Anda di halaman 1dari 32

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Pengelasan

Pengelasan (welding) adalah teknik penyambungan logam dengan cara

mencairkan sebagian logam induk dan logam pengisi dengan atau tanpa logam

penambah dan menghasilkan logam kontinyu (Siswanto, 2011). Menurut (Tarkono,

2012) perbedaan menggunakan jenis-jenis elektrode akan mempengaruhi kekuatan

tarik hasil pengelasan dan perpanjangan (elongation). Pada penelitian (Syahrani,

2013) melakukan variasi arus pengelasan terhadap kekuatan tarik dan bending pada

baja SM 490 diperoleh perbedaan nilai kekuatan tarik dan bending. Penelitian ini

menggunakan perbedaan metode pegelasan, penggunaan arus, dan jenis elektrode.

Mengelas bukan hanya memanaskan dua bagian benda sampai mencair dan

membiarkan membeku kembali, tetapi membuat lasan yang utuh dengan cara

memberikan bahan tambah atau elektrode pada waktu dipanaskan sehingga

mempunyai kekuatan seperti yang dikehendaki. Kekuatan sambungan las

dipengaruhi beberapa faktor antara lain: prosedur pengelasan, bahan, elektrode dan

jenis kampuh yang digunakan.

Pengelasan sebagai metode penyambungan telah banyak digunakan untuk

konstruksi bangunan aluminium dan konstruksi mesin. Metode pengelasan

disamping digunakan untuk penyambungan juga digunakan untuk reparasi atau

perbaikan misalnya membuat lapisan keras pada perkakas, mempertebal bagian-

bagian konstruksi yang aus. Metode pengelasan kelihatannya sederhana, tetapi

didalamnya banyak masalah yang harus diatasi dengan pemecahan yang

memerlukan pengetahuan. Pengetahuan ini harus didampingi dengan praktek.

5
6

Perancangan sambungan konstruksi bangunan dan konstruksi mesin dengan las

harus direncanakan cara pengelasan, bahan las dan jenis las yang digunakan, serta

cara pemeriksaannya, berdasarkan fungsi dari bagian-bagian bangunan atau mesin

yang dirancang. Berdasarkan definisi dari DIN (Deutch Industrie Normen) las

adalah ikatan metalurgi pada sambungan logam paduan yang dilaksanakan dalam

keadaan lumer atau cair. Dari definisi tersebut dapat dijabarkan lebih lanjut bahwa

las adalah sambungan setempat dari beberapa batang logam dengan menggunakan

energi panas. Pengelasan (welding) adalah salah salah satu teknik penyambungan

logam dengan cara mencairkan sebagian logam induk dan logam pengisi dengan

atau tanpa tekanan dan dengan atau tanpa logam penambah dan menghasilkan

sambungan yang kontinyu. Penggunaan teknik pengelasan dalam bidang konstruksi

dan mesin sangat luas, meliputi perkapalan, jembatan, rangka baja, bejana tekan,

sistem perpipaan, otomotif, kereta api dan lain sebagainya. Sambungan las banyak

digunakan dengan pertimbangan bahwa konstruksi ringan, murah dan pengerjaan

cepat (Harsono dkk, 1991).

Teknik las gas Metal Inert Gas (MIG) merupakan salah satu jenis pengelasan

yang biasanya digunakan dalam pengelasan aluminium seri 5083 karena sesuai

untuk pelat aluminium yang tipis (3mm) (Mandall, 2005). Penggunaan pelat tipis

pada kapal sangat penting untuk mengurangi berat kapal, Sehingga konsumsi bahan

bakar akan berkurang dan dapat meningkatkan kecepatan kapal. Namun demikian

pengelasan pada pelat tipis (3mm) menimbulkan masalah seperti distorsi dan

tegangan sisa yang terjadi akibat distribusi temperatur yang tidak merata karena

panas lokal las, perbedaan laju pemanasan, dan pendinginan selama proses

pengelasan. Karena distorsi ini dapat menyebabkan hasil pengelasan tidak presisi
7

akibat perubahan dimensi yang terjadi sehingga perlu dilakukan perlakuan

tambahan untuk mengurangi distorsi yang terjadi (Michaleris, 2011).

2.2 Proses Dasar Pengelasan

Menurut Welding Handbook, proses pengelasan adalah “proses

penyambungan bahan yang menghasilkan peleburan bahan dengan memanasinya

hingga suhu yang tepat dengan atau tanpa pemberian tekanan dan dengan atau tanpa

pemakaian bahan pengisi”. Energi pembangkit panas dapat dibedakan menurut

sumbernya: listrik, kimiawi optis, mekanis, dan bahan semi konduktor. Panas

digunakan untuk mencairkan logam dasar dan bahan pengisi agar terjadi aliran

bahan atau terjadi peleburan. Selain itu, panas dipakai untuk menaikkan dektilitas

sehingga aliran plastis dapat terjadi walaupun bahan tidak mencair, lebih jauh lagi,

pemanasan membantu penghilangan kotoran pada bahan (Reza, 2015).

Proses pengelasan yang paling umum terutama untuk mengelas baja

struktural memakai energi listrik sebagai sumber panas yang paling banyak

digunakan adalah busur listrik (nyala). Busur nyala adalah pancaran arus listrik

yang relatif besar antara elektroda dan bahan dasar yang dialirkan melalui kolom

gas ion hasil pemanasan. Kolom gas ini disebut plasma. Pada pengelasan busur

nyala, peleburan terjadi akibat aliran bahan yang melintasi busur dengan tanpa

diberi tekanan. Proses lain ( jarang dipakai untuk struktur baja) menggunakan

sumber energi yang lain, dan beberapa proses ini menggunakan tekanan tanpa

memandang ada atau tidaknya pencairan bahan. Pelekatan (bonding) dapat juga

terjadi akibat difusi, partikel seperti atom disekitar pertemuan saling bercampur dan

bahan dasar tidak mencair.


8

2.3 Klasifikasi Pengelasan

2.3.1 Las Busur Gas

1. Klasifikasi

Las busur biasanya dibagi dalam dua kelompok besar yaitu elektroda tak

terumpan dan elektroda terumpan. Kelompok elektroda tak terumpan menggunakan

batang wolfram sebagai elektroda yang dapat menghasilkan busur listrik tanpa turut

mencair, sedangkan kelompok elektroda terumpan sebagai elektrodanya digunakan

kawat las. Skema dari dua kelompok ini di tunjukan dalam gambar 2.1.

(a) Jenis elektroda tak terumpan (b) Jenis elektroda terumpan

Gambar 2.1 : Las Busur Gas

Sumber : Wiryosumarto dan Okumura ”Teknologi Pengelasan Logam” 2000 :16

Kelompok elektroda tak terumpan masih dibagi lagi dalam dua jenis yaitu

jenis dengan logam pengisi dan jenis logam tanpa pengisi. Kelompok elektroda tak

terumpan menggunakan batang-batang wolfram sebagai elektroda yang dapat

menghasilkan busur listrik tanpa turut mencair, sedangkan kelompok elektroda

terumpan sebagai elektrodanya digunakan kawat las.

Kelompok elektroda tak terumpan masih dibagi lagi kedalam dua jenis

dengan logam pengisi dan logam tanpa pengisi. Kelompok ini biasanya

menggunakan logam las mulia sebagai pelindung sehingga secara keseluruhanya

nama kelompok ini menjadi gas wolfgram gas mulia atau disebut las TIG.
9

Kelompok elektroda terumpan juga dibagi lagi dalam dua jenis berdasarkan

kawat elektrodanya, yaitu jenis kawat elektroda pejal dan jenis elektroda dengan

inti fluks. Dalam kelompok ini digunakan dua macam gas pelindung yaitu gas mulia

dan gas CO2 atau disebut dengan las MIG. Pelindung yang digunakan berupa

campuran dari gas Ar dan gas CO2.

2. Las Wolfram Gas Mulia (Las TIG)

Pada jenis ini logam pengisi dimasukan ke dalam daerah arus busur sehingga

mencair dan terbawa ke logam induk. Tetapi untuk mengelas pelat yang sangat tipis

kadang- kadang tidak diperlukan logam pengisi. Las TIG dapat dilaksanakan

dengan mengotomatisasikan cara pengumpanan logam pengisi.

Gambar 2.2 Las TIG

Blog.Indoneering.com/tag/macam-las-listrik/

Penggunaan las TIG mempunyai dua keuntungan, yaitu pertama kecepatan

pengumpanan logam pengisi dapat diatur terlepas dari besarnya arus listrik

sehingga penetrasi kedalam logam induk dapatdiatur semaunya. Cara pengaturan

ini memungkinkan las TIG dapat digunakan dengan memuaskan baik untuk pelat

baja tipis maupun pelat yang tebal. Keduanya adalah kualitas yang lebih baik dari

daerah las. Tetapi sebaliknya bila dibandingkan dengan las MIG, efisiensinya lebih

rendah dan biaya operasinya masih lebih tinggi. Oleh karena itu las TIG biasanya

digunakan untuk mengelas logam-logam bukan baja. Sumber listrik yang


10

digunakan untuk pengelasan dapat berupa listrik DC maupun listrik AC. Dalam hal

listrik DC rangkaian listriknya dapat dengan polaritas lurus dimana kutub positif

dihubungkan dengan logam induk dan kutub negatif dengan batang elektroda atau

rangkaian sebaliknya yang disebut polaritas balik. Skema dari kedua rangkaian ini

dapat dilihat dalam gambar 2.3.

Gambar 2.3 : Diagram rangkaian listrik dari mesin las listrik DC

Sumber : Wiryosumarto dan Okumura, 2000 : 17

3. Las Logam Gas Mulia (MIG)

Dalam las logam gas mulia, kawat pengisi yang juga berfungsi sebagai

elektroda diumpankan secara terus menerus. Busur listrik terjadi antara kawat

pengisi dan logam induk. Gas pelindung yang digunakan adalah gas Argon, helium

dan campuran keduanya. Untuk memantapkan busur kadang-kadang ditambahkan

gas O2 antara 2 sampai 5% atau CO2 antara 5 sampai 20%. Dalam banyak hall as

MIG sangat menguntungkan. Hal ini disebabkan karena sifat-sifatnya yang baik,

misalnya :

1. Karena konsentarsi busur yang tinggi, maka busurnya sangat mantap dan

percikannya sedikit sehingga memudahkan operasi pengelasan.

2. Karena dapat menggunakan arus yang tinggi maka kecepatannya juga sangat

tinggi, sehingga efisiensinya sangat baik.

3. Terak yang terbentuk cukup banyak.


11

4. Ketangguhan dan elastisitas, kekedapan udara, ketidakpekaan terhadap retak dan

sifat-sifat lainnya lebih baik dari pada yang dihasilkan dengan cara pengelasan

lain.

Karena hal-hal tersebut diatas maka las MIG banyak sekali digunakan dalam

praktek terutama untuk pengelasan baja-baja kualitas tinggi seperti baja tahan

karat, baja kuat dan logam-logam bukan baja yang tidak dapat dilas dengan cara

yang lain.

Gambar 2.4 : Pemindahan sembur pada las MIG

Sumber : Wiryosumarto dan Okumura, 2000 : 20

Sifat-sifat seperti diterangkan diatas sebagian besar disebabkan oleh sifat

dari busur yang dihasilkan dalam gambar 2.4 ditunjukkan keadaan busur dalam las

MIG dimana terlihat ujung elektroda yang selalu runcing. Hal inilah yang

menyebabkan butir-butir logam cair menjadi halus dan pemindahannya

berlangsung dengan cepat seakan-akan seperti disemburkan.

Terjadinya penyemburan logam cair seperti diterangkan diatas disebabkan

oleh beberapa hal, antara lain polaritas listrik dan arus listrik. Dalam las MIG

biasanya digunakan arus listrik searah dengan tegangan tetap sebagai sumber

tenaga. Dengan sumber tenaga ini biasanya penyemburan terjadi bila polaritasnya
12

adalah polaritas balik. Di samping polaritas ternyata bahwa besar arus juga

memegang peranan penting, bila besar arus melebihi suatu harga tertentu yang

disebut harga kritik barulah terjadi pemindahan sembur. Diagram dalam gambar 2.5

menunjukkan hubungan antara arus kritik dan terjadinya penyemburan. Besarnya

arus kritik tergantung dari pada bahan kawat las, garis tengah kawat dan jenis gas

pelindungnya. Bila diameternya mengecil, besarnya arus kritik yang diperlukan

juga menurun. Penambahan gas CO2 ke dalam gas Argon akan menaikkan besarnya

arus listrik.

Gambar 2.5 : Pengaruh Perubahan Arus Terhadap Ukuran dan Frekwensi Tetesan

Sumber : Wiryosumarto dan Okumura, 2000 : 21

Pada umumnya las MIG dapat digunakan secara memuaskan, kecuali satu

hal yaitu cara ini agak sukar untuk pengelasan posisi tegak dan untuk pelat-pelat

tipis. Hal ini dapat diperbaiki dengan menggunakan arus rendah yang

mengakibatkan proses pemindahan sembur tidak terjadi.


13

Pengelasan elektrode terumpan adalah proses pengelasan dimana pada saat terjadi

busur listrik elektrode ikut mencair dan berfungsi sebagai logam pengisi. Terdapat

beberapa pengelasan busur yang menggunakan elektrode terumpan, seperti antara

lain :

1. Shield Metal Arc Welding (SMAW)

Las elektroda terbungkus atau Shield Metal Arc Welding (SMAW) adalah

cara pengelasan yang banyak digunakan pada masa ini. Dalam cara pengelasan ini

digunakan kawat elektroda logam yang dibungkus dengan fluks. Dalam Gambar

2.6 dapat dilihat dengan jelas bahwa busur listrik terbentuk diantara logam induk

dan ujung elektroda. Karena panas dari busur ini maka logam induk dan ujung

elektroda tersebut mencair dan kemudian membeku bersama (Wiryosumarto dan

Okumura, 2000).

Proses pemindahan logam elektroda terjadi pada saat ujung elektroda mencair

dan membentuk butir-butir yang terbawa oleh arus busur listrik yang terjadi. Bila

digunakan arus listrik yang besar maka butiran logam cair yang terbawa menjadi

halus seperti terlihat dalam Gambar 2.6, sebaliknya bila arusnya kecil maka

butirannya menjadi besar seperti tampak dalam Gambar 2.7 (Wiryosumarto dan

Okumura, 2000).

Gambar 2.6 Skema Las SMAW.

(Sumber: Teknologi Pengelasan Logam, Wiryosumarto dan Okumura, 2000)


14

Gambar 2.7 Pemindahan Logam Cair.

(Sumber: Teknologi Pengelasan Logam, Wiryosumarto dan Okumura, 2000)

Pola pemindahan logam cair seperti diterangkan diatas sangat mempengaruhi

sifat mampu las dari logam. Secara umum dapat dikatakan bahwa logam

mempunyai sifat mampu las tinggi bila pemindahan terjadi dengan butiran yang

halus. Sedangakan pola pemindahan cairan dipengaruhi oleh besar kecilnya arus

seperti diterangkan diatas dan juga oleh komposisi dari bahan fluks yang

digunakan. Selama proses pengelasan bahan fluks yang digunakan untuk

membungkus elektroda mencair dan membentuk terak yang kemudian menutupi

logam cair yang terkumpul ditempat sambungan dan bekerja sebagai penghalang

oksidasi. Dalam beberapa fluks bahannya tidak dapat terbakar, tetapi berubah

menjadi gas yang juga menjadi pelindung dari logam cair terhadap oksidasi dan

memantapkan busur (Wiryosumarto dan Okumura, 2000). Didalam elektroda

terbungkus fluks memegang peranan penting karena fluks dapat bertindak sebagai

berikut :

1) Mengahsilkan gas pelindung untuk mencegah masuknya udara dan membuat

busur stabil.

2) Memberikan bahan lain, seperti unsur pengurai oksida untuk memperhalus

struktur butiran pada logam las.


15

3) Menghasilkan lapisan terak diatas kolom yang mencair dan memadatkan las

untuk melindunginya dari oksigen dan nitrogen dalam udara, serta

memperlambat pendinginan.

2. Gas Metal Arc Welding (GMAW)

Pada proses GMAW (Gas Metal Arc Welding), elektrodanya adalah kawat

menerus dari 1 gulungan yang disalurkan melalui pemegang elektroda (alat yang

berbentuk pistol seperti pada gambar 2.8). Perlindungan dihasilkan seluruhnya dari

gas atau campuran gas yang diberikan dari luar (Fuadi, 2015).

Gambar 2.8 : Skema Las GMAW.

(Sumber: Metode-metode Pengelasan, Fuadi, 2015)

Mula-mula metode ini dipakai hanya dengan perlindungan gas mulia (tidak

reaktif) sehingga disebut MIG (Metal Inert Gas/gas logam mulia). Gas yang reaktif

biasanya tidak praktis, kecuali CO2 (karbon dioksida). Gas CO2, baik CO2 saja

atau dalam campuran dengan gas mulia, banyak digunakan dalam pengelasan baja

(Fuadi, 2015).

Argon sebenarnya dapat digunakan sebagai gas pelindung untuk pengelasan

semua logam, namun, gas ini tidak dianjurkan untuk baja karena mahal serta

kenyataan bahwa gas pelindung dan campuran gas lain dapat digunakan. Untuk

pengelasan baja karbon dan beberapa baja paduan rendah baik (1) 75% argon dan

25% CO, ataupun (2) 100% CO2 lebih dianjurkan. Untuk baja paduan rendah yang
16

keliatannya (toughness), disarankan pemakaian campuran dari 60-70% helium, 25-

30% argon, dan 4-5% C02 (Fuadi, 2015).

Selain melindungi logam yang meleleh dari atmosfir, gas pelindung

mempunyai fungsi sebagai berikut.

1) Mengontrol karakteristik busur nyala dan pernindahan logam.

2) Mempengaruhi penetrasi, lebar peleburan, dan bentuk daerah las.

3) Mempengaruhi kecepatan pengelasan.

4) Mengontrol peleburan berlebihan (undercutting).

Pencampuran gas mulia dan gas reaktif membuat busur nyala lebih stabil dan

kotoran selama pemindahan logam lebih sedikit. Pemakaian CO2 saja untuk

pengelasan baja merupakan prosedur termurah karena rendahnya biaya untuk gas

pelindung, tingginya kecepatan pengelasan, lebih baiknya penetrasi sambungan,

dan baiknya sifat mekanis timbunan las. Satu-satunya kerugian ialah pernakaian

CO2 menimbulkan kekasaran dan kotoran yang banyak (Fuadi, 2015).

3. Submerged Arc Welding (SAW)

Las busur rendam Submerged Arc Welding (SAW) adalah suatu cara

mengelas dimana logam cair ditutup dengan fluks yang diatur melalui suatu

penampung fluks dan logam pengisi yang berupa kawat pejal diumpankan secara

terus menerus. Dalam pengelasan ini busur listriknya terendam dalam fluks seperti

terlihat dalam 9ambar 2.9 karena prinsip ini maka cara ini dinamakan las busur

rendam (Wiryosumarto dan Okumura, 2000).


17

Gambar 2.9 : Skema Las SAW.

(Sumber: Teknologi Pengelasan Logam, Wiryosumarto dan Okumura, 2000)

Karena dalam pengelasan ini busur listriknya tidak kelihatan, maka sangat

sukar untuk mengatur jatuhnya ujung busur. Di samping itu karena

mempergunakan kawat elektroda yang besar maka sangat sukar untuk memegang

alat pembakar dengan tangan tepat pada tempatnya. Karena kedua hal tersebut

maka pengelasan selalu dilaksanakan secara otomatis penuh. Mesin las otomatik

pelaksanaannya bermacam-macam, salah satu di antaranya ditunjukkan dalam

gambar 2.10. Pada jenis ini kepala las dibawa oleh kereta yang berjalan melalui

rel penuntun sepanjang garis las. Fluks yang diperlukan diumpankan melalui pipa

penyalur dari penampung fluks yang juga terletak di atas kereta. Biasanya mesin

las ini melayani satu elektroda saja, tetapi untuk memperbaiki efisiensi pengelasan

kadang-kadang satu mesin melayani dua atau tiga elektroda (Wiryosumarto dan

Okumura, 2000).

Gambar 2.10 Skema Mesin SAW.

(Sumber: Teknologi Pengelasan Logam Wiryosumarto dan Okumura, 2000)


18

4. Flux Cored Arc Welding (FCAW)

Pengelasan FCAW adalah Las busur listrik yang kawat lasnya terdapat fluk

(pelindung inti tengah). Las FCAW adalah kombinasi antara proses pengelasan

GMAW, SMAW dan SAW. Dalam pengelasan FCAW ini sumber energi

menggunakan arus listrik DC atau AC yang diambil dari pembangkit listrik atau

melalui trafo dan atau rectifier (Jones, 2015).

Gambar 2.11 Skema Las FCAW.

(Sumber: FCAW Drawing, Perch, 2011)

Pengelasan FCAW merupakan salah satu jenis las listrik yang proses kerjanya

memasok filler elektroda atau kawat las secara mekanis terus menerus ke dalam

busur listrik. Kawat las atau Elektroda yang digunakan untuk pengelasan FCAW

terbuat dari logam tipis yang digulung cylindrical kemudian dalamnya di isi dengan

flux yang sesuai dengan kegunaannya. Proses Pengelasan FCAW ini sebenarnya

sama dengan pengelasan GMAW, namun membedakan adalah kawat las atau

elektrodanya yang berbentuk tubular yang berisi fluks sedangkan GMAW

berbentuk Solid (Jones, 2015).

Berdasarkan metode pelindung, Pengelasan FCAW dapat dibedakan menjadi

2, yaitu:
19

1) Self shielding FCAW (Pelindungan sendiri), yaitu merupakan proses melindungi

logam las yang mencair dengan menggunakan gas dari hasil penguapan atau

reaksi dari inti fluks.

2) Gas shielding FCAW (perlindungan gas) adalah perlindungan dengan dual gas,

yaitu melindungi logam las yang mencair dengan menggunakan gas sendiri juga

ditambah gas pelindung yang berasal dari luar sistem.

Dua metode di atas sama-sama menghasilkan terak las yang berasal dari flux

dalam kawat las yang berfungsi untuk melindungi logam las saat proses

pembekuan. Namun, perbedaan metode di atas terletak pada tambahan sistem

pemasok gas dan welding torch (welding gun) yang digunakan.

Pengelasan FCAW berdasarkan cara pengoperasiannya dibedakan menjadi 2, yaitu:

1) Otomatis (machine automatic).

2) Semi otomatis (semi automatic).

Sifat-sifat utama (Principal features) yang dimiliki FCAW dalam proses

pengelasan:

1) FCAW mempunyai sifat metalurgi las yang bisa dikontrol dengan pemilihan

fluks.

2) Las FCAW mempunyai produktivitas yang tinggi, karena dapat pasokan

elektroda las yang kontinu.

3) Saat pembentukan manik atau rigi-rigi las yang cair dapat dilindungi oleh slag

yang tebal.

Pengelasan FCAW umumnya menggunakan gas CO2 atau campuran CO2

dengan Argon sebagai gas pelindung. Tetapi untuk menghindari logam las

terkontaminasi udara luar atau menghindari porosity maka harus dilakukan


20

pemilihan fluks yang mempunyai sifat pengikat oxygen atau deoxydizer (Jones,

2015).

Aplikasi atau Penggunaan utama Pengelasan FCAW:

1) Baja karbon (carbon steel).

2) Pengerasan & pelapisan permukaan (Steel hard facing and cladding).

3) Baja tahan karat (Stainless steel).

4) Besi tuang (Cast Iron).

5) Baja karbon Alloy rendah (Low alloy carbon steel).

6) Las titik baja tipis (Sheet steel spot welding).

2.4 Analisa Perpindahan Panas Pada Pengelasan

2.4.1 Masukan Panas (Heat Input)

Masukan panas (heat Input) adalah besarnya energi panas tiap satuan panjang

las ketika sumber panas bergerak (Subeki, 2007). Heat input merupakan parameter

penting karena seperti halnya pemanasan awal dan temperatur interpass, heat input

juga mempengaruhi laju pendinginan yang akan berpengaruh pada mechanical

properties dan struktur metalurgi dari HAZ. Rumus yang digunakan untuk

menentukan besarnya heat input yaitu :

𝑇𝑒𝑔𝑎𝑛𝑔𝑎𝑛 𝑙𝑎𝑠 (𝑉)𝑥 𝐴𝑟𝑢𝑠 𝑙𝑎𝑠(𝐼)


HI = 𝜂 𝑥 ................... (2.6) (Wibowo, 2016)
𝐾𝑒𝑐𝑒𝑝𝑎𝑡𝑎𝑛 𝐿𝑎𝑠(𝑣)

Dimana,

𝜂 : Efesiensi panas las

HI : Heat Input (Kj/mm) v : Kecepatan pengelasan (mm/s)

V : Tegangan Las (Volt) I : Arus listrik (Amper)


21

Apabila heat input dari suatu pengelasan terlalu tinggi maka daerah HAZ

akan menjadi lebar sehingga mudah terjadi cacat seperti undercut. Akan tetapi

apabila heat input terlalu kecil maka juga akan menimbulkan cacat las seperti

inclusion (Riyadi, 2011). Pada penggunaan heat input yang semakin tinggi akan

meningkatkan prosentase ferit acicular, upper bainit, dan ferit widmanstaten

(Subeki, 2007).

Beberapa metode telah dikembangkan untuk mengontrol distorsi dan

tegangan sisa sehingga dapat meningkatkan sifat mekanik sambungan las. Salah

satu metodenya adalah dengan thermal tensioning, Metode thermal tensioning

untuk mengontrol distorsi dan tegangan sisa telah dilakukan oleh (Burak dkk, 1977;

Burak dkk,1979) dengan membuat tegangan tarik di daerah las sebelum dan selama

pengelasan dengan mengatur gradien suhu. yaitu dengan cara pemberian panas

lokal di sekitar jalur las selama pengelasan.

1. STT (Static Thermal Tensioning)

Merupakan salah satu metode yang sedang dikembangkan untuk

mengurangi distorsi dan tegangan sisa yang terjadi pada hasil pengelasan. Prinsip

kerja metode ini berupa pemberian tegangan termal (thermal tensioning ) untuk

melawan tegangan termal akibat pengelasan.

Penelitian tentang STT telah dilakukan oleh Burak, dkk (1979)

menggunakan efek termal pada pelat dengan ketebalan lebih dari 4 mm dan untuk

penggunaan pesawat luar angkasa dengan ketebalan pelat yang tipis (4 mm), maka

penelitian tentang STT dilanjutkan oleh Guan,dkk (1988) dengan mengembangkan

pengendalian distorsi dan tegangan sisa yang sebelumnya dilakukan oleh

Burak,dkk (1979). Hasil penelitian menunjukkan bahwa efek termal tensioning


22

dapat mengurangi distorsi yang terjadi secara signifikan pada pelat 4 mm. Deo dan

Miclaeris (2003) melaporkan bahwa penentuan temperature pemanasan

(Preheating) merupakan factor yang sangat kritis dimana temperatur yang tidak

sesuai berakibat ditorsi yang terjadi tidak akan hilang secara maksimal.

2. TTT (Transient Thermal Tensioning)

Perlakuan transient thermal tensioning (TTT) pada pengelasan dilakukan

untuk mengurangi distorsi, tekukan, dan tegangan sisa (Michaleris dan Sun, 2004).

Penelitian tentang TTT (transient thermal tensioning) telah dilakukan Michaleris,

dkk (1997) melakukan simulasi menggunakan finite element analysis (FEA) pada

teknik pengelasan TTT ( transient thermal tensioning ) dan menghasilkan bahwa

tegangan sisa termal yang terjadi berkurang secara signifikan. (Michaleris dan Sun,

2004) “Perlakuan transient thermal tensioning (TTT) pada pengelasan dilakukan

untuk mengurangi distorsi, tekukan, dan tegangan sisa.” (Tsai dkk., 1999) dengan

peregangan komponen, optimalisasi pemotongan dan urutan pengelasan,

pengurangan masukan panas dan transient thermal tensioning.

2.4.2 Siklus Termal

Dareah lasan terdiri dari 3 bagian yaitu logam lasan, daerah pengaruh panas

(Heat Affected Zone). Selama proses pengelasan berlangsung, logam las dan daerah

pengaruh panas akan mengalami serangkaian siklus thermal yang berupa

pemanasan sampai mencapai suhu maksimum dan diikuti dengan pendinginan.

Pada pengelasan baja, kandungan C pada logam las biasanya dibuat rendah yaitu

0,1 % massa, dengan tujuan untuk mempertahankan sifat mampu las atau

weldability. Sebagai akibatnya, jika kondisi kesetimbangan (equilibrium) tercapai

maka logam las akan mengalami serangkaiantransformasi fasa selama proses


23

pendinginan, yaitu dari logam las cair berubah menjadi ferit-δ kemudian γ (austenit)

dan akhirnya menjadi α (ferrit). Pada umumnya laju pendinginan pada proses

pengelasan cukup tinggi sehingga kondisi kesetimbangan tidak terjadi dan

akibatnya struktur mikro yang terbentuk tidak selalu mengikuti diagram fasa

(Subeki, 2007).

Gambar 2.12 : Siklus Thermal Las (Subeki, 2007).

2.5 Definisi Aluminium 5083

2.5.1 Pengertian Aluminium

Alloy (Alumunium) adalah bahan campuran yang mempunyai sifat-sifat logam,

terdiri dari dua atau lebih unsur-unsur, dan sebagai unsur utama campuran adalah

logam, Sebagai tambahan terhadap kekuatan mekaniknya yang sangat meningkat

dengan penambahan Cu, Mg, Si. Mn, Zn, Ni, dan sebagainya, secara satu persatu

atau bersama-sama.

2.5.2 Paduan Aluminium

Paduan aluminium dapat dibagi menjadi dua kelompok, yaitu alumunium wronglt

alloy (lembaran) dan alumunium costing alloy (batang cor). Alumunium (99,99%)

memiliki berat jenis sebesar 2,7 g/cm3, densitas 2,685 kg/m3, dan titik leburnya

pada suhu 6600C, alumunium memiliki strength to weight ratio yang lebih tinggi
24

dari baja. Sifat tahan korosi alumunium diperoleh dari terbentuknya lapisan oksida

alumunium dari permukaan alumunium. Lapisan oksida ini melekat kuat dan rapat

pada permukaan, serta stabil(tidak bereaksi dengan lingkungan sekitarnya)

sehingga melindungi bagian dalam.

Unsur- unsur paduan dalam almunium antara lain:

1. Copper (Cu), menaikkan kekuatan dan kekerasan, namun menurunkan elongasi

(pertambahan panjang pangjangan saat ditarik). Kandungan Cu dalam

alumunium yang paling optimal adalah antara 4-6%.

2. Zink atau Seng (Zn), menaikkan nilai tensile.

3. Mangan (Mn), menaikkan kekuatan dalam temperature tinggi.

4. Magnesium (Mg), menaikkan kekuatan alumunium dan menurunkan

nilai ductility-nya. Ketahanan korosi dan weldability juga baik.

5. Silikon (Si), menyebabkan paduan alumunium tersebut bisa diperlakukan panas

untuk menaikkan kekerasannya.

6. Lithium (Li), ditambahkan untuk memperbaiki sifat tahan oksidasinya.

▪ Alumunium copper alloy (seri 2xxx)

Paduan ini dapat di heat treatment terutama yang mengandung (2,5-5%) Cu. Dari

seri ini yang terkenal seri 2017 dikenal dengan nama “duralimin” mengandung

4%Cu, 0,5%Mg, 0,5%Mn pada komposisi standard. Paduan ini Mg ditingkatkan

pada komposisi standard dari Al, 4,5%Cu, 1,5%Mg, 0,5%Mn, dinamakan paduan

2024 yang bernama Duralumin Super. Paduan yang memiliki Cu mempunyai

ketahanan korosi yang jelek, jadi apabila ketahanan korosi khusus diperlukan

permukaannya dilapisi dengan Al murni atau paduan Al yang tahan korosi yang
25

disebut pelat alkad. Paduan ini banyak digunakan untuk alat-alat yang bekerja pada

temperatur tinggi misalnya pada piston dan silinder head motor bakar.

▪ Alumunium magnese alloy (seri 3xxx)

Mn adalah unsur yang memperkuat Al tanpa mengurangi ketahanan korosi dan

dipakai untuk membuat paduan yang tahan korosi. Dalam diagram fasa, Al-Mn

yang ada dalam keseimbangan dengan larutan padat Al adalah Al6Mn(25,3%).

Sebenarnya paduan Al-1,2%Mn dan Al-1,2%Mn-1,0%Mg dinamakan paduan 3003

dan 3004 yang dipergunakan sebagai paduan tanpa perlakuan panas. Paduan dalam

seri ini tidak dapat dikeraskan dengan heat treatment. Seri 3003 dengan 1,2%Mn

mudah dibentuk, tahan korosi, dan (weldability) baik. Banyak digunakan untuk pipa

dan tangki minyak.

▪ Alumunium silikon alloy (seri 4xxx)

Paduan Al-Si sangat baik kecairannya, yang mempunyai permukaan yang sangat

bagus, tanpa kegetasan panas, dan sangat baik untuk paduan coran. Sebagai

tambahan, paduan ini memiliki ketahanan korosi yang baik, sangat ringan, koefisien

pemuaian yang sangat kecil, dan sebagai penghantar panas dan listrik yang baik.

Karena memiliki kelebihan yang baik, paduan ini sangat banyak dipakai. Tetapi

dalam hal ini modifikasi tidak perlu dilakukan. Sifat-sifat silumin sangat diperbaiki

oleh perlakuan panas dan sedikit diperbaiki oleh unsur paduan. Umumnya

dilakukan paduan dengan 0,15-0,4%Mn dan 0,5%Mg. Paduan yang diberi

perlakuan pelarutan dan dituakan dinamakan silumin gamma dan yang hanya

ditemper dinamakan silumin beta. Paduan yang memerlukan perlakuan panas


26

ditambah dengan Mg juga Cu serta Ni untuk memberikan kekerasan pada saat

panas, bahan ini biasa digunakan untuk torak motor. Koefisien pemuaian termal Si

yang sangat rendah membuat koefisien termal paduannya juga rendah apabila

ditambah Si lebih banyak. Telah dikembangkan paduan hypereutektik Al-Si sampai

29% Si untuk memperhalus butir primer Si. Proses penghalusan akan lebih efektif

dengan penambahan P oleh paduan Cu-P atau penambahan fosfor klorida (PCl5)

untuk mencapai presentasi 0,001%P, dapat tercapai penghalusan primer dan

homogenisasi. Paduan Al-Si banyak dipakai sebagai elektroda untuk pengelasan

yaitu terutama mengandung 5%Si. Paduan seri ini non heat treatable. Paduan seri

4032 yang mengandung 12,5%Si mudah ditempa dan memiliki koefisien muai

panas sangat rendah digunakan untuk piston yang ditempa.

▪ Alumunium magnesium alloy (seri 5xxx)

Dalam paduan biner Al-Mg satu fasa yang ada dalam keseimbangan dengan larutan

padat Al adalah larutan padat yang merupakan senyawa antar logam Al3Mg2. Sel

satuannya merupakan hexagonal susunan rapat (eph) tetapi ada juga yang sel

satuannya kubus berpusat muka (fcc) rumit. Titik eutetiknya adalah 450ºC, 35%Mg

dan batas kelarutan padatnya pada temperature eutektik adalah 17,4% yang

menurun pada temperature biasa sampai kira-kira 1,9%Mg, jadi kemampuan

penuaan dapat diharapkan. Paduan Al-Mg mempunyai ketahanan korosi yang

sangat baik disebut hidrinalium. Paduan dengan 2-3%Mg dapat mudah ditempa,

dirol dan diekstrusi. Paduan Al-Mg umumnya non heat tretable. Seri 5052 dengan

2,5%Mg banyak digunakan untuk campuran minyak dan bahan bakar pesawat

terbang. Seri 5052 biasa digunakan sebagai bahan tempaan. Paduan 5056 adalah
27

paduan paling kuat setelah dikeraskan oleh pengerasan regangan apabila

diperlakukan kekerasan tinggi. Paduan 5083 adalah paduan antara (4,5% Mg) yang

kuat dan mudah dilas sehingga banyak digunakan sebagai bahan untuk tangki LNG.

Seri 5005 dengan 0,8% Mg banyak digunakan sebagai batang profil extrusi. Seri

5050 dengan 1,2% Mg dipakai sebagai pipa saluran minyak dan gas pada

kendaraan.

▪ Alumunium magnesium silikon alloy (seri 6xxx)

Penambahan sedikit Mg pada Al akan menyebabkan pengerasan penuaan sangat

jarang terjadi, namun apabila secara simultan mengandung Si, maka dapat

diperkeras dengan penuaan panas setelah perlakuan pelarutan. Hal ini dikarenakan

senyawa M2Si berkelakuan sebagai komponen murni dan membuat keseimbangan

dari sistem biner semu dengan Al. Paduan dalam sistem ini memiliki kekuatan yang

lebih kecil dibanding paduan lainnya yang digunakan sebagai bahan tempaan, tetapi

sangat liat, sangat baik kemampuan bentuknya untuk penempaan, ekstrusi dan

sebagai tambahan dapat diperkuat dengan perlakuan panas setelah pengerjaan.

Paduan 6063 banyak digunakan sebagai rangka konstruksi. Karena paduannya

memiliki kekuatan yang cukup baik tanpa mengurangi hantaran listrik maka

dipergunakan untuk kabel tenaga. Dalam hal ini percampuran dengan Cu, Fe, dan

Mn perlu dihindari karena unsur-unsur tersebut menyebabkan tahanan listrik

menjadi tinggi. Magnesium dan Silikon membentuk senyawa Mg2Si (Magnesium

Silisida) yang memberikan kekuatan tinggi pada paduan ini setelah proses heat

treatment. Seri 6053, 6061, 6063 memiliki sifat tahan korosi sangat baik dari pada
28

heat treatable aluminium lainnya. Penggunaan aluminium seri 6xxx banyak

digunakan untuk piston motor dan silinder head motor bakar, part sepeda. dll

▪ Alumunium zink alloy (seri 7xxx)

Aluminium menyebabkan keseimbangan biner semu dengan senyawa antar logam

MgZn2dan kelarutannya menurun apabila temperaturnya turun. Telah diketahui

sejak lama bahwa paduan sistem ini dapat dibuat keras sekali dengan penuaian

setelah perlakuan pelarutan. Tetapi sejak lama, tidak dipakai sebab mempunyai sifat

patah getas oleh retakan korosi tegangan. Di Jepang pada permulaan tahun 1940,

Iragashi dkk mengadakan studi dan berhasil dalam pengembangan suatu paduan

dengan penambahan kira-kira 0,3%Mn atau Cr, dimana bitur Kristal padat

diperhalus, dan mengubah bentuk presipitasi serta retakan korosi tegangan tidak

terjadi. Pada saat itu paduan tersebut dinamakan ESD, Duralumin, superekstra.

Selama perang dunia ke II, di Amerika Serikat dengan maksud yang hampir sama

telah dikembangkan pula suatu paduan, yaitu suatu paduan yang terdiri dari Al-5,

5%Zn-2,5%Mn-1,5%Cu-0,3%Cr-0,2%Mn, sekarang dinamakan paduan 7075.

Paduan ini mempunyai kekuatan tertinggi diantara paduan-paduan lainnya.

Penggunaan paduan ini paling besar adalah untuk konstruksi pesawat udara. Di

samping itu penggunaannya menjadi lebih penting sebagai bahan konstruksi.

2.6 Sifat Mekanis

Dalam pemilihan bahan untuk produk , perancang harus memperhatikan sifat-

sifat logam seperti kekuatan (strength), keliatan (ductility), kekerasan (hardness)

atau kekuatan luluh (fatique strength). Sifat mekanik didefinisikan sebagai ukuran

kemampuan bahan untuk membawa atau menahan gaya atau tegangan. Pada saat
29

menahan beban, atom-atom atau struktur molekul berada dalam kesetimbangan.

Sifat mekanis suatu bahan adalah kemampuan bahan untuk menahan beban-beban

yang dikenakan kepadanya. Dimana beban-beban tersebut dapat berupa beban tarik,

tekan, bengkok, geser, puntir,atau beban kombinasi (Iqbal, 2013). Beberapa sifat

mekanis logam antara lain :

1. Kekuatan (strenght) Menyatakan kemampuan bahan untuk menerima

tegangan tanpa menyebabkan bahan tersebut menjadi patah.

2. Kekerasan (hardness) Dapat didefinisikan sebagai kemampuan bahan untuk

tahan terhadap goresan , pengikisan (abrasi), penetrasi. Sifat ini berkaitan erat

dengan sifat keausan (wear resistance).

3. Kekenyalan (elasticity) Menyatakan kemampuan bahan untuk menerima

tegangan tanpa mengakibatkan terjadinya perubahan bentuk yang permanen

setelah tegangan dihilangkan.

4. Kekakuan (stiffness) menyatakan kemampuan bahan untuk menerima

tegangan atau beban tanpa mengakibatkan terjadinya perubahan bentuk

(deformasi) atau defleksi.

5. Plastisitas (plasticity) Menyatakan kemampuan bahan untuk mengalami

sejumlah deformasi plastis (yang permanen) tanpa mengakibatkan terjadinya

kerusakan. Sifat ini sangat diperlukan bagi bahan yang akan diproses dengan

berbagai proses pembentukan seperti, forging, rolling, extruding dan

sebagainya. Sifat ini sering juga disebut sebagai keuletan atau kekenyalan

(ductility). Bahan yang mampu mengalami deformasi plastis yang cukup

tinggi dikatakan sebagai bahan yang mempunyai keuletan atau kekenyalan

tinggi, dimana bahan tersebut dikatakan ulet atau kenyal (ductile).


30

2.7 Distorsi

2.7.1 Pengertian Distorsi

Semua logam akan mengalami pengembangan jika terkena panas, terjadi

penyusutan jika mengalami pendinginan, kejadian tersebut merupakan sifat dari

logam itu sendiri. Seorang operator las harus memiliki kemampuan bagaimana

suatu proses pengelasan dapat menghasilkan bentuk sambungan sesuai rencana

yang dikehendaki dengan melakukan pengendalian terhadap pemuaian dan

penyusutan yang berlebihan.

Distorsi adalah terjadinya perubahan bentuk atau penyimpangan bentuk oleh

panas, termasuk akibat dari proses pengelasan. Terjadinya pemuaian benda kerja

mengakibatkan melengkung atau tertarik bagian-bagian benda kerja disekitar

daerah pengelasan.

2.7.2 Penyebab dan Jenis-jenis Distorsi

1. Ada penyebab utama distorsi yang sering terjadi pada pengelasan logam

maupun pengelasan industri, yaitu :

a. Tegangan Sisa

Tegangan sisa adalah seluruh bahan logam yang digunakan dalam industri

misalnya batangan, lembaran atau yang lain yang diproduksi dengan proses

menahan tegangan di dalam bahan. Tegangan sisa ini tidak selalu menimbulkan

masalah, namun jika bahan kerja menerima panas akibat pengelasan atau

pemotongan dengan panas, maka tegangan sisa akan menghilang secara tidak

merata dan akan terjadi distorsi.

b. Pengelasan atau Pemotongan dengan Panas


31

Ketika melakukan proses mengelas atau memotong menggunakan api,

sumber panas dari nyala busur akan mengakibatkan pertambahan panjang dan

penyusutan tidak merata dan distorsi.

2. Terdapat tiga jenis utama perubahan bentuk (ditorsi) pada pengelasan, yaitu :

a. Distorsi Arah Melintang

Distorsi arah melintang adalah jika mengelas salah satu ujung, dan sisi yang

lain akan bertambah panjang akibat pemuaian. Kemidian saat pendinginan, sisi

logam akan saling mnarik satu sama lain.

Gambar 2.13 : Distorsi arah melintang

sumber : edzona 2013

b. Distorsi Arah Memanjang

Distorsi arah memanjang apabila hasil las berkontraksi dan kemudian

memendek sepanjang garis pengelasan setelah pendinginan.

Gambar 2.14 : Distorsi arah memanjang

sumber : edzona 2013


32

c. Distorsi Menyudut

Distorsi menyudut jika sudut dari benda yang dilas berubah akibat kontraksi

lebih besar pada permukaan pengelasan karena jumlah hasil pengelasan yang lebih

banyak.

Gambar 2.15 : Distorsi arah menyudut

sumber : edzona 2013

2.8 Klasifikasi Las Berdasarkan Sambungan dan Bentuk Alurnya

1. Sambungan Las Dasar

Sambungan las pada konstruksi baja pada dasarnya dibagi menjadi

sambungan tumpul, sambungan T, sambungan sudut, dan sambungan tumpang.

Sebagai perkembangan sambungan dasar di atas terjadi sambungan silang,

sambungan dengan penguat dan sambungan isis yang ditunjukkan pada gambar di

bawah ini.

Gambar 2.16 : Jenis-jenis Sambungan Dasar

Sumber : Wiryosumarto dan Okumura, 2000 : 157


33

a. Sambungan Tumpul

Jenis sambungan las ini terbagi menjadi 2 macam, yaitu :

b. Sambungan Penetrasi Penuh

Sambungan penetrasi penuh terbagi lagi menjadi sambungan tanpa

pelat pembantu dan sambungan dengan pelat pembantu.

c. Sambungan Penetrasi Sebagian

Pada dasarnya dalam pemilihan bentuk alaur harus mengacu pada

penurunan masukan panas dan penurunan logam las sampai harga

terendah yang tidak menurunkan mutu sambungan

2. Sambungan Bentuk T dan Bentuk Silang

3. Sambungan bentuk T dan bentuk silang ini secara garis besar terbagi

menjadi 2 jenis, yaitu :

a. Jenis Las dan Alur Datar

b. Jenis Las Sudu

Dalam pengelasan mungkin ada bagian batang yang menghalangi, hal ini

dapat diatasi dengan memperbesar sudut alur.

Gambar 2.17 : Macam-macam Sambungan T

Sumber : Wiryosumarto dan Okumura, 2000 : 159


34

4. Sambungan Tumpang

Sambungan tumpang dibagi menjadi tiga jenis seperti yang ditunjukkan

pada sebagi berikut :

Gambar 2.18 : Sambungan las Tumpang

Sumber : Wiryosumarto dan Okumura, 2000 : 160

5. Sambungan Sisi

Sambungan sisi dibagi menjadi dua seperti diutunjukkan pada yaitu :

a. Sambungan Las dengan Alur

Untuk jenis sambungan ini pelatnya harus dibuat alur terlebih dahulu

b. Sambungan Las Ujung

Sedangkan untuk sambungan las jenis ini pengelasan dilakukan pada

ujung pelat tanpa ada alur. Sambungan las ujung hasilnya kurang

memuaskan, kecuali jika dalakukan pada posisi datar dengan aliran

listrik yang tinggi. Oleh karena itu, pengelasan jenis ini hanya

dipakai untuk pengelasan tambahan atau pengelasan sementara pada

pelat-pelat yang tebal.


35

Gambar 2.19 : Sambungan Sisi

Sumber : Wiryosumarto dan Okumura, 2000 : 161

7. Sambungan dengan Pelat Penguat

Sambungan ini dibagi dalam dua jenis yaitu sambungan dengan pelat

penguat tunggal dan sambungan dengan pelat penguat ganda seperti yang

ditunjukkan pada gambar 2.20 Sambungan jenis ini mirip dengan

sambungan tumpang.

Gambar 2.20 : Sambungan dengn Penguat

Sumber : Wiryosumarto dan Okumura, 2000 : 161


36

Anda mungkin juga menyukai