Anda di halaman 1dari 7

TUGAS DEBAT

THBT THE GOVERNMENT WILL FINE THOSE WHO REFUSE TO BE


VACCINATED COVID-19

Oleh:

Ni Kadek Pratiwi Indah Sari


Afilisi Kelas B
P07124220111

KEMENTERIAN KESEHATAN R.I.


POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES DENPASAR
JURUSAN KEBIDANAN
DENPASAR
2021
Argumen Pro

Peraturan Presiden  Nomor 14 Tahun 2021 tentang Pengadaan Vaksin dan Pelaksanaan
Vaksinasi Dalam Rangka Penanggulangan Pandemi Corona Virus COVID-19  telah
ditetapkan Presiden Joko Widodo  pada tanggal 9 pebruari 2021.  Melalui Perpres ini,
masyarakat yang terdata sebagai sasaran penerima vaksin Covid-19  dan  memenuhi  syarat ,
wajib untuk ikut program vaksinasi yang dilakukan   2 kali secara bertahap  , tanpa dipungut
biaya  dan dihubungi  lewat SMS .

Program vaksinasi Covid-19 di Indonesia produksi Sinovac dan PT. Bio Farma  telah
mendapatkan izin penggunaan vaksin darurat dari Badan Pengelola Obat dan Makanan
(BPOM) dan sertifikasi halal dari Majelis Ulama Indonesia (MUI).

Mengingat pentingnya program vaksinasi Covid-19 untuk individu dan juga memberikan
perlindungan bagi masyarakat yang tidak bisa divaksinasi, serta telah dipertanggung
jawabkan oleh pihak berwenang, maka sifatnya menjadi wajib dan memaksa. Sebagai warga
negara yang baik, kewajiban tersebut tentunya harus dipatuhi dan dilaksanakan, sehingga jika
dilanggar akan mendapatkan sanksi hukum, masuknya pelanggaran (tindak pidana ringan).

Pemerintah sendiri ini menyatakan bahwa sanksi pidana bagi penolak vaksin Covid-19
merupakan upaya terakhir pemberian hukuman jika norma hukum lainnya (yang lebih
persuasif) tidak berfungsi.  Sanksi pidana bagi penolak vaksin Covid-19 diatur dalam pasal
93 Undang-Undang (UU) Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan.

Dalam pasal tersebut dijelaskan bahwa bagi warga yang tidak mematuhi penyelenggaraan
kekarantinaan kesehatan dan atau menghalang-halangi  penyelenggaraan kekarantinaan
kesehatan dapat dipidana penjara maksimal 1 tahun dan atau denda maksimal Rp100 juta.

Pasal 93 UU Nomor 6 Tahun 2018 ini  pada pemberian Sanksi  bagi yang  penolak  vaksin  
beranggapan  pemerintah wajib memberikan pelayanan kesehatan yang baik untuk memenuhi
hak warganya tersebut dan menjamin warganya agar sehat,  sehingga  Sanksi hukum penolak
vaksin Covid-19 tetap harus ada  ketika sosialisasi dan edukasi dari pihak berwenang seperti
tenaga medis tidak berhasil.

Menurut Mahfud MD, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, jika
seseorang merasa kesehatan adalah hak asasi, maka tidak boleh melanggar hak asasi
oranglain. Jadi, kalau seseorang menolak divaksin, maka sebetulnya orang tersebut
berpotensi melanggar hak asasi oranglain yang ingin hidup sehat dan untuk negara bisa
memaksa dengan penerapan sanksi hukum tersebut. Sanksi hukum dibuat untuk melindungi
kepentingan rakyat, bukan individu.

Hadirnya makhluk kecil berjubah raksasa (Covid-19) mengalirkan sungai kegetiran dan
kehawatiran hingga tubuh terasa iba membuat dunia dilamun duka. 

Semakin hari makin banyak orang yang terpapar, bahkan meninggal dunia sehingga membuat
kepanikan luar biasa bagi kita semua.

Banyak upaya yang telah dilakukan, baik oleh pemerintah maupun pihak-pihak yang peduli
terhadap kesehatan dan keselamatan jiwa masyarakat dalam menghadapi pandemi Covid-19
berkepanjangan ini. Banyak pula yang ikut mengampanyekan protokol kesehatan, termasuk
saya bersama warga SLBN B Garut. Yakni, protokol kesehatan dengan menaati 3M

Banyaknya orang terpapar serta angka kematian yang semakin tinggi, salah satunya karena
kurangnya kesadaran masyarakat dalam mematuhi protokol kesehatan, walaupun pemerintah
sudah berusaha memberikan imbauan dengan berbagai upaya.

Kurangnya kesadaran masyarakat terhadap pencegahan Covid-19, pemerintah pun


mengambil langkah tepat dengan memberikan vaksin bagi seluruh warga negara yang
dipelopori oleh Bapak Presiden Joko Widodo dan tokoh-tokoh masyarakat lainnya, termasuk
artis Raffi Ahmad.

Sebenarnya, orang pertama yang berani  melakukan uji coba vaksin adalah orang  nomor 1 di
Jawa Barat, yaitu Bapak Gubernur Ridwan Kamil. Tentu saja hal ini beliau lakukan untuk
membuktikan bahwa vaksin tersebut memang benar bermanfaat untuk meningkatkan imun
tubuh dan tidak berbahaya. 

Jika saja  pemimpin tidak berani melakukan vaksin maka kemungkinan rakyatnya pun akan
menolak divaksin. Jadi, tujuan Pak Ridwan Kamil bersedia diuji coba adalah untuk
memberikan kepercayaan dan menjamin keselamatan warganya. Kalau ada risiko berbahaya
maka beliau dulu yang kena. Itulah sifat kesatria seorang pemimpin yang mau menanggung
risiko. Bertanggung jawab dan peduli terhadap rakyatnya. 

Setelah Bapak Ridwan Kamil divaksin, alhamdulillah kondisi Bapak Gubernur sampai ini
tetap bugar. Menurut beliau, imun tubuhnya meningkat 99%. Hanya, efek samping setelah
divaksin terasa pegal dan mengantuk selama tiga hari. 
Namun sayang, program pemerintah yang begitu gencar untuk membantu serta memulihkan
bidang kesehatan dan kesejahteraan masyarakat, masih ada saja warga yang menolak
pemberian vaksin.  Bahkan, banyak pihak yang mempengaruhi masyarakat kalau vaksin itu
memiliki efek samping berbahaya. Sehingga, banyak kalangan masyarakat yang enggan
divaksin.

Kalau menurut saya, sebelum divaksin tentu akan ada pemeriksaan terlebih dahulu, apakah
kita bisa menerima vaksin atau tidak. Sebagai warga negara yang baik, tentu kita harus
menaati imbauan pemerintah untuk membantu meningkatkan imun tubuh agar kita terhindar
dari Covid-19.
Argumen Kontra

Sanksi hukum tidak bisa diterapkan secara efektif jika pemerintah daerah (perda) tidak
mengaturnya dalam peraturan daerah tersendiri.  Selain harus ada Perda, sanksi hukum 
pidana Penjara   atau denda  bahkan keduanya sekaligus  yang disebutkan dalam pasal  93 itu 
harus diperjelas agar tidak  menimbulkan permasalahan saat diterapkan .  bahkan ada  juga 
pendapat  yang mengatakan  Tindakan yang bisa dipidana adalah perlawanan atas karantina
wilayah, bukan menolak vaksin.

Jika benar-benar diterapkan, kebijakan memberi sanksi ini akan bersifat eksperimental karena
belum ada bukti yang mendukung keberhasilan penerapannya.

Saya berpendapat denda terhadap penolak vaksin adalah kebijakan yang tidak tepat dan tidak
etis, bahkan berdampak buruk untuk jangka panjang.

Ada tiga alasan mengapa kebijakan sanksi ini tidak tepat.

Pertama adalah narasi wabah yang masih kacau. Dalam sebuah wabah, setiap
orang menarasikan penyakit  berdasarkan pada pengalaman personal dan saluran informasi
yang bisa mereka akses. Narasi wabah tentu saja mempengaruhi narasi vaksinasi. Masyarakat
yang tidak percaya pada bahaya wabah tentu kurang merasakan perlunya vaksinasi. Data
etnografi saya banyak menemukan warga yang menganggap wabah COVID-19 ini adalah
bencana ekonomi, bukan kesehatan. Menurut mereka, lebih baik pemerintah segera
mengizinkan aktivitas ekonomi berjalan normal atau menambah jumlah dana bantuan sosial
ketimbang menginvestasikan uang triliunan rupiah untuk membeli vaksin yang efektivitasnya
masih meragukan.

Kedua, menerapkan hukuman malah memberikan pilihan bagi mereka yang menolak
vaksinasi untuk memilih dihukum ketimbang divaksin. Salah satunya adalah anggota Dewan
Perwakilan Rakyat Ribka Tjiptaning yang secara terbuka mengatakan bersedia membayar
denda ketimbang divaksin. Mereka yang membayar denda kemudian merasa terbebas dari
kewajiban untuk vaksinasi. Lebih buruk lagi, hukuman denda atau pidana juga berpotensi
menjebak pemerintah dalam proses peradilan yang berlarut-larut jika ada yang menggugat
kebijakan ini.

Ketiga, infrastruktur imunisasi massal di Indonesia masih belum tertata dengan baik. Belajar
dari kegagalan kampanye imunisasi campak-rubella massal di tahun 2017-2018, bencana
alam dan ketidakmerataan akses dan ketersediaan vaksin juga dapat menjadi batu sandungan
untuk keberhasilan program imunisasi massal COVID-19. Ada baiknya pemerintah fokus di
infrastruktur vaksinasi alih-alih sibuk mendata dan mendenda mereka yang menolak
vaksinasi.

Banyak ahli berpendapat bahwa wabah COVID-19 yang semakin tak terkendali di Indonesia
ini bermula dari kebijakan pemerintah yang lamban dan saling bertabrakan dalam
menerapkan protokol kesehatan di awal-awal wabah. Masyarakat justru lebih cepat
melakukan lockdown lokal daripada pemerintah. Pemerintah dianggap tidak benar-benar
serius dalam menerapkan kebijakan pencegahan penularan wabah dan sikap pemerintah
membuat masyarakat sangat frustasi. Mendenda penolak vaksin justru terlihat sebagai bentuk
“lepas tangan” pemerintah atas kegagalan mengontrol penyebaran wabah dengan
menitikberatkan masyarakat penolak vaksin sebagai sumber masalah. Jika pemerintah boleh
mendenda masyarakat yang menolak vaksin, apakah masyarakat bisa mendenda pemerintah
karena lamban mengambil kebijakan pada awal-awal pandemi?

Kebijakan sanksi dapat dimanfaatkan menjadi isu sosial dan politik berdampak panjang. Ini
terjadi di Inggris setelah pemerintah mengenakan denda pada penolak vaksin cacar api pada
pertengahan Abad ke-19. Kebijakan itu justru menjadi bumerang bagi pemerintah Inggris
karena banyak penolak vaksin - mayoritas rakyat kelas pekerja dan kelas menengah - yang
tidak mampu atau menolak membayar. Banyak dari mereka kemudian dipenjara, akibatnya
masalah baru muncul di sistem pemenjaraan. Pendekatan yang koersif ini ditentang oleh
pihak oposisi pemerintah yang menghubungkan isu ini dengan kegagalan regulasi
kesejahteraan sosial di Inggris dan eksploitasi pemerintah terhadap tubuh warga. Gerakan
anti-vaksinasi berubah menjadi gerakan politik revolusioner anti-pemerintah dan pendukung
anti-vaksinasi mulai mendapatkan panggung hingga saat ini. Belajar dari Inggris, kebijakan
denda penolak vaksin ini akan sangat mudah dipolitisasi. Apalagi ada kemiripan antara
Indonesia saat ini dengan Inggris ketika itu, yaitu sistem kesejahteraan sosial masih kacau
balau dan masyarakat terbelah oleh keberpihakan politik. Mekanisme denda penolak vaksin
sangat perlu dikaji ulang; tentu kita tidak ingin memberikan panggung publik bagi penolak
vaksin, bukan?

Mendenda penolak vaksin tidak sejalan dengan prinsip interdependensi dalam pendekatan
imunitas sosial. Lewat kebijakan denda, pemerintah menempatkan diri sebagai aktor utama
dan masyarakat sebagai obyek tindakan pendisiplinan. Menempatkan masyarakat sebagai
aktor yang setara dalam menciptakan kesehatan berarti mendengarkan aspirasi mereka secara
produktif dan tidak menganggap narasi penolakan sebagai ancaman. Perlu ada interaksi dua
arah antara masyarakat dengan pemerintah, bukan sekadar edukasi dan kampanye yang
sifatnya satu arah. Pemerintah juga harus serius menindaklanjuti saran dari masyarakat.
Menurut data survei yang dilakukan oleh Kementerian Kesehatan, WHO, dan UNICEF pada
Oktober 2020, sebanyak 7.60% responden akan menolak vaksin COVID-19, sementara
27.60% persen menyatakan belum memutuskan. Responden yang menolak menyatakan
kekhawatiran akan keamanan, efektifitas, adverse event (kejadian ikutan) dan alasan
keagamaan.

Pemerintah berkewajiban mengetahui tingkat efektifitas, keamanan, dan kualitas setiap


produk vaksin yang digunakan, dan menyampaikan secara jelas dan apa adanya kepada
masyarakat untuk menghindari multi-interpretasi dan misinformasi. Kesehatan masyarakat
harus menjadi prioritas, sehingga jika produk vaksin yang ada masih di bawah harapan, maka
lebih baik pemerintah tidak terburu-buru menggunakannya. Alasan keagamaan juga perlu
diperhatikan dengan serius. Pemerintah perlu berinvestasi mengembangkan teknologi vaksin
yang memenuhi kriteria agama, misalnya lewat kerja sama produsen vaksin dan MUI.

Membangun imunitas sosial jauh lebih penting daripada mendenda masyarakat yang sudah
menderita secara kesehatan dan ekonomi. Selain itu, solusi ini juga bermanfaat untuk jangka
panjang mengingat bencana wabah COVID-19 ini bisa jadi bukan wabah terakhir yang akan
kita hadapi.

Anda mungkin juga menyukai