan
acuan terhadap substansi penyusunan norma, standar,
prosedur, dan kriteria di bidang perumahan dan kawasan
permukiman.
6. Pendampingan dan pemberdayaan Kegiatan ini dilakukan
dalam rangka peningkatan kemampuan dalam pelaksanaan
kebijakan tingkat nasional dan/atau tingkat daerah.
Pendampingan dilakukan melalui Pemberdayaan dilakukan untuk peningkatan
penyusunan petunjuk teknis pelaksanaan kapasitas dan kompetensi pemerintah,
kebijakan di bidang perumahan dan pemerintah daerah, dan pemangku
kawasan permukiman kepentingan.
84
perancangan rumah dan perencanaan prasarana, sarana, dan utilitas
umum perumahan. Perencanaan dan perancangan rumah dilakukan
untuk menciptakan rumah yang layak huni, mendukung upaya
pemenuhan kebutuhan rumah, serta meningkatkan tata bangunan dan
lingkungan yang terstruktur. Baik perencanaan perumahan maupun
perencanaan prasarana, sarana, dan utilitas umum harus memenuhi
persyaratan administratif, teknis, dan ekologis. Selain itu, keduanya
harus dilakukan oleh orang yang memiliki keahlian di bidangnya dan
harus dibuktikan oleh sertifikat keahlian.
Pembangunan perumahan meliputi pembangunan rumah dan
prasarana, sarana, dan utilitas umum, serta peningkatan kualitas
perumahan. Pembangunan ini perlu mengutamakan pemanfaatan
sumber daya dalam negeri dan kearifan lokal yang aman bagi
kesehatan. Selain itu, pembangunan dilakukan melalui upaya penataan
pola dan struktur ruang yang terpadu dengan penataan lingkungan
sekitar. Sementara itu, pembangunan yang ditujukan untuk
peningkatan kualitas perumahan dilaksanakan melalui upaya
penanganan dan pencegahan terhadap perumahan kumuh dan
permukiman kumuh serta penurunan kualitas lingkungan.
Badan Hukum wajib mewujudkan perumahan dengan hunian
berimbang, kecuali pembangunan perumahan yang seluruhnya
ditujukan untuk pemenuhan rumah umum. Apabila pembangunan
perumahan yang dilakukan berskala besar, Badan Hukum wajib
mewujudkan hunian berimbang dalam satu hamparan. Apabila tidak
dalam satu hamparan, pembangunan harus dilaksanakan dalam satu
daerah kabupaten/kota. Apabila pembangunan tidak dalam satu
hamparan, Badan Hukum wajib menyediakan akses dari rumah umum
yang dibangun menuju pusat pelayanan atau tempat kerja.
Dalam pembangunan rumah, baik rumah tunggal maupun rumah
deret yang masih dalam proses pembangunan, dapat dipasarkan
melalui sistem perjanjian setelah memenuhi persyaratan kepastian.
Sebelum memenuhi persyaratan ini, Badan Hukum yang melakukan
pembangunan tidak boleh melakukan serah terima dan/atau menarik
dana lebih dari 80% dari pembeli.
Sementara itu, pembangunan prasarana, sarana, dan utilitas umum
perumahan harus memenuhi persyaratan kesesuaian kapasitas
pelayanan, keterpaduan dengan lingkungan hunian, serta ketentuan
teknis. Prasarana, sarana, dan utilitas umum yang telah selesai
dibangun oleh setiap orang harus diserahkan pada pemerintah
kabupaten/kota setelah masa pemeliharaan dan perawatan berakhir.
Penyerahan ini dapat dilakukan secara bertahap.
Kemudian, peningkatan kualitas perumahan dilakukan oleh
pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau setiap orang. “Setiap orang”
berarti orang perseorangan atau Badan Hukum. Peningkatan kualitas
ini dilakukan terhadap rumah maupun prasarana, sarana, dan utilitas
umum yang mengalami penurunan kualitas.
85
Berikutnya, akan dibahas mengenai pemanfaatan perumahan.
Pemanfaatan perumahan meliputi pemanfaatan rumah, pemanfaatan
prasarana dan sarana perumahan, serta pelestarian rumah,
perumahan, serta prasarana dan sarana perumahan. Pemanfaatan
rumah dapat digunakkan sebagai kegiatan usaha secara terbatas tanpa
membahayakan dan mengganggu fungsi hunian. Pemanfaatan rumah
ini harus memastikan terpeliharanya perumahan dan lingkungan
hunian. Sementara itu, pemanfaatan sarana dan prasarana perumahan
dilakukan berdasarkan jenisnya sesuai ketentuan peraturan
perundang-undangan dan tidak mengubah fungsi dan status
kepemilikan.
Penghunian rumah dapat berupa hak milik, cara sewa menyewa,
maupun cara bukan sewa menyewa. Penghunian rumah dengan cara
sewa menyewa atau dengan cara bukan sewa menyewa hanya sah jika
terdapat persetujuan atau izin pemilik rumah, berdasarkan perjanjian
tertulis yang setidaknya mencantumkan ketentuan mengenai hak dan
kewajiban, jangka waktu sewa menyewa, dan besarnya harga sewa
serta kondisi force majeure. Rumah yang sedang dalam sengketa tidak
dapat disewakan.
Khusus untuk rumah sewa yang pembangunannya memperoleh
kemudahan dari pemerintah dan pemerintah daerah, harga sewanya
ditetapkan oleh kepala daerah sesuai kewenangannya berdasarkan
pedoman yang ditetapkan oleh menteri. Dalam menentukan harga
sewa, kepala daerah perlu memperhatikan spesifikasi rumah dan lokasi
rumah yang disewakan serta kelangsungan usaha atau kegiatan sewa
menyewa rumah.
Selanjutnya, akan dibahas mengenai pengendalian rumah.
Pengendalian perumahan mulai dilakukan pada tahap perencanaan,
pembangunan, dan pemanfaatan. Pengendalian ini dapat dilakukan
dalam bentuk perizinan, penertiban, atau penataan oleh pemerintah
melalui penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria. Pemerintah
dapat membentuk atau menunjuk satuan kerja perangkat daerah untuk
melaksanakan pengendalian perumahan.
Pemerintah wajib memenuhi kebutuhan rumah bagi Masyarakat
Berpenghasilan Rendah (MBR) dengan memberi kemudahan
pembangunan dan perolehan rumah melalui program perencanaan
pembangunan perumahan secara bertahap dan berkelanjutan.
Kemudahan dan/atau pembangunan yang dimaksud dapat berupa:
1. Subsidi perolehan rumah Subsidi dituangkan dalam akta
perjanjian kredit atau pembiayaan.
2. Stimulan rumah swadaya Stimulan diberikan berupa
perbaikan dan pembangunan baru rumah dan prasarana,
sarana, dan utilitas umum.
3. Insentif perpajakan Insentif perpajakan diberikan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
4. Perizinan Kemudahan perizinan diberikan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
86
5. Asuransi dan penjaminan Asuransi dan penjaminan
diberikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
6. Penyediaan tanah Penyediaan tanah dilakukan melalui
pemberian hak atas tanah terhadap tanah yang langsung
dikuasai negara, konsolidasi tanah oleh pemilik tanah,
peralihan atau pelepasan hak atas tanah oleh pemilik tanah,
pemanfaatan dan pemindahtanganan tanah barang milik
negara atau milik daerah, pendayagunaan tanah negara
bekas tanah terlantar, dan/atau pengadaan tanah untuk
pembangunan bagi kepentingan umum.
7. Sertifikasi tanah, dan/atau Kemudahan ini dilakukan
melalui fasilitasi sertifikasi hak atas tanah.
8. Prasarana, sarana, dan utilitas umum.
Bantuan pembangunan rumah bagi MBR dapat diberikan dalam
bentuk dana, bahan bangunan rumah, dan/atau prasarana, sarana, dan
utilitas umum. Bantuan ini dapat diperoleh dari Badan Hukum melalui
tanggung jawab sosial dan lingkungan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Orang yang memiliki rumah umum dengan kemudahan yang
diberikan pemerintah atau pemerintah daerah hanya dapat
menyewakan dan/atau mengalihkan kepemilikannya atas rumah
kepada pihak lain dalam hal pewarisan, penghunian setelah jangka
waktu paling sedikit lima tahun, atau pindah tempat tinggal karena
tingkat sosial ekonomi yang lebih baik. Pengalihan kepemilikan karena
pindah tempat tinggal dilakukan karena penghuni pindah kota tempat
tugas atau memiliki rumah baru. Pengalihan kepemilikan ini wajib
dilaporkan pada lembaga yang ditunjuk dengan melampirkan paling
sedikit surat pindah dari pimpinan instansi atau pejabat yang
berwenang dan surat pernyataan mengembalikan rumah umum.
Arahan pengembangan kawasan permukiman meliputi hubungan
antar kawasan fungsional sebagai bagian lingkungan hidup di luar
kawasan lindung, keterkaitan lingkungan hunian perkotaan dengan
lingkungan hunian perdesaan, keterkaitan antara pengembangan
lingkungan hunian perkotaan dan pengembangan kawasan perkotaan,
keterkaitan antara pengembangan lingkungan hunian perdesaan dan
pengembangan kawasan perdesaan, keserasian tata kehidupan
manusia dengan lingkungan hidup, keseimbangan antara kepentingan
publik dan kepentingan setiap orang, dan lembaga yang
mengkoordinasikan pengembangan kawasan permukiman.
Keterpaduan prasarana, sarana, dan utilitas umum perumahan
dilakukan sebagai pengikat satu kesatuan sistem perumahan dan
kawasan permukiman sesuai dengan hierarkinya berdasarkan RTRW.
Hal ini dilakukan sesuai dengan rencana penyediaan tanah dan
memperhitungkan kebutuhan pelayanan sesuai dengan standar teknis
yang berlaku.
87
Pemeliharaan dan perbaikan dilakukan untuk menjaga fungsi
perumahan dan kawasan permukiman yang dapat berfungsi secara
baik dan berkelanjutan untuk kepentingan kualitas hidup orang
perorangan. Pemeliharaan dan perbaikan dilaksanakan oleh
pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau setiap orang melalui
perawatan dan pemeriksaan secara berkala berdasarkan pedoman
yang dibuat oleh pemerintah dan/atau pemerintah daerah.
Pencegahan dan peningkatan kualitas terhadap perumahan kumuh
dan permukiman kumuh dilakukan untuk mencegah tumbuh dan
berkembangnya perumahan dan permukiman kumuh baru serta untuk
menjaga dan meningkatkan kualitas dan fungsi perumahan dan
permukiman. Hal ini dapat dilakukan melalui pengawasan dan
pengendalian serta pemberdayaan masyarakat. Pengawasan dan
pengendalian dilakukan atas kesesuaian terhadap perizinan, standar
teknis, dan kelayakan fungsi. Sementara itu, pemberdayaan
masyarakat dilakukan melalui pendampingan dan pelayanan informasi.
Peningkatan kualitas terhadap perumahan kumuh dan permukiman
kumuh didahului dengan penetapan lokasi. Penetapan lokasi didahului
oleh proses pendataan yang dilakukan oleh pemerintah daerah dengan
melibatkan peran masyarakat. Proses pendataan yang dilakukan
meliputi identifikasi lokasi dan penilaian lokasi terhadap kondisi
kekumuhan berdasarkan kriteria kekumuhan, legalitas tanah, dan
pertimbangan lain. Pertimbangan lain ini merupakan aspek non fisik
untuk menentukan skala prioritas penanganan perumahan kumuh dan
permukiman kumuh, antara lain nilai strategis lokasi, kependudukan,
dan kondisi sosial, ekonomi, dan budaya. Penilaian lokasi berdasarkan
aspek kondisi kekumuhan akan menghasilkan klasifikasi kekumuhan
ringan, sedang, atau berat.
Peningkatan kualitas terhadap perumahan kumuh dan permukiman
kumuh dilakukan dengan pola-pola penanganan pemugaran,
peremajaan, atau permukiman kembali. Pemugaran dilakukan untuk
perbaikan dan/atau pembangunan kembali perumahan kumuh dan
permukiman kumuh menjadi perumahan dan permukiman yang layak
huni. Sementara itu, peremajaan dan permukiman kembali dilakukan
untuk mewujudkan kondisi rumah, perumahan, dan permukiman yang
lebih baik guna melindungi keselamatan dan keamanan penghuni dan
masyarakat sekitar. Peremajaan dilakukan melalui pembongkaran dan
penataan secara menyeluruh, karena itu harus disediakan tempat
tinggal sementara bagi masyarakat terdampak. Berikut merupakan
tabel pola penanganan berdasarkan klasifikasi kekumuhan dan status
tanah.
Tabel 2. Pola Penanganan Perumahan dan Permukiman Kumuh
Klasifikasi Kekumuhan Status Tanah Pola Penanganan
88
Ringan Legal Pemugaran
89
luasan lahan sampai dengan 5 (lima) hektar; dan
c. mendorong iklim berusaha bagi Badan Hukum di bidang
perumahan dan permukiman sekaligus dalam upaya
mewujudkan pemenuhan kebutuhan Perumahan bagi MBR.
Pengaturan penyederhanaan perizinan pembangunan perumahan
MBR yang diatur dalam Peraturan Pemerintah ini memuat kebijakan
pokok, yaitu:
a. menyederhanakan prosedur dan percepatan waktu
penyelesaian perizinan dengan menghapus atau mengurangi
berbagai perizinan dan rekomendasi yang diperlukan oleh
pengembang untuk membangun rumah MBR; dan
b. menggabungkan beberapa perizinan atau menghilangkan
berbagai perizinan yang tidak relevan dan tidak diperlukan
dalam rangka pembangunan Perumahan MBR.
90
Komposisi hunian berimbang ditentukan berdasarkan jumlah rumah
dan luasan lahan. Komposisi jumlah rumah merupakan perbandingan
antara jumlah rumah sederhana, jumlah rumah menengah, dan jumlah
rumah mewah. Berdasarkan Pasal 9 ayat (2), komposisi hunian
berimbang yang harus dipenuhi dalam penyelenggaraan perumahan
dan kawasan permukiman adalah 3:2:1 yaitu 3 atau lebih rumah
sederhana berbanding 2 rumah menengah berbanding 1 rumah
mewah. Perbandingan tersebut memiliki arti bahwa setiap membangun
1 rumah mewah, pihak penyelenggara perumahan dan permukiman
harus membangun 2 rumah menengah dan 3 atau lebih rumah
sederhana. Komposisi luasan lahan merupakan perbandingan luas
lahan untuk rumah sederhana terhadap total luas lahan. Luas lahan
untuk rumah sederhana minimal seluas 25% dari luas lahan
keseluruhan.
91
Gambar 6. Proses Penyelenggaraan Perumahan dan Kawasan Permukiman
dengan Hunian Berimbang
Sumber: Adaptasi dari Permenpera No. 10 Tahun 2012
Dalam penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman
dengan hunian berimbang, pemerintah memiliki tanggung jawab dalam
merumuskan dan menetapkan kebijakan penyelenggaraan hunian
berimbang, melaksanakan pembinaan dan koordinasi kepada pihak
penyelenggara hunian berimbang, melaksanakan melaksanakan
pemantauan/pengendalian serta evaluasi penyelenggaraan hunian
berimbang.
Pemerintah dapat memberikan insentif kepada pemerintah yang
memiliki tingkat di bawahnya maupun kepada badan hukum yang
menyelenggarakan hunian berimbang. Insentif yang diberikan kepada
pemerintah yang memiliki tingkat di bawahnya dapat berupa bantuan
program pembangunan, pemberian penghargaan di bidang perumahan
dan kawasan permukiman. Sementara insentif yang diberikan kepada
badan hukum penyelenggara perumahan dan kawasan permukiman
dengan hunian berimbang dapat berupa keringanan pajak untuk rumah
sederhana yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan; bantuan prasarana, sarana dan utilitas umum; bantuan
kredit konstruksi dan/atau pemberian penghargaan di bidang
perumahan dan kawasan permukiman.
92
komposisi hunian berimbang terdapat penambahan pasal 9A yang
menambahkan ketentuan dalam hal hanya membangun rumah
menengah, setiap orang wajib membangun rumah sederhana
sekurang-kurangnya 1 ½ (satu setengah) kali jumlah rumah menengah
yang akan dibangun.
Diantara pasal 12 dan pasal 13 ditambahkan Pasal 12A yang
membahas mengenai pemberian izin terkait perubahan rencana tata
ruang serta perubahan KLB dan KDB apabila dalam pembangunan
rumah umum dan rumah susun terdapat ketidaksesuaian dengan
rencana tata ruang atau terkendala KLB dan KDB yang telah berlaku
sebelumnya. Pemberian izin tersebut dimaksudkan untuk mendukung
program strategis nasional dalam pengadaan perumahan dan kawasan
permukiman bagi penyediaan rumah layak huni bagi MBR. Perubahan
selanjutnya terdapat pada Pasal 13 ayat (2) dimana pelaku
pembangunan perumahan, permukiman, lingkungan hunian dan
kawasan permukiman yang awalnya hanya dilakukan oleh badan
hukum bidang perumahan dan kawasan permukiman saja menjadi
dapat dilakukan oleh badan hukum bidang perumahan dan kawasan
permukiman dan/atau badan hukum yang memiliki bidang usaha
pembangunan.
Kemudian diantara Pasal 14 dan Pasal 15 disisipkan Pasal 14A yang
membahas mengenai pemasaran rumah susun dilakukan melalui
Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) setelah memenuhi persyaratan
kepastian atas status kepemilikan rumah; kepemilikan IMB;
ketersediaan prasarana, sarana, dan utilitas umum; keterbangunan
paling sedikit 20%; dan hal yang diperjanjikan. Pasal 15 diubah menjadi
ketentuan terkait pengawasan penyelenggaraan perumahan dan
kawasan permukiman dengan hunian berimbang. Tugas pengawasan
dilakukan oleh menteri dan/atau pemerintah daerah melalui
pemantauan, evaluasi dan koreksi. Dalam melaksanakan tugasnya,
menteri dapat membentuk tim pelaksana pengawasan yang dapat
melibatkan konsultan profesional, pemerintah daerah, pihak kejaksaan
dan/atau pihak kepolisian.
93
Di Provinsi Bali, termasuk Kabupaten Badung, setiap badan hukum
penyelenggara perumahan dan permukiman harus menaati kaidah-
kaidah arsitektur tradisional Bali dalam membangun perumahan dan
kawasan permukiman. Menurut Peraturan Daerah Kabupaten Badung
No. 2 Tahun 2017, dalam merencanakan perumahan dan kawasan
permukiman di Kabupaten Badung, Badan Hukum sebagai pelaksana
harus menyiapkan dokumen perencanaan yaitu minimal meliputi
rencana tapak; desain rumah; arsitektur tradisional Bali (ATB);
spesifikasi teknis rumah ; rencana kerja perwujudan hunian berimbang;
rencana kerjasama; nama perumahan; rencana prasarana, sarana dan
utilitas umum; dan rencana vegetasi rumah dan perumahan. Hal
tersebut menunjukkan bahwa dalam penyelenggaraan perumahan di
Kabupaten Badung, rumah harus dibangun dengan berdasarkan
kaidah-kaidah arsitektur tradisional Bali seperti yang telah disebutkan
sebelumnya. Ketentuan tersebut bertujuan untuk mempertahankan adat
istiadat, budaya, kearifan lokal, lingkungan, dan daya dukung di Bali.
Ketentuan terkait arsitektur tradisional Bali sendiri diatur dalam
Peraturan Daerah Provinsi Bali No. 5 Tahun 2005 tentang Persyaratan
Arsitektur Bangunan Gedung.
94
bangunan dan koefisien dasar bangunan, disesuaikan dengan
kapasitas daya dukung dan daya tampung lingkungan yang mengacu
pada rencana tata ruang wilayah. Akan tetapi dalam peraturan tersebut
disebutkan pula hal yang dikecualikan yaitu mengenai pembatasan
ketinggian bangunan yang berhubungan dengan ketentuan keamanan
dan keselamatan operasional penerbangan dan/atau kearifan lokal.
Oleh karena itu, dalam pembangunan rumah susun di Provinsi Bali pun
diakomodasi pembatasan ketinggiannya dalam Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2011 mengenai kearifan lokal.
SIMPULAN
95
adanya penyederhanaan prosedur perizinan pembangunan guna
menurunkan biaya Pembangunan. Hal ini diatur dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 64 Tahun 2016. Lebih luas lagi, dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 14 Tahun 2016, disebutkan bahwa kemudahan
dan/atau bantuan pembangunan rumah bagi MBR dapat berupa subsidi
perolehan rumah, stimulan rumah swadaya, insentif perpajakan,
kemudahan perizinan, asuransi dan penjaminan, penyediaan tanah,
sertifikasi tanah, dan/atau prasarana, sarana, dan utilitas umum.
Dalam proses pembangunan pemukiman baik itu rumah mewah,
menengah, sederhana dan rusun terdapat pula porsi peran masyarakat
didalamnya dimulai dari penyusunan rencana, pelaksanaan pembangunan,
pemanfaatan, pemeliharaan dan perbaikan, pengendalian
penyelenggaraan perumahan hingga membentuk forum. Hal tersebut
dijelaskan dalam Undang-Undang RI No. 1 Tahun 2011 serta Undang-
Undang RI No.20 Tahun 2011.
96
DAFTAR PUSTAKA
97
DESKRIPSI UMUM
a. Pengolahan Limbah
Dalam SNI 03-2399-2002 mengenai tata cara perencanaan
bangunan MCK umum. Pada SNI ini diberikan beberapa
persyaratan untuk sarana ruangan MCK di permukiman padat. MCK
umum ini merupakan satu kesatuan bangunan terpisah-pisah untuk
mandi, cuci, dan kakus. SNI ini juga membahas sistem penyediaan
air bersih dan kriteria bangunan yang penting dalam pembangunan
MCK umum di permukiman padat.
b. Persampahan
Dalam SNI 19-2454-2002 mengenai tata cara teknik
operasional pengelolaan sampah perkotaan yang meliputi daerah
pelayanan, tingkat pelayanan, serta teknik operasional mulai dari
pewadahan sampah hingga pembuangan akhir sampah yang akan
dijadikan acuan bagi perencana dan pelaksana yang bergerak di
dalam pengelolaan sampah perkotaan. Adapun persyaratan teknis
pengelolaan sampah kota terdiri dari teknik operasional pengelolaan
sampah. Teknik operasional pengelolaan sampah mengatur
pewadahan sampah, pengumpulan sampah, pengangkutan
sampah, pengolahan, serta pembuangan akhir.
Dalam SNI 19-3983-1995 mengenai spesifikasi timbulan
sampah untuk kota kecil dan kota sedang di Indonesia yang
bertujuan untuk pengelolaan sampah di kota kecil ataupun kota
sedang meliputi sumber dan timbulan sampah untuk kota sedang
dan kecil. Sedangkan untuk kota besar metropolitan diharuskan
mengadakan pengambilan dan pengukuran contoh timbulan sampah
yang tidak dijelaskan dalam SNI ini.
Dalam SNI 03-3241-1994 mengenai tata cara pemilihan
lokasi Tempat Pembuangan Akhir (TPA) yang meliputi kriteria,
teknis dan rencana pengerjaan dalam penentuan lokasi Tempat
Pembuangan Akhir (TPA). SNI ini ditujukan untuk dijadikan sebagai
panduan dalam memilih Tempat Pembuangan Akhir (TPA). Kriteria
disini dibagi menjadi beberapa tahap yang meliputi tahap regional,
tahap penyisihan dan tahap penetapan.
c. Drainase
Dalam SNI 02-2406-1991 mengenai tata cara perencanaan
umum drainase perkotaan meliputi tata cara perencanaan yang
mencakup perencanaan drainase perkotaan sebagai pembuang air
hujan dengan mempertimbangkan pembangunan berwawasan
lingkungan. Terdapat pula pembahasan faktor umum yaitu faktor
sosial ekonomi, medan dan lingkungan. Untuk lingkup perencanaan,
pembahasan terdiri dari landasan perencanaan, tahapan
perencanaan, data dan persyaratan, serta sistem drainase
99
perkotaan. Kemudian, terdapat pengaturan mengenai laporan
perencanaan drainase serta koordinasi dan tanggung jawab
perencanaan.
d. Air Bersih
Dalam Modul Proyeksi Kebutuhan Air dan Identifikasi
Pola Fluktuasi Pemakaian Air PUPR, mengatur mengenai standar
penggunaan dan konsumsi rata-rata jumlah air bersih yang
digunakan berdasarkan beberapa kategori. Adapun kategori
tersebut dibagi berdasarkan ukuran kota dan penggunaan domestik
non-domestik.
PEMBAHASAN
a. Pengolahan Limbah
SNI 03-2399-2002 Tata Cara Perencanaan Bangunan MCK
Umum
MCK yang dimaksud dalam SNI ini adalah sarana umum yang
digunakan bersama oleh beberapa keluarga untuk mandi, mencuci
dan buang air di lokasi permukiman kepadatan sedang sampai tinggi
(300-500 orang/Ha). Persyaratan umum yang perlu ada dalam MCK
di permukiman kepadatan tinggi terdiri dari:
1. Rencana pembangunan MCK umum dengan syarat telah
memenuhi ketentuan:
i. Lokasi
Memiliki jarak maksimal 100 meter dari rumah
penduduk serta bebas banjir.
ii. Jumlah pemakai (Kapasitas pelayanan)
Semua ruangan dalam satu kesatuan harus
dapat menampung pelayanan pada waktu paling sibuk
dan banyaknya ruangan pada tiap satu kesatuan MCK
harus sesuai dengan tabel yang dipaparkan dalam SNI
tersebut dan tergantung pula dengan jumlah
pemakainya.
100
Tabel 6.1. Standar Jumlah MCK Terhadap Jumlah Pemakai
101
Bila kita tinjau berdasarkan SNI 03-2399-2002 Tata
Cara Perencanaan Bangunan MCK Umum, penyediaan MCK
Komunal pada beberapa Kecamatan di Kota Cirebon belum
sesuai standar, karena Penyediaan MCK Komunal yang
belum efektif. Masih banyak warga sekitar yang tidak bisa
menggunakan MCK karena lokasi yang sangat jauh. Juga,
masih belum ada penyediaan MCK di beberapa RW yang
warganya cukup banyak.
Berdasarkan masalah di atas, dapat disimpulkan bahwa
penerapan sanitasi pengolahan limbah berupa penyediaan mck
komunal belum sepenuhnya terlaksana dengan baik dan
menyeluruh di seluruh wilayah Indonesia berdasarkan SNI yang
ada.
b. Persampahan
SNI 19-2454-2002 Tata Cara Teknik Operasional Pengelolaan
Sampah Perkotaan
Tata cara teknik operasional pengelolaan sampah perkotaan
meliputi dasar-dasar perencanaan untuk daerah pelayanan, tingkat
pelayanan, serta teknik operasional yang terdiri dari pewadahan
sampah, pengumpulan sampah, pemindahan sampah,
pengangkutan sampah, pengolahan dan pemilahan sampah, dan
pembuangan sampah. Terdapat persyaratan teknik operasional
pengelolaan sampah yang terdiri dari kegiatan pewadahan sampai
dengan pembuangan akhir sampah dengan skema teknik
operasional seperti bagan berikut.
Dalam teknik operasional, limbah berjenis sampah B3 rumah tangga
dikelola secara khusus sesuai aturan yang berlaku. Adapun
beberapa faktor yang mempengaruhi sistem pengelolaan sampah
perkotaan yaitu:
a. Kepadatan dan penyebaran penduduk;
b. Karakteristik fisik lingkungan dan sosial ekonomi;
c. Timbulan dan karakteristik sampah;
d. Budaya sikap dan perilaku masyarakat;
e. Jarak dari sumber sampah ke tempat pembuangan akhir
sampah;
f. Rencana tata ruang dan pengembangan kota;
g. Sarana pengumpulan, pengangkutan, pengolahan, dan
pembuangan akhir sampah;
h. Biaya yang tersedia;
i. Peraturan daerah setempat.
Dalam persyaratan teknik operasional, terdapat daerah
pelayanan yang ditentukan berdasarkan skala kepentingan daerah
pelayanan dengan ketentuan seperti yang tertera pada tabel berikut.
Berdasarkan tabel di atas, dengan angka total tertinggi (bobot x nilai)
merupakan pelayan tingkat pertama, angka-angka berikut di
102
bawahnya merupakan pelayanan selanjutnya. Tingkat pelayanan
ditentukan berdasarkan penduduk yang terlayani dan luas daerah
yang terlayani dan jumlah sampah terangkut ke TPA dengan
frekuensi pelayanan dibagi menjadi 3 kondisi yaitu pelayanan
intensif (untuk jalan protokol, pusat kota, dan daerah komersial),
pelayanan menengah (kawasan permukiman teratur), dan
pelayanan rendah antara lain untuk daerah pinggiran kota. Dalam
teknik operasional diatur pewadahan sampah, pengumpulan
sampah, pemindahan sampah, pengangkutan sampah, pengolahan
dan pembuangan akhir.
• Pewadahan Sampah. Dalam pewadahan sampah, terdapat
pola pewadahan yang diklasifikasikan berdasarkan jenis
sampah yaitu sampah organik berwarna gelap, sampah
anorganik berwarna terang dan sampah berbahaya berwarna
merah dengan tanda khusus. Untuk kriteria lokasi yaitu wadah
individual ditempatkan di halaman muka atau belakang
halaman. Wadah komunal dekat dengan sumber sampah,
tidak mengganggu sarana prasarana umum, di luar jalur lalu
lintas, di ujung gang kecil, di sekitar taman pusat keramaian,
dan jarak antar wadah. Persyaratan bahan wadah tidak
mudah rusak dan kedap air, ekonomis, dan mudah
dikosongkan.
• Pengumpulan. Untuk pola pengumpulan sampah yaitu terbagi
menjadi Pola komunal langsung, pola komunal tidak
langsung, pola komunal langsung, pola komunal tidak
langsung dan pola penyapuan jalan. Pelaksanaan
operasional dapat dilakukan 1- 4 kali/hari dengan periodisasi
1-3 hari sekali dilaksanakan oleh institusi kebersihan kota,
LSM, swasta, dan masyarakat. Untuk sampah yang memiliki
nilai jual dapat dikumpulkan kepada pihak yang berwenang.
• Pemindahan Sampah. Tipe pemindahan sampah terdiri dari 3
kategori yaitu Transfer Depo Tipe I (luas lahan >200m2), Tipe
II (60-200 m2), dan Tipe III (10-20 m2). Untuk lokasi
pemindahan harus mudah aksesibilitas sarana pengumpul
dan pengangkut sampah, tidak jauh dari sumber sampah,
terpusat (Tipe I) dan tersebar (Tipe II).
• Pengangkutan Sampah.
• Pengolahan Sampah. Teknik pengolahan terdiri dari
pengomposan berdasarkan kapasitas dan proses, insinerasi
yang berwawasan lingkungan, daur ulang (sampah anorganik
atau menggunakan kembali sampah organik), pengurangan
volume sampah pencacahan atau pemadatan, dan terakhir
biogasifikasi.
• Pembuangan Sampah. Persyaratan umum dan pemilihan
lokasi pembuangan tertera dalam SNI 03 3241 1994
mengenai Tata Cara pemilihan lokasi TPA.
103
SNI 19-3983-1995 Spesifikasi Timbulan Sampah untuk Kota
Kecil dan Kota Sedang di Indonesia
Kriteria kota sedang yang diatur dalam SNI ini adalah kota
yang jumlah penduduknya berkisar dari 100.000 hingga 500.000
penduduk. Sedangkan untuk kota kecil adalah kota yang jumlah
penduduknya kurang dari 100.000 penduduk. Besar timbulan
sampah ditinjau berdasarkan sumber sampahnya baik itu yang
berasal dari sampah perumahan (rumah permanen, semi-permanen,
non-permanen) maupun yang berasal dari non-perumahan (kantor,
toko/ruko, sekolah, jalan arteri sekunder, jalan kolektor sekunder,
jalan lokal, pasar, dan fasilitas umum lainnya). Selain itu timbulan
sampah juga ditinjau berdasarkan klasifikasi kota, yaitu kota sedang
dan kota kecil.
Berikut adalah klasifikasi timbulan sampah berdasarkan kota
Tabel 6.2. Klasifikasi Timbulan Sampah Berdasarkan Kota.
Satuan
Klasifikasi Kota Volume Berat
(L/orang/hari) (KC/orang/hari)
Kota Sedang 2,75 - 3,25 0,70 - 0,80
Kota Kecil 2,5 - 2,75 0,625 - 0,70
Sumber: SNI 19-3983-1995 Spesifikasi Timbulan Sampah untuk Kota
Kecil dan Kota Sedang di Indonesia,19
104
Gambar 6.1. Bagan Klasifikasi Berdasarkan Sumber Sampah.
Sumber: SNI 19-3983-1995 Spesifikasi Timbulan Sampah untuk Kota Kecil dan Kota Sedang di Indonesia, 1995.
1
105
SNI 03-3241-1994 Tata Cara Pemilihan Lokasi Tempat
Pembuangan Akhir
Tata cara pemilih lokasi tempat pembuangan akhir meliputi
persyaratan umum dan kriteria yang spesifik lainnya. Untuk
persyaratan umum diantaranya TPA sampah tidak boleh berada di
danau, sungai dan lautan. Selain itu, terdapat beberapa tahapan
diantaranya, tahap regional, tahap penyisih dan tahap penetapan.
Apabila suatu wilayah tidak memenuhi tahap regional, pemilihan
lokasi TPA ditentukan berdasarkan skema pemilihan lokasi TPA
yang berlaku pada tahap penyisih.
Dalam tahap regional memiliki beberapa kriteria diantaranya:
a. Kondisi geologi;
b. Kondisi hidrogeologi;
c. Kemiringan zona harus kurang dari 20%;
d. Jarak dari lapangan terbang harus lebih besar dari 3000 meter
untuk penerbangan turbo jet dan harus lebih besar dari 1500
meter untuk jenis lain;
e. Tidak boleh pada daerah lindung/cagar alam dan daerah
banjir dengan periode ulang 25 tahun.
Dalam tahap penyisih memiliki beberapa kriteria dan untuk
setiap kriteria akan diberikan nilai atau poin untuk dijadikan penilaian
suatu wilayah yang akan dijadikan TPA. Kriteria yang digunakan
diantaranya iklim, utilitas, lingkungan biologis, kondisi tanah,
demografi, batas administrasi, kebisingan, bau, estetika, dan
ekonomi.
Dalam tahap penetapan akan menggunakan peraturan dan
ketetapan yang berlaku pada daerah tempat pembuangan akhir akan
dibangun. Selain itu, kami menggunakan studi kasus pada bagian
ini.
Pembangunan Tempat Pembuangan Akhir di Desa Tadukan
Raga
Pada awal tahun 2020, Pemerintah Daerah Kabupaten
Deli Serdang memutuskan untuk menutup TPA yang berada
di Desa Tadukan Raga, hal ini dikarenakan TPA tersebut
sudah terlalu penuh karena sudah dioperasikan sejak tahun
1990. Menurut Artini Marpaung dari Dinas Lingkungan Hidup
Kabupaten Deli Serdang, apabila TPA tersebut masih
dioperasikan malah akan membahayakan karena bisa
menyebabkan longsor dan pencemaran lingkungan lainnya.
Tadinya, TPA tersebut digunakan oleh 16 kecamatan di
Kabupaten Deli Serdang, namun karena terjadinya penutupan
TPA tersebut maka masyarakat membuang sampahnya ke
TPA di Namo Rube. Sebenarnya penutupan TPA ini sudah
ingin dilaksanakan sejak tahun 2015 namun saat itu belum
106
ada pengganti untuk TPA di Desa Tadukan Raga hingga
akhirnya dibangunlah TPA di Namo Rube pada tahun 2017.
Hingga saat ini 16 kecamatan menggunakan TPA di Namo
Rube untuk pembuangan akhir.
Pada Agustus 2020, Pemerintah Daerah Kabupaten
Deli Serdang merencanakan untuk membangun TPA baru di
Desa Tadukan Raga dimana memiliki jarak 3 kilometer dari
TPA yang lama. Pada lokasi TPA yang baru akan dibangun
TPA seluas 7,5 hektar dimana akan menjadi TPA terbesar di
Kabupaten Deli Serdang. Pembangunan TPA ini
mendapatkan bantuan dana dari Kementerian PUPR.
Nantinya diharapkan TPA ini bisa menampung sampah dari
16 Kecamatan. Namun, warga menolak pembangunan TPA
ini dikarenakan lahan yang akan dibangun menjadi TPA
hanya berjarak sekitar 300 meter dari perumahan warga
sehingga dikhawatirkan akan memunculkan bau yang
menyengat.
Apabila melihat kembali SNI 03-3241-1994 tentang
Tata Cara Pemilihan Lokasi TPA Sampah, memang tidak
dikatakan dengan jelas berapa jarak minimal untuk lokasi TPA
dengan perumahan warga, namun dalam SNI tersebut
dijelaskan bahwa dalam rangka pemilihan lokasi TPA sampah
perlu memperhatikan beberapa hal yaitu salah satunya bau.
Walaupun pembangunan TPA belum dimulai, pemerintah
daerah perlu mempertimbangkan kembali terkait lokasi
pembangunan TPA sehingga masyarakat pun bisa hidup
nyaman dan sehat.
a. Drainase
SNI 02-2406-1991 Tata Cara Perencanaan Umum Drainase
Perkotaan.
Drainase perkotaan adalah drainase di wilayah kota yang
berfungsi mengendalikan kelebihan air permukaan, sehingga tidak
mengganggu masyarakat dan dapat memberikan manfaat bagi
kegiatan kehidupan manusia. Dalam pengaturan drainase, terdapat
2 faktor umum yang terkait yaitu Faktor sosial ekonomi serta faktor
medan dan lingkungan. Faktor sosial ekonomi yang terkait yaitu
pertumbuhan penduduk, urbanisasi dan angkatan kerja, kebutuhan
nyata dan prioritas daerah, keseimbangan pembangunan antar kota
dan dalam kota, ketersediaan dan tata guna tanah, dan pertumbuhan
fisik kota dan ekonomi pedesaan. Sedangkan untuk faktor medan
dan lingkungan meliputi topografi, keberadaan jaringan saluran
drainase, jalan, sawah, perkampungan, laut, pantai, tataguna tanah,
pencemaran lingkungan, estetika, dan sebagainya yang
mempengaruhi dan dipengaruhi sistem drainase perkotaan perlu
107
dipertimbangkan dan diperhitungkan dalam perencanaan. Dalam
merencanakan sistem drainase perkotaan terdapat 3 kondisi
berbeda yaitu yang terletak pada daerah lereng pegunungan
(memperhitungkan terhadap masalah longsor), daerah datar
(memperhitungkan tersedianya air penggelontor untuk mengatasi
kemungkinan pengendapan dan pencemaran), dan daerah yang
terkena pengaruh pengempangan dari laut, danau atau sungai
(memperhitungkan terhadap masalah pembendungan dan
pengempangannya).
Dalam proses perencanaan, meliputi landasan perencanaan,
tahapan perencanaan, data dan persyaratan, dan sistem drainase
perkotaan. Dalam merencanakan, perencanaan drainase perkotaan
perlu memperhatikan fungsi drainase perkotaan sebagai prasarana
kota yang dilandaskan pada konsep pembangunan yang
berwawasan lingkungan.
Berikut syarat perencanaan drainase perkotaan yang terdapat
pada SNI:
a. Tahapan dilakukan melalui pembuatan rencana induk, studi
kelayakan dan perencanaan detail;
b. Drainase perkotaan di kota raya dan besar direncanakan
secara menyeluruh melalui tahapan rencana induk;
c. Drainase perkotaan di kota sedang dan kecil direncanakan
melalui tahapan rencana kerangka sebagai pengganti
rencana induk;
d. Drainase perkotaan di kota sedang yang pertumbuhan fisik
dan penduduk yang cepat dan drainase perkotaan yang
permasalahan rumit karena keadaan alam setempat, perlu
perencanaan menyeluruh melalui tahapan rencana induk;
e. Drainase perkotaan memiliki berbagai alternatif dan pemilihan
alternatif melalui proses pengkajian dengan
mempertimbangkan aspek teknik, sosial ekonomi, finansial
dan lingkungan;
f. Survei dilakukan dalam rangka perencanaan drainase
perkotaan meliputi lokasi, topografi, hidrologi, geoteknik, tata
guna tanah, sosial ekonomi, institusi, peran serta masyarakat,
kependudukan, lingkungan dan pembiayaan;
g. Penyelidikan yang dilakukan dalam rangka perencanaan
drainase perkotaan adalah rincian lebih lanjut pekerjaan
survei untuk mendapatkan parameter desain;
a. Desain drainase perkotaan agar didasarkan pada
pertimbangan hidrologi, hidraulik, struktur, dan biaya;
b. Penyiapan tanah untuk pembangunan drainase perkotaan
agar dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku;
108
a. Pelaksanaan drainase perkotaan agar dikerjakan sesuai
dengan peraturan konstruksi yang lazim dipakai dan disetujui
instansi yang berwenang;
b. Operasi dan pemeliharaan drainase perkotaan agar yang
mengikuti peraturan yang lazim dipakai dan disetujui instansi
yang berwenang.
Adapun data yang dibutuhkan dijelaskan pada tabel berikut:
Tabel 6.3. Kebutuhan Data Perencanaan Sistem Drainase Perkotaan.
109
berada di bawah trotoar tanpa adanya inlet sehingga
membuat aliran air menjadi lambat teralirkan. Terdapat pula
timbunan sampah dan sedimen. Tidak hanya dari segi fisik
drainase, warga yang tinggal di sekitar daerah tersebut
menggunakan trotoar di atas saluran drainase untuk berjualan
tanaman sehingga petugas menjadi kesulitan apabila ingin
melakukan perbaikan drainase atau hanya sekedar melihat
kondisi saluran.
Bila kita tinjau berdasarkan SNI 02-2406-1991 tentang
Tata Cara Perencanaan Umum Drainase Perkotaan,
peristiwa banjir dan genangan air di sepanjang Jalan Demang
Lebar Daun terjadi akibat gagalnya perencanaan umum
sistem drainase yang ada. Drainase terbukti tidak
memperhatikan keadaan fungsi dan sistem saluran, aliran air
tidak jelas, dan kurang didukung oleh prasarana dan fasilitas
kota yang memadai, hal tersebut seharusnya sudah
diperhitungkan terlebih dahulu dalam perencanaan umum
drainase perkotaan. Selain itu, keadaan lingkungan yang
kurang sehat karena banyaknya timbunan sampah dan peran
masyarakat juga kurang mendukung keberadaan drainase
yang telah ada dan justru malah memperburuk keadaan.
Berdasarkan kasus di atas, dapat disimpulkan bahwa
penerapan sanitasi berupa drainase belum sepenuhnya
terlaksana dengan baik dan menyeluruh di seluruh wilayah
Indonesia berdasarkan SNI yang telah diterapkan oleh
pemerintah.
b. Air Bersih
Modul Proyeksi Kebutuhan Air dan Identifikasi Pola Fluktuasi
Pemakaian Air Kementerian PUPR
Berdasarkan standar penyediaan air domestik, semakin
banyak jumlah orang, semakin banyak pula kebutuhan air. Kategori
kebutuhan air domestik dibagi menjadi 5 yaitu Kota Kategori I
(Metropolitan), II (Kota Besar), III (Kota Sedang), Iv (Kota Kecil),
dan V (Desa). Dengan kriteria seperti tabel berikut ini.
110
Tabel 6.4. Jumlah konsumen berdasarkan kategori kota berdasarkan jumlah
penduduk.
Konsumsi
20 - 40 20 - 40 20 - 40 20 - 40 20 - 40
Unit Hidran
111
Tabel 6 6. Ketentuan Kebutuhan Air Non Domestik Kategori V.
112
SIMPULAN
a. Pengolahan Limbah
Dalam pengembangan lahan, pengolahan limbah perlu
diperhatikan. Salah satunya terkait perencanaan MCK Umum. SNI
03-2399-2002 mengatur terkait MCK umum, dimana MCK Umum
perlu disediakan untuk lokasi permukiman kepadatan sedang hingga
tinggi dengan jarak lokasi maksimal 100 meter dari rumah penduduk
serta bebas banjir. Kapasitas pelayanannya pun perlu disesuaikan
dengan jumlah pemakai yang menggunakan fasilitas tersebut. Selain
itu, perlu diperhatikan juga terkait sistem penyediaan air bersih serta
sistem pembuangan air limbah.
b. Persampahan
Pada SNI 19-2454-2002, proses pengelolaan sampah
perkotaan terdapat teknik operasional yang perlu dilakukan dimana
terdapat daerah pelayanan yang ditentukan berdasarkan skala
kepentingan daerah pelayanan. Tingkat pelayanan ditentukan
berdasarkan penduduk yang terlayani, luas daerah yang terlayani,
dan jumlah sampah yang diangkut ke TPA. Teknik operasional
mengatur terkait pewadahan sampah dimana pewadahan
diklasifikasikan berdasarkan jenis sampah, pengumpulan dimana
teknik pengumpulan sampah dipengaruhi oleh beberapa faktor
seperti lingkungan, pemindahan sampah, pengangkutan sampah,
pengelolaan sampah, serta pembuangan sampah.
Di perkotaan, sampah menjadi masalah yang cukup rumit,
maka diperlukan perencanaan terkait persampahan di perkotaan.
Timbulan sampah di kota kecil maupun kota sedang menjadi salah
satu hal yang digunakan untuk selanjutnya mengelola sampah
perkotaan. Menurut SNI 19-3938-1995, terdapat dua klasifikasi
timbulan sampah yaitu berdasarkan sumber sampah dan
berdasarkan klasifikasi kota. Timbulan sampah berdasarkan sumber
sampah dibagi menjadi perumahan dan non-perumahan dimana
detail timbulan sampah dapat dilihat pada Gambar 6.1. Selain itu,
timbulan sampah berdasarkan klasifikasi kota dibagi menjadi Kota
Sedang dan Kota Kecil dimana detail timbulan sampah dapat dilihat
pada Tabel 6.1.
Pembuangan sampah berkaitan langsung dengan tempat
pembuangan akhir, dimana tempat pembuangan akhir memiliki
persyaratan umum dan kriteria tertentu. Dalam SNI 03-3241-1994,
kriteria yang digunakan adalah iklim, utilitas, lingkungan biologis,
kondisi tanah, demografi, batas administrasi, kebisingan, bau,
estetika, dan ekonomi.
113
c. Drainase
Pada permasalahan drainase pada perkotaan menjadi suatu
masalah yang cukup penting mengingat pada daerah perkotaan
pada umumnya sedikit memiliki lahan terbuka hijau. Menurut SNI 02-
2406-1991, kondisi medan drainase diklasifikasikan menjadi 3 yaitu
kondisi medan lereng pegunungan, medan datar dan medan yang
dekat dengan sungai, laut atau danau. Pada tahap perencanaan
perlu diperhatikan persyaratan, tahapan dan data yang dibutuhkan
supaya tidak terjadi kegagalan dalam perencanaan dan
pelaksanaannya. Untuk data yang dibutuhkan terdapat pada tabel 2.
Sedangkan, untuk persyaratan memperhatikan kondisi medan dan
juga ukuran suatu perkotaannya.
d. Air Bersih
Dalam menyediakan jumlah air bersih di perkotaan, perlu
adanya perhitungan agar sumber daya air yang disediakan dapat
mencukupi masyarakatnya. Menurut Modul Proyeksi Kebutuhan Air
dan Identifikasi Pola Fluktuasi Pemakaian Air Kementerian PUPR,
ukuran kota dapat mempengaruhi jumlah rata-rata konsumsi air
bersih domestik, dapat dilihat pada tabel 4. Kemudian, dalam
menyediakan kebutuhan air bersih non-domestik dapat dilihat pada
tabel 5 untuk kategori I, II, III, dan IV. Sedangkan pada tabel 6
berdasarkan kategori V. Untuk menyesuaikan kebutuhan, dapat
dilakukan proyeksi penduduk dengan metode proyeksi.
114
DAFTAR PUSTAKA
1. Gunawan, Indra. 2020. Ini Alasan Dinas Lingkungan Hidup Deli Serdang
Tutup TPA Tadukan Raga di STM Hilir.
https://medan.tribunnews.com/2020/02/11/ini-alasan-dinas-lingkungan-
hidup-deliserdang-tutup-tpa-tadukan-raga-di-stm-hilir diakses 18
September 2020
2. Gunawan, Indra. 2020. Pemkab Deliserdang Sebut Pembangunan TPA
Tadukan Raga Sudah Masuk Melalui Studi Kelayakan.
https://medan.tribunnews.com/2020/08/26/pemkab-deliserdang-sebut-
pembangunan-tpa-tadukan-raga-sudah-melalui-studi-kelayakan diakses
18 September 2020
3. Gunawan, Indra. 2020. TPA Baru di Tadukan Raga Terbesar di
Deliserdang, Dibangun di Lahan Seluas 7,5 Hektare.
https://medan.tribunnews.com/2020/02/12/tpa-baru-di-tadukan-raga-
terbesar-di-deliserdang-dibangun-di-lahan-seluas-75-hektare diakses 18
September 2020
4. Harahap, Syafriwani. 2020. Tolak Pembangunan TPA, Warga Mengadu ke
DPRD DS. https://waspada.id/sumut/tolak-pembangunan-tpa-warga-
mengadu-ke-dprd-ds/ diakses 18 September 2020
5. Modul Proyeksi Kebutuhan Air dan Identifikasi Pola Fluktuasi Pemakaian
Air tentang Perencanaan Jaringan Pipa Transmisi dan Distribusi Air Minum
diakses
darihttps://bpsdm.pu.go.id/center/pelatihan/uploads/edok/2018/11/920dd_
2._Proyeksi_Kebutuhan_Air_dan_Identifikasi_Pola_Fluktuasi_Pemakaian
_Air.docx.pdf. diakses pada 17 September 2020.
6. Radarcirebon.com. Sanitasi Buruk, Kesehatan Warga Kota Cirebon
Terancam. https://www.radarcirebon.com/2019/04/01/sanitasi-buruk-
kesehatan-warga-kota-cirebon-terancam/ diakses 10 september 2020
7. Standar Nasional Indonesia (SNI) 02 – 2406 – 1991 Tentang Tata Cara
Perencanaan Umum Drainase Perkotaan diakses dari
https://kupdf.net/download/tata-cara-perencanaan-umum-drainase-
perkotaan_58b097816454a7b43cb1ea9f_pdf diakses 17 September 2020
8. Standar Nasional Indonesia (SNI) 03-2399-2002 Tentang Tata Cara
Perencanaan Bangunan MCK Umum https://kupdf.net/download/sni-03-
2399-2002-tata-cara-an-bangunan-mck-
umum_58efb17bdc0d601c4ada9811_pdf diakses 10 September 2020
9. Standar Nasional Indonesia (SNI) 03 – 3241 - 1994 Tentang Tata Cara
Pemilihan Lokasi Tempat Pembuangan Akhir (TPA) diakses dari
https://kupdf.net/download/sni-03-3241-1994-tata-cara-pemilihan-lokasi-
tempat-pembuangan-akhir-sampah_58c63a8ddc0d600a6733903d_pdf
diakses 6 September 2020
10. Standar Nasional Indonesia (SNI) 19-2383-1995 Tentang Spesifikasi
Timbulan Sampah Kota Sedang dan Kota Kecil diakses dari
https://www.academia.edu/22314862/SNI_19_3983_1995_tentang_Spesif
ikasi_Timbulan_Sampah_Kota_Sedang_dan_Kota_Kecil diakses 8
September 2020
11. Standar Nasional Indonesia (SNI) 19-2454-2002 Tentang Tata Cara Teknik
Operasional Pengelolaan Sampah Perkotaan diakses dari
115
http://ciptakarya.pu.go.id/plp/upload/peraturan/SNI_19-2454-
2002_Tata_Cara_Teknik_Operasional_Pengelolaan_Sampah_Perkotaan.
pdf diakses 7 September 2020
12. Syapawi, Ahmad. 2013. “Studi Permasalahan Drainase Jalan (Saluran
Samping) Di Lokasi Jalan Demang Lebar Daun Sepanjang 3900 m
(Lingkaran SMA Negeri 10 s.d Simpang Polda)”. PILAR Jurnal Teknik Sipil,
Volume 9, No. 2, September 2013. ISSN : 1907-6975.
https://jurnal.polsri.ac.id/index.php/pilar/article/view/406, diakses tanggal
17 September 2020
116
DESKRIPSI UMUM
118
PEMBAHASAN
119
UU • Peraturan/kebijakan terakhir • Standar
Penataan Ruang • SNI, pedoman terkait • Literatur
PEDOMAN PENYEDIAAN
Rencana Umum
PEMANFAATAN RTH DI
RTRW Nasional KAWASAN PERKOTAAN
Rencana
Penyediaan dan
Pemanfaatan RTH
RTRW Provinsi
Rencana Rinci
RTR Kawasan Strategis Kabupaten
Rencana Rinci
RDTR Kota
RTRW Kota
RTR Kawasan Strategis Kota
120
Fungsi
Ruang Terbuka Hijau
121
Kepemilikan Ruang
Terbuka Hijau
Penggolongan RTH
Seperti yang telah dijelaskan pada beberapa poin sebelumnya,
RTH terbagi menjadi beberapa jenis. Jenis-jenis RTH antara lain
adalah RTH pekarangan, RTH taman dan hutan kota, RTH jalur hijau
jalan, dan RTH fungsi tertentu. Pada bagian ini akan dijelaskan
terkait jenis-jenis RTH ini dan bagaimana penyediaan, kriteria
vegetasi, dan pemanfaatannya.
1) RTH Pekarangan
RTH pekarangan terdiri dari dua jenis, yakni pekarangan
rumah tinggal dan halaman perkantoran, pertokoan, dan tempat
usaha.
122
• RTH pekarangan tidak terlalu luas/sempit : menanam
tanaman obat keluarga/apotik hidup, tanaman pot
(menambah nilai estetika rumah).
Taman kelurahan
Taman ini memiliki dua jenis, yakni taman aktif (fasilitas,
seperti lapangan terbuka, trek lari, WC umum, 1 unit kios, dan
kursi taman) dan taman pasif (fasilitasnya, seperti sirkulasi jalur
pejalan kaki, WC umum, 1 unit kios, dan kursi taman).
123
Gambar 7.4. Contoh Taman Kelurahan Rekreasi Aktif (kiri) dan Pasif (kanan)
Sumber: Adaptasi dari Permen No. 5 Tahun 2008
Taman kecamatan
Taman ini memiliki dua jenis, yakni taman aktif (fasilitas,
seperti lapangan terbuka, lapangan basket, lapangan volley, trek
lari, WC umum, parkir kendaraan, sarana kios, dan kursi taman)
dan taman pasif (fasilitas, seperti sirkulasi jalur pejalan kaki, WC
umum, parkir kendaran, sarana kios, dan kursi taman).
Taman kota
RTH taman kota bertujuan untuk melayani penduduk satu
atau bagian wilayah kota. Selain RTH, taman ini juga dapat
dilengkapi dengan fasilitas rekreasi dan olahraga yang dibuka
untuk umum. Taman ini memiliki manfaat sebagai tempat
kegiatan sosial. Fasilitas yang tersedia, antara lain fasilitas
rekreasi, taman bermain anak atau balita, taman bunga, taman
124
khusus lansia, fasilitas olahraga terbatas, dan komplek olahraga
(minimal RTH 30%).
Hutan kota
Hutan kota bertujuan sebagai penyangga lingkungan yang
berfungsi untuk menjaga iklim, resapan air, keserasian
lingkungan kota, dan melindungi keanekaragaman hayati. Hutan
kota memiliki manfaat sebagai kawasan konservasi, penyangga
lingkungan kota, dan tempat aktivitas sosial masyarakat, wisata
alam, rekreasi, penghasil produk hutan, oksigen, ekonomi,
pendidikan dan penelitian. Fasilitas yang tersedia, seperti kursi
taman dan sirkulasi pejalan kaki.
Sabuk hijau
Sabuk hijau berfungsi sebagai penyangga dan membatasi
perkembangan penggunaan lahan atau antar aktivitas agar tidak
saling mengganggu dan pengamanan dari lingkungan. Sabuk
hijau dapat berbentuk RTH yang memanjang, hutan kota, kebun
campuran, perkebunan, pesawahan, dsb. Sabuk hijau memiliki
manfaat sebagai daerah penyangga antara dua kota dan RTH
kedua kota tersebut dan sebagai kawasan lindung pemanfaatan
terbatas (penyaring alami udara kota).
125
Gambar 7.7. Contoh Tata Letak Jalur Hijau Jalan
Sumber: Adaptasi dari Permen No. 5 Tahun 2008
126
Gambar 7.8. Contoh Pemanfaatan Vegetasi RTH di Bawah Jalan Layang
Sumber: Adaptasi dari Permen No. 5 Tahun 2008
127
RTH sempadan pantai
RTH ini memiliki manfaat sebagai pengaman dari
kerusakan/bencana karena gelombang laut dan juga pembatas
pertumbuhan permukiman atau aktivitas lainnya agar tidak
menggangu kelestarian pantai.
RTH pemakaman
RTH ini bermanfaat sebagai tempat pelayanan publik untuk
penguburan jenazah, menambah keindahan kota, daerah
resapan air, pelindung, pendukung ekosistem, pemersatu ruang
kota, dan menghilangkan kesan seram wilayah tersebut.
128
Gambar 7.10. Contoh Pola Penanaman pada RTH Pemakaman
Sumber : Adaptasi dari Permen No. 5 Tahun 2008
Prosedur Perencanaan
Penyediaan dan pemanfaatan RTH publik maupun RTH privat
yang dilaksanakan oleh masyarakat termasuk pengembang
disesuaikan dengan perizinan pembangunan dan peruntukan yang
ditentukan dalam rencana tata ruang (RTR Kawasan
Perkotaan/RTRW Kota/RTR Kawasan Strategis Kota/RDTR Kota/
Rencana Induk RTH). Adapun tahapan dalam penyediaan dan
perencanaan RTH publik tergambar pada Gambar 15.
129
Perencanaan Pemanfaatan dan Pengendalian
Pengambilan Keputusan
Gambar 7.12. Peran Masyarakat, Swasta, dan Badan Hukum dalam Penyediaan
RTH
Sumber: Adaptasi dari Permen No. 5 Tahun 2008
130
1) Pembentukan dan Jenis RTHKP
Pembentukan RTHKP disesuaikan dengan bentang alam yang
berdasar pada aspek biogeografis dan struktur ruang kota serta
estetika.
Jenis RTHKP meliputi taman kota, taman wisata alam, taman
rekreasi, taman lingkungan perumahan dan permukiman, taman
lingkungan perkantoran dan gedung komersial, taman hutan
raya, hutan kota, hutan lindung, bentang alam seperti gunung,
bukit, lereng dan lembah, cagar alam, kebun raya, kebun
binatang, pemakaman umum, lapangan olahraga, lapangan
upacara, parkir terbuka, lahan pertanian perkotaan, jalur di
bawah tegangan tinggi (SUTT dan SUTET), sempadan sungai,
pantai, bangunan, situ dan rawa, jalur pengaman jalan, media
jalan, rel kereta api, pipa gas dan pedestrian, kawasan dan jalur
hijau, daerah penyangga (buffer zone) lapangan udara, dan
taman atap (roof garden).
131
kerjasama dalam pengelolaan, kontribusi dalam pemikiran,
pembiayaan maupun tenaga fisik untuk pelaksanaan pekerjaan.
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 tahun 2007
membahas mengenai penataan Ruang Terbuka Hijau (RTH)
khususnya kawasan perkotaan secara umum sedangkan
Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 5 tahun 2008
bagian Lampiran A tertera proporsi penyediaan RTHKP secara
teknis. Dapat dilihat pada gambar di bawah ini.
Ruang Perkotaan
Terbangun Terbuka
RTH Kota
30%
132
proporsi 12.5%, jalan dengan proporsi 20%, dan lainnya dengan
proporsi 7.5%. Bangunan hunian dengan KDB 80% menyediakan
RTH sebanyak 8% sementara untuk bangunan non hunian
dengan KDB 90% menyediakan RTH sebanyak 2%. Untuk ruang
terbuka seperti taman dengan KDB 0% menyediakan RTH
sebanyak 12.5%, jalan dengan KDB 70% menyediakan RTH
sebanyak 6% dan ruang terbuka lainnya dengan KDB 80%
menyediakan RTH sebanyak 1.5%. Dengan demikian total RTH
yang disediakan masyarakat atau individu (RTH Privat) sebanyak
10% dari luas kota dan total RTH yang disediakan oleh
pemerintah sebanyak 20% dari luas kota dan total Ruang
Terbuka Hijau (RTH) perkotaan adalah sebanyak 30% dari luas
kota tersebut.
Tabel 7.1. Kebutuhan Ruang Terbuka pada Rumah Susun yang Harus
Disediakan
133
Taman dan tempat bermain memiliki lokasi yang terletak pada
antar bangungan. Tempat bermain memiliki ketentuan dapat
disatukan dengan sekolah, mudah dicapai kelompok balita, dan
dilengkapi dengan permainan anak aman. Lapangan olahraga
berlokasi di pusat lingkungan atau disatukan dengan sekolah
dengan ketentuan dapat melayani aktivitas salah satu atau
gabungan dari olahraga dan disediakan bila telah menyentuh 30.000
penduduk. Makam berlokasi pada areal pemakaman yang telah
disediakan pemerintah daerah setempat.
Adapun tahapan identifikasi kebutuhan ruang terbuka pada
rumah susun sesuai dengan langkah-langkah pada Gambar 19.
Temukan wadah Tentukan jumlah Tentukan ruang Tentukan jarak Tentukan luas
aktivitas yang keluarga yang terbuka yang pelayanan dan area yang
diperlukan akan dilayani dibutuhkan lokasi rusun dibutuhkan
terjauh
Tabel 7.2. Fasilitas ruang terbuka, taman, dan tempat olah raga
Jumlah maksimum Jarak pelayanan Luas areal minimum
No Fasilitas
penghuni yang dilayani maksimum (m) (m2)
200 1000 200
Taman
2000 2000 1000
1
Taman dan lapangan
30000 9000
olahraga
2000 100
2 Parkir umum
30000 1000
3 Tempat berpangkal becak 2000 1000 30
Pemberhentian kendaraan
4 30000 2000 10
umum
5 Jalur Hijau 30000 Menyebar 15 m2/jiwa
Min. 2% dari areal
6 Makam tanah lingkungan
permukiman
Sumber: SNI 03-6981-2004
134
Taman memiliki ketentuan bersatu dengan tempat bermain
dan olahraga dan dapat dipakai berbagai kelompok usia, untuk
rekreasi, area untuk berjalan atau duduk, sedangkan yang 1000
meter persegi mengelompok dengan pusat pelayanan. Parkir umum
berlokasi di daerah atau pusat pelayanan umum dengan ketentuan
tidak mengganggu lalu lintas orang dan kendaraan. Tempat
berpangkal becak berlokasi dekat persimpangan jalan,
pemberhentian kendaraan umum, pusat pelayanan umum dengan
ketentuan tidak mengganggu lalu lintas orang dan kendaraan.
Pemberhentian kendaraan umum berlokasi dekat pertemuan antar
jalan kolektor sekunder dengan arteri sekunder.
Seperti pada Tabel 2 di atas, dalam merencanakan fasilitas
ruang terbuka terdapat hal-hal yang perlu diperhatikan, seperti
jumlah penghuni, jarak pelayanan, serta luas areal. Adapun langkah-
langkah dalam merencanakan fasilitas ruang terbuka yaitu seperti
pada Gambar 20 di bawah ini.
135
SIMPULAN
Dalam laporan ini, terdapat beberapa hal yang meliputi dan terkait
dengan Ruang Terbuka Hijau (RTH) dari tiap regulasi yang dipaparkan.
Pertama-tama, definisi secara umum dari RTH, proporsi minimal kawasan
hutan dari daerah aliran sungai, dan proporsi RTH pada wilayah kota tertera
di dalam Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang.
Kemudian, terkait RTH secara lebih detail, dimana meliputi kedudukan
rencana penyediaan dan pemanfaatan RTH dalam RTR, fungsi utama RTH,
pembagian RTH berdasarkan tipologi, fisik, struktur ruang, dan
kepemilikan, penggolongan atau jenis-jenis RTH beserta fungsi dan
keterangan tiap jenis RTH, serta prosedur perencanaannya diatur di dalam
Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 5 Tahun 2008 tentang Pedoman
Penyediaan dan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau di Perkotaan.
Sebagian besar uraian terkait RTH terdapat dalam peraturan tersebut.
Terkait penataan ruang terbuka hijau di kawasan perkotaan (RTHKP)
secara lebih rinci, dimana dijelaskan terkait pembentukan, jenis, prosedur
penataan, dan peran serta masyarakat dalam RTHKP diatur di dalam
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 tahun 2007 tentang Penataan
Ruang Terbuka Hijau Kawasan Perkotaan. Ruang terbuka bagi rumah
susun sederhana dijelaskan secara spesifik, seperti proporsi minimum luas
ruang terbuka untuk lingkungan rumah susun, kebutuhan ruang terbuka,
dan tahapan identifikasi kebutuhan ruang terbuka pada rumah susun
tercantum pada SNI 03-7013-2004 tentang Tata Cara Perencanaan
Fasilitas Lingkungan Rumah Susun Sederhana. Selain rumah susun
sederhana, ruang terbuka bagi perumahan sederhana tidak bersusun juga
dijelaskan secara spesifik, seperti fasilitas ruang terbuka dan tahapan
perencanaannya di dalam SNI 03-6981-2004 tentang Tata Cara
Perencanaan Lingkungan Perumahan Sederhana Tidak Bersusun di
Daerah Perkotaan.
136
DAFTAR PUSTAKA
137
DESKRIPSI UMUM
139
PEMBAHASAN
140
pengembangan lahan dan diatur dalam peraturan pemerintah ini adalah
mengenai pembangunan kawasan industri, Izin Usaha Kawasan Industri
atau IUKI, hak penggunaan tanah atas kawasan industri, pengelolaan
kawasan industri.
141
sesuai dengan rencana tata ruang wilayah nasional, provinsi, atau
kabupaten/kota. Tata cara pemberian IUKI, termasuk izin prinsip dan
izin perluasan kawasan industri selebihnya diatur dalam Peraturan
Menteri Perindustrian Nomor 39/M-IND/PER/2/2016 Tentang Tata Cara
Pemberian Izin Usaha Kawasan Industri dan Izin Perluasan Kawasan
Industri.
Hak Guna Bangunan (HGB) Kawasan Industri
Perusahaan Kawasan yang memperoleh IUKI dapat diberikan
Hak Guna Bangunan atas tanah yang akan diusahakan dan
dikembangkan. Hak Guna bangunan dapat dipecah menjadi menjadi
Hak Guna Bangunan untuk masing masing kavling yang pelaksanaanya
menjadi tanggung jawab Perusahaan Kawasan Industri dan dilakukan
sesuai ketentuan peraturan perundang undangan. Kemudian apabila
Perusahan Kawasan Industri merupakan badan usaha milik negara atau
daerah, perusahaan tersebut dapat diberikan Hak Pengelolaan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Di atas Hak
pengelolaan, perusahaan tersebut dapat diberikan Hak Guna Bangunan
untuk masing-masing kavling atau gabungan beberapa kavling.
Pengelolaan Kawasan Industri
Pengelolaan Kawasan Industri dilakukan oleh Perusahaan
Kawasan Industri yang dalam pelaksanaannya, Perusahan Kawasan
Industri dapat menunjuk pihak lain untuk melakukan pengelolaan
Kawasan Industri. Penunjukkan pengelolaan Kawasan Industri kepada
pihak lain wajib diberitahukan kepada pemberi IUKI dan tidak
mengurangi tanggung jawab Perusahan Kawasan Industri yang
bersangkutan. Ketentuan lebih lanjut mengenai pengelolaan Kawasan
Industri diatur dalam Peraturan Menteri.
142
Sistem Informasi Industri Nasional dalam Mendukung
Pengembangan dan Pengelolaan Kawasan Industri
Dalam mendukung pembangunan industri nasional melalui
penyediaan data dan informasi yang akurat, lengkap, dan tepat waktu,
diperlukan infrastruktur teknologi informasi dan tata kelola yang handal.
Salah satu data dan informasi yang diperlukan dalam penyelenggaraan
Sistem Informasi Industri Nasional adalah Data Kawasan Industri yang
terbagi ke dalam dua tahap data kawasan, yaitu tahap pembangunan
dan tahap komersial yang harus disediakan oleh Perusahaan Kawasan
Industri yang bersangkutan.
Selain itu, terdapat data tambahan yang bersifat insidental
dengan muatan data berupa Kejadian Luar Biasa (KLB) yang terjadi di
Kawasan Industri yang bersangkutan. Data ini diperlukan dalam
pengembangan Kawasan Industri yang mengalami Kejadian Luar Biasa
(KLB), seperti terjadi epidemi atau bencana dalam skala besar lainnya.
Tiap tahap pengembangan Kawasan Industri memerlukan muatan data
masing-masing dalam rangka mengoptimalkan penyelenggaraan
Sistem Informasi Industri Nasional.
Tabel 8.2. Klasifikasi Data Kawasan Industri dalam Pengembangan Kawasan
Industri
Jenis Data Kawasan
No Muatan Data
Industri
a. Identitas pemilik dan legalitas
perusahaan
Data Kawasan Industri b. Investasi dan sumber pembiayaan
1
Tahap Pembangunan c. Lahan dan kaveling
d. Sarana dan prasarana
143
Pengumpulan Penyampaian
Pengolahan Data
Data Kawasan Data Kawasan
Kawasan Industri
Industri Industri
144
Perusahaan Kawasan Industri yang memenuhi kriteria-kriteria yang
telah diatur dalam perundang-undangan adalah sebagai berikut.
Tabel 8.3. Kriteria Perusahaan Kawasan Industri yang Menerima Fasilitas Industri
Kriteria Perusahaan Kawasan Industri Kriteria Perusahaan Kawasan Industri
yang Menerima Fasilitas Industri yang Menerima Fasilitas Nonfiskal
Berada di wilayah perbatasan / Memiliki izin Usaha Kawasan
daerah tertinggal Industri (IUKI)
Kegiatan Industri yang dilakukan Telah menyelesaikan seluruh
mengoptimalkan penggunaan barang kewajiban perpajakan
dan/atau jasa dalam negeri
Kegiatan Industri yang dilakukan
mengembangkan sumber daya
manusia di bidang industri
145
Komponen Izin Prinsip Izin Usaha Kawasan Izin Perluasan
Industri Kawasan Industri
Ketentuan 1. Keterangan pemohon; 1. Keterangan umum 1. Keterangan
dan pemohon; dan umum pemohon;
2. Keterangan rencana 2. Data kawasan dan
kawasan industri yang yang dimohonkan, 2. Data Perluasan
terdiri dari: meliputi: Kawasan yang
a. Rencana kegiatan; a. Lokasi dan luas dimohonkan,
dan lahan Kawasan meliputi:
b. Rencana Industri yang a. Lokasi dan
permodalan; telah dikuasai luas Perluasan
3. Lampiran dokumen dan siap Kawasan;
yang terdapat pada digunakan; b. Investasi dan
peraturan menteri b. Investasi dan permodalan;
permodalan; dan
dan c. Tenaga kerja
c. Rencana Perusahaan
penggunaan Kawasan
tenaga kerja Industri;
Perusahaan 3. Lampiran
Kawasan dokumen yang
Industri; terdapat pada
3. Lampiran peraturan menteri
dokumen yang
terdapat pada
peraturan menteri
Penilaian a. Kawasan Industri a. Pemenuhan a. Pemenuhan
yang dimohonkan sebagian penambahan
berada di dalam infrastruktur dasar infrastruktur
Kawasan Peruntukan Kawasan Industri dasar Kawasan
Industri; sesuai Pedoman Industri sesuai
b. Memperhitungkan Teknis Standar
kepadatan Kawasan Pembangunan Kawasan
Industri di sekitar Kawasan Industri; Industri; dan
lokasi yang diusulkan; dan b. Kesesuaian
dan/atau b. Kesesuaian antara dokumen
c. Perusahaan antara permohonan dan
pemohon memiliki kelengkapan kondisi lapangan.
kemampuan finansial dokumen dalam
untuk membangun permohonan
Kawasan Industri. dengan kondisi
lapangan.
Sumber: Adaptasi dari Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 39 Tahun 2016
146
Dalam pembangunannya, kawasan industri memerlukan suatu
pedoman tertentu yang dapat memenuhi kaidah-kaidah kelayakan yang
ada. Maka dari itu, disusunlah Pedoman Teknis Pembangunan
Kawasan Industri dengan tujuan agar kawasan industri yang terbangun
nantinya dapat sesuai dengan tata ruang, didukung oleh infrastruktur,
efisien, berwawasan lingkungan, serta mampu menarik investasi untuk
pengembangan industri. Pedoman teknis ini mengatur beberapa
tahapan dalam pembangunan kawasan industri yakni sebagai berikut:
Tahap Tahap
Tahap Persiapan
Pembangunan Pengelolaan
a. Tahap Persiapan
Tahap persiapan merupakan tahap paling krusial dalam
pembangunan kawasan industri dan perlu direncanakan secara
matang agar kawasan industri yang berdiri nantinya dapat
memberikan manfaat bagi perekonomian maupun kelestarian
lingkungan yang ada.
Komponen pertama dalam tahap ini adalah pemilihan lokasi
yang dapat menggunakan dua pendekatan yakni land demand untuk
daerah yang sudah memiliki pertumbuhan industri dan growth pole
bagi daerah yang belum ada daerah industri namun memiliki potensi
sumberdaya. Dalam pemilihan lokasi, terdapat beberapa faktor yang
harus dipertimbangkan, yakni sebagai berikut:
Tabel 8.5. Kriteria Lokasi Kawasan Industri
No Kriteria Keterangan
1 Jarak ke pusat kota Minimal 10 km
Jarak terhadap
2 Minimal 2 km
permukiman
Tersedia jalan arteri primer atau jaringan
3 Jaringan transportasi darat
kereta ap
Jaringan energi dan
4 Tersedia
kelistrikan
5 Jaringan telekomunikasi Tersedia
Tersedia pelabuhan laut untuk kelancaran
6 Prasarana angkutan transportasi logistik barang maupun outlet
ekspor/impor
Tersedia sumber air permukaan (sungai,
7 Sumber air baku danau, waduk/embung, atau laut) dengan
debit yang mencukupi
Topografi maksimal 15%
Daya dukung lahan sigma tanah : 0,7 – 1,0
8 Kondisi Lahan kg/cm2
Kesuburan tanah relatif tidak subur (non-
irigasi teknis)
147
No Kriteria Keterangan
Pola tata guna lahan: nonpertanian, non-
permukiman, dan non-konservasi
Ketersediaan lahan minimal 50 ha
Harga lahan relatif (bukan merupakan
lahan dengan harga yang tinggi di daerah
tersebut)
Sumber: Adaptasi dari Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 40 Tahun 2016
148
Komponen terakhir pada tahap persiapan adalah mengurus
perizinan yang terdiri dari Izin Prinsip, Izin Lingkungan, Izin Lokasi,
Izin Usaha Kawasan Industri, Hak Guna Bangunan, dan Izin
Perluasan Kawasan Industri.
b. Tahap Pembangunan
Pada tahap ini dilakukan pembangunan atau konstruksi
kawasan industri secara fisik. Tahap ini baru dapat dilaksanakan jika
sudah memenuhi dokumen maupun perizinan sebagaimana yang
sudah dijelaskan pada tahap persiapan. Ada dua hal yang harus
dilakukan pada tahap pembangunan ini. Pertama, terdapat upaya
pembebasan lahan yang harus dilakukan bagi pelaku usaha yang
ingin membangun kawasan industri. Prosedur pembebasan lahan
dapat dilihat pada skema di bawah ini:
Kesepakatan
Pembayaran
harga jual dengan
harga lahan
pemilik lahan
149
Pembangunan Infrastruktur dan
Pematangan Lahan
Fasilitas Penunjang
sumur resapan
detail kavling
Sumber: Adaptasi dari Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 40 Tahun 2016
Pengelolaan lingkungan
150
6. Peraturan Daerah Kabupaten Karawang No. 2 Tahun 2013 tentang
Rencana Tata Ruang dan Wilayah Kabupaten Karawang
Peraturan ini mengatur tentang arahan pembangunan Kabupaten
Karawang yang berorientasi pada pertanian dan industri. Ketentuan-
ketentuan mengenai industri khususnya pengembangan kawasan
industri juga diatur dalam perda ini. Beberapa bagian yang akan dibahas
yaitu mengenai tujuan penataan ruang yang tercantum pada Pasal 1,
strategi penataan ruang pada Pasal 5, rencana pola ruang yang
tercantum pada Pasal 35 & 40, kawasan strategis kabupaten pada Pasal
44 & 54, dan Lampiran VII yang berisi mengenai ketentuan lebih lanjut
mengenai kawasan industri di Kabupaten Karawang.
151
Rencana Pola Ruang
Penataan ruang di Indonesia secara pola ruang dibagi menjadi
dua jenis yaitu kawasan lindung dan budidaya. Kawasan industri sendiri
termasuk pada kawasan budidaya beserta tujuh kawasan lain. Pada
Pasal 40 ayat 1 disebutkan beberapa bagian kecamatan yang ditujukan
untuk kawasan peruntukan industri yaitu Kecamatan Cikampek,
Telukjambe Barat, Telukjambe Timur, Ciampel, Klari, Purwasari,
Pangkalan, Karawang Timur, Karawang Barat, Rengasdengklok.
Berikut adalah ringkasan tentang ketentuan lokasi dan pemanfaatan
ruang kawasan industri.
Gambar 8.5. Ketentuan Lokasi dan Pemanfaatan Kawasan Industri Tiap Klasifikasi Industri
Sumber: Adaptasi dari Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2013 Kabupaten Karawang
152
Kawasan Strategis Kabupaten
Ketentuan lain mengenai pengembangan kawasan industri di
Kabupaten Karawang juga diatur dalam Kawasan Strategis Kabupaten
(KSK) yang diatur pada Pasal 44 ayat 2 yang menetapkan bahwa KSK
Karawang yang salah satunya adalah KSK Industri Telukjambe dengan
sudut kepentingan Lingkungan Hidup dan ekonomi. Upaya tindak lanjut
dari KSK Industri Telukjambe yaitu dampak banjir; mengembangkan
sistem jaringan drainase yang mampu menampung aliran permukaan;
menyediakan RTH untuk penyerapan air hujan dengan baik;
menyediakan sistem pompa untuk mengendalikan genangan; dan
pengembangan prasarana dan sarana pengendali banjir lainnya.
Perwujudan pengembangan KSK Industri Telukjambe dengan
sudut kepentingan Lingkungan Hidup dan ekonomi diatur pada Pasal 54
ayat 1 yaitu penyusunan Rencana Rinci Kawasan Strategis Industri
Telukjambe; peningkatan dan pembangunan sistem drainase;
penyediaan RTH untuk memperluas daerah resapan; dan
pembangunan prasarana dan sarana pengendalian banjir.
Ketentuan Kegiatan
153
Ketentuan Kegiatan
154
SIMPULAN
155
DAFTAR PUSTAKA
156
DESKRIPSI UMUM
158
penunjukan, dan pembiayaan badan pengelola Kasiba dan penyelenggara
Lisiba, serta Lisiba yang berdiri sendiri.
PEMBAHASAN
159
Kasiba adalah tanah yang dipersiapkan dan telah dilengkapi dengan
prasarana lingkungan untuk membangun kaveling tanah matang.
Kemudian yang dimaksud dengan Lisiba yang berdiri sendiri (Lisiba BS)
adalah Lisiba yang tidak termasuk bagian dari Kasiba. Lisiba yang
berdiri sendiri dikelilingi oleh perumahan yang sudah terbangun atau
kawasan dengan fungsi-fungsi lain.
160
pembangunan daerah dan sektor prasarana lingkungan, sarana
lingkungan, serta utilitas umum di daerah tersebut. Rencana yang
disusun dan dipertanggung jawabkan pada tahap ini berbeda antara
Kasiba, Lisiba bagian dari Kasiba dan Lisiba yang berdiri sendiri.
Perbedaan tersebut akan dirincikan dalam Tabel 2 berikut ini.
Tabel 2. Daftar rencana yang perlu disusun dan dipertanggung jawabkan pada
tahap perencanaan.
Kasiba Lisiba bagian Lisiba yang
dari Kasiba berdiri sendiri
161
Tabel 3. Tahap pelaksanaan pembangunan pada Kasiba, Lisiba, dna Lisiba yang
berdiri sendiri
Kasiba Lisiba bagian dari Lisiba yang
Kasiba berdiri sendiri
Gambar 2. Timeline tenggat waktu dan capaian dari kegiatan Kasiba, Lisiba, dan
Lisiba yang berdiri sendiri
Sumber : Adaptasi PP No. 80 tahun 1999, 2020
162
disampaikan kepada Kepala Daerah dan Badan Pengelola untuk
selanjutnya diserahkan kepada Menteri. Secara rinci, pelaporan yang
disampaikan oleh Pemerintah Daerah hingga sampai ke Menteri
dijelaskan pada Tabel 4. Penertiban akan dilakukan jika pihak
pengelola tidak sanggup melaksanakan tugasnya setelah waktu jatuh
tempo.
Tabel 4. Tabel perbedaan prosedur pelaporan perkembangan kegiatan
Aktor Penerima Waktu
pengawas laporan pelaporan
163
Tata Cara Penetapan Lokasi Kasiba dan Penyediaan Tanah Kasiba
Sumber : Adaptasi dari Peraturan Menteri Perumahan Rakyat No.31 Tahun 2006
164
Tata Cara Penetapan Lokasi Lisiba dan Penyediaan Tanah Lisiba
Sumber : Adaptasi dari Peraturan Menteri Perumahan Rakyat No.31 Tahun 2006
165
Selanjutnya, dalam hal pengendalian dan pengawasan
pembangunan kasiba dan lisiba yang berdiri sendiri merupakan
wewenang dari kepala daerah setempat. Pengendalian pembangunan
kasiba dan lisiba yang berdiri sendiri meliputi :
1. pengawasan pembangunan
2. penertiban pembangunan
3. perizinan
166
dikelilingi oleh lingkungan perumahan yang sudah terbangun atau
dikelilingi oleh kawasan dengan fungsi-fungsi lain.
Persyaratan menjadi Badan Pengelola Kasiba adalah Badan
Usaha Milik Negara atau Badan Usaha Milik Daerah. Jika tidak
terdapat BUMN/BUMD yang memenuhi persyaratan untuk mengelola
kasiba, maka Kepala Daerah dapat membentuk Badan lain yang
ditugasi untuk pengelolaan Kasiba atau dapat membentuk Tim
Penyiapan Badan Pengelola.
Sementara Persyaratan untuk dapat menjadi Penyelenggara
Lisiba bagian dari Kasiba adalah Badan Usaha di bidang
pembangunan perumahan dan permukiman, yang didirikan
berdasarkan hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia, atau
Badan Usaha asing di bidang pembangunan perumahan dan
permukiman yang berkedudukan di Indonesia. Badan Usaha tersebut
harus memiliki beberapa tenaga ahli.
Persyaratan menjadi Penyelenggara Lisiba yang Berdiri Sendiri
adalah Badan Usaha Milik Negara atau Badan Usaha Milik Daerah.
Jika tidak terdapat BUMN/BUMD yang memenuhi persyaratan untuk
mengelola kasiba, maka Kepala Daerah dapat membentuk Badan lain
yang ditugasi untuk pengelolaan Lisiba yang berdiri sendiri atau dapat
membentuk Tim Penyiapan Penyelenggara Lisiba yang berdiri sendiri.
167
Gambar 3. Kriteria Penetapan Lokasi Kasiba
Sumber : Adaptasi dari Permen Perumahan Rakyat No.32 Tahun 2006
168
Lisiba, dan Penyelenggara Lisiba yang Berdiri Sendiri dimaksudkan
agar kemampuan mereka dalam menyelenggarakan pengelolaan
Kasiba, Lisiba, atau Lisiba yang Berdiri Sendiri meningkat. Sementara
pembinaan terhadap masyarakat pemilik tanah dimaksudkan agar
tercipta suasana yang menunjang keberhasilan penyelenggaraan
pengelolaan Kasiba, Lisiba atau Lisiba yang Berdiri Sendiri.
Terakhir, peraturan ini memuat tentang peran serta
masyarakat yang berada di dalam Kawasan Siap Bangun dan Lisiba
yang Berdiri Sendiri melalui Badan Pengelola atau Penyelenggara
Lisiba yang Berdiri Sendiri. Masyarakat berhak menyampaikan saran
dan masukan atas pembangunan kawasan dan berhak mengetahui
rencana rinci tata ruang Kawasan Siap Bangun dan Lisiba yang Berdiri
Sendiri. Disamping itu, masyarakat wajib memelihara kualitas ruang
dan berlaku tertib dalam keikutsertaannya dalam penataan ruang
yang telah ditetapkan.
169
Penyelenggara Lisiba yang berdiri sendiri dapat dilakukan oleh
masyarakat pemilik tanah tersebut, namun dapat juga oleh badan
usaha yang dipilih melalui sebuah kompetisi.
170
manajemen real estat, penyelenggara sarana dan prasarana,
penyelenggara utilitas umum, dan pembiayaan real estat.
Persyaratan untuk menjadi penyelenggara Lisiba dan
Lisiba yang Berdiri Sendiri adalah badan usaha di bidang
pembangunan perumahan dan permukiman yang didirikan
berdasarkan hukum atau badan usaha asing di bidang pembangunan
perumahan dan permukiman yang berkedudukan di Indonesia.
171
B
172
dan Penyelenggara berhak menguasai dan mengelola aset berupa
tanah Kasiba maksimal 20 % dari seluruh tanah Kasiba maupun tanah
Lisiba yang berdiri sendiri
173
mengakses air bersih, listrik, telepon, dan TPS, kedekatan dengan
fasilitas pendidikan, kesehatan dan pusat perbelanjaan, tidak
merubah bentuk bentang alam, karakter penghuni Kasiba tidak
bertentangan dengan masyarakat sekitar kawasan, terdapat neraca
pembiayaan.
Penetapan Lokasi Kawasan Siap Bangun (KASIBA) di
Kabupaten Malang dipilih dan ditetapkan sesuai dengan kaidah-
kaidah penetapan lokasi, yaitu telah sesuai dengan RTRW Kabupaten
Malang dan RDTRK Wilayah Kecamatan Kepanjen, meskipun
penjabaran perencanaan perumahan dan permukiman RDTRK yaitu
Rencana Pembangunan dan Pengembangan Perumahan dan
Permukiman Daerah (RP4D) belum disusun.
Penyediaan Tanah
Berdasarkan Peraturan Menteri Perumahan Rakyat No. 32
Tahun 2006, badan yang yang berhak mengelola Kasiba adalah
Badan Pengelola Kasiba Daerah, dalam hal ini Badan Pengelola
Kasiba Kepanjen Kabupaten Malang. Namun karena badan ini belum
terbentuk, prosesnya penyediaan tanah dilakukan oleh Kantor
Perumahan Kabupaten bekerjasama dengan Badan Pertanahan
Nasional dan Aparat Kecamatan serta Kelurahan setempat. Secara
umum batasan kawasan dan pemilikan tanah telah dilakukan
identifikasi, hanya tersisa langkah-langkah menuju persiapan
pembangunan dan pengembangan permukiman perlu dilaksanakan
lebih intensif. Harapannya adalah Badan Pengelola Kasiba sudah
dapat terbentuk sehingga dapat melaksanakan pengembangan
Kasiba berdasarkan Identifikasi Status dan Kepemilikan Tanah dan
Rencana Terperinci Tata Ruang Kasiba yang telah selesai disusun
pada tahun 2007.
Rencana Terperinci Tata Ruang Kasiba
Dalam PM No.32 tahun 2006 sempat disinggung tentang
Rencana Terperinci Tata Ruang (RTTR) dari Kasiba/ Lisiba dan Lisiba
yang berdiri sendiri. Jika ditinjau lebih jauh dengan melihat tingkat
kedetailan rencana, RTTR Kasiba memiliki kedudukan setara dengan
Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) dan RTTR Lisiba/ Lisiba yang
berdiri sendiri setara dengan Rencana Teknik Tata Ruang (RTR).
Pada tahap penyusunan RTTR disebutkan dalam PM No.32 tahun
2006 bahwa RTTR harus sesuai dan memenuhi standar
pembangunan sarana untuk pengembangan Kasiba. Sarana yang
dimaksud antara lain sarana pemerintahan, pendidikan, pelayanan
kesehatan, perbelanjaan, peribadatan, rekreasi, dan olahraga.
Rencana pembangunan dan pengembangan perumahan dan
permukiman pada RTTR Kasiba akan lebih terintegrasi jika mengacu
pada Rencana Pembangunan dan Pengembangan Perumahan dan
Permukiman di Daerah (RP4D). Sayangnya RP4D jarang dimiliki
daerah-daerah di Indonesia termasuk di Kabupaten Malang.
174
Badan Pengelola
SIMPULAN
175
Petunjuk pelaksana dari Kasiba dan Lisiba yang berdiri sendiri
dilakukan dengan penetapan lokasi. Lokasi yang dipilih sebagai
Kasiba dan Lisiba perlu memerhatikan status dari tanah, lalu badan
pengelola melakukan persetujuan bersama pemilik tanah/ pemegang
hak mengenai tanah lokasi dengan berbagai cara, seperti konsolidasi
tanah, jual beli tanah, tukar menukar dan pelepasan hak.
Pengendalian dan pengawasan dilakukan saat pembangunan kasiba
dan lisiba oleh kepala daerah setempat, masyarakat juga berperan
sebagai pengkritik. Sehingga, masyarakat dapat menyampaikan
saran dan masukan dalam penyelenggaraan Kasiba dan Lisiba.
Dalam perencanaan Kasiba, rencana rinci tata ruang Kasiba
harus memenuhi persyaratan prasarana, sarana dan utilitas untuk
pengembangan Kasiba. Penyusunan rencana rinci tata ruang Kasiba
harus memenuhi standar teknik yang berlaku. Prasarana yang
dimaksud adalah prasarana jalan, drainase, pengelolaan air limbah,
dan pengelolaan persampahan untuk pengembangan Kasiba.
Standar tersebut juga harus memenuhi persyaratan dan standar yang
ada. Sarana yang dimaksud antara lain sarana pemerintahan,
pendidikan, pelayanan kesehatan, perbelanjaan, peribadatan,
rekreasi, dan olahraga. Sementara utilitas yang dimaksud meliputi
penyediaan air minum, jaringan listrik, jaringan telekomunikasi,
jaringan pipa gas dan penyediaan kran kebakaran.
176
DAFTAR PUSTAKA
177
DESKRIPSI UMUM
179
PEMBAHASAN
180
Persiapan Pengadaan Tanah
181
Pelaksanaan Pengadaan Tanah
Pelaksanaan Pengadaan Tanah meliputi kegiatan lima tahapan. Pertama, inventarisasi dan identifikasi terkait
penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah. Kedua, penilaian ganti kerugian yang akan ditetapkan
lembaga pertanahan melalui penilai. Ketiga, musyawarah penetapan ganti kerugian. Lembaga Pertanahan melakukan
musyawarah dengan Pihak yang Berhak atas tanah. Keempat, pemberian ganti kerugian atas objek pengadaan tanah.
Kelima, pelepasan objek pengadaan tanah untuk kepentingan umum yang dimiliki pemerintah dilakukan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan. Sedangkan pelepasan yang dikuasai oleh pemerintah atau dikuasai/dimiliki oleh
Badan Usaha Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah dilakukan berdasarkan Undang-Undang No.2 Tahun 2012 tentang
pengadaan tanah. Pelepasan tanah dilakukan oleh pejabat yang berwenang atau Lembaga Pertanahan.
182
Penyerahan hasil Pengadaan Tanah
Tahapan yang terakhir adalah penyerahan hasil pengadaan
tanah dari Lembaga Pertanahan pada Instansi yang memerlukan tanah.
Penyerahan hasil pengadaan tanah akan dilakukan setelah syarat
pemberian Ganti Kerugian kepada Pihak yang Berhak atas tanah (atau
ganti rugi telah dititipkan di pengadilan negeri) dan Pelepasan Hak oleh
pihak tersebut sudah terpenuhi.
183
Pertama, tahap perencanaan konsolidasi tanah. Perencanaan KT
meliputi penyiapan lokasi dengan mengkaji dan menganalisis terlebih
dahulu aspek kewilayahan, sosial, ekonomi, budaya, serta lingkungan.
Luaran dari perencanaan konsolidasi tanah adalah dokumen yang
memuat kajian tata ruang dan kebijakan sektor, analisis pemetaan sosial
dan potensi kawasan, sketsa desain awal (visioning) KT, berita acara
kesepakatan peserta KT, serta penetapan lokasi KT. Terdapat 5 hal
yang perlu diperhatikan yaitu dokumen RTRW, RDTR, atau Rencana
Detail lain, daya dukung dan daya tampung lingkungan serta
perlindungan SDA, keanekaragaman hayati, lanskap, dan situs budaya,
usulan masyarakat pada lokasi KT, kebutuhan prasarana, sarana, dan
utilitas, dan terkait program pemberdayaan masyarakat. Pada bagian ini
akan dibahas terkait kriteria dan tahap perencanaan KT.
Kriteria perencanaan konsolidasi tanah sebagai berikut.
1 Objek Tanah yang sudah terdaftar, tanah yang belum terdaftar, tanah
negara yang sudah dikuasai/digarap, dan/atau tanah aset
BUMN/BUMD/Badan Hukum lainnya
2 Subjek Pemegang hak dan penggarap tanah negara merupakan
perorangan wni dan/atau badan hukum sesuai ketentuan
perundang-undangan dan disepakati minimal 60% dari peserta
KT.
3 Tanah untuk Luas dan/atau bentuk bidang tanah harus layak untuk dijadikan
Pembangunan TP jika tidak layak perlu mengganti dengan uang atau bentuk
lainnya yang telah disepakati.
184
Gambar 10.4. Alur Kerja Pelaksanaan Konsolidasi Tanah
Sumber: Analisis Peraturan Menteri No. 12 tahun 2019
185
penilaian objek KT; penyusunan desain rusun menunjukkan dengan
jelas gambar/batas hak perorangan dan bersama serta Nilai
Perbandingan Proporsional (NPP) pada fase Penyusunan Desain dan
Rencana Aksi Konsolidasi Tanah Vertikal; Sertifikat Tanah Bersama
atas nama peserta dan/atau pemangku kepentingan terkait serta
sertifikat lain sesuai kesepakatan desain pada fase Penerbitan Sertifikat
Hak Atas Tanah dan Penyerahan Sertifikat Tanah Bersama.
186
pemantauan dan evaluasi dampak sosial, ekonomi dan lingkungan;
evaluasi kinerja kawasan dan pembangunan berkala setiap 5 tahun;
perencanaan dan pembangunan kembali kawasan (jangka panjang);
peremajaan dan/atau penataan kembali. Sedangkan pada Pelaporan
penyelenggaraan Konsolidasi Tanah dalam bentuk
pertanggungjawaban dan dokumentasi pelaksanaan seluruh tahapan
penyelenggaraan Konsolidasi Tanah.
187
Memproses penerbitan Sertipikat Hak
Atas Tanah dan melaksanakan
penyerahan hasil Konsolidasi Tanah
Melaksanakan tugas lain yang
dibutuhkan
1
Memperoleh informasi dan Menyatakan persetujuan secara
sosialisasi mengenai pelaksanaan tertulis untuk mengikuti kegiatan
konsolidasi tanah secara transparan Konsolidasi Tanah
188
bangunan/Gedung dan biaya lain-lain. Penyelenggaraan administrasi
pembiayaan dilaksanakan dan dipertanggungjawabkan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
Kerja sama konsolidasi tanah dapat dilakukan melalui
bentukbentuk kerjasama antara pemerintah, badan usaha, akademisi,
praktisi kelompok masyarakat dan pihak terkait lainnya yang dilakukan
berdasarkan ketentuan peraturan perundang undangan.
Penanganan Permasalahan Konsolidasi Tanah
Penanganan permasalahan pelaksanaan konsolidasi tanah
ditangani oleh tim koordinasi konsolidasi. Dalam hal pelaksanaan
konsolidasi tanah telah selesai pada tahapan penyerahan surat tanda
bukti hak dan pembangunan PSU, penanganan permasalahan
konsolidasi tanah ditangani oleh kantor pertanahan dan para pemangku
dengan supervisi dari kantor wilayah. Apabila permasalahan konsolidasi
tanah tidak dapat diselesaikan, maka penyelesaiannya berdasarkan
kesepakatan para pihak dan/atau ditempuh melalui lembaga peradilan.
189
Gambar 10.6. Diagram transmigrasi
Sumber: Analisis Peraturan Pemerintah No. 3 tahun 2014
190
4. Konsolidasi Tanah Painan Utara dan Painan Timur, Kabupaten Pesisir Selatan, Sumatera Barat
Gambar 10.7. Peta Konsolidasi Tanah di Painan Utara dan Painan Timur
Sumber: Badan Pertanahan Nasional, 1997
190
Kabupaten Pesisir Selatan terletak di Provinsi Sumatera Barat,
dengan luas wilayah 5.749,89 km2 yang terletak di bagian selatan
Provinsi Sumatera Barat. Kabupaten ini berbatasan pada sebelah utara
dengan Kota Padang, sebelah timur dengan Kabupaten Solok dan
Provinsi Jambi, sebelah selatan dengan Provinsi Bengkulu dan sebelah
barat dengan Samudera Indonesia. Sebagian besar penduduk Pesisir
Selatan bergantung pada sektor pertanian tanaman pangan, perikanan,
dan perdagangan.
Konsolidasi tanah pernah dilaksanakan pada kabupaten ini
dengan luas total mencapai 56,44 Ha atau sekitar 564.400 m 2.
Konsolidasi tanah ini tepatnya dilaksanakan pada wilayah Painan Utara
dan Painan Timur, suatu bagian Kabupaten Pesisir Selatan. Konsolidasi
tanah di Painan Utara dan Painan Timur membantu masyarakat sekitar
yang menjadi bagian dalam konsolidasi tanah ini karena harga lahan
mengalami kenaikan hingga 5 kali lipat. Pada tahun 1986 harga lahan
setiap meternya hanya senilai Rp. 3.000/m2 dan setelah dilaksanakan
konsolidasi tanah yaitu pada tahun 1997 harga lahan meningkat menjadi
Rp. 15.000/m2. Pelaksanaan konsolidasi tanah tersebut dapat dilihat
pada gambar berikut.
Konsolidasi tanah yang dilaksanakan pada Painan Utara dan
Painan Timur tersebut memiliki jumlah peserta hingga 412 Kepala
Keluarga yang menggunakan APBN pada tahun 1986 / 1987 dengan
periode proyek dari tahun 1986 s/d 1997. Dari contoh konsolidasi tanah
diatas dapat disimpulkan konsolidasi tanah dapat membantu
kesejahteraan masyarakat dengan cara menaikan harga lahan pada
wilayah terdampak dengan syarat melibatkan masyarakat dengan
dukungan stakeholder sehingga dapat membawa manfaat dan
keuntungan yang dinikmati oleh masyarakat secara luas.
191
bencana banjir ini. Namun sangat disayangkan masyarakat yang
bermukim di tempat tersebut mengakui hal tersebut merupakan hal
yang biasa dan sudah dimaklumi.
192
berat ke lokasi kalau masih ada warga bermukim di sana. Begitu juga
di Sungai Babura, alat berat ke sana tidak bisa masuk," katanya.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa untuk melakukan konsolidasi tanah
tidak dapat dilakukan dengan serta merta. Perlu memenuhi beberapa
kriteria penting seperti lokasi pemindahan, penilaian aspek lingkungan,
dan yang terpenting adanya partisipasi aktif dari masyarakat yang
terdampak sebagaimana yang diamanatkan pada Permen No.12
Tahun 2019 tentang Konsolidasi Tanah Pasal 1 Ayat 1. Konsolidasi
tanah akan mudah apabila memang masyarakat dilibatkan secara aktif
yaitu dapat melalui penyuluhan, pengadaan FGD, dan mekanisme
ganti rugi yang jelas dan saling menguntungkan kedua belah pihak.
SIMPULAN
193
DAFTAR PUSTAKA
194
DESKRIPSI UMUM
PEMBAHASAN
1. SNI 03-1733-2004 tentang Tata Cara Perencanaan Lingkungan
Perumahan di Perkotaan
Pembahasan mengenai Tata Cara Perencanaan Lingkungan
Perumahan di Perkotaan terdiri atas ketentuan mengenai penyediaan
fasilitas dan utilitas yang perlu disediakan di suatu lingkungan perumahan.
SNI 03-1733-2004 merupakan panduan dokumen nasional yang menjadi
kerangka acuan untuk perencanaan, perancangan, penaksiran biaya dan
kebutuhan ruang, serta pelaksanaan pembangunan perumahan dan
permukiman khususnya di lingkungan baru dan area terbangun perkotaan.
Dalam pembangunan perumahan, dibutuhkan ketentuan yang
secara terpadu, terarah, terencana serta
berkelanjutan/berkesinambungan. Persyaratan dasar perencanaan
lingkungan perumahan harus dipenuhi meliputi Rencana Tata Ruang
Wilayah (RTRW) setempat atau dokumen rencana lainnya yang
ditentukan oleh Pemerintah Kota/Kabupaten, persyaratan administrasi
(perizinan pembangunan, perizinan layak huni dan sertifikasi tanah),
persyaratan teknis kesehatan dan keselamatan, persyaratan reduksi
196
kebutuhan lahan berdasarkan kepadatan penduduk, kriteria lokasi, kriteria
fisik lingkungan.
Setelah itu, memasukkan data dasar lingkungan perumahan yang
digunakan sebagai penentuan asumsi dasar satuan unit lingkungan
Kemudian, membuat lembar kontrol kebutuhan data dan informasi yang
digunakan sebagai keperluan analisis perencanaan lingkungan
perumahan di perkotaan. Penggolongan sarana hunian digolongkan
menjadi dua, yaitu hunian tidak bertingkat dan hunian bertingkat yang
didasarkan pada beberapa ketentuan/peraturan yang telah berlaku. Dalam
merencanakan rumah tidak bertingkat harus memperhatikan keselamatan
dan kenyamanan rumah, sedangkan untuk rumah bertingkat harus
memperhatikan kepadatan penduduk, kebutuhan rumah susun, serta
sarana lingkungan yang dibutuhkan.
Dalam perhitungan besaran dan luas lahan digolongkan menjadi
dua, yaitu hunian tidak bertingkat dan hunian bertingkat. Untuk hunian
bertingkat, besaran dan luas lahan diatur dalam peraturan lain. Untuk
hunian tidak bertingkat, besaran dan luas lahan dibedakan per orang bagi
dewasa dan anak.
Rumus Kebutuhan Luas Lantai Minimum Hunian Per Orang
𝑈
L per orang = 𝑇𝑝
Dengan keterangan :
L per orang : Luas lantai hunian per orang
U : Kebutuhan udara segar/orang/jam dalam satuan m3
Tp : Tinggi plafon minimal dalam satuan m
𝑈 𝑎𝑛𝑘 12 𝑚3
L per orang anak= = = 4,8 m2
𝑇𝑝 2.5 𝑚
Dengan keterangan :
Udws : Kebutuhan udara segar/orang dewasa/jam dalam satuan
3
m
Uank : Kebutuhan udara segar/orang anak-anak/jam dalam satuan
3
m
Tp : Tinggi plafon minimal dalam satuan m
i. Fasilitas
Dalam pembangunan sebuah perumahan juga dibutuhkan
perencanaan kebutuhan sarana dan prasarana lingkungan.
a. Fasilitas Pemerintahan dan Pelayanan Umum
Fasilitas yang menyediakan bangunan gedung yang menjadi tujuan
masyarakat dalam berbagai urusan administrasi maupun
pemerintahan di sebuah kota maupun daerah, dengan ketentuan
sebagai berikut.
197
Tabel 11.1. Fasilitas Pemerintahan dan Pelayanan Umum
Luas Luas Radius
Penduduk Standar
Jenis Sarana Lantai Min Lahan Min Pencapaian
Pendukung (M2/jiwa)
(M2) (M2) (M)
Balai
2500 150 300 0.12
Pertemuan
Pos Hansip 2500 6 12 0.06 500
Gardu Listrik R 2500 20 30 0.012 500
Telepon W
Umum, Bis 2500 - 30 0.012 500
Surat
Parkir Umum 2500 - 100 0.04
Kantor
30.000 500 1000 0.033
Kelurahan
Pos Kamtib 30.000 72 200 0.006
Pos
Pemadaman 30.000 72 72 0.006
K
Kebakaran
E
Agen
L 30.000 36 60 0.0024
Pelayanan Pos
U
Loket
R
Pembayaran 30.000 21 60 0.002
A
Air Bersih
H
Loket A
Pembayaran N 30.000 21 60 0.002
Listrik
Telepon
Umum, Bis
30.000 - 80 0.003
Surat, Bak
Sampah Kecil
Parkir Umum 30.000 - 500 0.017
Kantor
120.000 1000 2500 0.02
Kecamatan
Kantor Polisi 120.000 500 1000 0.001
Pos Pemadam
120.000 500 1000 0.001
Kebakaran
Kantor Pos
K 120.000 250 500 0.004
Pembantu
E
Stasiun
C
Telepon
A
Otomat dan
M
Agen 120.000 500 1000 0.008 3000-5000
A
Pelayanan
T
Gangguan
A
Telepon
N
Balai
120.000 250 750 0.006
Nikah/KUA/BP4
Telepon umum,
bis surat, bak 120.000 - 80 0.003
sampah besar
Parkir Umum 120.000 - 2000 0.017
Sumber : Adaptasi dari SNI 03-1733-2004
b. Fasilitas Pendidikan
198
Fasilitas yang menunjang dasar perencanaan, perancangan dan
pelaksanaan pembangunan gedung sekolah dengan ketentuan
sebagai berikut.
d. Fasilitas Kesehatan
Fasilitas yang menunjang tempat untuk menyelenggarakan upaya
pelayanan kesehatan kepada masyarakat, dengan ketentuan
sebagai berikut.
199
BKIA Puskes
Fasilitas Balai
Posyan serta mas Puskesm Praktik
yang Pengo Apotik
du Rumah Pemba as Dokter
Disediakan batan
Bersalin ntu
Minimum
Terlayani
(jiwa)
Standar -
0,048 0,12 0,1 0,006 0,008 0,025
(M2/jiwa)
Jarak (M) 500 1000 4000 1500 3000 1500 1500
Luas Lantai
yang
36 150 1500 150 420 18 120
Dibutuhkan
(M2)
Luas Lahan
yang
60 300 3000 300 1000 - 250
Dibutuhkan
(M2)
Sumber : Adaptasi dari SNI 03-1733-2004
e. Fasilitas Peribadatan
Fasilitas untuk mengisi kebutuhan rohani yang perlu disediakan di
lingkungan perumahan, dengan ketentuan sebagai berikut.
200
Jumlah
Kebutuhan Luas Standard Radius
Jenis Sarana Penduduk
Lahan Min (M2) (M2/jiwa) Pencapaian (M)
(jiwa)
Taman/tempat Main 250 250 1 100
Taman/tempat Main 2500 1250 0.5 1000
Taman dan Lapangan
30000 9000 0.3
Olahraga
Taman dan Lapangan
120000 24000 0.2
Olahraga
Jalur Hijau - - 15
Kuburan/Pemakaman
120000
Umum
Sumber : Adaptasi dari SNI 03-1733-2004
ii. Utilitas
a. Jaringan Air Limbah
Jaringan air limbah adalah salah satu syarat kelengkapan lingkungan
perumahan. Jenis jaringan air limbah berdasarkan peraturan SNI dan
perencanaan plambing yang telah berlaku terdiri dari septi tank, bidang
resapan, dan jaringan pemipaan air limbah. Jika pada lingkungan tersebut
tidak memungkinkan untuk di buat septitank, maka perumahan tersebut
harus dilengkapi dengan sistem pembuangan air limbah kota atau bidang
resapan di tiap-tiap rumah.
b. Jaringan Persampahan
Jenis elemen perencanaan persampahan yang perlu disediakan dalam
peruamahan adalah gerobak sampah, bak sampah, tempat pembuangan
sementara (TPS), dan tempat pembuangan akhir (TPA).
201
c. Jaringan Drainase
Dalam SNI 03-1733-2004 tentang Tata Cara Perencanaan Lingkungan
dijelaskan bahwa lingkungan perumahan harus memiliki jaringan drainase
sesuai ketentuan dan persyaratan teknis yang diatur dalam peraturan
yang telah berlaku, salah satunya adalah SNI 02-2406-1991 tentang Tata
Cara Perencanaan Umum Drainase Perkotaan. Jaringan drainase
berfungsi mengalirkan air permukaan ke badan penerima air atau
bangunan resapan buatan yang harus disediakan pada lingkungan
perumahan di perkotaan. Berdasarkan acuan yang diambil dari SNI 02-
2406-1991 tentang Tata Cara Perencanaan Umum Drainase Perkotaan
bagian jaringan drainase dibedakan menjadi 2 jenis sarana yaitu badan
penerima air dan bangunan pelengkap. Contoh prasarana dari badan
penerima air antara lain adalah sumber air di permukaan tanah seperti
laut, sungai dan danau serta sumber air di bawah permukaan tanah
seperti air tanah akuifer. Selanjutnya, prasarana dari bangunan pelengkap
adalah gorong-gorong, pertemuan saluran, bangunan terjunan, jembatan,
street inlet, pompa, dan pintu air.
d. Jaringan Jalan
Jaringan jalan perlu disediakan untuk menampung pergerakan manusia
dan kendaraan serta berfungsi sebagai akses untuk penyelamatan dalam
keadaan darurat. Jalan perumahan yang baik harus memberikan rasa
aman dan nyaman bagi pergerakan pejalan kaki, pengendara sepeda dan
kendaraan bermotor. Selain itu, juga harus didukunh dengan ketersediaan
pendukung lain, seperti perkerasan jalan, trotoar, drainase, lansekap,
rambu lalu lintas, parkir, dan lain-lain.
202
Penyediaan jaringan air bersih, harus tersedia jaringan kota atau
lingkungan hingga sambungan rumah. Apabila tidak tersedia sistem
penyediaan air bersih kota atau lingkungan, rumah-rumah di dalamnya
berhak mendapatkan sambungan rumah atau sambungan halaman.
2. Jaringan air bersih
Harus terseda sampai jaringan kota atau lingkungan yang tersambung
dengan rumah menggunakan pipa PVC, GIP, atau fiber glass.
3. Kran umum
Disediakan untuk jumlah pemakai 250 jiwa dengan radius pelayanan
maksimum 100 m. Kapasitas minimum untuk kran umum adalah
30l/o/h.
4. Hidran kebakaran
Disediakan dengan jarak dengan tepi jalan minimum 3m dan jarak
antara kran maksimum 200m untuk daerah perumahan. Apabila tidak
memungkinan membuat keran diharuskan membuat sumur-sumur
kebakaran.
f. Jaringan Telepon
Tiap lingkungan rumah perlu dilayani sambungan telepon rumah dan
telepon umum sejumlah 0,13 sambungan telepon rumah per jiwa atau
dengan menggunakan asumsi berdasarkan tipe rumah, seperti rumah
tangga berpenghasilan tinggi (R1) sebanyak 2-3 sambungan/rumah;
rumah tangga berpenghasilan menengah (R2) sebanyak 1-2
sambungan/rumah; dan rumah tangga berpenghasilan rendah (R3)
sebanyak 0-1 sambungan/rumah. Sambungan telepon umum juga
dibutuhkan untuk setiap 250 jiwa penduduk (unit RT) yang ditempatkan
pada pusat-pusat kegiatan dengan radius bagi pejalan kaki yaitu 200-400
m. Sedangkan, penempatan pesawat telepon diutamakan di area publik
dan terlindungi terhadap cuaca yang dapat diintegrasikan dengan
kebutuhan kenyamanan pemakai.
Tiap lingkungan rumah juga perlu dilayani jaringan telepon lingkungan
dan ke hunian. Jaringan telepon ini diintegrasikan dengan jaringan
pergerakan dan jaringan prasarana/utilitas lain. Tiang listrik ditempatkan
pada area Damija dan stasiun telepon otomat (STO) diletakkan setiap
3.000-10.000 sambungan dengan radius pelayanan 3-5 km dihitung dari
copper center sebagai pusat pengendali dan pengaduan pelanggan.
Apabila merencanakan penyediaan sambungan telepon untuk rumah
tangga maka perlu mempertimbangkan beberapa hal, yaitu rencana tata
ruang wilayah (RTRW) kota dan perkembangan lokasi yang direncanakan;
tingkat pendapatan keluarga dan kegiatan rumah tangga; jarak terjauh
rumah yang direncanakan terhadap Stasiun Telepon Otomat (STO);
kapasitas terpasang STO yang ada; dan teknologi jaringan telepon yang
diterapkan.
g. Jaringan Listrik
Pada lingkungan perumahan di perkotaan, pemasangan seluruh
instalasi harus direncanakan secara terintegrasi dan elemen perencanaan
jaringan listrik yang dibutuhkan yaitu kebutuhan daya listrik dan jaringan
203
listrik. Persyaratan, kriteria, dan kebutuhan yang harus dipenuhi dalam
penyediaan kebutuhan daya listrik meliputi setiap lingkungan perumahan
harus mendapatkan daya listrik dari PLN atau dari sumber lain, serta
setiap unit rumah tangga harus dapat dilayani daya listrik minimum 450
VA per jiwa dan untuk saran lingkungan sebesar 40% dari total kebutuhan
rumah tangga.
Selain itu, persyaratan, kriteria, dan kebutuhan yang harus dipenuhi
dalam penyediaan jaringan listrik meliputi disediakan jaringan listrik
lingkungan dengan mengikuti hirarki pelayanan dan besar pasokan telah
diprediksi berdasarkan jumlah unit hunian yang mengisi blok siap bangun,
disediakan tiang listrik sebagai penerangan jalan yang ditempatkan pada
daerah milik jalan pada sisi jalur hijau, disediakan gardu listrik untuk setiap
200 KVA pada lahan yang bebas dari kegiatan umum, ada penerangan
jalan dengan kuat penerangan 500 lux dengan tinggi > 5 meter dari muka
tanah, serta untuk daerah di bawah tegangan tinggi sebaiknya tidak
digunakan untuk tempat tinggal atau kegiatan lain yang bersifat permanen
karena membahayakan keselamatan.
i. Penggolongan Jalan
Berikut ini adalah penggolongan jalan perumahan berdasarkan
hirarkinya.
204
Beban
Hirarki Jalan Perlengkapan Fasilitas Angkutan
As Keterangan
Perumahan Jalan Pendukung Umum
(MST)
(LS III) kecepatan, tanpa luar badan
kereb jalan
Jalur pejalan
Lingkungan kaki, parkir di
- - - -
I (LK I) luar badan
jalan
Jalur pejalan
Lingkungan kaki, parkir di
- - - -
II (LK II) luar badan
jalan
Sumber : Adaptasi dari SNI 03-1733-2004
205
2. SNI 03-7013-2004 tentang Tata Cara Perencanaan Fasilitas
Lingkungan Rumah Susun Sederhana
SNI 03-7013-2004 merupakan panduan standar yang memuat
ketentuan tentang jenis dan besaran fasilitas lingkungan rumah susun
sederhana campuran 5 lantai yang dibangun di lingkungan baru
mempunyai KDB 50%, KLB 1,25 atau kepadatan mencapai maksimal
1.736 jiwa//HA, pada lahan rentang dengan kemiringan 5% yang
mencakup cara pencapaian; tata letak pada lahan lingkungan dana tau
posisi pada lantai bangunan rumah susun.
Dalam perencanaan pembangunan Fasilitas Lingkungan Rumah
Susun Sederhana (FLRSS) harus memperhatikan beberapa ketentuan
perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan harus dilaksanakan oleh
kelompok tenaga ahli dalam bidang yang sudah diakui oleh peraturan dan
perundang-undangan yang berlaku. Lokasi perencanaan pembangunan
FLRSS yang direncanakan harus jelas status dan peruntukan tanahnya,
serta telah mengikuti persyaratan teknis, ekologis, dan administratif.
Dalam perencanaan fasilitas lingkungan rumah susun sederhana harus
mencakup data penghuni dan kondisi fisik lingkungan (topografi, lokasi,
iklim, bencana alam, vegetasi, dan bangunan sekitar lingkungan rumah
susun).
Luas lahan yang diperlukan untuk memenuhi ketentuan lingkungan
rumah susun dengan Kdb 50-60%, dengan rincian sebagai berikut untuk
bangunan hunian membutuhkan maksimum luas lahan sebesar 50%
tanpa ada minimum, untuk bangun fasilitas membutuhkan maksimus luas
lahan sebesar 10% tanpa ada minimum, serta untuk ruang terbuka dan
prasarana lingkungan membutuhkan minimum luas lahan sebesar 20%
tanpa ada maksimum. Fasilitas lingkungan pada bangunan hunian harus
memenuhi ketentuan yaitu maksimal 30% dari jumlah luas lantai
bangunan dan tidak ditempatkan lebih dari lantai 3 bangunan rumah
susun hunian
Lingkungan rumah susun harus dilengkapi dengan fasilitas
lingkungan berupa ruang atau bangunan yang terbagi menjadi beberapa
jenis fasilitas lingkungan.
206
Fasilitas
Kantor Kantor/Balai Pos Pos Telepon Gedung Ruang Kotak
yang
RT RW Hansip/Siskamling Polisi Umum Serbaguna Terbuka Pos
Disediakan
Minimal (M2)
Luas Lantai
Minimal
(Merupakan
- - 6 72 - 500 - -
Bangunan
Tersendiri)
M2
Sumber : Adaptasi dari SNI 03-7013-2004
b. Fasilitas Pendidikan
Fasilitas yang menunjang dasar perencanaan, perancangan dan
pelaksanaan pembangunan gedung sekolah dengan ketentuan
sebagai berikut.
Tabel 11.11. Fasilitas Pendidikan
Fasilitas
Ruang Tingkat pra Belajar SD SMP SMU
Belajar
Jumlah
Minimal
1500 jiwa dimana
Penghuni
anak-anak usia 5-6 1600 4800 ≥ 4800
yang
tahun sebanyak 8%
Mendukung
(jiwa)
Jarak (M) 500 1000 100 3000
Luas Lantai
yang
1,5 1,5 1,75 1,5
Dibutuhkan
(M2 / siswa)
1. SMU 1 lantai
12.500 m2 dan
Luas Lahan
atau
yang
250 2.000 9.000 2. SMU 2 lantai
Dibutuhkan
8.000 m2
(M2)
3. SMU 3 lantai
5000 m2
Sumber : Adaptasi dari SNI 03-7013-2004
207
Toko-Toko Pusat Perbelanjaan
Fasilitas yang disediakan Warung
PD termasuk Usaha Jasa
Luas Lahan (Bila merupakan 72 (dengan 100 (dengan 1200 (dengan KDB
Bangunan Tersendiri (M2) KDB 50%) KDB 50%) 50%)
Sumber : Adaptasi dari SNI 03-7013-2004
d. Fasilitas Kesehatan
Fasilitas yang menunjang tempat untuk menyelenggarakan upaya
pelayanan kesehatan kepada masyarakat, dengan ketentuan sebagai
berikut.
e. Fasilitas Peribadatan
Fasilitas yang menyediakan tempat untuk umat beragama untuk
beribadah menurut ajaran agama atau kepercayaan mereka masing-
masing, dengan ketentuan sebagai berikut.
1. Jumlah penghuni minimal yang dilayani adala 40 KK, setiap satu
fasilitas peribadatan disediakan 1 mushola untuk tiap 1 blok,
dengan luas lantai 9 - 360 m2
2. Jumlah penghuni minimal harus mendukung setiap fasilitas
peribadatan kecil adalah 400 KK
208
undangan yang berlaku. Perencanaan pembangunan LPSTB harus
terletak di lokasi yang sesuai peruntukannya serta mengikuti persyaratan
teknis, ekologis, dan administratif serta mempertimbangkan kemungkinan
penggabungan prasarana lingkungan, utilitas umum dan fasilitas sosial
yang telah ada. Dalam penyediaan LPSTB harus terjamin oleh kepastian
hukum dalam hal penghunian, pertanahan, dan bangunan di atasnya.
Luas kavling dan kepadatan lingkungan harus bersesuaian dengan
ketentuan sebagai berikut.
Tabel 11.14. Luas kavling dan kepadatan lingkungan
Kapasitas Penduduk
Luas Kaveling (m2) Kepadatan Kaveling (Kaveling/Ha)
(jiwa/Ha)
54 111 444
72 83 332
120 50 200
150 40 160
200 30 120
Sumber : Adaptasi dari SNI 03-6981-2004
209
Jumlah
Luas Luas
Maksimum Letak dan Jarak
Fasilitas yang Lantai Lantai
Penghuni yang Maksimum dari
Disediakan Minimal Minimal
Dapat Dilayani Unit Hunian
(M2) (M2)
(Jiwa)
pelayanan lain
Pos Pemadam Berdekatan dengan
30.000 54 200
Kebakaran pos polisi
Mengelompok
Wartel 30.000 dengan pusat 36 60
pelayanan
Dekat dengan 1 unit
Telepon Umum 200 pelayanan umum (1.5 x
lainnya 1.5)
Dekat dengan
Gedung Serba Guna 1.000 pelayanan umum 250 500
lainnya
Di tengah-tengah
lingkungan dekat
Gelanggang Remaja 30.000 250 500
pelayanan umum
lainnya
Di pinggir jalan
umum, mudah
Kotak Surat 1.000
dijangkau
kendaraan
Sumber : Adaptasi dari SNI 03-6981-2004
b. Fasilitas Pendidikan
Fasilitas yang menunjang dasar perencanaan, perancangan dan
pelaksanaan pembangunan gedung sekolah dengan ketentuan
sebagai berikut.
Tabel 11.16. Fasilitas Pendidikan
Fasilitas Ruang
Pra Belajar SD SMP SMA
Belajar
Jumlah Minimal 1000 dimana anak-anak
Penghuni yang usia 5-6 tahun sebanyak 1600 4800 4800
Dilayani (jiwa) 8%
Jarak (M) 500 1000 1000 3000
Luas Lantai yang
Dibutuhkan (M2 / 1,5 m2 / siswa 1,5 1,75 1,75
siswa)
1. 12.500 untuk
bangunan 1 lantai
2. 8.000 untuk
Luas Lahan yang
250 2.000 9.000 bangunan 2
Dibutuhkan (m2)
lantai
3. 5.000 untuk
bangunan 3 lantai
Sumber : Adaptasi dari SNI 03-6981-2004
210
Tabel 11.17. Fasilitas Niaga atau Tempat Kerja
Toko-
Fasilitas yang disediakan Warung Pusat Perbelanjaan
Toko PD
Jumlah Minimal Penghuni
250 2500 2500
yang Dapat Dilayani (jiwa)
Lokasi dan Jarak Maksimal Terletak pada jalan utama dan
500 1000
dari Unit Hunian (m) pusat lingkungan
Luas Lantai Minimum (M2) 50 480
1200
13.500 (0,9-1% dari luas areal
Luas Tanah Minimum (M2) 100 (KDB
permukiman yang dilayani)
40%)
Sumber : Adaptasi dari SNI 03-6981-2004
d. Fasilitas Kesehatan
Fasilitas yang menunjang tempat untuk menyelenggarakan upaya
pelayanan kesehatan kepada masyarakat, dengan ketentuan sebagai
berikut.
d. Fasilitas Peribadatan
Perencanaan pembangunan fasilitas peribadatan bergantung pada
kondisi setempat yang harus dilakukan survei setempat tentang :
1. Struktur penduduk menurut umur dan jenis kelamin, serta proyeksi
penduduk yang akan datang;
2. Agama yang dianut;
3. Untuk agama Islam sebagai berikut :
1. Luas lantai bruto per orang 1,2 m2
2. Kelompok penduduk 250 orang disediakan musholla seluas 45
m2 (diasumsikan 15%)
211
3. Kelompok penduduk 2.500 orang disediakan masjid seluas 300
m2 (diasumsikan 10%)
4. Kelompok penduduk 30.000 orang disediakan masjid seluas
1800 m2 (diasumsikan 10%)
SIMPULAN
212
Disamping itu, terdapat pembahasan subtopik mengenai Tata Cara
perencanaan fasilitas lingkungan rumah susun sederhana dimana fasilitas
lingkungan yang harus ada pada rumah susun sederhana terdiri dari
fasilitas niaga atau tempat kerja, fasilitas pendidikan, fasilitas kesehatan,
fasilitas peribadatan, fasilitas pemerintahan dan pelayanan umum, dan
fasilitas ruang terbuka. Perencanaan fasilitas tersebut memiliki pedoman-
pedoman khusus yang berbeda tiap jenis fasilitasnya.
Selain itu, pada pembahasan subtopik mengenai Tata Cara
Perencanaan Lingkungan Perumahan Sederhana Tidak Bersusun di
Daerah Perkotaan, rumah sederhana tidak bersusun di daerah perkotaan
harus dilengkapi dengan prasarana lingkungan, utilitas umum, dan
fasilitas lingkungan. Prasarana lingkungan, utilitas umum, dan fasilitas
lingkungan tersebut diatur dengan ketentuan-ketentuan khusus sesuai
dengan kebutuhan masing-masing kelengkapan.
Secara umum, dalam membangun perumahan di perkotaan baik itu
lingkungan perumahan, rumah susun sederhana atau perumahan
sederhana tidak bersusun memiliki peraturan dan ketentuan yang harus
dipenuhi. Peraturan dan ketentuan tersebut berbeda tiap lingkungan
perumahan yang ingin dibangun. Ketentuan tersebut diaplikasikan agar
kebutuhan masyarakat dapat dipenuhi dalam perencanaan lingkungan
perumahan di perkotaan.
213
DAFTAR PUSTAKA
214